SAVE YOUR TEARS (11)

1
0
Deskripsi

"Apa kalian tidak punya rasa malu atau sejenisnya karena mereka bukan dari orang berada seperti kita?" Pak Atmaja memastikan.

"Untuk apa malu. Kita sama-sama manusia, dan sudah wajar jika memiliki ketertarikan tanpa pandang status. Tidak perlu merasa demikian karena pasangan itu saling melengkapi. Jika kakak iparku orang yang tidak punya suatu hal, maka biarkan kak Juan yang melengkapinya, begitu juga sebaliknya. Tugas kita hanya mendoakan dan merestui hubungan mereka."

Arumi tersenyum manis ketika melihat lelaki yang masih dibalut kemeja dengan celana kain berwarna hitam tanpa melepas kaus kaki itu, tertidur memeluk anak kecil yang menyembunyikan wajah di pelukannya. Pemandangan yang begitu hangat mampu membuat Arumi menitikkan air mata haru. Andai puteranya terlahir dari keluarga normal, pasti ia bisa merasakan kasih sayang seperti ini setiap waktu tanpa khawatir perpisahan. 

“Mbak,” suara Jisa membuat Arumi sedikit terkejut. Suara itu langsung memasuki telinganya dengan nada yang berbisik. 

“Kenapa, Jisa? Kok belum tidur?” 

“Apa mbak tega membangunkan kak Juan? Dia nampak begitu lelah.” 

“Tapi, dia harus pulang. Apa kata tetangga jika ia bermalam disini…” 

“Dia kan calon suaminya mbak. Bukankah, kita akan berkunjung ke rumahnya?” 

“Jangan bahas itu, Jisa. Sampai saat ini, mbak masih merasa tidak percaya, jika Om Atmaja mengatakan hal seperti itu. Ya sudah, sekarang pergilah. Kau harus istirahat karena besok kau sekolah.” 

“mbak tidur denganku saja. Jangan bangunkan kak Juan.” 

Kali ini, Arumi mengalah lagi. Ia menurut ketika Jisa menariknya menjauh dari kamar kecil yang selalu ia tiduri dengan Dhega. Sedikit cemburu ketika puteranya itu sangat dekat dengan Juan, bahkan malam ini tidur bersama Juan. Ia ingin, puteranya itu hanya fokus pada dirinya, tapi, ia rasa tidak mungkin. Dhega tetap membutuhkan ayah dan Juan memenuhi peran itu bagi buah hatinya. 

 

"Sudah sampai,” Yevira melepas safety belt yang ia kenakan. Ia tersenyum menatap Jeval sebelum melanjutkan perkataannya. “Terimakasih, kak karna sudah memberiku tumpangan.” 

“It's ok. Ayo kita turun.”

“Turun? Kak Jeval mau kemana?” 

“Aku akan mengerjakan tugas di teras mini market ini. Kenapa?”

Yevira menganga tak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan Jeval. "Kenapa tiba-tiba? Bukankah kak Jeval bilang ada urusan?"

“Iya. Urusanku adalah mengerjakan hasil praktikum ini. Aku akan mengerjakannya di sini. Lalu ini, untuk daya tahan tubuhmu,” Jeval menyerahkan botol kecil berisi pil vitamin. Ia mengambil tas di bangku penumpang belakang lalu turun dari mobil, sementara Yevira terpaku dengan apa yang baru saja Jeval lakukan. 

Tok tok tok 

Suara kaca mobil diketuk mengembalikan jiwa Yevira yang sempat berkelana. Ia tergagap lalu merapikan rambut sebelum akhirnya keluar dari mobil. 

“Jangan banyak melamun. Cepat bekerja dan aku akan bekerja juga,” pesan Jeval disertai senyuman khasnya. 

Jangan biarkan aku jatuh cinta padamu, kak… Jangan terlalu baik padaku…” 

 

Teya sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilnya. Ia mondar-mandir kesana kemari dengan lincah untuk membuat masakan yang ia rencanakan untuk menjadi menu sarapan. Sebuah ponsel terjepit diantara telinga dan bahu Teya. Wanita itu tengah memasak sembari melakukan panggilan dengan seseorang. 

“Bagus sekali kau sudah tidur di rumahnya.. kakak bangga padamu,” ucap Teya terkekeh. Ia menyiapkan mangkuk untuk tempat sup tuna yang baru saja matang. 

“…” 

“Eiyy,, bagi kakak itu sudah hebat. Kemajuan sekali Arumi tidak membangunkanmu.” 

Teya menuang telur yang sudah ia beri potongan daun bawang untuk dijadikan telur gulung. Meski sedang bertelepon, hal itu tidak membuat kelincahannya menurun. Jaya, sang suami, datang dan menyenggol lengan Teya berusaha mencari perhatian dari istrinya yang lebih sibuk dengan spatula dan panggilannya. 

“Sayang, buatkan susu untuk Yansa. Aku akan menyelesaikan telur gulung ini,”  pinta Teya pada Jaya membuat lelaki itu menurut. “Katakan, bagaimana komunikasi kalian setelah kau terbangun? Kakak penasaran…” 

"Mamaaa!!!” 

“Astaga.. keponakanmu mulai bernyanyi di pagi hari. Kalau begitu kakak tutup dulu ya, nanti kita sambung lagi.” Teya memasukkan ponsel ke sakunya. Ia mematikan kompor setelah memindahkan telur ke piring. “Kenapa, Yansa?”

“Pensil warnaku yang hitam patah!!!” 

“Pasti minta beli baru,” gumam Jaya. 

“Crayonmu masih ada. Tidak perlu bingung. Kalau pensil warna tidak bisa dipakai, kan masih ada crayon,” jawab Teya. Ia melihat dasi sang anak yang belum benar. “Tadi pakai dasi sendiri? Hebat sekali jagoan mama. Sini-sini, mama rapikan.”

“Mama. Kenapa mama tidak mau membelikan aku pensil warna baru?” 

“Kalau crayonmu sudah habis, boleh minta baru. Tapi kan masih ada crayon, masih utuh. Baru dipakai sekali. Jangan dibiasakan hidup boros.”

“Uang papa banyak, ma. Uang papa tidak akan habis untuk beli pensil warna.” 

“Yansa,” tegur Jaya dengan segelas susu di tangannya. “Kau harus belajar hemat. Belajarlah dari Dhega. Keluarga mereka kekurangan. Untuk makan saja susah. Daripada uang untuk beli pensil warna lagi sementara kau masih punya crayon, mending digunakan untuk kebutuhan lain.” 

Yansa menunduk. Baru kali ini apa yang ia minta tak dituruti. Teya tersenyum. Ia mengusap puncak kepala puteranya lalu mencium dahi, hidung, kedua mata, pipi dan mulut Yansa. 

“Mama dan papa sayang sama Yansa. Tapi, daripada Yansa minta tapi masih punya cadangan, lebih baik uangnya kita berikan pada yang butuh. Untuk meringankan beban mereka.”

“Untuk Dhega, ma?” 

“Tidak hanya Dhega. Tapi anak-anak lain, seperti temanmu yang membutuhkan,” Jelas Jaya.

“Kalau begitu, ayo beli pensil warna,” ajak Yansa.

“Eh?” 

“Untuk Dhega!” ujar Yansa sembari memberikan cengiran khasnya. “Aku ingin mengajarinya menggambar!” 

 

Juan memandangi Arumi yang bergerak cepat menyiapkan sarapan seadanya untuk dirinya, Jisa dan Dhega. Pagi itu, ia akan mulai masuk kerja kembali. Mengikuti saran dari Juan, Dhega akan tinggal di tempat Teya selama jam kerja. Arumi bersikeras untuk kembali bekerja karena ia ingin tetap mendapatkan penghasilan. Ia tidak mau diperlakukan special hanya karena mengenal dan dekat dengan pemilik perusahaan. 

“Aku hanya bisa menyuguhkan ini, Juan,” ucap Arumi. 

“Nasi goreng terlihat sederhana. Tapi, akan menjadi penuh makna dan cita rasa jika kau yang membuat serta menyajikannya untukku,” ucapan Juan membuat Jisa tersedak dan Arumi tentu saja terkejut. 

“Aku merasa menjadi nyamuk disini,” gumam Jisa membuat Arumi merasa tak enak. 

“Sejak kapan kau belajar kata seperti itu?”

“Alamiah. Itu keluar begitu saja,” Juan tertawa setelah mengatakannya. 

"Ayah! Dhega mau nasi goleng.” 

“Ini, makan sama bunda. Jangan ganggu ayah makan.” 

"No! Mau makan sama ayah!” 

Juan tersenyum. Ia mengambil sepucuk sendok nasi goreng agar muat di mulut kecil Dhega. “Ayo buka mulutnya.. pesawat mau masukk…” 

“Aaaaa mmmm, enak!” 

“Masakan siapa Dhega?” tanya Juan. 

“Bunda!!!”

Baik Juan dan Dhega tertawa membuat Arumi tersenyum kecil serta Jisa yang canggung berada diantara mereka. 

Rico tersenyum miring ketika membaca kertas di hadapannya. Ia mampu mengetahui tempat tinggal dari Arumi berkat orang suruhannya. Ia mendapatkan info dengan sangat cepat. Ia berencana akan membawa Dhega dengan paksa. Ia akan mempersiapkan tim hukum dan mengatur rencana untuk perebutan hak asuh anak. 

“Apa rencana selanjutnya, boss?” 

“Foto latar belakang Arumi, kehidupan ekonomi dan seluruhnya yang membuat dia nampak menyedihkan. Dengan begitu, akan semakin kuat alasanku untuk merebut anakku.” 

“Kehidupan tak layak, sulitnya memberikan nutrisi pada anak, akan menjadi alasanmu menarik bocah itu?” tanya Shela yang mendapat anggukan dari Rico. 

“Bahkan dengan kurang ajarnya, wanita itu tidak membiarkan nama belakangku menjadi nama anakku. Ia memilih memberikan nama Sadawira, ayahnya, daripada Kamala. Sungguh permainan yang indah.”

“Apa kau sudah menyiapkan nama khusus?”

“Namanya Dhirga Kamala. Aku akan memberikan nama Dhirga Kamala.” 

“Nama yang bagus. Tapi, apa anak itu mau dipanggil Dhirga?” 

"Semua butuh proses, sayang. Maka dari itu aku mencari info tentang dia…” 

Juan terlihat serius dengan berkas-berkas yang ada di tangannya. Ia harus mengejar rapat dengan relasi bisnis penting, belum lagi undangan untuk menghadiri launching sebuah produk di pusat perbelanjaannya. Sungguh hari yang sibuk. 

“Jadwalmu penuh, Pak,” ucap Sekertaris Rama yang juga sahabatnya itu sembari menyodorkan sebuah map berwarna biru. 

“Memang. Kenapa kau menjadwalkanku begitu padat hari ini?” 

“Itu memang permintaan dan kau sudah menyetujuinya, apa kau lupa, Pak Juan yang terhormat?” Rama kesal disalahkan Juan atas kesibukan yang terjadi.

“Ram..” 

Yep?” 

“Tolong kau minta Arumi untuk menyiapkan ruang rapat. Itu tugasnya, kan?” 

Rama mengangguk. Ia menghubungi bagian kebersihan untuk menyampaikan pesan Juan. CEO dari The Atharys Corp itu benar-benar mengabulkan permintaan Arumi yang ingin bekerja seperti yang lain, dan juga, Juan akan berusaha berbuat seadil mungkin agar tidak menimbulkan kecemburuan diantara pegawainya. 

Baru saja Rama menyelesaikan panggilan, ia mendapat panggilan lain. Raut wajah Rama berubah drastis ketika menjawab panggilan dari seberang. Mengetahui mimik wajah Rama berubah membuat Juan curiga. Ia meletakkan bolpoin yang ia genggam dan menyangga dagu dengan kedua tangannya, menunggu penjelasan dari Ramana Najeem itu.

“Aku rasa ada yang balas dendam padamu, brother…” 

Who?” 

“Kau ingat Rico Kamala? Dari Maple Group?” 

Juan menaikkan sebelah alisnya. 

“Dia mendapatkan bocoran dari hasil rapat kita dua hari lalu, dan, pihaknya sudah mendekati relasi kita dari Prancis.” 

“Apa katamu? Bocor? Rahasia perusahaan bisa bocor?!” Juan menahan kemarahannya. Ia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya kembali. “Aku kemarin membatalkan pertemuan dengan orang yang kau maksud untuk menyelidiki Rico. Sekarang, suruh orang itu kemari. Batalkan kedatanganku di launching produk itu."

“Sekarang? Ok. Tapi rapatmu?” 

“Mundurkan rapat dua sampai tiga jam lagi.” 

 

………

 

Juan berada di sebuah sofa dengan seorang lelaki di hadapannya. Di sisi kanan Juan, ada Rama yang menjadi perantara bertemunya kedua orang itu. 

“Perkenalkan, dia Pak Sagara Min dari asosiasi detektif independen. Dia detektif yang jeli.” 

Juan menatap pria itu dengan seulas senyuman tipis. 

“Senang bertemu dengan anda, Pak Juan.  Saya Tidak menyangka akan mendapatkan tugas dari anda,” ujar detektif tersebut. 

“Senang juga bertemu dengan anda, Pak Saga. Saya sudah mendengar kinerja anda baik di sini, maupun di negeri kelahiran ibu anda. Anda sangat berkompeten."

Detektif Sagara Min, yang kerap disapa Detektif Saga tersenyum mendengar pujian dari Juan. Ia memang menjadi detektif independen dan sering menangani kasus di tanah kelahirannya, maupun di tanah kelahiran ibunya, Korea Selatan. Kasus-kasus yang ia tangani bisa diselesaikan dengan baik dan rapi, sehingga baik di Korea, maupun di Indonesia, ia sudah memiliki nama yang meyakinkan.

"Saya yakin, anda sudah mendengar garis besar dari cerita atau misi yang harus anda jalani dari sekertaris saya, jadi, apa perlu saya menjelaskan ulang?” 

Dengan santai dan gummy smile menghiasi wajahnya, lelaki itu menggelengkan kepala. “Tidak perlu. Saya paham. Tugas saya adalah mengawasi dan mencari tau bagaiman kehidupan Rico. Salah satu jajaran direktur dari Maple Group. “ 

Juan mengangguk. “Mohon bantuannya karena dia adalah lelaki yang berbahaya bagi seseorang.” 

“Calon isteri anda, bukan?” 

“Eh?” 

“Saya akan melakukan yang terbaik. Mencari informasi seseorang bukanlah pekerjaan yang sulit. Saya akan mencoba secepatnya menghubungi anda.” 

“Dan, satu lagi, Rico mendapatkan bocoran informasi rahasia perusahaan dari seseorang. Tolong selidiki orang itu karena saya tidak akan mentolerir yang namanya penghianat.” 

Sekali lagi, Saga mengangguk. “Penghianat memang seharusnya diberi pelajaran. Saya akan menemukannya untuk anda.” 

“Baiklah, soal harga, apa Rama sudah memberitahukan berapa uang jasa anda?” 

Well, tidak perlu terburu-buru. Biarkan saya mendapatkan hasilnya lebih dulu baru kalian bahas tentang harga. Lagipula, saya tidak mematok harga minimal. Terserah berapapun anda akan bayarkan.” 

Juan tersenyum tipis. “Baiklah jika memang mau anda seperti itu, terimakasih atas kerjasamanya. Saya akan tunggu kabar secepatnya.” 

Teya bersorak kegirangan ketika Dhega berhasil menulis namanya sendiri. Wanita itu dengan sabar membimbing Dhega agar bisa menulis namanya sendiri. Tapi, kejahilan Teya dimulai ketika Dhega ingin belajar menulis namanya. Bukan  hanya Dhega Sadawria, namun, Teya menunjukkan cara menulis Dhega Sadawira Atharya. Sungguh kakak yang baik bagi Juan Atharya. 

“Kata bunda namaku Dhega Sadawila. Ini Atalya siapa, mama Teya?” 

“Hmmm? Sekarang, mama Teya tanay, Siapa ayahnya Dhega?" 

“Ayah Dhega itu om supelmen.” 

“Namanya?” 

Dhega membuat jari telunjuknya menempel berkali-kali pada dagu, menujukkan ia tengah berpikir. 

“Namanya Juan Atharya,” Teya tidak sabar lagi menunggu jawaban Dhega. “Kalau ayah Dhega namanya ada kata Atharya, berarti nama Dhega juga boleh pakai Atharya. Malah kalau bisa sama." 

“Apa halus sama dengan ayah?” 

Teya mengangguk. “Harus. Supaya orang-orang tau kalau Dhega anaknya ayahnya Juan Atharya.” 

“Oh, mengelti. Dhega Sadawila Athalya anak dali Juan Athalya.”

“Pintar…”

Tidak berapa lama, datang seorang wanita paruh baya yang diikuti dengan orang yang bekerja membersihkan rumah Teya. Wanita itu nampak terkejut melihat Teya bermain bersama Dhega. 

“Teya? Siapa dia?” 

“Mama?” Teya sedikit terkejut. Ia tidak ingin Dhega mendengar keributannya dengan sang ibu yang dipastikan akan terjadi. “Tolong ajak Dhega bermain di kamar Yansa lebih dulu. Aku harus bicara empat mata dengan mama,” pinta Teya pada asisten rumah tangganya. 

“Kenapa kau membuat anak itu menjauh? Siapa dia?” lagi-lagi wanita itu bertanya melihat Teya yang berusaha menjauhkan Dhega darinya. 

“Dia putera dari calon isteri Juan, ma.” 

“Apa?!! Apa kau bilang? Calon isteri? Kenapa mama tidak tau tentang ini? Tunggu, anaknya? Maksudmu, dia janda?!” 

“Mama! Pelankan suara mama. Itu sangat menganggu, dan ya, benar sekali kalau Juan tertarik dengan seorang wanita berhati malaikat. Meski dia seorang janda, tapi dia bukan orang buruk.” 

“Oh, Tuhan… drama apalagi ini? Kenapa tak ada yang memberitahuku? Kalian kan tetap membutuhkan persetujuanku?!” 

“Papa sudah setuju. Ma, Arumi itu puteri dari tetangga kita dulu. Jadi, dia bukan orang asing lagi. Dia yang bermain denganku dan Juan saat masih kecil. Jangan hanya karena status, mama jadi memandang sebelah mata!” 

“Turunkan nada bicaramu, Teya! Kau tidak sopan!” 

“Aku begini karena mama berlebihan! Sampai kapan mama mempermasalahkan status? Tidak belajarkah mama dari kasus suamiku?” 

“Terserah apa katamu. Mama tidak akan menyetujuinya!” 

Wanita itu kembali pergi setelah mengatakan pendapatnya mengenai calon isteri dari Juan Atharya yang belum pernah ia temui. Teya tidak terkejut lagi. Ia malah berkacak pinggang kesal karena melihat kelakuan layaknya anak kecil dari sang ibu. 

“Hadehh… ibu siapa itu menyebalkan sekali. Dia pikir, dia siapa? Tuhan.. Tuhan. . . hancurkanlah hati sekeras batu itu. .” 

 

Seseorang meletakkan segelas teh hangat tepat di hadapan Juan ketika lelaki itu sibuk berkutat dengan berkas-berkasnya. Juan mendongak untuk melihat siapa yang datang. Senyum menghiasi wajah tampannya ketika ia melihat sosok yang mengantarkan teh itu.

“Ini teh yang sudah ku campur ekstrak jahe merah. Aku lihat, kau sangat sibuk seharian ini. Teh ini bagus untuk kesehatanmu.” 

“Terimakasih. Kau tidak malu, kan, untuk masuk kemari?” 

“Banyak yang sedang keluar dan Pak Rama juga baru saja keluar, jadi, aku buatkan ini untukmu. Kalau banyak orang yang berada di depan, aku juga tidak berani…”

“Aku mengerti. Aku  jadi merasa dilayani isteri…”

“Apa? Terserah kau saja. Aku harus melakukan pekerjaan lain.” 

Arumi bergegas meninggalkan Juan membuat lelaki itu tertawa kecil. Sungguh lucu sekali menyaksikan orang yang akan ia pinang, malu-malu dan sikapnya menggemaskan
 

**

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Lilyla
Selanjutnya SAVE YOUR TEARS (12)
2
1
“Oh, Tuhan… drama apalagi ini? Kenapa tak ada yang memberitahuku? Kalian kan tetap membutuhkan persetujuanku?!” “Papa sudah setuju. Ma, Arumi itu puteri dari tetangga kita dulu. Jadi, dia bukan orang asing lagi. Dia yang bermain denganku dan Juan saat masih kecil. Jangan hanya karena status, mama jadi memandang sebelah mata!” “Turunkan nada bicaramu, Teya! Kau tidak sopan!” “Aku begini karena mama berlebihan! Sampai kapan mama mempermasalahkan status? Tidak belajarkah mama dari kasus suamiku?” “Terserah apa katamu. Mama tidak akan menyetujuinya!”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan