
Bab 14
Diam adalah keputusan yang Nyala buat saat berada di pendopo padepokan, bersama dengan para senopati yang sedang bertukar pikiran menyiapkan strategi melawan pasukan Linggapati.
Keberadaannya di sana sudah dianggap hanya karena kejadian semalam. Ia dimintai pendapat tetapi menolaknya secara halus dengan mengatakan jika yang mereka putuskan sudah sangat baik.
Memang, ada beberapa celah pertahanan di sisi kiri yang menurut Nyala kurang diperhitungkan. Namun ia tidak mau mengusiknya. Toh, sejarah sudah mencatat jika perang Mahibit di tahun ini akan dimenangkan oleh pasukan Tumapel.
Ketika malam mulai datang, pasukan yang terpilih untuk berperang langsung menuju ke istana. Raja ikut bersama mereka dan istana Tumpael diurus oleh Raganata.
Hampir sehari semalam mereka melakukan perjalanan. Melewati beberapa punggungan gunung hingga tiba di tempat yang dijadikan markas Tumapel, tepat ketika langit berwarna jingga.
Tenda-tenda sudah didirikan di sana. Para pasukan yang telah berjalan puluhan kilometer itu diistirahatkan sementara para pemimpin kembali mengatur strategi usai para cantrik melaporkan hasil pengawasan beberapa hari terakhir.
"Kau dari mana saja! Ini bukan waktunya pergi sesuka hatimu!" Bungalan menegur Nyala yang baru kembali ke tenda.
"Saya manusia biasa yang mempunyai sistem pencernaan normal, Raden Bungalan. Tentu jadi hal wajar jika saya harus mengeluarkan sisa-sisa makanan yang tidak dicerna."
"Ah! Banyak alasan saja kau dengan omongan anehmu! Kembali ke posisimu!" seru Bungalan membuat Nyala langsung masuk ke tenda.
Kalau saja tidak membahayakan nyawanya, Nyala pasti sudah jujur jika pergi-pergi melaksanakan kewajibannya. Sangat susah sekali mencuri waktu dalam keadaan seperti ini. Bahkan Nyala sempat berpikir, kenapa terdamparnya harus di Kerajaan Singasari, tidak di Mataram baru saja agar mudah untuknya beribadah tanpa sembunyi-sembunyi.
Dua hari mereka menyusun strategi yang lebih matang, penyerangan pun mulai dilakukan dalam senyap di pos-pos penjagaan perbatasan.
Nyala yang mendapat tugas membuka serangan. Ia membekali prajuritnya dengan beberapa teori singkat untuk pertahanan ketika terdesak agar tidak ada yang menjadi korban.
Lawannya belum terlalu berat untuk Nyala karena ia melakukan serangan secara sistematis. Ia tahu membuka jalur besar kemungkinannya menjadi korban. Nyala tidak mau itu terjadi dan berusaha agar tetap hidup.
Meskipun pernah berpikir, mungkin jika ia mati akan kembali ke raga aslinya. Namun, jika tidak dan malah langsung berada ke pemakaman, itu lebih mengerikan. Ia belum punya bekal pahala yang banyak.
Pada hari ketiga, benteng pertahanan Mahibit dapat ditembus. Pasukan Bungalan pun masuk disusul oleh Raja Wisnuwardhana.
Kabar ditakhlukkannya Linggapati dan pasukannya terdengar di telinga Nyala. Pemberontak telah tewas. Beberapa pasukan masih ingin melarikan diri. Prajurit Tumapel mendapat titah untuk membabat habis pasukan Linggapati yang ingin melarikan diri.
Karena Nyala di sana juga sebagai prajurit, komando panglima perang pun jelas harus dilaksanakan. Ia menyusuri pegunungan untuk mencari pasukan-pasukan Linggapati bersama kelompok kecilnya.
Beberapa kali Nyala mendapat serangan dari musuh hingga tiga orang prajuritnya jadi korban. Namun ia masih bisa mengendalikan keadaan. Selalu kembali ke markas dengan membawa tawanan Linggapati.
Namun, pagi hari sebelum rencana kembali ke Tumapel, Nyala mendapat serangan lagi di hutan. Akan tetapi, ada yang berbeda dengan musuhnya. Pakaian yang dikenakan lumayan berbeda dari pasukan Linggapati.
Nyala ingat, itu adalah orang-orang yang menyerangnya saat baru saja sadar usai terperosok di jurang lalu ditolong Argapati.
"Kalian bukan orang-orang Linggapati, 'kan?" tanya Nyala pada hampir delapan orang yang berada di depannya.
Tidak ada seorang pun yang menjawab.
"Jika aku yang kalian inginkan, jangan sentuh prajuritku."
Sepertinya mereka tidak peduli dengan itu. Nyala langsung diserang. Segera ia instruksikan pada beberapa prajurit yang ikut dengannya untuk mundur dan pergi.
"Tapi, Raden!"
"CEPAT PERGI!" seru Nyala sambil menahan serangan. Tidak ingin mengorbankan prajuritnya untuk sesuatu yang pribadi.
Siapapun yang akan mengejar prajuritnya yang lari akan Nyala hadang. Sangat sulit, satu orang melawan mereka. Mungkin jika tidak memakai tubuh Klana, ia sudah lenyap dalam hitungan detik melawan orang-orang berkemampuan hebat itu.
Satu dua orang dapat dilumpuhkan. Masih banyak sisanya yang terus menyerangnya dari beberapa penjuru. Sampai ia mendapat bantuan dari beberapa anak panah yang membuat dua orang di antara mereka jatuh.
Perasaannya sudah tidak enak. Dan benar saja, ada beberapa orang turun dengan santainya dari dahan- dahan pohon yang cukup tinggi lalu membantu Nyala melawan orang-orang itu. Salah satunya seorang wanita yang sangat ia kenali.
"Pergi, Rimbu!" seru Nyala.
"Kau butuh bantuan, Kanda!" sahut wanita yang terus menyerang dua orang pria sekaligus.
Nyala jadi lebih terpacu untuk segera mengakhiri pertarungan itu. Sayangnya, salah seorang penyerang memberi instruksi pada yang lain untuk mundur. Rimbu ingin mengejar tetapi Nyala menahan.
"Biarkan mereka pergi!"
Rimbu ingin melayangkan protes. "Mereka berusaha membunuh Kanda! Apa Kanda tidak peduli dengan itu?"
"Aku lebih peduli dengan penjelasan kenapa kau bisa ada di sini!" sentak Nyala hingga menggema.
"Kan ... da ...." Rimbu terpatri menatap Nyala.
"Siapa yang menyuruhmu kemari!" Nyala ganti menatap para pengawal Rimbu. "Kalian tahu seberapa berbahayanya membawa Gusti Putri kemari! Apa hukuman yang pantas kalian terima jika terjadi apa-apa dengannya!"
"Kanda ... mereka tidak bersalah. Aku yang——"
"Ya! Kau yang bodoh karena menitah mereka untuk mengikuti keegoisanmu!" sentak Nyala geram.
Ia melempar parang di tangannya ke tanah kemudian pergi.
"Kanda ... aku minta maaf!"
"Pergilah! Jangan mengikutiku! Pergi saja kemana pun asal jangan padaku!"
"Kanda! Aku hanya khawatir padamu! Kenapa kau membalasku seperti ini!"
Nyala mengabaikan teriakan Rimbu.
"Kanda!"
Ia benar-benar tidak mau diusik wanita itu lagi. Tak acuh dengan apa yang akan dilakukan wanita tersebut. Nyala kembali ke markas dan akan bersiap untuk pulang ke Tumapel.
***
"Kami baru akan mengirim pasukan untuk menolongmu, tapi kau sudah kembali, Klana."
"Apa benar kau diserang para perampok?"
Pertanyaan dari beberapa Senopati menyambut Klana yang baru memasuki kawasan markas.
"Perampok mana yang nyalinya besar sekali memasuki kawasan perbatasan ini!" sahut Senopati yang lain.
Nyala hanya diam. Menghampiri pria yang sedang duduk bersama beberapa senopati.
"Boleh saya meminta air tawarnya, Raden?" pinta Nyala pada orang-orang itu.
"Ini ini ... habiskan. Kau pasti lelah mendapat serangan terus setiap hari." Pria tua berkumis tebal memberikan kendi pada Nyala.
"Duduklah. Ceritakan apa yang terjadi," ucap yang lain menyuguhkan potongan batang pohon yang cukup besar untuk dijadikan kursi.
"Benar kau diserang perampok?"
Nyala mengangguk dan menjawab usai meneguk minumannya. "Benar."
"Aneh sekali ada perampok di sekitar sini. Kau yakin bukan orang-orang Linggapati?"
"Pakaiannya berbeda. Sepertinya mereka hanya mengincar saya karena dulu usai perang melawan Linggapati, saya dan pengawal saya juga mendapat serangan dari orang-orang yang pakaiannya sama dengan yang menyerang saya barusan."
"Di Kutaraja namamu selalu dijadikan gunjingan. Tapi tidak kusangka jika ada orang yang benar-benar membenci dan ingin mencelakaimu."
Nyala menyeringai. Ia menatap Bungalan sambil berkata, "Bagaimana menurut Anda, Raden Bungalan. Bukankah mereka yang membenci tetapi tidak berani menghadapi langsung bisa disebut pengecut? Atau ... pecundang?"
"Dua sebutan itu sangat cocok disandang," sahut senopati lain.
"Benar. Apa Anda setuju dengan pendapat Raden Wuru, Raden Bungalan?" desak Nyala yang kali ini menahan geram.
"Terserah kau saja ingin menyebut pembencimu seperti apa." Bungalan pergi meninggalkan meja.
Nyala yang belum selesai dengan amarahnya mengikuti Bungalan. Ia menjajari langkah pria tersebut lalu berkata, "Saya ingin menceritakan sedikit kejanggalan yang saya temui tadi pada Raden."
Pria di samping Nyala itu tidak menjawab.
"Rimbu mengikuti saya kemari."
Kali ini Bungalan menoleh kaget. Nyala tersenyum karena umpannya tersambut. Jika benar tebakannya, Bungalan pasti terlibat di sini.
"Jika saja Rimbu tidak datang, mungkin saya akan dikabarkan mati melawan pemberontak Linggapati. Untungnya ... orang-orang itu pergi ketika Rimbu ikut campur dalam penyerangan tadi."
Nyala berhenti, ia menatap Bungalan yang juga diam memandangnya dingin. "Orang-orang itu melemahkan serangan ketika Rimbu datang dan memilih pergi. Saya jadi penasaran sebesar apa kekuatan Rimbu sampai para perampok itu takut padanya."
"Tanyakan saja pada istrimu."Bungalan ingin beranjak tetapi Nyala menahan pria tersebut.
"Jika begitu saya akan tanyakan hal lain pada Raden." Nyala berhasil membuat Bungalan berhenti dan kembali menatapnya. "Raden membeci saya?"
Bungalan menatap dingin. "Kau menuduhku sebagai dalang dari penyeranganmu?"
"Saya tidak memaksa Raden untuk berterus terang."
Pria itu berdecis. "Kau mau apa? Mengumumkan pada semua orang jika aku berusaha membunuhmu?"
"Lalu apa yang saya dapat? Penghargaan dari Raja?" Senyum Nyala lenyap dan ganti menatap tajam pria di depannya. "Itu terlalu rendah untuk saya, Raden. Saya lebih memilih bertarung sampai mati dibanding melibatkan orang lain dengan urusan saya."
"Kau mau melakukannya?"
"Jika Anda mau, saya siap menerima. Tapi ... Anda harus sampaikan lebih dulu alasan kenapa pertarungan kita terjadi."
Bungalan mendekat dan berbisik, "Kau merendahkan wanitaku."
Wanitaku? batin Nyala tersulut.
Sebutan itu sungguh tidak nyaman di telinga Nyala. "Wanita Anda? Siapa yang kau maksud, Raden?"
"Rimbu."
Nyala mendengkus kasar. "Dia bukan wanita Anda, Raden."
"Lalu kau akan mengatakan dia wanitamu? Bahkan kau mencintainya saja tidak."
"Dia istri saya. Sekali pun Anda atasan saya di padepokan, saya tidak bisa merelakan Anda memanggil istri saya dengan sebutan seperti itu."
"Kau mau menyelesaikannya sekarang?" tantang Bungalan.
"Ya. Saya menerima tantangan Raden."
"Jika aku menang, akhiri pernikahanmu dengannya. Biarkan aku yang memilikinya."
Nyala yang tadinya sudah bersiap mengambil jarak dan memasang kuda-kuda, langsung menegapkan tubuhnya lagi. "Rimbu bukan barang taruhan. Saya urung menerima tantangan Raden."
Ia beranjak meninggalkan Bungalan.
"Jadi kau adalah pecundangnya, Klana?"
"Saya rela jadi pecundang asal tidak merendahkan istri saya!" tegas Nyala. Mengakhiri percakapan dengan tatapa tajam pada Bungalan.
"Cih!"
"Karena saya bukan pasukan yang akan mengawal Raja, saya izin pada Raden untuk kembali lebih awal ke Tumapel karena harus mengawal seseorang."
Bungalan mengabaikan itu dan Nyala pergi meminta izin pada Rakryan Rangga yang memimpin pasukan kerajaan. Setelah mendapat izin, ia langsung mengambil kudanya dan pergi mencari rombongan Rimbu.
***
Nyala tidak hapal daerah pegunungan tersebut. Ia sangat berhati-hati dalam menjalankan kudanya. Jalan-jalan setapak sangat ia perhatikan sampai mendengar suara tapak kuda meski jauh.
Ia ikuti suara itu hingga bisa melihat rombongan Rimbu dan pengawalnya sudah berada di jalan utama. Tidak cepat, mereka berjalan santai dan Nyala mengikuti ritme itu. Mengawasi dari kejauhan.
Mereka melakukan perjalanan panjang tanpa menginap. Tiba di Kutaraja ketika matahari kembali terbit. Nyala sengaja menjeda waktu agar Rimbu bisa beristirahat lebih dulu. Karena jika ia langsung datang, wanita tersebut pasti akan sibuk menyambut dan mempersiapkan keperluannya.
Ia berhenti di sekitar pekarangan batas masuk Kutaraja. Melepas lelah di sana sampai tanpa sadar terlelap di bawah pohon kelapa.
Beberapa hari hanya memiliki waktu tidur yang sedikit, Nyala merasa nyenyak sekali tidur meski hanya bersandar pada batang pohon.
Lama sekali sepertinya. Karena ketika bangun, tubuhnya terasa lebih segar. Namun anehnya, ia tidur tidak lagi bersandar pada pohon seperti semula. Malah pindah berbantal paha seorang wanita yang sedang menatapnya teduh.
"Sudah bangun, Kanda?"
Bisa ia langsung bangun, tetapi lebih nyaman berada di sana. Betah, memindai paras ayu wanita yang bibirnya mengulas senyum tetapi matanya tiba-tiba berubah. Ada sebuah ketakutan di sana.
"Sejak kapan kau di sini?" tanya Nyala.
"Aku menunggu Kanda. Padahal jarak kita tidak terlalu jauh, tapi kenapa tidak sampai-sampai. Jadi aku cari Kanda dan bertemu sedang tidur di sini."
"Jadi kau tahu aku mengikutimu."
Rimbu mengangguk. "Tapak kuda Kanda terlalu jelas terdengar meski berjarak."
Nyala juga tidak terlalu menutupi itu.
"Kau yang mengubah posisi tidurku?" tanya Nyala.
"Demi Dewata di Nirwana, aku hanya duduk di samping Kanda. Kanda yang bersandar di bahuku lalu pindah ke pangkuan ini. Aku tidak sekali pun berani menyentuh Kanda."
Nyala bangun dan duduk di samping Rimbu. "Maaf. Kau pasti sangat lelah."
Rimbu menggeleng cepat. "Aku senang, Kanda. Aku senang bisa berguna untuk Kanda." Matanya berbinar.
Embusan napas berat yang mampu Nyala lepaskan.
"Kanda semakin membenciku karena kebodohan yang kulakukan tadi?"
Nyala diam mengabaikan pertanyaan itu.
"Mohon ampun atas kebodohan yang kulakukan, Kanda."
Nyala masih enggan membalas permintaan maaf itu.
"Aku harus mencintaimu dengan cara apa lagi, Kanda? Semua yang kulakukan selalu terlihat salah di matamu."
"Cukup jangan membuatmu dalam bahaya," jawab Nyala. Ia menatap mata Rimbu yang sudah berair. "Kau tahu bagaimana jadinya jika aku gagal melindungimu? Membenci diri sendiri pun aku yakin belum bisa menebusnya."
"Kanda ...." Bibir Rimbu bergetar. Pipinya mulai basah oleh lelehan air mata. "Kanda sudah peduli padaku?"
"Kau istriku, Rimbu. Tentu aku harus peduli padamu," ucap Nyala samar.
Rimbu menunduk, bahunya naik turun seiring dengan terdengarnya sebuah isakan. Nyala menarik wanita tersebut ke dalam pelukannya.
"Maafkan aku ... sudahberteriak dan menyebutmu bodoh di depan orang lain. Aku minta maaf, Rimbu. Aku minta maaf."
🌻tbc🌻
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
