Sajadah Cinta Malaikat - 03&04

102
12
Deskripsi

Bab 03 dan 04

BAB 03

Toko buku di salah satu mall terdekat dari kampus Haura menjadi tujuan mereka. Kejadian bagaimana Naya menghindari tatapan Aga menyisakan sesal pada muslimah berwajah syahdu yang terus mengekori sahabatnya di rak buku kedokteran.

"Alhamdulillah, ada!"

Naya melihat sebuah buku yang sekilas terdapat 'bedah saraf' berserta bahasa medis yang tidak terlalu ia pahami.

"Buat apa, Ra?"

"Aku hilangin buku temanku tadi. Sebelum dia marah, kuganti dulu!" jawab Haura dengan tawa kecil.

Naya hanya tersenyum. Memandang sahabatnya dengan kekaguman. Tidak sedikit ia merasa iri pada Haura karena memiliki banyak harta. Ingin membeli apapun tidak perlu mempertimbangkan banyak hal. Sedang dia, hanya anak seorang penjahit yang  mengabdikan diri di jalan Allah. Tapi alhamdulillah, Allah selalu memberinya kenikmatan yang selalu membuat bersyukur. Lulus Madrasah Aliyah, ia berhasil menjadi salah satu penerima Creative Innovation Scholarship, salah satu beasiswa bergengsi dari pemerintah Qatar untuk siswa berprestasi di beberapa negara.

Menerima beasiswa itu menjadi kebanggaan untuk keluarga. Dulu, Haqy sebagai anak sulung Ustadz Mahmudi dan Ustadzah Mutia juga mendapatkan beasiswa  S1 di Yaman, dan Naya sebagai anak bungsu yang terpaut empat tahun dari sang kakak mendapatkan beasiswa di Qatar.

Virginia Commonwealth University Arts Qatar adalah pilihan Naya. Dia yang suka menggambar dan menjahit ingin mengasah kemampuannya untuk menjadi Fashion Designer. Namun,  dia dibuat ragu dengan keinginan calon mertuanya yang berharap memiliki menantu istimewa. Taat beragama, bisa mengurus suami, rumah dan memiliki pekerjaan yang bisa dibanggakan. Sedangkan menjadi pemilik Muslim boutique seperti  cita-cita Naya bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan oleh calon Ibu mertuanya. Beruntung sekali Kahfi bisa meyakinkan Ibunya jika Naya adalah wanita baik yang layak dijadikan istri dan menantu.

Tidak heran memang jika Ibu Kahfi memberikan kriteria yang tinggi untuk calon istri putra semata wayangnya. Sebab Kahfi pria tampan dengan sejuta prestasi dan berasal dari keluarga berada. Siapapun menginginkannya, termasuk Naya. Sejak kecil Naya sudah memiliki perasaan pada Kahfi yang saat itu menjadi teman sepantaran sang kakak. Melihat status sosial antara keluarganya dan Kahfi membuat Naya tak berani banyak berharap. Namun tanpa diduga, sebelum keberangkatan Kahfi ke Yaman, pria tersebut membawa keluarganya datang ke rumah Naya untuk berta'aruf.

Seperti mimpi, Naya tidak pernah menyangka pria itu memiliki rasa yang sama dengannya. Tak banyak berpikir, lewat sang Abi, Naya menerima tawaran ta'aruf dengan Kahfi. Dan rencana pernikahan mereka akan dilaksanakan usai Naya menyelesaikan S1 dan Kahfi menyelesaikan S2-nya.

"Kenapa sih diam mulu dari tadi?"

Naya hanya menggeleng pelan, ia melingkarkan tangannya manja di lengan Haura kemudian mengulas senyum gemas pada sahabatnya tersebut.

"Kita sholat Dzuhur dulu terus makan siang ke food court ya, Nay?" ajak Haura ketika baru melewati pintu keluar toko buku.

"Iya ... aku lapar. Tadi berangkat ke pesantren belom sarapan, trus pulang langsung nyari anak jalanan yang semalam kutolong—" kalimat Naya terpangkas karena tiba-tiba sahabatnya menghentikan langkah, "kenapa, Ra?" tanya Naya.

Haura memandang datar wajah Naya kemudian menghela napas panjang dan kembali melangkah. "Katanya mau pengen cepet-cepet buka boutique, tapi uangnya masih aja dikasih-kasih ke orang."

"Ya gimana, Ra. Nggak tega aku lihat mereka."

Selembut itu memang seorang Naya, tak sanggup melihat penderitaan orang lain. Siapapun akan ia tolong selama ia bisa dan mampu. Padahal ia mempunyai keinginan untuk membuka boutique sebelum menikah dengan Kahfi.  Dia tidak boleh mempermalukan Kahfi di hadapan keluarga besarnya.

***
 


Sebuah food court menjadi tujuan dua muslimah yang baru selesai melaksanakan salat Dzuhur. Mereka memesan makanan dan minuman secukupnya kemudian pergi ke meja kosong. Tidak terlalu banyak pengunjung, hingga mereka bebas memilih tempat.

"Jadi itu Mas pecinta kucing yang sering kamu ceritain itu?"

Haura mengangguk cepat sambil melahap makanan. "Ya Allah, Nay. Sumpah, ya! Dia nggak pernah senyum tapi  bisa sekeren itu! Ya Allah ... lumer aku kalau ngomongin dia, Naaaay!" jemarinya tak bisa berhenti mencubit punggung tangan Naya.

Naya bergidik geli melihat tingkah sahabatnya yang sedang dimabuk cinta. "Kunyah dulu, baru ngomong, Ra. Kalau ada cowok lihat, tadinya naksir langsung mundur!" godanya.

"Aku gila banget sumpah kalau udah ngomongin dia!" sahut Haura, "dan yang spesial dari dia tuh apa? Kamu mau tahu?" Naya menggelengkan kepalanya, tapi segera ia anggukkan ketika Haura cemberut. "Mikail Tyaga! Namanya, Nay! Namanya! Keren 'kan?"

"Haura!"

Percakapan asyik mereka dihentikan oleh kehadiran wanita paruh baya dengan gamis keluaran brand besar. Parasnya yang harusnya sudah tidak muda tertutupi sebuah make up yang membuatnya terlihat fresh.

"Eeh, Ummi Ismi!" sahut Haura, ia menatap Naya segan sebelum akhirnya ditarik wanita bernama Ismi itu untuk cipika-cipiki.

"Seneng banget Ummi bisa ketemu kamu di sini? Nggak kuliah?"

Haura semakin terlihat canggung. Ia menatap Naya yang sudah berdiri di samping wanita tersebut dengan tangan yang menggantung begitu saja di udara. Ingin bersalaman tapi diabaikan oleh Ismi.

"Ada Naya, Ummi."

Ismi menoleh ke samping, "Ya Allah ... nggak tahu ada kamu, Nay."

Naya tersenyum kemudian mencium punggung tangan wanita tersebut. "Apa kabar, Ummi?" sapanya.

"Baik kok, baik!" jawab Ismi ala kadarnya, tidak ada sapaan balik. Ia justru kembali menatap Haura dan bertanya banyak hal pada wanita tersebut. 

Sedih ... Naya tidak bisa mengelak dari kata itu. Terlebih lagi ketika teman-teman Ismi mengira jika Haura adalah calon menantunya dan tidak ada pembenaran dari mulut calon mertuanya tersebut.  

Sejak dulu memang Ismi sangat dekat dengan keluarga Haura. Di komplek tempat tinggal mereka, memang dua keluarga itu yang terlihat sangat menonjol dari segi manapun. Semua orang pasti mengira jika Kahfi dan Haura akan menikah. Kahfi, calon pewaris perusahaan jasa milik Abinya sedangkan Haura calon Dokter Spesialis Anak. Jika mereka menikah, pastilah menjadi keluarga yang fenomenal.

Namun sayangnya, Kahfi lebih memilih wanita dari keluarga sederhana. Meski terlihat jelas bagaimana Ismi tidak menyukai Naya, tapi wanita muda itu enggan menyerah. Ia ingin  terus berusaha meluluhkan hati calon mertuanya.

***

Pulang dari mengantar Haura, Naya langsung menuju ke rumah. Kedatangannya dengan wajah yang sendu menarik perhatian Abi dan Umminya. Ia lekas duduk di kursi ruang tamu, menatap ke sekeliling. Memperhatikan satu per satu piala, piagam dan berbagai macam penghargaan atas prestasi yang diraih dia dan kakaknya. Sorot mata bening itu terhenti pada sebuah foto pernikahan sang kakak beberapa waktu lalu.

"Mas Haqy beruntung ya, Ummi. Sudah pinter, ganteng, punya istri cantik sholeha, mantunya Ning, kedua mertuanya sayang banget sama Mas Haqy ...."

"Kenapa toh, Nduk?" tanya Ustadzah Mutia. Sudah terlihat jelas jika putrinya sedang terluka.

"Ketemu Bu Hajah Ismi, Nduk?" tebak Abinya.

Helaan napas berat menjadi jawaban untuk kedua orang tuanya. "Di antara ribuan siswa Indonesia yang ikut beasiswa di Qatar, cuma dua yang terpilih dan Naya salah satunya. Alhamdulillah juga Naya sudah hafal Qur'an sejak kelas enam SD, Naya belum pernah ada di peringkat dua selama Naya sekolah. Apa itu kurang membanggakan ya, Abi, Ummi?"

Ustadzah Mutia lekas memeluk putrinya. "Kamu adalah kebanggaan kami, Nduk. Bukan hanya kami, tapi banyak orang yang bangga padamu."

"Tapi Ummi Ismi enggak, Ummi. Ummi Ismi masih nggak suka sama Naya."

"Kita nggak akan pernah bisa memuaskan semua orang, Nduk. Inget kata Sayydina Ali bin Abi Thalib. Kita nggak perlu menjelaskan diri kita. Yang menyukai kita nggak membutuhkan itu dan yang membenci kita nggak akan percaya itu."

Naya memandang wajah Abinya yang tegas tapi tetap meneduhkan.

"Belum saatnya ... Allah belum membukakan mata hati beliau untuk melihat kelebihanmu. Kamu nggak perlu sedih, kamu sudah melakukan yang terbaik."

"Tapi Nay sedih melihat cara Ummi Ismi memperlakukan Haura lebih baik daripada ke Nay, Abi."

"Nduk ... ini keputusan kamu. Sebelum terlalu jauh, kamu masih bisa merubahnya."

"Abi!" Ustadzah Mutia dan Naya kompak terkejut.

"Abi pun memikirkan kebahagiaan kamu, Nduk."

-Bersambung-

 

 

BAB 04

Ucapan Abi siang tadi membuat Naya banyak berpikir malam ini. Apa benar ia harus menyerah? Lalu bagaimana dengan perasaannya, perasaan Kahfi? Mereka saling mencintai. Mereka sudah saling memendam rasa sejak lama. Keduanya saling meyakini, jika kelak hadir seorang cucu, cara pandang kedua orang tua Kahfi pada Naya akan berubah. Naya benar-benar berharap hari itu tiba.

Sebuah getaran di atas meja belajar membuyarkan lamunan panjang Naya. Diraihnya ponsel yang menunjukkan notifikasi  pesan whatsapp baru.

'Assalamu'alaikum, Dek. Mas dapat kabar dari Kahfi kalau bulan depan dia balik ke Indonesia.'

Sebuah pesan dari Haqy yang membuat Naya berjingkat senang. Ia ingin menelepon kakaknya yang saat ini tinggal di Jogjakarta bersama sang istri, tapi ia urungkan karena sudah terlalu larut malam. Ia putuskan untuk mengirim pesan saja dan menggali informasi sedetail mungkin tentang orang yang disayang.

***
 

 

Hari-hari Naya berjalan sangat biasa. Mengisi kelas bahasa arab di pesantren, mengajar ngaji  anak-anak komplek di sore hari, hari senin, rabu dan jum'at malam ia mengajar qur'an untuk remaja komplek, sesekali ia menghadiri pengajian di beberapa masjid. 

"Nduk ... Abi titip nasi goreng, ya. Bang Umay nggak jualan malam ini."

Itulah alasan kenapa usai menghadiri pengajian di masjid besar, Naya harus duduk menunggu antrian nasi goreng yang cukup ramai. Dalam jenuh menunggu, di kejauhan Naya melihat seseorang menarik gerobak berisi tumpukan meja kursi yang terbuat dari bambu. Semakin dekat, gambaran kakek tua bertubuh kurus tersengal-sengal mengatur napas untuk meniti jalanan yang menanjak.

Naya tidak bisa tinggal diam, ia  berlari menghampiri kakek tua itu dan membantu mendorong gerobaknya. Terjadi sedikit perdebatan di sana, yang akhirnya dimenangkan oleh Naya.

"Berat!" gumam Naya. Padahal sudah berdua, tapi sangat berat. Pantas kakek di depannya itu  terlihat sangat kelelahan. Ia melihat ke tenda nasi goreng, banyak orang di sana yang menatap, peduli tapi tidak bertindak. Padahal ia sangat mengharapkan sebuah bantuan agar bisa mendorong gerobak ini sampai di atas jalan yang landai.

Tiba-tiba saja seseorang berlari dari atas menghampiri mereka. Mata bening Naya terbelalak melihat pria yang tiba-tiba berdiri di sampingnya dan membantu mendorong gerobak tanpa banyak kata. 

Lebih ringan saat ini dan dalam sekejap mereka sampai di jalanan yang landai. Pria berkemeja hitam dengan bagian lengan digulung dan menampilkan otot tangan yang kuat itu seakan menghipnotis Naya. Wajah dengan ekspresi datar itu sibuk memperhatikan meja kursi di dalam gerobak kakek tua yang terus mengucapkan terima kasih.

"Di jual, Kek?" pertanyaan itu seakan menarik kesadaran Naya.

"Iya, Cu."

"Cuma sepasang aja, Kek?"

"Nggak bisa bawanya, Cu. Di rumah masih ada satu," jawab sang Kakek.

"Saya butuh beberapa, Kek. Kakek bisa buatkan?"

Bukannya menjawab, sang kakek justru menangis. "Nggak perlu kasihan sama saya, Cu. Jangan buang-buang uang kamu. Saya yakin nanti kalau memang ada yang bener-bener butuh, pasti dibeli."

"Saya tidak sedang mengasihani kakek, saya sedang mengajak kakek bekerja sama dengan saya."

Naya masih terkesima dengan cara Aga membujuk kakek tua itu. Cara bicaranya sopan, bahasa tubuhnya bagus dan menghargai, tak jarang juga ia sedikit membungkuk ketika sang kakek berbicara. Pria itu tampan, Naya tidak memungkiri itu. Rambutnya selalu rapi tiap kali mereka bertemu. Sayangnya, ada tindikan di telinga Aga. Jika tidak salah lihat, ada di kedua telinga.

"Kakek letakkan di sini saja, biar anak buah saya nanti yang mengambil."

Anak buah? batin Naya tersentak.

"Besok saya akan kirim orang ke rumah kakek untuk membicarakan kerja sama kita. Kakek tunggu saja," ujar Aga seraya menurunkan meja kursi dari gerobak kemudian ia berikan beberapa lembar uang pada pria tua tersebut.

"Alhamdulillah ... makasih ya, Cu." Kakek itu bergantian menatap Naya dan Aga. Sesaat kemudian ia menarik gerobaknya untuk pulang.

Tanpa banyak bicara, Aga mengusung meja kursi itu ke depan teras toko yang tutup. Naya hendak membantu, tapi dilarang.

"Ada perlu denganku?" tanya Aga setelah menyelesaikan kegiatannya.

Naya mengangguk kaku mendengar pertanyaan Aga yang tanpa basa basi.

"Katakan!"

Mendengar kalimat yang keluar dari mulut pria itu membuat Naya kecewa. Tidak menunjukkan keramahan sama sekali. Sedangkan Aga yang tidak sabar langsung masuk ke dalam mobil, meninggalkan Naya begitu saja.

"Kok gitu banget, sih?" gumam Naya. Ia menggertakkan kaki ke tanah tepat ketika sedan hitam yang dikendarai Aga pergi. "Astaghfirullahaladzim ... kukira pria yang baik."

Naya merasa sudah membuang-buang waktu dengan mengagumi kebaikan Aga pada orang lain. Ia segera kembali ke warung nasi goreng.
 

 

***
 

 

"Assalamu'alaikum." Naya membuka pintu rumah.

"Wa'alaikumsalam," sahut Ustadz Mahmudi dari balik meja jahit dan Ustadzah Mutia yang sedang membantu memotong pola kain di meja ruang tamu.

"Loh loh loh, anak Abi kenapa cemberut gitu?"

"Dibuat sebel ama orang, Abi," jawab Naya seraya mencium punggung tangan Ummi dan Abinya bergantian.

Abi dan Ummi Naya saling menatap dengan  menahan senyum.

"Abi inget cowok yang nolongin Nay dari preman malam hari itu, 'kan?" Ustadz Mahmudi mengangguk atas pertanyaan putrinya, "Nay ketemu dia lagi. Kami bantu kakek-kakek tua yang bawa barang berat. Dia baik, ramah, sopan sama kakek itu. Tapi enggak ke Nay, Bi. Nay belum selesai ngomong aja udah ditinggal. Nyebelin!" adunya.

"Duh duh duh, anak Ummi yang cantik. Udah gedhe, udah mau nikah juga kok masih ngambekan gini?" goda Ustadzah Mutia sambil mencubit kedua pipi  putrinya.

"Emang nyebelin, Ummi." Naya semakin mayun.

"Jangan su'udzon gitu, Nduk. Mungkin aja dia pergi karena menghargai kamu. Nggak mau menimbulkan fitnah di antara kalian," imbuh Ustadz Mahmudi.

"Ngehargai gimana, Bi? Pergi aja nggak pamit.  Memang cuma Abi, Mas Haqy dan Mas Kahfi yang tau gimana memperlakukan Nay dengan baik."

Ustadzah Mutia mengusap kepala putrinya dengan lembut pergi ke dapur. Sedangkan Ustadz Mahmudi menghampiri Naya, duduk dan membelai kepala putri satu-satunya.

"Nduk ... Allah nggak suka yang berlebihan. Kalau benci ya sewajarnya, kalau suka pun juga sewajarnya," ujar beliau, "apa masih perlu Abi jelaskan hal sesederhana ini?"

Naya tertunduk dan menggeleng. "Astaghfirullah ... Nay kebawa perasaan, Abi."

"Cintai Kahfi sewajarnya, Nduk." Ustadzah Mutia yang datang dengan membawa piring dan segelas air putih ikut menyahut. "Kalau nggak mau menjadi yang terburuk, jangan biasakan membandingkan makhluk Allah, Nduk."

Naya diam beristighfar sambil membantu membuka nasi goreng untuk Abinya. 

"Kata Haqy, Kahfi mau pulang dalam waktu dekat ini? Bener, Nduk?" Ustadz Mahmudi mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Iya, Abi." Senyum mulai mengembang di bibir Naya.

"Kamu sudah yakin, Nduk?" tanya Abi.

Naya mengangkat kepalanya, memandang Ustadz Mahmudi lekat-lekat. "Abi nggak suka Nay menikah dengan Mas Kahfi?"

"Bukan, Nduk ...." Ustadz Mahmudi meletakkan piring berisi nasi goreng di atas meja ruang tamu kemudian membelai kepala putrinya. "Abi dan Ummi suka dengan Kahfi. Hanya saja Abi khawatir dengan kebahagiaan kamu. Abi takut jika nanti kamu akan banyak mengeluh dibanding bersyukur."

Naya diam dan berpikir. "Nay juga takut, Abi ... tapi Nay mencintai Mas Kahfi."

"Berdo'a saja ya, Nduk. InsyaAllah do'a-do'amu bisa meluluhkan hati kedua orang tua Kahfi, terutama Bu Hajah Ismi," sambung Ustadzah Mutia.

"Maafkan Abi ya, Nduk. Karena hanya sebatas ini kemampuan Abi mencari rezeki di bumi Allah."

Naya lekas memeluk Abinya. "Kenapa Abi bicara gitu, sih? Nay justru berterima kasih sekali jadi anak Abi dan Ummi." Ia duduk di lantai kemudian menarik diri dan memegang kedua tangan kedua orang tuanya. "Rasa syukur Nay yang paling besar adalah Nay terlahir dalam keadaan Islam, lahir dari orang tua hebat seperti Abi dan Ummi."

Ustadz Mahmudi menangkup pipi putrinya dan memberikan kecupan di kening. "Kaya'nya dulu masih oek oek, sekarang sudah segedhe ini dan mau dibawa orang. Beruntung banget yang mempersunting putri Abi ini."

"Kahfi tau apa nggak nih kalau Mbak Kanaya yang suka senyum ini ternyata orangnya ngambekan?" goda Ustadzah Mutia dengan mencubit hidung putrinya.

"Kalau sama Mas Kahfi nggak bakal ngambekan kok, Ummi." Naya tertunduk malu.

Kedua orang tua itu saling menatap dengan mengulum senyum melihat putrinya yang tersipu. Naya tidak berhenti menerima godaan dari Abi dan Umminya. Jika menyangkut Kahfi, Bibir Naya akan selalu tersenyum dengan wajah yang merah padam. Siapapun pasti bisa menebak sebesar apa rasa cintanya pada Ibnu Kahfi Mubarak.

"Oh ya! Abi, Ummi ... besok habis Ashar, Nay ikut bakti sosial bareng anak karang taruna."

"Oooh ... bagi-bagi di jalan itu, ya?" tebak Ustadzah Mutia.

"Iya, Ummi."

"Anak Abi kalau buat sedekah harus nomor satu, ya."

Naya terkekeh kecil mendengar celetukan Ustadz Mahmudi. Ia bergelayut manja di bahu Abinya yang sedang manikmati nasi goreng yang ia bawa tadi.

 

-Bersambung-

 

 

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Sajadah Cinta Malaikat - 05&06
96
8
Bab 05 dan 06
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan