Sajadah Cinta Malaikat - 07&08

134
16
Deskripsi

Bab 07 dan 08

Bab 07

Hari minggu yang sibuk bagi Naya. Sejak pagi ia harus mempersiapkan nasi kotak yang akan ia bagikan di acara baksos karang taruna. Tepat selesai salat Ashar, semua pemuda dan pemudi karang taruna berkumpul di balai pertemuan. Semua makanan dan minuman di kumpulkan pada sebuah mobil pick up milik salah satu warga komplek.

"Buruan berangkat! Keburu hujan nanti!" ajak ketua karang taruna.

Beberapa ada yang menggunakan motor, ada yang menggunakan mobil. Karena ada Haura, Naya dengan beberapa remaja putri ikut di mobil milik sahabatnya itu.

Menempuh perjalanan sekitar setengah jam, mereka tiba di titik lokasi. Salah satu taman di mana banyak orang-orang yang membutuhkan sumbangan.

Gemuruh di langit gelap yang mendung membuat mereka semua bergegas, menyebar ke beberapa sudut agar cepat selesai. Termasuk Naya, ia berpencar membawa dua kantong plastik berisi nasi kotak dan air mineral. Ia bagikan pada pengemis, tukang becak, dan siapapun orang yang terlihat membutuhkan.

Belum habis isi dari kantong plastiknya, tetesan air hujan mulai membasahi bumi. Semua orang berlarian mencari tempat berteduh. Naya yang juga kelimpungan mencari tempat berteduh segera menghentikan langkah ketika melihat pengemis tua yang terlihat sangat kesusahan untuk berdiri. Ia letakkan kantong plastiknya dan membantu nenek tua itu berdiri.

"Bisa jalan pelan-pelan, Nek?" tanya Naya di antara guyuran hujan.

Nenek itu mengangguk pelan. Naya merangkul tubuh bungkuk yang kurus kering itu. Hatinya seakan tersayat merasakan bagaimana nenek itu berusaha berjalan sekuat tenaga.

"Pelan-pelan ya, Nek."

Naya sudah tak memedulikan badannya yang basah kuyup. Trotoar yang tadinya ramai perlahan sepi. Semua orang sudah menemukan tempat berteduh, sedangkan ia masih harus mengiringi langkah nenek yang  tertatih.

Tiba-tiba saja ia melihat seseorang keluar dari mobil yang terparkir di bahu jalan kemudian berlari ke arahnya. Naya terbelalak melihat siapa dia. Belum sempat berkedip, Naya dibuat terkejut saat pria itu  menggelar jaket di atas kepalanya dan kepala nenek.

"Nek, saya gendong ya!"

Pria itu memberikan jaketnya pada Naya kemudian menggendong nenek pergi mencari tempat berteduh terdekat. Setelah mengambil kantong plastiknya, Naya berlari mengikuti langkah pria yang sangat dikenali tersebut.

Sebuah teras toko yang yang masih menyisakan tempat kosong untuk berteduh menjadi tujuan mereka.

"Dudukin di sini aja neneknya, Mas." Naya mengambil kursi plastik yang entah siapa yang punya.

Pria itu menuruti perintah Naya dan mendudukan nenek di kursi. Wanita cantik berhijab dark grey itu tak segan membersihkan tubuh nenek yang kotor dan basah kemudian melindungi dengan jaket milik pria di depannya. Tak lupa Naya memberikan nasi kotak agar dinikmati nenek tua tersebut sambil menunggu hujan reda.

"Makasih sudah bantu kami, Mas Aga," ucap Naya setelah beberapa waktu tidak ada percakapan di antara mereka.

Aga mengangguk tanpa menoleh.  Naya hanya menghela napas melihat sikap pria tersebut. Tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Semua orang di teras toko tersebut diam, sibuk memandangi hujan yang tak kunjung reda.

Melihat nenek yang selesai makan, Aga mengambil air mineral dalam kantong plastik Naya dan memberikannya pada nenek. Ia duduk jongkok memperhatikan wanita tua tersebut.

"Nenek tinggal sama siapa?" tanya Aga.

"Cucu." Suara itu terdengar sangat lirih.

Aga mengernyit, hal itu membuat Naya ikut jongkok karena penasaran dengan jawaban nenek. "Nenek tinggal di mana?"

Wanita tua itu menyebutkan salah satu perkampungan yang jaraknya sedikit jauh dari tempat mereka saat ini. Mendengar itu wajah Aga terlihat seperti memikirkan sesuatu.

"Nenek mau ikut tinggal di tempat saya saja?"

Nenek itu menatap Aga. Ia hendak mengangguk, tapi kedatangan dua orang pria yang menggunakan becak motor membuat nenek tersebut menunduk ketakutan.

"Ayo, Mbah! Pulang!" ajak seorang pria muda. Ia melepaskan jaket dari tubuh kurus wanita tua itu dan menyerahkannya pada Aga.

"Hati-hati, Mas!" Naya mencoba membantu nenek berjalan karena pria muda itu terlihat tidak sabar membantu jalan, "orang tua ... gandengnya hati-hati," pesannya.

Setelah memastikan nenek masuk di dalam becak motor, Naya segera kembali ke teras toko karena hujan masih cukup deras. Ia berdiri dengan mengambil jarak di samping Aga.

"Mas mengira kalau pria tadi menyuruh neneknya mengemis?"Naya membuka percakapan.

"Ya!" jawaban Aga membuat Naya menoleh kaget.

"Kalo gitu kita harus kejar mereka!"

"Kamu nggak bisa datangi mereka tanpa bukti."

"Nenek itu bisa menjadi bukti."

"Dia tidak bisa."

"Kenapa?"

"Nay!"

Perhatian beberapa orang di teras toko itu teralihkan pada wanita cantik di seberang jalan yang membawa payung. Itu Haura, melambaikan tangan dengan riang pada Naya.

"Aku ke sana!" ucap Naya dengan sebuah gerakan.

Haura menggeleng cepat dan memberi isyarat jika dia yang akan ke sana. Naya mengangguk paham. Ada Aga, itulah alasan Haura.

"Aku nyari kamu ke mana-mana!" sergah Haura ketika tiba di depan Naya. "Eh, Mas Aga?" Haura berpura-pura kaget. Acting yang sangat buruk sampai membuat Naya terkekeh kecil, sedangkan Aga hanya mengangguk datar kemudian kembali manatap tegak ke depan.

"Kok bisa sampai sini sih, Nay?" tanya Haura pada Naya, tapi pandangan itu tak teralih pada pria berpostur tinggi yang sama sekali tidak terusik dengan kehadirannya.

"Yang ditanya di sini kenapa lihatnya ke sana?" gemas Naya menangkup pipi Haura agar menatapnya.

Haura justru memberi isyarat untuk melihat Aga dan Naya menurut. "Badannya bagus," bisik Haura lirih.

"Astaghfirullah, Ra!" pekik Naya pelan seraya menundukkan pandangannya. Ia memukul Haura berkali-kali karena sudah melihat lengan atas dan sebagian dada Aga dari balik kemeja putih yang basah. "Ayo ke temen-temen! Nggak baik lama-lama di sini."

"Yah, Nay! Belom juga ngobrol," rengek Haura pelan.

"Aku tinggal, nih!"

"Oke oke!" sahut Haura cepat.

"Mas, terima kasih bantuannya. Aku permisi dulu. Assalamu'alaikum." Naya mengambil dua kantong plastiknya dan menarik tangan Haura.

"Mas Aga ... saya pamit dulu." Haura membuka payung dan mengikuti langkah Naya.

Dalam perjalanan menuju ke teman-temannya,  Naya menceritakan bagaimana dia bertemu dengan Aga setelah mendapat cecaran pertanyaan Haura.

"Ih, keren banget sih tuh orang, Nay. Cowok banget, sumpah!" Binar di wajah Haura menunjukkan kekaguman yang begitu besar.

"Ra!"

"Hm?"

"Titip ini, ya! Aku mau pergi ke suatu tempat." Tiba di tempat berteduh teman-temannya, Naya meletakkan sisa nasi kotak yang belum dibagikan.

"Loh, ke mana? Udah hampir Maghrib, Nay! Masih hujan juga."

"Ada yang pengen kulurusin, Ra." Naya menghampiri salah seorang muslimah yang lebih muda darinya. "Hanifah, Mbak boleh pinjem motor kamu. Nanti Mbak balikin langsung ke rumah. Kamu pulang bareng mobil Haura, ya!"

"Iya, Mbak." Hanifah memberikan kontak pada Naya.

"Teman-teman, maaf aku duluan, ya! Ada urusan penting!"

"Oke oke!"

"Santai aja, Nay!" sahut beberapa temannya.

"Ra! Maaf, ya. Aku duluan."

"Tapi nanti ceritain ya!"

"Iya iya. Assalamu'alaikum!" Naya berlari pergi menuju ke tempat parkir kendaraan.

Pikirannya terusik pada nenek tua yang ia tolong tadi. Entah kenapa tatapan nenek itu seakan menunjukkan jika ia butuh pertolongan. Meski tanpa jas hujan, Naya bergegas menerjang hujan menuju ke sebuah perkampungan yang dijelaskan nenek tadi.

***

Setelah menempuh perjalanan dengan bermodal tanya pada siapapun yang ditemui, Naya tiba di sebuah perkampungan kecil di pinggiran kota Malang. Rumah-rumah semi permanen dengan jarak antar rumah cukup jauh membuat keadaan sangat sepi. Langit sudah semakin gelap, rintik hujan belum juga berhenti meskipun lebih reda dari tempat Naya berbagi tadi.

Pelan Naya memasuki perkampungan itu. Tidak ada orang yang bisa ditanyai. Ia teringat sandal nenek dan becak motor sebagai kendaraan mereka tadi. Pelan-pelan ia memperhatikan teras rumah yang memiliki sandal yang sama dengan milik nenek, syukur-syukur jika ada becak motor tadi.

Dari remang cahaya, Naya melihat sandal milik nenek tadi ada di teras rumah paling ujung. Ia hentikan motor di luar halaman dan berjalan pelan masuk ke rumah. Samar-samar ia mendengar bentakan seseorang. Semakin ia mendekat semakin jelas kemarahan itu.

"Bisa kerja apa nggak!"

Langkah Naya terhenti, ia takut. Namun ia kumpulkan kembali keberaniannya dan terus melangkah. Suara bentakan dan barang pecah belah mulai terdengar kembali. Dari celah jendela, Naya melihat seorang nenek tua yang ditendangi seorang pemuda. Dua orang pemuda lainnya hanya sibuk bermain ponsel.

"Mas! Astaghfirullah! Kasihan!" reflek Naya berteriak membuat tiga pemuda di dalam rumah itu terkejut dan bergegas keluar.

"Siapa kamu?"

"Kalau Mas nggak mau  rawat nenek itu, biar saya yang rawat!" sentak Naya. Ia hendak masuk ke dalam rumah menolong, tapi lekas di halangi dua orang pemuda. "Saya bisa laporkan kalian ke polisi!" ancam Naya dan berujung penyesalan. Tidak seharusnya dia mengatakan hal yang membahayakan posisinya.

Benar saja, seorang pemuda memberikan perintah untuk membawa Naya. Dengan kasar, Naya dibekap dan ditarik menuju ke ruangan bangunan kecil yang berjarak beberapa meter dari rumah tersebut.

Nenek tua tadi mencoba merangkak menuju pintu, tapi tenaganya tak cukup kuat. Suaranya untuk meminta bantuan tak terdengar, bahkan orang lain harus benar-benar mendekat agar mengerti apa yang dikatakan.

Ia tak putus asa, dengan usaha yang cukup keras, ia sampai di depan pintu. Tangan nenek melambai cepat ketika melihat sebuah mobil sedan melintas di depan rumahnya. Dilempar apapun di dekatnya untuk menghentikan mobil tersebut dan dia berhasil. Mobil berhenti dan seorang pria yang ia kenal turun kemudian berlari menghampirinya.

"Nek! Saya cari nenek!"

"Cu ... tolong ... wanita tadi dibawa ke sana!" Nenek menujuk bangunan kecil di dekat rumahnya.

"Wanita?" Aga mengernyit. Tiba-tiba ia teringat siapa yang dimaksud nenek itu.

 

-Bersambung-

 


 

Bab 08

Aga bergegas pergi ke tempat yang dimaksud wanita tua itu. Tepat ketika berada di depan pintu bangunan, seseorang keluar dari sana. 

Dengan cepat Aga menarik pemuda itu dan mendorongnya menjauh kemudian ia bergegas masuk. Kehadirannya menarik perhatian penghuni ruangan yang tidak terlalu besar itu. Dua orang pemuda sedang asyik mengambil foto seorang wanita yang menangis. Aga mengenalinya, tapi kali ini wanita itu tidak berhijab.

Saat Aga hendak menghampiri, seorang pemuda diluar tadi mencoba membekuk tubuhnya tapi dengan cepat Aga membalik keadaan. Pemuda itu berada dalam cengkramannya.

"Aku tidak akan melukai orang ini jika kalian melepaskan wanita itu."

Ancaman Aga hanya mendapat cibiran. Salah seorang pemuda justru mengeluarkan pisau dan menodongkan tepat di pinggang Naya.

"Aku juga bisa dengan mudah melukai wanita ini!"

"Dia nggak akan berani melukaiku, Mas! Kamu harus selamatkan Ne—" Kalimat Naya terhenti ketika ia merasakan benda tajam menyentuh pinggangnya.

"Aku bisa dengan mudah menyebarkan fotomu dengan caption menarik, Mbak!" bisik pemuda itu.

Naya memejamkan matanya. Ancaman itu lebih menakutkan dari ia kehilangan nyawa. Ia tidak mau membuat jelek nama keluarga. Tiba-tiba ia merasakan tubuhnya ditarik paksa untuk berdiri dan sebuah lengan melingkar erat di lehernya.

"Lepaskan adikku!" pemuda itu mengancam balik.

"Foto ini bisa dengan mudah menyebar di sosial media!" Seorang lainnya menunjukkan layar ponsel pada Aga.

Aga menatap Naya, wanita itu terlihat khawatir dan ketakutan.

"Aku benci kalian mengusik ketenangan kami!"

"Lepaskan wanita itu, dan kami akan pergi tanpa mengusik kalian lagi!" Aga mencoba bernegosiasi.

"Lepaskan adikku dulu!"

Aga melepaskannya begitu saja dan pemuda itu berlari keluar sesuai instruksi sang kakak. Sedangkan dua pemuda bersama Naya perlahan merambat ke arah pintu, mengubah posisi Aga menjadi di tengah ruangan.

Tepat di depan pintu, Naya di dorong dengan keras ke arah Aga kemudian dua pemuda itu keluar dan mengunci pintu, meninggalkan Naya dan Aga dalam ruangan tersebut.

"Sial!" Karena menahan tubuh Naya, Aga kalah cepat untuk menghalangi pintu agar tidak tertutup.

Naya segera menarik diri dari tubuh Aga. Dalam remang cahaya, ia mencari-cari di mana hijabnya berada.

Aga mengambil ponsel, menyalakan lampu blitz untuk memberi penerangan.

"Jangan arahkan padaku!" sentak Naya. Ia lebih nyaman berada dalam kegelapan untuk melindungi auratnya yang terbuka.

Tanpa perintah pun Aga menyorotkan cahaya ke sudut lain. Ia melihat selembar kain tergeletak di sudut ruang. Hijab Naya ada di sana. Ia ambil dan diberikan pada wanita yang masih terisak lirih.

"Makasih," ucap Naya. Ia raba hijab segi empat yang lebar itu untuk mencari jarum pengikat. "Argh!" pekiknya pelan ketika jemarinya tertusuk jarum yang masih tertinggal di hijab.

Lampu blitz yang baru dimatikan Aga, ia nyalakan kembali. Diarahkan cahaya itu pada Naya sementara ia mengalihkan pandangan ke sisi yang lain.

Brak!

Naya kembali dari lamunan yang memutar bagaimana awal pertemuannya dengan Aga hingga terjadi fitnah yang membuat kandasnya hubungannya dengan kahfi. Air matanya kembali berdesakan keluar. Belum bisa menerima seperti ini akhir dari penantiannya. 

 

***

            "Sudah, Nduk. Allah pasti lagi nunjukin sesuatu yang lebih baik lagi dari sebuah pernikahanmu dengan Kahfi " Ustadzah Mutia memberikan segelas air putih pada putrinya yang murung di meja makan.

"Sudah, terima saja itu tawaran temennya Mbak Meera buat ikutan Muslim Fashion Festival, Nduk," imbuh Ustadz Mahmudi.

"Nah, bener ... kesempatan ngembangin bakat kamu loh."

"Naya masih susah melupakan ini, Abi. Alasan Mas Kahfi belum bisa Nay terima dengan akal sehat. Mas Kahfi yang Nay kenal nggak seperti ini, Abi."

Ustadz Mahmudi meletakkan cangkir kopi yang baru disesapnya, kemudian menatap Naya dalam-dalam. "Memangnya seperti apa Kahfi yang kamu kenal? Seberapa banyak kamu berbincang dengan dia? Sebanyak apa cerita yang kamu dengar dari keluarganya tentang dia?"

Naya terdiam menatap sang Ummi yang duduk di depannya, mencoba mencari pembelaan.

"Kita hanya mendengar Kahfi dari orang lain, dari tetangga dan dari kakak kamu. Sedangkan yang paling mengenal Kahfi dengan baik hanya kedua orang tuanya dan ... Allah." Ustadz Mahmudi mengusap punggung tangan putrinya. "Nduk ... ingat. Kita ini manusia. Nggak ada hak sedikitpun buat kita mengatur Allah. Jangan sampai, Nduk. Jangan sampai kita makhluk berlumur dosa ini mengatur bahkan melawanNya."

"Astaghfirullahal'adzim, Abi. Mana berani Nay melakukan hal seperti itu."

"Tapi sikap kamu terlihat seperti itu, Nduk."

Naya tertunduk dan beristighfar berulang kali, menyesali sikapnya yang egois dan kekanak-kanakan.

"Besok, datangi teman Mbak Meera. Minta daftarin ikut lomba desain baju muslim itu. Sibukkan dirimu, alihkan perhatianmu," tutur Ustadz Mahmudi.

"Bisa jadi kamu jatuh, terluka, sakit seperti ini karena Allah sedang menunjukkan kalau jalan yang kamu ambil salah, Nduk," imbuh Ustadzah Mutia, "muhasabah diri ya, Nduk."

"Abi dan Ummi sudah berulang kali mengatakan hal yang sama padamu. Abi harap ini terakhir kalinya kamu mendengar nasihat seperti ini, Nduk. Jangan sampai hal seperti ini membuat kamu kehilangan jati dirimu."

Naya mengangguk. "Nanti Nay hubungin Mbak Meera, minta nomornya Mbak Saras buat tanya-tanya persiapan lomba."

Tekad baru Naya mendapat balasan senyum lebar di bibir kedua orang tuanya. Ustadz Mahmudi dan Ustadzah Mutia terlihat lega sekarang.

***

Sore ini Naya membuat janji dengan Saras, teman kakak iparnya yang berprofesi sebagai desainer salah satu brand baju muslim, cukup dikenal di kalangan muslimah. Ia memutuskan untuk mengikuti sebuah lomba untuk desainer pemula yang akan diadakan di Jogjakarta. Dengan diantar Ustadz Mahmudi, Naya tiba di salah satu butik milik Saras.

Wanita muda yang cantik menyambut kedatangan Naya dan mengajak ke sebuah ruangan. Di sana Naya dibekali banyak ilmu yang harus dipersiapkan untuk lomba. Banyak hal yang mereka bahas. Mereka berhenti berdiskusi hanya ketika mengerjakan salat Magrib dan Isya'.

Saat hendak kembali berdiskusi usai salat Isya', ponsel Naya bergetar. Nama 'Tante Vani' muncul di layar, itu Mama Haura.

"Assalamu'alaikum, Tante. Ada yang bisa Nay bantu?"

"Wa'alaikumsalam, Nay. Kamu sama Haura nggak?"

"Enggak, Tante. Kenapa ya, Tante?"

"Dia akhir-akhir ini nggak cerita sesuatu ke kamu?"

"Haura sulit dihubungi beberapa minggu ini, Tante. Kami lama tidak bertukar cerita."

"Kami sempat bertengkar hebat kemarin. Semalam ia tidak pulang. Beberapa temannya bilang dia ada di kampus, tapi waktu Oom dan Tante ke sana, dia menghindar."

Naya tahu maksud dari Vani. Ia akan membantu Vani membujuk Haura untuk pulang. Karena tidak mau terlalu malam, Naya minta ijin pamit dan melanjutkan pembahasan mereka esok hari.

Karena jarak antara butik Saras dan kampus Haura tidak terlalu jauh, Naya memutuskan untuk jalan. Sekitar lima belas menit, Naya tiba di pintu gerbang fakultas kedokteran. Ia mencoba menghubungi Haura, tapi ponselnya tidak aktif.

"Naya!"

Panggilan seseorang menarik perhatian Naya. Wanita berambut panjang berlari menghampirinya. Itu Lira, salah satu teman Haura yang ia kenal.

"Cari, Haura?" tanya Lira.

"Iya, Li. Kamu tahu?"

"Dia nginap di kost aku. Tapi masih nemuin kenalannya di taman belakang gedung."

"Alhamdulillah ... aku ke sana dulu ya, Li. Makasih." Naya berjalan cepat meninggalkan Lira.

Jarak dari gerbang menuju ke gedung cukup jauh. Ia butuh waktu untuk sampai di sana. Belum lagi mencari keberadaan Haura. Ia harap dia belom beranjak pergi.

"Sudah kubilang aku nggak bisa, Mas!"

 

Langkah Naya terhenti, ia kenal suara itu dan mencari asal suaranya.

 

"Kamu harus nikah sama Naya, Mas."

 

"Nggak bisa, Ra. Aku mau hentikan semua. Aku cinta sama kamu, kamu cinta sama aku. Sudahlah, kita hentikan semuanya."

 

Pernyataan dari seorang Ibnu Kahfi Mubarok pada Haura Riftavani menjadi sembilu tajam yang menghujam tepat di jantung Naya. Aliran darah ditubuhnya memanas, membuat ia hampir tak bisa mengendalikan diri.

 

"Tapi dia cinta banget sama kamu, Mas. Kalau kita bersama, aku akan dianggap buruk di mata semua orang."

 

"Kamu tahu Abi sama Ummi nggak suka sama Naya. Mereka ingin kamu yang jadi menantunya. Orang tuamu juga menginginkanku jadi suamimu. Kenapa memaksa aku harus nikah sama Naya?"

 

Haura menggeleng dan menggenggam tangan Kahfi. Naya yang melihat itu sangat kaget. Apalagi, Kahfi tidak terlihat keberatan dengan hal itu. Padahal, selama ini Kahfi begitu sangat menjaga diri karena dia orang yang paham agama.

 

“Nikahi saja Naya, Mas. Dia cinta sama kamu. Apalagi kalian sudah ta’aruf.”

 

"Aku tidak mau, Haura. Sudah cukup. Kita nggak boleh terlalu jauh membohonginya. Pikirkan kebahagiaanmu, bukan kebahagiaan dia."

 

Haura menggeleng. Sambil terisak ia berkata, “Bahagiaku kalau dia menikah denganmu, Mas. Dia cinta sama kamu.”

 

“Kamu mau buat dia menderita karena tidak ada yang menerimanya di keluargaku?”

 

Wanita itu terdiam.

 

"Ini waktu yang tepat untukku bisa lepas dari semua ini, Ra. Fitnah itu datang di saat yang tepat dan sepertinya memang datang untuk menyelamatkanku dari pernikahan yang nggak kuharapkan."

 

"Apa aku sudah menjadi penghalang untuk kalian?"

 

Wajah Haura dan Kahfi menjadi pucat pasi ketika Naya mendekati mereka. Haura sangat panik dan lekas menghampiri Naya, menggenggam kedua tangan sahabatnya dengan penuh kecemasan.

 

"Nay ... aku jelaskan dulu—"

 

Naya justru memeluk Haura erat-erat dan menumpahkan tangisnya di sana. "Maafkan aku, Ra. Maafkan aku. Aku nggak tahu jika Mas Kahfi orang yang kamu cintai. Maafkan aku."

 

Haura membalas pelukan Naya lebih erat. Ia tak bisa berkata apapun. Haura ingin mengelak, tapi mulutnya enggan terbuka.

 

Cukup puas memeluk Haura, Naya melepaskan tubuhnya, mengusap air mata sahabatnya. Banyak hal ingin ia utarakan, tapi tercekat begitu saja di tenggorokan. Ia menatap Kahfi dan air matanya justru semakin berdesakan keluar.

 

Ia rengkuh bahu Haura erat-erat. "Ra ... jangan bohongi perasaanmu karena aku." Naya menundukkan kepalanya kemudian menarik napas dalam-dalam dan kembali menatap sahabatnya. "Menikahlah dengan Mas Kahfi. Kamu mencintai dia dan dia ... dia mencintaimu. Dia mencintaimu. Dia mencintai Haura Riftavani. Dia mencintai Haura." Suaranya terdengar semakin lirih dan pedih.

 

Perlahan Naya lepaskan tangan Haura dan berjalan mundur perlan. Naya angkat satu telapak tangannya ketika Haura ingin mendekatinya. "Tetaplah di situ, Ra. Aku sedang mengumpulkan tenagaku untuk pergi dari sini. Jangan membuatku semakin susah melakukannya."

 

"Nay—"

 

"Maafkan aku," ucap Naya lirih dengan mata sayunya yang basah. "Assalamu'alaikum," pamitnya kemudian pergi.
 

 

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Sajadah Cinta Malaikat 09 & 10
158
15
Bab 09 dan 10
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan