
Selamat membaca
Bab 05
🌹Happy Reading🌹
"Kamu ngapain di sini?"
Itu bukan pertanyaan dari seseorang yang sedang peduli dengan keadaannya. Wanita cantik dengan gaun silver yang terbuka di bagian bahu berjongkok di depannya. Itu Yana, selingkuhan Rayan yang saat ini sudah sah menjadi istri.
"Sudah dibilang, jangan muncul-muncul di hadapan kami. Jangan sampai bikin huru hara dan tetep diem aja di persembunyianmu." Kali ini suara pria yang sangat ia benci terdengar. Tidak sedang memberinya nasehat, tetapi ancaman.
Benaknya semakin sakit mendengar pria itu bicara. Ia ingin sekali menjawab, melontarkan semua amarah yang selama ini ia pendam.
"Jangan muncul-muncul lagi di depan kami, ya, Qaya." Yana mengusap kepala Qaya, tetapi lekas ditepis.
"Pergi! Harusnya ... kalian yang enggak boleh ... muncul di ... depanku!" usir Qaya dengan terbata-bata, membuat dua orang di depannya tertawa.
"Kalian siapa?"
Kali ini pria yang meninggalkannya beberapa menit yang lalu sudah kembali dengan sebuah tin oxygen di tangan. Qaya meminta benda itu dan segera memakainya.
"Wah, nggak nyangka bisa ketemu langsung dengan Jerobi Akasia di sini. Tadi waktu ke pelaminan enggak ketemu, cuma bisa lihat dari jauh. Padahal banyak sekali yang mau saya bicarakan dengan Anda." Mas Rayan mengulurkan tangan pada Jero tetapi tidak disambut. "Saya Rayan, direktur utama Light Production."
"PH besar yang memroduksi dua film box office kamu beberapa tahun lalu. Kamu enggak lupa, 'kan?" Yana mengingatkan Jero. Seakan sedang mendesak untuk segera menyambut tangan suaminya.
"Ooh ... sudah ganti direktur? Bukan Pak Romi lagi?" tanya Jero dan mendapat anggukan dua orang itu.
"Ya, setahun ini perusahaan sudah berada di bawah kepemimpinanku," jawab Mas Rayan.
"Oh. Pantesan pamornya udah enggak sebagus dulu." Jero mengulas smirk seiring dengan mengangkat satu alisnya. Ia menatap tangan yang masih menggantung di udara itu. "Turunin aja tangannya. Aku cuma mau bersentuhan sama manusia."
"Gimana?" tanya Rayan tidak terima.
"Kamu anggap kami apa? Jangan mentang-mentang artis—"
"Kamu bisa berdiri?" Jero mengabaikan omelan Yana dan justru bertanya pada Qaya.
"Bisa." Qaya mengangguk. Ia menarik napas tanpa menggunakan kaleng oksigen di tangannya. Masih lemas dan belum lega, tetapi sudah lebih baik dari sebelumnya. "Terima kasih sudah dibantu," ucapnya setelah berdiri.
"Hm."
"Ro!"
Perhatian semua orang tertuju pada pria kurus tinggi yang setengah berlari menghampiri mereka. Itu Fondi, yang terlihat jelas jika mencari Jero.
"Kenapa? Una masih nangis?" tanya Jero khawatir.
"Udah enggak. Cuma ngeluh aja pipinya panas."
"Ck!" decak Jero kemudian melangkah pergi.
"Harusnya kalau Mbak mau melukai saya, pastikan keadaan di sekitar biar nggak ngelukai orang lain juga. Kena anak kecil loh, Mbak. Lihat—"
"Oooh ... jadi kamu orang bikin anakku nangis?"
Jero yang sudah pergi beberapa langkah itu kembali lagi, mendorong tubuh Yana ke dinding dan menatapnya penuh amarah.
"Hey! Apa yang kau lakuin ke istriku!" Mas Rayan melayangkan protes tetapi Jero menarik kerah kemeja pria itu dan menghentakkan tubuhnya ke dinding.
"Berani-beraninya melibatkan anakku dalam urusan kalian." Suara Jero bergetar menahan amarah. Tangan kirinya mencengkeram leher Rayan, membuat wajah pria itu menjadi merah padam.
"Lepasin! Kamu mau bunuh suamiku?" Yana menarik tangan Jero tetapi pria itu ikut mencekik dan mendorong wanita tersebut hingga tersungkur.
"Aku udah janji pada diriku sendiri enggak akan nyakitin wanita. Karena itu, aku akan membalas sakit yang dirasakan putriku padamu saja!" Rahang Jero mengeras dan tatapannya begitu sangat tajam dan mengerikan.
Qaya tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak berani melerai juga tidak berani bersuara.
"Ro! Udah ... jangan bikin masalah!" Fondi menarik tubuh Jero dan memaksa untuk melepas cekikan tangan dari leher Rayan.
"Oke Oke, aku lepas!" Jero mengangkat tangannya dan mundur selangkah.
"Aku akan bawa perkara ini ke pengadilan!" ancam Rayan dan Jero malah menarik tersenyum masam.
"Fon! Tolak semua tawaran kerjasama yang berhubungan dengan Light Production. Kasih alasan ke semua brand yang akan kerja sama denganku, aku enggak akan mau terlibat dalam pekerjaan apapun yang berhubungan dengan rumah produksi itu!" tegas Jero tanpa mengalihkan tatapan intimidasinya pada Rayan. "Sudah terbayang, 'kan? Berapa triliun kerugian perusahaanmu kedepan?"
"Oke!" sahut Fondi.
"Kamu enggak bisa gitu, Jero! Kita sudah bekerja sama cukup lama. Hubungan baik—"
"No no no no!" Jero menggeleng dengan senyum merendahkan. "Hubungan baikku hanya dengan Pak Romi. Bukan denganmu. Lagian bukan karena ini juga aku menolak kerjasama dengan perusahaanmu. Tapi orang-orang sudah membicarakan kepemimpinanmu yang sangat buruk."
"Jangan dengarkan kata orang. Itu hanya orang-orang yang iri saja dengan pencapaian perusahaanku. Istriku akan meminta maaf pada anakmu." Rayan terlihat panik, ia bahkan menarik kasar istrinya untuk mendekat.
"Aku enggak butuh maaf darinya," ujar Jero tak acuh.
"Lakukan sesukamu dan kami akan menyebarkan kalau ternyata Jerobi Akasia sudah mempunyai anak. Dia melakukan pembohongan publik dan pura-pura menjadi pria lajang," ancam Yana.
"Oya?" Jero mendekati wanita tersebut, mendesaknya hingga terhimpit di dinding. "Apa kau pernah mendengarku mengikrarkan diri sebagai seroang pria lajang? Kita hidup di jaman modern, Cantik. Cari rekam jejakku dan kalau tidak ada, mari kita lanjutkan pembicaraan ini ke ranah hukum." Ia memberikan senyuman manis diiringi jari telunjuknya yang mengukir sentuhan dari pelipis hingga berhenti di pangkal leher wanita tersebut.
"Kenapa kamu diam saja melihat pria lain menyentuh wanitamu, Mas?" tanya Qaya pada Rayan. Ia jengah melihat pria itu tidak risih dengan perlakuan Jero pada istrinya. "Bukankah pengorbananmu untuk menikahinya sangat sulit. Berbagai cara kamu lakukan untuk bercerai denganku agar namamu tetap baik dan kamu bisa mendapat restu untuk menikahinya. Sekarang, kamu biarkan wanita yang kamu cintai ini disentuh pria lain. Apa kamu berencana menjual istrimu pada pria ini agar dia mau tetap bekerjasama denganmu? Apa sepenting itu uang buatmu sampai kamu menyakiti banyak wanita?"
"Diam! Kau enggak punya hak apapun untuk bicara di sini!" sentak Rayan.
Qaya menggeleng. "Ada ... aku juga punya hak untuk bicara." Ia diam sejenak menatap Jero kemudian balik memandang pria berusia 30 tahun itu. "Aku adalah Pluviophile, penulis novel 'Hujan di Instanbul'. Novel best seller yang akan diadaptasi jadi film oleh rivalmu. Pemeran utamanya Jerobi Akasia dan Lulana Idris. Dan sekarang, kamu sedang mengejar 'Peony', novel kelimaku agar bisa dipinang perusahaanmu, 'kan?"
"Kau penulis?" Mata Rayan memicing tidak percaya. "Kau bohong, Qaya! Selama kita bersama, kau enggak pernah—"
"Karena kamu sibuk memperhatikan wanita lain, Mas. Kamu enggak ada bersamaku meski ragamu ada di hadapanku."
"Qaya—"
"Biarkan aku membalas sedikit saja rasa sakit hati yang kurasakan padamu, Mas. Sedikit saja."
"Qay—"
"Saat ini juga. Aku tidak akan mengizinkan satupun bukuku untuk dipinang oleh rumah produksi yang berhubungan dengan perusahaanmu. Tidak akan pernah!" tegas Qaya. Ia ambil envelop clucth yang masih tergeletak di lantai kemudian pergi begitu saja.
Ia tidak mendengar panggilan dan usaha Rayan untuk mengejarnya. Pria itu pasti masih bergeming tidak percaya dengan kenyataannya. Saat penerbit memberi tahu jika perusahaan Rayan meminang buku kelimanya, ia sudah mempunyai rencana untuk mengulur-ulur, sampai membuat Rayan memohon-mohon, baru ia akan membuka identitasnya. Namun, rencana Allah berbeda. Seperti inilah ia membuka siapa dirinya dan menjatuhkan Rayan tanpa mengulur-ulur waktu.
Air matanya tumpah begitu saja. Rasanya puas bisa membalas pria tersebut. Ia ingin pria itu jatuh, benar benar jatuh dan terkubur dalam obsesinya akan harta. Namun itu hanya sebuah ingin, ia tidak tahu bagaimana keadilan Allah menangani luka yang ia terima dari pria tersebut.
Qaya pergi ke arah lobi hotel. Ia melihat Ayah di sana dengan asisten pribadinya. Tidak ada Mama membuatnya berani menghampiri Ayah. Terlebih dahulu ia memakai kembali oksigen yang dibawakan oleh Jero kemudian disembunyikan dalam jaket yang ia gantungkan di lengan. Baru ia sadari kalau jaket pria itu tidak sengaja terbawa.
Tidak mungkin ia kembali ke sana. Ia akan kembalikan nanti dan lekas menghampiri Ayah. Niatnya untuk membuat Ayah agar tidak kepikiran tentangnya, justru membuat Ayah khawatir. Sebab ia datang malah menumpahkan tangisan dalam pelukan pria tersebut. Ayah menenangkan dan mengingatkan untuk mengontrol emosinya jika tidak mau sesaknya kambuh.
Ayah mengambilkan air mineral kemasan yang disediakan manajemen hotel di tiap-tiap meja ruang tunggu lobi. Qaya menyingkap sedikit cadarnya dan lekas meneguk air tersebut.
Setelah tenang, ia menceritakan apa yang baru saja ia hadapi. Sejak kejadian perceraiannya dengan Rayan, Qaya menceritakan semua hal pada Ayah. Tidak ada yang ia tutupi lagi. Sebab Ayah, satu-satunya orang yang paling mengerti tentangnya.
"Memang lebih baik kamu enggak perlu lagi ketemu mereka, Nak. Mereka akan membuat kamu semakin malu dan ingin membuktikan ke semua orang kalau kamu benar-benar salah."
Qaya mengangguk. "Harusnya Qaya nurut sama ucapan Mama," ujarnya dan mendapat usapan lembut dari Ayah.
"Kita pulang aja, ya?" ajak Ayah.
"Qaya akan nginap di sini, Yah," tolaknya langsung.
"Pulang, Nak. Sampai kapan kamu akan terus menghindar dari Mama?"
Qaya menggeleng. "Qaya enggak berani, Yah. Apalagi sekarang Mama makin enggak suka sama Qaya."
"Ayah berat lihat kamu sendirian di luar, Nak. Kenapa kalian selalu membuat Ayah memilih?"
"Qaya enggak pernah meminta Ayah memilih. Qaya mau Ayah terus sama Mama."
Ayah menangkup pipi Qaya, sorot matanya penuh belas kasihan. "Ayah sedih lihat kamu menyiksa diri seperti ini. Sudah cukup, Nak. Jangan merasa bersalah lagi."
"Bagaimana bisa Qaya tidak merasa bersalah, Yah. Keteledoran Qaya bukan bikin hilang barang, tapi manusia. Harusnya hari itu Qaya dengerin Mama buat enggak main-main di luar. Tapi Qaya bandel, Qaya enggak jaga adek dengan baik dan adek hilang." Suara Qaya hampir tak terdengar karena terendam penyesalan yang tidak pernah surut. Ayah memeluknya dan mengusap punggungnya agar tenang.
Nasehat yang diberikan Ayah tidak pernah berubah ketika ia sudah mulai membahas penyesalan terbesarnya. Semua itu karenanya. Ayah dan Mama kehilangan anak mereka. Ia pantas dibenci. Ia bahkan merasa tidak pantas mendapatkan kebaikan dari kedua orang tua itu.
Pernah ia kabur dari rumah, tetapi mereka tetap mencari. Dulu Mama sangat baik dan sayang padanya. Bahkan ketika Ayri —adiknya— lahir, Mama tetap tidak membedakan sikap. Sampai akhirnya, kejadian naas itu terjadi. Saat ia duduk di kelas 1 SD dan adiknya baru berusia 3 tahun, mereka bermain di taman komplek. Mama sudah memperingatkan untuk tidak keluar rumah, siang-siang, sepi, tidak ada teman di luar. Namun Qaya mengajak adiknya keluar diam-diam.
Mereka bermain petak umpet. Berapa kali permainan berjalan cukup menyenangkan. Mulai berubah ketika Qaya menjadi penjaga kemudian mencari di mana adiknya bersembunyi, tetapi tidak pernah ia temukan sampai sekarang.
Dari rekaman cctv yang dikumpulkan pihak kepolisian, adiknya diduga diculik oleh pemulung. Namun di rekaman cctv terakhir, adiknya dibawa oleh seseorang yang kurang waras dan ada di sebuah stasiun. Setelah itu, tidak ada lagi jejak kemana anak itu pergi. Sebab cctv jaman dulu tidak seperti saat ini yang bertebaran di mana-mana.
Mulai dari situ Mama sering marah-marah, tetapi masih peduli padanya. Namun, lambat laun Mama benar-benar membencinya. Seiring bertambahnya umur, ia tahu banyak hal. Mama susah memiliki keturunan lagi. Qaya sering mendengar pertengkaran antara Ayah dan Mama. Tidak jarang Mama ingin pergi, tetapi Qaya menahan dan memohon agar mereka tidak berpisah. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana hidup dengan rasa bersalah setelah membuat adiknya hilang lalu Ayah dan Mama bercerai.
Ia rela dibenci Mama. Ia mengikhlaskan semuanya. Selalu membuat Ayah menomor satukan Mama. Ia tidak akan menuntut apapun dan ia berjanji pada semua orang akan mencari adiknya. Karena itu Qaya suka berpergian kemanapun. Bukan untuk menghibur diri, melainkan mencari keberadaan Ayri.
"Qaya bermalam di sini aja, ya, Yah." Qaya benar-benar memohon agar mendapat izin dari Ayah. Sekali lagi, untuk kesekian kalinya pria itu mengalah.
"Besok, sebelum kembali ke Jakarta, pulang ke rumah dulu, ya. Pamit sama Mama juga."
Qaya mengangguk dan Ayah memanggil asisten pribadinya. Pria muda itu bernama Kaizuran El-Haq, biasa ia panggil Mas Kai, karena tiga tahun lebih tua darinya. Dia anak almarhum asisten Ayah. Sejak lulus kuliah, Ayah menarik pria itu untuk bekerja padanya. Mas Kai tidak terlalu banyak bicara, pintar, cekatan dan menurut Ayah sangat menjaga amanah.
"Ya, Pak?" tanya pria tersebut.
"Qaya akan menginap di sini malam ini. Tolong siapkan kamar untuknya."
"Baik, Pak." Pria itu beranjak pergi.
🌹To Be Continued🌹
Bab 06
🌹Happy Reading🌹
Qaya mengantar kepergian Ayah sampai di teras lobi. Ia lekas meminta key card kamar hotelnya pada Mas Kai. Pria itu memberikan apa yang diminta juga memberi tahu akan mengirim makan malam ke sana. Qaya hanya mengangguk dan bergegas masuk ke lift. Ia tidak mau bertemu lagi dengan Rayan dan Yana.
Sampai di kamar, Qaya lekas merebahkan tubuh dan memakai oksigen agar pernapasannya benar-benar stabil. Ia beristighfar berulang kali, mencoba meredakan emosi dari segala hal yang membuat perasaannya carut marut.
Perlahan tarikan napasnya mulai ringan. Ia turun dari tempat tidur dan membuka pintu kaca balkon kamar. Udara malam kota Bandung yang lebih dingin dari Jakarta lekas menerpanya. Ia melipat tangan di atas pagar pembatas, memejamkan mata untuk menikmati tiap sentuhan angin di tubuhnya.
Ketenangannya terhenti ketika bel di kamarnya berbunyi. Ia lekas membuka karena sudah tahu siapa yang datang.
"Kok, Mas Kai yang anter?" tanya Qaya yang tidak menyangka kalau pria itu yang mengantar makan malam.
Pria itu tidak memberikan jawaban. Qaya tahu pertanyaannya tidak terlalu penting untuk dijawab juga. Ia lekas membawa masuk food trolley ke dalam kamar dan memindahkan makanannya ke atas meja. Setelah food trolley kosong, ia kembalikan ke depan.
"Makasih ya, Mas."
Pria itu mengangguk dan memberikan sebuah paper bag pada Qaya. "Ada baju ganti dan salep. Pakai kalau tanganmu masih enggak nyaman."
Qaya menerima dan melihat ke dalam benda itu. Ia pikir Ayah mengirimkan pakaian ganti dari rumah, tetapi ternyata di dalamnya adalah dua bungkus pakaian baru dan mukenah. Ia menatap pria bermata hazel itu untuk beberapa saat, mencari tahu apakah itu pemberian Ayah atau pria tersebut.
"Besok pagi Pak Nono akan jemput jam 6 pagi. Bapak minta kamu ke rumah lebih dulu karena mereka akan berada di Lombok selama dua minggu. Lebih baik kamu ikut sarapan dan menghabiskan waktu dengan mereka."
"Dan ... Mas Kai?"
Pria bergeming. Mereka beradu pandang dan Qaya mengalihkan perhatiannya.
"Aku enggak terlalu suka diawasi. Aku akan baik-baik saja walaupun sendiri," ujar Qaya.
"Aku hanya menjalankan apa yang diperintahkan Bapak. Kalau kemauanmu seperti itu, bisa sampaikan ke beliau."
Qaya tersenyum masam mendengar ucapan Mas Kai. Ia tidak mau mendebatkan hal yang tidak akan ia menangkan. "Terima kasih untuk ini." Ia mengangkat paper bagnya. "Besok aku akan turun ke lobi jam 6 pagi."
Pria berkulit sawo matang itu mengangguk. Bibir sensual di bawah hidung mancung itu mengulas senyum tipis. "Semoga tidurmu nyenyak. Assalamu'alaikum," ucap pria yang masih memiliki darah timur tengah itu kemudian pergi membawa food trolley.
"Wa'alaikumsalam."
Qaya masuk ke dalam kamar dan mandi, kemudian mengenakan baju tidur yang dibawakan Kai untuknya. Ia mengerjakan salat Isya' lebih dahulu kemudian duduk di depan meja rias.
Jika biasanya ia mengoleskan skin care wajah usai mandi, kali ini tidak ia lakukan. Sebab ia tidak membawa banyak peralatan di dalam tas. Ia menyisir rambutnya yang panjang bergelombang itu dengan jari kemudian mengikatnya, agar tidak menganggu saat ia makan nanti.
Sebelum menikmati hidangan di atas meja, Qaya lebih dahulu mengoleskan salep pada lengannya yang merah. Yana mungkin sengaja mencampur kuah bakso yang panas itu dengan sambal agar benar-benar bisa memberinya siksaan kecil seperti ini. Efek dari salep itu lumayan meringankan rasa tidak nyaman dan ia pun lekas menyantap makan malam agar bisa segera beristirahat.
🌹🌹🌹
Sesuai dengan janjinya semalam. Tepat pukul 6 pagi Pak Nono sudah ada di teras lobi hotel. Qaya lekas masuk ke dalam mobil yang sudah ia tunggu tidak lebih dari lima menit itu. Kai tidak mengantarnya tapi ia tahu kalau pria itu ada di sekitar sana.
Sejak ia pulang dari Singapura, ia menyadari sesuatu yang berbeda dengan Ayah. Ketika ia belum menceritakan apa yang dia lalui, kadang Ayah sudah tahu. Awalnya Qaya kira itu sebuah kebetulan, tetapi tidak ada sebuah kebetulan yang terjadi berulang kali. Dan akhirnya ia sadar kalau Ayah menyuruh seseorang mengawasinya. Salah satunya adalah Kai. Meskipun tidak nyaman, tetapi ia tidak mau melayangkan protes. Sebab itu adalah salah satu cara Ayah melindunginya.
"Jalan, Pak," perintah Qaya setelah doorman menutup pintu mobil.
Pakaiannya yang kotor ada di dalam paper bag bersama dengan jaket milik Jero yang entah kapan akan ia kembalikan. Semalam ia sempat turun ke ballroom, berharap menemukan pria itu. Namun acaranya sudah selesai dan ia hanya menemukan pekerja di sana. Lain waktu, mungkin akan ia kembalikan.
Sampai di rumah, Ayah menyambutnya. Mama sudah ada di meja makan. Seperti biasa, bersikap tak acuh dan hanya bicara saat ditanya saja. Qaya tidak mengharapkan apapun dari pertemuan pagi itu. Ayah juga menjelaskan kalau akan pergi ke Lombok dan menyuruhnya untuk menghubungi Kai jika butuh apapun.
Tidak terlalu lama Qaya di sana. Ia tidak mau membuat Mamanya tidak nyaman. Di antar Pak Nono, ia kembali ke Jakarta. Dalam perjalanan itu, Qaya mendapat telepon dari penerbit. Mereka memberitahu jika ia mendapat undangan untuk datang ke acara silaturahmi dan tasyakuran untuk kelancaran proses syuting film yang diadaptasi dari novelnya.
Baru Qaya tutup sambungan itu, ia mendapat telepon lagi dari pihak PH. Sama, mengundangnya secara khusus untuk datang ke acara tersebut untuk banyak berdialog dengan para pemain nanti. Terlebih lagi dengan dua pemeran utama untuk mendalami karakter sesuai novelnya.
Jatungnya tiba-tiba saja berdebar. Rasanya bertemu dengan aktor dan aktris profesional seperti apa? Vibes di lingkungan itu nanti seperti apa? Bagaimana tanggapan para kru dan pemain tentang penampilannya saat datang nanti? Ia tidak ada teman untuk diajak ke sana. Hanya manajer dan CEO penerbitnya yang akan datang ke sana. Itupun ia tidak dekat.
Dengan bismillah, ia melakukan hal tersebut. Ini yang diinginkan banyak orang dan ia akan menjalaninya dengan sangat baik.
🌹🌹🌹
Hari itu Qaya keluar dari toko lebih awal sebab akan menghadiri undangan dari PH seminggu yang lalu. Ia pergi ke rumah lebih dulu untuk mandi dan ganti pakaian. Baru usai salat Magrib, ia beranjak untuk pergi.
Menempuh perjalanan sekitar setengah jam, Qaya tiba di lokasi acara, yang kebetulan ada di gedung perusahaan perfilman itu, Karan Production. Sesorang manyambut kedatangannya dan mengarahkan pada seorang wanita berusia kurang dari 40 tahun dan cara berpakaiannya sangat fasionabel.
"Bu Karan, ini Mbak Qaya. Penulis buku Hujan di Instanbul."
Wanita bernama Karan itu terlihat antusias dengan kedatangannya. Mereka saling memperkenalkan diri. Wanita itu juga memperkenalkan pada orang-orang penting di sana. Tidak ketinggalan dengan para artis, yang salah satunya tentu sudah ia kenal. Jerobi Akasia.
Pria itu memang terlihat paling menonjol di antara deretan artis lainnya. Bukan karena Qaya sudah kenal, karena memang memiliki kelebihan fisik yang tidak bisa ia dustakan. Tidak heran jika banyak rumah produksi dan brand menginginkannya. Dia menang dalam berbagai hal. Hanya saja untuk perilakunya, Qaya meragukan itu. Jero yang beberapa kali ia temui adalah sosok yang taat beribadah, tetapi di sisi lain juga tidak bisa dikatakan pria baik-baik.
"Cocok banget 'kan dia jadi Aram?" tanya Bu Karan. "Feel badboy-nya dapat banget."
Qaya mengatupkan bibir. Ia tidak bisa menjawab ketika mata tajam pria itu menatapnya. Ingin mengiyakan takut melukai perasaan pria tersebut, kalau menggeleng tidak enak dengan Bu Karan. Akhirnya ia membuat senyuman lebar di balik cadarnya.
"Matamu ketahuan banget kalau bohong," cetus Jero.
"Maaf, Mas," sahut Qaya segan.
"Bu Karan. Maafin kami ya datang telat. Jalanan Jakarta macet." Seorang pria datang memecah pembicaraan mereka.
"Untung acaranya belum dimulai. Kalau sudah dimulai kusuruh kalian berdiri di depan nanti," canda Bu Karan. "Kenalin, ini penulisnya Hujan di Instanbul." Ia memperkenalkan Qaya pada pria yang baru tiba itu.
"Ini Kak Pluvile? Ya Allah ... enggak nyangka aslinya gini," ujar pria itu yang menatap penuh kekaguman.
"Pluviophile, Kak," ralat Qaya. "Itu nama pena saya. Nama asli saya, Qaya."
"Lucu ya namanya. Pasti ayah lo dulu mau anaknya jadi kaya, makanya dikasih nama Qaya," ujar pria itu dengan tertawa. Kemudian ia mengulurkan tangan. "Gue ... Nova. Manajernya Lula."
Qaya tidak bisa membalasnya. Ia meletakkan tangan di dada dan sedikit membungkuk sebagai tanda pemintaan maaf tidak bisa bersalaman.
"Sorry sorry ... gue lupa kalo sama ukhti ukhti enggak boleh salaman. Ketularan laknatnya Jero, sih. Gue sebenarnya cowok baik-baik."
"Pa-an lo nyangkutin nama gue, Bang!" sahut Jero dari tempat duduknya dan mendapat senyuman jahil dari Nova.
"Lula! Buruan!" Kali ini Nova berteriak dan menyuruh seseorang berjalan lebih cepat.
Qaya menoleh ke belakang. Seorang aktris dengan tubuh tinggi semampai berpakaian rapi berlari kecil berjalan ke arahnya. Qaya seakan terhipnotis dengan penampilan wanita itu. Rambutnya panjang, hitam legam, digerai begitu saja. Matanya bulat, hidungnya tidak terlalu mancung, bibir tipis yang dilapisi lipstik ombre itu terus mengulas senyum ramah.
Saat tahu siapa yang akan memerankan tokoh Jeena, ia langsung stalking sosial medianya. Cantik. Meski tidak berhijab di real life, Qaya merasa cocok kalau artis itu memerankan tokohnya. Bahkan, saat bertemu aslinya saat ini, jauh lebih cantik.
"Hai, Kak. Aku Lula ... salam kenal ya."
Wanita bernama Lula itu menyalaminya dan bercipika cipiki. Sebenarnya cukup canggung untuk melakukan itu dengan orang yang baru dikenal. Namun, mau bagaimana lagi. Ia harus menghargai keramahan wanita itu. "Saya, Qaya, Kak. Salam kenal juga," ujarnya.
"Bu ... semua tamu sudah hadir. Acaranya sudah mau dibuka. Silakan kembali ke tempat." Seseorang datang mengingatkan Bu Karan.
"Oke oke!" Sahut pemilik PH itu. "Qaya, tadi teman-teman dari penerbit sudah datang. Mungkin kamu lebih nyaman sama mereka. Coba nanti kamu cari ya."
"Baik, Bu." Qaya mengangguk dan wanita itu pergi usai berpamitan dengan yang lain.
"Mas Jero, udah datang?" Kali ini Lula menyapa Jero tetapi pria itu tidak peduli justru memilih berdiri dan pergi.
"Woey! Mau kemana?" tanya Fondi.
"Sholat."
Pria itu pergi begitu saja seakan menghindari Lula. Qaya tetap di sana sebab Fondi, Nova dan Lula mengajaknya mengobrol. Ia tidak terlalu suka keramaian dan sulit memulai pembicaraan dengan orang baru. Harus dipancing untuk bicara dan jika tidak, ia akan diam. Hal seperti itu yang ia takutkan orang menganggap dirinya sombong.
Saat acara ramah tamah dimulai, Qaya memutuskan untuk keluar ruangan dan mencari mushola untuk mengerjakan kewajibannya. Ia bertanya pada seseorang di mana letak musholanya. Ternyata ada seberang jalan.
Qaya menyusuri halaman parkir yang cukup luas itu. Kemudian menyebrangi jalan dan memasuki area parkir yang masih menjadi wilayah Karan Production itu. Mushola yang berukuran tidak terlalu besar itu ada di bagian tepi parkiran tersebut.
Baru memasuki tempat itu, Qaya melihat Jero sedang duduk di teras mushola sendiri. Seperti sedang melakukan video call. Tiba-tiba saja ia teringat barang bawaannya di mobil. Ia kembali ke halaman parkir yang ada di gedung dan mengambil paperbag berisi jaket pria tadi. Setelah mendapat yang diinginkan, Qaya melanjutkan langkah menuju ke mushola.
Jero menyadari kedatangannya. Melihat sejenak kemudian kembali pada layar ponselnya. Qaya meletakkan paperbag itu di samping Jero tanpa berkata apapun dan masuk ke dalam tempat wudhu. Usai berwudhu ia pergi ke dalam mushola. Masih ada dua orang yang mengerjakan salat di sana. Sepertinya suami istri, dan Qaya ikut menjadi makmum masbuk.
Saat salam sudah ia lakukan, tiba-tiba saja hujan turun cukup deras. Sepasang suami istri itu sudah pergi dan di sana tinggal dirinya dan Jero berada di teras. Pria itu duduk lebih ke arah dalam karena teras bagian depan basah terkena air hujan. Usai merapikan mukenah, ia keluar dan duduk beberapa meter dari Jero. Pria itu sudah mengakhiri video callnya dan hanya bermain ponsel.
"Maaf ... jaket Mas nggak sengaja saya bawa waktu itu. Terima kasih sudah meminjamkan ke saya," ucap Qaya.
Jero hanya melirik paper bag di sampingnya dan mengangguk tanpa memberikan jawaban. Qaya tidak mengatakan apapun lagi.
Beberapa saat keadaan di sana hanya diisi oleh derasnya air hujan. Tidak ada percakapan di antara keduanya. Sampai sebuah bungkusan kotak kecil menabrak ujung kakinya.
Qaya mengambil benda yang baru Jero gulirkan padanya. Ia menatap pria itu, bertanya tentang tujuan dan kepemilikan barang tersebut.
"Dari putriku. Fondi kasih tahu kalau aku akan jadi pemeran utama dari novelmu. Jadi dia titipkan sesuatu sebagai ucapan terima kasih."
Qaya tersenyum dan mengangguk. "Tolong sampaikan ucapan terima kasihku untuknya."
"Hm."
Keadaan menjadi hening. Qaya membuka kotak kecil tadi dan berisi kalimat 'terima kasih tante kaya, dari una' dari krayon warna warni dihiasi beberapa kelopak bunga kecil-kecil yang diabadikan dalam plexiglass.
"Putrimu kreatif, Mas."
"Ontynya yang ngajarin."
"Mbak Olin?"
"Ya."
Qaya mengangguk paham, mengingat Mbak Olin yang seorang florist. Akan tetapi, rasa penasarannya akan suatu hal begitu mendesaknya untuk bertanya. Namun ia tahan, karena ia tahu itu tidak akan sopan.
"Aku menyembunyikannya bukan karena aku malu dengan keadaannya, tapi karena aku ingin melindunginya."
Kalimat Jero hampir membuat Qaya tersedak karena kaget. Ia menatap pria itu, takut jika mungkin apa yang dia pikirkan tergambar jelas dalam sikapnya. Belum ia membuka mulut untuk meminta maaf, tersela oleh ponselnya yang berdering. Tak lama kemudian pria itu juga menerima panggilan.
Ternyata, seseorang sama-sama sedang mencari keberadaan mereka dan itu membuat mereka kompak berdiri.
"Iya, saya ke sana."
"Iya, gue balik."
Keduanya saling menatap karena mengeluarkan kalimat yang sama.
"Dicariin kru?" tanya Jero.
"Iya, Mas."
Qaya berjalan ke depan. Saat hendak memakai sandal, tiba-tiba saja ia merasakan sebuah jaket menggantung di kepalanya. Kaget, ia menatap orang yang melakukan itu.
"Aku nggak sentuh kamu sama sekali," ujar pria itu dengan mengangkat kedua tangannya. "Pakai aja. Biar nggak terlalu basah."
"Terus ... Mas, pakai apa?"
"Lari."
"Jangan!" cegah Qaya.
Lagi-lagi Qaya dibuat kaget. Bukan karena pria di sampingnya. Tetapi karena seseorang yang baru keluar dari salah satu mobil yang ada di tempat parkir. Dengan memakai payung, pria berkemeja putih yang sangat ia kenali menghampirinya.
Kai, pria itu datang dan mengambil jaket dari tubuh Qaya kemudian memberikannya pada Jero. "Terima kasih sudah peduli pada Qaya. Dia akan pergi denganku," ujarnya.
🌹To Be Continued🌹
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
