
Bab 44
Β
Setelah menunggu sampai larut malam, Janna harus mendapat kabar yang cukup mengecewakan dari suaminya. Pria itu pergi keluar kota tanpa pulang telebih dahulu. Pamit pun hanya lewat pesan, bukan telepon.
Saat Janna menghubungi, yang menerima panggilannya bukan Bumi, melainkan Bisma. Pria itu seakan mendukung pesan yang tersampaikan suaminya tadi.
Janna pikir Bumi akan kembali sebelum Abati dan Mama berangkat ke bandara untuk pulang. Namun ternyata, ia justru mendapat telepon dari pria tersebut dan meminta maaf karena pergi ke Jakarta menggunakan penerbangan pertama.
Dibanding kecewa dan marah, Janna lebih ke penasaran. Takut jika suaminya sengaja menghindar karena babak belur dihajar Atmadja dan menutupi ini semua karena takut membuatnya khawatir. Pasalnya, saat Janna minta untuk video call, pria itu beralasan dan minta untuk disambungkan ke Abati karena ingin meminta maaf.
Janna tidak memaksa lagi. Dia juga tidak dapat kepastian berapa lama Bumi berada di Jakarta.
***
Sehari, dua hari, Janna berada dalam keresahan menunggu kabar suaminya. Mereka sedang berjarak tetapi Bumi minim berinteraksi. Pria itu hanya mengingatkan untuk salat, makan, dan konsumsi obat. Tidak ada percakapan panjang. Jika Janna bertanya kapan pulang, jawabannya 'maaf, tunggu perusahaan kembali stabil'.
Sampai akhirnya seminggu Bumi belum juga kembali. Resah telah berubah menjadi amarah. Namun ketika ingin benar-benar marah, ia malah berpikir ulang, takut jika apa yang dia pikirkan tidak benar dan suaminya memang sedang sibuk mengurus pekerjaan.
Kegelisahan hatinya itu hanya bisa ia lebur dengan air mata. Ibu mertuanya pun hanya bisa meyakinkan Janna jika tidak terjadi apa-apa dengan Bumi. Bahkan, Mama Feli mengutus Kirana pergi ke Jakarta untuk memastikan keadaan kakaknya agar Janna lega dan tidak overthinking.
Alhamdulillah, sebelum Kirana berangkat, Bumi sudah kembali ke Malang. Janna memastikan keadaan suaminya, mencari bekas luka dari kemungkinan buruk yang sedang dipikirkan. Tidak ada. Suaminya baik-baik saja, hanya matanya yang cekung dan sayu, terlihat lelah sekali kurang beristirahat.
Hari itu Janna tidak mau mendesak Bumi untuk menceritakan apa yang terjadi. Dia hanya bertanya sewajarnya, dijawab pun tidak terlalu panjang. Kemudian Janna biarkan suaminya untuk istriahat sementara ia lanjutkan bekerja.
"Kamu pasti kecewa karena aku nggak bisa antar Aba dan Mama ke Bandara minggu lalu. Aku minta maaf, ya, Sayang," ujar Bumi saat mereka sedang makan malam.
Janna mengangguk. "Mas udah temui Aba sama Mama di Jakarta, itu sebuah permintaan maaf terbaik menurutku."
Pria itu tersenyum hingga matanya menyipit. Namun, tidak memberi respon apapun.
Makan malam mereka menjadi sangat canggung karena minimnya pembicaraan. Jika biasanya Bumi yang selalu memulai pembicaraan, kini ganti Janna yang harus memulai agar komunikasi di antara mereka tetap berjalan.
Akan tetapi, Bumi hanya menjawab seadanya dan tidak ada pertanyaan balik. Situasi ini sangat sulit untuk Janna yang pada dasarnya punya sifat pendiam.
Usai makan malam, suaminya pergi ke kandang sugar glider sementara Janna membereskan meja makan. Sebelum mencuci piring, Janna ikut menghampiri Bumi yang mengajak Bi bermain di teras halaman belakang.
"Bi, bawel banget waktu kamu nggak ada, Mas. Kayanya dia enggak bisa lama-lama jauh dari kamu," ujar Janna. Ikut duduk di kursi rotan samping suaminya.
"Mm ... ya."
Senyum Janna memudar perlahan dengan jawaban singkat itu. Biasanya Bumi akan balik menggodanya, tetapi sekarang tidak.
"Kenapa kamu harus kembali seperti ini, Mas?" tanya Janna serius.
Pria itu menoleh dan balik bertanya, "Kenapa, Sayang?"
"Hari ini, Janna nggak bisa lihat suami Janna di dalam diri kamu. Sepertinya, suami Janna ketinggalan di suatu tempat."
Bumi terkekeh pelan. "Kamu aneh-aneh, aja, Humairah."
Sekalipun polesan senyum itu terlihat natural, Janna masih merasakan perbedaannya. "Apa suami Janna sedang sibuk dengan urusan pekerjaan, atau ... sedang sibuk dengan urusan yang lain?"
"Yang lain apa, Humairah." Bumi mengembalikan Bi ke dalam kandang kemudian jongkok di depan Janna, menggenggam kedua tangan wanita itu. "Maaf, ya. Aku kurang professional, sampai urusan pekerjaan kebawa ke rumah."
Janna mengangguk paham. "Janna memang nggak pintar dalam bisnis, Mas. Tapi, kalau kamu mau cerita, Janna siap jadi pendengar. Janna akan suka kalau Mas mau cerita sama Janna."
Pria itu menangkup pipi Janna dan berkata, "Aku akan coba selesaikan sendiri, ya, Sayang. Kamu tenang aja. InsyaAllah, aku nggak akan buat kamu kesusahan."
"Mas ...." Janna ganti menangkup pipi suaminya dan berkata, "Janna janji, Janna akan temani Mas Bumi ... dalam keadaan apapun. Jangan khawatir."
Bumi tersenyum lebar dan memberi kecupan di kening Janna. Kemudian ia berdiri, "Aku akan kerja sebentar, ya. Kalau kamu capek, tidur langsung saja. Biar piring kotornya aku yang cuci nanti."
Janna menggeleng. "Janna nggak capek, kok, Mas. Mas kerja, aja. Janna bikinin kopi."
"Makasih ya, Sayang."
Mereka berdua masuk ke dalam rumah. Bumi mengambil laptop di kamar dan pergi ke ruang tamu sementara janna membuat kopi untuk suaminya.
Ia berikan kopi buatannya di samping laptop Bumi tetapi tidak lekas pergi. Janna memilih duduk di sofa.
"Kenapa, Humairah?" tanya Bumi, pria itu tidak mengalihkan pandangan dari laptopnya.
"Janna penasaran dengan pembicaraan antara kamu dan papamu, Mas."
Jari telunjuk Bumi yang sedari tadi sibuk di atas mouse, berhenti ketika mendengar pertanyaan Janna.
"Apa papamu melakukan sesuatu ke kamu, Mas?" desak Janna lagi dan berhasil membuat Bumi menatapnya.
Namun, sorot mata Bumi terlihat tidak senang dengan pertanyaan itu. Manik mata itu begitu dingin dan mengintimidasi. Janna takut, sangat takut dan memilih untuk pergi.
Bumi tidak mengatakan satu kata pun. Akan tetapi, dadanya terasa ngilu dan sakit. Air mata pun jatuh menetes begitu saja. Janna alihkan perhatiannya dengan mengelap meja makan.
Nggak boleh kelihatan sedih, Na. Sepertinya suamimu sedang banyak masalah.
Janna menguatkan diri sendiri. Berdiri membelakangi Bumi agar sendunya tidak terlihat.
Saat ia setengah membungkuk untuk mencapai ujung Meja, tiba-tiba ia merasa sebuah dekapan di bagian perut dan satu tangan yang lain menempel di atas meja.
Ketika merasakan posisi itu dan melihat tangan di sampingnya membuat Janna reflek mendorong orang dibelakangnya sekeras mungkin. Ia meringkuk memeluk tubuhnya sendiri dan keadaan menjadi hening.
Janna mematung. Tidak ada amarah, tidak ada kepanikan, tidak ada ketakutan. Emosinya datar karena ada sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa Janna jelaskan.
"Sayang!"
Guncangan pada tubuhnya yang diiringi dengan suara yang khawatir itu menarik kewarasan Janna.
Bumi berdiri menatap khawatir dengan kedua tangan yang merengkuh bahu Janna. "Maaf ... aku bikin kamu kaget."
"Ah ... eh ... i-iya ...."
Janna masih linglung dan menggelengkan kepala sambil menepuknya pelan. Masih penasaran dengan apa yang terjadi padanya barusan.
"Humairah ...." Bumi menangkup wajah Janna.
"Ya, Mas?" balas Janna. Pria di depannya sudah menatapnya lembut seperti biasanya.
"Kenapa?" tanya Bumi, menarik kursi dan mendudukkan Janna di sana. Ia pun menarik kursi yang lain dan duduk berhadapan.
"Nggak tahu, Mas. Ngeblank aja, barusan. Kaya inget sesuatu, tapi enggak tahu apa."
Wajah Bumi jadi ikut bingung sekaligus penasaran.
"Marah, karena tiba-tiba aku peluk?" tanya Bumi memastikan.
Janna ragu untuk mengangguk atau menggeleng. Ia sendiri tidak tahu bagaimana kejalasan emosinya saat ini.
"Aku minta maaf, ya. Mungkin kamu kesinggung karena aku nggak jawab pertanyaan kamu tadi."
Kali ini Janna kembali merasa sedih karena teringat sikap Bumi sebelumnya.
"Maaf, ya ... Atmadja selalu bikin urusanku nggak baik-baik aja." Bumi memberi alasan.
"Maksudnya, Mas?" tanya Janna penasaran.
"Biasa ... dia menyerang perusahaanku untuk melampiaskan kemarahannya."
"Astaghfirullah! Jadi ... kesibukan kamu ini karena ulah papamu sendiri, Mas?"
Bumi mengangguk tenang. "InsyaAllah ... aku bisa atasi. Doakan ya, Sayang." Ia mengusap pipi istrinya dengan senyuman hambar.
Janna mengangguk cepat dan ganti menggenggam tangan suaminya. "Janna yakin, kamu pasti bisa, Mas. Janna ada di belakang kamu bersama doa."
"Makasih ya, Sayang." Bumi menarik Janna ke dalam pelukan.
Baru saja merasa lega karena mendapati suaminya kembali seperti semula, Janna kembali dibuat bingung karena pria tersebut ingin mencium kening tetapi urung dan hanya menyandarkan pipi di kepala Janna.
Janna tidak mau mempermasalahkan hal kecil itu dan menikmati pelukan hangat suaminya yang sudah seminggu tidak dirasakan. Hangat dan wanginya Bumi dengan sangat mudah menenangkannya.
***
Seperti biasanya, usai salat subuh, Bumi dan Janna selalu jogging keliling komplek. Kadang hanya sekali, dan tidak jarang juga lebih dari dua kali meski berakhir dengan jalan kaki.
Sejak kejadian semalam, suaminya tidak sedingin saat baru kembali ke rumah. Bumi sudah bersikap lembut meski Janna tidak mendapati jahilnya.
Karena hari minggu, mereka jadi lebih santai menikmati udara di luar rumah. Bahkan mereka menghabiskan waktu dengan menikmati bubur ayam yang ada di taman utama perumahan. Kenyang pun tidak langsung pulang, mereka berbincang di sana sampai matahari sudah tidak malu-malu menampakkan sinarnya.
"Jadi minggu ini jadwalnya ke Jakarta buat tanda tangan kontrak sama dua orang, terus sekalian presentasi sama kenalannya Kimmi," tutur Janna saat perjalanan pulang.
Ia sedang bercerita tentang perkembangan bisnis franchise-nya pada Bumi. Meski Janna yakin Bumi sudah tahu perkembangannya dari orang suruhan yang sengaja dititah untuk membantu Janna mengurus bisnis tersebut.
"Nggak apa 'kan, Mas? Janna pergi keluar kota?"
Bumi mengangguk. "Asal denganku," jawabnya.
"Emang Mas, bisa?" tanya Janna.
"Semua urusanku bisa diwakilkan Bisma, kecuali urusanku denganmu. Nggak ada yang bisa diwakili siapapun."
Janna menyebik dari balik cadar. Ia membetulkan kacamata seraya melirik suaminya. Pria itu membalas dengan senyum simpul sambil merangkulnya.
Ketika mereka belok di blok rumah, mereka melihat mobil sedang parkir di depan toko Janna.
"Ada yang mau ambil orderan?" tanya Bumi.
Janna menggeleng dan memastikan jika tidak ada orderan pagi. "Apa ada yang keselip, ya? Tapi setahu Janna orderan hari ini diambil nanti siang dan sore."
Ia pun setengah berlari menuju ke rumah. Tidak ada siapapun di depan pagar. Namun, Janna kaget bukan main ketika pria keluar dari dalam mobil. Bukan menghampirinya, tetapi ke Bumi yang masih berjalan beberapa langkah di belakang sana.
BUG!
Satu pukulan yang dapat ditangkis Bumi dan langsung membalas adik tirinya itu. Namun, dalam tempo yang sangat cepat, Bumi kembali mendapat tinjuan di perut.
"MAS!" teriak Janna ingin menolong tetapi Bumi mengangkat tangan agar menjaga jarak.
Umpatan dan sumpah serapah keluar dari kedua mulut kakak beradik itu seiring dengan balas pukulan.
"Gata, berhenti! Kamu bisa ngomong baik-baik!" seru Janna.
Tidak ada respon. Kedua pria itu sibuk beradu fisik, berguling di tanah, tumpang tindih bergantian melayangkan tinjuan.
Janna tidak mau itu berkelanjutan dan segera masuk ke rumah, mengambil ponsel dan segera menelepon satpam.
Saat Janna kembali keluar, Bumi sekarang berada di bawah dan Gata menghujaninya dengan pukulan.
"MAS BUMI!" teriak Janna sekencang-kencangnya karena darah sudah memenuhi hampir sebagian wajah Bumi.
Satpam jelas butuh waktu untuk datang dan Janna tidak bisa membiarkan suaminya dihajar begitu saja. Sedangkan Bumi sama sekali tidak melakukan perlawanan.
Diambillah kursi yang ada di halaman toko dan langsung Janna pukulkan di punggung Gata yang kesetanan menghajar saudara tirinya.
Pria itu jatuh menindih Bumi, membuat tangan Janna gemetar dan kaget karena dia baru saja melukai seseorang.
Beruntung pria itu masih kembali menegakkan badan meski sempoyongan. Janna langsung mendorong tubuh Gata hingga ambruk tak jauh dari Bumi.
Tangan Janna bergetar menepuk pipi suaminya. "Mas ... Mas ... Jangan merem .... Buka mata kamu ...." Ia terisak ketakutan.
"Jangan khawatirin dia, Na. Dia pantas dapat itu ...."
Janna mengabaikan ucapan Gata dan hanya menoleh ka kanan dan kiri berharap ada seseorang yang lewat atau satpam segera datang.
"Mas ... Mas ... bangun ... jangan bikin Janna khawatir."
"Astaghfirullah, Bumi!" seruan Mama Feli mengagetkan Janna. "Ada apa ini, Janna? Kenapa suamimu!"
Janna hanya menggeleng sementara Mama Feli mencoba membangunkan putranya.
"Abang, kenapa selalu bikin masalah, sih!" seru Kirana.
Gata berusaha duduk dan berkata, "Dia pernah lakuin hal yang sama ke Abang karena udah nyakitin cewek yang dia suka. Sekarang, Abang pun punya alasan yang sama buat ngehajar dia!"
"Ta! Aku bilang kita udah selesai! Udah selesai! Kenapa masih diterusin? Kamu mau buat aku sebenci apa sama kamu!" teriak Janna murka.
"Bukan aku yang harusnya kamu benci, Na! Tapi si Bangsat itu!" balas Gata tidak kalah keras.
Janna tidak bisa membalas lagi karena dua orang satpam datang dan langsung mencari tahu apa yang terjadi. Saat salah seorang satpam akan memeriksa Bumi, tetapi Mama Feli mencegahnya.
"Mas! Di tangan, ada luka terbuka?" tanya Mama Feli dan mendapat gelengan satpam.
"Tidak ada, Bu." Satpam itu menunjukkan tangannya pada Mama Feli. "Kenapa ya, Bu?"
"Anak saya seorang ODHIV, Jadi tolong hati-hati dengan darahnya."
Janna menoleh kaget. Selama ini, ia tidak tahu jika suaminya seorang ODHIV. Sejak kapan?
"Yon! Telepon ambulans rumah sakit, Yon! Detak jantungnya melemah!"
Rasa penasaran Janna menguar ketika mendengar ucapan satpam itu. Ia berubah panik dan melempar Gata dengan sepatunya.
"Kalau sampai Mas Bumi kenapa-kenapa, aku akan benci kamu seumur hidup dan nggak akan maafin kamu, Ta!" teriak Janna sekuat tenaga.
"Kamu nggak pantas benci aku, Na! Dia! Dia yang harusnya kamu benci! Kamu mencintai orang yang salah, Na!"
"DIAM! JANGAN BICARA LAGI! PERGI DARI SINI!" amuk Janna. Ia menatap satpam dan meminta, "Tolong bawa orang itu pergi. Bawa dia ke kantor polisi! Amankan dia! Dia nggak boleh keluar dari penjara! Dia sudah banyak berbuat dosa pada saya dan terus-terusan meneror saya, Pak! Saya akan utus pengacara untuk mewakili saya!"
"Aku nggak pernah berbuat dosa sama kamu, Na! Aku nggak pernah salah! Bumi yang udah nidurin kamu malam itu!"
Amukan Janna lenyap seketika. Ia mengernyit, otaknya sedang memutar ulang apa yang dikatakan Gata barusan.
"Bukan aku orang yang harusnya kamu benci ... tapi Bumi. Laki-laki yang kamu cintai itu yang harusnya kamu benci, Na." Gata bicara lebih tenang dan itu sangat jelas terbaca oleh Janna.
"Jaga mulut kamu, Gata! Jangan menghalalkan segala cara buat dapetin Janna!" seru Mama Feli.
"Tante udah lihat rekamannya secara utuh?" tanya Gata. "Tante udah lihat kapan aku pergi dan siapa yang datang setelahku?"
Janna masih tidak bisa menerima ini begitu saja. Otaknya tidak bisa diajak berpikir jernih.
Bukan ... bukan seperti ini yang ingin didengar. Bukan. Ini bukan waktunya menanggapi omongan Gata.
Β
Β
Β
Β
Β
Β
Β
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi π₯°
