
Bab 42
Suara kor jangkrik dan dengkak katak menyambut Janna ketika bangun dari tidur. Matanya terbuka perlahan, pemandangan pertama yang Janna lihat adalah leher dan bagian dada bidang yang sedikit terbuka.
Tidak ada kaget maupun berontak. Janna justru sedang bangga pada dirinya sendiri. Semalam, ia tidur dengan nyenyak tanpa bantuan obat. Bangun tidur pun kepala tidak berat. Ringan dan sangat tenang.
Janna mundur sejengkal dan menatap pria yang masih terlelap memeluknya. Kemudian menangkup pipi pria tersebut, mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Sepertinya Janna sudah tidak membutuhkan obat kimia lagi, karena ia sudah menemukan yang alami.
"Makasih ya, Mas," bisik Janna .
Entah mendapatkan keberanian dari mana, Janna mampu mendaratkan sebuah kecupan di bibir Bumi. Herannya tidak singkat, itu cukup lama dan debaran di dada bukan lagi berasal dari ketakutannya.
"Humairahku, udah berani?" ujar Bumi usai Janna mengakhiri pelekatan bibirnya.
"Janna sendiri nggak tahu bisa kayak gini." Ia menutup wajah suaminya dengan bantal, kemudian duduk untuk merapikan bathrobe yang sedikit berantakan.
"Alhamdulillah. Makin hari, makin banyak kemajuan. Apalagi, kayaknya malam ini kamu tidur nyeyak. Mau tidur tadi juga nggak susah. Padahal nggak pakai obat," tutur Bumi dari balik bantal. Janna yang sudah selesai langsung mengambil benda itu lagi.
"MasyaAllah cantiknya, Humairahku," puji pria tersebut saat Janna sedang membawa rambutnya ke bagian depan untuk di sisir dengan tangan.
Janna hanya bisa mengulum senyum sambil memberikan cubitan. Namun pria itu tidak berhenti menggoda dan justru malah berani menggelitik Janna.
Awalnya, tindakan itu menyulut emosi Janna. Namun, dengan mudah dikendalikan dan Janna hanya memberikan tepisan-tepisan ringan.
Kini ia mulai paham, ada reflek penolakan yang dia lakukan ketika Bumi menyentuh beberapa bagian tubuhnya. Sepertinya ini tentang penyesuaian. Iya yakin, lambat laun ini akan teratasi. Pasti.
***
Karena baju laundryan mereka masih akan diantar jam delapan nanti, Janna dan Bumi memutuskan untuk stay di sarapan di kamar. Sebenarnya mereka bisa meminta bantuan Kirana untuk mengantar baju ganti juga obat Janna. Namun, baik Janna maupun Bumi sama-sama tidak menyarankan itu.
"Tadinya aku mau bikin pikiran dan hatimu penuh denganku. Tapi, sepertinya kebalik. Justru aku yang penuh sama kamu," ujar Bumi sambil mengunyah potongan melon usai menyantap bubur ayam.
Janna mengulas senyum hambar. "Akhir-akhir ini Janna lagi bingung karena Bu Sri bilang kalau lebih baik aku berhenti membenci adikmu, Mas."
"Apa menurutmu itu nggak baik buat kamu?" tanya Bumi.
Janna justru mengembuskan napas berat. "Janna tahu itu baik buat Janna, tapi ... rasanya masih berat buat berhenti membenci."
"Jadi kamu akan mempertahankan dia dalam pikiranmu?" Bumi meletakkan garpu buahnya di piring dan menatap istrinya.
"Mas ... Janna nggak kaya gitu." Janna merengek. "Lagian, kamu pernah bilang kalau nggak semua hal bisa dipaksakan, 'kan?"
"Nggak semua hal, berarti ada beberapa yang lain, 'kan? Itu artinya, saat ini kamu ada di bagian yang harus dipaksakan."
Bumi menggenggam tangan Janna yang masih memegang garpu. "Bukannya ini sudah terlalu lama, Sayang? Delapan tahun, kamu habiskan untuk membenci seseorang dan berdampak buruk ke diri sendiri. Atau kamu mau jadi pasangan seumur hidup dengan rasa takut dan cemasmu?"
Janna menggeleng cepat.
"Kamu butuh keberanian buat menyelesaikan semuanya, Humairah. Kamu sudah belajar banyak dari luka-lukamu. Kamu sudah sangat hebat untuk melepas beban utamamu. Percayalah, kamu sekuat itu, Sayang."
"Gimana caranya? Itu yang Janna bingung, Mas."
"Jangan menghindar, tapi hadapi."
Janna menelan ludah. Solusi dari suaminya tidak jauh beda dengan psikolognya. Apa itu artinya Janna benar-benar harus menghadapi semuanya. Termasuk ... Gata?
***
Hari ini keluarga Janna dan Bumi pergi untuk jalan-jalan ke salah satu kebun binatang modern dekat tidak jauh dari resort dan terakhir pergi ke salah satu pemandian air hangat alami untuk relaksasi Abati dan Mama Feli.
Karena tidak ikut masuk ke dalam kolam air panas, Janna menunggu di salah satu bangku. Untuk membunuh bosan, Janna putuskan pergi jalan-jalan ke sekitar. Ada warung gorengan yang rasanya cocok sekali dengan hawa dingin tempat tersebut. Sayangnya, ia harus menunggu untuk mendapat gorengan.
Janna putuskan untuk menunggu di seberang warung. Terdapat beberapa bangku kosong di sana. Janna duduk menghadap aliran anak sungai bening yang mengepulkan asap.
Belum lama ia duduk, ada seseorang yang menempati bangku besi di sebelahnya. Janna tidak berniat menoleh. Sedikit pun, tidak. Namun, ia tahu siapa yang sedang duduk di sana.
Tangannya mencengkeram tepian bangku. Berusaha sangat keras untuk bertahan meski air mata sudah berjatuhan.
"Kenapa harus Bumi, Na?"
Janna tertunduk, ia berusaha mengendalikan emosi ketika apa yang dia anggap halusinasi justru adalah sebuah realita. Perasaan sedang diawasi itu nyata. Pria itu kini duduk tidak jauh darinya.
"Banyak orang di dunia ini yang bisa kamu pilih, kenapa harus Bumi? Bukankah aku udah pernah ingetin kamu?"
"Kenapa enggak?" Janna gemetar menjawab pertanyaan Gata.
Gata tidak menanggapi dan Janna ingin beranjak tetapi pria itu menahan.
"Aku ingin menagih janjimu, dulu."
Janna mengernyit heran dan memicing pada Gata.
"Aku udah sehat, Na. Aku udah lepas dari barang-barang itu dan aku ikut terapi ARV. Aku udah sehat, karena itu aku berani datangi kamu. Kamu akan mempertimbangkan perasaanku sekarang."
Ya, dulu Janna sering mengatakan itu karena peduli dengan kesehatan Gata yang terlibat obat-obatan terlarang. Itu bagian dari bentuk motivasi Janna pada Gata. Sekalipun tidak punya perasaan, tapi itu adalah bentuk balas kebaikan yang pria itu berikan padanya.
"Kamu telat, kamu tahu aku sudah nggak bisa pilih kamu. Sekalipun bisa, aku tetap nggak akan pilih kamu," ujar Janna. Ia memalingkan wajah. Jika bisa, ingin segera pergi. Situasinya sangat menyiksa.
"Aku nggak mau nyerah, Na. Cintaku tulus ke kamu."
Kalimat itu menusuk telinga hingga ke dada. "Cinta?" Janna mengulang kalimat itu dan menatap marah. "Cinta nggak akan menyakiti, Ta. Kamu nggak tau, Ta. Selama delapan tahun kamu menyiksaku. Kamu bikin aku hidup dalam kematian. Kamu nggak tahu itu dan yang kamu pikirin cuma cintamu."
Bongkahan kepiluan yang Janna pendam selama ini tiba-tiba luruh bersama air mata. Apa yang selama ini terkubur, akhirnya bisa ia buka meski dengan gemetar hebat.
"Aku minta maaf, Na. Aku minta maaf. Aku minta maaf."
Janna membuang muka meski tahu jika maaf yang terucap itu tulus dan sesal tergambar jelas pada mata dan raut wajah Gata.
"Aku menyesali kebodohanku, Na. Aku pun tersiksa dengan rasa bersalahku. Aku ingin memperbaikinya ... aku ingin bertanggung jawab."
"Tanggung jawab kaya apa yang kamu maksud?" Janna menatap nanar pria yang sedang memandangnya sendu.
"Aku yang melakukannya, aku yang harus bertanggung jawab. Bukan orang lain, Na!" tegas Gata.
Janna menggeleng pelan dengan mata terpejam. Ia menunduk ketika ada seseorang akan lewat di belakang tempat duduknya. Setelah memastikan tidak ada orang di dekatnya, Janna kembali menatap Gata. Kali ini, bisa lebih tenang.
"Cobalah buat nggak egois, Ta. Berhentilah terobsesi. Kamu sudah menyakiti seorang anak dan kedua orang tuanya."
"Aku mencintaimu, Na."
"Cintamu mengerikan, Ta. Cintamu bikin banyak orang terluka, termasuk kakakmu sendiri. Dia harus menanggung beban atas apa yang kamu lakuin. Dia ... selama ini berusaha membuatku pulih dari luka-luka yang kamu sebabkan."
"Karena itu, biarkan aku bertanggung jawab. Biarkan aku yang mendampingimu, memulihkanmu!" paksa Gata. Ia masih mengontrol emosi agar tidak menarik perhatian beberapa orang yang sedang menunggu di warung gorengan.
"Apa kamu nggak punya sedikit keinginan ... buat tanya ... pertanggungjawaban apa yang kumau?" tanya Janna. Napasnya mulai pendek dan berat. Meski tenang, tapi melawan takut dan kecemasannya tidak segampang yang dibayangkan.
Pria yang sudah duduk berjarak kurang dari dua meter itu diam. Ada keresahan di matanya.
"Kamu pengecut, Gata."
"Ya, aku akui itu. Aku seorang pengecut dan pecundang yang berharap mendapatkan satu-satunya yang kuinginkan di dunia ini."
"Bertanggungjawablah dengan menyerah atas obsesimu padaku. Kumohon. Aku lelah dengan ini dan aku ingin menyudahinya," pinta Janna penuh harap.
Gata menolak permintaan itu dengan gelengan dan tatapan pilu.
"Aku sudah bahagia dengan Mas Bumi. Dia benar-benar menjadi pelengkapku dan pelindungku. Cuma dia yang aku butuhkan, Ta. Nggak ada yang lain, termasuk kamu."
Pria itu memejamkan mata dan mendongak ke atas dengan mengusap wajah. Ia kembali menatap Janna usai mengembuskan napas kasar.
"Kenapa harus Bumi yang dijadikan pilihan. Kenapa harus dia yang selalu menang. Kenapa harus dia yang selalu mendapat perhatian!" geram Gata menggertak tanah.
"Kamu udah jadi luka buatku, dan jangan bikin aku makin terluka dengan keinginanmu memilikiku. Rasamu padaku bukan cinta, Ta. Itu hanya bahan bakar yang kamu gunakan untuk kasih makan egomu. Kamu ingin menyakiti kakakmu, kamu ingin buktikan sesuatu ke papimu. Kamu hanya butuh pengakuan."
"Na—"
"Atas nama, Biya!"
Panggilan dari penjual gorengan seperti angin segar buat Janna. Pembicaraannya dengan Gata berakhir juga.
Ia usap bekas air mata dan memasang kembali kacamata lalu berdiri. Ternyata tidak mudah, kakinya seperti tidak bertulang. Lemas, sulit ditegakkan.
"Atas nama, Biya! Di mana, ya!"
Janna mengangkat tangan dan membalas, "Sebentar, Mas!"
Karena sahutan itu Janna mendapat kekuatan lagi dan bisa berdiri. Kepala sangat pening dan berputar-putar. Janna berusaha kuat agar tidak pingsan. Jika dia tidak sadarkan diri, salah seorang yang akan menolongnya adalah Gata.
Janna mengambil gorengan dan beranjak kembali ke tempat dimana ia menunggu keluarganya tadi. Saat itulah, Janna menyadari keberadaan seseorang sedang duduk di salah satu bangku tak jauh dari tempatnya berdiri.
Bumi, pria itu duduk menyilangkan kaki dan melipat tangan di dada, memperhatikan ke arah Janna dengan senyuman lebar.
Jadi ... sedari tadi dia di sana? Batin Janna.
"Kita belum selesai, Na," ujar Gata menghampiri Janna.
Reflek Janna menjauh dan menjaga jarak. Ia melihat suaminya berdiri dan berjalan menghampirinya.
"Udah selesai, Ta. Ini sudah berakhir. Pilihanku tetap akan jatuh ke pria itu." Janna menatap pria berkaus putih dan celana pendek hitam yang sudah semakin dekat dengannya.
"Suamiku, datang. Aku akan pergi dengannya."
Gata tidak lagi menatap Janna, padangannya sedang bertemu dengan Bumi. Tidak ada pembicaraan apapun di antara kedua saudara tiri itu.
"Udah selesai, Sayang?" tanya Bumi pada Janna.
"Sudah, Mas. Sudah ...." Janna mengangguk lemas.
Kemudian Bumi merangkulnya dan mengajaknya pergi. Sebuah kecupan bisa Janna rasakan di ujung kepala. Janna bersandar pada suaminya, tidak peduli tubuh pria itu basah.
"Janna udah selesai, Mas," ucap Janna lirih.
"Alhamdulillah, Sayang. Kamu udah buktikan kalau kamu memang sekuat itu."
"Iya ... Mas. Janna bisa."
"Gimana perasaannya sekarang?"
"Lemas. Janna hampir kehabisan tenaga."
Bumi mempererat dekapannya di bahu Janna. "Kita ke mobil, ya. Kamu istirahat dulu di sana, biar orang tua kita nggak khawatir."
Janna mengangguk. Ia pikir akan dipapah tetapi ternyata pria itu mengangkat tubuhnya dan digendong. Janna sudah tidak punya kekuatan lagi untuk melayangkan protes. Ia besandar di bahu suaminya dan tidak sadar lagi.
***
Bersyukur Janna tidak terlalu lama pingsan. Saat keluarganya kembali ke mobil, ia sudah sadarkan diri. Mereka menganggap Janna kecapekan, itu dalih yang Bumi katakan pada orang tua mereka.
Mereka kembali ketika matahari condong ke arah barat. Perjalanan menuju resort memakan waktu yang lumayan. Menjalankan salat Magrib pun harus mampir ke masjid.
Setibanya di resort, mereka pergi untuk makan malam terlebih dahulu di restoran sebelum pergi ke kamar. Namun, salah seorang tamu di restoran resort membuat Janna kaget.
Beberapa ada yang Janna kenal. Aeri dan pria paruh baya dengan setelan rapi, menatap tajam ke arah mereka. Lebih tepatnya, ke arah Bumi dan bergantian dengan Janna.
"Mas Atma?"
Janna bisa mendengar bagaimana ibu mertuanya bergumam melihat mantan suaminya di sana. Ya, benar. Janna tidak salah lihat. Ayah dari suaminya sedang duduk bersama beberapa orang.
Atmadja. Pria itu hadir di sana, lalu apa yang akan terjadi antara ayah dan anak ini?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
