Sajadah Cinta Malaikat - 01&02

123
21
Deskripsi

Bab 01 dan 02

BAB 01

"Kami sama sekali nggak pernah melakukan hal seperti yang semua orang tuduhkan. Mas Aga sudah kasih kamu buktinya! Bagian mana lagi yang masih membuat kamu ragu dan membatalkan khitbah kita, Mas?"

"Maafkan aku, Nay."

"Apa penantian dan perjuangan kita selama ini akan berakhir sia-sia, Mas?"

Pria yang memakai kemeja hijau itu mengernyitkan dua alis tebalnya. "Semua nggak akan seperti ini kalau kamu bisa jaga diri, Nay."

"Apa bukti itu masih kurang jelas?" Tidak ada jawaban dari lawan bicara wanita yang sedang berderai air mata tersebut. "Aku—"

"Kita sudah terlalu lama berbicara berdua. Aku nggak mau ada fitnah baru di sini."

Kelopak mata berhias bulu lentik milik wanita berhijab itu terpejam. Ia menarik napas dalam-dalam, sudah tidak tahu lagi bagaimana cara meyakinkan pria di depannya.

"Assalamu'alaikum, Mas Kahfi!" Kalimat yang menandakan seputus asa apa dia saat ini, kemudian pergi tanpa menunggu jawaban.

Dengan menggunakan motor matic, ia membelah padatnya lalu lintas kota Malang. Kaca gelap helm bogo menutupi paras ayu muslimah 23 tahun yang sedang terisak meratapi kisah cintanya. Bola mata indah itu tak berhenti mengeluarkan bulir kesedihan dan terus membasahi pipi yang putih bersih tersebut. Bibir ranum itu terus terkatup rapat. Sesekali digigit oleh jajaran gigi  gingsulnya untuk menghentikan tangisan, tapi tak juga membuahkan hasil.

Kedua tangannya semakin erat mencengkram kemudi motor. Sesenggukan membuat bahu dan lengannya naik turun. Isakan tangis itu terlalu kencang untuk tidak didengar pengendara lain yang sedang berhenti menunggu rambu lalu lintas berubah hijau. 

Kenapa sore itu begitu cerah ketika ia membutuhkan hujan untuk menutupi kesedihannya? Kenapa alam seakan ingin menunjukkan pada semua penduduk bumi jika seorang Zehra Kanaya sedang berduka atas cinta dan impiannya?

Tepat lampu hijau menyala, ia tarik tuas gas motor dan kembali melaju. Baru beberapa meter, ia putuskan untuk menepi di tempat yang tidak ramai pejalan kaki. Pandangannya kabur, terlalu banyak cairan bening di balik pelupuk mata. Helm bogo itu segera ia lepas lalu ia telungkupkan wajahnya di atas spidometer motor.

"Apa ini benar-benar jawaban dari penantian panjangku, ya Allah? Aku tidak mencintai pria selain Ibnu Kahfi Mubarok. Rasaku hanya sebatas kagum pada pria di sana dan Engkau lebih tahu bagaimana perasaanku."

"Mbak ... sedekahnya, Mbak."

Naya terkejut mendengar suara tersebut. Ia menegakkan tubuhnya dan mengusap air mata. Seorang anak laki-laki berpakaian lusuh berdiri di sampingnya. Namun ketika melihat wanita berhijab kuning itu menangis, anak tersebut segan dan memilih pergi.

"Dek Dek, tunggu!" panggil Naya. Ia turun dan mengejar anak tersebut. 

"Maaf sudah ganggu, Mbak."

"Nggak apa, Dek." Naya merogoh ke dalam tasnya, mengambil sebuah dompet dan memberikan selembar uang pada anak kecil di depannya. "Dibuat hal yang bermanfaat, ya," ujarnya.

Meski ragu, anak tersebut mengambil selembar uang bernominal besar yang diberikan Naya. Usai mengucapkan terima kasih dan permintaan maaf, ia berlari menghampiri seorang anak perempuan kecil  yang menunggu di bawah pohon.

Naya tersenyum kecil. Memperhatikan bagaimana riang anak tersebut mendapatkan rezeki yang dititipkan Allah lewat tangannya.  Sesaat senyum itu menghilang. Kejadian ini mengingatkan dia pada pertemuannya dengan seorang pria baik bernama Mikail Tyaga.

***

Masih teringat jelas malam awal mula Mikail Tyaga masuk dalam kehidupannya.  Wanita muslimah berparas syahdu itu baru saja mengikuti sebuah pengajian umum di salah satu masjid besar di kota Malang. Karena tidak membawa motor, ia duduk di pelataran masjid menunggu sang Abi menjemput. Cukup lama, tapi Ustadz Mahmudi belum juga datang sedangkan lampu masjid mulai padam. Setelah mengirim pesan, Naya memutuskan untuk menunggu Abinya di sebuah minimarket yang berjarak beberapa meter dari masjid.

Sebotol teh dingin menemani Naya duduk di salah satu bangku yang ada di teras minimarket. Lantunan dzikir yang menemani sepinya terhenti ketika dua orang anak kecil datang meminta sedekah. 

"Sudah makan?" tanya Naya. Ia tidak mendapat jawaban karena dua anak tersebut hanya saling memandang. Seperti biasa, Naya memberikan dua lembar uang lima puluh ribu pada masing-masing anak tersebut. "Cepat pulang ya, Dek. Sudah malam, waktunya istirahat,"

"Kebanyakan, Mbak."

"Rejeki kalian," ujar Naya, tapi terlihat keraguan di wajah dua anak tersebut. Mereka masih diam dan saling memandang satu sama lain, seakan sedang berdiskusi.

"Kenapa?"

"Emm ...." Salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk membuka mulut. "Apa boleh tukar , Mbak?"

"Gimana?" Naya mendekatkan diri pada anak tersebut.

"Mungkin Mbak punya uang pecahan."

Naya mengernyit, bukan tidak paham maksud kalimat itu tapi ia penasaran. Ia mengambil uang yang telah diberikan dan menggantinya dengan beberapa lembar uang pecahan puluhan ribu berjumlah sama dengan yang sebelumnya. 

"Makasih ya, Mbak!" ujar anak-anak itu seraya pergi.

Naya tersenyum melihat anak-anak pergi meninggalkan pelataran minimarket dengan bahagia. Ia kembali meneguk minuman di botolnya hingga sorot lampu mobil sedan yang baru terparkir  membuatnya memicing. Lampu itu lekas dipadamkan ketika pemiliknya sadar sudah membuat orang lain tidak nyaman.

Wanita yang mengenakan gamis putih dengan motif bunga pink itu berdiri menuju ke tepi jalan raya, mencoba melepas bosan. Akan tetapi ia dikejutkan dengan dua orang preman yang merundung anak-anak yang tadi meminta sedekah padanya.

"Mas Mas!" teriak Naya seraya berlari menghampiri mereka. "Kembalikan uang mereka!" Naya melihat bagaimana salah seorang preman baru mengambil paksa uang dari anak-anak kecil itu.

"Ayo ke basecame, aja!" ajak seorang yang lainnya seraya menyeret paksa dua bocah yang sedang terintimidasi tersebut.

"Kalian di sini saja!" Entah mendapat keberanian dari mana hingga Naya berani menarik dua anak itu.

"Nggak usah ikut campur, Mbak!" Nada kemarahan mulai menyeletuk dari salah seorang preman. Sedang lainnya manarik kembali anak-anak dari tangan Naya, tapi wanita tersebut menahannya.

"Mereka anak buah saya! Jangan ikut campur urusan kami, Mbak!"

"Kami nggak segan-segan nyakitin wanita!"

"Saya bisa berteriak! Orang-orang akan membantu!" Ancaman Naya justru membuat dua preman itu tertawa masam. Mereka memperhatikan keadaan sekeliling yang sudah sepi. Hal itu membuat Naya menelan ludah dan mulai dihinggapi rasa takut.

Dua preman itu menyeringai. Niat jahat tergambar jelas di wajah mereka. Naya menarik dua anak kecil itu ke belakang. Langkahnya perlahan mundur. Ia harus berlari kembali ke minimarket untuk meminta bantuan, tapi keiginannya sudah terbaca oleh dua preman tersebut. Mereka menghadang dan menyudutkan Naya bersama dua anak itu ke dinding.

"Mbak, biarin kami pergi dengan mereka."

"Mbak pulang saja."

Naya menggeleng, ia tidak setuju dengan bujukan anak-anak di belakangnya. "Kalian ikut aku!"

"Serahin semua barang-barang berhargamu!" Salah seorang preman meodongkan pisau kecil yang membuat Naya panik tak berkutik.

"Hei!" 

Suara panggilan mengalihkan perhatian mereka semua. Seorang pria berkemaja putih melemparkan sesuatu ke arah preman yang memegang pisau dan saat itu juga ia memberikan tendangan yang membuat preman itu tersungkur. 

Tidak terima melihat temannya jatuh, preman yang lain melayangkan tinjuan pada pria di depannya. Namun, pria berkemeja putih itu dengan cepat menangkis dan memberikan pukulan di beberapa titik yang mampu melumpuhkan preman tersebut.

"Aku akan bawa anak-anak ini tanpa persetujuan kalian!" ujar pria itu sambil mengambil barang yang tadi ia lemparkan.

"Kau jangan macam-macam! Kau nggak tahu siapa mereka?"

Pria itu jongkok, menjajarkan diri dengan preman-preman yang masih meringis kesakitan tersebut. "Sindikat kalian ... aku bisa membongkarnya kurang dari satu jam."

Dua preman itu tertawa remeh. Sedangkan pria berkemeja putih itu berdiri, mengambil ponsel, memotret dua pria itu kemudian menghubungi seseorang. "Pergi ke belakang kampung Suro—"

"Oke-oke! Kita pergi!" pangkas seorang preman. Mereka terlihat ketakutan dan berlari pergi.

"Mas ... polisi?" tebak Naya pada pria yang sudah menolong mereka.

-Bersambung- 

 

 

BAB 02

"Mas, Polisi?"

Pria itu memberikan tas kecil pada Naya. "Punya kamu ketinggalan di meja minimarket."

Naya mengambil tas mukenahnya. "Terima kasih, Mas."

"Aku akan bawa mereka denganku."

Naya menggeleng cepat dan tetap melindungi anak-anak di belakangnya. "Kemana?"

"Panti asuhan."

"Bagaimana bisa saya mempercayai, Anda?"

"Aku sudah melakukan hal yang bisa membuatmu percaya."

"Saya tidak bisa percaya dengan mudah pada orang yang baru saya kenal. Meskipun sudah berbuat atau terlihat baik."

"Jika seperti itu, aku juga patut curiga padamu yang juga terlihat seperti orang baik?"

Naya tersentak ketika kalimatnya dengan mudah dibalik oleh pria itu.

"Catat ini." Pria itu menunjukkan layar ponsel yang menampilkan sebuah alamat dan gambar dari sebuah aplikasi maps, "kamu bisa mengunjungi mereka di sana."

Dengan cepat Naya memotret layar ponsel pria tersebut. "Besok saya akan berkunjung untuk memastikan keadaan mereka." Ia berbalik dan sedikit membungkuk menghadap anak kecil di depannya. "Kalian ikut Oom ini, ya. InsyaAllah ... kalian akan aman."

"Terima kasih, Mbak."

Naya tersenyum dan menyerahkan dua anak kecil itu pada pria berkemeja putih yang sangat minim berekspresi. "Titip mereka ya, Mas."

"Naya!" 

Panggilan seseorang di seberang jalan mengalihkan perhatian Naya. Pria paruh baya yang mengenakan motor bebek tua sedang menoleh ke kanan dan kiri ingin menyebrang.

"Abi tunggu aja di situ! Naya ke sana," teriak Naya. Ia menoleh pada pria dan dua anak kecil di depannya. "Saya pamit dulu, assalamu'alikum."

"Wa'alaikumsalam."

Naya bergegas menyebrangi jalan yang sepi itu untuk menghampiri Ustadz Mahmudi, Abinya. Dia ambil helm yang sudah disodorkan Abinya dan segera naik ke atas motor.

"Siapa, Nduk?" tanya Ustadz Mahmudi seraya tersenyum pada pria yang sedang menyapanya lewat anggukan.

"Astaghfirullah! Nay lupa tanya namanya, Abi!" Naya hendak turun dari motor, tapi urung ia lakukan ketika melihat pria itu sudah melangkah pergi ke arah minimarket. "Dia barusan nolong Nay dari preman."

"Kamu nggak apa?" Ustadz Mahmudi memeriksa keadaan putrinya dan segera mendapatkan anggukan. "Sudah bilang terima kasih, Nduk?"

"Sudah, Abi."

"Ya sudah, insyaAllah nanti Allah yang kasih tahu namanya."

"Iya, Abi."

***
 


Sesuai dengan niat semalam. Siang usai mengajar bahasa arab di pondok pesantren dekat rumahnya, Naya pergi memastikan dua anak jalanan yang semalam ditolong oleh pria yang tidak dikenal. Dengan menggunakan motor, ia pergi mencari tempat panti asuhan.

Baru beberapa bulan kembali ke kampung halaman setelah hampir lima tahun menempuh pendidikan di Qatar membuat Naya membutuhkan aplikasi navigasi untuk sampai dengan cepat ke lokasi tujuan.  Di luar dugaan, Ia tidak menyangka jika panti asuhan itu berada di dalam perumahan mewah dan gedungnya cukup besar dan bagus. Papan besar bertuliskan nama panti yang sesuai dengan yang ada dalam ponselnya mengikis keraguan Naya.

"Mbak Naya, ya?" tanya seorang satpam setelah membuka pintu gerbang.

"Eh, iya. Assalamu'alaikum, Pak." Naya merasa kebingungan karena pria paruh baya itu bisa tahu namanya.

"Wa'alaikumsalam. Silakan masuk, Mbak.  Ridho dan Rino sudah nunggu dari tadi." Pria itu membuka pintu gerbang lebih lebar agar Naya bisa segera masuk.

Naya segera masuk. Dalam perjalanan ke gedung panti, ia memperkirakan dari mana satpam ini tahu namanya. Pastilah pria dan anak-anak itu mendengar ketika sang Abi memanggilnya semalam.

"Mbak, Naya!" Dua anak laki-laki berlari menghampiri dan mencium punggung tangan Naya bergantian.

"Sudah ganteng-ganteng," puji Naya.

"Oom Aga bawa kami ke tempat yang tepat, Mbak."

Naya mengangguk dan tersenyum. Kini ia sudah tahu siapa nama pria yang minim ekspresi itu.

"Ridho dan Rino sejak subuh tadi sudah menunggu, Mbak." Seorang wanita paruh baya yang baru menghampiri Naya. "Saya, Resti ... Mas Aga memberikan saya amanah untuk menjaga panti ini." Ia mengulurkan tangan.

Naya lekas membalas uluran tangan itu. "Saya Kanaya, Bu. Bisa panggil Nay saja."

"Ayo, silakan masuk!" ajak Resti.

Bersama Ridho dan Rino, Naya masuk ke dalam gedung dan duduk di ruang tamu. Dari dalam terdengar begitu ramai suara anak-anak yang sedang bersenda gurau. Dari cerita singkat Resti,  gedung ini dibangun pria bernama Mikail Tyaga untuk menampung anak-anak jalanan.  Pria itu  juga sedang mendirikan gedung untuk lansia yang tidak memiliki anak dan tempat tinggal tepat di sebelah gedung panti.

Dari cerita singkat itu, Naya merasakan kagum pada pria tersebut. Di zaman seperti ini, Allah menyelipkan malaikat di hati hambanya. Selain itu, ia juga merasa iri dengan apa yang sudah dilakukan Aga dalam berbuat kebaikan pada sesama.

Naya hanya memastikan keadaan kakak beradik yang ternyata terpisah dari kedua orang tuanya saat masih sangat kecil itu baik-baik saja. Resti juga meyakinkan jika mereka akan membantu Ridho dan Rino untuk bertemu dengan kedua orang tuanya. 

"Mas Aga nggak pernah ke sini, Bu?" tanya Naya.

"Hanya sesekali, Mbak. Yang sering asistennya."

Naya sedikit kecewa karena ia punya harapan bisa bertemu pria yang sempat ia curigai semalam. Namun mendengar kata 'asisten' membuat Naya berpikir jika pria itu bukan orang sembarangan yang bisa ditemui sewaktu-waktu.

Hanya sekitar setengah jam Naya berbincang di panti asuhan, setelahnya ia pamit untuk pulang.
 

 

***
 


Bukan kembali ke rumah, Naya justru pergi berkeliling kota Malang. Sejak tiba di Indonesia dua bulan lalu, ia hanya mempunyai sedikit waktu untuk menikmati kota kelahirannya. Sebab, Ustadzah Mutia yang tak lain adalah wanita yang telah melahirkan Naya, meminta putrinya juga ikut mengajar mengaji qur'an dan bahasa arab remaja putri di sekitar rumah. Naya tidak keberatan akan hal itu. Ia juga butuh kesibukan mengisi kekosongan waktu sambil menunggu calon suaminya pulang dari Yaman.

Tiba-tiba saja Naya menepikan motor ketika merasakan ponsel dalam tasnya bergetar. Nama Haura, sahabatnya muncul di sana. Dalam percakapan singkat itu, Haura meminta agar Naya mau menemaninya pergi ke sebuah Mall.

"Aku lagi deket kampus kamu, Ra. Aku tunggu di belakang gedung fakultas kedokteran, ya!"

"Pake motor kamu aja ya, Nay! Aku pinjem helm temenku. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Naya kembali melajukan motornya. Tak sampai lima ratus meter, Naya tiba di belakang kampus Haura. Ia memilih tempat yang nyaman untuk menunggu sahabatnya.

Saat menunggu, perhatian Naya teralihkan pada seorang pria yang sedang memberi makan kucing di seberang jalan, tepat di sebuah lahan kosong yang hendak dijadikan perumahan. Senyumnya mengembang, ia mengenali siapa pria itu. Aga, ya ... dia Mikail Tyaga. Pria yang ingin dia temui untuk sekadar meminta maaf.

Saat hendak turun dari motor, seseorang menghampiri pria tersebut dan terlihat membicarakan sesuatu hal yang serius. Naya mengurungkan niat karena tidak mau mengganggu kesibukan pria itu.

"Nay!"

"Astaghfirullah, Haura!" Naya dikejutkan dengan gertakan gadis cantik yang mengenakan gamis dan pasmina berwarna lavender. Fashionnya simpel tapi cukup stylist untuk anak muda zaman sekarang.

"Liatin siapa, hayo?"

"Nggak ada!" jawab Naya gugup.

"Awas! Jangan naksir Mas Ganteng itu!" Haura menunjuk pria di seberang sana dengan sembunyi sembunyi, kemudian mendekat pada Naya, "dia inceranku," bisiknya dengan malu-malu.

"Ish! Naksir gimana? Calon suamiku lebih ganteng!" sahut Naya dengan cubitan kecil.

"Bentar ya, Nay. Mau cari kesempatan dikit."

"Kemana?" Naya mencoba mencari tahu, tapi Haura lebih dulu menyebrangi jalan raya yang cukup ramai tersebut.

Dari kejauhan ia hanya bisa memperhatikan sahabatnya pergi ke sebuah minimarket dan keluar dengan membawa kantong kecil. Haura tidak lekas kembali, justru mendekat ke arah Aga yang sedang berbicara serius di depan pintu masuk lahan perumahan.

Haura tidak menghampiri pria tersebut. Ia hanya memberi makan kucing-kucing yang masih di sana. Naya terkekeh kecil melihat tingkah sahabatnya. Unik sekali cara dia menarik perhatian pria yang diincar.

Dan benar saja, cara Haura berhasil menarik perhatian Aga. Terlihat mereka saling berkontak mata. Meskipun tidak ada senyum di wajah pria itu, tapi terlihat bagaimana dia menghargai perbuatan Haura dengan sebuah anggukan. Tak lama kemudian,Haura berdiri berpamitan pada Aga dan beranjak kembali.

Senyum Naya ikut mengembang ketika Haura berdiri di seberang jalan dengan raut wajah kegirangan. Tak sengaja ia menatap pria yang berdiri beberapa langkah di belakang Haura dan ternyata, pria itu juga sedang memandang ke arahnya. Naya terkejut dan bingung harus bersikap seperti apa. Hingga akhirnya ia menunduk dan mengalihkan perhatian ke tempat lain. Ia ingin memberikan senyum untuk menyapa, tapi hal itu akan merusak kebahagiaan sahabatnya.

-Bersambung-

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Sajadah Cinta Malaikat - 03&04
102
12
Bab 03 dan 04
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan