
Bab 03 dan 04
BAB 03
“Harusnya kamu bilang sama aku kalau kamu udah kenal Mas Aga lebih dulu, Nay. Aku hampir marah dan salah paham sama kamu waktu lihat video yang tersebar itu!”
Naya hanya bisa meminta maaf berulang kali saat Haura memarahinya di kamar.
“Aku cuma nggak enak sama kamu, Ra. Tiap kali kamu naksir cowok dan ternyata aku lebih dulu kenal sama dia, pasti kamu mundur. Padahal sekadar kenal doang. Apalagi aku nggak naksir. Takut kalau ini kejadian lagi seperti sebelum-sebelumnya.”
Wanita yang memakai pashmina itu mengembuskan napas panjang. “Itu perasaanmu aja. Aku mundur bukan karena kamu. Emang nggak feel aja. Ngapain dilanjutin.”
Haura pindah duduk di samping Naya. “Mas Kahfi gimana? Udah kamu kabari?”
“Udah. Tapi dia nggak mau bahas apapun tentang video itu. Apa dia percaya sama video itu ya, Ra?”
"Semua orang yang kenal kamu nggak akan percaya sama video itu, Nay. Tenang aja." Haura mencengkram erat tangan Naya.
"Iya, Ra. Apalagi, Mas Aga bilang udah ada bukti-buktinya. Aku bisa bantah omongan Abi dan Uminya Mas Kahfi.”
“Syukurlah kalau Mas bisa bantu kamu.”
"Ra ... kamu beneran percaya ‘kan? Aku sama Mas Aga nggak ada hubungan apa-apa." Naya masih sangat segan pada sahabatnya. Ia takut Haura mundur lagi.
"Iiih ... santai aja. Lagian perasaanku ke Mas Aga nggak gedhe-gedhe banget, kok. Belum ada cowok yang bisa getarin hatiku lagi."
"Lagi?" Naya mengulang sebuah kata yang menurutnya ganjal. "Berarti ada yang paling spesial di antara cowok-cowok yang pernah kamu taksir?"
"Nggak usah di bahas!" Haura tertawa lagi. "Orangnya udah mau nikah."
"Siapa? Kok kamu nggak mau ngasih tahu?"
"Ya gimana mau cerita? Baru aja jatuh cinta, dianya udah diambil orang."
"Ya Allah ...." Naya menangkup kedua pipi Haura, mengasihani nasib kisah cinta sahabatnya.
"Nggak apa. Doain aja aku dapat orang yang lebih dari dia. Mas Aga misalnya." Haura cekikikan.
“Aku aaminkan, ya. Semoga kalau Mas Aga itu terbaik untuk Haura, perdekatlah jodoh mereka, Ya Allah. Aamiin.”
Haura tersenyum dan mengangguk. "Makasih ya, Nay."
***
Hari yang ditunggu Naya akhirnya tiba juga. Kahfi telah pulang ke tanah air dan saat itulah kedua keluarga Naya dan Kahfi membuat rencana untuk meluruskan fitnah dari video yang beredar.
Mereka sepakat mengundang ketua RW dan RT untuk menjadi penengah. Aga pun datang bersama beberapa orang. Membawa laptop dan alat proyektor yang akan dibuat untuk menampilkan bukti dari rekaman-rekaman CCTV.
Naya juga sempat mengundang Haura, tetapi gadis itu tidak bisa datang karena bertepatan dengan jam kuliah. Padahal sangat berharap sekali kehadiran sahabatnya untuk mendapat support.
“Ooh ... jadi ini satpam yang berbuat mesum sama anak ustaz. Berani sekali nyalimu? Udah bikin scenario apa buat nutupin perbuatan buruk kalian?” cerocos Ismi ketika Aga datang.
Naya sedih mendengar tudingan yang keluar dari mertuanya itu. Ia menatap Aga yang terlihat tak acuh dan lebih siap untuk memperkenalkan diri.
“Saya Mikail Tyaga. Anda bisa memanggil saya Aga. Ini Hendra karyawan saya. Dan tiga orang ini adalah pelaku yang telah merekam Naya dan saya malam itu.”
"Bisa saja kamu sewa orang untuk menutupi kebohongan kalian!" sahut Ismi setelah mendengar pengakuan pemuda tersebut.
"Ummi ... kita tunggu penjelasan mereka sampai selesai." Pria berkemeja coklat dengan paras teduh mencoba menenangkan ibunya.
"Saya tidak akan berdiri di sini jika bukti yang saya punya tidak akurat," tegas Aga, "saya harap Anda bisa bersabar dan memperhatikan tiap detail yang akan saya sampaikan."
Ismi hanya mengulum kesal dan mengalihkan pandangannya dari Aga.
Aga menekan tombol spasi di laptopnya. Video rekaman cctv dari beberapa sudut dan dari pemilik yang berbeda mulai berputar. "Di sini adalah awal mula pertemuan saya dan Naya. Pengemis ini adalah Nek Marni, nenek mereka bertiga. Anda bisa lihat dengan jelas wajah dua cucu Nek Marni di dalam rekaman dan dengan mereka." Aga berhenti sejenak, mempersilakan semua orang memperhatikan wajah pemuda di sampingnya. "Kami mulai berpisah di sini. Naya pergi dengan temannya."
Aga mulai menjelaskan dengan detail mengenai rekaman cctv yang dia dapatkan dari jalan-jalan yang ia lewati dan kanaya lewati dengan detail. Menunjukkan waktu dan tempat yang membuktikan mereka tidak datang bersama.
"Sayangnya, memasuki ke dalam kampung tidak ada bukti cctv—"
"Bisa saja kalian sengaja datang ke tempat itu nggak barengan biar warga nggak curiga?" pangkas Ismi.
Aga diam menatap kesal wanita paruh baya itu. "Anda bisa katakan itu setelah penjelasan saya selesai, Bu."
Lagi-lagi Ismi mengulum kesal.
"Saya tidak ada bukti rekaman di dalam kampung. Hanya kamera mobil yang merekam ke pekarangan dan tidak menampilkan apapun. Tapi saya ada saksi para tetangga dan nenek Marni yang juga korban mereka bertiga. Saya tidak bisa menghadirkan semuanya kemari, tapi ...." Aga mengeluarkan seberkas map berlogo kepolisian, kemudian dia letakkan di atas meja ruang tamu, "berkas BAP dari penyidik yang terlegalisir Polres kota Malang ini bisa mematahkan semua tuduhan terhadap kami."
"Karena ada keterikatan hukum, kami tidak bisa menyalinnya. Anda bisa memeriksa secara bergantian," imbuh Hendra.
Ketua RW dan ketua RT yang menjadi penengah dua keluarga itu diberi kesempatan terlebih dahulu untuk membaca. Sementara yang lainnya diam. Irsyad dan Ismi saling bergumam kesal.
"Alhamdulillah ... dari sini juga sudah jelas jika memang rekaman itu ternyata sebuah ancaman. Mbak Naya dan Mas Aga ini benar-benar menjadi korban," ujar Pak RW.
"Alhamdulillah." Kelegaan terdengar serentak dari keluarga Naya.
"Meski begitu, saya tidak bisa melanjutkan rencana pernikahan putra saya dengan Naya, Pak!" sahut Ismi membuat keluarga Naya terkejut.
"Astaghfirullah, Bu Hajah!" seru Mutia.
Air mata Naya menetes saat itu juga. Ia mencoba manahan diri untuk tidak berlari memohon pada wanita yang sangat jelas tidak menyukainya itu.
"Maaf, Ustaz Mahmudi. Orang lain sudah melihat aurat Naya. Orang-orang sudah mengenalnya sebagai pezina. Melakukannya dengan seorang satpam pula." imbuh Irsyad sambil melirik Aga.
"Auratnya terbuka karena tidak sengaja, Pak Haji!" Mutia hampir berteriak mendengar alasan tidak masuk akal calon besannya.
"Sudah ... nggak ada nikah-nikahan! Batal semua! Kahfi ini terlalu berharga buat kamu, Nay. Ada baiknya kamu nikah saja sama satpam ini. Nggak jelek-jelek juga wajahnya!" seloroh Ismi seraya berdiri. “Sebaiknya Anda menikahkan saja Naya dengan pria ini, Ustaz. Daripada dia nanti nggak laku dan jadi perawan tua.”
"Astaghfirullah, Ummi!" Naya ikut berdiri mencegah kepergian Ismi, "Nay sama Mas Kahfi saling mencintai! Tolong—"
"Saling mencintai? Kamu terlalu percaya diri, Nay. Tanya semua ke Kahfi!" sentak Ismi.
Naya menatap Kahfi agar ikut membujuk ibunya. Namun pria itu berdiri dan menatap datar sambil berkata, “Aku sependapat dengan kedua orang tuaku, Nay."
Naya jatuh duduk di kursinya. Ia tidak menyangka mendapat jawaban tersebut.
"Maafkan saya, Ustaz, Ustazah. Saya membatalkan khitbah saya kepada putri Anda. Saya tidak bisa melanjutkan rencana pernikahan yang pernah kita sepakati.”
-Bersambung-
BAB 04
"Kami sama sekali nggak pernah melakukan hal seperti yang semua orang tuduhkan. Mas Aga sudah kasih kamu buktinya! Bagian mana lagi yang masih membuat kamu ragu dan membatalkan khitbah kita, Mas?"
"Maafkan aku, Nay."
"Apa penantian dan perjuangan kita selama ini akan berakhir sia-sia, Mas?"
Pria berkemeja hijau itu mengernyitkan dua alis tebalnya. "Semua nggak akan seperti ini kalau kamu bisa jaga diri."
"Apa bukti itu masih kurang jelas?" Tidak ada jawaban dari lawan bicara wanita yang sedang berderai air mata tersebut. "Apa ummi kamu yang memanfaatkan fitnah ini agar kita tidak bisa bersatu, Mas?"
"Kita sudah terlalu lama berbicara berdua. Aku nggak mau ada fitnah baru di sini."
Kelopak mata berhias bulu lentik milik wanita berhijab itu terpejam. Ia menarik napas dalam-dalam, sudah tidak tahu lagi bagaimana cara meyakinkan orang yang dicintainya itu. Sepertinya, dia benar-benar ingin menuruti orang tuanya.
“Maaf karena orang yang kamu cintai ini nggak seperti yang diharapkan orang tuamu, Mas.”
Pria itu bergeming, mengalihkan tatapan yang apapun selain mata wanita berhijab yang berdiri di depannya.
"Nay pergi dulu, Mas Kahfi. Assalamu'alaikum." Kalimat yang menandakan seputus asa apa dia saat ini, kemudian pergi tanpa menunggu jawaban.
Dengan menggunakan motor matic, ia membelah padatnya lalu lintas kota Malang. Kaca gelap helm bogo menutupi paras ayu muslimah 23 tahun yang sedang terisak meratapi kisah cintanya.
Bola mata indah itu tak berhenti mengeluarkan bulir kesedihan yang terus membasahi pipi. Bibir ranum itu terus terkatup rapat. Sesekali digigit oleh jajaran gigi untuk menghentikan tangisan, tapi tak juga membuahkan hasil.
Kedua tangannya semakin erat mencengkram kemudi motor dengan bahu dan lengannya naik turun. Isakan tangis itu terlalu kencang untuk tidak didengar pengendara lain yang sedang berhenti menunggu rambu lalu lintas berubah hijau.
Kenapa sore itu begitu cerah ketika ia membutuhkan hujan untuk menutupi kesedihannya? Kenapa alam seakan ingin menunjukkan pada semua penduduk bumi jika seorang Zehra Kanaya sedang berduka atas cinta dan impiannya?
Tepat lampu hijau menyala, ia tarik tuas gas motor dan kembali melaju. Baru beberapa meter, ia putuskan untuk menepi di tempat yang tidak ramai pejalan kaki. Pandangannya kabur, terlalu banyak cairan bening di balik pelupuk mata. Helm bogo itu segera ia lepas lalu ia telungkupkan wajahnya di atas spidometer motor.
"Apa ini benar-benar jawaban dari penantian panjangku, ya Allah? Aku tidak mencintai pria selain Ibnu Kahfi Mubarok. Rasaku hanya sebatas kagum pada pria di sana dan Engkau lebih tahu bagaimana perasaanku."
Saat ia menegakkan badan, ia melihat pengemis anak-anak mendekatinya.
"Mbak ... sedekahnya, Mbak."
Ia memberikan sejumlah uang dan anak itu pun beranjak pergi usai mengucap terima kasih.
Melihat pengemis kecil itu, Naya jadi mengingat bagaimana fitnah besar menimpanya. Membuatnya dan keluarga kehilangan nama baik. Juga, semakin benci lah kedua orang Kahfi padanya.
Ia dan pria bernama Mikail Tyaga, hari itu hanya ingin membantu seseorang. Naasnya, niat baik itu malah berubah menjadi malapetaka untuk masa depannya.
*
Masih teringat jelas malam awal mula Mikail Tyaga masuk dalam kehidupan Naya.
Malam itu ia sedang ikut pengajian umum di salah satu masjid besar di kota Malang. Pulangnya terlalu larut dan ia menunggu jemputan Abinya di sebuah minimarket. Lumayan jauh dari masjid, agar Abinya tidak terjebak kemacetan.
Ia duduk di teras ditemani dengan sebotol minuman yang dibeli sebelumnya. Lalu dua anak kecil berpakaian kumal menghampirinya. Menyanyikan lagu diiringi tepukan tangan, berharap mendapat imbalan uang.
"Sudah makan?" tanya Naya.
Dua anak itu hanya saling memandang tidak menjawab. Naya langsung memberikan uang pada masing-masing anak itu.
"Segini cukup kan untuk makan hari ini?"
"Kebanyakan, Mbak."
"Rejeki kalian," ujar Naya, tapi terlihat keraguan di wajah dua anak tersebut. Mereka masih diam dan saling memandang satu sama lain, seakan sedang berdiskusi.
"Kenapa?"
"Emm ...." Salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk membuka mulut. "Apa boleh tukar , Mbak?"
"Gimana?" Naya mendekatkan diri pada anak tersebut.
"Mungkin Mbak punya uang pecahan."
Naya mengernyit, bukan tidak paham maksud kalimat itu tapi ia penasaran. Ia mengambil uang yang telah diberikan dan menggantinya dengan beberapa lembar uang pecahan puluhan ribu berjumlah sama dengan yang sebelumnya.
"Makasih ya, Mbak!" ujar anak-anak itu seraya pergi.
Naya tersenyum melihat anak-anak itu pergi meninggalkan pelataran minimarket dengan bahagia. Untuk membunuh bosan, ia ganti menunggu Abinya di tepi jalan. Ternyata, malah melihat anak-anak tadi sedang dirundung dua pria dewasa.
"Mas! Mas!" teriak Naya berlari menghampiri mereka. "Kembalikan uang mereka!" Ia melihat bagaimana salah seorang preman baru mengambil paksa uang dari dua anak laki-laki itu.
"Ayo ke basecame, aja!" ajak seorang yang lainnya seraya menyeret paksa dua bocah yang sedang terintimidasi tersebut.
"Kalian di sini saja!" Entah mendapat keberanian dari mana hingga Naya berani menarik dua anak itu.
"Nggak usah ikut campur, Mbak!" Nada kemarahan mulai menyeletuk dari salah seorang preman. Sedang lainnya manarik kembali anak-anak dari tangan Naya, tapi wanita tersebut menahannya.
"Mereka anak buah saya! Jangan ikut campur urusan kami, Mbak!"
"Kami nggak segan-segan nyakitin wanita!"
"Saya bisa berteriak! Orang-orang akan membantu!" Ancaman Naya justru membuat dua preman itu tertawa masam. Mereka memperhatikan keadaan sekeliling yang sudah sepi. Hal itu membuat Naya menelan ludah dan mulai dihinggapi rasa takut.
Dua preman itu menyeringai. Niat jahat tergambar jelas di wajah mereka. Naya menarik dua anak kecil itu ke belakang. Langkahnya perlahan mundur. Ia harus berlari kembali ke minimarket untuk meminta bantuan, tapi keiginannya sudah terbaca oleh dua preman tersebut. Mereka menghadang dan menyudutkan Naya bersama dua anak itu ke dinding.
"Mbak, biarin kami pergi dengan mereka."
"Mbak pulang saja."
Naya menggeleng, ia tidak setuju dengan bujukan anak-anak di belakangnya. "Kalian ikut aku!"
"Serahin semua barang-barang berhargamu!" Salah seorang preman meodongkan pisau kecil yang membuat Naya panik tak berkutik.
"Hei!"
Suara panggilan mengalihkan perhatian mereka semua. Seorang pria berkemeja putih melemparkan sesuatu ke arah preman yang memegang belati dan dengan cepat memberikan tendangan yang membuat preman itu tersungkur.
Tidak terima melihat temannya jatuh, preman yang lain melayangkan tinjuan pada pria di depannya. Namun, pria berkemeja putih itu dengan cepat menangkis dan memberikan pukulan di beberapa titik yang mampu melumpuhkan preman tersebut.
"Aku akan bawa anak-anak ini dengan atau tanpa persetujuan kalian!" ujar pria itu sambil mengambil barang yang tadi dilemparkan.
"Jangan macam-macam, Mas! Mereka bukan anak-anak yang bisa kau bawa sembarangan!"
Pria itu jongkok, menjajarkan diri dengan preman-preman yang masih meringis kesakitan tersebut. "Kau tahu, aku bisa memasukkan kalian ke penjara yang bisa membuat kalian akan dipenjara cukup lama."
“Paling juga sebulan selesai.” Preman itu berdecis meremehkan.
“Ya, jika kasus penodongan biasa yang kulaporkan. Tapi, jika aku melaporkan kalian sebagai kaki tangan sindikat perdangan manusia, kira-kira berapa tahun kalian akan mendekam di sana.”
“Kabur kabur!” tarik preman yang lainnya lalu bergegas pergi ketakutan.
Pria itu berdiri, menghampiri Naya yang melindungi dua anak laki-laki tadi. “Saya akan membawa mereka ke tempat aman.”
“Enggak. Gimana bisa saya percaya dengan Anda?” tolak Naya curiga. “Saya yang akan membawa mereka.”
“Bagaimana bisa saya juga percaya sama kamu, Mbak?” Pria itu membalik kecurigaan Naya. “Penampilan tidak bisa mencerminkan isi hati orang.”
Belum Naya membalas, pria itu menyodorkan sebuah kartu nama sebuah yayasan sosial.
“Saya akan membawanya ke sana. Kamu bisa mengunjungi mereka kapan pun kamu mau.”
Naya melihat dan memastikan kartu nama tersebut lewat situs pencarian. Setelah yakin itu bukan tempat fiktif, Naya setuju menyerahkan dua anak itu.
“Mas ini siapa?” tanya Naya.
“Satpam di situ,” jawab pria itu menatap pintu perumahan elite.
Naya mengangguk. “Titip mereka ya, Mas. Besok saya akan ke yayasan sosial ini dan memastikan keadaan mereka.”
Pria itu membawa anak-anak pergi menuju ke gerbang perumahan tak jauh dari tempat Naya berdiri. Baru sadar setelah beberapa saat, ia belum menanyakan nama dan ingin mengejar, ternyata Abinya sudah datang.
“Mau ke mana, Nay? Ayo, keburu malam.”
Urunglah ia mengejar pria tadi. Saat melewati gerbang perumahan itu juga sudah sepi. Mungkin ia bisa menanyakan nama pria itu lain waktu jika saja bertemu.
-Bersambung-
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
