Jangan Duakan 5

4
0
Deskripsi

“Boleh mencium suami di depan umum enggak, Mas?”

“Hah?!”

Mas Rauf tampak tak percaya dengan pertanyaanku yang sedikit ‘menggoda’.

💕 Happy reading 💕

“Senja—"

Aku bersiap mendengarkan keputusannya, degup jantungku berdegup cepat ....

“Tidak ada kata perceraian, jangan pernah menyerah oleh keadaan. Kita akan berjuang bersama, apa pun kondisi Mama,” ungkap Mas Rauf sangat lembut yang langsung merengkuh tubuhku ke dalam dekapannya hingga degup jantungnya terdengar.

“Rauf, apa kamu tidak menyesal nantinya?” tanya Papa yang masih berharap Mas Rauf merubah keputusannya.

“Insyaallah, Pa, ini yang terbaik.”

Sifat Papa lebih bijaksana dibandingkan Mama.

“Jika kamu memutuskan memilih Senja, maka Papa akan berada di pihak Mama. Pergilah dan jangan lagi kamu tampakkan wajah di rumah ini lagi, mulai sekarang kamu bukanlah anak kami. Ternyata benar apa yang dikatakan Mama ... Senja bukanlah perempuan baik yang bisa menuntunmu agar tidak membangkang pada orangtuanya, perempuan egois. Papa sangat kecewa pada kalian,” tukas Papa.

Astaghfirullah ... kukira Papa tetap bijaksana, ternyata aku salah, kini bukan hanya Mama yang murka dengan keputusan Mas Rauf tetapi Papa pun murka terhadapnya.

“Pa ... Senja mohon jangan berpikir seperti itu,” ucapku angkat bicara kali ini meluruskan pemikiran Papa.

“Diam kamu, Senja!” bentak Papa yang tidak mau mendengar ucapan terlontar dari mulutku.

“Seandainya Papa berada di posisi Mas Rauf, Papa akan memahami keputusan berat ini. Menzalimi istri atau terzalimi Ibu kandung sendiri,” kataku lagi yang tetap memberikan penjelasan.

“Tidak akan ada yang terzalimi jika kamu mau di poligami.”

Lagi, tuntutan agar aku mau di poligami. Sesuatu yang kutolak mentah-mentah sejak awal kini diungkit kembali.

“Cukup, Pa!” potong Mas Rauf yang sedari tadi diam.

Dia menggeleng kepala kearahku, mengisyaratkan agar berhenti berucap. Ya ... percuma saja membela diri di hadapan Papa atau pun Mama, mereka terlalu egois untuk sekadar mendengarkan ucapan anak dan menantunya, bagi mereka kami lah yang patut di persalahkan terutama, aku yang tidak menerima jika Mas Rauf melakukan poligami.

“Rauf, pamit.”

Mas Rauf mengulurkan tangan ke arah Papa, tapi tangan itu langsung di tepis oleh beliau. Dengan tersenyum getir Mas Rauf menarik kembali tangannya, dia menggengam tanganku lalu menarik begitu saja tangan ini agar mengikuti langkahnya.

Keputusana Mas Rauf sudah bulat, kami akhirnya meninggalkan istana megah tapi bak neraka di dalamnya untukku.

**

Kami sudah tiba di sebuah ruko yang cukup besar, ruko 2 lantai yang dijadikan kafe, bangku tertata rapi beberapa karyawan kafe sudah sibuk mempersiapkan pembukaan Kafe. Mas Rauf membawaku ke ruang paling belakang dari kafe ini, sepetak kamar yang mungkin akan kami tempati nantinya.

Selama dalam perjalanan tidak ada yang bersuara, kami larut dalam pikiran masing-masing. Hanya genggaman tangan yang tak lepas.

“Ini usaha kita sekarang, usaha sekaligus tempat tinggal kita untuk sementara sampai nantinya Mas menemukan tempat tinggal yang cocok,” ucapnya seraya tersenyum hangat kearahku.

Senyum pertama yang dia tampakkan sedari tadi, dia memang paling bisa menyembunyikan perasaan hanya untuk membuatku tenang.

“Tinggal di sini juga tak masalah, Mas. Asal kita selalu bersama,” ucapku dengan kekehan karena ucapan yang terlontar seperti gombalan.

“Insyaallah kita akan selalu bersama, Sayang.”

Dia menangkupkan tangan ke sisi kanan-kiri wajahku.

“Tetaplah tersenyum seperti ini, itu sudah cukup membuatku bahagia. Terdengar klise, tapi aku sungguh hanya ingin membuatmu tersenyum. Lupakan ucapan Mama yang menyakitimu, ingatlah aku yang selalu mencintaimu, janji!”

Aku mengerjapkan mata, lagi ... terharu dengan ucapan yang terdengar tulus. Akulah perempuan yang paling beruntung karena dicintai olehnya, lelaki sempurna yang kutemui selama hidupku. Lelaki pertama yang kucintai sepenuh hati, cinta pertama anak perempuan katanya sosok Ayah. Tapi untukku adalah Mas Rauf, karena aku tidak mengenal sosok yang sering di sebut Ayah.

Mataku berembun, aku berhambur memeluk tubuhnya agar perasaan ini tenang.

“Terima kasih, Mas. Aku janji akan selalu tersenyum untuk membahagiakanmu, apa pun kondisinya. Tak peduli akan sesakit apa, asalkan pada akhirnya ada kamu yang menggenggam tanganku.”

“Insyaallah,” sahutnya yang mengelus punggung tubuhku dengan sayang.

Selalu ... ucapannya menenangkan dan senyumnya membahagiakan, cinta pada kekasih halal. Doaku selalu tersemat namanya agar kami sehidup sesurga.

“Ekhemm!”

Dehaman seorang pria terdengar, pria yang tak kukenal berada di depan pintu. Mas Rauf meregangkan pelukan, ia menoleh ke arah sumber suara.

“Sorry Bro, ganggu.”

Mereka bersalaman dengan saling melempar senyum.

“Bilang aja ngiri karena enggak punya pasangan,” seloroh Mas Rauf.

“Maybe,” sahutnya dengan cengiran.

“Senja, perkenalkan ini teman yang bekerjasama membuka kafe ini, namanya Fathan.”

Aku menangkupkan satu tangan di depan dada, “Senja,” ucapku memperkenalkan diri.

“Perkenalkan saya Fathan, Mbak.”

“Panggil Senja saja, Fathan. Umur istriku masih muda,” timpal Mas Rauf.

“Baiklah, Senja-Rauf semoga kalian betah tinggal di sini. Hanya ini yang bisa kubantu untuk sahabatku, memberikan jalan usaha dan sepetak tempat tinggal.”

“Aku berterima kasih banyak padamu, Fathan.”

“Pengelolaan kafe akan aku percayakan semuanya padamu, Rauf. Mudah-mudahan akan semakin berkembang, menghasilkan keuntungan untuk kita berdua.”

“Insyaallah, percayakan padaku, Fathan. Karyawan tidak perlu banyak, bagian kasir biar istriku yang berjaga, sementara aku menghandle stok bahan makanan dan lainnya. 6 pramusaji sudah cukup, jangan menambah karyawan untuk meminimalkan biaya operasional,” kata Mas Rauf yang menjelaskan rencananya pada pemilik kafe ini yang merupakan temannya sendiri.

Mereka melakukan obrolan di luar kamar, sedangkan aku merapikan barang yang masih berada di tas. Ruangan yang tidak besar tapi sangat berarti untuk kami, saudara Mas Rauf tentulah tidak ada yang bisa menolong karena sudah di cap negatif sebagai anak pembangkang. Bersyukur ada seorang teman yang masih mau membantu kami, walaupun kuyakin Mama dan Papa tidak akan tinggal diam begitu saja, apa yang tidak bisa mereka lakukan dengan uang?

Aku hanya berdoa, apa yang kukhawatirkan tidak terjadi. Aku dan Mas Rauf bisa hidup mandiri dan kelak bisa menghadirkan buah hati dalam pernikahan kami.

**

“Bismillahirrahmanirrahim, kita berdoa sebelum membuka kafe ini. Mudah-mudahan semua berjalan dengan lancar dan pelanggan akan membanjiri kafe kita dengan banyaknya pesanan.”

Kami berdoa dengan menundukkan kepala, doa di pimpin oleh Fathan selaku pemilik kafe. Lantunan doa yang terdengar fasih, kami semua khidmat berdoa. Setelah selesai memimpin pembukaan Kafe, Fathan pamit undur diri. Yang kutahu dia adalah seorang dosen di universitas tidak jauh dari kafe ini, membuat Mas Rauf semakin yakin kafe ini akan berkembang karena pemilik kafe merupakan dosen.

Aku menatap lekat Mas Rauf yang menyuruh karyawan kafe melakukan pembenahan dan persiapan, tidak ada dasi dan setelan jas yang biasanya dia pakai. Seragam yang dia pakai sama seperti karyawan yang lainnya, aku tak putus memperhatikan gerak-gerik Mas Rauf yang penuh semangat.

Sesekali dia melempar senyum saat kami bersitatap, keningnya dipenuhi peluh keringat. Pekerjaannya bukan berkutat pada laptop dan pulpen, dia ikut mengangkat barang-barang seperti karyawan yang lain. 

“Allah kuatkan suamiku menjalani hari-hari barunya tanpa kemewahan yang biasa dia dapatkan.” Doaku dalam hati.

 Darinya aku belajar  hidup tidaklah bertambah mudah tapi kitalah yang harus bertambah kuat, Mas Rauf menghampiriku dengan senyuman yang tak pernah luntur dari wajah tampannya.

“Aku tahu suamimu ini tampan sampai tatapanmu tak beralih sedari tadi,” ucapnya sambil menoel-noel daguku.

“Boleh mencium suami di depan umum enggak, Mas?”

“Hah?!”

Mas Rauf tampak tak percaya dengan pertanyaanku yang sedikit ‘menggoda’.

Suamiku ... mudah-mudahan seluruh peluh dan tetesan keringat yang kau keluarkan dalam mencari nafkah, Allah berkahi dan di balas dengan syurga, aamiin. Doaku dalam hati.

Mas Rauf memajukan wajah setelah aku sedikit menggodanya.

"Boleh sepuasnya di dalam kamar, tidak di depan umum, Sayang."

Elusan di puncak kepala kuterima, masyaallah manisnya suamiku.

Kuharap ini bukanlah kebahagiaan sesaat ....

~Bersambung~

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Jangan Duakan 6
2
0
“Kamu mending enggak usah ikut melayani pengunjung deh, Mas,” omelku saat kami sudah menutup kafe dan tinggal bebenah.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan