
Bab 01 dan 02
BAB 01
Kylo:
Mbak! Nyasar apa sengaja nyasar, sih! Telepon gak diangkat. Chat gak dibales. Umma udah panik tuh.
Dhara:
Maunya sih nyasar, tapi sopirnya papa tahu banget detail kota Malang. Udah, tunggu aja. Mbak masih nyelesaiin kerjaan.
Kylo:
Gak usah kerja keras. Jodohmu udah kaya. Buruan balik!
Dhara:
Ya.
________________
"Huuuft."
Wanita muda berhijab pink salmon itu menyandarkan pipi di atas meja kerja. Memainkan pensil yang berada di antara jari telunjuk dan jari tengah. Mata sendu yang tidak terlalu lebar dengan bulu lentik, terus mengamati senja yang mulai tekikis malam.
Hidung berujung bulat itu berulang kali mengembuskan napas berat. Ditambah bibirnya tidak bisa diam. Sesekali menipis, kemudian manyun, lalu menyebik ingin menangis, kemudian meringis menampilkan dental brace pada giginya yang bersih.
Riuh dari karyawan yang berkemas pulang tidak bisa mengalahkan gaduh dalam benak. Pikirannya sedang bekerja keras, mencari cara untuk menghindar dari acara yang digelar keluarganya.
"Dhara, nggak pulang?"
Mendengar namanya dipanggil, Dhara mengalihkan perhatian pada seorang wanita muda dengan rambut panjang berwarna dark brown yang berdiri di bibir pintu.
"Terima aja sih, Ra. Orang tua kamu nggak mungkin salah milihin anaknya."
Dhara menegakkan badan dan meletakkan jari telunjuknya di bibir. Matanya melotot sambil berdesis, "Sst! Tami! Jangan keras-keras!"
Bukannya menyesal, wanita bernama Tami itu justru terkekeh menghampiri Dhara. Duduk di tepi meja yang tatanan barangnya sangat rapi.
"Nggak usah malu kali. Dijodohin juga bukan karena nggak laku," sahut Tami semakin lantang.
"Tamiiiii!" Dhara memukuli punggung tangan rekan kerjanya dengan penggaris. Ia melihat ke luar ruangan. Berharap tidak ada siapapun yang mendengar. "Jangan bikin malu, Mi! Bisa-bisa mereka beneran mikir kalau aku nggak laku."
"Udah jadi rahasia umum. Semua karyawanmu udah ngerti kalau bos mereka nggak laku karena kebanyakan milih!" Tami tertawa tanpa menutup mulut dan membuat Dhara terus memukuli tangan Tami.
"Bukan kebanyakan milih. Tapi semuanya harus terencana. Salah mereka juga sih, yang katanya sayang, tapi nggak mau menghargai keputusan yang kubuat."
"Kamu udah 27 tahun, Dhara. Udah cocok buat nikah."
"Enggak. Belum. Semuanya belum siap."
"Kamu kebanyakan perencanaan, sih. Ribet deh ngurusnya." Tami berdiri dan menepuk bahu Dhara. "Udah, aku balik dulu. Kasihan suamiku lama nunggu di bawah."
Dhara mengangkat wajah, menatap kepergian Tami dengan anggukan dan bibir yang manyun. Ia melambaikan tangan dengan malas meski wanita itu sudah memunggunginya.
Satu persatu ia melepas kepergian karyawannya yang pamit pulang. Suasana berangsur hening. Langit jingga memudar perlahan disapu malam. Dhara menatap malas pada jendela yang memantulkan isi ruang kerjanya. Sedang pikirannya, terus diisi dengan perjodohan yang dibuat orang tuanya.
Jauh-jauh orang tuanya datang dari Yogyakarta ke Malang, hanya untuk merencanakan masa depan yang tidak Dhara rencanakan. Ia tidak menyukai segala hal yang berjalan tidak sesuai rencananya. Namun, tidak mungkin Dhara menolak keras. Terlebih lagi setelah ia banyak mengobral janji. Wajar jika tidak mendapat kepercayaan lagi dari papa dan umma.
Dhara menghela napas berat. Ia berdiri dan merapikan meja kerja yang sebenarnya sudah sangat rapi. Dengan menarik napas dalam-dalam, Dhara mengambil tas dan keluar ruangan.
Kaki berbalut rok abu-abu dengan flat shoes putih terlihat malas menjejaki koridor. Bahkan ia abaikan fungsi lift di sana dan memilih untuk turun ke lantai satu dengan tangga darurat. Sengaja, ia ingin mengulur waktu. Namun, suara azan Magrib membuat Dhara mempercepat langkah.
Dia meninggalkan bangunan berlantai dua yang hampir dua tahun ini menjadi kantornya. Dhara bekerja sama dengan beberapa teman arsitek muda dan membuka perusahaan sendiri.
Ia pilih kota Malang sebagai kantor pusat karena suasananya yang dingin. Apalagi, ia dapat dua gedung gratis bekas kantor papa yang sudah tidak berfungsi. Dhara merenovasi semua bangunan yang berada di satu halaman itu sesuai dengan keinginannya. Satu gedung ia gunakan sebagai kantor. Dan satunya lagi digunakan untuk tempat rapat.
Namun, seminggu ini tempat tersebut beralih fungsi menjadi studio animasi milik seorang dari Jakarta. Jika saja Dhara tahu Haru pemilik perusahaan itu, dia tidak akan menyewakannya.
Ia berjalan ke arah mushola yang ada di halaman bagian belakang gedung. Beberapa keryawannya juga karyawan gedung sebelah ada di sana, bersiap untuk salat. Dan di antara orang-orang itu, perhatian Dhara tertuju pada pria bertubuh tinggi, berkemeja putih. Dari belakang, Dhara bisa melihat lebar dan kokohnya punggung itu.
Namanya Haru, Gaharu Taraka. Pemilik studio animasi sebelah kantor Dhara. Banyak orang memuji dan menginginkan Haru. Menjadikan standart pria idaman wanita-wanita di sekitarnya. Pria berkulit sawo matang itu memang terlihat menggoda.
Parasnya terpahat sempurna dengan rahang tegas, bibir tipis dan berhidung mancung. Entah Hasil buatan dokter atau memang alami. Namun, cukup membuat Dhara yang memiliki hidung sederhana menjadi iri.
Ditambah dengan dua alis tebal dan rapi di atas dua mata yang tidak terlalu lebar, tetapi seperti mempunyai daya tarik yang membuat wanita takhluk dengan sorotnya. Semua penampilan itu disempurnakan oleh tubuh tinggi yang dijaga kebugarannya.
Jika beberapa orang menjadikan Haru sebagai standar pria tampan dan wajib didekati apalagi dimiliki, lain dengan Dhara yang sebisa mungkin ingin menghindar. Bukan Dhara benci pada Haru, hanya saja ... ia selalu teringat pengalaman saat mereka bertemu di London beberapa tahun yang lalu.
Pengalaman yang membuat dia tahu sesuatu yang tidak diketahui banyak orang tentang Haru. Juga, bagaimana angkuhnya dia saat belum tahu siapa Haru sebenarnya. Ah, rasanya malu jika memori itu diputar lagi.
"Naksir gue?"
Suara khas pemuda ibu kota mengusik telinga Dhara. Ia mendengkus ketika pria yang sedang diilustrasikan dalam pikiran menoleh dan menegurnya. Ia berikan lirikan sinis dan mendapat balas seringai masam. Pria itu berlalu dengan menyugar rambut hitamnya yang sedikit panjang.
"Kak Haru!" panggil Dhara sebelum pria itu menginjakkan kaki di teras musala.
"Pak!" Haru meralat panggilan Dhara padanya.
"Dih. Jam kerja 'kan udah kelar," guman Dhara.
"Buruan, ngomong apa. Waktunya 5 detik. Satu ...."
"Jangan suka ngitung! Bikin panik aja!"
"Dua ...."
"Tolong temenin aku ketemu papa sama umma!" pinta Dhara segera.
"Nggak," tolak Haru tak acuh. Ia duduk di teras musala dan membuka sepatunya.
"Bantuin aku. Pura-pura jadi orang yang suka ke aku, dan mau nikahin aku."
"Gue nggak suka lo."
"Pura-pura, Banaspati! Pura puraaaaa!" Dhara menahan untuk mengecam lebih jauh.
"Nggak."
"Ya udah. Aku sebarin rahasiamu di grub kantor." Dhara mengambil ponselnya, membuat Haru berdiri panik.
"Oke. Aku temenin," sahut Haru, membuat Dhara memicing dan tersenyum jahil.
"Habis salat ikut ke rumah, ya. Papa, Umma sama Kylo, di Malang hari ini. 'Kan Kak Haru udah kenal tuh sama papa. Nggak akan keder 'kan kalau ngomong sama papa? Ntar pokoknya ngomong kalau kakak punya rencana nikah sama aku—"
"Males gue kalau bikin acara kayak gini. Drama banget."
"Ih, tolongin!"
"Kebiasaan minta bantuin mulu. Kalau terlanjur nyaman, gue nggak tanggung jawab, ya."
"Hiss!"
🍃🍃🍃
"Dhara! Kamu serius mau nikah? Sama Haru?"
Itu adalah respon pertama dari wanita paruh baya berhijab syar'i yang Dhara panggil dengan sebutan 'umma'. Ia sudah menyampaikan sebuah kebohongan agar papa dan umma mau membatalkan acara perjodohannya.
"Dhara mau menikah ... tapi dengan orang yang Dhara sayangi," imbuh Dhara, menatap papa dan umma secara bergantian.
"Oke. Kapan mau nikah?" Setelah cukup lama diam, papa membuka suara dan membuat Dhara panik.
"Kita masih bicarakan, Pa. Tapi udah serius, kok. Nggak dalam waktu dekat ini—"
"Assalamu'alaikum."
Salam dari seseorang membuat seluruh penghuni ruang tamu menoleh ke arah pintu ruang tamu.
"Wa'alaikumussalam. Alhamdulillah, akhirnya Mas Almeer sama Mbak Sora datang juga." Umma berdiri dan Dhara sangat kaget dengan tamu yang datang.
"Haru! Ternyata udah di sini?" seru wanita paruh baya. Namun, wajahnya masih terlihat muda dan cantik.
"Iya, Bun. Diajak dia," jawab Haru sambil melirik Dhara.
"Kak Haru sama keluarga, mau main ke sini?" Dhara kaget dengan jawaban Haru.
"Iya. 'Kan tamu kita malam ini keluarganya Om Almeer, Sayang," sahut Umma.
"Tunggu-tunggu!" Dhara menenangkan diri dari ramainya dugaan dalam kepala. Ia menatap pria yang sedang duduk di sofa yang terpisah darinya. Memberikan senyuman licik dengan mengangkat alisnya."Kak Haru, bukan ...."
"Kenalin. Gue Haru. Gaharu Taraka. Calon suami lo." Haru mengulas smirk di ekspresinya yang datar.
"Hah!"
BAB 02
"Umma ... kenapa yang dijodohin sama Dhara harus Kak Haru?" Dhara terus mengekori kemana perginya langkah umma di dapur.
"Papa bilang, Haru cocok buat kamu." Wanita paruh baya berhijab lebar itu menata satu per satu hidangan di atas nampan, lalu memberikan pada bibi ART untuk membawa nampan-nampan itu ke ruang tamu. "Agamanya bagus, gigih, pekerja keras, usahanya ada di mana-mana, orangnya tegas, jiwa sosialnya tinggi, sopan—"
"Dih! Nggak ada sopan-sopannya kalau denganku," cibir Dhara lirih. Ia mencengkeram tangan umma yang akan pergi. "Umma! Dhara cari calon suami sendiri aja, ya. Jangan sama Kak Haru," pintanya membuat umma menghela napas.
"Jadi tadi settingan?"
Dhara meringis malu. "Maaf," sesalnya.
"Sayang. Sampai kapan kamu selalu tolak siapapun yang datang? Pilihan kamu sendiri pun nggak ada yang kembali lagi."
"Ya giliran Dhara nemu yang sefrekuensi, Dhara undang ke Jogja, ketemu sama papa, besoknya bilang nggak bisa lanjut. Takut pasti sama papa." Dhara bersandar di meja bar. "Sekalinya nemuin tanya nama lengkap, rencana masa depan, tiba tiba bahas hal janggal tentang calonku. Siapa yang nggak takut kalau tiba-tiba aibnya dibuka di depan calon istrinya."
"Papa nggak buka aib, Sayang. Cuma mencari kebenaran dari calon pendamping putrinya. Papa nggak akan mau anak-anaknya nanti kenapa-napa. Makanya papa usut tuntas dulu, layak nggak dampingin putrinya," jelas Umma seraya mengusap pipi Dhara. "Memang Dhara mau kalau sampai nyesel karena waktu jalanin pernikahan?"
"Ya enggak. Makanya Dhara udah rencanain semua. Dari A sampai Z."
"Nggak ada yang menakutkan dari pernikahan, Sayang. Menikah itu sebagai penyempurna agama."
"Tetapi tidak boleh dilakukan sembarangan. Karena menikah adalah ibadah yang paling panjang," imbuh Dhara. "Dhara tahu itu Umma. Makanya Dhara mempersiapkan segalanya sampai benar-benar matang. Bukan hanya fisik, psikis Dhara pun sama."
"Persiapan kamu udah sangat matang, Sayang. Tinggal melangkah." Umma menggenggam tangan Dhara dan menatapnya lembut. "Udah, ya. Nggak perlu lagi nyari orang buat pura-pura mau nikah sama kamu. Nggak usah ngulur waktu lagi. Anak gadis nggak baik kemana-mana sendiri."
Seperti biasa perkataan Umma selalu lembut. Namun, sulit sekali untuk menerimanya. "Dhara belum mau nikah, Umma. Nikah nggak bisa cepat-cepat. Banyak hal yang harus disiapin. Dhara udah atur semuanya. Dhara akan nikah umur 35. Menurut Dhara, di usia itu sudah sangat matang. Emosi lebih stabil dan lebih bijak tiap ambil keputusan."
Umma menghela napas sambil menggelengkan kepala. Senyum lebar terulas di bibirnya. Ia mencubit pelan pipi putrinya. "Anaknya Mikhail Tyaga. Apa-apa diperhitungkan detailnya." Umma kembali melangkah tetapi Dhara menghalanginya.
"Semuanya harus diperhitungkan, Umma. Buat memperkecil kegagalan dan kekecewaan."
"Tapi perhitungan kamu berlebihan, Sayang. Overthinking itu nggak baik. Udah, ayo ke depan. Temui calon suami dan mertua kamu."
"Umma!"
Permintaan Dhara benar-benar diabaikan oleh Umma. Ia ditarik lembut kembali ke ruang tamu dan duduk diapit kedua orang tuanya. Kylo, adik laki-laki yang dua tahun lebih muda darinya tak berhenti meledek lewat sorot mata.
Mungkin ini teguran keras dari Allah karena sudah beberapa kali membohongi kedua orang tuanya untuk menghindari perjodohan. Dan sekarang, ia terjebak dalam rencananya sendiri. Bagaimana bisa ia mengajak orang untuk menggagalkan perjodohan, justru orang itulah yang sedang dijodohkan dengannya.
Meskipun kata orang usianya sudah cukup matang untuk menikah, Dhara merasa sebaliknya. Ia belum siap dan belum menemukan pria yang tepat untuk mendampinginya. Bukan, lebih tepatnya menerima pola pikirnya. Dhara sudah membuat rencana matang untuk hidupnya dan pantang untuknya keluar dari planing yang ia susun.
Apalagi, jika pria itu adalah Haru. Selain karena sifat yang bertolak belakang dengannya, Dhara tidak bisa menikah dengan pria tersebut karena sebuah alasan. Sebuah kejadian besar yang ia tahu saat mereka bertemu di London empat tahun lalu.
🍃🍃🍃
Gelar Master of Architecture resmi tersemat di belakang nama Chi Dharahifsa. Selama lima tahun, dia telah menyelesaikan progam pendidikan S1 dan S2 di Eidgenossische Technische Hochschule, Zurich. Kini, ia sudah bisa kembali ke tanah air dan akan memulai karirnya di Bumi Pertiwi.
Baju toga hitam dengan garis putih melingkar dari bahu dan punggung bagian belakang masih membalut pakaian syar'i dusty blue yang dikenakan Dhara. Masing-masing tangannya memegang buket bunga dan sebuah map kulit warna biru tua.
Diapit kedua orang tua dan adik laki-lakinya, mereka siap mengabadikan hari bersejarah dalam sebuah kamera. Gedung dengan pilar-pilar besar dan fasad berukiran klasik menjadi latar foto mereka. Memperjelas jika Dhara pernah mengenyam pendidikan di salah satu universitas arsitektur terbaik Eropa.
"Alhamdulillah ... anak gadis Umma pulang juga ke Indonesia." Wanita paruh baya yang mengenakan baju syar'i berhias brokat elegan merangkul bahu Dhara.
"Mm ... sebenarnya, Dhara masih mau di Eropa dulu, Umma." Dhara meringis sambil melepas topi persegi limanya dari kepala.
"Dhara ...." Umma mendelik mendengar permintaan putrinya. "Mau ke mana lagi? Kita pulang sama-sama aja besok."
"Dia punya cowok kali, Umma. Mau ketemuan diem-diem."
"Hish!" desis Dhara ketika adiknya mulai memofrokasi. Ia kemudian mengambil ponselnya dan menunjukkan sebuah tiket pesawat pada keluarganya.
"London?" Dua bola mata Umma semakin membulat. Dhara mengangguk dengan senyuman lebar.
"Kan semenjak Paman Haqy sama Tante Ameera pindah ke London, Dhara belum punya kesempatan mampir ke sana, Umma. Dhara mau silaturahmi sekalian mau main di Bibury sama Jenie beberapa hari."
"Alasan," decak Kylo dengan menyebikkan bibir. Kemudian meringis kesakitan ketika Dhara mencubit lengannya. "Sakit, tau!" protesnya tidam digubris.
Dhara mengalihkan perhatian pada papa yang tidak mungkin menolak keinginannya. Ia keluarkan pancaran mata penuh harap dan bersikap semanis mungkin. "Boleh ya, Pa?" ujarnya.
"Windu sama anak buahnya akan ikut kamu."
"Papa! Itu terlalu berlebihan! Naria aja udah cukup." Dhara menyebut nama pengawalnya.
"Kamu bisa batalin penerbangan kamu ke London, dan ikut pulang ke Indonesia besok."
Papa memang jarang berbicara, tetapi sekali membuka mulut pasti sebuah keputusan yang sulit untuk dibantah. Ia meminta bantuan Umma untuk membujuk Papa.
"Umma lebih suka kamu ikut kami pulang, Sayang."
"Iya, deh. Pak Windu dan anak buahnya boleh jaga Dhara. Asal dari jauh," ujar Dhara menyerah.
"Jadi pengen ikut," gumam Kylo dan langsung mendapat lirikan dari Umma.
"Kamu bentar lagi balik ke Maroko. Nanti waktu di rumah cuma sebentar. Nggak ada waktu buat Umma sama Papa! Main mulu kalau pulang ke Jogja," protes Umma pada anak laki-lakinya.
"Kena omel 'kan, kamu." Dhara cekikikan melihat hal itu.
Omelan Umma bisa berlangsung lebih panjang kalau saja Jenie, sahabat Dhara dan beberapa teman bersama keluarganya datang menyapa, saling mengucap selamat.
Dhara memang harus mengucapkan salam perpisahan dengan beberapa temannya karena ia akan meninggalkan kota ini besok.
Sudah direncanakan jika ia ingin pergi jalan-jalan dulu sebelum akhirnya kembali ke Indonesia. Sebab, berada di Swiss selama lima tahun, Dhara hanya fokus pada pendidikan. Jika berlibur bersama teman pun tidak bisa terlalu jauh. Dan kali ini, ia ingin menikmati bangunan di Britania Raya yang tak kalah unik dari tempat tinggalnya saat ini.
🍃TBC🍃
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
