
Selamat Membaca
Bab 07
🌹Happy Reading🌹
"Sialan! Jaket mahal-mahal, kalah sama payung murahan," umpat Jero ketika wanita yang tadi ia pinjami jaket, lebih memilih payung dari pria lain.
"Hahahahahaha! Kau ditolak?" tawa Fondi dari kejauhan terdengar jelas di antara deras hujan. Sepertinya pria itu melihat kejadian barusan.
"Buruan!" teriak Jero dan membuat manajernya itu berlarian dengan tertawa.
"Nih!" Fondi memberikan satu payung yang dia bawa pada Jero. "Suaminya, Qaya?"
"Mana kutahu," sahut Jero dan membuka payung. Ia memberikan paper bag dari Qaya tadi ke Fondi, kemudian mereka pun beranjak.
"Perhatian, sampe rela basah gitu, loh. Bucin banget." Fondi memperhatikan pria yang rela kebasahan demi memayungi seorang wanita, berjarak beberapa meter di depan mereka.
Jero bergeming. Mereka terus berjalanan sampai tiba di gedung. Pria yang tadi mengantar Qaya tidak ikut masuk. Hanya sampai di depan. Sorot mata mereka sempat bertemu, tetapi kemudian saling membuang muka.
"Mas Kai bisa pulang dulu aja. Mas bisa masuk angin kalau nunggu aku sambil basah gini."
Begitulah kalimat yang Jero dengar dari mulut Qaya ketika ia melewati dua orang itu. Entahlah apa hubungan keduanya, ia tidak peduli.
Ia lekas masuk ke tempat acara digelar. Produser dan sutradara sedang mencarinya. Dengan beberapa pemain inti mereka membicarakan rencana kelangsungan reading and rehearsal nanti.
"Hei hei! Ini Qaya, ketinggalan." Bu Karan yang datang dengan wanita bercadar itu lekas mendudukkan Qaya di kursi kosong yang ada di dekat Lula.
"Qaya, bisa ikut reading and rehearsal, 'kan? Latihan pembacaan naskah sampai nanti big reading sebelum proses syuting dimulai," tanya Produser pada Qaya.
"Karena ini 'kan adaptasi dari novel kamu. Jadi kami juga harus melibatkan kamu untuk melihat seperti apa karakter tokoh yang sesuai dengan tulisan kamu," imbuh Sutradara.
"InsyaAllah bisa, Pak," jawab perempuan bercadar itu.
Jero tidak terlalu mendengarkan obrolan mereka. Kurang lebih dia sudah paham bagaimana proses praproduksi ini akan dimulai. Ia tak acuh dan hanya memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Sampai tidak sengaja tatapannya bertemu dengan Lula yang sebenarnya sudah memperhatikannya sejak tadi.
Meskipun malas, Jero tidak akan menghindari tatapan wanita itu. Ia justru menatap dingin, membuat Lula terintimidasi dan menyerah. Betul saja, tidak sampai lima menit, pemilik wajah yang ramah itu sudah menyerah dan mengalihkan perhatian pada salah satu kru film.
Sekitar pukul sembilan malam, acara itu selesai. Meskipun begitu, banyak orang yang enggan pulang sebab ingin mencari peluang usaha di sana. Tidak dengan Jero. Ia tidak suka berkumpul atau nongkrong dengan orang-orang. Sejak terjun ke dunia entertain, ia memperkecil circle pertemannya dan hanya fokus dengan pekerjaan.
Selama ini ia benar-benar melindungi Una. Khawatir jika ada wartawan yang mengulik masalalu kemudian mengusik kehidupan pribadinya, terutama dengan kekurangan Una. Ia tidak ingin hal itu menjadi konsumsi publik. Omongan masyarakat bisa jadi menyakiti anak kecil yang tidak tahu apa-apa itu.
Semua memang salahnya. Ia termakan dengan kebenciannya pada Mami, wanita yang sudah melahirkannya. Hingga membuat cara pandangnya terhadap wanita menjadi berbeda.
Mami adalah perempuan penggoda yang membuat Papi kehilangan orang yang dicintai. Mami memakai segala cara untuk bisa mendapatkan Papi. Hingga akhirnya mereka melakukan hubungan terlarang dan Jero hadir dalam kandungan Mami. Opa dan Oma adalah keluarga yang bermartabat. Tidak menyukai hubungan Papi dengan kekasihnya. Mereka lebih menyukai Mami hingga akhirnya memaksa Papi untuk menikahi wanita tersebut.
Suka tidak suka, pernikahan itu terjadi. Papi tidak menyukai dan tidak pernah memedulikan keberadaan Mami. Namun, Papi sangat menyayangi Jero dan itu membuat Mami menjadi putranya sendiri. Sejak kecil, Mami sering menganiaya Jero. Bahkan saat SD, wanita itu pernah memberinya sebuah tusukan. Mami seperti orang gila, tetapi Papi tidak bisa menceraikan wanita itu atas larangan Opa dan Oma. Mereka terlalu mementingkan nama baik. Jika tercium celah keburukan di keluarga mereka, pasti hal tersebut akan berpengaruh pada perusahaan.
Rumah bukanlah tempat yang nyaman untuk Jero. Lebih tepatnya seperti neraka. Tidak ada kasih sayang di sana. Bahkan, Mami terang-terangan membawa laki-lakinya untuk berzina di rumah. Menjijikkan. Seperti itulah wanita di mata Jero.
Ia tumbuh menjadi sosok dengan fisik yang terbilang sempurna juga paras yang sangat menarik. Menjadi pewaris tunggal salah satu perusahaan perbankan besar di Indonesia adalah nilai tambah yang membuat banyak lawan jenis mendekatinya. Untuk gadis-gadis yang tidak tahu malu, berbuat apapun demi mendapatkannya, Jero tidak segan-segan merusak mereka. Masa remaja Jero terlalu bebas. Entah sudah berapa banyak wanita yang ia tiduri.
Satu-satunya wanita yang tidak akan ia rusak hanya Olin. Ia menyukai Olin karena mereka bersahabat sejak kecil. Namun, takdir tidak pernah memberinya kesempatan untuk mendapatkan perasaan gadis itu. Sebab sejak kecil, Olin hanya menatap Ibra. Mungkin Allah juga tidak mengizinkan gadis baik-baik seperti itu mendapatkannya yang menjadi penikmat maksiat. Bahkan ia mendapat gelar sebagai Makelar Dosa dari Olin, sebab suka mengajak orang untuk berbuat dosa.
Sampai akhirnya,ia benar-benar berhenti merusak wanita ketika ia melakukan sebuah kesalahan besar. Ia memanfaatkan Dita. Dia sahabat Olin yang cinta mati padanya. Mau berbuat apapun untuk bisa bersanding dengannya. Dan ia memanfaatkan Dita untuk mengancam Olin agar mau berpisah dengan Ibra kemudian memilihnya. Awalnya ia tidak mau berbuat terlalu jauh dengan gadis polos itu, tetapi karena mengetahui jika ternyata Olin dan Ibra sudah menjalin ikatan serius. Amarah membuatnya meniduri Dita dan sejak itu mereka sering melakukan hubungan terlarang hingga akhirnya gadis itu hamil.
Seperti biasa, itu bukanlah hal yang rumit buat Jero. Ia memberikan obat penggugur kandungan pada gadis itu dan beres. Ia pikir selesai. Namun ternyata tidak. Kehamilan itu terus berlanjut dan Jero tidak tahu. Ia baru tahu ketika kandungan gadis itu menginjak trimester 3 dan diam-diam Dita beberapa kali mencoba menggugurkannya tetapi tidak berhasil.
Berat ia ingin bertanggung jawab. Sebab, satu-satunya orang yang ia cintai hanya Olin. Dia tidak mau menikah dengan orang yang tidak dicintai. Namun akhirnya ia menurunkan ego dan menemui Dita. Sayang, itu menjadi hari terakhir untuk gadis itu. Dita meninggal saat melahirkan anak mereka dan efek dari obat penggugur kandungan itu membuat bayi tidak berdosa itu cacat fisik. Kaki bagian kanannya tidak tumbuh sempurna dan mempunyai sakit jantung bawaan.
Di usia ke-18, itu menjadi titik balik kehidupan Jero. Ia mempunyai ketakutan sendiri untuk dekat dengan seorang wanita. Sebab dari kebodohannya itu sudah menghilangkan nyawa. Jero benar-benar menjadi hancur dan tidak henti mengutuki diri sendiri. Namun ia putuskan untuk merawat putrinya. Papi mendungkungnya, tetapi Opa, Oma dan Mami tidak. Jero bersikeras dengan keputusannya dan akhirnya, Opa mencabut semua fasilitas miliknya. Menganggap ia bukan cucu mereka lagi juga mengancam Papi kehilangan semua aset dan kekayaannya jika memihak Jero.
Ia tidak pedulikan hal itu. Ia merawat putrinya dengan bantuan Olin yang saat itu juga sedang berada di titik terendah hidup. Mereka masih bersahabat dan mendukung satu sama lain. Sampai akhirnya Jero kuliah dan mendapat pekerjaan di dunia entertain. Sebab ia harus mendapatkan banyak biaya untuk operasi jantung putrinya.
Jero pikir Papi benar-benar sudah tidak peduli padanya dan tunduk dengan perintah Opa. Ternyata tidak, semua keberhasilannya di dunia entertain juga ada campur tangan dari Papi. Bahkan orang-orang suruhan Papi yang diam-diam menjaga agar privasinya dan Una benar-benar terjaga dari wartawan. Termasuk juga dengan orang-orang suruhan Opa. Memang tujuannya berbeda. Jika Papi melindungi Una, sedangkan Opa melakukannya untuk melindungi nama baik perusahaan.
Ia pun baru tahu setahun yang lalu ketika Papi mendatanginya secara terang-terangan di Singapura. Saat Una, putrinya, akan menjalani operasi jantung. Papi sengaja memperkuat perusahaannya sendiri agar bisa terlepas dari Opa. Tidak membiarkan satu orang pun mengekangnya dan sekarang Papi bisa berbuat apapun untuk melindungi anak juga cucunya.
"Kak Jero!"
Panggilan seseorang menghentikan langkah Jero untuk masuk ke mobil. Ia menoleh, dengan malas membalikkan badan.
"Ha?" tanyanya pada Lula yang sedang berdiri memegang payung. Hujan sudah tidak terlalu deras, mungkin wanita itu terlalu takut air akan membuat make upnya luntur.
"Sudah dengar kabar dari Opa? Besok malam keluarga kita akan makan malam bersama."
"Aku bukan bagian dari keluarga itu. Jangan ngarepin kedatanganku," jawab Jero dan membalikan badan.
"Tapi aku kangen mau ketemu Una, Kak."
Dengan cepat Jero membungkam mulut Lula dan memberi ancaman lewat sorot mata. Setelah melihat wanita itu mengangguk paham atas kesalahannya, ia melepas bekapan tangan itu.
"Maaf ... aku kelepasan."
Jero tak acuh dan lekas masuk ke dalam mobil. Namun saat akan menutup pintu, wanita itu menahannya.
"Apa lagi, sih? Udah banyak orang yang benci denganku. Jangan nambah-nambahin lagi dengan bersikap playing victim, ya!"
"Makanya, bersikap baiklah ke aku. Kita akan bertunangan, harusnya kita memperbaiki hubungan biar semakin dekat."
Jero tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Lula. Dan dalam sekejap, tawa itu lenyap lalu melepaskan tangan Lula dari daun pintu mobilnya. Ia tatap wanita tersebut dari ujung kepala hingga kaki. Kemudian mendengkus sambil mengulas senyum masam.
"Kenapa lihat aku seperti itu, Kak?" Lula terlihat risih.
"Dari segi manapun, kamu enggak masuk dalam seleraku. Pergilah." Jero lekas menutup pintu mobilnya dan menyuruh Fondi untuk melajukan kendaraannya.
"Kenapa enggak aku aja ya, yang dijodohin sama Lula? Yakin dah kusayang sampe ke bakteri-bakterinya," ujar Fondi. "Opamu, enggak ada niatan mau nambah cucu gitu, Ro?"
"Yakin, mau?"
"Kagak. Canda, doang. Keluargamu nyeremin, ogah aku. Mending jadi rakyat jelata aja." Fondi bergidik dan Jero hanya tersenyum masam.
Kembalinya Papi ke kehidupannya, juga membuat Opa dan Oma mengusik kembali hidupnya. Tiba-tiba datang, mengakui keberadaan Una, memberikan banyak fasilitas. Namun, ujung-ujungnya menginginkan Ia kembali dan mengurus perusahaan. Sekaligus ... menikah dengan anak dari rekan bisnis mereka, Lulana Idris.
Sejak di Singapura, Lula sudah sering menjenguk Una dan cukup membuat keduanya dekat. Namun, tidak dengan Jero. Mungkin karena dia sudah membentengi diri sendiri untuk tidak lagi terlibat dengan cinta dan perempuan, jadi hatinya sama sekali tidak tersentuh melihat perhatian Lula.
"Tapi, Ro. Masak iya, sih, kamu enggak bakal nikah lagi? Una butuh Mama, 'kan?" tanya Fondi tiba-tiba.
Jero tak lekas menjawab. Ia justru menatap foto Una yang menjadi wallpaper ponsel. "Enggak gampang cari orang yang benar-benar tulus nerima keadaan Una. Aku akan membesarkan dia sendiri. Dengan cintaku, penuh, tidak akan terbagi. Dari pada aku menikahi seseorang yang pada akhirnya akan membuat Una tidak nyaman," tuturnya resah.
"Enggak kebayang deh gimana nganggurnya pusakamu kalau enggak nikah."
"Masa mudanya udah puas menjelajah," jawab Jero dan mendapat ledekan dari Fondi.
Mereka melanjutkan berkendara dengan saling mengejek. Sampai Jero mendapat panggilan video call dari Una lagi.
"Papa, masih lama pulangnya?"
"Bentar lagi nyampai apartemen, Sayang. Kenapa? Tumben-tumbenan nanyain?"
Tiba-tiba saja Una menunjukkan posisi keberadaannya saat ini dan tempat itu cukup familiar.
"Kayak enggak asing, deh. Una di mana?"
"Di lobi apartemen kamu, Ro! Masak enggak hafal?" Tiba tiba terdengar suara Papi.
"Namanya juga masih baru, Pi. Jarang juga lewat lobi. Biasanya naik dari basemen. Tunggu bentar lagi, ya. Habis ini kami sampai."
Panggilan itu Jero akhiri dan meminta Fondi untuk mempercepat laju kendaraannya. Sekitar sepuluh menit mereka sampai. Kali ini Jero minta turun di lobi dan Fondi membawa mobil ke basemen.
Di lobi apartemen yang tidak terlalu luas itu, ia melihat Papi, Una dan Mbak Anis di sana. Senang sekali melihat mereka memberi kejutan. Memang baru beberapa hari ia menempati apartemen itu. Rencanya akan mengundang keluarga saat apartemennya sudah rapi, tetapi mereka malah datang lebih dulu. Mungkin juga karena ada rencana besok malam.
Tidak banyak berbincang, Jero lekas mengajak mereka untuk naik. Yang tidak disangka-sangka saat akan memasuki lift. Ia melihat seorang wanita bercadar sedang berada dalam elevator tersebut.
"Qaya?" ucap Papi.
Wanita yang juga terlihat kaget itu mengangguk ramah.
"Tante Qaya tinggal di sini?" kali ini Una bertanya.
"Iya, Sayang," jawab Qaya. "Mari silakan masuk." Ia mundur ke sudut ruangan.
Jero dan keluarga pun masuk ke dalam lift. Melihat tombol angka yang akan ia tuju sudah menyala membuat ia urung menekan. Itu artinya, tempat tinggal Qaya berada di lantai yang sama dengannya.
🌹To Be Continued🌹
Bab 08
🌹Happy Reading🌹
Beberapa saat ada di dalam lift, Jero mengetahui jika wanita itu sudah tinggal di sana sekitar 2 tahun terakhir ini. Papi yang mengajak Qaya berbincang sedangkan ia memilih bercanda dengan Una yang sedang ia gendong.
"Nanti Papi nginap di hotel saja, Ro. Biar Mbak Anis sama Una bisa tidur di sini," ujar Papi ketika mereka sudah keluar dari lift.
"Enggak usah. Papi Bisa tidur di kamarku atau kamar Fondi. Biar kami tidur di depan," sahut Jero.
"Enggak apa ... biar Papi ke hotel aja. Besok pagi Papi ke sini lagi. Yang penting Una bisa bermalam sama kamu."
"Tante Qaya ... kok ngikutin?"
Perhatian mereka lantas teralihkan pada orang yang diajak bicara Una di belakang.
"Tempat tinggal tante yang itu, Sayang." Qaya menunjuk pintu paling ujung.
Jero mengangkat satu alisnya. Tidak menyangka jika mereka tinggal bersebelahan.
"Kalau mau, Una boleh mampir. Tante punya kucing. Una suka enggak?"
Ajakan Qaya membuat Una menatap Jero. Pria itu menggeleng."Sudah malam. Besok aja, ya?" bujuk Jero.
"Besok Tantenya kerja. Una jadi enggak bisa main."
"Habis sholat subuh boleh kok Una main ke tempat Tante."
"Apa enggak apa-apa, Qaya?" tanya Papi pada wanita yang selalu menundukkan padangannya itu.
"Qaya senang kalau ada tamu, Om. Karena Qaya enggak pernah dapat tamu selain Ayah." Mata Qaya membentuk lengkungan, menandakan jika ia sedang mengulas senyum.
Jero pun mengangguk setuju melihat jawaban Qaya dan Una terlihat senang. Ia lekas membuka pintu apartemen dan keluarganya mengucapkan salam perpisahan pada wanita tersebut.
Apartemen itu hanya memiliki dua kamar. Jika dulu di tempat lama ia tinggal sendiri, sekarang Fondi ikut bersamanya. Sebab akan lebih mudah memantaunya jika tinggal dalam satu rumah. Barang-barangnya memang tidak banyak. Karena sebelum ia berangkat ke Singapura, semua perkakas di kontrakan lama ia pindahkan ke Bandung. Sebab ia tahu akan lama di negeri tetangga dan pemilik berhak menyewakan pada orang lain.
Malam itu mereka berbincang-bincang sejenak sampai Una mengantuk dan tidur di kamarnya bersama Mbak Anis. Sedangkan Papi nanti akan tidur di kamar Fondi. Ia dan manajernya itu bisa tidur di ruang tengah yang masih beralaskan karpet.
Mereka berbincang-bincang hingga cukup larut, sampai akhirnya Fondi tidak kuat dan memilih untuk tidur lebih dulu. Saat itulah ia teringat sesuatu dan mengajak Papi untuk membicarakannya di balkon, agar tidak mengganggu orang-orang yang sedang tidur.
"Masalah Lula?" tebak Papi setelah mereka duduk di kursi kayu yang terpisah meja. Dua kaleng minuman dingin sengaja Jero bawa untuk pendamping obrolan mereka.
"Aku enggak suka hidupku diatur-atur, Pa. Aku enggak mau nerusin perusahaan dan aku mau seperti ini saja."
"Tapi kamu pewaris tunggal perusahaan Opa dan juga perusahaan Papi. Terus, siapa yang akan melanjutkannya?Orang lain?Kamu rela melihat apa yang sudah Opa dan Papi bangun selama ini hilang begitu saja?"
"Masukkan ke badan amal 'kan bisa. Bahkan sekelas Alice Walton, German Larrea atau Klaus Michael Kuehne santai-santai aja enggak punya pewaris. Di tangan yang tepat, perusahaan akan tetap jalan. Dari pada dipimpin oleh seseorang yang enggak kompeten, Pi. Bisa hancur."
"Kamu cuma enggak mau menikah secara bisnis, 'kan?" tanya Papi. Ternyata semudah itu alasannya bisa ditebak.
Jero meneguk minuman kalengnya, kemudian menunduk. "Hm," jawabnya singkat dan mendapat tepukan di punggung dari Papi.
"Cobalah untuk dekat dengan Lula. Dia gadis yang lembut dan sopan. Ia juga dekat dengan putrimu," bujuk Papi tetapi tidak mendapat respon dari Jero. "Atau kamu punya pandangan ke wanita lain?"
Jero menggeleng.
"Kamu benar-benar serius tidak mau menjalin hubungan? Kamu masih 24 tahun, Ro. Perjalananmu masih panjang. Masa lalu kita itu cuma bagian dari sebuah proses kehidupan. Untuk dijadikan tolak ukur, bukan malah menjadi penghalang buat kamu melangkah ke masa depan."
Ini sudah kesekian kali Papi menasehatinya. Meski menggunakan kalimat yang berbeda, tetap saja tidak bisa merubah keputusannya. Ia ingin membahas perihal rencana pertunangan antara dia dan Lula. Meminta Papi memihak keputusannya dan membantu untuk membatalkan hal tersebut. Akan tetapi, sepertinya kali ini Papi berada di pihak Opa.
"Kalau memang bukan Lula, kamu boleh pilih wanita lain yang kamu inginkan. Yang penting kamu menikah. Untuk dirimu sendiri dan untuk Una."
"Sudah kubilang aku akan membesarkan Una sendiri, Pi."
"Ro ... Una butuh figur seorang ibu."
"Bagaimana kalau ibu baru Una justru menjadi beban untuknya kelak? Seperti aku yang menyesali kenapa harus hidup bersama mami waktu itu?"
"Carilah calon istri yang paham agama, dia pasti tahu bagaimana cara memperlakukanmu dan Una dengan bijak."
Jero manarik sudut bibirnya dan tersenyum masam mendengar ucapan Papi. Ia kembali meneguk minumannya dan menyandarkan punggung di kursi. Pandangannya tertuju pada langit malam kota Jakarta yang mendung. Semua dosa besar yang pernah ia lakukan seakan terputar ulang di sana. Membuatnya terkekeh pelan dan menggeleng.
"Setan dan malaikat ketawa denger Papa ngomong kayak gitu. Gimana bisa aku ngarepin pendamping yang paham agama sedangkan aku cuma gini-gini aja."
"Apa salahnya? Kamu sudah baik sekarang? Kamu menjaga ibadahmu. Bisa saja Allah kasih kamu hal spesial karena kamu sudah jadi manusia yang lebih baik, Nak."
"Sampai sekarang saja aku takut, Pi. Apa tobatku akan diterima? Apa sholatku akan diterima? Apa amal sholehku selama ini akan dihitung? Berpikir seperti itu saja buat aku khawatir, Pi. Enggak pernah terbesit di pikiranku untuk meminta sesuatu yang lebih."
Papi diam tidak memberi jawaban. Ia tahu, Papi bukan orang yang paham agama. Untuk membicarakan hal-hal seperti ini, ia tidak akan menemukan titik terang. Mereka berdua lebih sering bertukar pikiran membahas dosa masing-masing kemudian saling menguatkan. Harusnya memang mereka belajar pada seseorang yang paham agama, tetapi waktu mereka terlalu sibuk untuk dunia meski tetap berusaha menjaga kewajibannya sebagai seorang muslim.
"Qaya? Gimana menurutmu?"
Jero terbelalak mendengar pertanyaan Papi. Ia lekas menegakkan badan dan menatap pria di sampingnya. Ia sedikit panik dan memperhatikan balkon di sebelah sambil mengintip ke arah apartemen itu. Lega ketika melihat lampu di dalam ruangan itu sudah mati, penghuninya pasti sudah terlelap.
"Papi jangan macem-macem, deh! Kalau dia denger terus salah paham gimana?" protes Jero dengan berbisik.
"Papi, 'kan cuma tanya. Kali aja kamu mau, Papi bisa bicarakan dengan ayahnya. Papi tahu status Qaya seperti apa dan dia enggak lagi terikat hubungan dengan siapapun."
"Kayaknya kita waktunya tidur, deh, Pi. Udah ngelantur kemana-mana ini."
"Papi enggak ngelantur, Jero. Siapa sih, yang enggak mau punya menantu seperti Qaya? Kamu sendiri masak enggak mau punya istri—"
Jero berdiri dari duduknya dan membuat Papi tidak melanjutkan kalimatnya. Ia mengajak pria itu untuk masuk. Mendorongnya ke dalam kamar Fondi dan menyuruh untuk beristirahat. Setelahnya, ia merebahkan badan di atas karpet ruang tengah. Dengan berbantal lengan, ia memulai memejamkan mata. Menghapus semua kegelisahannya untuk hari ini dan menyiapkan tubuhnya agar vit melakukan pekerjaan esok hari.
🌹🌹🌹
Subuh ini apartemen Jero cukup ramai. Mereka mengerjakan salat berjamaah di ruang tengah. Karena Una yang buru-buru main ke tempat Qaya, ia jadi tidak ada kegiatan dan memilih untuk tidur kembali. Bangun-bangun melihat jam sudah pukul tujuh lebih. Cahaya dari balkon membuat ruang tengahnya cukup terang.
Papi sedang mengontrol pekerjaan lewat sambungan telepon. Fondi berada di dapur bersama Mbak Anis yang sedang memasak. Tentu saja itu membuatnya kaget. Bukan karena Fondi yang sedang cari perhatian pada baby sitter putrinya, melainkan kaget kenapa Mbak Anis di sana sedangkan ia tidak melihat Una di sekitarnya.
"Mbak! Una, kamu tinggal di sana sendiri?" tanya Jero.
"Iya, Mas. Saya ajak pulang enggak mau. Masih mainan sama Mbak Qaya dan kucingnya. Nanti kalau Mbak Qaya mau berangkat kerja, Una diantar ke sini."
Jero tidak nyaman dengan itu. Ia pilih untuk keluar dan menjemput Una. Bagaimanapun juga mereka beru saja kenal dan tidak terlalu dekat. Ia juga takut kalau wanita itu mengorek informasi pribadinya dari Una. Anak kecil tidak bisa mengontrol ucapan dan itu membahayakan.
Baru ia keluar dari apartemennya, Jero sudah melihat putrinya sedang berjalan dengan tongkat sambil digandeng Qaya. Pakaiannya sudah rapi dengan memakai tas simpel yang menggantung di bahu. Jelas sekali jika wanita sudah akan berangkat kerja.
"Papa!" seru Una dengan senyum lebar hingga terlihat gigi-giginya. "Una pulang."
Jero mendekati Una dan menggendongnya. Ia kemudian menatap Qaya. "Makasih udah mau direpotin pagi-pagi," ujarnya.
"Sama sekali enggak merepotkan, Mas." Qaya menjawab dengan ramah, tetapi sorot matanya tidak tertuju pada Jero, melainkan pada Una . "Lain kali, kalau Una ke Jakarta, kita main-main lagi, ya."
Una mengangguk. "Iya, Tante. Terima kasih udah ajak Una belajar sambil main-main."
"Tante berangkat kerja, ya?" pamit Qaya pada Una kemudian ganti menatap Jero. "Saya permisi, Mas. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam," jawab Jero.
Wanita itu beranjak pergi kemudian ia pun kembali masuk ke apartemen bersama Una.
"Papa ...."
"Ya?" Jero mendudukan putrinya di kursi meja makan kemudian ia duduk di sampingnya. Menopang dagu dengan tangan yang bersandar di atas meja.
"Una minta maaf, ya. Dulu udah bikin Papa takut dan nangis-nangis karena mikirin Una yang nakal. Yang enggak mau sembuh dan malah mau nyusul Mama."
"Hei hei hei ... kenapa tiba-tiba ngomong gini?" Tentu saja Jero terkejut dengan omongan putrinya yang tiba-tiba menyangkut hal-hal yang tidak biasa.
"Kata Tante Qaya. Una harus jadi anak sehat dan sholeha."
"Iya, dong. Harus. Una udah pinter, Una udah sehat." Jero mengusap pipi putrinya dengan bangga.
"Kalau Una ikutan Mama Dita. Nanti amalan buat mama Dita jadi keputus."
"Kok gitu? Kenapa, Sayang?"
"Kata Tante Qaya, cuma amalan anak sholeh yang enggak akan pernah terputus. Jadi Una harus sehat. Harus terus doain Mama Dita biar di tempat tidur Mama Dita sekarang banyak lampunya."
Jero tersenyum mendengar penjelasan putrinya. Baru berapa jam ia bersama orang baru itu, tetapi kembali pulang dengan membawa ilmu baru yang tidak pernah ia ajarkan. Selama ini Una menyuruh untuk mendoakan mamanya. Ya, hanya mendoakan tanpa memberinya landasan dan alasan kenapa harus melakukannya. Sekarang, justru ia yang diajari hal tersebut dengan penuturan yang sederhana.
"Kalau Papa mau Una doakan apa?"
"Mm ... mau Una sehat terus dan bisa temenin Papa sampai tua."
Una mengangguk dan mengacungkan dua ibu jarinya sambil berkata, "Oke! Permintaan diterima. Anak sholehanya Papa habis ini akan rajin sholat, rajin ngaji, rajin belajar, rajin makan, biar sehat."
"Siip! Pinteeer."
"Tapi Una boleh minta sesuatu enggak, Pa?"
"Apa, Sayang?"
"Una mau kucing."
"Kucing?" Jero mengernyit.
"Iyaaa. Kucing. Kayak punya Tante Qaya," rengek anak itu. "Kata Tante Qaya, buat Una yang punya sakit jantung gini cocok banget pelihara kucing."
Jero menegakkan badan dan menggelengkan kepala. "Enggak-enggak. Papa enggak suka sama kucing. Bulunya bikin geli."
"Kan lucu, Pa. Bulunya Muza lembut dan wangi. Una mau yang kayak gitu."
"No no no no!" Jero berdiri kemudian mengambil air minum sambil bergumam, "Baru aja mau berterima kasih udah ngasih ilmu ke Una. Ujung ujungnya malah suruh beliin makhluk berbulu yang bikin gatal itu."
"Papa ...."
"Enggak, Una. Papa geli sama kucing."
"Papa enggak asyik!" Una melipat tangan di dada dan memayunkan bibirnya.
"Ntar Papa temuin Tante Qaya. Dia pasti cuma ngada-ngada dengan alasan itu. Aslinya tuh, dia cuma mau pamerin kucingnya ke kamu, Sayang. Dia 'kan tahu kamu anaknya artis, kaya raya, jadi mau jual kucingnya ke kita dengan harga mahal."
"Ya udah ... Una tinggal di sini aja biar bisa main-main sama kucingnya Tante Qaya."
"Nah ... iya, tuh!" sahut Papi tiba-tiba. "Yang kecil deket sama kucing, yang gedhe deketin pemiliknya."
"Ck! Mulai, nih!" decak Jero. "Bukan seleraku, Pi."
"Ya elu, Ro, yang bukan selera dia!" sahut Fondi dan mendapat sahutan tawa dari Papi.
Sedangkan Una masih menatap Jero penuh harap. Namun Jero lebih memilih pergi. Lain kali mending Una tetap di rumah saja daripada pergi ke rumah orang, pulang pulang malah minta aneh-aneh. Harus ditegesin lagi tuh cewek.
🌹To Be Continued🌹
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
