Real Scenario - 01&02

70
13
Deskripsi

Selamat Membaca

Bab 01

"Qaya! Kamu ngapain di situ?"

Sepi yang sudah ia bangun di antara derasnya hujan mendadak hancur saat mendengar pertanyaan seseorang. Ia pikir atap gedung ini tidak akan didatangi orang, tetapi pada kenyataannya berbeda. Bukan salah orang tersebut. Ia hanya terlalu berharap bisa mendapatkan kesunyian di tempat umum. Dari balik cadar, ia tersenyum mengulum maklum.

"Besok kamu pulang ke Indonesia, 'kan? Jangan sampai ketunda gegara masuk rumah sakit, loh!"

Ia menertawakan wanita yang sedang melewati pinggiran bangunan kecil agar tidak terkena air hujan. Itu Hanifah, teman sekolahnya dulu yang saat ini sedang bekerja menjaga seorang nenek tua.

"Kalau aku nggak masuk rumah sakit, aku nggak bisa dapat informasi penting buat tulisanku, dong?" jawabnya ketika Hanifah sudah sampai di dekatnya.

"Qaya ... jangan bercanda, deh! Kalau kamu sampai sakit gimana?"

"Aku bosen nungguin Dokter Paula di ruangannya. Sepi dan nyeremin. Mending kamu balik ke kamar nenek. Aku lagi memperdalam karakter yang ada di ceritaku. Butuh konsentrasi, nih."

"Ya Allah, Qaya ... enggak segininya juga."

"Enggak ... emang harus begini." Ia tersenyum. Meski tidak terlihat, tetapi kedua matanya akan mengartikan.

"Qay ...."

Ia berdiri dan mendorong pelan tubuh temannya untuk pergi ke arah pintu masuk gedung. Setelah memastikan wanita itu benar-benar masuk, ia pergi ke tepi gedung. Menopang kedua lengannya di pagar pembatas dan menyandarkan dagu di atasnya.

Matanya terpejam, menikmati tiap tetesan air hujan yang membasahi kepala dan punggungnya. Rintik air itu menjadi pijatan kecil dan membuat nyaman. Ia menghela napas berat kemudian menenangkan diri, mencoba menenangkan kegaduhan dalam benaknya.

"Orang Indonesia?"

Suara seorang pria membuat ia membuka mata dan menegakkan badan dengan cepat. Ia mencari sumber suara itu. Berjarak beberapa meter, ia melihat seorang pria bersandar di pagar. Badannya tinggi, dilindungi sebuah payung bening  yang menghalangi sebagian wajah pria tersebut.

Ketika pria itu hendak menoleh, ia segera menundukkan pandangan. "Ya. Saya dari Indonesia," jawabnya. Ia menunggu respon tetapi tidak kunjung didapat.

Ia menatap pria itu dan ternyata sudah kembali meluruskan pandangan pada gedung-gedung tinggi di depan mereka. Karena tidak nyaman hanya berdua dengan orang asing, Qaya beranjak untuk pergi.

"Biar aku yang pergi. Kamu kelihatan lebih butuh tempat ini," ujar pria itu sambil membalikkan badan dan saat itulah Qaya terperangah hingga menutup mulutnya yang menganga dengan tangan.

"Mas Jero!" pekiknya. "Jerobi Akasia!" Ia memperjelas nama lengkap pria berambut pirang itu. Ia kembali menundukkan pandangan. Namun, hidung mancung, bibir tipis, mata yang tidak terlalu lebar dibawah sepasang alis tebal yang terbingkai sempurna dalam wajah berahang tegas itu masih terbayang jelas dalam ingatannya.

"Kamu kenal aku?" tanya pria bernama Jero itu. "Ah, iya. Orang Indonesia pasti kenal aku," lanjutnya cukup percaya diri. Tidak salah, memang. Dia seorang artis, wajar berkata seperti itu.

Qaya mengangguk. "Saya pernah beberapa kali DM, Mas. Minta izin jadiin Mas Jero buat jadi visual novel saya, tapi enggak pernah dibalas."

"Ooh."

"Boleh, Mas? Mumpung ketemu langsung, saya minta izin lagi. Banyak pembaca saya yang bilang kalau karakter Mas Jero cocok dengan tokoh fiksi saya."

"Enggak," ujar pria itu kemudian pergi.

Qaya menghela napas berat, melihat punggung pria yang berangsur menjauh itu. Ia balikkan badan, kesempatannya menggali keberuntungan gagal. Pria itu memang terkenal tidak ramah. Tidak pernah mau diwawancarai, tidak mau diundang ke acara talkshow, bahkan untuk membicarakan keberhasilannya di dunia entertainment tidak mau. Ia tahu itu, harusnya memang tidak perlu melanjutkan.

Baru saja ia ingin menyandarkan lengan di pagar pembatas, sebuah ganggang payung terselip di bahunya.

"Hadiah dariku, karena kamu fans pertama yang ketemu aku nggak bikin ilfeel."

Itulah kalimat yang Qaya dengar ketika ia membalikkan badan. "Eh, Mas ... tapi, aku—"

"Jangan kasih tahu keberadaanku ke orang lain. Kamu muslimah, jadi tahu 'kan sepenting apa menjaga amanah?"

Qaya mengangguk paham. Pria itu beranjak pergi lagi. Tidak ada kesempatan untuk menjelaskan kalau dia bukan fansnya.

Ia menegakkan payung dan memperhatikan tetesan air hujan yang jatuh pada benda plastik yang melindunginya tersebut. Satu paragraf berisi barisan luka yang menjadi penutup cerita telah ia dapatkan. Sudah cukup ia berada di sana, berdalih mendalami karakter cerita yang sebenarnya adalah diri sendiri. Hujan tidak akan meluruhkan rasa sakit, dia hanya membantu menyembunyikan air mata.  Sepi tidak akan mampu meredam jerit dan raung kesedihan dalam benaknya.

"Cukup, Qaya. Allah sudah menjawab doa-doamu. Aycahzan An-Mihqaya, meski sangat berat, kamu harus tetap berjuang mencari kesempatan untuk bahagia.  Qaya nggak boleh terus ketakutan. Qaya nggak boleh dibelenggu pandangan masyarakat. Qaya bisa, Qaya enggak salah ... Qaya punya Allah dan Ayah. Nggak perlu takut. Kita berjuang lagi, ya. Kita hanya perlu berserah tanpa harus menyerah," ucapnya dengan meletakkan satu telapak tangannya di dada.

Harusnya ia yang memutuskan untuk pergi, agar tidak tersiksa dalam sakitnya kehilangan. Luka membuatnya jadi egois. Merasa paling sakit dan dengan mudah menyalahkan. Namun, ia harus memenangkan pertarungan antara nalar dan nuraninya. Ia tidak mau mematri diri di masa lalu. Ia harus lebih bahagia dari pria yang sudah meninggalkannya demi wanita lain.

Satu helaan napas, ia melepas beban dan mulai mengumpulkan kekuatan. Selesai sudah kisah yang menyakitkan, kini ia bisa benar-benar fokus pada bisnis kecilnya, pada kebahagiaan diri sendiri dan juga janji terbesar pada mama tirinya.

🌹🌹🌹

"Thank you very much for the explanation. I'm very lucky to meet you, Doctor." Qaya menutup pembicaraan mereka dengan ucapan terima kasih pada Dokter Paula. Beliau adalah dokter jantung almarhumah ibu dan masih menjalin hubungan baik dengan sang ayah hingga saat ini.

Kebetulan mereka sedang ada urusan di Singapura, Qaya meminta bantuan dokter tersebut. Ia butuh banyak penjelasan tentang Left ventricular assist device (LVAD). Sebuah alat yang didesain untuk menyelamatkan pasien gagal jantung. Sebab karyanya yang baru, mengangkat tema kesehatan dan ia harus banyak tahu tentang apa yang akan ia bawakan.

Beruntung Ayah dekat dengan suami dokter Paula dalam urusan bisnis. Sedangkan Qaya dekat karena beberapa hal. Salah satunya, Hanifah, teman dekatnya yang bekerja menjaga ibu dari dokter itu. Hingga ia lebih mudah mendapatkan hasil riset lebih akurat dibanding sebuah artikel.

Ditemani Ayah, ia berbincang-bincang mengenai penyakit jantung untuk bahannya menulis karya fiksi. Selain mempunyai bisnis pakaian muslim, Qaya juga seorang penulis novel. Di usianya yang sudah menginjak angka 22 tahun ini, ia  mempunyai empat karya cetak yang masuk best seller di berbagai toko buku.

"By any chance there is something that not clear, you could call David, my assistant. I couldn't reply the massages to as these day." Dokter Paula mempersilakan Qaya untuk menghubungi asistennya kalau saja masih ada hal yang tidak ia mengerti. Tentu saja wanita bercadar itu mengangguk penuh semangat.

"Yes, i would, Doc!" ujar Qaya.

"Thanks for helping my daughter. See you next time, Doctor Paula." Ayah tak lupa mengucapkan terima kasih dan menutup perjumpaan mereka.

"Yeah, my pleasure."

Qaya dan Ayah berdiri untuk pamit. Dokter mengantar sampai ke pintu dan mereka pun beranjak pergi.

Tas ransel  berukuran sedang sudah menggantung di punggung Qaya. Sedangkan Ayah menenteng sebuah payung bening dan paperbag berisi pakaian basah yang sudah dibungkus plastik. Mereka berjalan menyusuri koridor rumah sakit sambil membahas rencana kepulangan ke Indonesia besok pagi.

"Thariq? Thariq Juhairu?"

Mendengar nama Ayah dipanggil, mereka menoleh ke sumber suara itu. Ada pria seusia Ayah yang menghampiri mereka.

"Zacky! MasyaAllah, sahabatku."

Senyuman lebar dan pelukan kedua pria itu memberi Qaya kesimpulan jika itu adalah pertemuan antara sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Ia diam, memperhatikan Ayah yang terlihat sangat bahagia.

"Zacky ... lihat, anak gadisku sudah sebesar ini." Ayah merangkul Qaya dan memperkenalkan pada pria tersebut. "Ini Om Zacky, sahabat Ayah waktu dulu sekolah di Solo."

"Assalamualaikum, Om Zacky. Saya, Qaya." Ia mengatupkan tangan di depan dada, memberi salam penuh rasa hormat pada pria paruh baya itu.

"Wa'alaikumsalam. MasyaAllah, Nak. Ayahmu pasti bangga punya putri cantik dan anggun sepertimu," puji Om Zacky dan Qaya hanya mengangguk kecil dengan sebuah senyuman.

"Kamu sedang apa di sini? Ada keluargamu yang sakit?" tanya Ayah.

Perbincangan singkat terjadi di antara mereka. Ternyata cucu dari Om Zacky yang sakit dan di rawat di rumah sakit ini. Karena tidak terburu-buru, Ayah ingin menjenguk cucu dari sahabatnya itu. Berada di lantai tiga gedung tersebut, mereka menjejakkan kaki di wilayah VVIP.

Sebuah ruangan cukup luas yang memiliki fasilitas lengkap mulai mereka masuki. Tergambar jelas status sosial sahabat Ayah tersebut. Seorang anak yang kira-kira masih TK  itu terlihat sumringah melihat Om Zacky datang.

"Opa dari mana? Kenapa enggak bilang-bilang kalau pergi?" protes anak itu.

"Cuma pergi sebentar, Sayang."

Perhatian anak itu mengarah padanya dan Ayah. Wajahnya menunjukkan rasa penasaran tetapi tidak berani bertanya. Om Zacky mengajak mereka mendekat ke tempat tidur kemudian memperkenalkan pada cucunya yang memilik nama Una. Anak itu malu-malu tetapi masih mau menyapa dan menjawab pertanyaan dengan sopan.

Percakapan dengan Una terhenti ketika ada seorang pria masuk. Qaya dibuat kaget saat melihat pria yang ia temui di atap gedung tadi ada di ruangan ini.

"Ini Jero, putraku. Papa dari Una."

Qaya benar-benar terperangah mendengar penjelasan Om Zacky akan pria tersebut.  Bahkan ia hanya mematung, memperhatikan Jero bersalaman dengan Ayah.

"Kamu, lagi?" celetuk pria itu membuat Qaya tersadar.

"I-iya, Mas. Saya lagi."

"Udah kenal, Ro?" tanya Om Zacky dan mendapat anggukan dari putranya.

"Fansku," jawab pria itu tak acuh dan menghampiri anaknya.

Qaya sampai tidak bisa menyangkal jawaban Jero karena melihat kenyataan yang belum bisa ia percaya. Meskipun dipersilakan untuk duduk di sofa, perhatian Qaya tidak terlepas dari ayah dan anak itu. Jero yang ia kenal di televisi maupun sosial media berbeda sekali saat bersama putrinya. Banyak tertawa dan penuh kasih sayang.

Dari percakapan antara Ayah dan Om Zacky, Una mengalami kebocoran jantung bawaan dan akan menjalani operasi pemasangan pompa jantung. Malang sekali gadis cantik itu, tetapi juga sangat beruntung banyak yang sayang dan memberi dukungan padanya.

"Kalian sendiri di sini sedang apa? Dari tadi cerita tentangku saja sampai lupa tanya tentang kalian."

"Ketemu dokter di sini." Ayah menatap Qaya dan menepuk punggung tangan putrinya. "Qaya lagi cari informasi tentang pengobatan jantung buat buku dia."

"Buku?" tanya Om Zacky.

"Putriku punya hobi nulis fiksi, Zack. Alhamdulillah bukunya laris manis di pasaran."

"MasyaAllah. Semoga tulisan-tulisan kamu bermanfaat untuk orang lain ya, Qay. Ayahmu pasti bangga sekali, Nak," puji Om Zacky. "Sudah punya calon suami, Riq?"

Qaya tersedak ketika mendengar pertanyaan itu. Ayah lekas mengusap punggungnya. Karena canggung, ia meminta izin untuk ke kamar mandi sekaligus menghindari pertanyaan tersebut. Ayah pasti bisa memberi jawaban terbaik tanpa harus membuka lukanya.

Di dalam kamar mandi ia hanya menyalakan air wastafel secara percuma dan menatap pantulan dirinya di cermin. Ia membetulkan cadar berwarna coral yang menutupi sebagian wajahnya. Merapikan pasmina dengan warna serupa yang menjuntai panjang menutup dada dan punggungnya. Sudah rapi, ia hanya membuang waktu saja di sana.

Setelah beberapa menit berlalu, ia keluar. Ada wanita muda berhijab di sana, lebih terlihat baby sitter dibanding mama dari Una. Sedangkan Om Zacky dan Jero sedang berada di dekat tempat tidur. Una sedang melakukan video call dengan seseorang. Ia kembali ke sofa, tempatnya duduk tadi.

Namun, saat ia baru saja duduk. Ia dibuat kaget karena Una mengarahkan layar ke arahnya.

"Itu Tante yang suka sama Papa, Onty," ujar Una dengan polosnya. Dengan cepat ia melambaikan tangan, tidak menyetujui pernyataan anak tersebut.

"Bukan, Sayang. Tantenya itu ngefans sama Papa." Om Zacky menjelaskan pada cucunya, tetapi tetap saja tidak tepat.

Qaya hanya menghela napas pasrah dan mendengarkan perdebatan kecil antara cucu dan kakek itu. Ia tidak akan menyanggah. Hanya urusan kecil. Toh, belum tentu mereka akan bertemu kembali.

🌹tbc🌹

 

 

 

 

Bab 02

🌹Happy Reading🌹

 


 

Gerimis menguyur Jakarta sejak subuh tadi. Jarum jam sudah menunjuk ke angka delapan, tetapi langit masih cukup gelap. Awan mendung sedang sangat nyaman memeluk kawasan ibu kota tersebut, enggan mengizinkan mentari memberi celah untuk masuk.
 


 

Qaya, dengan hati-hati memasukkan  laptop, beberapa buku, dan alat tulis ke dalam tas ransel merah muda berbahan kulit. Gambar kartun kelinci putih memberi kesan lucu dan imut pada pemakainya. Ia jinjing tas tersebut dan mengambil kunci mobil di atas nakas kemudian keluar kamar.
 


 

Seluruh ruangan sudah bersih. Kucing persia medium berwarna putih dengan mata kebiruan sedang menatapnya dari dalam kandang besar. Qaya sengaja membuat tempat tinggal dari kayu berbentuk rumah dua lantai untuk kucing kesayangannya. Karena hewan itu yang menjadi teman sejak ia tinggal di apartemen ini. Sejak diusir dari rumah mantan suaminya, ayah membelikan apartemen itu untuk ditinggali. Karena bisnisnya ada di Jakarta, tidak mungkin ia wara wiri Jakarta-Bandung setiap hari.
 


 

"Muezza, aku berangkat dulu, ya. Assalamu'alaikum," pamitnya sambil melambaikan tangan dan pergi.
 


 

Saat akan masuk ke lift, ia mendapat pesan baru dari ayah yang menyuruhnya untuk hati-hati. Sebab, hari ini ia tidak pergi ke toko, melainkan pergi ke penerbit untuk menandatangani buku-bukunya yang akan terjual. Sudah setahun sejak ia melakukan riset dari Singapura dan sudah menerbitkan dua karya baru. 

Dulu, mungkin setahun sekali ia bisa mempunyai karya baru. Namun, sejak diceraikan dan sudah lulus kuliah, ia mempunyai banyak waktu selain mengurus bisnis kecilnya. Ia sudah tidak diperbolehkan ayah untuk traveling dan fokus dengan apa yang dimilikinya saat ini.
 


 

Sampai di basement apartemen, ia lekas menuju ke tempat parkir kendaraannya. Ia masuk ke dalam sedan putih pemberian ayah empat tahun yang lalu, kemudian bergegas menuju ke tempat penerbit.

 

Menempuh jarak hampir satu jam. Qaya tiba di sebuah gedung salah satu penerbit besar di negeri ini. Ia parkir kendaraan dan berlari kecil di tengah rintik hujan menuju ke dalam gedung.  Qaya sudah familiar dengan orang-orang di sana. Meskipun tidak kenal semua, tetapi pegawai di sana tentu tahu siapa dia. 
 


 

Seseorang menyambut dan mengajak Qaya ke sebuah ruangan. Tumpukan buku dengan cover yang tidak asing sudah berada di atas meja. Sangat banyak. Kak Intan, admin penerbit itu mengatakan kalau jumlah yang harus ditanda-tangani sebanyak seribu eksemplar. Qaya sudah mempersiapkan tangannya dan siap untuk lelah hari ini.
 


 

Qaya mulai membubuhkan tanda tangan di bukunya. Agar tidak bosan, ia ditemani oleh admin, editor dan manajer penerbit itu. Sambil berbincang-bincang dari hal basa-basi sampai menjadi pembicaraan serius.
 


 

"Denger-denger. Katanya yang ambil peran utama film adaptasi novel kamu itu Jero, Qay," ujar editor yang biasa Qaya panggil 'Bang Edi'. 
 


 

Mendengar itu, Qaya menghentikan goresan penanya dan mengangkat kepala. "Mas Jero? Jerobi Akasia?" ulangnya.
 


 

"Memang ada artis lain yang namanya Jero?" Bang Edi balik bertanya dan Qaya hanya membalas senyuman lebar di balik cadar. "Padahal kamu dulu minta izin buat jadiin visual nggak digubris, ya. Eh, malah sekarang jadi pemeran utamanya."
 


 

"Kayaknya nggak tahu kalau kamu yang nulis novelnya," imbuh Kak Nisa yang mempunyai jabatan sebagai manajer.
 


 

"Sepertinya sih, gitu, Kak. Dulu dia bilang emang enggak pernah bukain DM. Jadi enggam tahu aku minta izin. Tapi, waktu aku minta izin lagi, secara langsung, tetep ditolak."
 


 

"Serius? Ketemu di mana? Aslinya sombong, nggak?" sergah Kak Mayang, admin penerbit itu sangat antusias.
 


 

"Di—" Qaya lekas mengatupkan mulut. Hampir saja ia tidak bisa menjaga amanah. Selain di atap, Jero juga memperingatkannya agar tidak mengatakan pada siapapun tentang apa yang ia lihat tentangnya. "Kakak nilai sendiri aja kalau ketemu," ujarnya tanpa melanjutkan kalimat tadi.
 


 

"Yah, Qaya. Kesempatan buat ketemu dia 'kan sulit banget."
 


 

Qaya tidak memberikan respon dan melanjutkan kegiatannya. Ia hanya sebentar bertemu dengan pria tersebut dan belum tahu sifat yang sebenarnya seperti apa. Rasanya aneh sekali menentukan watak seseorang yang ditemui kurang dari dua jam. Sementara pria tersebut sudah hidup sekitar 24 tahun.
 


Pembicaraan mereka tidak sampai di sana. Kak Nisa juga memberitahu kalau persiapan sudah matang, mereka dan Qaya akan bertemu dengan tim dari PH.

Itu memang novel yang ia tulis beberapa tahun lalu. Bukan novel pertama, tetapi novel keempat yang pertama kali ia tulis lewat platform online. Berbeda dengan novel sebelumnya yang selalu langsung cetak. Ternyata sensasi menulis novel online lebih menyenangkan. Tiap tulisan yang ia kirim langsung mendapat komentar dari pembaca dan itu sangat menyenangkan. Jarak di antara penulis dan pembaca menjadi sangat dekat.

Dari situlah, Qaya mendapat banyak komentar dari pembaca. Mereka membayangkan kalau artis bernama Jerobi Akasia cocok sekali menjadi Raga. Tokoh utama yang seorang berandalan dan pembangkang. Ia juga penasaran dengan karakter artis itu seperti apa. Sebelumnya dia tidak terlalu tahu artis Indonesia. Karena banyak pembacanya yang membuat foto Jero dan salah satu artis cewek dalam postingan yang berkaitan dengan novelnya, akhirnya Qaya memutuskan untuk DM kedua artis itu. Ia meminta izin untuk menggunakan foto mereka dan hanya mendapat izin dari artis cewek saja.

Namun, tidak disangka-sangka. Setelah mendapat penolakan, pria itu justru yang menjadi tokoh utama dalam ceritanya. Ia terkekeh pelan dari balik cadar. Sudah membayangkan bagaimana kagetnya pria yang sombong dan juga sangat percaya diri, menerima sesuatu yang sudah ia tolak mentah-mentah.

🌹🌹🌹
 

 


Sekitar pukul empat sore, Qaya keluar dari gedung penerbit dan lekas beranjak ke toko. Sebuah bangunan dua lantai yang berdiri tidak jauh dari salah satu universitas islam,  dijadikan Qaya sebagai tempat usaha pakaian muslimah dengan brand sendiri. Selain melayani pembelian offline, ia juga melayani pembelian online.

Akun sosial medianya cukup membantu dalam promosi. Dia tidak memerlukan influenser. Bahkan yang menjadi model barang-barangnya adalah diri sendiri. Ia meminta bantuan salah satu teman perempuan yang ahli di bidang photography untuk membuat foto-foto katalog. Ia tidak terlalu suka dengan keramaian. Sebisa mungkin, apapun ia tangani sendiri meski menyita waktu.

Kepala toko Qaya memberikan laporan saat ia datang. Diperiksanya lembar demi lembar kemudian berbincang cukup lama dengan perempuan yang berusia sedikit lebih tua darinya tersebut. Menjelang maghrib, percakapan mereka berhenti. Toko yang buka sampai pukul 9 malam itu ditutup sementara untuk mereka mengerjakan kewajiban. Tiga pegawai shift sore itu bergegas pergi ke masjid yang tidak jauh dari toko.

"Qaya!"

Panggilan seseorang mengalihkan perhatian Qaya. "Ayah!" pekiknya. Ia berlari menghampiri pria bertubuh gemuk di halaman parkir tokonya yang lumayan lebar. 

Saat ia tiba di depan mobil, ia melihat beberapa orang yang ia kenali turun dari kendaraan MVP milik Ayah. Itu Om Zacky, cucunya dan seorang wanita yang terlihat seperti baby sitter anak kecil tersebut.

"Assalamu'alaikum, Om," sapa Qaya pada Om Zacky usai mencium tangan Ayah dan lekas mendapatkan balasan salam. Lalu ia mengusap pipi anak kecil dalam gendongan wanita muda. "Hai, Sayang. Apa kabar?" Ia lupa nama anak itu. Sepertinya sudah hampir satu tahun mereka tidak bertemu.

"Baik, Tante," jawab anak itu. Masih malu-malu seperti pertama kali mereka bertemu dulu. Kemudian Qaya menyapa baby sitternya dengan senyuman ramah.

"Kok Ayah nggak bilang-bilang kalau mau kesini?" tanya Qaya. "Untung Qaya masih di toko."

"Iya. Ayah lihat mobil kamu masih di sini. Jadi Ayah mampir sekalian sholat Maghrib dulu."

"Memang Ayah mau kemana?"

"Sambil jalan ke masjid, ya!" Ayah merangkul Qaya dan mereka berjalan beriringan. Om Zacky dan baby sitternya serta Pak Nono, sopir Ayah juga mengikuti. "Tadi Ayah nganter teman ke Bandara. Enggak sengaja ketemu Om Zacky yang baru sampai dari Singapura. Ayah ajak istirahat di restoran sambil nunggu Jero yang mau tanda tangan kontrak kerja katanya. Habis ini kami berangkat ke Bandung bareng-bareng."

Qaya mengangguk pelan. Ia menebak kalau mungkin pria itu sedang menandatangi kontrak dengan PH yang mengadaptasi karyanya. Om Zacky juga memperjelas ketika bilang kalau Jero baru saja comeback dan sudah mendapat tawaran menjadi pemeran utama novel religi. Ia hanya tersenyum saja dari balik cadar sambil terus berjalan ke arah masjid.

Tiba di halaman masjid. Ia dikejutkan dengan seorang pria yang cukup familiar duduk di teras masjid. Bukan hanya menjadi pusat perhatiannya, tetapi juga para jamaah. Seorang pria bertubuh kurus dan tinggi seakan memberi pengertian beberapa orang untuk menjaga jarak.

Dia Jero, artis papan atas yang setahun ini menghilang dari dunia entertainment. Penampilannya tidak banyak berubah.  Jika terakhir kali bertemu pria itu berambut pirang, kali ini warnanya sudah natural.

"Kok cepet sampainya?" tanya Om Zacky ketika mereka tiba di teras masjid, tempat Jero duduk.

"Deket dari sini tempatnya, Pi." Pria itu berdiri kemudian mengambil alih gendongan putrinya. "Maaf ya, Sayang. Papa agak lama tadi kerjanya."

"Iya, Pa."

"Habis Sholat, kita makan bareng-bareng ya, sebelum balik ke Bandung," ajak Ayah. Ia menatap Qaya dan bertanya, "Bisa ikut 'kan, Nak?"

Qaya diam sejenak untuk berpikir sebelum akhirnya mengangguk. Ayah dan Om Zacky terlihat senang, sedangkan Jero sama sekali tidak menganggap keberadaannya. Pria itu cukup asyik berbincang dengan putrinya.

"Mbak, sholat juga?" tanya Qaya pada baby sitter di sampingnya.

"Iya, Mbak. Sama Mbak Una, juga."

Dari situ Qaya teringat nama anak kecil itu. Una, iya ... Una. Baby sitter itu mengajak anak asuhnya untuk salat. Jero melepaskan sepatu dari kedua kaki putrinya, baru membiarkan wanita itu menggendong Una.

"Nanti ketemu di sini lagi, ya, Sayang."

"Iya, Pa!" Una melambaikan tangan pada Jero.

Saat itulah, pandangannya dan pria itu bertemu. Hanya sepersekian detik kemudian saling berpaling. Qaya pun bergegas masuk ke tempat wudhu wanita. Niatnya untuk melepas hijab terhenti ketika baby sitter Una melepas sebuah kaki palsu milik anak tersebut. Ia terperangah, terlebih lagi saat wanita itu membantu Una berwudhu.

Apa ini alasan kenapa Jero menyembunyikan semua hal pribadinya dari media. Pria itu malu dengan keadaan putrinya atau justru sedang melindungi kekurangan anak itu agar tidak dijadikan bahan konsumsi publik?

Ia lekas menggelengkan kepala. Mengakhiri semua prasangkanya. Ia usap ujung kepala Una kemudian bergegas mengambil wudhu. 

🌹tbc🌹

Jangan lupa buat:
✍️ Tinggalin komentar
❤️ Tekan lope-lopenya
Makasih

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Real Scenario - 03&04
65
8
Selamat membaca
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan