
Niyusa Bina ingin membuktikan pada kedua orang tuanya bahwa ia juga bisa membuat bangga keluarga layaknya sang adik. Namun keinginanan itu kandas ketika ia harus menikahi Taka, pria tak bermoral yang sudah menjadi temannya sedari kecil.
Pernikahan yang tak diinginkan memang buruk tapi keburukan itu menjadi titik balik kehidupannya. Dengan dibantu Taka, ia berhasil mencapai cita-cita. Namun, ketika Yusa sudah berada di puncak kesuksesan, ia justru merasa kehilangan sebagaian arti dari kebahagiaan.
BAB 01 – Garis Takdir
"Pikirin aja apa yang kamu punya, jangan pikirkan apa yang enggak kamu punya."
Sebuah kalimat dari teman masa kecil yang membuat seorang Niyusa Bina bisa terus melangkah menjalani kegetiran hidup.
"Yusaaaa!"
Teriakan dari dalam rumah sederhana membuat Yusa terkejut. Ia tinggalkan gerobak nasi pecel milik sang Ibu ketika mendengar suara barang-barang berjatuhan dari dalam kamarnya.
"Astaghfirullahaladzim! Risa!" pekiknya ketika melihat novel dan buku-buku diary berserakan di lantai kamar.
"Kamu ngapain aja sampai lupa bangunin aku?" teriak wanita cantik berpiama mewah, matanya menyala marah pada Yusa.
"Kamu pikir aku itu kamu? Tiap bangun pagi cuma santai-santai nunggu jemputan!" balas Yusa.
"Ada apa sih ini? Matahari aja belum muncul, kalian sudah berisik! Malu sama tetangga!" lerai Sumi, Ibu dari kedua perempuan yang tengah bertengkar tersebut.
"Yusa nggak bangunin aku, Buk! Padahal pagi ini aku harus ke Surabaya. Setengah jam lagi mobil travelku datang. Mana sempat aku siapin semuanya!" adu Risa pada Ibunya.
"Ya sudah, kamu cepetan mandi. Biar Yusa yang bantu siapin keperluan kamu," ujar Sumi memberi solusi.
"Buk! Yusa pagi ini piket toko. Setengah enam harus udah di sana," tolak Yusa
"Kalo kamu yang telat itu gak penting! Kalo aku yang telat dan sampai bermasalah, itu jadi petaka! Kamu mau menanggung perekonomian keluarga ini?" sentak Risa, "jadi kasir minimarket sepi aja belagu!"
"Jangan sombong kamu, Ri! Semua yang ada di dunia ini gak ada yang abadi, termasuk kesuksesanmu!" balas Yusa.
"Bilang aja iri!" ujar Risa seraya meninggalkan kamar Yusa.
"Aku bakal buktiin akan lebih sukses dari kamu, Ri!" teriak Yusa.
"Udah, Nduk ... bantu adikmu saja. Ibuk mau berangkat dulu,"
Yusa mulai memupuk air mata. Ia mengiba, tapi wanita kurus dengan rambut pendek beruban itu memilih pergi menghindar.
Beginilah kehidupan muslimah berusia 24 tahun itu, selalu direndahkan dan diabaikan. Bahkan oleh keluarga sendiri. Bagi mereka, Risa adalah ratu di rumah ini. Setiap perintah dan kemauannya harus dituruti. Sedangkan Yusa, hanya akan dianggap ada jika dibutuhkan.
Sejak kecil Risa sudah mendapat perhatian spesial dari Yudi dan Sumi karena pandai dalam berbagai hal. Sebagai orang tua, mereka melihat peluang besar jika anak kedua mereka kelak akan mengubah perekonomian keluarga, karena itulah mereka rela berhutang kesana kemari untuk memberikan kebutuhan terbaik Risa.
Sedangkan Yusa, berbeda 180 derajat dari adiknya. Kelebihan yang dia miliki adalah kesabaran. Jika Risa bersekolah di International school sejak usia dini, Yusa justru bersekolah di sebuah madrasah tak terkenal. Pekerjaan Yudi sebagai satpam perumahan dan Sumi sebagai pedagang nasi pecel di tepi jalan menjadi alasan agar Yusa mau bersekolah di tempat yang murah. Begitulah Yusa, sejak kecil ia sudah dipaksa untuk selalu mengalah pada sang adik.
***
Usai menyiapkan kebutuhan wanita yang berusia dua tahun lebih muda darinya, Yusa bergegas keluar rumah. Kakinya melangkah cepat di balik rok hitam lebar menyusuri jalan berpaving. Namun langkahnya terlihat ragu ketika melihat gerombolan pemuda karang taruna yang sedang berkumpul di dekat pintu gerbang perumahan.
Yusa tahu betul, tak mungkin ada laki-laki yang akan melirik atau bahkan menggoda. Berbeda lagi jika Risa yang berada di posisinya, sudah pasti para pria disana akan berebut menawarkan tumpangan. Yusa memiliki wajah yang terlalu biasa untuk mendapat perhatian orang lain. Karena itulah dia tidak terlalu percaya diri berada di keramaian.
"Telat kamu, Sa?"
Yusa yang baru mempercepat langkahnya terkejut dengan pertanyaan itu. Ia melihat pemilik suara itu sedang duduk di sebuah motor sport dengan memeluk helm yang ada di atas tangki motornya.
Di antara segerombolan pemuda di sana, hanya pemilik suara itu yang mampu membuat orang lain betah memandang. Dia adalah Taka, Gantaka Rahagi, teman masa kecil Yusa yang tinggal di samping rumahnya.
"Iya, Ka," jawab Yusa singkat kemudian melanjutkan langkah.
Taka adalah salah satu keberuntungan yang pernah dimiliki Yusa. Ketika banyak teman yang selalu menghindari karena bujukan Risa, tapi tidak dengan Taka. Anak tunggal dari pemilik toko furniture ternama di kota Malang itu mau menjadi teman dan satu-satunya orang yang selalu memihak Yusa.
Namun, persahabatan mereka merenggang ketika Taka kehilangan Ibunya. Saat itu Taka masih duduk di bangku SMA. Yusa ingin membalas kebaikan Taka, tapi tanpa alasan yang jelas, remaja itu justru menjauh dan menjaga jarak dengan Yusa.
Sangat lama Yusa menerka-nerka apa penyebab Taka menjauh. Tapi, semakin hari Yusa semakin menyadari jika Taka menjadi sosok yang jauh berbeda dari yang ia kenal. Sedih melihat semua orang menjauh dan tak memedulikannya. Ia menguatkan diri sendiri dengan terus mengingat kalimat yang pernah Taka sampaikan.
Perlahan Yusa mulai merelakan kepergian Taka, menerima kesendiriannya. Sejak saat itu, hanya sebuah sapa yang tersisa di antara keduanya.
***
Minimarket kecil yang hanya memiliki dua pegawai tiap shift itu menjadi tempat Yusa mencari rejeki dalam enam tahun terakhir. Gaji kecil, tapi ia tetap bertahan karena tidak tahu lagi harus bekerja apa. Setidaknya, di toko itu ia bisa menyalurkan hobinya. Menulis kisah fiksi. Mungkin karena kesepian dan tak punya teman membuat Yusa selalu mengisi waktu dengan menulis apa yang ada dalam pikiran. Menjadikan isi catatan dalam ponsel penuh dengan karya-karya yang setiap malam akan dipindahkan ke laptop bututnya.
Pukul dua siang adalah batas akhir jam kerjanya, seperti biasa ia langsung pulang. Banyak pekerjaan yang menanti di rumahnya. Tapi, kali ini ia tak bisa lekas pulang ketika mendengar suara rintihan dari tetangga samping rumahnya yang meminta tolong.
"Pak Cahyadi!" cetus Yusa. Ia membuka pintu pagar yang tak terkunci itu kemudian masuk melalui pintu samping. Yusa sangat mengerti sekali seluk beluk rumah itu, sebab sejak kecil ia sering bermain di sana. Ya, itu adalah rumah Taka. Tempat yang hampir menjadi tempat bermainnya setiap hari.
Setelah memanggil-manggil nama pemilik rumah tersebut. Tak lama ia menemukan pria yang sudah setahun ini sakit-sakitan sedang terkulai lemas di lantai depan pintu kamar.
"Ya Allah!" Yusa menghampiri Cahyadi, dengan sekuat tenaga ia membantu berdiri pria tua itu dan membopongnya ke atas tempat tidur. Setelah memposisikan pria itu nyaman di atas tempat tidur, ia pergi ke dapur dan kembali dengan segelas air putih.
"Diminum dulu, Pak." Yusa memberikan gelas yang dibawanya pada Cahyadi.
"Makasih ya, Nduk."
"Buk Sri ke mana, Pak? Kok tumben jam segini gak ada?" Yusa menanyakan keberadaan asisten rumah Cahyadi.
"Masih nebus obat ... Taka lagi gak di rumah, pergi touring sama anak karang taruna, jadi Buk Sri yang ambil,"
Yusa tersenyum simpul. Ia menemani Cahyadi dengan mengobrol ringan. Pria paruh baya itu juga menyinggung perihal hubungan Yusa dan putranya yang terlihat semakin menjauh, juga keresahan hatinya yang melihat pergaulan putranya yang tidak terlalu baik untuk masa depan.
“Bapak rasa dia butuh orang yang bisa mendengarkan keluh kesah dan memberinya nasihat atau motivasi biar hidupnya jadi lebih baik."
Yusa hanya mengangguk sopan.
"Bapak minta tolong, kamu mau ya nemenin dan bantu Taka biar hidupnya gak berantakan gini. Cuma kamu satu-satunya wanita baik yang ada di sekitar Taka."
"InsyaAllah, Pak."
Cahyadi mengulas senyum lebar. Terlihat bagaimana leganya dia mendengar jawaban Yusa. Mereka melanjutkan pembicaraan dan setelah mendapati asisten rumah sudah kembali, Yusa pamit untuk pulang.
Keadaan rumah Yusa jam segini cukup sepi. Sumi pergi bekerja sebagai buruh setrika di sebuah laundry usai berjualan pecel. Sedangkan Yudi, pastilah sedang tidur karena seminggu ini mendapat giliran jaga malam. Kedua orang tuanya harus banting tulang membayar hutang-hutang yang mereka gunakan untuk semua kebutuhan Risa terdahulu. Yang paling menyedihkan, Risa seperti kacang lupa kulitnya. Ia hanya ala kadarnya membantu perekonomian keluarga.
Usai menyelesaikan salat Ashar, Yusa mengerjakan rutinitasnya. Seperti mencuci bekas tempat lauk pauk yang dibuat jualan, membersihkan rumah, memasak. Dan usai salat Maghrib, ia pergi ke pasar untuk berbelanja bahan masakan yang akan dibuat berdagang esok hari.
Seperti itulah kegiatan Yusa setiap hari, sejak kecil hidupnya disibukkan dengan mengurus keperluan keluarga hingga dia mengabaikan kepentingannya sendiri. Bermain? Ia lupa bagaimana rasanya. Bahkan untuk belajar saja ia tidak bisa. Sejak mempunyai adik yang hanya terpaut dua tahun darinya, ia seakan memiliki tanggung jawab besar. Kesibukannya itu membuat Yusa tidak pandai dan harus berhenti sekolah di tahun kedua Madrasah Aliyah.
***
Hari ini Yusa berangkat bekerja lebih awal. Ia membantu ibunya mendorong gerobak pecel ke tepi jalan raya sebab sang Ayah belum pulang bekerja. Tiba-tiba saja perhatian dua wanita tersebut teralihkan pada pengendara motor sport yang berhenti di dekat mereka. Pria berpakaian serba hitam membuka kaca helm fullface-nya.
"Nak Taka?" seru Sumi.
"Buk Sumi saya antar ke depan saja, ya?"
Sumi menatap putrinya, "Ibuk ikut Nak Taka ya, Sa?"
Yusa mengangguk, ia pun membantu Ibunya untuk naik di motor yang tinggi itu. "Makasih ya, Ka," ucap Yusa pada Taka.
Taka mengangguk kemudian melajukan motornya, sedangkan Yusa kembali mendorong gerobak.
Masih setengah perjalanan lagi dan ia tak mau Ibunya menunggu terlalu lama. Ia mempercepat langkah. Samar-samar ia melihat di depan sana ada seorang pria sedang berlari menghampirinya. Yusa terus mendorong gerobak hingga bertemu dengan pria tersebut.
"Di mana motormu, Ka?" tanya Yusa.
"Di tempat Ibukmu," jawab Taka dengan napas tersenggal-senggal. Ia memberi isyarat agar Yusa menepi.
"Kenapa, Ka?" tanya Yusa seraya bergeser.
Taka hanya tersenyum dan menggantikan wanita itu mendorong gerobak.
"Ka—"
"Sebagai ucapan terima kasih karena kemarin kamu sudah bantu Ayahku," jelas Taka. Ia tak memberi kesempatan untuk Yusa melayangkan protes.
Wanita berhijab hitam itu hanya bisa pasrah dan berjalan mengikuti langkah Taka. Bukan di samping, melainkan selangkah di belakang pria tersebut.
"Terima kasih sudah membantu ayah kemarin, Sa."
"Iya, Ka ... sama-sama."
Tak ada pembicaraan lagi di antara keduanya. Yusa hanya terus menatapi punggung Taka. Pria itu tinggi, meskipun sedikit kurus ia mempunyai punggung yang lebar. Rambutnya khas anak muda jaman sekarang. Sisi kanan, kiri dan belakang dipangkas tipis, menyisakan rambut lebat diatas yang selalu ia kuncir. Taka bukan orang yang tampan, tapi ia mempunya kelebihan yang mampu membuat orang lain betah memandangnya lama-lama. Termasuk Niyusa Bina.
Sejak kecil Yusa sudah dibuat kagum dengan sosok Gantaka Rahagi yang pintar dan mengerti banyak hal. Sampai sekarang rasa itu masih tetap sama meskipun Taka sudah berubah menjadi sosok yg jauh berbeda. Namun, ia cukup sadar seperti apa dirinya dan seperti apa wanita-wanita yang sering dikencani pria tersebut. Terlebih lagi ketika ia tahu jika Risa adalah wanita yang dikencani Taka saat ini.
Mereka menyusuri jalanan berpaving itu hingga sampai di tempat biasa gerobak nasi pecel itu mangkal. Sumi terlihat sedang menyapu tempat jualannya. Yusa segera membantu menyiapkan meja lipat dan bangku plastik untuk pelanggan yang nanti akan menyantap nasi pecel di sana. Sedangkan Taka meraih gilungan terpal dan membantu memasang peneduh di atas tempat makan pelanggan.
"Nak Taka, Ibuk bawain bekal nasi pecel, ya? Buat sarapan di toko?" tanya Sumi.
Yusa melihat binar kebahagiaan di mata Ibunya ketika mengatakan hal itu. Kedua orang tuanya memang mempunyai harapan lebih pada hubungan Taka dan Risa. Secara tidak langsung, kelak Taka akan membantu perekonomian keluarga.
Setelah memastikan semua siap, Yusa pamit berangkat bekerja. Ia pergi menuju minimarket yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari tempat ibuknya berjualan. Sebenarnya ia masih punya banyak waktu sambil menunggu minimarket buka. Tapi, menunggu di warung bersama Taka tidak membuatnya terlalu nyaman. Karena itu Yusa lebih memilih menunggu di depan toko saja.
Baru setengah jalan, Yusa mendengar suara motor Taka yang semakin jelas. Sampai akhirnya motor itu berhenti di dekatnya.
"Mau bareng, Sa?" tanya Taka dari balik helm fullface-nya.
Yusa tersenyum tipis dan menggeleng. "Makasih, Ka. Aku jalan aja," jawabnya. Ia tahu jika pria itu hanya berbasa-basi.
"Aku berangkat dulu, Ya."
"Taka!" panggil Yusa sebelum pria itu benar-benar beranjak pergi.
"Hm?"
"Punya waktu sebentar?" tanya Yusa.
Pria itu mengangguk kemudian menepikan motornya di halaman ruko yang masih tertutup. Ia membuka helm dan meletakkan di atas tangki bensin. Kedua tangannya berpangku pada helm dan siap mendengar apa yang ingin dibicarakan Yusa.
Yusa sendiri masih terlihat ragu, terlebih lagi ketika pria itu terus menatapnya. Sangat membuat canggung.
"Ayah ngomong apa?"
Yusa terkejut mendengar pertanyaan Taka. Ia tidak menduga jika Taka bisa menebak apa yang ingin ia katakan.
"Pak Cahyadi khawatir ke kamu, Ka," jawab Yusa, "bu-bukannya aku ingin menasihatimu. Aku sadar kalau nggak pantas bicara hal ini. Tapi aku punya amanah dari Pak Cahyadi yang harus kusampaikan."
Taka mengangguk, "bilang aja."
"Ayahmu ingin kamu lebih fokus dengan masa depanmu. Beliau takut tidak punya banyak waktu dan sering main-main ke club malam sama temen-temenmu," jelas Yusa.
Tak tersenyum kecil, "itu aja yang ingin kamu sampaikan?"
Yusa mengangguk. "Maaf jika membuatmu tersinggung,"
Taka tertawa kecil. "Kamu masih polos aja, Sa."
Yusa mengernyit heran.
"Bukan itu yang dimaksud Ayah.” Jawaban Taka malah membuat Yusa semakin bingung. "Kamu akan tahu sendiri nanti," imbuhnya. Ia kembali memakai helm dan menyalakan mesin motor. "Aku pergi dulu," ucapnya kemudian pergi meninggalkan Yusa dalam kebingungan.
Yusa hanya bisa memandang kepergian Taka dengan keharanan. Apa yang dimaksud Taka barusan? Apa dia kurang memahami permintaan Cahyadi?
"Yusa!"
Panggilan seorang pria yang memakai seragam yang sama membuat Yusa mengalihkan perhatian dari sosok Taka yang sudah tak terjangkau. Itu Bagas, anak komplek sebelah yang menjadi teman satu shift dengannya pagi ini.
"Pagi banget, Sa?" tanya Bagas dengan napas yang tersenggal-senggal.
"Bantuin ibuk dulu tadi," jawab Yusa.
Keduanya mulai berjalan menuju tempat kerja mereka.
"Sa! Ibukku lagi nyari orang nih buat kerja di Surabaya. Gajinya gedhe banget!" ujar Bagas.
"Kamu mau keluar?" Yusa memperjelas maksud Bagas.
"Bukaaaan!” Bagas melirik kesal pada wanita polos di sampingnya itu, “aku tuh nawarin kamu!" imbuhnya gemas.
"Kenapa nggak kamu aja?" tanya Yusa.
Bagas menggeleng. "Mau sih. Tapi kata Ibukku butuhnya cewek."
"Kerja apa sih, Gas? Aku cuma punya ijasah SMP, loh."
"Gak butuh ijasah. Kerjanya cuma jagain nenek tua aja. Anak-anaknya sibuk kerja di luar kota!" Bagas terlihat sedikit emosi menjelaskan, “gajinya gedhe banget pokoknya, Sa! Ntar pulang kerja kamu ke rumahku deh, tanya langsung ke Ibuk."
Yusa mengangguk. Ia sudah membayangkan gaji yang lima kali lipat dari gajinya di minimarket. Tak sebesar Risa, tapi ia bisa membantu melunasi hutang bapak dan ibuknya.
***
Karena sangat penasaran dengan pekerjaan yang ditawarkan Bagas, pulang dari tempat kerja Yusa pergi ke rumah rekan kerjanya itu. Riani, Ibu Bagas membenarkan penjelasan putranya pada Yusa. Ia menjelaskan lebih detail lagi pada Yusa. Wanita muda itu merasa pekerjaan yang ditawarkan Riani tak terlalu sulit dan dia bisa ia lakukan dengan mudah. Yusa meminta waktu pada Riani untuk berbicara pada kedua orangtuanya. Jika diperbolehkan, ia ingin menerima tawaran itu.
Malam hari usai pulang dari belanja, Yusa mencoba membicarakan rencana untuk bekerja di luar kota. Ia menyampaikan ulang apa yang disampaikan Riani tadi pada kedua orang tuanya.
"Bapak sih setuju aja, Nduk," sahut Yudi yang sibuk menggosok sepatu Pdl-nya di kursi ruang tamu, "tapi Ibukmu itu pasti berat nanti," lanjutnya.
Benar, Yusa baru teringat tugas-tugasnya di rumah ini. Jika ia tidak ada, siapa yang akan membantu sang Ibu mengurus rumah?
"Ibuk pikirin dulu ya, Nduk. Minta waktu bentar sama Bu Riani buat mikir," sahut Sumi.
Yusa mengangguk, ia tak berani mendebat dan lanjut memotongi sayuran yang akan dimasak besok.
"Ibuk sebenernya seneng kalau kamu punya gaji lebih, bisa bantu keuangan di rumah. Tapi Ibuk bingung juga, nanti siapa yang bantu-bantu, Nduk?" Sumi justru balik bertanya pada Yusa.
"Gimana kalau kamu berhenti dari laundry, Buk? Jualan pecel aja. Jadi kamu bisa ngurus rumah. Toh, nanti gaji Yusa cukup buat tambah-tambah keuangan kita." Yudi mencoba membujuk istrinya.
"Iya, Buk. Biar Ibuk nggak kecapekan kerja dari subuh sampai sore. Yusa yakin bisa bantu keuangan keluarga kita," bujuk Yusa.
Sumi terlihat berpikir. Sambil menunggu jawaban dari ibunya, Yusa melanjutkan memotong sayur-mayur.
"Ya sudah, Nduk. Terima saja tawarannya," jawab Sumi.
"Serius boleh, Buk?" tanya Yusa berbinar.
Sumi mengangguk berat.
"Alhamdulillah, makasih ya, Buk." Yusa memeluk ibunya erat-erat.
"Iya, Nduk. Jaga diri di sana. Kalau diajak ngomong orang didengerin baik-baik, biar nggak disalah-salahin," ujar Sumi.
"Iya, Buk. Yusa bakalan inget pesen Ibuk," sahut Yusa.
Ia tak henti berucap syukur. Memotong sayur dan menyiapkan bahan masakan untuk besok pagi ia lakukan dengan lebih semangat. Yusa sudah sangat tidak sabar untuk memberitahu kabar ini pada Riani.
***
Pagi sebelum Yusa berangkat kerja, ia mampir ke rumah Bagas. Riani sangat senang jika Yusa sudah mendapat ijin dari kedua orang tuanya. Ia pun memberi saran pada Yusa untuk segera meminta ijin pada pemilik minimarket jika dia akan keluar dari sana.
Yusa pun bergegas menuju ke rumah pemilik minimarket yang berada tak jauh dari minimarket. Ia meminta ijin untuk berhenti bekerja. Abah Sukri, sebagai pemilik tempat kerja merasa berat jika Yusa berhenti, tapi ia juga tak memiliki hak untuk menahan Yusa. Pria paruh baya itu member izin dengan syarat agar Yusa mau menunggu beberapa hari sampai menemukan pengganti.
Yusa menyetujui hal itu. Ia lekas berpamitan dan kembali ke minimarket. Senyum yang sejak semalam terus mengembang di bibirnya. Bahkan ketika Risa mencari masalah dengannya tadi pagi, ia bisa mengabaikannya begitu saja.
"Nggak biasanya kamu jalan sambil senyum-senyum gitu, Sa?"
Yusa mengangkat kepala, ia melihat ada Taka yang berjalan di sampingnya. "Sejak kapan kamu di sini, Ka?" Yusa balik bertanya.
"Aku dari sana tadi." Taka menunjuk arah depan, "aku nyapa, kamu cuekin. Malah senyum-senyum sendiri."
"Maaf, Ka. Kepikiran yang lain," jawab Yusa menyesal.
"Punya cowok, kamu?"
Yusa sedikit kaget dengan pertanyaan Taka, Ia menggeleng dengan cepat.
"Bercanda ...," sahut Taka dengan senyum jahil ketika melihat perubahan wajah Yusa. "Memangnya kamu mikirin apa?"
"Aku dapat kerjaan di Surabaya, Ka."
"Surabaya?" Taka menghentikan langkah dan menatap Yusa lekat-lekat.
Yusa mengangguk, ia berhenti sejenak kemudian kembali melangkah. "Iya, kenapa? Kok kaget gitu?" tanya Yusa.
"Kalau kalian berdua pergi, kasian Bapak dan Ibuk kamu, dong?"
"Aku pergi sendiri," jelas Yusa. Ia kembali menghentikan Taka.
"Bukannya Risa pindah ke Jakarta untuk naik jabatan?" tanya Taka.
"Dia nggak bilang itu? Kapan kamu denger itu, Ka?" cecar Yusa sedikit emosi. Ia tahu hal ini bisa mengancam keberangkatannya.
Taka diam, ia baru menyadari jika Risa belum mengatakan hal ini pada keluarganya. "Maaf, Sa. Kupikir Risa sudah bilang ke kalian," ujarnya menyesal.
Senyum Yusa lenyap seketika. Banyak praduga yang muncul di benaknya.
***
Mendengar jika Risa juga akan pergi keluar kota membuat Yusa ingin segera mengatakan jika pemilik tempat kerjanya sudah memberikan ijin untuk resign. Setelah menyiapkan hidangan untuk makan malam, Yusa menceritakan semua rencananya.
"Oh, iya. Tadi Risa juga bilang kalau dia lagi dipromosikan bosnya buat naik jabatan. Adikmu mau dipindah ke Jakarta, gajinya naik dua kali lipat loh, Nduk!" Sumi memotong kalimat Yusa dan sangat antusias bercerita pada anak sulungnya.
"Kamu gak usah ke Surabaya aja, Nduk. Gaji adikmu udah cukup buat bantu-bantu," tambah Yudi.
Benar dugaan Yusa sebelumnya. Hal ini pasti terjadi. "Yusa pengen cari pengalaman baru, Pak, Buk," ujarnya, "Yusa juga pengen nabung, pengen buka usaha kecil-kecilan."
"Daripada kamu jauh-jauh ngurusin orang lain, mending kamu urus keluarga sendiri saja, Nduk!" sahut Sumi tanpa mengalihkan perhatian dari layar televisi.
"Buk, Pak. Yusa ini pengen bikin bangga kalian. Apa nggak bisa kalian dukung keinginan Yusa?"
Belum Sumi menanggapi, suara pintu pagar yang terbuka mengalihkan perhatian penghuni rumah. Wanita dengan pakaian kantoran terlihat di sana. Ketukan dari ujung sepatu hak tingginya terdengar jelas sampai ke dalam rumah yang tak besar itu.
"Capek, Nduk? Mau di masakin air hangat buat mandi?" tanya Ibuk.
"Iya deh, Buk," jawab Risa. "Ngurusin pindah ke Jakarta ribet banget!" lanjutnya.
"Masakin air buat adikmu, Nduk," pinta Sumi pada Yusa. Ia berdiri dan pindah ke ruang tamu dengan membawa makanannya yang belum habis.
"Jadi kapan kamu pindah ke Jakarta?" tanya Yudi. "Mbakmu juga mau kerja di Surabaya."
Risa melihat Yusa yang sedang menuju ke dapur. "Oooh, kamu beneran mau jadi babu, Sa?" ejeknya.
"Yang baik kalau ngomong, Ri." Yudi mengingatkan putri bungsunya.
"Malu-maluin aja, Sa! Cari kerjaan lain nggak bisa?" Risa tak mengindahkan peringatan Bapaknya.
"Kenapa harus malu? Itu halal, kok! Lagian juga uangnya bakal buat bantu Bapak sama Ibuk. Bukan kubuat senang-senang sendiri!" sahut Yusa tak terima.
"Kamu nyindir aku?"
"Aku nggak nyindir, emang kenyataan ‘kan?” sahut Yusa, “percuma punya gaji besar tapi nggak punya bakti ke orang tua!"
Risa yang semakin emosi melepas sepatunya dan melemparkannya pasa Yusa. Beruntung wanita berhijab itu mampu menghindar.
"Pergi kamu dari sini! Jadi babu sana! Jangan balik ke sini lagi!" sentak Risa.
"Iya! Memang aku mau pergi dari rumah ini!" Balas Yusa.
Masih banyak kalimat menyakitkan yang keluar dari mulut Risa. Yusa memutuskan masuk ke dalam kamar. Bibirnya terus mengucap istighfar dan memuji nama Allah agar kemarahan lekas menghilang. Bukan hal mudah untuk Yusa menerima keadaan ini.
Sejak kecil Risa sudah melihat bagaimana cara kedua orang tuanya memperlakukan Yusa. Dimarahi jika melakukan sedikit kesalahan, dianggap bodoh ketika mendapat nilai buruk, dibilang lelet ketika apa yang sudah diperintah kedua orang tuanya tak segera diselesaikan. Sedangkan Risa selalu diagung-agungkan. Mungkin karena itulah Risa merasa dirinya jauh lebih baik dari Yusa. Semua kejelekan Yusa selalu disebarkan ke semua teman-teman perumahannya hingga sampai sekarang wanita berkerudung itu tak banyak mempunyai teman.
***
Beberapa hari berlalu dari kejadian yang membuat Yusa benar-benar terluka. Seperti biasa, Yusa bangun mengerjakan salat malam. Namun, di akhir salamn, ia mendengar ramai-ramai terjadi di luar rumah. Meski penasaran, tak sampai membuatnya sampai keluar rumah. ketika suara itu semakin senyap. Ia pun melanjutkan dzikir dan do'anya.
Baru ia melepas mukenah, ia dikejutkan dengan suara pintu pagar rumah yang dibuka paksa seseorang.
"Mbak Sumi! Mbak Sumi!" panggilan seseorang diiringi ketukan pintu ruang tamu yang memburu. "Mbak! Ini Abdul!"
Yusa bergegas ke depan dan membuka pintu ruang tamu. "Kenapa, Paklek?" tanya Yusa.
"Nduk! Bapakmu!" Pria paruh baya yang menjadi rekan kerja Yudi itu terlihat mengatur napas sebelum menjawab pertanyaan Yusa. "Bapakmu ketabrak motor waktu mau nangkap maling tadi!"
"Astaghfirullahaladzim!" pekik Yusa, "Ibuuuuk!"
Baru Yusa ingin menghampiri kamar Sumi, wanita itu sudah keluar dengan wajah panik dan menghampiri Abdul.
"Suamiku kenapa, Dul? Kenapa bisa ketabrak? Sekarang di mana?" cecar Sumi panik.
"Di klinik pertigaan sana, Mbak! Ayo, Mbak!"
Sumi bergegas memakai sandal, tak memedulikan penampilannya. "Ibuk ke klinik dulu, kamu bangunin adikmu!" ujar Sumi seraya berlari keluar rumah.
Pagi itu menjadi sangat menyeramkan untuk keluarga Yusa. Panik, khawatir dan ketakutan menyelimuti tiga wanita yang sedang menangis melihat kaki kiri keluarga mereka terbungkus gips. Ketika mereka sudah sedikit lebih tenang, dokter memberikan penjelasan bagaimana kondisi Yudi saat ini. Yang terparah dari kondisi Yudi adalah kakinya yang patah. Mengingat dia sudah berumur, akan butuh waktu lama untuk sembuh.
Sambil menunggu Yudi dipindah ke ruang rawat inap, Sumi mengajak kedua putrinya berdiskusi. Ia tidak mempunyai tabungan, Yusa apalagi. Sedangkan Risa sendiri sudah mengatakan di awal jika dia tidak punya uang lebih. Entah itu benar atau tidak tapi Sumi lebih memilih agar anak sulungnya itu meminta bantuan pada Taka.
"Aku udah putus sama dia, Buk!" tolak Risa.
"Putus?" Sumi dan Yusa sama-sama terkejut.
"Kenapa bisa putus sih, Nduk? Kamu bikin salah apa? Atau jangan-jangan dia cemburu lihat kamu sering diantar jemput atasan kamu?" cecar Sumi.
Risa hanya memutar bola mata, malas menanggapi pertanyaan Ibunya. Terlihat bagaimana kecewanya Sumi saat ini. Harapan untuk masa depan yang lebih baik hilang sudah.
"Sa! Kamu pinjem Pak Cahyadi, ya?" pinta Sumi pada Yusa.
"Mana berani Yusa lakuin itu, Buk?" tolak Yusa.
"Ibuk masih punya tanggungan sama dia, Nduk. Segan kalau mau pinjem lagi."
Yusa terlihat berpikir, kemudian ia menatap Risa. Tapi Risa langsung membelalakkan matanya, mengancam agar Yusa mengurungkan apapun yang ingin dikatakan.
"Kamu pulang, siap-siap buat jualan dan pinjem uang ke Pak Cahyadi. Ibuk jaga Bapakmu di sini ya, Nduk."
Yusa hanya mengangguk pasrah. Ia beranjak pergi meninggalkan Ibu dan adiknya.
Dalam perjalanan pulang, keadaan pintu gerbang masih ramai oleh beberapa orang. Banyak yang menanyakan keadaan Yudi, karena itu Yusa berhenti sejenak untuk menjelaskan kemudian beranjak pergi. Meskipun mereka memang tetangga, Yusa punya rasa risih dan takut berada di antara pria, terlebih lagi ketika langit masih gelap. Dengan menahan rasa takut, Yusa melewati jalan komplek yang masih sepi. Hingga ia mendengar suara motor yang sangat ia kenali.
"Taka," batinnya.
Ia menoleh ke belakang dan benar, dari kejauhan ia melihat lampu motor milik Taka. Yusa membiarkan motor sport itu melintas begitu saja, tapi berjarak beberapa meter, motor itu berhenti. Pengendaranya melepaskan helm dan menoleh ke belakang.
" Sedang apa, Sa?" tanya pria berjaket hitam dengan sedikit berteriak.
Yusa masih belum menjawab dan terus berjalan ke arah Taka. "Bapak habis kecelakaan, Ka," jawab Yusa. Bau rokok, bau parfum, dan bau aneh yang tak ia kenali dari tubuh pria itu menusuk hidungnya.
"Sekarang gimana kondisi Bapakmu?" Taka ikut khawatir.
"Alhamdulillah udah ditangani, Ka."
Taka mengangguk. "Ayo naik! Bahaya jalan sendiri masih gelap gini."
Yusa menggeleng, "makasih, Ka. Aku jalan kaki saja," tolaknya.
Taka melihat Yusa yang mengenakan rok panjang yang mungkin akan susah untuk naik motor. Ia pun turun dari motor. "Aku temenin jalan!"ujarnya seraya mengaitkan helmnya di siku.
Yusa sempat menolak, tapi keadaan membuatnya au tak mau Yusa menuruti kemauan Taka. Mereka jalan berdua. Seperti beberapa waktu lalu, Yusa memilih jalan selangkah di belakang Taka tanpa ada pembicaraan di antara mereka.
"Aku dengar dari Risa, kalian putus?" Yusa sudah tak bisa menahan rasa penasarannya. "Kenapa bisa putus?"
Taka tak memberi jawaban dan membuat Yusa merasa bersalah sudah lancing menanyakan hal itu. "Maaf ... nggak seharusnya aku ikut campur urusan kalian.”
"Aku ngajak dia nikah, tapi dia tolak karena lebih mentingin karirnya."
Yusa sedikit terkejut dengan jawaban Taka. Ia tahu siapa Risa dan siapa Taka. Walaupun menyebalkan, tapi Yusa tetap menginginkan adiknya mendapat laki-laki yang sholeh. Ia terus memandangi punggung pria itu. Hampir setiap hari menjelang adzan Subuh, Yusa mendengar suara motor Taka yang baru pulang dari club malam.
Yusa teringat Cahyadi yang sakit-sakitan. Mungkin karena memikirkan putra semata wayangnya. Beruntung meskipun Taka pria urakan, tapi ia sangat patuh dan menyayangi Ayahnya.
"Siapa juga yang mau nikah sama berandalan sepertiku ini ya, Sa?"
"Eh, Emm ... kenapa?" Yusa gugup mendengar pertanyaan Taka yang tiba-tiba.
"Mana ada cewek yang mau menikah dengan cowok sepertiku. Begok, urakan, tukang mabok, playboy—"
"Tapi Allah menciptakan makhluknya berpasang-pasangan," pangkas Yusa.
"Aku nggak deket sama Allah, Sa. Udah dibuang kali jodohku."
"Nggak baik su'udzon sama Allah, Ka!" sergah Yusa. "Kamu udah sadar nggak deket, kenapa malah menjauh?"
"Bingung mau mulai dari mana? Ninggalin yang udah jadi kebiasaan kan susah"
"Tergantung niatnya, Ka."
"Ada niat tapi nggak ada yang dampingin juga percuma, Sa."
"Kan bisa cari pendampingnya, ada itu Ustadz Mansyur, Pak Habibi. Mereka pasti—"
Kalimat serta langkah Yusa terhenti ketika melihat Taka berhenti mendadak. Pria itu membalikkan badan dan menatap Yusa dengan mimik wajah yang serius.
"Kalau aku mau kamu yang dampingin aku gimana?"
Yusa berpikir sejenak kemudian mengangguk. "Iya, nggak apa. Besok kalau ada waktu aku anter kamu ke Ustadz Mansyur atau Pak Habibie," jawab Yusa.
Taka terkesiap mendengar jawaban Yusa. Ia diam sejenak kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Ka! Ini masih subuh! Jangan sampai kamu diamuk warga!" sentak Yusa setengah panik.
"Iya iya iya!” Taka menahan tawanya, “habis kamu lucu, Sa!" jawab Taka dengan masih terkekeh kemudian melanjutkan langkahnya.
Meskipun masih bingung apa yang membuat Taka tertawa, Yusa menuruti ajakan Taka untuk kembali pulang. Keduanya kembali diam hingga sampai di depan rumah Yusa. Saat Taka ingin melangkah pulang, Yusa menahan karena ingin membicarakan niat untuk meminjam uang pada Cahyadi.
"Kenapa?" Taka setengah membungkukkan badan untuk mendengar ucapan Yusa yang tak terdengar jelas di telinganya, namun wanita yang selalu menundukkan kepalanya itu reflek mundur selangkah. "Ah, maaf maaf ... aku bau alkohol ya," ucap Taka seraya menegakkan badannya kembali.
"Bukan begitu ... nggak enak saja kalau terlalu dekat," jawab Yusa. Ia menghela napas dan mendongak. Jantungnya berdegub tak karuan ketika mata mereka bertemu. Lama ia hanya memperhatikan Taka dari jauh dan sekarang ia bisa melihat wajah itu sedekat ini.
"Lama banget aku nggak lihat wajahmu sejelas ini, Sa."
Kalimat Taka membuat Yusa kembali menunduk. Ia meremas ujung baju untuk mengenadalikan tangannya yang bergetar. "A-aku masuk dulu, Ka. Aku bicara besok saja." Yusa buru-buru masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Taka yang masih berdiri di depan pintu pagar.
***
Sinar matahari mulai masuk di sela-sela jendela dapur. Suara kendaraan juga mulai terdengar hilir mudik di depan rumah. Jarum jam sudah hampir menyentuh angka enam, tapi Yusa belum selesai mengemas masakannya ke dalam gerobak.
Di antara kepanikannya, ia mendengar suara ketukan pintu rumah diiringi suara salam dari seorang pria. Ia kenal suara itu dan segera melihat ke arah ruang tamu. Pria yang beberapa jam lalu ia temui sudah ada di pintu rumah. Penampilan pria itu sudah berbeda. Rambutnya diikat seperti biasa, dengan kaos putih, celana pendek chino dan sandal japit yang menjadi alas kakinya.
"Ku bantu apa, Sa? Kamu pasti buru-buru, kan?"
"Enggak usah, Ka. Aku udah hampir selesai," jawab Yusa dari arah pintu dapur.
"Kalau dikerjakan berdua akan cepat selesai, Sa." Taka melangkah masuk ke dalam rumah Yusa.
"Jangan masuk, Ka!" teriak Yusa panik.
"Kenapa?" tanya Taka keheranan.
"Aku di rumah sendirian. Kamu nggak bisa masuk," jelas Yusa.
Taka teringat, Yusa berbeda dengan Risa. Wanita itu patuh pada agama dan kedua orang tuanya. Ia mengangguk paham dan kembali ke bibir pintu. "Aku bantu dari sini. Kalau sudah bawa ke sini, aku yang susun di dalam etalase," ujar Taka.
Yusa tak bisa menolak. Ia memang membutuhkan bantuan. Ia menuruti saran Taka dan mulai mengusung masakan yang sudah matang ke depan kemudian Taka yang memasukkannya dalam etalase gerobak.
“Kamu buruan mandi, aku yang bawa gerobak ini ke depan. Nanti kamu nyusul!” tegas Taka.
Ada rasa segan, tapi ia tahu bukan waktunya menolak bantuan. Yusa pun masuk ke dalam dan segera masuk ke kamar mandi. Tak sampai lima belas menit, Yusa sudah selesai mandi dan ganti baju. Ia segera keluar menyusul Taka.
Sampai di tujuan, Yusa sedikit terkejut karena pelanggan nasi pecel Ibuknya sudah berkumpul. Taka terlihat menata tenda. Dan ia pun segera menyiapkan menu-menu masakan. Entah perasaannya atau memang setiap hari seperti ini, banyak orang yang sudah mengantre untuk mendapatkan nasi pecel.
Karena tak tega melihat Yusa berjualan sendiri, Taka membantu Yusa sampai nasi yang ada di dalam termos habis tak tersisa. Keduanya melepas lelah dengan duduk di kursi pelanggan, berhadapan sambil menertawakan bagaimana sibuknya mereka beberapa jam lalu.
"Rekor, Ka! Baru jam sembilan udah habis! Alhamdulillah," pekik Yusa senang.
Taka mengangguk, ia membuka segel botol air mineral dan memberikannya pada Yusa. "Capek, Sa?" tanyanya.
Yusa mengambil botol yang diberikan Taka dan meneguk airnya seraya menganggukkan kepala beberapa kali. "Nggak nyangka banget. Allah bener-bener tahu kalau kami sedang butuh uang. Jadi dikasih rejeki lebih pagi ini," ujar Yusa. Bibirnya tak berhenti mengulas senyum bahagia.
"Butuh uang? Buat Bapak kamu?" tanya Taka.
Mimik wajah Yusa berubah mendengar pertanyaan Taka. "Kamu nggak ke Toko, Ka? Udah jam sembilan lebih, nih?" Yusa berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia segan membicarakan hal ini dengan Taka. Terlebih lagi, baru dua hari ini ia dan Taka sedikit lebih dekat lagi.
"Jangan mengalihkan pembicaraan, Sa. Jawab saja, iya apa enggak. Ini berhubungan dengan keselamatan Bapak kamu. Jangan banyak berpikir!"
Yusa mengangguk ragu. Ia meletakkan botol air mineralnya kemudian menatap Taka. "Maaf, Ka. Aku tidak enak mengatakannya. Tapi aku memang berniat meminjam uang ke Ayahmu," ujarnya.
"Kita beres-beres sekarang, Sa. Gerobaknya tinggal di sini dulu. Aku temenin kamu ke klinik urus administrasinya," ajak Taka.
"Tapi ... kamu nggak ke toko? Kamu nggak capek? Kamu belum tidur, kan?"
"Udah tidur setengah jam tadi. Udah cukup, Sa," jawab Taka. "Nggak usah pikirin aku, pikir Bapakmu dulu, Sa."
Usai membereskan tempat jualan, Yusa bersama Taka menuju ke klinik tempat Yudi di rawat. Taka langsung menuju ke bagian administrasi untuk menanyakan biaya awal yang harus diselesaikan keluarga Yudi. Petugas memberikan total biaya yang harus dibayar dan Taka memberikan sebuah debit card pada petugas.
Yusa tidak mau menerima pemberian pria tersebut dengan cuma-cuma, ia menganggap itu sebagai hutang. Namun Taka mengabaikan keinginan Yusa tersebut. Taka juga sempatkan mampir untuk menjenguk Yudi sebelum akhirnya kembali menemani Yusa membawa gerobak nasi pecel Sumi pulang.
"Serius kamu mau ke Surabaya, Sa? Kota gedhe loh itu. Kamu di sana nggak punya keluarga,” tanya Taka dalam perjalanan.
"Memangnya kenapa kalau kota gedhe? Aku udah terbiasa mandiri."
Taka menghentikan langkah dan berbalik memandang Yusa yang ada di belakangnya. "Gini loh, Sa. Dengerin aku baik-baik!" tegas Taka serius, "selama di sini kamu pergi paling jauh ke pasar aja kan? Jaraknya cuma beberapa kilo dari sini. Kerja juga deket. Ya ... ibaratnya lingkunganmu yang gini-gini aja itu buat kamu polos banget. Sedangkan di Surabaya, kamu dapat lingkungan baru yang nggak kamu kenal. Ketemu orang-orang baru yang sifatnya nggak bisa kamu kenalin dalam sekejap. Kalo misal ada yang jahatin kamu, gimana? Kamu mau minta tolong sama siapa?"
"Ya aku nggak akan keluar rumah, Ka. Kerjanya cuma jagain orang tua aja."
Taka menghela napas berat. Dia sudah menjelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti, tapi wanita di depannya itu masih tak memahami maksudnya. "Kamu yakin bisa jaga dirimu di sana?" tanya Taka.
Yusa mengangguk.
Taka menatap Yusa yang selalu berusaha menghindari sorot matanya kemudian kembali melanjutkan mendorong gerobak. Tak ada lagi pembicaraan di antara mereka kecuali menjawab sapaan warga yang mereka lewati.
***
Tiga hari sudah Yudi mendapat perawatan di klinik dan selama itu pula Yusa yang menggantikan Ibuknya berjualan. Entah beruntung atau tidak, dalam tiga hari itu Taka selalu membantu berjualan. Ia sangat terbantu, tetapi gunjingan dari tetangga membuatnya merasa risih. Sampai usai pengajian malam ini, ia mendapat teguran dari beberapa Ibu-ibu.
"Nggak baik, Sa. Kamu itu muslimah, tapi sejak langit masih gelap sudah ada pria yang bukan mahram di rumah kamu."
"Maksud Ibu, Taka?" tanya Yusa dan mendapat anggukan dari beberapa Ibu-ibu di depannya. "Tapi saya tidak sampai kelewat batas, Bu. Taka hanya membantu saya," jelas Yusa.
"Kamu bisa minta bantuan adik kamu kan, Sa? Dilihat orang juga nggak enak, kamu jualan berdua sama Taka. Nggak baik, Sa. Kami mengingatkan untuk kebaikan kamu"
Usai mendapat teguran dan nasihat itu membuat Yusa pulang ke rumah dengan berpikir ulang mengenai dekatnya dia dan Taka beberapa hari ini. Tidak bisa dipungkiri, ia merasa senang ketika Taka kembali masuk dalam kehidupannya. Ia mempunyai teman untuk berbicara lagi.
"Udahlah ... kasian dia, nggak tega aku. Anaknya polos banget."
Yusa mendengar suara Taka. Ia melihat beberapa pemuda sedang bergerombol di gazebo yang ada di sudut persimpangan jalan utama komplek.
"Kau kan belum sampai berhasil ngajak dia kencan. Belum dianggap selesai tuh hukumanmu!" sahut pemuda bertato di lengan tangannya.
"Sumpah! Nggak tega aku. Dia kakak mantanku juga. Kalo kakaknya kubuat mainan, bisa-bisa Risa nggak mau kuajak balikan."
"Haalaaaah, bilang aja kau malu jalan sama cewek gituan?"
"Bukannya itu memang rencana kalian buat bikin aku malu? Bangsat emang kalian! Gini-gini amat, sih! Udah tahu si Boby naksir dia, malah aku yang diumpanin!"
Mendengar percakapan dan gelak tawa Taka bersama teman gengnya membuat air mata Yusa menetes. Ia ingin melewati jalan lain, tapi ini adalah jalan satu-satunya dari masjid menuju ke rumahnya.
Berdirinya Yusa beberapa meter dari Gazebo mulai disadari salah seorang dari gerombolan pemuda tersebut. Ia memberi isyarat untuk tidak melanjutkan percakapan dan memberitahu keberadaan Yusa. Taka yang menyadari itu sedikit kaget ketika melihat wanita berhijab itu berlari melewatinya.
"Dia denger deh, Ka!"
"Jadi hukumanku selesai nih, ya?" Taka terlihat senang terbebas dari tantangan teman-temannya.
"Gila kau! Nggak ada rasa bersalahnya nih Cecunguk!"
"Lah, dia kan pasti denger obrolan kita. Aku buat gini gegara siapa?"
"Savage banget Cecunguk satu ini!"
***
Baru saja ia merasakan sedikit kebahagiaan, ia harus berteman lagi dengan sakit dan kecewa. Taka benar-benar bukanlah orang yang ia kenal dulu. Pria itu baik hanya karena permainan teman-temannya. Ada sedikit penyesalan, kenapa ia harus mendengar semua itu. Bukankah lebih baik jika dia tidak mendengar dan menerima kebaikan Taka tanpa berpikir macam-macam. Meskipun pada akhirnya pria itu akan meninggalkannya lagi.
Dari tempat tidur, ia memandang pantulan dirinya di cermin lemari. Alisnya tak terlalu tebal, matanya bulat berhias bulu pendek yang tak lentik pada kelopaknya. Tidak memiliki hidung mancung dan bibirnya tipis, polos, sedikit kering. Semua itu terbingkai rapi di wajah kusam tak berseri.
Selama apapun ia mengamati dengan jeli, tak bisa ditemukan sesuatu yang menarik pada di sana. Pasti Taka benar-benar menahan malu berada di dekatnya beberapa hari ini.
Tangisnya kembali pecah. Kali ini bukan karena rasa sakit atas perlakuan Taka. Namun, lebih kepada rasa insecure karena tak memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan pada dirinya. Malam itu ia menenggelami kesedihanya, hingga lelah dan tertidur.
***
Pagi ini Yusa masih dengan kegiatan yang sama seperti sebelumnya, bersiap untuk berjualan nasi pecel. Yang berbeda kali ini dengan tidak adanya Taka yang membantu. Ia tak mengharapkan apapun lagi. Lebih baik memang dia menjaga jarak dengan pria itu.
Mempunyai sedikit waktu untuk istirahat. Pagi ia berjualan pecel dan sore bekerja di minimarket membuat Yusa sangat kelelahan. Langkahnya terhenti ketika baru sampai seperempat dari perjalanan. Ia beristirahat, jongkok tanpa meninggalkan gerobaknya. Ia menarik napas sejenak sebelum akhirnya cepat-cepat berdiri ketika mendengar suara motor sport yang sangat ia kenali.
Yusa mulai mendorong gerobaknya lagi. Sesuai dugaannya, tak ada sapa di antara mereka. Kembali asing dalam sekejap. Meskipun sudah ia prediksi, tetap saja rasa kecewa itu masih menyisa.
Beberapa menit ia mendorong gerobak. Ia mendapati Taka sedang berlari ke arahnya. Tak banyak bicara, pria itu lekas mengambil alih pegangan gerobak dan mulai mendorong.
"Aku cuma bisa bantu bawa ini ke depan," ucapnya.
"Kamu nggak perlu melakukannya. Kamu juga nggak perlu merasa bersalah padaku, Ka," sahut Yusa.
"Aku minta maaf sudah memanfaatkanmu."
"Anggap saja itu upah karena kamu sudah membantuku beberapa hari ini."
Taka tidak memberi respon dari kalimat Yusa.
"Tapi ... kuharap ini terakhir kali kita saling menegur, Ka!" tegas Yusa.
Pria berkaus putih dan celana jeans hitam yang robek di bagian lutut itu tak menunjukkan tanda-tanda ingin memberikan respon. Yusa hanya menghela napas pelan dan mengikuti langkah Taka sampai di tempatnya berjualan.
Taka tak lantas pergi begitu saja, ia masih membantu Yusa mendirikan tenda barulah kemudian ia pergi tanpa sepatah katapun. Bahkan Yusa tak sempat untuk mengucapkan terima kasih.
***
Hari ini memang tak terlalu ramai seperti sebelumnya. Menjelang azan Dzuhur Yusa baru sampai di rumah. Belum ia selesai membereskan barang-barang di gerobak, ponselnya berdering. Ia melihat nama 'Ibuk' muncul di layar.
Sumi memberitahu jika Ayahnya sudah diperbolehkan pulang besok, tapi uang untuk melunasi biaya perawatan masih kurang. Ia memaksa putrinya untuk meminjam uang pada Taka. Tentu saja Yusa menolak, tapi Sumi tetap memaksa dan Panggilan telepon itu berakhir dengan sebuah keputusan sepihak.
Usai melaksanakan salat Dzuhur. Yusa memutuskan pergi ke rumah Cahyadi. Ia memberanikan diri untuk meminjam uang pada pria tua yang sakit-sakitan tersebut dibandingkan pada putranya.
"Nggak usah dipikirin mau dikembalikan kapan. Bawa saja dulu, Nduk." Pria berwajah pucat dengan mengenakan sweater itu memberikan sebuah amplop coklat pada Yusa yang sudah menjelaskan maksud kedatangannya.
"Maaf kalau saya lancang sampai pinjam uang ke Bapak," ucap Yusa segan. Ia menerima amplop yang baru saja dibawakan Cahyadi.
"Nggak usah dipikirkan, Nduk. Justru Bapak ini senang bisa bantu kamu."
Yusa mengangguk dan senyuman.
"Bapak juga senang lihat kamu dan Taka kembali dekat. Alhamdulillah ... beberapa hari ini Taka pulangnya malam. Nggak sampai pagi-pagi," ujar Cahyadi, matanya yang redup termakan usia itu berbinar senang, "pasti itu karena bantuan kamu, Nduk."
"Saya nggak berbuat apa-apa, Pak."
Cahyadi tak berhenti mengulas senyum, membuat garis keriput di kedua ujung matanya semakin terlihat jelas. "Gini bapak makin yakin, memang kamu cocok nemenin dan bantu Taka buat jadi lebih baik," ujarnya. "Kamu masih nggak berubah pikiran 'kan, Nduk?"
Berat Yusa harus mengangguk. Tapi, untuk menolak dan menjelaskan apa yang terjadi dengan mereka juga tak mudah.
"InsyaAllah ya, Pak." Kalimat itulah yang akhirnya keluar dari mulut Yusa.
***
Dengan uang hasil pinjaman dari Cahyadi, akhirnya Yudi bisa pulang juga ke rumah. Gerobak nasi pecel terparkir rapi di halaman, Sumi menyuruh kedua putrinya untuk di rumah hari ini. Sebab pasti akan banyak tetangga yang datang menjenguk Cahyadi. Seperti itulah kebiasaan warga komplek perumahan yang ada di pinggiran kota Malang tersebut.
"Assalamu'alaikum,"
Mendengar ada suara tamu, Yusa yang masih baru menyelesaikan salat magribnya keluar kamar. Ada Cahyadi dan Taka berdiri di depan pintu rumahnya yang terbuka.
"Wa'alaikumsalam ... masuk, Pak." Yusa menghampiri Ibunya yang tertidur di depan televisi. "Buk, ada tamu ... Pak Cahyadi."
Sumi lekas membuka mata dan merapikan rambut yang sedikit berantakan. Ia duduk mengumpulkan nyawa yang baru saja berpencar, kemudian menghampiri tamunya. Sedangkan Yusa pergi ke dapur untuk membuatkan kopi untuk tamu.
"Nggak perlu sungkan-sungkan lah, Pak Yudi. Toh sebentar lagi kita jadi besan."
Kalimat Cahyadi membuat langkah Yusa yang baru keluar dari dapur terhenti tepat di bibir pintu kamar orang tuanya.
"Loh, bukannya mereka sudah putus, ya?" Sumi mengernyit heran.
"Bukannya gimana ya, Bu Sumi. Tapi sejak dulu saya lebih cocok ke Yusa. Apalagi setelah Risa kemarin nolak lamaran Taka karena mentingin karirnya." Jawaban Cahyadi membuat Yudi, Sumi bahkan Yusa kebingungan. "Dan Alhamdulillah, Yusa mau terima Taka," lanjut Cahyadi.
Yudi dan Sumi yang menyadari kehadiran Yusa hanya menatap bingung, mata kedua orang itu seakan menunggu jawaban dari pernyataan Cahyadi.
"Eh, Nduk. Ada di sini toh, kamu?" Cahyadi tersenyum hangat.
"Kamu diam-diam suka sama Taka, Sa?" hardik Risa yang tiba-tiba muncul.
"Tunggu-tunggu! Memang kapan Bapak tanya ke saya mengenai pernikahan?" tanya Yusa.
Cahyadi ikut bingung dengan pertanyaan Yusa. "Waktu kamu nolongin Bapak di rumah kapan hari itu, Nduk," jawabnya, "kemarin Bapak tanya lagi ke kamu, jawabannya masih sama, 'kan?"
"Maksudnya nemenin dan bantu Taka itu, menikah, Pak?" Yusa terbelalak.
Cahyadi mengangguk, "apa kamu salah mengartikannya, Nduk?"
Yusa mengangguk cepat dan ketakutan. "Maafkan Yusa salah mengartikan permintaan, Bapak. Yusa pikir hanya sebagai teman."
Mendengar jawaban Yusa membuat senyum Cahyadi menghilang dan tubuhnya sedikit terhuyung hingga membuat semua khawatir. Taka segera menahan tubuh Ayahnya dan membantu duduk di tepian kasur Yudi.
Yusa yang merasa bersalah menghampiri Cahyadi dan bersimpuh di lutut pria itu. "Maafkan Yusa, Pak!" ucapnya menyesal.
"Kamu gimana toh, Nduk? Ngasih harapan palsu ke orang," tegur Sumi.
"Enggak, Bu Sumi. Ini salah saya, saya yang kurang jelas membicarakannya dengan Yusa. Saya yang salah," sahut Cahyadi dengan suaranya yang parau. Mata tuanya menunjukkan sebuah kesedihan dan kekecewaan.
"Makanya, Sa! Pinteran dikit, napa? Bikin orang lain riweh aja!"
"Risa!" sentak Yudi.
"Justru aku yang bakal beruntung kalau dia benar-benar mau menikah denganku, Ri." Kalimat Taka menyita perhatian semua orang.
"Nak Taka mau menikah dengan Yusa?" Sumi memperjelas maksud Taka.
"Iya, Buk!"
Yusa menggeleng cepat. "Enggak! Aku nggak mau!" Yusa berdiri dan pergi ke kamarnya.
"Kamu beneran mau, Ka?" tanya Cahyadi.
"Taka yakin pilihan Ayah nggak pernah salah," jawab Taka seraya melirik Risa yang sedang bersedekap di kusen pintu.
"Sebaiknya kamu bicarakan niat kamu ini dengan Yusa dulu, Nak Taka," pinta Yudi.
Taka mengangguk. "Saya cari waktu yang tepat buat ngobrolin ini dengan Yusa, Pak."
"Maaf kalau kedatangan kami kemari malah membuat suasana tidak nyaman seperti ini, Pak Yudi, Bu Sumi," ucap Cahyadi.
"Kalau tidak begini, kami jadi tidak akan tahu, Pak," sahut Sumi.
Tiga orang tua itu melanjutkan percakapannya, sedangkan Taka melirik kesal pada Risa yang terus menatapnya acuh.
"Gitu banget ya kalau gagal move on!" gumam Risa seraya pergi.
***
Karena sudah beberapa hari libur, Sumi menyuruh Yusa mulai berjualan dan malam ini Yusa pergi berbelanja ke pasar yang berjarak beberapa kilometer dari komplek. Sepeda keranjang hadiah dari lomba menulis cerpen di salah satu tabloid remaja beberapa tahun lalu itu menjadi armadanya menuju ke pasar.
Setelah berkeliling pasar yang cukup ramai dan semua list di catatannya sudah tercoret semua, Yusa kembali ke sepeda. Menyusun barang-barang belanjaannya di sebuah obrok kain berukuran sedang yang ada di boncengan sepeda. Ia memastikan semuanya rapi dan tak sampai ada yang rusak. Barulah ia beranjak meninggalkan tempat tersebut.
"Dari pasar, Sa?" sapa seorang pria muda yang tengah duduk di tepi pintu gerbang perumahannya.
"Iya, Mas Bob."
Itu Boby, teman satu geng Taka yang 'katanya' punya perasaan pada Yusa. Boby berkulit lebih gelap namun senyumnya terbilang manis dengan dua lesung pipit di kedua pipinya. Namun untuk penampilan, memang Taka yang paling menarik di antara teman-temannya.
"Mari, Mas," pamit Yusa seraya mengayuh pedal sepedanya.
"Sa!"
Yusa menghentikan kayuhannya dan menoleh ke belakang. "Ya, Mas?"
"Ada waktu buat ngobrol?" tanya Boby.
Yusa menggeleng, "sudah malam, Mas. Aku harus segera pulang."
Boby menghampiri Yusa. "Cuma sebentar, ada yang perlu aku omongin ke kamu."
"Tin tin tin tin!"
Suara berisik dari klakson motor di depan cukup mengganggu percakapan Yusa dan Boby. Mereka sama-sama memalingkan wajah ketika lampu motor itu menyorot.
"Berisik banget sih, Ka!" sentak Boby ketika motor sport itu berhenti di depan mereka.
"Sa! Dicari Ibukmu tuh! Aku baru mau jemput kamu ke pasar, ternyata udah di sini!" tutur Taka terburu-buru.
"Kenapa, Ka?" Yusa ikut panik.
"Nggak tau, buruan pulang!" ajak Taka.
"Iya!" sahut Yusa, ia menatap Boby yang ada di sampingnya. "Mas Boby, kita bicara lain waktu ya. Aku pamit dulu, Assalamu'alaikum!" pamitnya kemudian melanjutkan kayuhan pedal sepedanya.
"Bob! Aku duluan, ya!" pamit Taka.
Boby hanya melambaikan tangannya, menatap hambar dua orang tersebut pergi.
Taka mengendarai motornya tepat di belakang Yusa sambil memperingatkan agar Yusa berhati-hati dan melambatkan kayuhan sepeda. Namun wanita berhijab itu tidak mendengarkan sampai akhirnya mereka tiba di depan rumah Yusa.
Taka menghalangi Yusa untuk masuk. “Ada yang harus kubicarakan mengenai lamaran itu."
"Aku akan minta maaf pada Ayahmu karena sudah membuatnya salah paham."
"Aku hanya ingin membantumu."
Yusa mengernyit heran. “Jangan bicarakan itu sekarang. Ibuku sedang menunggu.”
“Aku bohong tentang Ibumu tadi.”
Yusa mengernyit heran dan marah. Ia beranjak masuk namun Taka kembali menghalangi.
"Kita bicara besok, Ka!" ujar Yusa.
Taka mengangguk setuju. Tak ada lagi percakapan di antara mereka. Taka menepikan mempersilakan Yusa untuk masuk ke dalam rumah.
***
Hari pertama Yusa berjualan setelah dua hari libur sedikit berbeda, sebab pagi ini Taka ikut kembali membantu di sana. Tentu saja hal ini menarik beberapa pelanggan, terutama kaum hawa yang ingin menikmati kelebihan fisik yang ada pada diri Taka.
Sinar mentari masih belum terlalu terik tapi nasi yang ada di dalam termos sudah habis terjual. Yusa memberikan nasi terakhir untuk Taka sebagai ucapan terima kasih. Sambil menunggu Taka menghabiskan sarapannya, Yusa membereskan semua tempat lauk pauknya hingga gerobaknya kembali bersih.
"Apa yang mau kamu bicarain, Ka?" Yusa duduk di depan Taka yang baru menyelesaikan sarapannya.
"Tentang pernikahan itu," jawab Taka, "aku ingin membantumu keluar dari rumah itu."
Yusa mencoba memahami maksud Taka.
"Aku tahu kamu pasti sudah sangat muak berada di sana. Karena itu, menikahlah denganku," lanjut Taka.
Yusa menggelengkan kepalanya. "Kamu benar, aku sudah sangat lelah berada di sana. Tapi menikah bukan keinginanku, Ka. Aku ingin bekerja, aku ingin sukses dan membuktikan pada mereka yang selalu memandangku rendah. Aku punya banyak keinginan, Ka."
"Aku menikahimu untuk membantumu, Sa. Bukan untuk membunuh impianmu."
"Enggak, Ka. Aku nggak mau. Aku hanya akan menikahi laki-laki yang mencintaiku."
"Kamu bisa melakukannya setelah kita berpisah."
"Astaghfirullahal'adzim, Ka! Bahkan belum apa-apa kamu sudah berniat untuk berpisah?"
"Aku menikahimu untuk membantumu," jelas Taka lagi, "ini juga untuk kesehatan Ayah, untuk Bapakmu juga. Pernikahan ini akan saling menguntungkan untuk semua orang," imbuhnya.
"Pernikahan sesuatu yang sakral, Taka! Allah terlibat langsung dengan perjanjian ini! Kamu nggak bisa mempermainkannya!" sentak Yusa.
"Aku tidak mempermainkannya, aku tidak mempunyai niat buruk dalam hal ini."
"Tetap saja, Ka—"
"Tetap saja apanya?" tantang Taka.
Yusa diam sejenak. "Aku tidak mencintaimu," katanya kemudian.
"Memang kamu nggak boleh mencintaiku."
"Hah?"
"Jangan pikirkan itu. Pikirkan saja tawaranku."
"Aku tidak akan memikirkannya. Aku menolak dan tidak mau mengikuti permainanmu!"
"Pikirkan saja dulu. Aku akan menunggumu," ujarnya seraya berdiri. Ia membuang kertas bungkus sebagai alas nasi dan mengembalikan piring yang terbuat dari anyaman bambu itu di dalam gerobak.
Yusa tidak menyangkal jika salah satu alasan pergi bekerja di Surabaya karena ingin keluar dari rumah itu. Ada perasaan lelah karena terus berputar-putar di labirin yang tak berujung dan membuatnya kehilangan jati diri.
***
"Saya memahami atas musibah yang menimpa suami Anda, Bu. Tapi ini sudah terlambat delapan bulan. Harusnya kami sudah melakukan penyitaan di bulan keempat, Bu."
"Tolong, Mbak ... kasih kami waktu lagi."
Yusa yang baru memarkirkan gerobak di halaman rumah mendengar suara ibunya yang menangis. Ia melihat ada dua sepatu di teras rumahnya. Sedang ada tamu penting di dalam. Ia bergegas masuk untuk mengetahui siapa yang sudah membuat ibunya menangis.
"Assalamu'alaikum," sapanya ketika memasuki rumah.
"Wa'alaikumsalam," sahut dua orang asing yang ada di ruang tamu.
"Ibuk kenapa?" Yusa segera duduk di samping ibunya. "Ada apa ya ini, Mas, Mbak?" tanya Yusa pada dua orang berpakaian rapi dengan sebuah bordiran nama bank di bagian dada kemeja mereka.
Salah seorang dari mereka memperkenalkan diri dan menjelaskan mengenai tunggakan angsuran Sumi yang sudah delapan bulan tidak dibayar. Mereka datang untuk memberikan surat penyitaan jaminan. Dalam hal ini, rumah mereka yang menjadi jaminannya.
"Kenapa bisa sampai nggak kebayar, Buk? Sampai delapan bulan?" protes Yusa pada Ibunya.
"Banyak yang harus Ibuk bayar, Nduk. Keuangan kita nggak cukup. Ibuk harus putar semuanya biar kita semua tetep bisa hidup sampai sekarang," jelas Sumi dengan isak tangisnya.
"Uang dari Risa?" tanya Yusa.
Sumi menggeleng, "nggak cukup, Nduk."
"Ya Allah, Buk ... kenapa anak kesayangan Ibuk itu nggak bisa diandalkan di saat-saat seperti ini?"
Sumi hanya diam membenarkan ucapan Yusa. Dengan memanjakan Risa, ia berharap putrid sulungnya itu akan memperlakukannya dengan baik. Tapi itu hanya sebuah harapan yang berakhir dengan kekecewaan.
"Berapa yang harus dibayarkan, Mbak, Mas?" tanya Yusa.
"Silahkan."
"Subhanallah! Sebesar ini!" pekik Yusa. Ia menatap marah Ibunya, "dari mana kita dapat uang sebanyak ini, Buk?"
Yusa semakin dibuat kebingungan. Ia tidak mau sampai satu-satunya tempat tinggal mereka diambil. Ia mencoba meminta waktu sehari dan beruntungnya petugas bank itu menyetujui dengan hanya memberi kesempatan satu hari untuk menandatangani persetujuan penyitaan jaminan.
***
Sepulangnya Risa dari kantor, keluarga kecil itu mulai berdiskusi mencari solusi. Namun yang di dapat hanya pertengkaran antara kakak adik yang saling menyalahkan.
Yusa terus menyalahkan Risa yang mempunyai penghasilan lebih tapi sangat perhitungan pada keluarga. Sedangkan Risa merasa dirinya lebih baik dan tidak pantas disalahkan.
"Nyadar, Sa! Suaramu tuh nggak guna di sini. Diem aja! Kalau nggak bisa kasih solusi, jangan malah bikin pusing!" sentak Risa
"Kita semua di sini cari solusi, Ri!" sahut Yusa.
"Pinjam bosmu saja gimana, Nduk?" tanya Yudi.
"Mana bisa, Pak! Bentar lagi aku pindah, mana bisa dikasih pinjaman," jawab Risa, "udahlah, pinjem orang lain aja. Yusa tuh manfaatin. Biar ada gunanya di rumah ini!"
"Maksudmu apa, Ri?" protes Yusa yang mulai terpancing emosinya.
"Ups!" Risa menatap remeh kakaknya, "mau dijual juga nggak laku yang beginian!"
PLAK!
"Gila kamu, Sa!" sentak Risa marah karena tamparan Yusa padanya.
"Kamu yang gila, Ri! Mulutmu itu terbuat dari apa! Aku ini kakakmu, Ri! Nggak pernah sekalipun kamu ngehormatin aku!"
"Mimpi aja, Sa! Siapa juga yang mau hormat padamu! Kalau kamu udah lebih kaya, lebih sukses dari aku! Baru tuh kucium tanganmu!"
"Oke! Aku akan jadi lebih sukses dari kamu dan pastikan kamu minta maaf ke aku saat itu!" teriak Yusa penuh emosi. Ia berlari meninggalkan kamar orang tuanya dan pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu.
Hatinya sakit sekali mendengar perkataan Risa, kemarahan membuat tubuhnya sampai panas dingin tak karuan. Ia kembali ke kamar dan menunaikan salat sunah untuk mengusir marah dan sakitnya. Tangis, doa dan pujian pada pemilik kehidupan terus terpanjat, berharap luka itu segera sembuh.
Lama menyendiri dalam kamar, tangisnya terhenti ketika mendengar pagar rumah sebelah terbuka. Tanpa melepas mukenah, Yusa berlari keluar rumah.
"Taka!" Dengan menjinjing bawahan mukenah dan tidak beralas kaki, ia berlari menghampiri Taka yang hendak menutup kembali pintu pagar. Pria itu tak menjawab dan hanya kebingungan melihat penampilan Yusa. "Tolong bantu aku," pintanya.
"Oke!" jawab Taka tanpa basa basi.
"Kamu tahu maksudku?"
Taka mengangguk. "Aku akan segera mengajakmu keluar dari sana."
Mendengar kalimat Taka membuat cairan bening berbondong-bondong membasahi pipi Yusa. Yusa menunduk, sangat menunduk sampai tubuhnya hampir membungkuk. Lirih, mulai terdengar isakan tangis.
"Pastikan ini terakhir kalinya kamu menangis karena keluargamu, Sa. Karena itu, menangislah sepuasmu."
Mendengar ucapan Taka membuat Yusa semakin terisak. Ia jongkok, tak peduli lagi dengan mukenahnya yang akan kotor. Ia tenggelamkan wajahnya di antara lutut dan menangis sepuasnya meski tanpa suara. Taka ikut jongkok di depan Yusa, hanya diam memperhatikan wanita bermukenah itu melepaskan semua kesedihan.
Tak lama Yusa mengangkat kepala dan menghapus sisa air mata. "Kamu nggak jadi pergi?" tanya Yusa dengan sesenggukan.
Taka menggeleng, "setelah ini."
Yusa segera berdiri. "Maaf aku membuang-buang waktumu, Ka."
Taka menggeleng. "Besok secara resmi aku akan melamarmu."
"Besok?" Yusa terbelalak.
"Kamu mau lebih lama dihina dan diinjak-injak?"
Yusa menggeleng.
“Aku akan pergi kalau tidak ada yang mau kamu bicarakan.”
"Bentar, Ka!"
Taka diam dan menunggu.
"Kamu janji akan membiarkanku tetap bekerja, 'kan?"
"Iya, aku janji tidak akan pernah melarangmu melakukan apapun yang kamu mau."
Yusa tersenyum lebar dan terlihat lega.
"Katakan mahar apa yang kamu pinta. Aku akan memberikannya padamu."
"Kamu akan memberikan apa yang kuminta?"
"Selama aku mampu."
Yusa terlihat berpikir sejenak kemudian menatap Taka dengan ragu-ragu.
"Katakan, Yusa …."
"Maafkan aku jika meminta terlalu banyak."
Taka mengangguk.
"Aku ingin maharku uang tunai, dua puluh juta, Ka."
"Oke!"
"Kamu nggak keberatan?"
"Enggak."
"Tapi itu banyak."
"Nggak masalah," jawab Taka ringan, "ada lagi?"
Yusa mengangguk. "Aku juga mau pernikahan kita dilakukan dalam minggu ini."
Taka sedikit terkejut tapi ia mengangguk setuju. "Oke, kita nikah secepatnya."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
