
Bab 09 dan 10
Bab 09
Marah, malu dan merasa tidak punya harga diri ketika mengetahui fakta jika Kahfi hanya berpura-pura mencintainya karena permintaan Haura. Bisa-bisanya ia mengira pria itu mencintainya padahal mencintai sahabatnya.
Ia berjalan tanpa arah dalam gelapnya malam. Tidak ada tempat yang bisa dituju. Hanya ingin berlari menjauh dari siapapun.
Selama ini ia merasa menjadi korban atas keegoisan calon mertuanya. Ternyata cintanyalah yang membuat banyak orang terluka.
Diantara lamunannya, tiba-tiba Naya merasa seseorang menarik tasnya. Reflek ia mempertahankan miliknya yang akan diambil oleh dua orang pria dari atas motor.
"Tolooong! Copet!" teriaknya, berharap beberapa orang ada yang datang membantu.
"Woey copet, woey!" teriakan seseorang dari sebuah kedai yang tidak terlalu jauh dari Naya berdiri.
Salah seorang pria menendang Naya hingga jatuh. Terlepaslah tas dari tangan Naya dan berhasil dibawa kabur. Orang-orang terlambat membantunya.
"Ri! Aku kirim titik lokasi, cari pengendara motor, berboncengan pakai baju hitam, mengarah ke arah timur. Nopol ...."
Di antara orang-orang yang menolong, Naya justru terpaku pada pria yang sedang menelepon seseorang dengan menyebutkan ciri-ciri fisik motor pencopet tasnya. Ketika pandangan mereka bertemu, pria itu kaget ketika melihatnya.
"Kamu lagi?"
"Mas Aga," ucap Naya lirih kemudian menangis.
"Ada yang sakit, Mbak? Kita ke tempat terang dulu, Mbak," ajak seseorang.
Naya menurut. Dengan beberapa orang pergi ke kedai di mana orang-orang tadi berdiri.
"Sudah, Mbak. Sabar ... ikhlasin aja."
Kalimat itu justru membuat air mata Naya terus berjatuhan. Tetapi Aga mengajaknya pergi ke mobil. Ia menurut. Emosinya sangat tidak stabil dan rasanya ingin menangis sekencang-kencangnya.
“Masuk. Tenangkan dirimu di sana.”
Benar saja, setelah masuk ke mobil. Ia menumpahkan kesedihannya di sana. Tidak malu dipandang orang-orang dari kedai, karena Aga duduk bersandar di kap mobil, membuat pandangan orang kepadanya terbatas.
Beberapa saat menunggu, Aga masuk ke dalam mobil dengan membawa beberapa kantong plastik. Aroma Harum dan manis sedikit mengalihkan perhatian Naya. Mau tidak mau, ia harus menyudahi tangisnya.
"Aku antar pesanan adikku dulu baru kuantar kamu pulang," ujar Aga seraya melajukan kendaraan.
Tidak ada pembicaraan saat perjalanan. Naya hanya diam mengikuti kemana kendaraan itu membawanya. Sampai, Aga menghentikan kendaraan di pelataran parkir sebuah hotel.
“Adik Mas, kerja di sini?” tanya Naya.
"Tunggu di sini sebentar, aku harus ke atas." Aga tidak menjawab pertanyaan Naya dan langsung keluar.
Ia menatapi kepergian Aga, tapi perhatiannya justru terhenti pada seseorang di kegelapan yang sibuk mengais sesuatu di bak sampah. Jiwa sosialnya terketuk melihat itu. Naya keluar dan menghampiri pria bercelana pendek dengan kaus putih sedikit kotor di beberapa bagian.
“Bapak cari apa?” Naya langsung menarik pria itu menjauh dari bak sampah. “Jangan makan ini, Pak.” Ia buang kepalan nasi di tangan pria itu.
"Kenapa dibuang!" Pria itu mengambil lagi kepalan nasi yang jatuh. "Aku sudah cari itu dari tadi dan kamu buang gitu saja! Ini sangat berharga buatku. "
"Sudah, Pak. Buang saja ... ikut sama saya. Saya ganti dengan makanan yang layak!" Naya buang lagi kepalan nasi yang sudah bercampur dengan tanah.
"Itu nggak bisa digantikan!" Pria itu masih berusaha meraih lagi tetapi Naya menahan.
"Jangan, Pak!"
"Lepaskan aku!"
"Ikut sama saya saja."
"Lepaskan aku! Kamu nggak tahu apa-apa!"
“Saya akan ganti yang layak.”
“Aku maunya itu.”
"Papa!"
Perdebatan Naya dan pria paruh baya itu terhenti. Ia melihat Aga sedang menghampirinya.
"Papa?" Naya mengulang kalimat Aga.
Ia mundur beberapa langkah dan memerhatikan baik-baik pria paruh baya itu. Naya baru manyadari, pria itu terlalu bersih untuk dikatakan sebagai gelandangan.
“Papaku bikin masalah denganmu?” tanya pria itu.
“Papa?” ulang Naya lagi.
"Apa aku sekarang terlihat seperti gelandangan, Nak?" tanya pria paruh baya itu pada Aga.
"Ya."
"Si al an kamu!" Pria itu hendak menendang kaki Aga tapi pemiliknya menghindar dengan cepat.
"Mama kelihatan lagi marah. Papa bikin ulah?"
"Iya. Papa ngilangin cincin pernikahan kami." Pria itu mengambil kepalan nasi yang jatuh tadi lalu membelahnya. Terlihat sebuah cincin perak di sana. "Taraaaa! Kejutan!" ujarnya semangat.
Tapi keceriaan itu menghilang karena Naya dan Aga tidak memberikan respon. Tahu ada yang salah, Naya lekas tepuk tangan dan tersenyum kaku. Ia menyenggol kaki Aga tetapi pria itu tetap bergeming dengan paras dinginnya.
"Aku tahu kamu berpura-pura, tapi kamu baik sekali sudah mau menghiburku, Nak."
Naya tersenyum segan.
"Aku Marko, Papanya Aga." Pria bertubuh bagus meski terlihat sudah berumur itu memperkenalkan diri. "Kamu siapa? Calon menantuku?"
"Bu-bukan bukan, Pak!" Naya melambaikan tangannya dengan cepat, "Saya Naya. Kebetulan beberapa kali bertemu Mas Aga. Hanya kebetulan."
"Jodoh kayaknya!" gumam Marko, seraya menatapi Naya dari atas sampai ke bawah. Ia ganti menatap putranya. "Udah siap ngelepasin masa lalu?" tanyanya.
Aga hanya menghela napas. "Sebaiknya Papa cepat masuk. Ajak Mama pulang ke rumah aja. Aku mau antar dia pulang dulu."
"Saya pamit dulu, Pak. Maaf atas perlakuan saya tadi," ujar Naya sebelum pergi.
"Tunggu!" seru Marko membuat Naya terpaku. Pria itu menilik wajah Naya lekat-lekat dan bertanya, "Kamu ... yang di video bersama Aga itu 'kan?"
Naya menatap Aga sejenak kemudian mengangguk. "Maafkan kecerobohan saya, sudah melibatkan putra Anda dalam urusan saya, Pak."
Sayangnya Marko tidak memberi respon. Hanya diam dan terus menatap Naya.
"Sikap Papa bikin dia takut," ujar Aga.
"Benarkah? Apa aku semenyeramkan itu?" Marko tersenyum dengan mata membulat lalu dikedipkan beberapa kali. "Ya suah, antar Naya pulang. Kasian nanti calon besan Papa kalau kelamaan nungguin anak gadisnya."
"Pa!"
Marko mendorong putranya agar pergi. "Sudah sana! Hati-hati!"
"Saya permisi, Pak. Assalamu'alaikum," pamit Naya.
"Wa'alaikumsalam, Nak."
Naya mengikuti langkah Aga dan masuk ke dalam mobil. Ia masih tidak bisa mengalihkan perhatian pada pria yang mengantar kepergiannya dengan lambaian tangan. Perhatiannya pindah pada pria di sampingnya ketika mobil keluar dari halaman hotel.
"Jangan mencoba membandingkanku dengan Papaku."
Kalimat itu cukup tegas untuk Naya menghentikan perdebatan dalam pikirannya. Tapi masih ada yang membuatnya penasaran.
“Kamu ini satpam, kepala satpam atau ... orang agency pelayanan jasa satpam, Mas?”
Tidak ada jawaban dari Aga. Itu semakin membuat Naya penasaran. Caranya berpakaian, jam tangan, ponsel, bahkan kendaraan yang dikenakan pria itu tidak mencerminkan punya profesi sebagai seorang satpam atau bahkan kepala satpam.
"Aku kan kembalikan tasmu kalau anak buahku menemukannya," cetus Aga mengingatkannya pada kejadian beberapa waktu lalu.
Ia menoleh keluar jendela sambil berkata, “Aku sedang berusaha mengikhlaskannya. Mungkin itu bukan hakku, jadi Allah mengambilnya.”
Aga tidak memberi respon. Keduanya kembali diam dalam pikiran masing-masing. Naya tetap menatap ke luar jendela dan Aga fokus mengemudi.
Tiba-tiba saja Naya berpaling, memunggungi jendela dengan menggenggam kedua tangannya di dada. Itu menarik perhatian Aga dan Naya tidak bisa menutupi kesedihannya dengan apa yang baru ia lihat.
Pria itu bertanya lewat sorot mata, tetapi Naya hanya menggeleng. Aga mencari tahu sendiri dengan menoleh ke jendela di belakang Naya duduk. Ya. Di sana ada Kahfi dan Haura yang sedang berboncengan di atas motor. Yang membuat Naya sesak ketika Kahfi menarik tangan Haura agar memeluknya.
Itu menyakitkan. Ia pikir Kahfi sangat menjaga diri. Ternyata ... dia tidak sebaik yang Naya pikir selama ini.
-Bersambung-
BAB 10
Mobil yang dikendarai Aga sampai di depan rumah Naya. Tapi wanita itu masih enggan keluar. Sebab, berjarak beberapa meter dari rumahnya, ia melihat Kahfi yang sedang berdiri di depan rumah Haura.
"Orang tuamu akan khawatir kalau kamu masuk dengan air mata."
Naya segera menghapus air mata, mengatur napas beberapa kali dengan memejamkan mata. "Benar ... aku sudah bikin mereka mengkhawatirkanku terlalu lama. Aku nggak boleh membuat mereka sedih lagi. Aku sudah janji, kemarin adalah hari terakhir aku nangisin dia!" tegas Naya pada dirinya sendiri.
Memejamkan mata bukan membuatnya tenang, justru sikap percaya diri yang mengira ia dan Kahfi saling mencintai tergambar jelas di sana. Bayangan betapa bahagianya dia mendambakan Kahfi, memuja Kahfi, merasa menang atas segala hal yang telah memiliki pria tersebut membuatnya mengutuk diri sendiri.
Naya tidak bisa membohongi perasaannya. Bulir hangat meleleh di balik pelupuk matanya. Ia membungkuk, menyandarkan kepalanya di dashboard mobil dan membenamkan wajah dalam telapak tangan. Bahunya naik turun seirama dengan isakan tangis.
"Aku jahat banget! Harusnya aku nggak mencintainya terlalu dalam sampai membutakanku dengan berbagai hal. Keogoisanku mengorbankan orang lain! Aku manusia kejam! Kupikir aku adalah korban ... tapi justru akulah pelakunya!"
"Semua orang berhak jadi korban, tapi Tuhan tahu siapa yang paling terluka. Entah kamu atau mereka, nggak akan bisa mengukur sedalam apa perasaan seseorang."
Naya tersentak dengan kalimat pria di sampingnya. Ia menatap Aga, membenarkan kalimat itu. Namun pria itu justru memberi isyarat untuk mengalihkan perhatian ke pintu pagar rumahnya.
"Abi!" pekiknya pelan. Dengan cepat ia menyeka air matanya dan keluar dari mobil.
"Abi nyari kamu tadi, Nay! Baru saja Abi mau ke rumah Haura, ternyata ada mobil di sini," sergah Ustadz Mahmudi ketika Naya berdiri di hadapannya. Ia mengernyit melihat mata Naya yang sembab. "Kamu kenapa lagi, Nduk?"
"Nay—"
"Tadi putri Anda menjadi korban jambret, Pak. Dia ketakutan dan belum berhenti menangis," pangkas Aga.
"Astaghfirullah, Nduk!" Ustazah Mutia berlari menghampirk putrinya, "Bisa-bisanya kamu sembrono pulang malam-malam sendiri! Abimu sampai muter-muter nyari kamu!"
"Maaf, Ummi," sesal Naya lirih.
"Sudah Ummi, sudah. Ajak Nay masuk saja. Nggak enak kalau kedengeran tetangga," pinta Ustaz Mahmudi.
"Ayo, Nduk."
"Mas Aga ... terima kasih sudah menolong dan memberikanku tumpangan."
Aga hanya mengangguk dan Naya pergi ke dalam rumah bersama Ustadzah Mutia.
"Saya minta maaf tidak bisa mempersilakan Nak Aga untuk masuk, karena ini sudah terlalu larut," ujar Ustaz Mahmudi.
Aga kembali mengangguk paham. "Saya pamit dulu, Pak. Assalamu'alaikum," pamitnya.
"Wa'alaikumusalam," sahut Ustadz Mahmudi. "Emm ... Nak Aga!" panggilnya ketika pria di depannya hendak berbalik.
"Ya, Pak?"
"Ada yang mau saya tanyakan."
Aga mengangguk menunggu pertanyaan.
"Bisa mimpin tahlil?"
Wajah pria yang minim ekspresi itu tersentak dengan pertanyaan Ustadz Mahmudi. Baru kali ini ia tidak bisa langsung menjawab pertanyaan yang diajukan padanya.
Ustaz Mahmudi tersenyum dengan menepuk lengan Aga. "Terima kasih sudah menolong putri saya berulang kali," ujarnya.
Aga mengangguk berat. "Sama-sama, Pak. Saya permisi. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,"
***
Aga tiba di rumah hampir tengah malam. Ia melihat kedua orang tuanya sudah pulang dari hotel tempat adiknya menginap bersama teman-temannya. Mereka sedang menikmati hidangan kecil. Tadinya ingin langsung pergi ke kamar, tetapi Marko memanggilnya.
"Kok pulangnya malem banget sih, Ga?"
"Tadi nganter kenalan Aga terus nganter pesanan Sky sama Sora, Ma,” jawab Aga.
"Duduk dulu duduk dulu!" Marko menarik kursi di sebelahnya. Aga langsung duduk di sana. Zia menyodorkan makanan tetapi pria itu tidak berniat mengisi perut.
“Kenapa, Pa?” tanya Aga tidak ingin basa-basi.
"Kamu nggak ada perasaan sama cewek tadi?"
"Enggak, Pa.”
"Punya niatan dekatin dia nggak?"
"Enggak, Pa."
"Dia jadi nikah?"
Kening Aga mengerut karena pertanyaan Papanya. “Kayaknya nggak jadi.”
"Sip!" Marko menjentikkan jarinya dengan mata berbinar. "Masuk, Ga!"
"Masuk apanya, Pa?" tanya Zia.
"Nikahin, Ma!" tegas Marko.
“Ooh ….” Zia menatap putranya yang tidak berekspresi apapun. “Sudah kenal berapa lama kalian?”
Aga menggeleng. “Cuma beberapa kali ketemu, Ma.”
Jawaban itu membuat Zia mencubit lengan Marko. “Baru juga kenal udah disuruh nikah. Belum tahu asal usulnya juga.”
“Mama kalau tahu orangnya juga pasti langsung suka. Anaknya kalem. Berhijab juga. Kayak Sora. Nggak kalah cantik. Yakin deh Aga pasti bakal bisa lupain Sora.”
"Pa …. Jangan asal gitu. Nikah itu bukan buat lupain masa lalu.”
“Mama harus ketemu orangnya, deh. Waktu Papa ketemu dia tadi juga merasa kayak ‘ini calon menantuku’ gitu, Ma.”
"Aga ke kamar dulu,” pamit Aga memangkas perdebatan kedua orang tuanya.
"Ga!"
Panggilan Papanya menghentikan langkah Aga. Paras Marko kali ini berubah tegas.
"Banyak orang yang bisa mencintai istrinya setelah pernikahan,” ucap Marko serius. “Dengan menjadi suami, kamu punya kewajiban dan salah satunya mencintai istrimu. Lewat cara itu, munkin kamu bisa melupakan Sora. Toh, dia sudah bahagia dengan suaminya. Kamu pun juga harus bahagia. Berhentilah jatuh cinta sendirian, Nak.”
Aga tidak ingin memberi jawaban apapun.
"Pikirkan hal ini baik-baik."
Hanya anggukan yang bisa ia berikan dan langsung pamit ke lantai dua.
Kamar yang cukup luas dan nyaman menyambut kedatangannya. Jendela besar yang menunjukkan kerlip lampu-lampu rumah warga di lereng pegunungan Arjuna seakan menjadi lukisan yang menentramkan jiwa. Ia tersenyum masam menatapi sekeliling kamarnya. Demi apa dia membangun rumah itu sesuai dengan keinginan wanita yang tidak pernah membalas cintanya.
Ia rebahkan tubuh di atas tempat tidur. Matanya terpejam merasakan kenyamanan pada tulang punggung yang lelah usai bekerja seharian.
Sesaat kemudian Aga membuka mata dan duduk saat teringat sesuatu. Kemudian mencari sesuatu di laman pencarian. 'Cara memimpin tahlil', begitulah yang ia ketikkan di sana.
Bersambung
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
