
BAB 21
Kehadiran Bumi saat pemotretan sangat membuat Janna tidak nyaman. Pria itu datang dengan sang ibu yang bisa menolelir ketidaknyamanan yang dirasa. Bu Feli ingin jalan-jalan dan Janna tidak bisa menolak kehadiran orang lain di sana. Apalagi ketika wanita paruh baya itu memberinya masukan untuk konsep katalog barunya.
Awalnya itu sebuah saran yang akan ditolak keras oleh Janna. Namun, Tika punya pemikiran dan pertimbangan lain. Akhirnya Janna menyetujui saran Bu Feli dengan mengadakan model pria untuk mengenakan baju koko sebagai pasangan gamis miliknya.
Bumi, adalah orang yang akan menjadi modelnya. Tidak ada waktu untuk memilih model dan menurut Tika, fisik pria tersebut cukup 'menjual'.
Ya. Janna tidak bisa memungkiri kelebihan fisik Bumi. Sudah sejak awal Janna mengenal pria itu, Bumi memang mempunyai daya tarik tersendiri. Terlebih lagi ketika melihat pria itu sudah mengenakan kemeja koko dan berdiri di depan kamera. Janna harus berulang kali menundukkan pandangan.
Ia menertawakan diri sendiri. Bisa-bisanya dia ketus di luar tetapi dari dalam lubuk hati masih mengagumi pria tersebut. Sejak dulu, bukan fisik Bumi yang menarik perhatiannya. Namun, sikap dan tindakannya pada orang-orang sekitar bisa dibilang keren.
"Gimana, Mbak Biya? Udah cocok?"
Janna tersentak oleh pertanyaan Kirana. Sejenak ia lupa harus memperhatikan laptop dan mencari ekspresi Bumi yang cocok untuk katalognya.
Degub jantung Janna mulai tidak beraturan ketika melihat hasil foto Kirana yang masuk satu persatu di laptop. Seorang yang bertanggung jawab dengan benda itu memperlihatkan secara pelan-pelan foto Bumi dengan sebuah senyuman dan tatapan yang jauh berbeda dari biasanya.
Bibirnya mengembang, tidak terlalu lebar memang. Sorot matanya tajam, tetapi senyum itu membuatnya terlihat hangat. Seakan-akan seperti baru saja menemukan sesuatu tetapi ia menahan untuk tidak mengambilnya.
"Gimana, Biya?"
Kali ini pertanyaan Bu Feli yang membuatnya mengalihkan perhatian dari perasaan pribadi. Kemudian Janna menoleh pada Tika.
"Menurutku udah oke. Menurut kamu gimana, Mbak?"
"Oke sih, Bi."
Mendengar itu, Janna menyampaikan pada Kirana jika mereka sudah setuju. Gadis itu melanjutkan pekerjaannya dan Janna kembali menatap ke layar laptop. Sebenarnya ia merasa canggung, tetapi harus professional.
Janna sudah tidak tahu berapa banyak gambar yang masuk ke laptop, sudah pindah ke beberapa tempat sampai akhirnya selesai.
Prosesnya begitu sangat cepat. Kirana dan Bumi pun mendekati Janna dan memeriksa hasil foto. Sejenak mereka saling mengoreksi dan sedikit memilah. Saat itulah Janna mulai merasa canggung. Bukan karena kehadiran Bumi, tetapi karena Feli yang sering sekali diam-diam menatapnya.
Kemudian, Janna putuskan untuk kembali lebih awal ke rumah karena sudah hampir mendekati jam buka toko. Ia serahkan semuanya pada Tika dan tinggal menunggu hasil editing Kirana nanti.
Tiba di rumah, Janna langsung meneguk air banyak-banyak agar debaran di dadanya kembali normal. Menghapus paras Bumi dari dalam benaknya.
***
Β
Di salah satu food and bakery supplier, Janna berbelanja keperluan toko. Cukup banyak yang dibelanjakan hari ini, sampai satu kardus besar Janna letakkan di belakang motor. Tali yang mengaitkan benda itu pada kendaraan agar tidak jatuh.
Janna hanya punya motor matic sebagai kendaraan yang mengantarnya kemana-mana. Mobil, ia belum terlalu butuh, karena sejak awal prioritas utamanya adalah tempat tinggal. Jika belanjaan banyak, Janna menggunakan jasa pesan antar.
Karena kabar dari Syifa jika dia akan mampir ke Malang, Janna putuskan untuk keluar membeli bahan-bahan di toko dan mengisi kulkas dengan buah dan bahan-bahan masakan. Karena memang tidak bisa masak, Janna menggunakan jasa layanan catering harian. Namun, jika ada syifa ke rumah pasti ia sediakan bahan-bahan karena gadis itu suka memasak.
Usai dari toko bahan kue, ia pergi ke salah satu supermarket. Selain karena memang sudah siang dan pasar tradisional sudah banyak yang tutup. Janna memang lebih suka belanja di supermarket. Meminimalisir orang lain untuk menyentuhnya meski tidak sengaja.
Di dalam supermarket, Janna tidak terlalu lama. Setelah mendapatkan buah kesukaan Ummi dan juga bahan-bahan yang dibutuhkan, ia segera pulang.
Sayangnya, di tengah perjalanan, hujan mulai turun dan Janna tidak menemukan tempat untuk berteduh. Alhasil ia menepi dan berlindung di bawah pohon untuk memakai jas hujan.
"Astaghfirullah!"
Ia lupa jika jas hujan ada di dalam bagasi motor dan mau tidak mau harus melepas kardus yang terikat di bagian kendaraan itu.
Janna tidak bisa memutus paksa tali yang mengikat. Ia masih butuh untuk mengaitkan kembali usai mengambil jas hujan. Mau tidak mau, Janna harus sabar membuka ikatan tali itu dengan hati-hati meski rintik turun semakin deras.
Tiba-tiba saja, sebuah motor sport berhenti di belakang motornya. Saat helm terbuka, Janna kenal dengan pemiliknya.
"Bumi!" pekiknya lirih saat melihat pria itu melepas helm dan hoodie-nya.
Kemudian Bumi mendekat dan memberikan hoodie zipper hitamnya pada Janna. "Pakai ini! Tunggu di sana."
Janna dipaksa mundur dan Bumi langsung jongkok untuk melepas tali yang diikat pada pijakan kaki belakang kendaraan.
Melihat pria itu kehujanan, Janna mendekat dan memayungi Bumi dengan jaket yang tadi telah diberikan.
"Kubilang pakai dan tunggu di sana!" seru pria itu.
Ada beberapa pengendara baru yang menepi juga. Karena tidak mau menarik perhatian mereka dengan perdebatan, Janna menuruti perintah Bumi.
Ia menunggu beberapa saat sampai akhirnya Bumi bisa melepas ikatan itu dan mengeluarkan jas hujan dari dalam bagasi.
"Lepas jaketku," pinta pria itu dan Janna memberikan. Bertukar dengan jas hujan.
Janna pikir, jaket itu akan Bumi kenakan lagi. Ternyata bukan. Pria tersebut justru menggunakan jaketnya untuk menyelimuti kardus Janna lalu mengikat kembali seperti semula.
"Di dalamnya nggak ada barang yang bisa rusak, kok, Mas. Jadi kamu bisa pakai jaketmu lagi," ujar Janna.
Pria itu tak acuh dan kembali ke kendaraannya.
"Buruan! Bahaya neduh di bawah pohon!"
Seruan Bumi membuat Janna reflek memakai jas hujan.
"Duluan, aja!" seru Janna saat merasa Bumi sedang menunggunya.
Karena tidak mendapat respon, Janna cepat-cepat memakai helm dan melajukan kendaraan.
Benar saja. Bumi mengikutinya di belakang. Berulang kali Janna memastikan pengendara motor yang hanya menggunakan kaus putih itu melaju tidak jauh di belakangnya.
Mereka berpisah ketika sampai di rumah. Bumi masuk ke kediamannya, begitu juga dengan Janna.
Hujan siang itu turun sangat deras. Janna menghentikan kendaraan tepat di depan kanopi toko roti.
Tanpa diminta, salah satu karyawan Janna keluar. Membawakan gunting dan membantu mengusung kardus ke dalam toko.
Setelah Janna melepas jas hujan, mereka berdua membawa kardus itu masuk. Baru Janna akan mendorong pintu kaca, seseorang dari dalam toko sudah sigap membuka.
"Butuh bantuan, Mbak?"
BRAK!
Tangan Janna lemas seketika membuat kardus yang dipegang jatuh. Mengenai kakinya, tetapi sedikitpun ia tidak merasakan sakit.
"Hei! Are you okay?"
Mendengar pertanyaan dari pria yang membantunya membuka pintu justru membuat Janna melangkah mundur. Dadanya tiba-tiba terasa sakit dan sangat sesak.
"Mbak Biya!"
Ia menggeleng ketika mendengar pegawainya sedang khawatir. Janna memperhatikan pria yang membantu membawakan kardusnya ke dalam toko.
Saat itu Janna ingin lari. Sangat ingin. Namun kakinya begitu berat untuk beranjak. Sampai pria tadi datang lagi dan ingin mendekatinya.
Janna hanya bisa mundur selangkah. Napasnya mulai berat. Ia mencengkeram dada. Terasa ada sesuatu yang teramat besar yang mengganjal saluran pernapasan.
"Mbak!"
"Arrrrrggggh!" teriakan yang termat sangat kencang akhirnya keluar dari mulut Janna ketika pria tadi mencoba mendekatinya.
"GATA!"
Seiring dengan sentakan itu membuat Janna jatuh lemas. Ada Bumi, berlari menghampiri mereka.
"Anjing! Siapa yang suruh lo datang kesini, Bangsat!"
Samar-samar, Janna masih melihat bagaimana Bumi menarik pria yang sangat tidak ingin Janna temui itu menjauh.
"Mbak Biya! Mbak ... Mbak Biya!"
Suara panik itu tidak bisa Janna respon. Tubuhnya semakin lama terasa semakin lemas.
"Eh! Tolong-tolong, bopong dia ke dalam rumah aja!"
Janna masih mendengar suara Bumi yang meminta orang-orang di sekitar membantunya. Ia mengangkat tangan, memberi isyarat agar jangan ada yang menyentuhnya.
Dengan wajah tertunduk dan badan terhuyung, ia mengumpulkan tenaga untuk berdiri dan berlari pergi. Ia sempat jatuh dan beberapa orang mendekat untuk menolong tetapi kembali dicegah.
"Biya! Kenapa, hei!"
Kali ini Janna mendengar suara Tika yang diiringi dengan sentuhan. Seketika ia mendorong tubuh itu menjauh hingga jatuh kehujanan. Janna tidak memedulikan hal tersebut dan langsung berlari lagi ke dalam rumah.
Ia kunci rapat-rapat pintu ruang tamu. Ditutupnya semua jendela juga gorden-gorden kemudian masuk ke kamar.
Dengan tangan yang tremor, Janna mengeluarkan ponsel dari dalam tas slempang yang ia gunakan tadi lalu menghubungi Syifa.
Tut ....
Tut ...
Suara nada sambung mulai terdengar.
"Assalamu'alaikum, Mbak?"
"Syifa ... Syifa ... Dia ada di sini, Fa!" adu Janna segera. Suaranya bergetar karena ketakutan.
"Mbak Janna, kenapa? Apa yang terjadi?"
"Dia ada di sini, Syifa!" teriak Janna marah.
"Iya, Mbak! Dia siapa? Coba bilang pelan-pelan."
"Si Bangsat yang ...."
Janna menghentikan kalimatnya. Lidahnya berubah kelu saat menatap pantulan dirinya di cermin.
"Mbak ... siapa yang bangsat?"
Ia menutup sambungan telepon. Pandangannya tidak teralihkan dari cermin di depannya. Sejenak ia lupa jika Syifa tidak mengetahui apapun tentang masa lalunya. Setetes demi setetes air mata jatuh pada cadar yang sudah basah oleh air hujan.
"Kamu lupa, Janna? Nggak ada seorang pun yang tahu tentang itu. Selama ini ... kamu memendamnya seorang diri. Kamu cuma simpan itu sendiri Janna ...."
Pecah sudah tangisnya usai mengasihani diri sendiri di depan cermin. Raungan kepiluan itu dibekap oleh derasnya hujan. Janna memukul kepalanya berkali-kali. Berharap ingatan buruk yang kembali diputar ulang oleh memori otak kecil itu hilang.
Semakin ia berusaha menghapus, semakin tergambar jelas detik demi detik kejadian di Bali kala itu.
Ia menjerit sekuat tenaga, melempar apapun di sekitarnya untuk meluapkan amarah.
"PERGI! PERGI! JANGAN MUNCUL LAGI!"
Β
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi π₯°
