Our Imperfection - 05&06

120
4
Deskripsi

Bab 05 dan 06

BAB 05

🍃Happy Reading🍃

 

Suhu udara saat musim semi biasanya berkisar antara 16-19° celicus, akan tetapi Dhara merasa pagi ini jauh lebih dingin saat ia berada di London kemarin. Genangan-genangan air sisa hujan masih belum meresap sempurna ke dalam tanah. Menggunakan baju dan mantel hangat pinjaman dari pemilik penginapan, Dhara bersama Naria berjalan menyusuri desa Bibury.

Langit masih keabuan. Kabut menyelimuti desa tersebut, membuat jarak pandang cukup terbatas. Jalanan sangat sepi. Dhara hanya bertemu beberapa penduduk. Tidak banyak yang keluar rumah sepagi ini.

Ia terus menyusuri jalan sampai tiba di sebuah ladang rumput yang luas dengan dikelilingi pagar kayu. Mungkin tempat tersebut biasa digunakan untuk menggembala hewan ternak. Namun, bukan domba, kambing atau sapi yang Dhara lihat di sana. Melainkan, sekumpulan orang di tengah melakukan syuting di tengah cuaca berkabut.

Dhara seperti benar-benar melihat proses syuting, bukan sekadar orang yang mengambil vlog untuk konten sosial media. Dua orang model dengan membawa sebuah produk di tangan, berakting cukup profesional di depan kamera. Sesekali seseorang memberi arahan.

"Mereka syuting iklan, ya, Na?" tanya Dhara.

"Sepertinya iya, Nona."

Tertarik dengan proses behind the scene pengambilan gambar, Dhara duduk menyandarkan pantat di pagar kayu. Sesekali teralihkan pada punggung lebar pria berkaus hitam yang berdiri di dekat layar monitor. Berbincang dengan seseorang yang duduk di kursi lipat bertuliskan Sutradara.

Dhara masih dibuat penasaran dengan pria yang menguncir setengah rambut yang agak gondrong itu. Pria itu beragama, punya keyakinan yang sama dengannya. Melakukan salat tepat waktu. Dhara tahu karena subuh tadi, pria itu masih tetap menjadi imam salat.

Kayaknya enggak mungkin, deh. Pasti cuma salah paham. Begitulah cara dia menenangkan diri agar tidak membenci pria itu karena sudah merebut kekasih sahabatnya.

Deg!

Dhara tertangkap basah sudah memperhatikan pria itu. Pandangan mereka saling bertemu. Pria itu menatap datar, wajahnya pun tidak menggambarkan apapun. Tentu saja hal itu membuat Dhara panik dan bingung untuk menghindar. Bahkan ia hampir terkilir karena cepat-cepat pergi dari tempat tersebut. Beruntung ada Naria cepat tanggap.

"Na ...  cowok itu tuh nggak asing banget loh. Kayak siapaaaaa, gitu," ujar Dhara yang dari kemarin meresa pernah kenal pria bernama Haru itu.

"Apa perlu saya minta bantuan Pak Windu buat cari tahu, Nona?"

"Nggak usah nggak usah! Nggak penting banget! Cuma ngerasa gak asing doang bukan berarti aku penasaran!" tolak Dhara dengan angkuh. "Pastiin guide yang kita sewa datang on time, Na. Aku butuh banyak informasi yang nggak bisa kucari di internet."

"Baik, Nona."

Dhara memutuskan untuk kembali ke penginapan sampai sarapan paginya datang. Setelahnya, mereka keliling desa bersama seorang yang paham tentang sejarah desa tersebut.

Dhara kembali bertemu lagi dengan rombongan Haru saat melakukan syuting di halaman gereja desa. Sebagian besar dari tim itu orang asia dan sebagian lagi orang barat. Mereka cukup ramah bahkan ada yang menghampiri untuk menyapa.

Dari situlah Dhara tahu jika mereka salah satu perusahaan yang bergerak di jasa periklanan. Sekarang sedang melakukan syuting untuk sebuah brand internasional. Dan pria yang memiliki kelainan itu adalah penanggung jawab produksi.

"Cuma penanggung jawab," gumam Dhara ketika mereka melanjutkan perjalanan.

🍃🍃🍃

Kegiatan berkeliling desa disudahi menjelang salat Ashar. Lebih cepat dari perhitungan Dhara. Karena tempat itu tidak seluas yang ia pikirkan. Semua data yang ia butuhkan sudah didapat. Setelah melaksanakan kewajiban, Dhara mulai mencari tempat lain untuk dikunjungi. Sayangnya, telepon dari Umma yang menyuruh untuk tidak berlama-lama di sana, membuat ia harus bersiap meninggalkan desa.

"Baru sebentar juga," keluh Dhara.

"Memang seharusnya kita segera kembali ke London, Nona. Anda tidak bisa pakai baju pemilik penginapan terus."

"Ya udah. Kita ke London sekarang. Tapi aku mau mampir ke Cirencester. Mau beli oleh-oleh."

"Baik, Nona."

Dhara mendengar Naria menghubungi pengawal yang menginap di hotel bagian jalan utama Bibury lalu menghubungi pemilik penginapan. Setelah selesai, ia membantu Dhara mengemas barang-barang mereka kemudian bergegas untuk pulang.

Saat keluar penginapan, mereka bertemu dengan rombongan Haru. Dhara menyapa beberapa perempuan yang tersenyum padanya dan bergegas pergi.

Dhara pikir, setelah tiba di jalan utama, kendaraan yang akan mengantar ke Cirencester sudah tiba. Sayangnya tidak. Pengawalnya tidak bisa menghubungi taksi dan kata penduduk setempat sangat sulit menemukan taksi di tempat tersebut. Bus pun tidak beroperasi karena jalan ditutup total karena perbaikan. Hanya mobil-mobil kecil yang melintas. Sedangkan untuk menyewa mobil warga bukan perkara mudah.

Pilihannya saat ini hanya jalan kaki ke kota sebelah atau menginap lagi di sana sambil menunggu pengoperasian kendaraan umum.

"Kalian bisa ikut bus kami. Kebetulan kami akan kembali ke London dengan kereta."

Angin segar ketika seorang pria dari tim Haru memberi penawaran. Padahal, Dhara baru saja akan membuat alasan itu untuk bisa tinggal lebih lama di Bibury. Namun Naira dan Pak Windu kompak menyetujui.

"Ok! Kalian tunggu di sini, ya. Tim kami yang lain masih berkemas," ujar pria tersebut. Ia menghampiri Dhara yang bersandar di pagar batu jembatan. "Kamu bisa nunggu sambil nikmatin ini." Ia menyodorkan sebuah sebuah kopi cup di tangannya.

"Terima kasih." Dhara menerima pemberian pria yang memiliki senyum hangat di wajahnya yang berseri ramah.

"Saya, Hamam.  Saya beberapa kali lihat kamu tadi."

Dhara membalas senyum hangat itu. "Saya, Dhara. Maaf kalau nggak lihat keberadaan Kakak tadi." Bisa ia tebak pria itu berusia lebih tua darinya. Mungkin sepantaran dengan Naria.

Mereka sedikit berbincang di sana sebelum Naria datang mendekati. Sudah kebiasaan jika dia tidak akan dibiarkan bicara sendiri dengan orang asing. Terutama seorang pria. Seperti itulah perintah yang diberikan papa pada Naria.

Sekitar satu jam dibuat menunggu, Dhara mulai melihat satu per satu rombongan tim Hamam sudah tiba. Pria itu menyampaikan niatnya pada rekan kerjanya. Mereka terlihat tidak keberatan. Sementara pria berwajah ketus itu lebih terlihat tak acuh.

Mereka naik ketika kendaraan yang akan mengantar perjalanan mereka tiba. Masih ada beberapa bangku kosong meskipun Dhara dan pengawalnya menumpang di sana. Kendaraan tersebut membawa mereka pergi menuju ke kota seberang. Hanya butuh waktu sekitar 30 menit dan mereka turun untuk membeli oleh-oleh kemudian melanjutkan perjalanan ke Swindon Railway Station.

Tidak lama setelah memesan tiket, kereta api yang akan mereka tumpangi tiba. Awalnya Dhara tidak menyukai ketika pria berwajah ketus itu memberi waktu hanya 30 menit untuk berbelanja. Waktu yang Dhara butuhkan lebih dari itu. Alhasil, ia jadi panik dan banyak barang yang belum ia beli. Namun, sekarang ia merasa lega karena menuruti scedule pimpinan rombongan itu. Jika tidak, ia harus menunggu beberapa jam lagi untuk kereta berikutnya.

Saat perjalanan dalam kereta dan ingin pergi ke toilet, Dhara kembali dibuat tercengang oleh perilaku pria bernama haru itu. Di antara banyak orang yang ada di gerbong itu, Dhara melihat pria tersebut sedang melaksanakan salat dengan posisi duduk. Dhara melihat ponsel dan memang sudah memasuki waktu Magrib. Namun ia putuskan untuk salat di stasiun. Karena beberapa saat lagi, mereka tiba di tujuan.

Sayangnya, perkiraan Dhara salah. Di sana ia tidak bisa menemukan tempat ibadah. Karena waktu Magrib sudah hampir berlalu, Dhara putuskan mencari tempat di sudut stasiun yang sepi untuk melaksanakan salat dengan Naria. Jika harus mencari hotel di luar, ia akan kehilangan magribnya. Salah memang karena sudah menyia-nyiakan waktu.

Ketika salat, Dhara mengalami musibah.  Satu per satu barangnya dicuri seseorang. Tentu saja membuat pengawalnya mengejar. Dhara mengabaikan itu tetapi kali ini datang lagi beberapa orang yang mencuri tas ranselnya. Naira yang belum menuntaskan salat itu melepas mukena dan mengejar pelaku. Dhara coba untuk tetap khusuk dan menyelesaikan salat seorang diri.

Salam menjadi penutup salatnya dan Dhara melihat seorang remaja pria sedang berdiri tepat di depannya. Secepat kilat anak itu mengambil tas Dhara. Dia tidak lekas berlari dan justru mengambil isi dompet itu.

Anak itu menyuruh Dhara memilih antara ponsel atau dompet.

Dhara tidak bisa memilih karena keduanya sangat penting untuknya. Ia mencoba membuka mulut untuk berteriak tetapi anak itu membentak dan membuatnya sangat panik.

"Wallet!" Dhara yang panik lekas memilih dompet. Karena di dalam ada paspor dan dokumen penting lainnya.

Ternyata, anak itu justru mengembalikan ponselnya dan membawa kabur dompetnya. "Hei, Stop!" teriak Dhara. Ia melepas cepat mukenah dan mengambil ponsel yang jatuh kemudian berlari mengejar remaja tadi.

Anehnya, anak itu seakan menunggu Dhara untuk mengejar dan ia pergi ke sisi lain stasiun, membuat Dhara kesulitan meminta bantuan petugas. Sebab hanya ada penumpang yang tidak berminat menolongnya.

Sampai Dhara berada di luar stasiun, menyusuri tepian jalan dan orang-orang hanya menatapnya keheranan. Hingga mencium aroma yang ia sukai berbarengan dengan seorang pria dengan rambut setengah dikuncir berlari mendahuluinya. Mengejar pencuri tadi.

Sekuat tenaga Dhara mengikuti langkah pria itu sampai menaiki tangga gedung pertokoan dan berhenti di atap yang gelap serta kumuh. Dengan napas tersengal-sengal, Dhara menyaksikan beberapa anak tuna wisma ada di sana.

"What do yo want?" tanya pria yang berada di depan Dhara pada pencuri tadi.

"Please, take my brother to the hospital, Sir."

Dhara kaget dengan permintaan itu. Mereka tidak berniat mencuri, hanya membutuhkan bantuan.

 

BAB 06

🍃Happy Reading🍃

 

"You can choose my card!" Dhara menyodorkan debit cardnya pada wanita yang berada di balik meja kasir sebuah rumah sakit.

"Gue walinya. Gue yang berhak bayar."

Protes dari pria di sampingnya membuat Dhara menoleh. Sejenak, kemudian ganti memperhatikan kartu yang lebih dulu tersodor darinya. "Sebaiknya kamu simpan uangmu, Kak. Biar aku yang selesaikan kebutuhan anak-anak itu," pintanya karena melihat kartu debit pria tersebut  berada setingkat di bawahnya.

Pria itu mengabaikan Dhara dan tetap menyuruh petugas mengambil kartu miliknya. "Jangan serakah. Mau nyari pahala sendiri," cetusnya.

"Aku nggak serakah. Justru aku mikirin kamu juga, Kak—"

"Gue nggak semiskin itu," sahut pria bernama Haru itu.

"Aku nggak bilang seperti itu!"

"Mata sama tingkah lo yang bilang kayak gitu!" Pria itu kembali mengabaikan Dhara untuk menyelesaikan administrasi.  Setelah berpesan agar memberikan pelayanan terbaik pada anak-anak tuna wisma itu, ia pergi.

Dhara masih mengikuti kemana langkah Haru. Pria itu kembali ke tempat perawatan anak-anak yang mereka tolong.  Mengajak mereka berbincang dan meyakinkan jika mereka akan dirawat di sana sampai sembuh. Haru juga janji akan menyampaikan keberadaan mereka agar mendapat bantuan dari pemerintah kerajaan.

Mereka tidak berlama-lama dan memutuskan untuk pergi. Dhara harus ke tempat terbuka agar Naria lebih mudah menemukannya.  Pencuri yang  mengambil barang-barang mereka adalah komplotan dan tidak berniat mencuri. Hanya meminta bantuan secara paksa. Dhara mendapat dua kantong belanjaannya lagi. Termasuk tasnya dan Naria.

Menuju ke tepi jalan raya, Dhara mendapat telepon dari nomor yang tidak dikenal. Itu Pak Windu dan segera ia kabari di mana keberadaannya sekarang.

"Tunggu bentar. Gue mau sholat dulu sama ke beberapa toko buat beli sesuatu."

"Iya, Kak. Habis ini penjagaku juga datang, kok," sahut Dhara. Mengulas senyum sambil menatap pria yang berdiri di sampingnya.

Ia terbelalak dan dirundung jengah ketika menyadari Haru bukan bicara padanya, tetapi sedang melakukan panggilan telepon. Pria itu menarik satu sisi bibirnya diiringi dengusan, membuat Dhara memutar badan dan  bergeser menghindar.

Namun tiba-tiba ada dua pria gemuk  berpakaian kumal menatap dan menghampirinya. Belum sampai mereka mendekat, Haru pindah posisi di depannya. Memberi sekat antara dia dan dua pria asing itu.

"Mungkin cuma semalam ini gue tinggal di sana. Tamu tante gue udah mau pulang juga." Haru melanjutkan pembicaraannya dengan tetap memperhatikan Dhara. "Iya, gue tunggu di sini, No. Take care, ya."

Kini Dhara bisa menebak dengan siapa Haru berbincang. Mengingat kelainan pria itu membuat Dhara kembali menegakkan badan. Kembali membangun kepercayaan dirinya.

"Selain sombong, lo juga terlalu percaya diri, ya," sindir Haru dan mendapat balas tatapan ketus.  Ia memberi isyarat untuk jalan dan pindah dari tempat tersebut.

Dhara yang paham menurut tanpa bertanya. Sambil berjalan, ia menghubungi pengawalnya jika pindah tempat karena ada tuna wisma yang mengincarnya. Tidak semuanya memang, tetapi beberapa orang yang memiliki pemikiran sempit selalu menjadikan orang asia atau yang berkulit hitam sebagai target pemerasan. Apalagi Dhara yang memakai hijab.

"Ada tempat ibadah di belakang pertokoan itu. Lo mau ikut?"

"Ada mukenahnya? Mukenahku ketinggalan di stasiun tadi." Dhara sedikit kesusahan berjalan karena dua kantong belanjaan di tangan kanan dan kirinya yang cukup besar.

"Gue juga nggak tahu. Gue aja tahu dari maps," jawab Haru. Ia ambil alih barang di kedua tangan Dhara dan kembali berjalan.

Ternyata, mereka sama-sama tidak tahu tempat tersebut. Ya, sopir taksi yang mengantar mereka ke rumah sakit tadi. Dan jaraknya pun cukup memakan waktu dari stasiun tadi.

Sampai di belakang pertokoan, Haru coba memperhatikan antara ponsel dan juga plang tulisan yang ada di sana.  Dan ketemulah tempat ibadah yang mereka cari. Tidak terlalu besar dan berdiri beberapa lantai diapit bangunan lain. Ternyata di sana adalah salah satu tempat belajar warga muslim di london.

Saat kedatangan mereka tidak terlalu ramai dan hanya ada beberapa orang. Baik Dhara maupun Haru sholat secara terpisah. Setelah selesai, tidak berlama-lama di sana dan mereka keluar, kembali ke tepi jalan raya.

Di sana Dhara kaget ketika melihat Kiano berdiri di samping sebuah mobil. Begitu pula dengan mentan kekasih sahabatnya itu. Kiano mengabaikan Dhara dan menghampiri Haru. Menggenggam satu tangan pria tersebut serta memberi tatapan manja.

"Kok kamu bisa sama dia?"

Merinding Dhara mendengar suara manja Kiano pada Haru. Padahal dulu ia menganggap Kiano adalah cowok yang keren, mau beberapa kali pulang pergi Zurich - London hanya untuk bertemu kekasihnya. Tidak tahunya, seperti ini keadaan Kiano sebenarnya. Dhara bersyukur Jenie sadar lebih cepat.

"Udah. Mana keycard-nya. Kamu buruan pergi, nanti telat." Haru mengalihkan perhatian, mungkin sadar jika Dhara mual melihat kelakuan mereka.

Kiano memberikan sebuah kartu pass, kemudian memberi kecupan di pipi Haru. Membuat Dhara membungkam mulutnya yang menganga.

"Dhara! Jangan berani-berani ngerayu dia! ngerti! Dia nggak suka dideketin cewek! So, don't waste your time!"

"You know, I would never do that." Dhara mengerling malas, mengantar kepergian Kiano.

Kemudian ia menatap Haru. Parasnya datar, tidak menunjukkan kegirangan maupun rasa jijik. Pria itu melanjutkan langkah dan Dhara mengikutinya.

"Aku melihatmu beberapa kali jadi imam salat dan salatmu termasuk tepat waktu, Kak." Dhara mencoba mengutarakan keresahannya.  Pria itu bergeming dan hanya menatap lurus ke depan. "Apa itu bagian dari personal branding untuk menutupi keburukan dan dosa-dosamu, Kak?"

"Dosa itu pilihan, tapi salat sebuah kewajiban."

Dhara terkekeh mendengar jawaban itu. "Kakak, nggak malu sama Allah? Kakak sholat, tapi di sisi lain, Kakak juga ngelakuin hal yang dibenci Allah."

"Lebih malu lagi, tiap menit nimbun dosa tapi lalai sama kewajiban."

"Keduanya sama-sama nggak baik, Kak."

"Gue sepenting itu buat, lo?"

Dhara menghentikan langkah. Memperhatikan pria yang juga berhenti dan membalas tatapannya. "Aku punya kepedulian karena kita sesama muslim, Kak."

"Lo nggak sepeduli itu."

"Aku hanya mengingatkan Kakak untuk lebih menyempurnakan ibadah."

"Jadi, di mata lo cara ibadah gue nggak sempurna?"

"Kakak menyudutkanku. Kakak tahu bukan itu yang kumaksud."

"Lalu?"

"Nona!"

Perdebatan mereka terhenti ketika Naria datang bersama pengawal yang lain.

"Time's up. You should go." Haru memberi senyum yang meremehkan.

Dhara masih ingin meluruskan maksudnya, tetapi Naria terus bertanya memastikan kondisinya. Sementara Haru meletakkan barang-barang Dhara yang ia bawa kemudian pergi begitu saja.

Naria pun mengajak Dhara pergi ke sebuah mobil yang terhenti tak jauh dari tempat mereka berdiri.

"Chi!"

Dhara berhenti sebelum masuk ke dalam mobil dan menatap Haru. "Ya?"

"Ibadah sama ilmu itu satu paket, kayak badan sama baju. Ibadah yang dilakukan tanpa ilmu, sama kayak kita jalan-jalan nggak pakai baju."

"Hah?" Dhara mengernyit bingung. Ia coba mencerna kalimat Haru yang sedang berjalan mundur dengan mengulas senyum lebar.  Kali ini tidak merendahkan Dhara. Hanya seperti memiliki sesuatu yang Dhara tidak miliki. Membuat Dhara penasaran sekaligus merasa terintimidasi.

"Wakafa bilahi syahida. Cukup Allah yang jadi saksi. Jangan buat perbandingan ibadahmu untuk nilai ibadah orang lain." Haru mengetuk pelipis kanannya dengan jari telunjuk,  kemudian menegakkan telapak tangan, lalu menundukkan perlahan.

Kini Dhara tahu maksud kalimat pria itu. Seharusnya semakin berilmu, semakin ia bisa menghargai orang lain.  Ia kembali dibuat malu. Hanya karena mengetahui kekurangan pria itu, membuat Dhara menjadi angkuh, merasa salih dan berada di atasnya.

"Ayo, Nona."

Desakan Naira membuat Dhara melepas kepergian pria itu menuju halte bus. Ia pun segera masuk ke dalam taksi. Ia duduk dan tidak berani menoleh ke belakang.

Chi!

Panggilan Haru tadi terlintas di benaknya. Segera ia membuka pintu dan memanggil pria yang dalam antrean naik ke bus.

"Kak Haru!"

Bukan hanya pemilik nama, tetapi hampir semua orang di sekitar Haru menoleh pada Dhara.

"Kenapa panggil aku, Chi?  Kakak tahu namaku dari mana?" Dhara berlari menghampiri Haru tetapi pria itu tidak mau menghentikan langkah masuk ke bus.

Alhasil Dhara hanya bisa memperhatikan pria itu dari luar kendaraan besar berwarna merah. Pintu bus tertutup, Haru yang duduk di bagian tepi dengan santai membuka jendela.

"Gue baca di debit card lo, tadi." Lagi, Haru mengulas sebuah senyum. "Ilal Liqo', Chi ... Dharahifsa." Ia memberi jeda saat menyebutkan nama wanita yang masih termangu itu.

Dhara tak berhenti menatapi bus yang berangsur menjauh.  Entah kenapa, ia enggan berpaling. Menelisik dalam benak. Mencari tahu alasan kenapa masih berdiri di sana.

"Kenapa kekuranganmu harus sesuatu yang dibenci Allah.  Padahal, kamu adalah hamba yang baik, Kak."

Astaghfirullah, Dhara ... kamu mikir kemana? Dhara menepuk kepalanya beberapa kali kemudian kembali ke Naria.

🍃TBC🍃

 

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Our Imperfection - 07&08
114
7
Bab 07 dan 08
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan