Our Imperfection - 07&08

114
7
Deskripsi

Bab 07 dan 08

BAB 07

🍃Happy Reading🍃

 

Dhara melepas lelah di kamar setelah menyelesaikan makan malam bersama paman dan bibi. Badan sudah bersih. Ia tiba langsung mandi dan ganti pakaian, mencuci baju kotor dan menjemur. Barang-barang belanjaan juga sudah ia bagi-bagi dan akan dititipkan dalam koper-koper pengawalnya agar tidak disita bagian imigrasi.

Sekarang, ia sedang merebahkan badan, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang masih dipenuhi tanda tanya besar tentang pria bernama Haru itu. Sangking penuhnya, Dhara merasa aroma ruangan ini memiliki harum yang sama dengan pria tersebut. 

Akhirnya, ia memaksa berhenti nalar yang berusaha menerjemahkan Haru. Ia tutup harinya dan segera tidur. Sebelum penerbangannya ke Indonesia besok, Dhara ingin mengunjungi anak-anak di atap gedung tadi dan memberikan hadiah untuk mereka.

🍃🍃🍃

Lima troley milik sebuah supermarket besar di pusat kota London terlihat penuh oleh banyak makanan ringan, minuman, pakaian, peralatan mandi, alat tulis, dan masih banyak lagi. Dhara sengaja membeli semua itu untuk anak-anak terlantar yang tinggal di atap gedung semalam.

Setelah dibayar, dengan dibantu semua pengawalnya, Dhara membawa semua barang-barang itu ke tempat tujuan.  Paman di bibi ikut bersamanya, karena akan mengantar sampai Bandara.

Namun, saat tiba di atap gedung, Dhara dibuat kaget karena juga banyak makanan yang ada di sana. Usut punya usut, ternyata pria yang menolong mereka semalam yang memberi itu semua.

"Share this with a friend who needs it. Oke?" Dhara berpesan untuk membagi barang-barang yang ia bawa pada teman-teman mereka yang membutuhkan.

Ia pergi setelah memastikan anak-anak itu mengerti.  Dan dari penjelasan paman dan bibi, Dhara jadi tahu jika anak-anak seperti itu masih memiliki orang tua. Biasanya sengaja ditinggal bekerja di tempat lain, sebab sewa bangunan di kota sekarang sangat tinggi.  Banyak yang kurang beruntung dan memilih atap-atap gedung pertokoan sebagai tempat tinggal.

"Kasihan mereka. Orang tuanya pasti ngerasa gagal, lihat anak-anaknya nggak keurus. Kasihan juga anak-anak itu. Mereka nggak minta dilahirkan, tapi harus menjalani kerasnya hidup. Dalam usia sekecil itu," keluh Dhara di bangku belakang mobil. Ia menatap kosong keluar jendela.

"Apa aku harus sewakan tempat yang layak buat mereka?" Ia membuka layar ponsel dan melihat berapa jumlah uang yang ada dalam tabungannya.

"Nggak usah, Dhara. Biar itu jadi tanggung jawab orang tua mereka. InsyaAllah, pemerintah nggak akan tinggal diam dan kasih bantuan ke mereka," saran bibi dari kursi bagian depan.

Dhara menghela napas berat, mencoba memaklumi. Ia memang sangat sensitif untuk hal-hal semacam ini. Apalagi sejak kecil ia sudah terbiasa bersinggungan dengan orang-orang yang kurang beruntung untuk ditolong. Sebab itulah, ia belajar dan selalu melakukan segala sesuatu dengan terencana. Tidak asal-asalan. Ia tidak ingin mengecewakan diri sendiri atas keputusannya. Apalagi, jika itu melibatkan orang lain.

Tiba di Bandara, Dhara berpisah dengan paman dan bibi hanya di tempat drop out penumpang karena paman harus harus pergi ke tempat kerja. Saat akan masuk ke terminal keberangkatan. Dhara melihat pria yang semalam menolongnya juga ada di sana bersama mantan kekasih sahabatnya, juga orang lain yang tidak ia kenal. Kiano melambaikan tangan melepas kepergian rekan kerja Haru.

"Kita terlalu sering ketemu," ujar Dhara saat melintas di dekat tiga pria yang menatap ke pintu masuk terminal keberangkatan. Mereka menoleh dan sedikit kaget menatapnya. "Lain kali, jangan lupa berbagi pahala ya, Kak. Jangan semuanya diakuisisi." Ia sengaja berhenti sejenak hanya untuk menyindir Haru.

"Ooh, punya rencana mau ketemu gue lagi?" Haru mengangkat satu alisnya dengan tatapan menggoda. "Gue tinggal di Jakarta. Di—"

"Maaf! Nggak ada niat mau nemuin Kakak."

"Iya. Nggak usah ngerencanain pertemuan, biar Allah yang atur semuanya."

Kalimat Haru membuat Dhara urung melanjutkan langkah.

"Kata Abi gue, gitu," imbuh Haru kemudian pergi bersama dua pria lainnya.

Dhara menatapi punggung pria itu. Tidak mengutuk meskipun ia lumayan jengkel. Ia juga tidak bermunajat agar dihindarkan dari pria tersebut, tetapi juga tidak berharap dipertemukan. Ia melepas pandangannya dan beranjak pergi.

Sudah selesai pertemuan dengan pria tersebut.

🍃🍃🍃

"Untuk bagian konsep atap dan fasadnya, kami terinspirasi dari para pedagang di sekitar yang suka berjualan di atas motor. Mereka menggunakan payung besar untuk melindungi dagangan mereka. Begitupun dengan konsep pasar tradisional ini. Atap yang kami gunakan adalah transformasi dari bentuk payung. Sengaja dibuat datar karena untuk menampung air hujan dan dengan proses purifikasi dapat dimanfaatkan untuk para pedagang dan pelanggan pasar. Dan karena ini berada di dekat lingkungan yang cukup kental dengan islamnya, maka ornamen-ornamen berbau islam juga kami tambahkan di sekitar sini. Bukan hanya sekadar indah di mata tetapi ornamen ini memperkuat struktur atap."

Semua mata penghuni ruangan tertuju pada layar lebar di depan mereka. Konsentrasi menyimak presentasi dari wanita yang mengenakan long dress hazelnut berbalut balzer berwarna gelap dengan pasmina menjuntai menutup dada.

Dhara, sedikit risih dengan tatapan beberapa audiens pria. Bukan untuk pertama kalinya, tetapi sering. Dan di antara rekan-rekan kerja, Dhara yang paling sering ditunjuk mewakili perusahaan untuk presentasi. Selain memiliki potensi, Dhara juga salah satu karyawan magang yang good looking. Salah satu nilai plus untuk memenangkan beberapa persaingan tender.

Setahun sudah Dhara berada di Indonesia. Namun, ia harus mencari pengalaman kerja di bawah arsitek senior selama dua tahun untuk mendapat lisensi kerja sebagai arsitek muda. Dan dengan campur tangan papa, ia mendapat tempat magang di salah satu perusahaan arsitek terbaik di Jakarta.

"Semoga kali ini kita dapat lagi, ya, Ra!" ujar Raya, sekretaris bos yang menemani Dhara presentasi.

"Aamiin ya Allah!" seru Dhara bersama seorang rekan kerja prianya.

Mereka sudah menyelesaikan presentasi dan berhenti ketika jam makan siang. Kedua teman Dhara pergi mencari makan sedangkan Dhara akan menyusul setelah melaksanakan salat lebih dulu di sebuah masjid yang ada di lingkungan pesantren. Tidak jauh dari tempat ia melakukan presentasi.

"Bapak dan Ibu sudah tiba di Jakarta, Nona. Ibu ngingetin biar nggak pulang larut karena mau ngajak makan malam," ujar Naira yang mendatanginya saat kedua temannya sudah menjauh.

"Iya, Na.  Aku inget." Dhara mengerjap paham.

Mereka berdua menuju masjid yang cukup ramai dengan santri putra. Santri putri, Dhara tidak melihat. Kebanyakan jamaah wanita berasal dari luar pesantren. Mungkin santri putri ada tempat salat sendiri, agar tidak membaur dengan santri putra.

Semua berjalan biasa saja sampai selesai salat, Dhara melihat pria yang wajah bahkan harum aroma parfumnya masih diingat sampai sekarang.

Haru!

Pria yang mengenakan baju koko hitam dengan sarung putih bermotif songket dam.  Berjalan dengan beberapa pria paruh baya yang membuat santri di sana menunduk takzim. Dhara kenal dua pria paruh baya di antaranya. Itu Om Almeer, kakak dari Bibi Meera. Dhara lupa terakhir bertemu pria tersebut kapan. Dan pria yang kedua adalah papanya.

Lalu, kenapa Haru bisa berada di antara mereka? Apa lagi nyantri di tempat ini? Tidak mungkin. Kalau santri,  pasti ia akan berjajar dipinggir dan ikut menunduk. Namun, tidak.

"Siapa sih dia, Na?"  Dhara meremas ujung blazernya sambil bersembunyi di balik pilar.

"Dhara!"

Jantung Dhara hampir berhenti ketika mendengar namanya dipanggil. Ia menoleh ke belakang dan Umma ada di sana. Bersama wanita paruh baya yang sangat cantik dan seorang gadis muda. MerekaTante Sora dan putrinya. Dhara berusaha mengingat nama gadis itu, tetapi tak kunjung ketemu.

"Umma, ngapain di sini?"

"Mau ketemu Om Almeer dan Tante Sora, Sayang"

Dhara menghampiri Umma. Ia bergantian mencium tangan kedua wanita paruh baya itu.

"MasyaAllah ... kita lama banget ya nggak ketemu. Waktunya selalu aja nggak pas kalau pulang ke Indonesia. Mana Dhara sekolahnya juga jauh di Eropa sana."

Dulu, keluarga papa dan Tante Sora tinggal di Malang.  Meskipun rumah berjauhan, tetapi Dhara tahu jika mereka masih berkerabat karena adik Om Almeer menikah dengan kakaknya umma. Apalagi Raka -anak pertama Tante Sora- adalah teman mengaji Dhara. Meskipun beda kelas. Seingatnya, anak itu cukup pintar dan berada bersama kakak-kakak tingkat atas kala itu.

Tidak lama keluarga Tante Sora pindah ke luar kota. Sampai Dhara mendengar mereka pindah ke Yaman. Selama ini Dhara hanya bertemu beberapa kali. Itu pun hanya Tante Sora dan Om Almeer. Kedua anaknya ini tidak.

"Dhara apa kabarnya? Inget sama Felci, nggak? Terakhir ketemu Felci masih kecil, ya?" Tante Sora merangkul putrinya.

Dhara merasa lega ketika nama itu muncul. Ia hampir tidak bisa mengingat namanya. "Iya ... Felci udah gedhe, ya. Pasti udah kerja."

"Masih nyelesaiin S2, Mbak. Ini lagi liburan," jawab gadis manis berkacamata itu.

"Jadi Tante Sora sekarang udah di Indonesia? Nggak balik ke Yaman?" tanya Dhara dan mendapat anggukan. "Kak Raka ... juga di Indo?"

"Iya. Raka udah lama di Jakarta. Habis nyelesaiin S2, bantuin kerja di perusahaan kakeknya," jawab Tante Sora. "Ikut makan siang di sini, ya!"

Belum juga memberi jawaban, Tante Sora sudah menggandeng tangan Dhara. Memaksanya untuk ikut. Dhara melihat umma, tetapi justru mendapat anggukan agar mengikuti langkah wanita di sampingnya.

"Eh. Dha-Dhara udah janji makan bareng temen, Tante." Mencoba menahan langkah keluar dari masjid tetapi tidak membuahkan hasil.

"Nggak apa. Hubungin aja temen kamu biar makan duluan. Kamu makan di sini sama kami."

Dhara sebisa mungkin menolak karena kemungkinan besar juga akan bertemu dengan Haru.

Tunggu!

Haru?

Pikirannya mulai menganalogikan keadaan. Ada hal yang sepertinya saling berkesinambungan di sini.

"Abi! Lihat deh siapa yang datang!"

Segera Dhara menundukkan kepala, tidak berani mengangkat wajah. Mencoba bersembunyi dari laki-laki yang berada di antara pria paruh baya itu.

"Ya, Bun?"

"Dhara, Bi. Anaknya Aga!"

"Oh, ya? Dhara!"

Terpaksa Dhara menaikkan pandangan dan menatap salah satu pria paruh baya di hadapannya. Belum juga mengucap salam, sorot matanya bertemu dengan pemuda yang ia temui di London kala itu.

"Chi?" cetus Haru.

"Eh! Raka masih ingat, Dhara?" cetus Umma.

"Hah! Raka?" cetus Dhara. Ia mengatupkan bibir rapat-rapat. Apa yang baru ia simpulkan, terjawab sudah.

"Dhara udah ketemu Haru di London, 'kan? Haru cerita, katanya kamu nggak kenal sama dia."

Dhara membuat ulasan senyum palsu mendengar ucapan Tante Sora.

"Dhara kenalnya Raka, ya? Nggak kenal nama 'Haru'?" sahut Om Almeer.

"Ah ... itu waktu di Yaman, teman-temannya manggil Raka itu Haru. Jadi kebiasaan deh sampai sekarang." Tante Sora memberi penjelasan.

"Astaghfirullah, Sayang. Jadi kamu lupa sama anaknya Om Almeer sama Tante Sora?" tanya Umma.

Dhara mengangguk dan semakin tertunduk. Pantas ia merasa tidak asing dengan Haru.

Ingatannya teringat akan aroma kamar di rumah Bibi Meera dulu sama dengan harum milik Haru. Saat telepon dengan Kiano di depan rumah sakit, pria itu bilang kalau tamu tantenya sudah mau pulang.  Mungkin yang dimaksud Haru saat itu adalah Dhara dan sebenarnya pria itu tinggal di rumah Bibi Meera.

Dhara benci dugaannya benar. Kakinya lemas, rasanya ingin berlari. Terjawab sudah kenapa pria itu dulu terlihat sangat memahami agama dibanding dia. Jelas, karena Haru keturunan ulama dan tinggal di lingkungan yang kental dengan islam.

"Hai, Chi. Kita ketemu lagi," sapa pria itu dengan senyum penuh kemenangan. "Gue ... Gaharu Taraka."

Dhara menunduk serendah-rendahnya. Menyembunyikan wajah yang merah padam. Ia sangat malu sudah menceramahi orang yang berilmu lebih tinggi darinya. "Tolong, siapapun ... bawa aku kabur dari sini," teriak batinnya frustrasi.

 

 

BAB 08

🍃Happy Reading🍃

 

"Haru agak susah dapat calon istri. CV Ta'aruf yang masuk nggak pernah ada yang cocok."

Keluhan Om Almeer membuat Dhara melepas semua ingatan tentang pertemuan dengan pria yang kini duduk terpisah meja di depannya.

"Ya iyalah nggak pernah ada yang cocok. Coba kalau yang kirim CV ta'aruf itu ahki ahki. Gercep pasti, Om!"

Saran itu hanya mampu Dhara utarakan dalam hati. Ia kembali mengamati Om Almeer yang sedang menyampaikan secara resmi niat kedatangan mereka pada keluarga Dhara.

"Haru sekarang sudah menyerahkan pada kami untuk memilih calon istri untuknya. Dia ikhlas, lillahita'ala, menerima siapapun yang kami pilih." Om Almeer menatap keluarga Dhara secara bergantian lalu berhenti di papa. "Seperti percakapan kita sebelumnya, aku ingin melamar putrimu sebagai calon istri untuk putraku. Semoga pernikahan ini akan semakin mempererat persaudaraan kita."

"Hm."

"Ham hem ham hem! Jawab yang jelas 'kan bisa, Ga!" sahut Tante Sora membuat orang-orang di sekitarnya menahan tawa. "Betah banget Naya hidup sama kamu. Orang ngomong panjang-panjang dijawab 'hm' doang. Ngeselin deh papamu, Dhara!"

Dhara mengangguk setuju. Dhara tak berhenti terkekeh melihat Tante Sora yang lantang menegur papa. Dhara tahu kalau papa berkerabat dengan keluarga Tante Sora. Papa diangkat anak oleh paman dari wanita paruh baya itu. Mereka sudah layaknya saudara.

"Iya, Mas. Jawab yang serius, dong," imbuh Umma dengan menepuk punggung tangan suaminya.

"Ya. Aku setuju."

"Loh! Dhara belum!" sentak Dhara sambil berdiri panik.

"Om Almeer 'kan tanya pendapat ke Papa, Sayang. Bukan ke kamu."

"Oooh, iya." Dhara kembali duduk dan menenangkan diri. Ia mengulas senyum menatap Om Almeer, siap memberikan jawaban versinya.

"Buat Dhara, aku kasih dia waktu tiga hari buat terima lamaran ini," sahut papa tiba-tiba.

"Nggak perlu tiga hari, Papa. Dhara bisa jawab sekarang, kok."

"Ya sudah, Al. Putriku terima lamaranmu."

"Pa! Jawaban Dhara bukan itu!" Dhara mendekati papa untuk meyakinkan.

"Kan papa bilang, kasih kamu kesempatan tiga hari buat terima lamaran Om Almeer. Kamu malah pilih sekarang. Ya sudah. Selesai 'kan?"

"Pa. Ulang ... Dhara nggak denger. Papa tahu 'kan kalau Dhara panik, susah mikirnya."

"Dhara ... Haru jelek, ya. Sampai kamu segitunya enggak mau?" tanya Tante Sora menghentikan rengekan Dhara.

"Bukan, Tante." Dhara  beringsut  duduk di samping umma. "Hanya saja ... ini terlalu cepat. Jauh dari planning yang sudah Dhara buat."

"Haru bukan tipe pengekang. Selama wajar dan masuk akal, Haru nggak akan membatasi kamu."

Dhara kembali mencari alasan sambil menatap Haru yang memandanginya santai, tiada beban. Seakan menantang Dhara agar mengerahkan seluruh kekuatan untuk menolak keadaan ini. Rasanya ingin sekali mengungkap rahasia pria tersebut.

"Kak Haru nggak cinta sama Dhara, Tante." Hanya alasan itu yang terucap.

"Nanti cinta kalau udah nikah," sahut Haru landai.

"Iya kalau bisa. Kalau, nggak?"

"Jadi, gue ... eh, aku harus buktiin dulu kalau cinta ke kamu sebelum kita menikah? Kamu lebih suka indahnya cinta dalam jerat syaitan dibanding menyemai rasa dalam ikatan halal, lillahi ta'ala."

"Ya, enggak gitu, Kak!" Dhara mengeratkan gigi, dan meremas tangan dengan kesal.

"Haru ... kita kasih waktu buat Dhara berpikir, ya," ujar  Om Almeer.

"Oke. Nggak masalah kok, Bi."

"Kamu butuh waktu berapa lama, Nak?" tanya Om Almeer pada Dhara.

"Satu tahun, Om," jawab Dhara membuat semua orang terbelalak.

"Minta 10 tahun lagi aja, Mbak!" cetus Kylo, wajahnya kesal.

"3 hari aja, Al."

"Papa!" protes Dhara atas keputusan papa.

🍃🍃🍃
 

 


"Kayaknya Papa sama Umma harus selidikin dulu deh tentang Kak Haru sebelum benar-benar bicarain tentang pernikahan!"

Setelah kepulangan tamunya, Dhara segera membujuk kedua orang tuanya. Papa dan mama yang baru mengantar kepergian keluarga Haru kembali duduk di ruang tamu.

"Yakali Papa belum selidiki, Kak. Kalau Papa udah fix, berarti nggak ada apa-apa, 'kan?" sahut Kylo yang duduk melipat kaki dan bersandar di kursi. Mematahkan argumen kakaknya.

"Kylo ... kamu nggak tahu aja, sih. Kak Haru itu ...." Dhara ragu mengatakannya. Ini aib seseorang, tetapi juga harus digunakan agar dia tidak terjebak dengan perjodohan.

"Haru, sakit? Sakit apa? Bundanya nggak pernah bilang?" selidik Umma.

Seluruh mata di ruangan itu tertuju pada Dhara. Membuatnya semakin berada di ujung kebimbangan antara mengatakan tentang Haru, atau tidak.

"Sayang ...." Umma semakin tidak sabaran.

"Kak Haru punya kelainan seksual."

Hening, adalah tanggapan setelah Dhara mengutarakan apa yang ia ketahui.  Tidak ada yang kaget. Bahkan seperti menganggap itu sebuah ketidakmungkinan.

"Kayaknya kamu yang sakit deh, Mbak."

"Enggak, Kylo! Aku punya buktinya. Naria juga jadi saksi. Waktu di London tuh—"

"Dhara kayaknya capek deh ngurusin proyek di Surabaya itu. Istirahat gih, Sayang." Umma berdiri mengusap bahu putrinya. "Bibi ... minta tolong ruang tamunya diberesin, ya," ujarnya seraya pergi.

Dhara menatap papa, berharap ada respon positif yang akan didapat. "Papa akan cari tahu lagi," jawab Papa sambil menyusul umma.

Kecewa kedua orang tuanya tidak menganggap serius ucapannya, Dhara pindah ke samping adiknya. Berharap pria muda yang memiliki sifat seperti papa itu mau mendukungnya.

"Kamu aneh-aneh aja sih, Mbak. Bisa-bisanya ngatain Bang Haru kayak gitu. Selama aku nyantri di pesantren keluarganya, nggak ada hal-hal aneh—"

"Kamu nyantri juga dianya nggak ada di sono, Kylo!" Dhara geram mengeratkan gigi. "Aku punya videonya. Dia ciuman sama cowok. Dia pacaran sama cowoknya Jenie, Kylo!"

"Bukannya enak, ya.  Kan kamu nggak mau punya anak. Kalau nikah sama dia, nggak ribet 'kan?"

Dhara diam sejenak dan mencerna pendapat yang dikatakan adiknya. "Iya juga, sih."

"Jadi ... kamu mau nikah sama gay, Mbak?" Kylo memastikan.

"Kayaknya aku harus bicara sama Kak Haru, deh." Dhara menyunggingkan senyum licik.

Berawal dengan ucapan Dhara yang tidak mau menikah dan memiliki anak membuat kedua orang tuanya khawatir. Dhara mengatakan seperti itu bukan asal tetapi penuh perhitungan juga.

Dhara menjadikan sosok papa menjadi standar minimum calon suaminya. Papa orang pintar, bijak, penuh perhitungan, sedikit sekali melakukan kesalahan, banyak hal bisa dilakukan dan yang paling penting, bisa memperlakukan umma layaknya mahkota yang sangat mulia.

Tinggi memang keinginannya. Ia hidup di keluarga yang harmonis, diperlakukan dengan layak dan dia tidak mau salah pilih pasangan lalu mendapat perlakuan yang berbeda.

Dhara tidak ingin dimanja, juga tidak mau dihujani harta oleh suaminya kelak. Dhara sudah cukup mandiri dan bisa mencari uang sendiri. Aset yang dimilikinya pun sudah berlebihan jika untuk menanggung hidup sampai mati.

Ia tahu, mencari sosok seperti yang ia harapkan memang susah. Dia tidak menurunkan standarnya, hanya memberi keringanan untuk diri sendiri. Kalau memang tidak ada stok pria seperti papanya, setidaknya ada orang itu harus mau menerima pola pikirnya.

🍃🍃🍃
 

 


"Umma percaya nggak percaya dengan video ini, Sayang. Kalaupun memang benar, anggap saja ini sebagai jihad kamu mengembalikan Haru pada fitrahnya. Mungkin akan sulit. Tapi ... enggak. Umma kembalikan saja semuanya sama Dhara. Kamu berhak dapat yang lebih baik."

Setelah mendengar pendapat umma semalam, Dhara justru mengambil kesempatan untuk menerima lamaran Haru. Selain memang ia memanfaatkan kekurangan Haru, Dhara mungkin akan membantu pria tersebut. Mungkin.

Di antar oleh Niara da  sopir. Dhara turun di tempat biasa ia diturunkn. Naira pergi ke dalam kantor sementara Dhara pergi ke gedung bertuliskan 'Tree Animation Studio'.

Mobil sport hitam sudah terparkir di halaman, pemilik perusahaan animasi itu sudah datang. Pria itu selalu tiba lebih pagi dari karyawannya. Begitu yang Dhara dengar tentang Haru.

Berbeda dengannya yang datang tidak pernah lebih ataupun kurang dari pukul tujuh lebih 45 menit. Namun untuk pagi ini, sengaja ia datang 15 menit lebih awal karena ingin berbicara dengan Haru.

"Assalamu'alaikum," sapa Dhara ketika membuka pintu utama bermaterial kaca. Dua orang yang berada di balik meja  front office menyambutnya.

"Wa'alaikumussalam, Bu Dhara."

"Pak Haru sudah datang?" tanya Dhara tanpa basa basi.

"Sudah, Bu."

"Nggak ada tamu, 'kan? Aku mau ketemu dia sebentar."

"Saya hubungi beliau dulu, ya, Bu."

Dhara mengangguk. Salah seorang dari mereka menyuruhnya duduk tetapi perhatiannya teralihkan pada sosok pria yang baru masuk dan mengucap salam dengan lembut.

Itu Hammam. Dhara selalu dibuat tersenyum dengan sosok itu. Hammam orang yang sangat baik sejak mereka bertemu di London dulu. Lucunya, mereka ternyata menjadi donatur di beberapa yayasan amal yang sama dan sering terlibat dalam urusan sosial serta kemanusiaan.

Mereka cukup dekat. Papa dan umma juga tahu hal tersebut. Bahkan, Hammam pernah melamar Dhara.  Sayangnya, Dhara tidak bisa menerima meski memiliki perasaan pada pria tersebut karena berbeda tujuan.

"Tumben pagi-pagi ke sini, Ra?" sapa Hamam.

"Iya, Kak. Mau nagih uang sewa ke Kak Haru," sahut Dhara. Sebenarnya sangat canggung berbicara dengan pria tersebut, tetapi tidak mungkin terus menghindar karena mereka sekarang sering bertemu.

"Bu Dhara."

"Ya?"

"Pak Haru bilang nunggu Bu Dhara di Balkon atas."

"Ah, Oke! Makasih ya, Mbak." sahut Dhara. Ia segera pergi setelah pamit dengan senyuman kaku pada Hamam.

Ia pergi ke lantai dua. Menyapa beberapa karyawan yang ia temui sampai berhenti balkon lantai dua. Pria berkemeja hitam dengan lengan digulung bersandar pada sudut pagar.

"Kak—"

"Pak!" ralat pria tersebut, membuat Dhara mendengkus.

"Aku mau sampaikan sesuatu." Dhara mendekat, menumpu lengan di atas pagar balkon.

"Hm. Buruan."

"Aku nggak mau punya anak."

"Oh."

"Jadi orang tua punya tanggung jawab besar. Aku nggak yakin bisa ngemban itu."

"Oh. Oke."

"Kakak—"

"Gue tipe yang dominan. Gue leader, di manapun itu. Gue nggak mau orang lain ngusik keinginan gue dan gue masa bodoh sama urusan orang. Fokus gue, cuma sama tujuan gue," cerocos Haru dengan tatapannya yang datar. "Gue kasih waktu buat mikir 1 detik. Lo mau gabung di kehidupan gue apa nggak? Kalau mau, besok kita akad."

"Jangan hitung mundur! Nanti bikin aku salah ambil keputusan!" sergah Dhara.

"Satu! Time is up! Lamaran gue batal!"

"Heh! Apaan sih, Kak!"

"Buruan!"

"Ok! Aku gabung di kehidupan Kakak!"  Dhara memberi penekanan lirih pada keputusannya. Tidak mau ada orang yang mendengar. Ia sedikit mendekat pada Haru, tetapi pria itu mundur selangkah. "Kakak harus inget dengan keinginanku tadi."

"Lo juga harus inget sama apa gue katakan barusan."

"Ok."

"Gue nggak ngelarang lo buat jatuh cinta ke gue—"

"Kak! Sebaiknya kita tulis kesepakatannya. Kita akan jadi rekan seumur hidup.  Aku nggak akan ngusik keinginan Kak Haru dan Kak Haru nggak boleh ngusik  keinginanku."

"Dan harus kamu ingat baik-baik kalau aku pemimpin di dalam rumah tangga."

"Aku nggak suka kalau kakak merusak scedule-ku."

"Tergantung."

"Kak!"

"Lo mau out dengan pernikahan ini, nggak masalah."

Dhara mendengkus kesal. Hanya pria itu yang paling aman untuknya. Haru tidak akan menyentuhnya. Kalaupun memang suatu saat dia berubah, pasti tidak dalam waktu yang dekat.

"Iya-iya. Ayo tulis kesepakatan kita."

🍃TBC🍃

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Our Imperfection - 09&10
133
6
Bab 09 dan 10
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan