
“Ini lah buah keikhlasan dan ketulusan, seandainya kamu yang menyuruhku untuk menentang Mama kemungkinan besar aku menolaknya dan memilih menerima permintaan Mama. Kamu mau tahu kenapa?” tanyanya kemudian.
Bab 3--Apa yang Terjadi?
💕 Happy reading 💕
“Jangan menangis, jelek!” Ledek Mas Rauf saat malam ini juga kami berkemas.
“Maaf.”
Entah berapa kali aku mengucapkan kata itu, ia duduk di sampingku, mengelus pipiku lalu tersenyum hangat.
“Mau sampai kapan kamu meminta maaf, hmm?"
“Karena memilihku, hubungan Mama dan Mas jadi keruh seperti ini.”
“Aku imam-mu ‘kan?”
“Ya ... tentu saja, kenapa bertanya seperti itu?”
“Khawatirnya kamu sudah tidak menganggapku, kemarin kan bersikukuh bercerai, meninggalkan suamimu ini padahal masih cinta,” sindirnya sambil terkekeh.
Cubitan di perut kulayangkan, hingga ia meringis merasakan sakit. Tetapi tetap menampilkan senyum.
“Ini lah buah keikhlasan dan ketulusan, seandainya kamu yang menyuruhku untuk menentang Mama kemungkinan besar aku menolaknya dan memilih menerima permintaan Mama. Kamu mau tahu kenapa?” tanyanya kemudian.
Aku mengangguk pasti, menatapnya lekat, penasaran alasannya bersikap seakan menuruti apa kata Mama sebelum memberikan keputusan malam ini. Kami duduk bersisian di bibir ranjang, kepalaku di sandarkan pada bahunya yang kokoh, satu tangan mengelus pipiku dengan lembut.
“Kamu telah menunjukkan bakti pada orangtuaku, tidak membiarkan aku menjadi anak durhaka dengan pandangan pribadimu yang harus menuruti apa pun yang diinginkan Mama termasuk memberi madu atau bercerai. Jangan kita ikuti sesuatu yang salah, jika aku memilih keinginan Mama sama saja aku menzalimi istri dan diriku sendiri,” ungkapnya.
Kedua tangannya kini berada di bahuku, kami duduk berhadapan dan saling bertatapan.
“Kamu istri saliha.”
“Berbakti pada orang tua.”
“Menurut pada suami.”
“Istri sempurna di mataku, tak ada alasan kuat aku menceraikanmu. Istri saliha yang akan terus kupertahankan, paham?”
Aku mengangguk paham, terharu mendengar ucapan suamiku. Kukira aku akan berpisah dengannya, desakan Mama yang begitu kuat ternyata tidak melemahkan suamiku bahkan ketika aku sudah pasrah dan menyerah oleh keadaan.
Cup!
Kecupan hangat mendarat di kening, hangatnya menjalar sampai ke hati yang melepaskan kesedihan, ketakutan akan kehilangan, segala rasa gundah dan resah entah menguar kemana tergantikan dengan rasa lega.
“Tapi ... aku belum bisa memberikan keturunan dalam rumah tangga kita.”
“Kita akan terus usaha, secara medis mau pun non medis.”
“Adakah Mas cara non medisnya?” tanyaku serius.
“Tentu ada, proses pembuatan jangan dihentikan makanya aku menolak perceraian,” ucapnya tertawa kecil, aku hanya mengulum senyum.
Di balik tawanya dia menyimpan beban, seperti biasa suamiku paling pintar menyembunyikan perasaannya dengan sikap santai yang dia tunjukkan. Sampai aku susah menebak jalan pikirannya, dia terlalu pintar menyembunyikan semuanya dariku, hanya untuk membuatku tenang, nyaman dan bahagia.
Beruntungnya aku memiliki suami seperti Mas Rauf, walaupun terkadang aku minder dan merasa tidak pantas untuknya.
**
“Ini uang belanja bulanan yang aku kumpulkan, dikembalikan atau tidak ke Mama, Mas?” tanyaku yang memegang buku tabungan beserta ATM.
Nominal dalam buku tabunganku cukup lumayan banyak, hasilku menabung dari pemberian nafkah suamiku setiap bulannya. Selama 2 tahun pernikahan, dia rutin mentransfer uang ke rekeningku walaupun semua kebutuhan sudah terpenuhi.
“Itu tidak termasuk harta Mama dan Papa itu sudah menjadi hakmu, kewajibanku memberikan nafkah secara materi. Simpanlah!”
“Baiklah, nanti akan aku gunakan membuka usaha kecil-kecilan.”
“Kamu atur bagaimana baiknya, Sayang. Lihat!”
Mas Rauf menunjukkan beberapa aset milik orangtuanya, ATM, BPKB, dan aset lainnya sudah berada dalam satu tas penuh.
“Kita akan memulainya dari awal, insyaallah kita akan bisa mandiri tanpa bantuan Mama atau pun Papa. Mas akan kembalikan semuanya pada Mama.”
“Aku akan menuruti apa pun yang kamu pikir baik, Mas. Tapi, dimana kita akan tinggal?” tanyaku penasaran.
Dari semalam tidak ada obrolan tentang di mana kita akan tinggal setelah keluar dari istana mertuaku, bukannya menjawab ia malah tersenyum penuh arti yang membuatku semakin penasaran.
“Ra-ha-sia, terpenting kita tetap bersama.”
Jawaban yang semakin membuatku penasaran.
“Siap?” tanyanya kemudian yang sudah membawa barang kami.
Satu tas ransel di pundaknya, 2 koper pakaian dan satu tas ransel dipundakku dan satu tas tenteng di tanganku.
“Insyaallah, kamu yakin, Mas?”
“Insyaallah,” jawabnya yakin.
Sejak perdebatan semalam ini kali pertama kami keluar dari kamar, Mas Rauf langsung menaruh semua barang bawaan kami ke taksi online yang sudah menunggu di depan. Aku duduk terpaku di ruang tamu keluarga ini, dihadapan Mama dan Papa bak sedang diadili.
Tatapan Mama begitu sinis saat melihatku, hanya bisa menautkan tangan dan mengucapkan istighfar dalam hati yang bisa kulakukan sambil menunggu Mas Rauf menaruh barang-barang di taksi yang sudah berada di depan rumah.
“Senja, tidakkah kamu kasihan pada kami?” tanya Papa.
“Seharusnya kamu sebagai istri jangan menyusahkan suamimu,” celutuk Mama.
“Tetap tinggal di sini lalu turuti apa saja keinginan Mama, tidak ada salahnya ‘kan?” tanya Papa ikut menimpali.
“Kamu memang membawa pengaruh buruk untuk Rauf sejak awal, sehingga ia menjadi pembangkang.”
“Tidak perlu menekan Senja, Ma, Pa. Ini adalah keputusan Rauf, jangan harap Rauf akan kembali ke rumah ini jika Mama tetap tidak berubah,” sahut Mas Rauf bernada ancaman.
Setelah duduk, Mas Rauf memberikan satu tas berisi aset-aset milik keluarganya. Dia tersenyum getir melihat sesuatu yang baru saja diserahkan, Mama dan Papa menggeleng tak percaya.
“Rauf kembalikan semua fasilitas Papa dan Mama, terimakasih dan maaf jika Rauf belum bisa membahagiakan Mama dan Papa. Kami pamit,” ucapnya langsung meminta izin.
Mama berdiri, mengambil tas yang diserahkan Mas Rauf dan tanpa kuduga menghamburkan isi dalam tas hingga berserakan di lantai.
“Selangkah kalian keluar dari rumah ini, Mama pastikan tidak ada kebahagiaan barang seujung kuku pun yang akan kalian rasakan!” ancam Mama dengan keangkuhannya.
Allah ... sumpah serapah seorang Ibu kembali terlontar.
“Allah maha tahu, Ma. Rauf pamit ....”
“Tidak, Nak. Jangan pergi dari rumah ini. Lihat Papa.”
Suamiku tetap bergeming, dia berdiri dan mengulurkan tangan ke arahku. Kusambut uluran tangan itu, baru saja maju beberapa langkah, ucapan Mama menghentikan kami.
“Berhenti, lihat Mama,” ucap Mama cukup keras dengan suara bergetar.
Kami berhenti dan menoleh ke arah Mama, mataku membulat melihat sesuatu yang membuat kami terkejut bukan kepalang.
“Innalilahiwa’innailaihi ro’jiun,” pekik Mas Rauf.
~Bersambung~
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
