
(Thriller psikologi fiksi)
“Doakan kami supaya cepat mendapatkan keturunan,” ucapnya penuh kelembutan dan ketenangan tidak ada ekspresi marah sedikit pun.
Ahhh ... ekspektasi tak sesuai realita!
Bab 1
“Widya!”
Teriak Mama memanggil istriku kala kami tengah makan di kamar sepiring berdua, makanan ini pun aku yang mengambilnya di dapur meski ia yang memasaknya. Alasannya karena kenyang, padahal aku tahu ia lapar, namanya juga hidup menumpang jadi harus tahu diri, mungkin itu yang ia pikir.
Kalau aku sih biasa saja, lapar ya tinggal makan apa yang ada di dapur. Toh aku juga memberikan uang masak pada Mama meski tak seberapa menurut Mama tapi menurutku sudah ‘wah’ uang yang kuberikan dua juta sebulan, untuk membantu menutupi pengeluaran dapur anggota keluarga yang tinggal di rumah ini.
Istriku bertugas membersihkan seluruh sisi rumah, mencuci dan juga memasak untuk keluargaku. Namun, ia mengerjakan semuanya tanpa mengeluh. Belum lagi harus mengurus Bapak yang sakit, sering aku membantunya meringankan tugas rumah tangga, tidak menutup mata.
“Sudah, biarkan saja. Kamu selesaikan makan dulu, nggak baik meninggalkan makanan begitu saja,” ucapku menahan pergelangan tangan istriku yang penurut.
“Ndak baik begitu, Mas. Kamu habiskan saja makannya, aku juga sudah kenyang,” kata istriku dengan senyum tersungging di bibirnya yang tipis.
Aku mendengus kesal tapi Widya hanya mengelus punggung tanganku agar tetap sabar, lalu ia berdiri melangkahkan kaki keluar kamar. Baiklah aku yang akan menghabiskan makanan yang masih tersisa di piring, setelah itu baru menyusul istriku tercinta.
Baru beberapa suap makanan masuk ke dalam mulut, omelan Mama yang cukup kencang memekakkan telinga. Sontak aku keluar dari kamar untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
“Kamu tahu tidak, ini tuh gaun pesta Mama yang dibelikan Fiana, gaun mahal loh ini!” hardik Mama menunjukkan gaun yang kulihat terlihat menghitam dengan bentuk setrikaan yang tercetak di bagian depan dada.
Istriku hanya diam dengan menundukkan wajahnya, “Maaf, Ma,” ucapnya lirih.
Tidak tega rasanya melihat istriku di bentak oleh mama hanya karena kelalaiannya, aku menghampiri Widya, berdiri bersisian lalu menggenggam tangannya menyalurkan rasa nyaman dan aman untuknya.
‘Selama ada aku, kamu akan baik-baik saja, Sayang,' ucapku yang tertahan di hati.
“Sudahlah Mah, itu hanya baju biasa. Mama terlalu berlebihan membentak Widya, ia juga tidak sengaja melakukannya,” sergahku membela Widya.
“Bagus ya Irfan, sudah berani kamu membela istrimu di depan Mama, hah?!” Kini amarah Mama ditujukan untukku.
Biarlah luapkan saja amarah Mama padaku asal jangan Widya yang menjadi sasarannya, sungguh aku mencintainya, selain berparas ayu khas perempuan Jawa tulen asli Indonesia, ia juga penurut dan penuh kelembutan.
“Bukan seperti itu, Ma. Jangan keterlaluan galaknya sama Widya, ia juga menantu Mama bukan hanya Kak Fiana,” ujarku yang akhirnya membandingkan dengan istri kakakku yang bergaya sosialita.
Aku dua bersaudara, kami tinggal dalam satu rumah karena aku belum memiliki rumah sendiri, rumah ini saja punya kakak iparku, keluarga kami hidup pas-pasan mendapatkan menantu sekaya Kak Fiana sungguh mukjizat yang luar biasa padahal tampang kakakku biasa saja, lebih tampan aku pastinya.
Mama sangat mengagungkan Kak Fiana karena apa pun keinginan Mama akan diberikan oleh Kak Fiana, ia bekerja di salah satu butik yang cukup terkenal di kalangan elit artis ibukota sebagai pengelola butik tersebut.
Aku bertemu Widya saja di butik milik Kak Fiana, ia sebagai SPG di sana. Pribadinya pendiam tidak kegenitan seperti SPG yang lain.
“Ada apa sih ini ribut-ribut?” tanya seseorang yang turun dari tangga dengan dress selutut, polesan riasan yang tebal, gincu yang merah menyala bukan hanya itu ketika berkedip bagian kelopak matanya berkelip bahkan bulu mata palsunya membuat ia terasa berat untuk berkedip.
Ya Tuhan tersiksanya ia sebagai perempuan!
Untung istriku tidak seperti itu.
“Ini loh, Fiana. Lihat! Gaun yang kamu berikan hampir bolong karena ulahnya.”
Mama mengadukan Widya pada menantu kesayangannya itu.
“Ya ampun, Widya! Kalau kamu nggak bisa membahagiakan Mama, jangan buat dia sedih dong. Kamu tahu gaun ini tuh mahal, bahan sutera berkualitas, gaji kamu waktu jadi SPG 3 bulan baru bisa membeli gaun ini!”
Hardik Kak Fiana dan mencebik kesal juga ke arah Widya.
“Maaf, Kak, aku tidak sengaja.”
“Maaf tidak akan mengembalikan baju mahal ini, paham?! Jadi percuma kamu meminta maaf bahkan sampai ribuan kali!” tukas Mama dengan raut wajah penuh kekesalan.
“Sudah lah Ma, Kak, bajunya sudah tidak bisa di pakai percuma juga kalian memarahi istriku, seperti apa yang kalian katakan, tidak akan mengembalikan baju menjadi bagus kembali dan tidak mampu juga membelinya, sayangi energi kalian!” ucapku tidak mau kalah membela istriku.
“Kamu juga sih, menikahi perempuan kampung seperti Widya ini, ndeso! Kolot! Nggak punya apa-apa, miskin! Sebatang kara!” umpatan-umpatan Mama untuk istriku.
“Coba kamu menikah dengan perempuan kaya, lihat abangmu yang mendapatkan Fiana, bahagia semua kecukupan tanpa pikir panjang kalau mau beli ini dan itu.” Lanjutnya.
Panas rasanya kuping ini mendengar umpatan Mama, melirik sekilas Widya tetap saja menundukkan kepala tanpa menyahut, ia bukan menantu memberontak atas perlakuan mertuanya, dia berbeda. Kesabarannya seperti tanpa batas, semakin cinta jadinya ....
“Duh, Ma ... namanya juga cinta, tidak memandang harta yang penting ini,” ucapku menunjuk satu telunjuk ke dada.
“Halah nggak penting cinta, yang penting ini!” Kak Fiana menyatukan jari telunjuk ke jempol seraya menggesekkan jari-jari tersebut isyarat ‘uang’.
Sombongnya!
“Loh Kak, memangnya nggak ngaca, Kak Fiana menikah dengan Bang Gana memang punya apa? Bahkan kami sekarang menumpang sekeluarga di rumah Kak Fiana, iya ‘kan?” tanyaku sinis.
Skakmat!
Aku lelaki tapi dari lahir memang seperti ini, pantang lemah apalagi saat adu mulut, aku lah juaranya. Mungkin karena itu juga jodohku pendiam, sabar, dan penurut. Berkebalikan dengan diriku yang berani melawan siapa pun jika dalam posisi benar, atau bisa jadi karena umurku lebih muda dari Widya, aku 24 tahun sedangkan Widya 28 tahun, jadi ia lebih dewasa.
“Kurang ajar ya kamu, Irfan! Kalau bukan karena Mama melarang mengusir kalian akan kuusir kalian dari rumahku!” tukasnya yang terlihat emosi.
“Asal Kak Fiana ingat juga, kalau bukan karena Mama aku tidak ingin tinggal di sini dan juga kalau Widya tidak meminta menuruti keinginan Mama, aku sudah angkat kaki dari rumah ini!” ucapku tegas.
Walaupun hanya di rumah saja, tapi bukan berarti aku tidak perpenghasilan, lulusan S1 sastra Indonesia menjadikanku seorang penulis dan juga editor di salah satu penerbit dan juga penulis di salah satu platform. Setelah lulus kuliah aku langsung menikah dengan Widya, untuk apa pacaran segala, dan akhirnya putus, aku tidak suka hubungan main-main.
Aku punya skill dan juga ijazah pendidikan S1 sastra yang akan menjadi modal menafkahi istri dan anakku kelak meski tidak bisa memastikan akan bergelimang harta paling tidak tetap usaha, ya ‘kan?
Penghasilan yang kudapat melebihi penghasilan Bang Gana sebagai karyawan perusahaan swasta, tapi penghasilan tersebut hanya aku dan Widya yang tahu. Yang tidak tahu aktivitasku pasti menyangka aku ini pemuda yang lulus sarjana, pengangguran dan tidak berpenghasilan, padahal walaupun lebih banyak di dalam kamar aku tetap berkarya dan bekerja.
“Dasar kamu ya tidak tahu terimakasih, sudah numpang hidup malah belagu!” hardik kakak iparku.
Aku bergeming, menarik pergelangan tangan Widya untuk masuk ke dalam kamar.
“Pergi sana ke kamar, mau kamu tindih istrimu berkali-kali pun tidak akan membuatnya hamil, salah satu dari kalian pasti mandul!” ucap Kak Fiana dengan menaikkan intonasi suaranya.
Widya menghentikan langkahku dengan menahan tarikan pergelangan tangannya setelah mendengar ucapan Kak Fiana.
“Apakah istriku akan memberontak marah setelah mendengar ucapan pedas itu?” tanyaku dalam hati bersorak bahagia, akhirnya ia bisa marah juga.
Tapi, tunggu ...
Satu.
Dua.
Tiga.
Tidak ada sahutan ketus yang terlontar dari mulut Widya.
“Doakan kami supaya cepat mendapatkan keturunan,” ucapnya penuh kelembutan dan ketenangan tidak ada ekspresi marah sedikit pun.
Ahhh ... ekspektasi tak sesuai realita!
Seketika hanya bisa mengusap dada melihat kesabaran dan kelembutan istriku, lalu aku menarik pergelangan tangannya kembali untuk masuk ke dalam kamar dan menutup pintu cukup keras menyalurkan rasa kesal.
“Widya! Irfan!” teriak kakak iparku dari luar.
Aku berniat membuka pintu kamar, energiku masih kuat untuk melawannya. Namun, pergelangan tanganku di genggam oleh Widya.
“Jangan, Mas! Kasihan Bapak akan bangun jika mendengar keributan kita, demi Bapak,” kata Widya penuh kelembutan seraya tersenyum hangat.
Alasan bertahan di rumah ini karena Bapak yang lumpuh dan sangat bergantung padaku dan juga Widya, sedangkan Ibu sibuk dengan kelompok sosialitanya yang mendapat dukungan dari Kak Fiana, Bang Gana sibuk bekerja sebagai karyawan kantoran.
Biaya pengobatan Bapak pun aku dan Widya yang menanggungnya, “Urusan yang membahagiakan aku, untuk biaya rumah sakit kamu dong, bagi tugas.” ucapan Kak Fiana yang keberatan membiayai pengobatan Bapak. Oleh sebab itu aku harus ikat pinggang dalam hal keuangan.
Widya tidak keberatan untuk hal itu, bahkan ia sangat berbakti mengganti popok Bapak yang dipenuhi kotoran. Istriku sederhana, tidak banyak gaya. Yang terpenting uang untuk menebus obat Bapak dan biaya fisioterapi Bapak bisa terpenuhi, belum lagi cuci darah rutin yang harus Bapak lakukan.
Kak Fiana adalah menantu Bapak dan Ibu yang sejak awal selalu cekcok denganku meskipun biaya kuliah dia lah yang membiayainya atas permintaan Ibu, sungguh bukan inginku tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa ketika Ibu yang memaksaku menerima uluran tangan Kak Fiana.
“Heh, adik nggak tahu diri, keluar kamu!” Teriak Kak Fiana dari luar.
“Dek, biarkan Mas yang bicara, janji nggak pakai urat,” ucapku pada Widya.
Walaupun umurku lebih muda, panggilan ‘Mas’ tetap menjadi panggilan sayang antara aku dan Widya. Jika sudah seperti ini, Widya akan menurut dan pasrah ....
Saat membuka pintu, Kak Fiana sudah berkacak pinggang dengan angkuhnya.
“Kembalikan semua biaya kuliah yang kukeluarkan jika tidak menurut semua ucapanku!” Ancamnya.
Duh ... royalti yang kudapatkan dan tabunganku saat ini tentu saja belum cukup untuk mengganti biaya kuliah yang ia keluarkan, belum biaya pengobatan dan biaya harian kami, bagaimana ini?
~Bersambung~
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
