
PROLOG
"Raden! Raden! Bangun, Raden!"
Merasa sangat berisik dan pipi yang terus ditepuk-tepuk, membuat Nyala keluar dari alam bawah sadar. Ia buka matanya. Pusing dan pandangan mata masih kabur. Harus mengerjap beberapa kali sampai makulanya bisa bekerja dengan sempurna.
"Ooh Dewata ... akhirnya Raden siuman juga. Apa yang terjadi dengan Raden? Apa yang orang-orang Linggapati lakukan pada Raden sampai rambut Raden jadi sependek ini? Pakaian Raden juga di mana? Pakaian ini hampir mirip dengan rumput dan tanah. Membuat hamba kesulitan saat mencari Raden," ucap seorang pria yang bertelanjang dada dengan ikat kepala dan rambut yang dicepol tepat di ubun-ubun.
Nyala mengabaikan orang itu dan menyentuh pusat dari rasa nyeri yang berasal dari kepala bagian kanan. "Argh!" keluhnya pelan sambil menegakkan tubuh dan menatap ke sekeliling. Para anggotanya tidak ada. Hanya ada ia dan pria aneh tanpa baju itu.
Sebelum terbaring di dasar jurang ini, ia sedang melatih para prajurit TNI yang mengikuti latihan pertempuran hutan . Berniat menyelamatkan salah satu anggotanya yang lalai, justru ia yang jatuh dan jadi korban. Sepertinya butuh waktu lama untuk bantuan tiba di sini. Tebing di belakang terlalu tinggi untuk didaki.
"Maaf, hamba tidak membawa ramuan. Luka Raden hanya bisa hamba balut dengan jarik."
"Mas, tahu jalan tercepat buat bisa naik ke atas?" tanyanya tak acuh dengan ocehan itu.
"Tidak, Raden. Rakryan Patih memberi titah untuk menemukan dan menyembunyikan Raden sampai prajurit Tumapel bisa menekan mundur pasukan Linggapati. Keadaan belum aman Raden."
Terngangah Nyala mendengar jawaban itu. "Rakryan Patih?" tanyanya, "Maksudmu, Danyonif?"
"Apa kepala Raden sangat sakit? Sampai-sampai melupakan Romo Raden sendiri?"
"Romo?" ulang Nyala seiring dengan tawa yang menggelegar, tetapi langsung dibekap oleh orang aneh itu dengan mata melotot.
"Sedang banyak musuh di sekitar sini. Suara Raden bisa membongkar persembunyian kita!"
Ia lepas tangan kasar itu dari mulutnya. "Musuh apa'an, Mas? Gunung Arjuno ini udah ditutup khusus buat latihan pertempuran hutan. Lagian kamu juga kenapa bisa masuk? Mau ritual?" tuduh Nyala lalu berdiri.
"Apa yang sedang Raden bicarakan? Apa Rakryan Patih diam-diam membuat pasukan baru di Tumapel?"
"Wait wait!" Nyala mengangkat kedua tangannya di depan dada. "Sumpah, Mas. Aku nggak ngerti apa yang kamu——"
Kalimat Nyala terpangkas oleh anak panah yang melesat tepat di atas kepala. Sigap ingin mengambil senjata tetapi lebih dulu ditarik oleh pria yang menolongnya.
"Bertahanlah, Raden. Terus ikuti langkah hamba. Hamba pastikan Raden bisa kembali ke rumah dengan selamat!"
Hanya berlari beberapa langkah, mereka berhenti ketika beberapa orang datang menghadang. Lucunya, tidak ada satu pun dari mereka yang memakai baju. Hanya celana selutut dengan lilitan kain jarik pendek. Tak jauh berbeda dengan orang yang sedang menggandengnya.
"Tetap di belakang saya, Raden!" ucap pria itu sambil mengeluarkan keris yang terselip di balik punggung.
Kali ini, Nyala mulai bertanya-tanya dengan apa yang sedang ia saksikan. Zaman sudah semodern ini, mereka masih menggunakan keris, parang dan tombak untuk bertarung? Apa mereka lagi cosplay? batinnya.
Awalnya Nyala masih mengira ini sebuah entertain atau semacamnya. Sampai beberapa orang datang melayangkan parang padanya. Dengan cepat ia menghindar.
"Raden!"
Seruan itu tersambut sebuah sayatan dari pihak lawan di tangan pria penolongnya. Saat itulah Nyala sadar jika ini benar-benar sebuah penyerangan. Naluri sebagai seorang prajurit TNI pun terpanggil. Dengan ketrampilan dan taktik ilmu bela diri yang dimiliki, dalam beberapa kali pukul dan tendangan, Nyala bisa melumpuhkan tiga lawannya.
Dua dari lima orang yang menjadi lawan rekannya tadi ganti menyerangnya. Kali ini ia perlu beberapa waktu sampai akhirnya semua lawan tergeletak di tanah.
"Ra-Raden? Apa selama ini Raden menyembunyikan kesaktian Raden?"
Nyala mengerut dan tertawa kecil. Kesaktian gigimu! omelnya membatin.
"Apa pakaian ini yang bikin Raden jadi sakti? Apa Resi Agung menghadiahkan baju ini untuk melindungi Raden?"
"Astaghfirullah! Mas, udah deh, ya. Kita sudahi semuanya di sini. Saya akan cari jalan sendiri aja buat balik ke camp. Pusing dengerin kamu." Nyala hendak beranjak, tetapi ditarik lagi ke arah lain.
"Istana dan desa lewat sini, Raden."
"Istana? Sejak kapan Malang punya istana? Atau ... kamu ini penghuni gunung dan mau bawa aku ke istana tak kasat mata, ya, Mas!" seru Nyala menarik tangan ingin kabur.
"Turuti Hamba jika Raden ingin selamat!" tegas pria itu membuat Nyala coba untuk mengikuti saja.
Entah sudah berapa lama mereka berjalan, hingga rumah-rumah penduduk mulai terlihat. Yang aneh lagi, rumah itu jauh lebih sederhana dari rumah di perdesaan yang pernah Nyala kunjungi. Bangunan berdinding gedhek (anyaman bambu) dengan atap dari jerami atau blarak kering.
Tidak banyak warga yang beraktifitas di luar karena hari sudah gelap. Obor menjadi penerangan di beberapa titik jalan. Tapak kaki kuda berulang kali Nyala dengar di kejauhan. Dan setiap orang yang bertemu dengannya selalu membungkuk hormat sambil menyapa dengan sebutan 'Raden'.
Pakaian mereka tak beda dari pria yang terus membimbing langkahnya. Sedangkan para wanita, tubuhnya dibalut jarik biasa. Tidak ada sandal atau sepatu sebagai alas kaki.
"Ini seriusan hamba dibawa ke desa tak kasat mata, ya Allah?"
Sekali pun ia adalah seorang anggota Para Raider TNI Angkatan Darat yang mental dan fisiknya sudah terlatih, bohong juga jika tiba-tiba berada di tempat asing seperti ini tidak mempunyai rasa takut. Ia lebih menyukai berhadapan dengan musuh bersenjata dibanding tersesat di dunia tak kasat mata.
Semakin masuk ke pusat desa, semakin was-was perasaan Nyala. Tidak sesepi tadi dan bangunan-bangunan di tempat ini sudah mulai berbeda. Lebih besar-besar dan luas.Sekarang ia bisa melihat kuda beberapa kali melintas dan semakin yakin jika ini memang bukan dunianya.
Nyala terus mengikuti pria di depannya meski mendapat tatapan aneh dari siapapun yang ditemui. Namun, tidak ada satu pun orang yang berani menyampaikan makna dari tatapan yang mereka berikan.
"Raden Klana!"
Nyala mengerjap pelan saat baru melewati gapura sebuah rumah yang memiliki beberapa bangunan di dalamnya. Dan wanita yang memanggilnya itu sangat ia kenali.
"Rara?" gumamnya, memindai penampilan wanita yang menghampirinya dengan khawatir.
Sebuah kain jarik melilit pinggang dengan beberapa selendang yang menjuntai di kanan dan kirinya. Bagian badannya dibalut kain berwarna biru dengan motif benang emas. Bahunya terbuka. Rambutnya digerai panjang dengan hiasan mahkota emas di atas kepala. Beberapa perhiasan anting, kalung dan gelang membuat kesan mewah tetapi tidak berlebihan.
"Argapati! Apa yang terjadi dengan Ndoromu? Di mana pakaiannya? Kenapa memakai pakaian aneh seperti ini?" omel wanita itu.
"Mohon ampun, Gusti Putri Rambi. Raden Klana hamba temukan dalam keadaan kurang baik. Sudi kiranya Gusti Putri mengizinkan Raden hamba untuk mendapatkan pengobatan terlebih dahulu," tutur pria bernama Argapati, setengan membungkuk.
Rambi? Nyala memekik dalam hati. Sejak kapan nama wanita yang ia cintai itu berubah jadi Rambi? Rasanya semakin sulit mengerti. Tempat seperti apa yang ia pijak saat ini?
"Namamu, Argapati?" tanya Nyala ketika mereka sedang berdua di dalam sebuah bilik salah satu pendopo.
"Apa Raden benar-benar melupakan saya?" pria bertubuh kekar itu malah balik bertanya.
"Entahlah. Aku nggak ingat apapun. Tolong jelasin, aku lagi ada di mana? Ini tempat apa? Apa bener perkampungan gaib?"
"Demi Dewa di Nirwana! Hamba harus segera memanggil tabib padukuhan!"
Dengan cepat Nyala menahan Argapati. "Jelasin dulu, baru panggil dokternya."
Argapati menatapnya heran. Diam sesaat dan menilik sesuatu.
"Please ... kalau kamu bukan orang jahat, jelasin ini tempat apa. Hm?"
Masih dengan keheranan, Argapati membuka suara. "Ini Tumapel, Raden."
"Tumapel, Singosari?" ulang Nyala. "27 tahun aku hidup, baru tahu kalau di Singosari ada desa gini."
Kecurigaan Nyala semakin membuat kening Argapati mengerut. "Apa kepala Raden sangat sakit, sampai lupa dengan semuanya?"
Nyala mengangkat bahu. "Coba jelasin ... Raden yang kamu maksud ini, siapa?"
"Raden Klana Sananta. Putra Rakryan Patih Raghanata. Romo Anda adalah orang kepercayaan Sri Jaya Wisnuwardhana."
"Sri ... Jaya Wisnuwardhana? Raja Seminingrat?" Mata Nyala membulat. Nama nama itu jelas tidak asing untuknya yang suka dengan sejarah. Namun logikanya terus menampik semua itu.
"Iya, Raden. Raja Tumapel yang baru saja naik tahta."
"Bohooong," lirik Nyala menuduh.
"Untuk apa hamba berbohong, Raden? Mana berani hamba melakukan itu pada Raden."
Melihat keseriusan wajah pria yang terlihat seumurannya itu membuat Nyala jadi lemas. Ia duduk di tilam bambu. Ingin memastikan ini sebuah mimpi, tapi kepalanya yang sakit sudah memberi jawaban.
Mengingat masa pemerintahan Sri Jaya Wisnuwardhana, itu artinya ia sedang berada di abad ke-13 Masehi. Sepertinya ini benar-benar mimpi dan sumber rasa sakit di kepala itu hanya terbawa ke mimpi. Setidaknya, itu logika yang paling masuk akal sekarang.
"Argapati! Kau sudah memastikan Raden Klana baik-baik saja? Beritahu aku jika Raden mengalami luka."
Suara lembut seorang wanita terdengar dari balik pintu kayu. Nyala menatap Argapati dan bertanya, "Lalu wanita itu, siapa?"
Mata Argapati membulat. "Raden bahkan tidak mengingat Gusti Putri Rambi?"
"Jawab aja pertanyaanku, Ar. Kepalaku udah sakit banget ini." Nyala memijit pelipisnya.
"Gusti Putri Dewi Rambi, putri bungsu Sri Rajasa Bathara Sang Awurwabhumi dengan garwa ampeyan, Ken Umang."
Kali ini giliran Nyala yang kaget. "Punya hubungan apa aku sama anak raja pertama Singhasari?" tanyanya setengah berbisik.
Argapati tampak gelisah dan duduk bersila di lantai. "Raden berteman baik sejak kecil dengan Gusti Putri Rambi dan Gusti Putri Rimbu."
"Rimbu? Putri terakhir Ken Arok sama Ken Dedes?" tebak Nyala karena masih ingat sejarah jika Ken Arok punya dua anak perempuan dari kedua istrinya dan punya nama hampir serupa.
"Raden! Jangan sembarangan menyebut nama mendiang Raja dan Ratu Tumapel."
"Okelah. Sorry sorry. Terus, hubunganku sama mereka apa?"
"Raden dan Gusti Putri Rambi saling mencintai. Tapi ... Raden akan dinikahkan dengan Gusti Putri Rimbu."
"Ya Allah ... cintaku terhalang restu Raja?"
Argapati mengangguk kaku lalu berbisik, "Apa selama ini Raden berpura-pura bodoh dan lemah di depan semua orang agar tidak dinikahkan dengan Gusti Putri Rimbu?"
Nyala mengerut.
"Tapi ... saya jadi saksi jika Raden memiliki kesaktian yang jauh lebih hebat dari para panji di Kutaraja. Jika demikian niat Raden, saya akan menutup mata dan mendukung rencana Raden."
Kepala Nyala semakin nyut-nyutan mendengar kata demi kata yang diucapkan Argapati. Ia tidak berhenti memintal segala teori yang masuk akal untuk meyakinkan keberadaannya saat ini. Memang Allah maha segalanya. Tidak ada yang tidak mungkin jika Dia sudah berkehendak.
Perjalanan lintas waktu pun pernah beberapa kali Nyala dengar. Ashabul Kahfi, Nabi Uzair AS, bahkan perjalanan Rasulullah yang sangat terkenal. Isra Mi'raj. Apa saat ini ia juga sedang melakukan perjalanan lintas waktu? Atau ini sekadar mimpi? Jika bukan, untuk apa dia ada di tempat yang berjarak ribuan tahun dari masa depan?
Tbc
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
