
Part 3
“Katakan maaf dengan suara termerdu yang kamu miliki,” tuntut Fadil, kata maaf adalah kata yang sulit terlontar lagi dari bibir Nona. Bahkan saat wanita itu memutuskan hubungan dengan Fadil, tanpa sesal dan kata maaf mengakhiri.
Nona tertawa rendah, “Jangan harap,” jawabnya, ingatan terlempar saat ia mendapatkan pukulan dari Yanti, makanan sehari-hari Nona sejak menikah dengan Ayahnya. Sampai Tias kecil datang dan menjadi tameng di depan tubuhnya memeluk Nona.
“Jangan pukul Kak Nona, Mama,” pinta Tias kecil sampai beranjak remaja dan sekarang, Tias tetap sama. Penuh kasih sayang, meskipun dari rahim yang berbeda. Alasan Nona yang tak pernah membenci adiknya itu meskipun membenci Yanti—Mama sambung untuknya.
Bugh! Pukulan gagang sapu mendarat.
“Maaf Ma! Maaf ... maaf, Nona cuma nganterin temen belanja tadi. Maaf, maaf,” lirih Nona saat SMA, ketika perempuan itu masih lemah oleh keadaan, memilih menikmati sakit gagang sapu senjata Yanti dibandingkan memberontak dan mengancam akan meninggalkan ayahnya hingga Nona tersungkur dan berjanji tak mengulanginya lagi.
Namun, percuma. Sedikit kesalahan, tak ada maaf dan ampun. Gagang sapu tetap menghantam.
“Mana yang sakit, Kak? Dokter Tias siap ngebantu,” kata Tias saat masih bersekolah SD pada Nona yang sudah berseragam putih abu-abu.
Pukulan gagang sapu bahkan masih terasa di tubuh Nona sampai dengan saat ini jika mengingatnya.
Kata maaf... satu kata yang enggan dikatakan Nona apa pun kesalahannya karena ia pikir, maaf tak akan mengubah keadaan.
“Katakan maaf,” ulang Fadil memecah lamunan Nona tentang kejadian masa lalu.
“Aku nggak punya salah apa pun padamu,” ujar Nona tetap pada pendirian, “kalau dipikir, untuk apa takut Tias sakit hati setelah tahu hubungan kita. Bukannya lebih baik? Kali aja ia mengurungkan niatnya menikah denganmu. Hidupnya akan selamat.” Nona menyeringai sinis.
Fadil tertawa kecil mendengar hal itu, “Kamu begitu egois, Non.”
“Aku hanya menolak bentuk patriarki dalam rumah tangga, hingga memutuskan berpisah. Aku nggak ingin menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama, kita nggak sejalan. Untuk apa dipaksakan?”
“Dan kamu mau bebas tanpa anak,” tukas Fadil dan diangguki oleh Nona.
“Pintar... tepat kalau kamu memilih Tias. Dia adikku yang begitu penurut, tapi jangan sekali-kali menyakitinya, Dil. Karena, adikku lemah.”
“Aku bukan tipe pria yang mempermainkan perasaan dan menyakiti hati wanita karena akulah yang sudah jelas disakiti oleh wanita. Dan wanita itu adalah kamu,” tukasnya, Nona tersenyum tipis.
“Aku yakin nggak ada pria yang mau nikah sama wanita keras kepala dan juga punya pikiran aneh sepertimu,” tambah Fadil.
“Oh, ya?” cibir Nona.
“Dan aku bisa pastikan itu, Non!” sengit Fadil yang kecewa bukan kepalang. Ia pikir dua tahun menjalin hubungan bisa mengubah pikiran dan tujuan pernikahan Nona tanpa anak yang memang diterima awal oleh Fadil. Berharap Nona akan berubah karena cinta seiring waktu, tetapi ternyata percuma.
Obrolan mereka terhenti, saat Tias datang dengan ponsel dalam genggaman.
“Sekarang Kakak pilih model perhiasannya untuk pelangkah, mana yang Kakak suka?” kata Tias semringah.
**
Nona bersandar di ranjang, menghela napas panjang. Pernikahan Tias tiga hari lagi.
“Ayah tau kekurangan Tias, kenapa ayah izinkan menikah? Bagaimana kalau terjadi sesuatu setelah menikah? Terlebih saat Tias hamil?” cecar Nona pada sang Ayah.
“Mama-mu percaya Tias kuat,” sahut Ayahnya, “Fadil juga menerima kekurangan Tias, dia pria yang bertanggung jawab dan bisa menjaga Tias pastinya. Lalu, kenapa Ayah melarangnya?” sahut sang Ayah pasrah.
“Kakak enak, sehat, cantik, bisa pergi ke mana pun Kakak suka, sedangkan aku?” lirih Tias saat mereka mengobrol sebelum Nona memutuskan pulang ke kost-an.
Sebenarnya bukan pertama kali Tias mengatakan hal itu, kalimat yang sering terlontar dari mulut adiknya sejak kecil terlebih saat napas Tias terengah-engah seolah-olah terakhir kali ia bisa melihat dunia.
“Jangan hamil setelah nikah,” pinta Nona pada sang adik, bukan untuk meracuni seperti pikirannya—penganut pikiran Childfree. Namun, demi kebaikan Tias terutama kesehatannya.
“Karena dunia sudah penuh dengan manusia?” ledek Tias, “seperti apa yang suka Kakak bilang.”
“Khususmu bukan karena itu,” jawab Nona, “tapi karena Kakak mau kamu hidup lebih lama.”
“Tuhan yang menentukan hidup dan mati seseorang, Kak.” Tias tersenyum, lalu memeluk kakaknya, “satu hal yang pasti, aku sayang Kakak. Meskipun kita lahir dari rahim yang berbeda.”
Nona membalas pelukan, menghela napas panjang. Susah kalau memaksakan keinginan, Tias sudah bertekad bulat. Fadil berhasil mencuri hati adiknya.
“Awas kalau kamu nyakitin adikku, Dil.” Nona bergumam dengan posisi bersandar di kepala ranjang malam ini.
Tari keluar dari kamar mandi dengan rambut basah yang kini dikibaskan ke wajah teman satu kost-an yang sangat dekat bak saudara sejak masa kuliah di keperawatan.
“Kenapa Lo?”
Nona diam, malas menjawab.
“Masih nggak nerima kenyataan pahit kalo mantan jadi adek ipar, Non?” tanyanya, “cowok bukan dia doang kale, Loe cakep. Pasien, perawat sampe dokter ngantri. Loe tinggal pilih sebenarnya.”
“Cakep nggak jamin bahagia dan nemu cowok yang satu pemikiran, Ri.”
“Loe sih ribet, pakai segala nggak mau punya anak setelah nikah. Syarat awal hubungan kayak gitu mana ada yang mau, tujuan nikah enak dan anak.”
“Please jangan bikin gue tambah badmood.”
Tari ketawa, “Serah Loe deh, emangnya Tinder belum ada yang match? Nggak ada yang ngajak ketemuan gitu?”
Nona menyerahkan ponselnya ketika malas harus menjelaskan tentang aplikasi kencan yang rasanya tak bisa menemukan pria yang cocok untuknya.
Tari membuka chat lalu tak berapa lama terkikik, foto profil Nona menggunakan baju tugas sebagai perawat terpampang.
“Mbak ada pasien yang lagi mau disuntik?”
“Ada ... suntik mati. Mau?” Balas Nona.
Lalu, Tari ke chat lainnya.
“Hei!”
“Hell!”
“Belum kenalan udah dikasih neraka aja, Ya Tuhan.”
“Kalo mau cari surga, di telapak kaki Ibu. Bukan gue!!!”
Nona membalas dengan tanda seru berderet, Tari kembali terkikik lalu teriak pada sahabatnya.
“Gimana mau dapet jodoh galak kayak gini, Non. Nggak di duta, nggak dumay. Parah Loe!” teriak Tari.
Nona menyembulkan kepala dari dalam kamar mandi dengan wajah kesalnya, “Mending bantu gue apus tuh aplikasi,” omelnya.
“Payah Loe!” ledek Tari masih berselancar di aplikasi tinder sampai ia menemukan chat dari seseorang dengan profil setengah badan.
Maszea
Recently Active ☑️
Mencari pasangan hidup, saya single parent, belum pernah menikah dan belum punya anak.

Kali ini Tari terkikik lagi, “Non ada nih kayaknya oke, bio tindernya terkeren gue pikir. Single parent belum nikah, belum punya anak.”
Nona keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melingkar di kepala, “Coba ulangin, kepintaran gue kayaknya luntur habis mandi. Gue nggak paham tuh kalimat.”
“Sama gue juga, hahaha! Makanya unik gue bilang, bisa-bisanya single parent, belum nikah, punya anak,” sahut Tari tertawa.
“Udahlah apus aja tuh aplikasi, percuma. Gue udah patah arang, susah nyari yang sesekte. Lagian gue udah ngasih izin ke Tias,” ujar Nona tak bersemangat, “Ayo cepet berangkat. Kena semprit Bu Kepala ntar,” ajak Nona yang langsung mengambil baju dinasnya malam ini.
Tari hanya mengangguk dan mengulurkan jempol pada sang Sahabat, tetapi membalas chat tanpa sepengetahuan Nona sebelum menghapus aplikasi dengan seringai jahil.
“Akun Ig Nonamariska.”
Akun yang diketik Tari dan terkirim ke chat sebelum menghapus aplikasi.
Di tempat lain, seorang pria menarik kedua sudut bibirnya ke atas.
“Nona Childfree,” gumamnya yang langsung menemukan akun Nona dengan foto profil baju OK hijau, rambutnya terkuncir rapi dengan senyum terukir.
Di sisi lain, Tias mengatur napas kala sesak kembali terasa akhir-akhir ini.
“Aku ingin menikah Tuhan,” katanya lirih memegang dada dengan wajah mulai membiru.
~Bersambung~
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
