Bumijanna - 27

160
14
Deskripsi

Bab 27

Sambil terengah-engah dari lari kecil yang sudah hampir setengah jam, mulut Bumi menirukan lagu yang ia dengar dari airpods-nya. Jika biasanya ia akan lari keliling komplek usai salat Subuh, kali ini hanya bisa berlari di atas treadmill gym yang di sediakan hotel tempatnya menginap.

Tit tit tit ...

Samar-samar terdengar tombol treadmill di sampingnya berbunyi, tetapi tidak sedikitpun ia tertarik untuk melihat.

"Gue denger, Tuan Norio dan Aeri ada di Jakarta dari kemarin."

Bumi malas memberi tanggapan dari saudara tirinya.

"Bokap tahu kalau lo ada di Jakarta. Siang ini, dia mau ajak kita makan siang bareng," imbuh Gata.

"Ok!"

Gata mendengkus kaget mendengar jawaban Bumi. "Tumben jinak banget?"

Bumi menurunkan tempo larinya sampai nol kemudian turun dan pergi sambil mendendangkan salah satu lagu favoritnya yang belum habis. Namun keasyikannya itu dibuyarkan oleh Gata yang menghadangnya.

"Ada urusan apa lo di Jakarta?"

"Cuma mau ngecek liang kubur seseorang, udah siap apa belum," jawabnya masih terus berjalan menghindari Gata.

"Sebejat dan seanjing apapun, dia tetep bokap lo." Gata mengikuti langkah Bumi. "Dia nyiapin segalanya buat lo. Dia peduli sama lo. Udah watak dia kayak gitu, ngapain lo pusingin, sih!"

Kali ini Bumi menghentikan langkahnya dan menatap Gata. Dengan tegas ia berkata, "Kalau lo mau apa yang dia kasih ke gue, ambil! Gue kasih semuanya ke lo! Perusahaan? Nama besar? Warisan? Gue kasih! Gue nggak butuh satu hal pun dari dia."

Sorot mata Gata berubah sayu dengan alis sedikit turun. Sudut bibirnya sedikit melebar. "Gue yang tinggal serumah, tapi cuma lo yang dipeduliin," dengusnya pelan. "Actually, I'm okay. Gue juga nggak butuh harta ataupun pengakuan dia. Yang gue butuh cuma ... Janna. Kebahagiaan gue."

"Mulut lo nggak pantas sebut nama itu." Bumi mengingatkan dengan menahan geram.

"Oya?" Gata mendengkus dengan tawa meledek. Kemudian mendekati Bumi dan berkata, "Bokap udah kasih restu gue nikah sama siapapun pilihan gue. Termasuk, Janna. Menurut gue, itu jauh lebih baik dibanding dapat kekayaan dia."

"Lo terlalu pede bisa dapetin dia."

"Dia milik gue sejak awal."

"Lo nyakitin dia."

"Itu di luar kendali gue. Gue mabok dan gue ngelakuin itu karena cinta."

Tangan Bumi mengepal keras hingga gurat ototnya terlihat jelas. Giginya pun ikut mengerat. Mencoba untuk menahan diri, dia mendekati adik tirinya itu dan berkata, "Lo cuma bajingan di mata dia."

"Dia harus tahu gue yang sekarang. Gue akan cari dia dan tagih janji dia ke gue. Bokap udah kasih restu, jelas pencarian gue bakal lebih mudah." Gata menyeringai dengan mengerling.

"Lo–"

Baru saja Bumi akan menarik kerah kaus polo Gata, ia mendapati sebuah getar dari ponsel di saku. Ia dorong Gata menjauh dan meraih ponsel, takut jika Mama membutuhkan sesuatu di kamar. Ternyata, itu pesan dari orang bayarannya.

Bumi hanya melihat dari jendela notifikasi kemudian menutupnya

Bumi hanya melihat dari jendela notifikasi kemudian menutupnya. Ia beranjak pergi seraya berkata pada Gata, "Kita ketemu lagi nanti siang!" ujarnya.

Ia meninggalkan Gata dan pergi menuju lift untuk kembali ke kamar. Pesan itu membuat perasaannya memburuk.

Bagaimana lagi cara membujuk Janna untuk menikah, sedangkan Gata punya niat yang sama. Bedanya, saudara tirinya itu mendapat restu Atmadja. Jika Janna menolak, jelas akan berakibat buruk pada wanita tersebut dan keluarganya.

Karena itu, Janna harus menikah dengannya. Atmadja akan berpikir dua kali untuk melukai orang-orang yang terikat dengan Bumi.

***

Usai melaksanakan salat Zuhur, Bumi dan Mama menuju ke sebuah restoran yang letaknya tidak jauh dari hotel tempat mereka menginap. Ia tidak mau membuat Atmadja mencari tahu alasan sebenarnya berkunjung ke Jakarta. Yang pria itu tahu, mantan istrinya sedang melakukan kontrol rutin.

"Rasanya sulit sekali menemuimu dibanding bertemu dengan Tuan Atmadja, Bumi."

Pria yang tidak terlalu tinggi dan bertubuh gemuk menjadi orang pertama yang menyapa Bumi saat masuk ke sebuah ruang makan salah satu restoran bintang lima. Bola matanya hampir tidak terlihat karena tulang pipi yang terdorong oleh senyum yang mengembang lebar.

Dia adalah Norio. Seorang keturunan Jepang yang salah satu perusahaannya di Indonesia bekerjasama dengan Atmadja. Pria yang berusia lebih dari setengah abad itu mempunyai tiga orang putra dan seorang putri bungsu bernama Aeri. Berusia 28 tahun, setahun lebih muda dari Bumi.

Sejak kecil Aeri berada di Indonesia. Dia seorang piatu tetapi sangat keibuan dari kecil. Mandiri dan cerdas. Pembawaannya tenang dan sangat sopan. Mungkin karena itulah alasan kenapa Atmadja ingin menjadikannya istri dari putra pertamanya.

"Maaf karena saya tinggal jauh dari Ibu Kota, sulit untuk kita bisa sering berjumpa," sahut Bumi sambil bersalaman dengan pria tersebut.

"Yaah, wajar sekali. Di usia muda, bisnismu sudah settle. Kamu cuma tinggal diam menikmati jerih payahmu sambil merawat Nyonya Feli." Binar pada mata yang tidak terlalu lebar itu terlihat sangat kagum.

Kemudian Bumi duduk di tempat yang pelayan tunjukkan. Tidak lupa ia menarik kursi untuk Mama meskipun ada pelayan di sana.

Meja itu bulat dan cukup besar, semua orang di sana bisa bertatap muka antara satu dengan lainnya. Tante Gista dan Gata juga ada di sana. Kirana, dia paling susah untuk diajak bertemu dengan Atmadja. Bedanya, pria tua itu tidak akan memaksa putri satu-satunya itu. Beda halnya dengan Bumi yang masih akan dipaksa dengan kekerasan.

Obrolan awal saat mulai makan siang hanya seputar basa-basi. Baru ketika sampai di hidangan penutup, Atmadja bertanya pada wanita berambut hitam panjang lurus dengan mini dress putih membalut tubuhnya yang sintal.

"Jadi kapan nama kamu akan bergabung di kartu keluargaku, Aeri?"

Bumi berdecak pelan, meneguk sisa air dalam gelas dan menunggu jawaban wanita muda di depan sana tanpa melihatnya.

"Saya tidak akan bisa masuk tanpa undangan resmi, Tuan Atmadja. Saya sedang menunggu undangan khusus itu datang," jawab Aeri dengan tenang.

"Bumi ... Aeri sedang menunggu undanganmu."

Bumi menegakkan pandangan dan menatap Atmadja lalu berkata, "Aku lagi buat undangan."

"Aku akan menunggu undangan buatanmu itu datang, Bumi," Norio tersenyum sumringah.

Bumi juga menatap Aeri yang tersipu malu mendengar jawabannya. Namun ia tidak memberi jawaban dan Atmadja yang memberi tanggapan dari ucapan Norio.

Di sela-sela perbincangan itu, Bumi merasakan getar dari ponsel yang ada di saku. Ia ambil dan melihatnya.

 Ia ambil dan melihatnya

Deg!

Terbelalak Bumi mendapat pesan itu. Ia menatap saudara tirinya dengan menahan geram. Gata tidak tahu, sibuk menghabiskan hidangan penutup.

Bumi sengaja membayar beberapa tetangga Janna selama delapan tahun untuk mengawasi dan memantau jika saja wanita tersebut pulang. Sekaligus, menjaga jika Gata datang mencari tahu juga.

"Kenapa, Nak?" bisik Mama.

"Bumi harus keluar dulu, Ma." Bumi menunjukkan layar ponsel pada Mama dari balik meja.

Mama seakan paham, ia mengerjap seakan memberi isyarat agar Bumi bersabar.

Diam-diam Mama merogoh tasnya dan memberikan sebuah cup kecil tempat obat sekali minum pada Bumi.

"Nak ... bisa tolong ambilkan obat Mama di mobil. Mama lupa bawa," ujar Mama pada Bumi.

"Kenapa kau bisa ceroboh seperti itu, Feli! Apa aku harus menyewa perawat pribadi untukmu?" sahut Atmadja.

"Enggak, Mas Nggak perlu."

Bumi mengabaikan pembicaraan antara Atmadja dan Mama. Ia pamit pada tamunya untuk keluar sebentar.

Setelah memastikan tidak ada yang mengikuti ketika keluar ruangan, Bumi ingin menghubungi Janna. Ia tidak pernah meminta nomor langsung kepada Janna, tetapi ia mengambil nomor itu dari ponsel Kirana secara diam-diam.

Belum sempat ia menekan fitur panggil, terdapat satu pesan masuk di chat room-nya.

Usai Bumi mengirimkan pesan pada Janna, ia memberi jeda sebelum kembali ke restoran

Usai Bumi mengirimkan pesan pada Janna, ia memberi jeda sebelum kembali ke restoran. Ia lanjutkan makan siang itu dengan menahan sabar.

Hampir satu jam setelah Bumi kembali, asisten Norio mengingatkan untuk segera bersiap dengan jadwal selanjutnya. Bumi mengantar pria itu dan juga Atmadja sampai di depan lobi.

"Pulanglah ke rumah. Kau juga harus tidur di sana," ujar Atmadja sebelum masuk ke dalam mobil.

"Aku nggak bisa tinggalin Mama sendiri," jawab Bumi tak acuh.

"Kalian bisa menginap di sana."

"Mama sudah bukan mahram Anda, Tuan Atmadja. Tidak pantas untuknya masuk ke sana," dalih Bumi.

"Kami juga akan segera kembali ke Malang, Mas. Kasihan Kirana kalau ditinggal lama-lama," imbuh Mama.

Atmadja tidak memberi tanggapan lagi. Sopir membantu menutup pintu.

Ketika akan bersalaman dengan Tante Gista, Bumi berbisik, "Tante, aku pinjam rumanya siang ini. Tolong pastikan nggak ada yang datang ke sana."

Tante Gista sedikit kaget, tetapi lekas menyamarkan wajah. Hanya mengerjap sebagai tanda mengerti.

"Kalau kalian akan segera pulang, sepertinya kita harus adakan makan malam dulu," ujar Tante Gista sambil bersalaman dengan Mama.

Tidak banyak basa basi, Tante Gista masuk ke dalam mobil. Gata yang tadi menjaga jarak kemudian mendekati Bumi.

"Sikap lo bener-bener bikin gue penasaran. Apalagi, habis lo ngusir gue gitu aja dari Malang."

"Istirahat lo udah habis satu jam lalu. Jangan kasih contoh buruk sama karyawan lo dengan korupsi jam." Bumi menunjukkan jam di tangannya pada Gata kemudian merangkul Mama untuk beranjak pergi.

"Tante pergi dulu ya, Gata." Mama pamit dan Gata mencium tangannya.

"Sehat-sehat ya, Tante," ujar Gata sambil memberi pelukan singkat.

"Kamu juga. Hati-hati di jalan, ya!"

Gata mengangguk dengan senyuman lebar. Kemudian Bumi mengajak Mama untuk pergi ke basement menggunakan lift. Sedangkan mobil Gata menjemput di depan lobi.

"Ada apa, Nak? Apa yang sedang terjadi?" tanya Mama segera.

"Mama masih kuat kalau ketemu Janna sekarang? Capek, nggak?" Bumi bali bertanya.

Mama mengangguk dengan mengerjap yakin. "InsyaAllah, Mama kuat, Nak. Kamu mau ke rumah Janna?"

"Bumi Janji ketemu sama dia di rumah Tante Gista."

"Ada apa? Kok sampai kamu ajak Janna ke rumah Tante Gista?"

"Hari ini Gata udah ngunjungi rumah Pak Yasir dua kali, Ma. Janna lagi nggak baik-baik aja sekarang," tutur Bumi sambil menggandeng Mama berjalan.

"Astaghfirullah! Iya, Nak. Iya .... Kita harus temui Janna."

***

Siang itu jalanan tidak terlalu padat. Mobil yang Bumi kendarai melaju lancar menjejaki aspal jalan poros Ibu Kota. Tidak jarang ia mengamati spion dalam untuk memastikan apakah ada yang membuntuti atau tidak.

Rumah yang dipilih Bumi untuk bertemu dengan Janna adalah rumah Tante Gista. Menurutnya, itu adalah satu-satunya tempat yang aman. Kalaupun ada yang mengikuti, mereka tidak akan menaruh curiga karena Mama dan Tante Gista cukup dekat.

"Tamunya di halaman samping, Den! Itu ... Mbaknya ... kaya ketakutan dan nangis terus. Dikasih minum nggak mau. Cuma duduk sama mondar mandir gelisah di sana," ujar ART yang menyambut Bumi saat turun dari mobil.

Bumi bergegas menuju halaman samping bersama Mama.

"Janna!" panggil Bumi ketika melihat wanita yang sedang berdiri di bawah pohon palem.

Wanita itu menoleh. Dari balik kacamata, tergambar kecemasan di netranya. "Bumi!"

Janna berlari menghampirinya.

"Apa yang terjadi, Nak!" seru Mama khawatir.

Wanita itu masih menyempatkan mencium tangan Mama tetapi lekas dipeluk. Tumpahlah air mata di sana.

Bumi membiarkan Janna menumpahkan emosi di bahu Mama.

Setelah terlihat lebih tenang, Bumi mengajak Janna untuk duduk di sofa yang ada di dekat mereka. Mama duduk di samping Janna dan masih mencoba memberi kenyamanan. Bumi mengambil air minum dan meminta dua orang ART agar meninggalkan rumah sampai ia beri perintah untuk kembali.

"Minum dulu, Na."

Janna mengambil gelas itu tetapi tidak lekas meneguknya. Bumi sadar, mungkin wanita itu harus menyingkap cadar untuk minum. Ia kemudian memutar badan dan pergi ke ruangan lain. Sampai terdengar gelas diletakkan di meja, ia kembali dan duduk di sofa yang terpisah dengan Janna.

"Aku minta maaf datang dan merepotkan kalian seperti ini. Tapi ... tapi ... aku sangat ketakutan. Aku benar-benar takut. Aku takut ... dia menemukanku!" ujar Janna dengan air mata yang bercucuran lagi.

"Pelan-pelan, Nak. Pelan pelan ... ceritakan apa yang terjadi. Kami akan sabar menunggu ceritamu."

Janna memejamkan mata. Untuk beberapa saat Bumi dan Mama menunggu wanita itu sampai tenang lagi.

Saat mata Janna terbuka, pandangannya lurus menatap Bumi. "Boleh kutanyakan sesuatu, Bumi?" tanyanya.

Bumi memberi anggukan. "Ya, tanyakan."

"Apa ... menurutmu ... aku terbaik buatmu?"

"Ya."

"Bisakah kamu menjawab seperti itu setelah aku katakan hal buruk tentangku?"

Bumi mengerjap dan mengangguk meski sebenarnya tidak tega mendengar apa yang akan diucapkan Janna.

"Bu Feli ... saya tidak sebaik penampilan saya."

"Nggak ada orang yang benar-benar sempurna di dunia ini, Nak." Mama mengusap punggung Janna.

Bumi mengangguk setuju dengan ucapan Mama.

"Saya tidak mau bercerita tentang ini. Tapi, saya harus mengatakannya karena butuh pertolongan kalian."

"InsyaAllah, Nak."

Wanita itu diam untuk beberapa saat. Tangannya saling meremas di atas pangkuan. Sorot matanya penuh kebimbangan. Dengan sabar Bumi menunggu sampai Janna benar-benar siap mengatakan semuanya.

"Seseorang ... sengaja menodai saya dalam keadaan tidak sadar beberapa tahun lalu dan itu menyebabkan saya mempunyai HIV."

Tangis kembali pecah. Janna meraung pilu sambil memukul pahanya.

Bumi hampir saja tersulut emosi melihat getir dari tangisan wanita yang berada pelukan Mama. Tangannya sudah mengepal. Guratan otot-otot di tangan terlihat jelas.

"Saat ini ... saya benar-benar takut sendirian. Saya tidak bisa ada di sini bersama orang tua saya. Saya ... saya ... saya ...."

"Apa aku bisa menikahimu hari ini?" tanya Bumi sampai membuat Janna kaget dan menyisakan sesenggukan.

"Bumi ...."

"Aku ingin menikahimu secepatnya."

"Tapi ... aku ... memanfaatkanmu."

"Sudah kubilang. Kita nggak perlu cinta untuk menikah."

Wanita itu masih termangu dengan isakan tangis.

"Aku ingin menikahimu, Janna," ulang Bumi. "Secepatnya."

Jangan lupa vote dan komennya ya

Jangan lupa vote dan komennya ya

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bumijanna - 28
169
22
Bab 28
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan