Sinners (Chapter VI)

25
3
Deskripsi

Ngomong-ngomong, acara yang di maksud Christ adalah pesta ulang tahun temannya yang diadakan berbarengan dengan reuni teman-teman semasa kuliah S1 dulu. Dan diadakan di sebuah ballroom di salah satu restoran yang lumayan ternama. Mengingat, si pemilik acara rupanya salah satu cucu dari konglomerat yang mempunyai perusahaan elektronik terkemuka.

Jadi, acara ini sedikit eksklusif karena hanya mengundang teman-teman dekat saja.

Yang kini, kata Christ, kebayanyakan dari mereka sudah sulit sekali diajak bertemu. Beberapa ada yang tinggal di luar negri, ada juga yang tinggal di luar kota. Walau pun ada yang tinggal dekat, kebanyakan dari mereka sibuk dengan pekerjaan atau dengan keluarga masing-masing. 

Dan berhubung saat ini bertepatan dengan hari libur panjang, dan kebanyakan dari mereka sedang datang berlibur atau bahkan pulang kampung. Jadilah reuni dadakan ini dibuat.

Christ juga bilang, dari total seluruh tamu yang datang, yang kira-kira kurang lebih ada enam puluh orang belum termasuk pasangan serta buntutnya, hanya Christ saja yang belum punya istri (lagi) apalagi anak.

Selama acara, semua berjalan dengan sangat lancar. Christ tak henti merangkul mesra pinggangku saat memperkenalkan aku pada semua temannya. Mengenalkan dengan  lantang dan pasti kalau aku adalah calon istrinya. Sungguh, malam ini Christ mampu membuat senyum bahagiaku terus merekah tak kunjung surut selama cara berlangsung.

Dan sesekali aku kan tersipu malu saat beberapa teman Christ dengan sengaja meledek Christ dan aku dengan sebutan pasangan baru atau calon pengantin.

Bahkan, saat Christ ngobrol dengan teman dekatnya—Peter, Christ tak melepaskan barang sebentarpun genggaman tangannya padaku. Dan pegangan itu baru terlepas saat aku pamit ke toilet.

Aku tersenyum geli di toilet wanita yang berada di ballroom tersebut, saat membaca balasan pesan singkat Kakakku setelah mengirimkan foto selfie-ku dengan Christ saat di mobil tadi. Kakakku sangat antusias hingga menghujaniku pesan-pesan konyol, serta pertanyaan tentang hubunganku dengan Christ.

Aku bisa merasakan kalau Kakakku pastilah sangat bahagia mendengar aku sudah bisa membuka hatiku kembali dan melupakan masa laluku.

Dan melihat Kakakku bahagia adalah salah satu kebahagiaanku juga.

Setelahnya, aku memasukan ponselku kembali ke dalam clutch di tanganku setelah merasa cukup membalas pesan dari Kakakku. Menatap wajahku sekilas di cermin, untuk merapikan makeup dan pakaianku sebelum kembali ke tempat acara.

Christ pasti menungguku karena aku sudah terlalu lama berada di toilet dan meninggalkan Christ di acara. Bisa jadi dia khawatir padaku yang tak kunjung kembali.

Setelah aku merasa cukup merapikan penampilanku, aku keluar dari kamar mandi dengan senyuman tak pupus dari wajahku. 

Di kejauhan, aku melihat Christ masih berbicara dengan Peter di tempat yang sama sebelum aku pamit ke toliet tadi. Di salah satu meja di pojok ballroom.

“Tumben banget lo mau datang ke acara reuni?” 

Samar aku mulai mendengar suara perbincangan antara Christ dan juga Peter di sela langkahku yang kian mendekat ke arah meja yang mereka tempati. Dan yang bicara tadi tidak lain adalah Peter.

“Secara, selama ini, kan, setiap kali gue ataupun yang lain ngajak lo kumpul buat reunian acara apa aja lo ngindar terus. Mangkir terus sama berbagai alasan yang gak beres-beres,” timpal Peter lagi

“Malas aja kalau datang sendiri.” Christ mengangkat bahunya acuh, “Sedangkan lo sama yang lain bawa gandengan. Nanti yang ada gue malah di ceng-cengin,”

Senyumanku langsung terukir kembali tanpa sadar saat mendengar jawaban Christ yang sudah seperti gerutuan.

Peter berdecih, “Males di ceng-cengin apa males keinget Juliet lo?” cibir Peter.

Langkahku mendadak melambat saat Peter mulai menyebutkan satu nama yang mulai familiar di telingaku.

Juliet, mendiang istri Christ. 

“Gue belum lupa ya, bro. Kalau lo ketemu pertama kali sama Juliet di acara reuni akbar kampus. Dan gue gak bego buat gak langsung tau alasan lo terus ngindarin acara reuni karena pasti lo bakal keinget sama Juliet.” Decak Peter ketus. “Ngomong-ngomong, lo lagi gak jadiin Melody sebagai pelampiasan rasa bersalah lo sama Juliet, kan?” timpal Peter lagi.

Dan ucapan Peter kali ini sukses membuat langkahku benar-benar terhenti di jarak dua langkah lagi dari meja yang mereka tempati berdua. Namun, karena posisi duduk mereka yang membelakangiku, membuat mereka tidak menyadari kehadiranku.

Aku menelan ludahku kasar. Dengan tubuh yang mendadak membeku.

Dalam kebekuanku, aku menunggu Christ memberikan jawaban. Jawaban yang tentunya penyangkalan.

Penyangkalan yang seharusnya kembali bisa mengeluarkanku dari kebekuan ini.

Namun nyatanya, apa yang aku inginkan tidak kunjung terjadi lantaran Christ hanya mengangkat bahunya sekilas tanpa berniat menyahut. Diam dan memilih menundukkan wajahnya. 

“Sori, gue gak serius ama pertanyaan gue tadi,” ralat Peter cepat. “Tapi aselik, sih, lo keterlaluan namanya kalau jadiin Melody pelarian dari rasa bersalah di masa lalu lo,”

Aku?

Pelarian?

Rasa bersalah?

Lagi, aku menelan ludahku susah payah. Seolah aku tengah menelan benda berduri yang kalau aku telan, akan menyakiti tenggorokanku yang mendadak terasa kering.

Pikiranku mendadak berkecamuk. Menolak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. 

Tidak. Itu tidak mungkin, kan?

Christ tidak mungkin seperti itu.

Christ itu pria baik, dia—

Risau mulai merajai hatiku. Dengan isi kepala yang mendadak dipenuhi praduga yang bukan-bukan. Yang tentunya, mampu membuat perasaanku mendadak berantakan. Moodku yang sedari tadi begitu bahagia, seperti tiba-tiba terjun bebas ke dasar jurang. Mendatangkan duka nestapa yang yang berusaha mati-matian aku tepis dan singkirkan.

No! Christ bukan pria seperti itu!

Dan saking gundahnya, tanganku yang tanpa sadar sudah gemetar, sudah meremas ujung gaunku sendiri dengan tubuh yang juga mulai bergetar.

“Christ! Jawab anying!” sengit Peter, “Lo kalo diem begini bikin gue mikir yang enggak-enggak, setan!” Peter mendadak menyenggol bahu Christ gemas, lantaran Christ yang tak kunjung bersuara. “Eh, gue kasih tau lo, ya, Christ, gimana pun, Melody itu orang lain. Walaupun lo lihat kondisi mental dia yang sempat kacau karena masalalunya. Dan keadaannya hampir sama persis kaya Juliet dulu, tetep aja mereka orang yang berbeda. Dan inget, Melody juga punya perasaan.” Peter menggeleng ribut, “Lo harus bayangin, gimana perasaan dia kalau tau ternyata niat awal lo ngedeketin dia Cuma karena dia ngingetin lo sama keadaan mendiang Juliet, dulu.” 

Sungguh, ucapan Peter kali ini mampu membuat bahuku turun lantaran tubuhku mendadak terasa lemas seolah tak bertulang.

Demi Tuhan, aku terlalu terkejut. Sekaligus tidak siap dengan apa yang baru saja aku dengar. Dadaku kini mendadak bergemuruh sesak. Dengan mata yang sudah mulai terasa panas.

Lagi, Peter menggelengkan kepalanya sembari berdecak tak habis pikir di tengah kalimat yang dia ucapkan, “dia pasti terluka banget. Karena yang gue liat, kayaknya dia tulus cinta sama lo.”

“Gue tau,” Christ yang sedari tadi hanya diam membisu, pada akhirnya membuka suara, “karena itu gue bakal nikahin dia secepatnya,” timpalnya lagi.

“Hah? Lo gila?!” kali ini Peter sampai berseru kaget, “Lo benar lagi gak jadiin Melody pelampiasan, kan? Pelapiasan rasa bersalah lo di masa lalu sama Juliet?” lagi-lagi Peter menggeleng ribut, “Kalau emang iya, lebih baik lo hentikan sekarang juga. Ingat, Christ, pernikahan itu bukan hal yang bisa dimainin. Cukup dulu aja lo nikah dan berakhir menyakitkan karena keputusan konyol sepihak lo sendiri. Tanpa mempertimbangkan dengan matang, Cuma karena nurutin keinginan lo buat milikin Juliet secepatnya dan seutuhnya.”

Tanpa sadar, air mataku sudah menitik begitu saja membasahi pipi.

Kenapa rasanya menyakitkan?

Dan lebih menyakitkan lagi saat tak ada satupun penyangkalan yang keluar dari mulut Christ saat ini. Seolah, keterdiaman Christ membenarkan apa yang kini sedang Peter tuduhkan dari semua kalimat yang dia tuturkan sedari tadi.

“Please, jangan ulangi lagi keputusan bodoh lo itu,” Peter berdecak dramatis.” Karena ini juga menyangkut hidup dan masa depan orang lain, yang gak lain adalah Melody,” katanya, sembari menepuk bahu Christ yang masih saja diam. “Jangan jadiin Melody bayang-bayang Juliet, Christ. Cukup. Singkirin bayang-bayang Juliet dari hidup lo. Berhenti terus-terusan ngerasa bersalah, dan terus nyalahin diri lo sendiri atas apa yang terjadi sama Juliet di masa lalu. Inget, Juliet udah tenang di sana. Dan lo pun pantas dapat kebahagiaan lo sendiri.”

Aku merasa kakiku lemas bagaikan jeli hingga tak lagi dapat menumpu tubuhku. Sampai-sampai, satu tanganku harus berpegangan pada pilar yang berada tepat di samping kanan tubuhku. Aku bahkan mengigit bibirku keras, berusaha menahan mati-matian isak tangisku yang akan pecah.

“Pete, dengar—” kalimat Christ terhenti saat mendengar suara benda jatuh.

Dan benda jatuh itu adalah aku.

Aku terjatuh karena tak sengaja disenggol orang yang melintas di sampingku. 

Sejujurnya senggolan itu tidak begitu keras. Namun, kondisi tubuhku yang tengah lemas seolah tak bertulang, menyebabkan tubuhku oleng begitu saja hingga jatuh terduduk di karpet tebal lantai ballroom.

Ujung mataku bisa melihat wajah Christ yang nampak terkejut dan pucat pasi ketika menyadari keberadaanku yang hanya berjarak dua langkah di belakangnya. Buru-buru dia bangkit dari duduknya dan menghambur ke arahku yang tengah mencoba bangun dari atas lantai.

Namun, gara-gara tubuhku yang sangat lemas, aku tak dapat mempertahankan keseimbangan tubuhku, hingga aku kembali jatuh berjongkok di lantai.

“Love!” Christ berseru sembari cepat-cepat meraih tanganku, “kamu gak apa-apa?” tanyanya dengan wajah cemas.

Love?

Aku tersenyum miris. 

Beberapa jam yang lalu, saat aku mendengar Christ memanggil aku dengan panggilan itu, hatiku akan berbunga dan terasa hangat lantaran aku merasakan kebahagiaan yang tak terkira. Namun, tidak kali ini. 

Mendengar Christ memanggilku dengan panggilan itu saat ini, justru membuat rasa sakit dalam hatiku. 

“Is that true?” bukannya menjawab pertanyaan Christ, aku malah balik memberikan pertanyaan. Yang aku ucapkan dengan suara tanpa nada dan tatapan nanar.

“Apa?” Christ bertanya tanpa melihat wajahku, karena saat ini dia tengah membantuku untuk bangun. “Sebenernya kamu lagi ngapain, sampe jatuh begi—“

“Yang Peter bilang,” potongku cepat. Dan aku bisa merasakan bagaimana tubuh Christ mendadak tegang saat ini, “Apa itu benar?” aku kembali mengulang pertanyaanku.

Saat aku menatap lekat wajah Christ, aku bisa lihat dia menelan ludah kasar. Dengan mata yang terus saja bergerak ke sana kemari, tanpa mau balas menatapku.

Melihat itu, aku jadi tersenyum miris, “It’s ok. Gak usah dijawab,” aku menepis tangan Christ yang masih memegangi tanganku dengan sedikit kasar, “karena tanpa kamu jawab pun, aku udah tau jawabannya—“

“Love,” Christ menggeleng ribut, “ini gak seperti yang kamu piki—“

Lagi, aku menepis tangan Christ yang akan kembali meraih tanganku, “Aku bisa sendiri,” ucapku dengan suara mulai parau karena menahan tangis.

“Love, kamu harus dengar penjelas—”

“Aku mau pulang,” lagi, aku memotong. Dan tanpa berniat mendengar sahutan dari Christ lagi, aku sudah buru-buru berbalik badan, berjalan mendahului Christ keluar dari gedung dengan perasaan tak karuan.

Tentunya, langkahku langsung diikuti oleh Christ yang masih memasang wajah pias saat melihatku melangkah tergesa-gesa dalam keadaan diam seribu bahasa. Tanpa sedikitpun merespon panggilannya sepanjang kami berjalan menuju mobil.

“Love,” panggil Christ segera, sesaat setelah aku memasuki mobil dan diikuti olehnya, “apa yang tadi kamu dengar bel—“

“Bisa kita hanya diam tanpa bahas apapun untuk sekarang?” potongku cepat. Dengan pandangan yang menatap lurus ke depan, ke jendela depan mobil. Sama sekali tak perduli kalau saat ini Christ tengah menatapku dengan wajah gelisah dan risau, “please, aku lelah.” Timpalku lagi, sembari menyandarkan punggung dan kepalaku ke sandaran jok dan lalu menutup mata.

Karena kalau aku bicara lebih banyak lagi, aku yakin air mataku yang sedari tadi terasa ingin tumpah, tidak akan lagi bisa berkompromi denganku.

Christ menarik nafas panjang dan menghebuskannya perlahan, “Oke, kita pulang.” Tukas Christ akhirnya. Dan tak lama kemudian, aku bisa mendengar mesin mobil menyala. Lantas, mobil yang kami tumpangi mulai terasa bergerak dengan kecepatan normal.

Sepanjang perjalanan aku tetap tak bersuara. Tetap memaksa mataku tertutup apapun yang terjadi. Bahkan, pertanyaan-pertanyaan Christ yang sarat akan basa-basi tidak ada yang aku gubris. Karena aku lebih memilih untuk pura-pura tidur.

Entah Christ tau aku hanya pura-pura atau memang berpikir aku benar-benar tertidur. Akhirnya dia menyerah. Memilih diam dan fokus berkendara.

Berjam-jam kami lewati dalam kebisuan sepanjang jalan. Dan berjam-jam itu pula aku benar-benar tidak tidur. Tidak bisa tidur lebih tepatnya.

Dadaku yang sesak dan otakku yang penuh seolah tidak mengizinkan aku benar-benar istirahat walaupun aku tau kalau tubuhku memang benar lelah setelah seharian ke sana kemari bersama dengan Christ.

Hingga akhirnya, aku bisa merasakan kalau mobil yang kami kendarai berhenti. Sesaat aku mengintip dari balik bulu mataku. Untuk memastikan dimana mobil yang kami tumpangi berhenti. Dan ketika aku melihat kalau kami sudah tiba di parkiran cottage, aku langsung membuka mataku. Dan membuka sabuk pengaman juga pintu mobil sesaat setelah Christ selesai memarkirkan mobil.

Bahkan, aku bergegas turun dari mobil tanpa mau menunggu Christ mematikan mesin mobil. Berjalan tergesa-gesa meninggalkan Christ, terus mengabaikan panggilan Christ di belakang. Yang aku yakini, pasti tengah mengejarku.

Namun, aku tetap abai. Terus berjalan hingga akhirnya sampai di depan unitku. Masih dengan gerakan tergesa, aku mengambil kunci pintu.

Tapi sialnya, tanganku yang bergetar hebat, menyulitkan aku membuka kunci dengan benar. Hingga akhirnya, tangan Christ terulur untuk mengambil kunci di tanganku. Lalu membantuku membukanya.

“Love—“

“Aku capek,” selaku cepat, enggan mendengar perkataan Christ, dengan suara yang terdengar tercekat oleh telingaku sendiri.

Lagi-lagi Christ membuang nafas kasar, “Oke,” Christ mengangguk walau terlihat keengganan di wajahnya, “mungkin kamu emang butuh sendiri malam ini,” desahnya dengan nada yang terdengar lirih dan ada ketidakrelaan di sana. Lalu, Christ meraih satu tanganku, hanya untuk menyerahkan kunci mobilku ke dalam genggamanku, “Aku pulang—“

“Christ,” tahanku tiba-tiba, saat Christ sudah akan beranjak. Hingga membuat Christ mengurungkan langkahnya untuk kembali melihat aku. Aku memandang sekilas cincin yang baru siang tadi Christ sematkan di jariku, menatapnya sekilas dengan tatapan miris, lalu aku melepasnya. Aku meraih satu tangan Christ, dan menggenggamkan cincin itu di tangannya. 

Dan aku bisa melihat perubahan wajah Christ saat aku melakukannya. Wajahnya terlihat gusar dan pucat di saat bersamaan. “Love—“

“Aku kembalikan,” aku tersenyum pahit di tengah kalimat yang sedang aku ucapkan, “karena sepertinya, aku bukan orang yang tepat untuk memakainya.” Aku buru-buru menggeleng saat melihat Christ sudah akan membuka mulut, untuk menyahuti. Pertanda, aku melarangnya menyela kalimat yang sedang aku ucapkan. “Dan maaf, sepertinya aku gak bisa memenuhi janjiku untuk tetap berada di dekat kamu ke depannya,” timpalku dengan suara lirih dan bergetar.

Christ memejamkan matanya gusar, ada erangan frustasi yang samar lolos dari mulutnya, “Love—“

“Selamat malam,” selaku lagi, mengakhiri percakapan kami secara sepihak. Dan masuk ke dalam unitku dengan secepat yang aku bisa. 

Tepat sesaat aku menutup cepat pintu dan menguncinya tak kalah cepat, tangisku langsung pecah seketika. Dan langsung di balas ketukan pintu dari luar. Tentu saja pelakunya adalah Christ. Dia berulang kali memanggilku di sela ketukannya.

Kutempelkan dahiku saat Christ mulai meminta aku membukakan pintu untuknya. Namun, tetap aku abaikan karena lebih memilih menumpahkan tangisan yang sedari aku tahan. 

Di sela tangisanku, aku berbalik, beralih menyandarkan punggungku di pintu sembari meremas gaunku di bagian dada.

Dadaku sesak. Sakit sekali rasanya di sana.

Tak menyangka kalau Christ melakukan ini padaku. Setelah dia melambungkan asa-ku begitu tinggi. Kini, dia hempaskan aku langsung ke dasar jurang.

Bodohnya kamu Melody!

Iya, aku ini bodoh. Karena  langsung percaya begitu saja kalau sosok seperti Christ bisa dengan dengan tulus, menerima begitu saja wanita sepertiku di waktu yang sangat cepat. Wanita bobrok yang punya masalalu tidak ada bagus-bagusnya. 

Menyedihkan sekali hidupku. 

Dan yah, sepertinya, sampai kapanpun aku akan tetap menjadi si Melody menyedihkan. Karena sulit sekali keluar dari kubangan masa lalu sekuat apapun aku mencoba dan berusaha melepaskan diri.

Menyadari akan hal itu, tangisanku makin keras, menjadi-jadi. Mungkin sudah berubah jadi raungan. Aku bahkan sudah tidak perduli lagi kalau Christ bisa mendengar tangisanku dari balik pintu.

Sungguh, aku tidak perduli. Aku hanya ingin melepaskan rasa sesak dalam dadaku lewat tangisan. Karena rasa sesak itu tak kunjung hilang walau berulang kali aku memukul-mukul keras dadaku. Semuanya sia-sia. Karena bahkan, rasa sesak itu kian pekat.

Dan sesak itu pula yang akhirnya membuat tubuhku merosot, sampai aku terduduk menyentuh lantai. Tentu dengan derai air mata yang mengalir tidak berhenti. Sungguh, duniaku kembali terasa runtuh dan aku kembali hilang arah. Karena lagi-lagi, aku merasa tidak berharga. Tidak berguna.

“Love,” untuk kesekian kalinya, aku mendengar panggilan Christ di balik pintu, “aku yakin kamu dengar aku,” timpalnya lagi.

Namun, aku tetap abai, dan terus melampiaskan segala rasa yang sedang aku alami dalam tangisan.

“Baik, aku akan pergi sekarang dan gak akan ganggu kamu kalau emang kamu lagi pengen sendiri. Tapi tolong,” suara Christ kali ini terdengar bergetar.

Apa mungkin dia juga menangis?

“Tolong janji sama aku, Love.” Christ mendadak berhenti mengetuk pintu. “Aku tau ini semua salah aku. Karena aku gak mencoba jujur sama kamu dari awal. Maafin keegoisan aku ini, Love. Tapi tolong jangan...” suara Christ mendadak berubah jadi seperti bisikan, “jangan bertindak bodoh. Aku mohon, tolong,” bisiknya lagi. Berulang-ulang, sudah seperti kaset kusut.

Bahkan, samar aku bisa mendengar isak tangisnya di balik pintu.

“Aku mohon janji sama aku, kamu gak akan bertindak impulsif. Jangan minum obat sialan itu lagi, Love! Demi Tuhan! Aku gak akan bisa maafin diri aku sendiri kalau sampai terjadi hal buruk sama kamu.”

Hatiku makin sakit saat mendengar suara Christ yang terdengar pilu. Seolah sama terlukanya denganku. Bahkan, dia pun menangis seperti aku. 

Kenapa?

Kenapa Christ masih pura-pura baik padaku setelah aku tau semuanya?

Untuk apa juga tangisan itu?

Sungguh, aku sudah tidak perduli. Tidak perduli pada semua ucapannya. Dan kalau perlu, tidak perduli lagi dengan semua—apapun yang menyangkut dengannya.

Aku hanya ingin pergi jauh darinya. Jauh sekali. Karena berada di dekatanya, hanya akan membuat hatiku semakin sakit.

Aku bergelung di lantai, memeluk lututku dengan tangis yang tak kunjung reda.

Sakit sekali kenyataan yang baru aku ketahui. Hingga membuat aku ingin mati saja.

Saat nyatanya, pria yang sudah merebut hatiku. Dan katanya mencintaiku, ternyata hanya menganggap aku sebagai pelarian. Dari masa lalunya.

Artinya, dia hanya merasa kasihan padaku.

Poor Melody.

***

Langit terlihat masih gelap saat aku membuka pintu. Tidak heran, karena waktu baru menunjukkan pukul lima tiga puluh pagi. Ini kali pertama aku membuka pintu unit yang aku tempati, dan keluar dari unitku setelah hampir dua hari aku mengurung diri di dalam.

Tidak tidur, tidak makan. Karena yang aku lakukan hanya menangis dan menangis sepanjang hari.

Sungguh, rutinitas seperti ini—menjadi zombie—pernah aku alami, dulu. Saat kenyataan tentang Zayn yang pergi meninggalkanku setelah berhasil membuatku menggugurkan kandunganku, untuk menikah dengan wanita lain.

Dan kini, rutinitas seperti zombie kembali aku alami. Saat satu laki-laki kembali mematahkan hatiku untuk kesekian kalinya. Christ.

Christ memang tidak berbuat kasar padaku, apalagi menyuruhku menggugurkan kandungan seperti halnya Zayn. Karena nyatanya, hubungan kami belum sejauh itu. Baru seumur jagung.

Namun, kendati demikian, rasanya sama sakitnya.

Sampai akhirnya, aku muak dan bosan dengan keadaanku sendiri. Yang selalu meratapi nasib. Betapa seorang Melody tidak seberuntung itu hidup di dunia yang fana ini.

Saking muaknya, aku kuputuskan untuk keluar di saat matahari belum bersinar terang. Untuk mengindari orang-orang melihat keadaanku yang kacau seperti sekarang. 

Aku keluar hanya ingin mencari udara segar, setelah merasa pengap terus menerus di dalam kamar. Siapa tau bisa sedikit menjernihkan pikiran, serta mengembalikan sedikit kewarasanku setelahnya.

Aku berjalan gontai menyusuri jalan setapak buatan yang dibuat untuk menuju pantai. Lantas, berhenti tepat di bibir pantai. Kuhirup aroma udara yang berbau laut namun segar karena masih pagi hari. Rasanya tidak buruk. 

Sambil memeluk tubuhku sendiri saat angin laut yang masih terasa dingin menerpa tubuhku, aku menatap nanar jauh ke tengah laut yang seolah tak berujung.

Namun, mendadak aku tersentak. Terkejut bukan main manakala tiba-tiba saja ada yang memakaikan jaket pada bahuku.

“Setidaknya, pakai jaket yang tebal kalau mau keluar sepagi ini ke pantai,”

Suara lembut itu memaksaku untuk menoleh ke arah suara itu berasal, tepat di belakangku. Dan setelahnya, mataku melebar saat mendapati orang itu tidak lain adalah Christ.

“Syukurlah kamu baik-baik aja,” dengan senyuman hangat yang selalu saja menampilkan lesung pipinya, Christ mendesah lega, dengan kedua tangan yang langsung mengeratkan jaketnya di bahuku, “aku hampir gila gara-gara mikirin kamu yang terus ngurung diri di kamar. Dua hari gak keluar dari sana, dan bahkan gak ada kabar sama sekali. Kamu tau,” Christ tersenyum tipis, terlihat dipaksakan, “sekilas aku berpikir mau ngedobrak pintu unit kamu saking putus asanya aku gak ada orang yang bisa aku tanyain tentang kabar kamu di dalam sana,” kekehnya dengan nada hambar, “Aku takut,” kekehan Christ mendadak berubah menjadi tawa miris, “kamu bertindak bodoh. Bertindak impulsif, dan—“ Christ menghembuskan nafas kasar guna menjela kalimatnya. Memilih mengusap kasar wajahnya terlebih dahulu, gestur-nya terlihat frustasi. Terlebih, ketika dia tiba-tiba saja menengadahkan wajahnya sambil kembali berucap, “cuma mikirinnya aja bikin aku sama sekali gak bisa tidur,” timpalnya lagi. Serupa dengan keluhan.

Aku memang bisa melihat dengan jelas bagaimana kusutnya wajah Christ saat ini. wajah kusut kurang tidur, hingga membuat kelopak matanya dihiasi lingkaran hitam.

Aku terkesiap, tersadar dari keterdiamanku saat Christ mensejajarkan tubuhnya, untuk berdiri tepat di sampingku. Untuk ikut memandang jauh ke tengah laut. “Ternyata, pemandangan laut di jam sekarang sangat indah. Pemandangan saat matahari terbit,” ucapnya lagi.

Christ buru-buru menahan tanganku dengan cepat, manakala aku akan berbalik, untuk meninggalkannya, “Tinggallah sebentar aja,” pintanya, tanpa mengalihkan pandangannya dari tengah laut, “tetap seperti ini. Aku mohon.”

Namun, yang aku lakukan justru berusaha menarik tanganku, agar cekalan tangan Christ terlepas.

Christ akhirnya menoleh padaku, “Aku Cuma ingin bercerita, untuk menjelaskan situasi dan keadaan yang sebenarnya,” katanya, dengan padangan yang begitu lembut tepat ke bola mataku. “setelah kamu mendengarnya, terserah kamu. Kalau kamu mau aku pergi jauh dari kamu selamanya. Aku janji akan melakukannya,” timpalnya, dengan senyuman tulus di wajahnya. Lalu, perlahan dia menarikku untuk duduk di atas pasir bersamanya.

Namun, sekuat tenaga aku justru menahan tubuhku agar tidak ikut duduk di sampingnya. Sampai Christ mengucapkan kalimat yang mampu membuat aku sedikit terkejut. 

“Istriku meninggal karena overdosis obat penenang,”

Tertegun lebih tepatnya. Hingga tubuhku mendadak seperti membeku. Tak bergerak.

“Dan dia melakukannya dengan sengaja,” Christ tertawa pahit. “Yes, istriku bunuh diri, Love. Sekitar tiga tahun yang lalu,”

Aku spontan menoleh pada Christ yang sudah duduk di atas pasir, tanpa melepaskan tangannya yang masih menahan tanganku agar tidak pergi. Senyum getir jelas terlihat terulas di bibirnya, dengan mata yang menatap kosong ke depan.

“And that’s my fault,” imbuhnya, dengan nada yang sedikit bergetar. Dan kepala yang mendadak tertunduk dalam.

Melihat bagaimana dia begitu rapuh, dan ada luka dan kesedihan yang begitu pedih, nyata terlihat dari raut wajah dan nada suaranya, akhirnya mengalah.

Memilih ikut duduk di samping Christ. Untuk mendengarkan ceritanya. 

Christ sekilas menoleh ke arahku, saat menyadari kalau aku sudah mengikutinya duduk di atas pasir. Memberikan senyuman pahit sambil mengigit bibirnya, sebelum akhirnya kembali menatap ke tengah laut lagi. Dengan sorot mata nanar.

“Istriku mengidap gangguan kejiwaan yang langka, dia mengidap D.I.D atau lebih dikenal sebagai kepribadian ganda,” Christ mulai bercerita, masih dengan sorot mata yang menerawang ke depan, nyaris kosong. “Dia punya luka di masalalunya, rasa bersalahnya sama saudara kembarnya yang tewas dalam tabrakan bersamanya,” nafas Christ terhela kasar, menjeda ceritanya sesaat, “Juliet dari kecil udah berbeda karena penyakit gagal ginjal sedari lahir. Maka dari itu, dia lebih sering menghabiskan waktunya di rumah. Karena bahkan, dia gak bisa bersekolah di sekolah umum karena keadaannya yang sangat mengkhwatirkan, orangtuanya lebih memilih dia homeschooling,”

Dan kali ini, aku memilih diam, memilih memberikan telingaku. Untuk menjadi pendengar. Hanya pendengar.

“Mereka berdua sangat dekat. Saking dekatnya, saudara kembarnya tau keinginan Juliet untuk keluar rumah dan menikmati hidup normal seperti dirinya. Karena berbanding terbalik dengan Juliet yang sakit-sakitan, saudara kembarnya itu sehat. Dia juga cantik dan pemberani. Bahkan, konon kataya, dia banyak disukai orang-orang terutama laki-laki,” ada kekehan pelan yang meluncur begitu saja dari mulut Christ. Namun, itu tidak lama. karena kekehan itu kembali mendadak hilang. Bersamaan dengan raut wajah Christ yang kembali berubah sendu. “Saat malam kejadian itu terjadi,” Christ kembali melanjutkan ceritanya, “Scarlett—saudara kembar Juliet, ngajak Juliet nyelinap keluar dari rumah untuk pergi ke pesta kelulusan sekolah Scarlett. Tapi naasnya,” kalimat Christ terhenti untuk sesaat, “waktu perjalanan pulang, mobil yang Scarlett kemudikan hilang keseimbangan karena kondisi hujan. Dan berakhir menabrak sebuah truk yang memuat besi batangan. Scarlett sekarat saat dibawa ke rumah sakit, dia kehilangan banyak darah karena ada besi yang menancap tepat di jantungnya. Sedangkan Juliet, dia buta karena kornea matanya rusak terkena pecahan kaca.”

Aku melihat Christ menjeda ceritanya untuk menarik nafas panjang, lalu mengusap wajahnya kasar.

“Scarlett gak tertolong, dia meninggal. Hanya saja, orangtua mereka memutuskan untuk mendonorkan mata dan ginjal Scarlett buat saudara kembarnya yang sedang sekarat, Juliet. Untuk memberikan hidup baru buat istriku lewat organ tubuh Scarlett. Tapi tanpa orangtua istriku sadari,” Christ tersenyum miris, “kalau semua itu bikin istriku menyalahkan dirinya sendiri setelah itu. Dia terpuruk. Bertahun-tahun nahan rasa bersalah. Sampai pada puncaknya,” Christ menelan ludahnya kasar, “dia menciptakan Scarlett di dirinya sendiri, dari kepingan rasa bersalahnya.” Christ kembali meraup wajahnya kasar.

“Awalnya, aku sendiri gak tau dengan keadaan Juliet yang punya kepribadian lain. Karena selama lima tahun kami saling mengenal, termasuk tiga tahun kedekatan kami, dia bersikap biasa aja. Seperti normalnya seorang gadis biasa,” Christ tiba-tiba saja terkekeh miris, “dan aku juga sempat bingung waktu Juliet menolak perasaanku. Padahal, aku bisa ngerasain kalau dia juga punya perasaan sama denganku setelah tiga tahun kedekatan kami, dan seringnya kami menghabiskan waktu bersama berdua. Bahkan, gadis bodoh itu berusaha mati-matian menghindariku setelahnya,” Christ kembali terkekeh. “Benar, dia memang bodoh,” masih sambil terkekeh, Christ mengangguk. “kuliah aja gak selesai-selesai lebih dari lima tahun.” 

Aku tau, kalau kekehan yang Christ keluarkan bukanlah kekehan tulus. Namun, kekehan yang dibuat-buat guna menyembunyikan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya.

Aku meremas jaket Christ yang aku pakai, berusaha menahan diri. Untuk tidak menyentuhnya walau untuk sekedar menenangkannya yang sedang rapuh tertutup kesedihan masa lalu.

“Sampai akhirnya,” kekehan Christ kembali hilang, menguap di udara, “aku ketemu sosok Scarlet di sebuah klub malam tepat di malam pesta bujang Peter. Kamu tau,”

Aku mengerjap saat Christ tiba-tiba menoleh padaku dengan senyuman yang nyata terlihat dipaksakan.

“Kepribadian Scarlet yang istriku lahirkan itu sangat menggoda dan seksi,” Christ menggelengkan kepalanya samar, lantas kembali melihat ke depan. “bahkan bola mata beriris coklat terang itu menghipnotis aku di saat itu juga. Lucunya, aku percaya aja waktu kepribadian istriku yang lain mengaku kalau dia adalah saudara kembar Juliet.” Christ menggeleng tak habis pikir, “Lagian, gimana aku gak percaya setelah melihat betapa miripnya mereka?” dengusnya lagi. “Yang berbeda hanya, warna mata mereka. Karena yang aku tau, warna mata Juliet gak seterang sosok Scarlet. Walau belakangan, aku baru tau kalau selama ini istriku menyembunyikan warna mata Scarlet di balik lensa kontak. Singkat cerita,” Christ menghela nafas panjang, “aku dan Scarlet mulai dekat dan—“ untuk sesaat Christ menahan kalimatnya. Hanya untuk melirikku dengan senyuman meringis, “melewati malam-malam penuh gairah?”

Baik, pengakuan Christ kali ini mampu membuatku tak bisa menahan diri untuk tidak menaikan satu alisku tinggi.

Christ tersenyum kecut, kembali menatap lurus ke depan, “Tapi intinya, aku mulai sadar kalau saat itu aku udah jatuh hati sama Scarlet. Yang tanpa aku sadari, ternyata sialnya aku  masih jatuh hati ke orang yang sama,” kekehnya getir. “Dan lagi, dulu saat Juliet nolak perasaanku, dia pernah minta aku nyari penggantinya. Dan Scarlet-lah yang aku pilih sebagai penggantinya, gak perduli akan fakta kalau dia adalah saudara kembar Juliet. Walau pada akhirnya, aku akhirnya tau kalau cinta segitiga itu gak pernah ada. Yang ada hanya cinta dua arah. Aku dan Juliet, karena Scarlet gak pernah ada. Dan aku memutuskan untuk menerima keadaan istriku apa adanya waktu itu. karena buatku, cinta itu tanpa syarat. Dan cinta tanpa syarat itu juga yang bikin aku berkeinginan menikahi istriku. Tentu awalnya istriku nolak keras ideku. Namun, setelah aku meyakinkan, gak perduli kalau dengan menikah aku pun harus hidup bersanding sama Scarlet, karena dia pasti sesekali akan datang. Naifnya aku, yang aku pikirkan waktu itu adalah, mau itu Juliet atau Scarlet, mereka itu tetap orang yang sama untukku. Ucapanku saat itu memang pada akhirnya bisa meyakinkan istriku, dia menerima pinanganku. Walau pada akhirnya,” kalimat panjang Christ mendadak berhenti. 

Binar matanya yang sedari tadi melihat ke depan mendadak redup. Dengan raut wajah yang mendadak berubah ngeri. Bahkan, aku bisa melihat Christ berulang kali mencoba menelan ludahnya susah payah.

“Ternyata aku salah,” dengan suara gemetar Christ kembali bicara, “seharusnya aku gak pernah menerima keberadaan Scarlet. Karena dengan aku menerima keberadaannya, sama aja memperbesar keinginan Scarlet untuk ada. Tepatnya, tetap ada untuk mendominasi istriku.” 

Aku bisa mendengar dengan jelas suara Christ bukan hanya bergetar, tapi juga mulai parau. Dengan senyuman penuh sesal dan juga penuh luka yang terukir di wajahnya.

“Awal pernikahan kami emang baik. Aku akui aku sangat bahagia. Akhirnya bisa menikah dan hidup sama orang yang kita cintai, siapa juga yang gak bahagia?” tanya Christ, namun lebih seperti pertanyaan untuk dirinya sendiri. “Sampai akhirnya, waktu pernikahan kami lewat tiga bulan, aku mulai disibukan masalah kerjaan. Sampai gak jarang ninggalin istriku karena harus keluar kota buat ngurus masalah kerjaan. Dan aku sadar kalau belakangan itu istriku mulai murung. Tapi waktu aku tanya, dia selalu jawab itu karena aku terlalu sibuk dan dia merindukan waktu berdua sama aku. Dan bodohnya, aku percaya begitu aja,” nada suara Christ mendadak tercekat.

Dan suara tercekat Christ mampu mengundang kerutan di keningku. Pertanda, aku penasaran dengan apa yang terjadi setelahnya.

“Sampai suatu hari, aku sengaja mempercepat kepulanganku dari luar kota karena emang pekerjaanya selesai lebih cepat dari perkiraan. Aku pulang tanpa ngasih kabar lebih dulu. pikirku, aku mau ngasih kejutan buat istriku. Tapi nyatanya,” lagi, Christ menahan kalimatnya dengan wajah yang mendadak terlihat tertekan, “malah aku yang terkejut bukan main,” rahang Christ mendadak keras. “Karena aku justru menemukan istriku tidur sama seorang pria asing, di ranjang kami, dalam keadaan sama-sama telanjang.”

Bola mataku membulat. Sungguh, aku benar-benar terkejut bagian itu.

Melihat reaksiku, Christ memaksakan tawanya, menutupi kepedihan hatinya. Bahkan diam-diam dia menyeka ujung matanya yang mulai mengeluarkan air mata.

Aku tidak bisa menahan diriku untuk menyentuh pundaknya yang bergetar, Christ tersenyum pahit ke arahku. Tapi aku kembali menarik tanganku saat Christ akan menyentuhnya. Dan Christ hanya memberikan senyuman kecut setelah melihat reaksi spontanku.

“Waktu itu, istriku sama terkejutnya denganku. Saat mendapati bangun di samping pria lain dalam keadaan sama-sama telanjang, dengan kondisi kamar yang berantakan. Dan aku gak bodoh untuk langsung mengerti apa yang terjadi sebelumnya sampai mereka sama-sama berakhir seperti itu. hingga akhirnya, kemarahan mendominasiku, membutakan aku. Sampai bikin aku langsung pergi gitu aja ninggalin istriku detik itu juga tanpa pikir panjang dan tanpa kata. Sama sekali gak mau dengar sedikitpun penjelasannya.” Christ menggeleng gusar.

“Aku yang saat itu merasa sakit hati dan juga merasa dikhianati, memilih tinggal di luar kota. Untuk menyelesaikan pekerjaanku tanpa harus pulang pergi. Tanpa sedikitpun mau ngegubris telepon, dan banyaknya pesan yang istriku kirim. Sampai akhirnya,” lagi-lagi raut wajah Christ kembali berubah ngeri, dan untuk kesekian kalinya juga dia terlihat menelan ludah susah payah. “Teman dekat istriku tiba-tiba menghubungiku di kantor, tepat setelah aku baru aja tiba dari luar kota. Dia minta aku datang ke apartemen karena mendesak. Awalnya aku nolak. Tapi saat dia memohon sambil bilang aku akan menyesal seumur hidup kalau aku gak datang secepatnya, aku pun berubah pikiran. Dan nyatanya,” suara Christ kembali tercekat.

Dan aku bisa melihat dengan jelas kalau saat ini kedua tangan Christ terkepal kuat di atas pangkuannya.

“Teman istriku benar. Pada akhirnya aku menyesal datang terlambat,” Christ terkekeh pahit. “Karena saat aku tiba di apartemen, yang aku lihat pertama kali justru garis polisi yang membentang di pintu unit kami. Dan gak lama kemudian, aku melihat dengan jelas, dengan mata kepalaku sendiri kalau tubuh istriku udah terbujur kaku di lantai yang dingin, dengan mulut berbusa, juga obat penenang yang biasa dia minum berserakan di sekitar tubuhnya.”

Tanpa sadar, aku ikut menelan ludahku sendiri. Merasa ngeri sendiri saat membayangkan apa yang baru saja Christ tuturkan.

Juga, membayangkan kalau aku berada di posisi Christ. Melihat dengan mata kepalaku sendiri, bagaimana tubuh orang yang aku cintai, terbujur kaku karena bunuh diri.

Itu pasti sudah seperti mimpi buruk. Dan kalau itu aku, mungkin, aku pun tidak akan bisa tidur nyeyak setelahnya. Dan aku tidak yakin kalau setelah itu aku masih dalam keadaan waras, dan tidak sinting.

“Kamu tau?”

Suara Christ kembali menarikku kembali dari lamunan.

“Polisi bilang, istriku baru ditemukan selang satu hari setelah dia meninggal. Artinya, istriku.. meregang nyawa...” aku bisa mendengar ucapan Christ mulai tersendat-sendat, “sendirian,” timpalnya, sembari mengusap kasar wajahnya dengan frustasi. “sungguh, aku gak bisa bayangin gimana waktu itu. Dia pasti kesakitan, dan dia sendirian, sedangkan aku..” Christ menggelengkan kepalanya gusar, lantas menengadahkan wajahnya ke atas. Guna manahan air matanya yang sudah akan tumpah. “dan kamu tau?” Christ terdiam sejenak, “Istriku meninggal dalam keadaan hamil,” timpalnya dengan suara yang bergetar parah.

Aku sampai menutup mulutku saking terkejutnya, tak mampu mengeluarkan kata-kata. Dan lagi, apa yang harus aku katakan?

Aku bingung.

“Dan itu bukan anakku,” Christ tiba-tiba saja tertawa. Tentunya, itu hanya tawa kosong yang terdengar pahit dan memilukan.

Dan aku sampai tertegun dibuatnya. 

Bagaimana mungkin?

“Aku bisa tau semua itu karena sahabat istriku ada ngasih surat yang istriku tulis, dan dia titipkan ke sahabatnya sebelum dia melakukan tindakan gila itu. Istriku... dia..” Christ menggelengkan kepalanya samar, “memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri setelah tau kalau dia hamil, dan itu bukan anak aku. Bahkan, istriku sendiri gak tau siapa Ayahnya. Karena selama aku di luar kota, berkali-kali dua bangun dengan laki-laki yang berbeda. Dan pelakunya gak lain adalah Scarlet, kepribadiannya yang lain.”

Aku bisa mendengar tawa pahit yang lolos begitu saja dari mulut Christ.

“Saking sibuknya aku waktu itu, aku sampai lupa akan fakta kalau Scarlet masih ada, dan susah dikendalikan sisi liarnya. Dan nyatanya, itu yang bikin istriku murung beberapa waktu terakhir. Dia merasa bersalah karena merasa gak bisa mengendalikan dirinya sampai kepribadiannya yang lain lebih mendominasi hidupnya, hingga akhirnya… dia lebih memilih mengakhiri hidupnya. Karena dia pikir, dengan dia mati, Scarlet pun akan mati, ikut terkubur sama jasadnya. Dan aku terpukul.” 

Christ mendadak diam. Dengan satu telapak tangan yang menutup wajahnya. Walau tanpa suara, tapi aku tau kalau saat ini dia sedang menangis. Aku bisa memastikan itu ketika melihat bahunya teguncang samar.

“Aku..” Christ kembali bersuara, dengan suara yang serak dan parau. Sembari mengusap matanya. Guna menghilangkan jejak air matanya di sana. “terus menyalahkan diriku sendiri saat itu. Aku menghujat Tuhan, berhenti dari pekerjaanku. Dan pada akhirnya, perjalanan jatuh bangun aku mempertemukan aku sama kamu,”

Christ menjeda ceritanya untuk kembali menoleh padaku, menatapku lembut, masih ada sedikit sisa air mata di bulu matanya. Dia tersenyum tulus hingga memperlihatkan lesung pipinya. Tangannya bergerak ragu seolah ingin menyentuh tanganku tapi dia urungkan, takut penolakanku. 

“Aku bertemu wanita rapuh yang sama bergantung sama obat sialan itu,” kekehnya pahit. “yang penyebabnya pun sama karena penderitaan di masa lalu.” Nafas Christ terhela panjang di tengah kalimatnya, “Awalnya, aku pikir, mungkin ini cara Tuhan untuk aku bisa memperbaiki kesalahanku sama istriku, dulu. Untuk menghilangkan rasa bersalah yang selama ini terus bercokol di hatiku dan gak mau pergi. Dengan cara, bantu kamu keluar dari kubangan masa lalu,” Christ tersenyum samar, “Dan aku akui itu emang alasan aku deketin kam—tapi aku berani sumpah,” timpal Christ cepat. Dengan gelengan panik saat melihat perubahan raut wajahku, “aku sama sekali gak punya niat buat nyakitin kamu, Love. Aku Cuma..” dan lalu mengusap kasar wajahnya, “ingin bantu kamu. Itu aja,” lirihnya, dengan nada menyesal.

Merasa kalau dadaku kembali terasa sesak seolah diremas oleh sesuatu tak kasat mata setelah mendengar pengakuan dari mulut Christ langsung, aku langsung membuang wajah. Guna menyembunyikan genangan air mata yang aku rasakan mulai kembali hadir di pelupuk mataku.

“Tapi asal kamu tau,” Christ buru-buru menimpali kalimatnya, setelah melihat reaksi kecewa dariku, “setelah hari-hari yang aku lewati sama kamu, bikin perasaanku berubah.”

Kalimat Christ kali ini mampu membuat aku kembali melihatnya. Dan saat itulah aku bisa melihat senyuman manis yang terlihat tulus terukir di wajahnya.

“Ada kenyamanan dan kebahagiaan di sana,” katanya, dengan sorot mata lembut dan hangat. “Bikin aku sadar, kalau ada sesuatu yang terjadi sama hatiku. Di sini,” tunjuknya ke dadanya sendiri, “Dan aku bertambah yakin waktu kamu tiba-tiba aja ngindarin aku. Kamu tau, Love?” Christ terkekeh pelan, bukan jenis kekehan pahit seperti di saat Christ menceritakan kisah masa lalunya. “Saat itu, aku ngerasain kegelisahan yang gak biasa Cuma gara-gara gak ketemu sama kamu beberapa hari itu. Dan waktu itu...” Christ menggeleng, dengan kening yang mendadak berkerut, “rasanya waktu berjalan sangat lama. Dan itu menggangguku tanpa aku sadari. Bahkan,” sorot mata Christ mendadak menerawang. “aku hampir gila hanya karena nungguin kabar dari kamu. Dari situ aku bisa pastiin kalau aku udah mulai suka sama kamu, selayaknya seorang pria menyukai lawan jenis. Bukan karena segala sesuatu tentang mendiang istriku. Bukan,” Christ kembali menggeleng, “bukan hanya karena aku suka, tapi, aku juga sadar kalau aku udah jatuh hati sama wanita yang bernama Melody Fransisca. Wanita pintar, mandiri dan juga kuat. Karena dibanding aku, dia lebih kuat menghadapi bertahun-tahun kepahitan dalam hidupnya. Sedangkan masalahku gak seberapa ketimbang masalahnya yang terus datang bertubi-tubi.”

Dalam diam, aku menatap lekat manik mata Christ, berusaha mencari kebohongan dalam ucapannya. 

“Aku akui, aku ngajak kamu ke reuni kemarin karena emang mau ngindarin kenangan aku sama istriku, dulu. Tapi bukan dengan niat buruk. Aku hanya... ingin menutup rapat kenangan itu, dan menggantinya dengan kenangan baru. Sama kamu.”

Akan tetapi, tak bisa aku pungkiri, setelah mendengar ucapan Christ, membuat air mataku kembali luruh tanpa bisa dicegah. Terlebih, setelah aku sadar, kalau aku tidak menemukan kebohongan dari sorot matanya.

Buru-buru aku menutup wajahku, guna menyembunyikan air mata, sekaligus untuk meradam suara tangisku yang terasa akan keluar.

“Karena aku benar-benar ingin melupakan Juliet, menutup lembar kisahnya. Agar hanya ada kamu yang ada di hatiku.”

Aku menggigit bibit bawahku kuat. Saat menyadari kalau aku salah menilai Christ. Walau sejujurnya, kesalahan menilaiku memang berdasar. Bukan hanya karena salah paham.

“Love.” Bisik Christ seraya menyentuh tanganku ragu, menariknya agar aku tidak menutupi wajahku. “Maaf. Maafin aku karena udah nyakitin kamu. Iya, aku salah. Dan aku gak akan menyangkalnya. Aku salah karena sedari awal aku gak terbuka sama kamu. Sekarang, setelah aku menjelaskan semuanya, aku lega banget,” Christ menghembuskan nafas panjang pertanda kelegaan itu sendiri. “Jaga diri kamu baik-baik, ya sekarang?” bisiknya, dengan tangan yang sudah terulur untuk mengusap puncak kepalaku, “ingat, jangan bertindak bodoh lagi,” peringatnya, masih dengan nada halus yang lembut. “Sesuai janji aku, aku bakal pergi dari hidup kamu setelah kamu mendengar semua penjelasan dan cerita aku,” Christ menghela nafas panjang sekilas. Seolah tengah mengumpulkan kekuatannya sendiri, sebelum akhirnya, dia kembali bicara, “Selamat tinggal,” tukasnya, dan lantas beranjak bangun dari duduknya.

Namun, “Christ,” panggilku tiba-tiba. Dan tentunya, sanggup menahan langkah Christ. Tak menyahut, hanya menoleh padaku.

Aku menyeka air mataku dengan punggung tangan, “Setelah semua yang kamu perbuat sama aku, kamu mau pergi gitu aja?” decihku marah, dengan isak tangis yang sedari tadi aku tahan, akhirnya tumpah juga.

“Ya?” jelas terlihat kalau kini Christ tengah kebingungan saat mendengar aku tiba-tiba bicara, dengan menggunakan nada tinggi pula. Memperlihatkan dengan jelas kalau aku sedang marah.

Buru-buru aku ikut bangkit dari dudukku, dan mendekati Christ lantas mendaratkan pukulan di bahu Christ lumayan keras.

Sakih kerasnya, Christ sampai mengaduh, “Love?” tanyanya bingung. 

“Kamu jahat!” seruku, dengan isak tangis yang kian keras. “Kamu keterlaluan! kamu tega!” 

Christ langsung menahan tanganku yang sudah terayun untuk kembali memukulnya, dengan wajah meringis. Kepalanya menggeleng, “Sakit—“

“Ayo,” potongku tiba-tiba, di sela sedu-sedan tengisanku sendiri.

“Hm?” dan tentunya, ucapan singkatku mampu membuat kerutan di kening Christ kembali hadir. Semakin terlihat kebingungan.

Aku menunduk dalam, dengan sedu-sedan yang masih terdengar, “Ayo kita obati luka masa lalu kita sama-sama,” lirihku, nyaris tak terdengar.

“Ya?”

Aku kembali mengangkat wajahku, setelah mengusap jejak air mataku, walau itu terasa percuma, karena air mataku masih terus keluar lagi dan lagi. Dan juga, setelah aku memiliki keberanian untuk melihat wajah Christ yang kini tengah menatapku bingung, “Ayo saling bantu keluar dari kubangan masa lalu masing-masing. Dengan cara, tetap berada di sisiku, dan begitupun sebaliknya. Aku akan tetap berada di sisi kamu. Agar kita berdua, bisa melewatinya,” terangku, masih dengan berurai air mata.

Christ diam tertegun sepersekian detik, seolah tengah berusaha mencerna dengan baik maksud dari ucapanku. Dan setelahnya, setelah dia bisa mencerana semuanya, senyuman lega pun langsung terbit menghiasai wajahnya. Bahkan, Christ langsung menarikku dalam pelukannya. Merengkuh tubuhku erat, “I love you, Love,” bisiknya, sembari mengucup puncak kepalaku.

Tangisku kembali pecah dipelukan Christ yang hangat. Namun, kepalaku mengangguk dalam dekapannya.

“Sejujurnya, aku belum percaya seratus persen ucapan kamu, tentang perasaan kamu. Karena—“

“Dan aku pasti akan membuktikannya sama kamu, kalau gak ada kebohongan sedikitpun dari pengakuanku, seiring berjalannya waktu saat kita sama-sama,” potong Christ segera.

Aku kembali mengurai pelukan Christ, “Kamu harus janji, mulai sekarang, gak ada lagi yang  boleh disembunyiin dalam hubungan kita. Entah itu tentang kamu pribadi, masa lalu kamu, atau bahkan keluarga kamu,” pintaku. 

Baru saja aku akan mengusap jejak air mata di wajahku. Namun, Christ sudah terlebih dahulu melakukannya. Kedua tangannya yang kini menggantikan tanganku menyeka dengan lembut sisa air mata di wajahku.

“Hm, aku janji,” Christ mengangguk lugas, seolah tak ada keraguan. “Kamu juga udah kenal sama keluargaku, kan?”

“Gak semua. Cuma Papi kamu sama istri mudanya,”

“Oke, next time aku ajak ketemu sama Mami. Gimana sama kamu?”

"Nanti, kalau kita punya waktu, aku bakal ngajak kamu ketemu sama Kakak perempuanku. Karena keluargaku yang ada Cuma Kakakku,”

“Oke,” Christ mengangguk. Sembari mengaitkan jemari kami, untuk mengajakku pergi meninggalkan bibir pantai, “ceritain tentang Kakak kamu,” pintanya. Di sela langkah kami.

“Kakakku...”sorot mataku mendadak menerawang di sela langkah, "dia wanita yang kuat,” jawabku akhirnya, “gak pernah menyerah memperjuangkan aku, adik satu-satunya, di saat semua orang di sekitarku udah nyerah, dan gak perduli kalau itu bikin rumah tangganya sendiri hampir berantakan,” ada senyuman tipis yang mendadak muncul di wajahnya. “Dia juga cerewet banget. Pas aku kirim foto kamu ke dia, hape aku rasanya nyaris nge-blank gara-gara dia hujanin aku banyak pertanyaan lewat pesan singkat. Katanya, dia bilang kamu mirip artis Korea favoritnya,” ceritaku dengan tawa pelan.

Christ ikut tertawa, “Hm, aku memang setampan itu,” kekehnya.

Tentunya, langsung kubalas dengan decihan sebal sembari menyikut perutnya.

“Mana cincinku?” pintaku tiba-tiba, dengan tangan menengadah tentu.

Tentu saja sanggup membuat langkah Christ kembali berhenti, untuk melihatku dengan satu alis terangkat, “Apa ini?” tanyanya, dengan wajah pura-pura tidak mengerti. Tentu ingin menggodaku.

Namun, aku sama sekali tak perduli, malah semakin menyodorkan tanganku padanya setelah aku ikut menghentikan langkah, “Mana?”

Christ tersenyum geli. Namun, tetap merogoh saku celananya. Mengeluarkan kotak kecil berwarna merah dari sana. Lantas, mengulurkannya padaku setelah membukanya. Tentunya, cincin yang kemarin sempat aku pakai berada di dalamnya.

Aku mendadak berdecak tak percaya, “Seingat aku, pas kemarin kamu lamar aku gak pake kotak? Gak romantis sama sekali. Kenapa sekarang mendadak pake kotak? Dasar pria aneh.”

Christ tertawa mendengar gerutuanku, “Aku takut cincinnya hilang kalau aku nekat nyimpen di saku tanpa kotak lagi kaya kemarin,” terangnya, “bisa-bisa, aku digantung sama pemiliknya kalau cincinnya ilang,” timpalnya. Lalu, tiba-tiba dia berlutut di depanku. “Melody Fransisca, will you merry me?”

Aku tersenyum dibuatnya.

“Udah romantis, kan?” tanya Christ dengan wajah jenaka.

Dan apa yang baru saja dilakukan Christ, tentu sanggup membuat tawaku akhirnya lepas, “Tentu aja aku mau,” jawabku di sela tawa, “Cuma perempuan bodoh yang bakal nolak seorang manager, kaya, dan anak orang terpandang,” cibirku.

“Hei!” Christ langsung mengeluarkan protes saat kembali bangun dari posisinya tadi. “Gak gitu jug—“

“Dan juga tampan,” tambahku buru-buru, tentu dengan senyuman, saat melihat Christ akan menumpahkan protesan-nya.

Mau tidak mau, Christ jadi tersenyum geli. Lalu menyematkan cincin itu kembali di jariku. “Nah, sekarang cincinnya udah balik ke pemiliknya,” decaknya pelan, dengan senyuman lega yang mengembang. Dan lalu, dia menarikku begitu saja ke pelukannya.  “I Love you,” bisiknya lagi.

Hanya saja, kelegaan itu tidak akan bertahan lama. Karena tanpa kami sadari, badai sebenarnya dari hubungan kami bukanlah ini. 

Bukan berasal dari kisah masa lalu Christ yang sosoknya sudah tidak ada. Pergi untuk selamanya namun dengan ribuan luka yang ditinggalkan untuk Christ. 

Melainkan, sosok lain yang masih hidup. Akan tetapi memilih bersembunyi dengan rahasia yang selama belasan tahun dia pendam sendiri.

***

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Sinners (Last Chapter season 1)
13
4
Chapter terakhir menuju season 2 yang bakal di upload di wattpad.sekian
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan