
Rainbow After The Rain 1 || Api Dalam Sekam
***
Rumah besar (10.00 Pm)
"Cup-cup," untuk ke sekian kalinya, Fanny mengeluarkan kata pamungkas itu. Untuk menenangkan Bee--Beauty Piova, cucu perempuan dari anak sulungnya yang sedari tadi terus saja menangis tak mau berhenti biarpun sudah hampir lebih dari satu jam Fanny gendong sembari ditimang. Namun, cucunya itu tetap tak mau diam dan terus saja menangis. Malah, tangisannya justru semakin kencang dan keras. Membuat rumah besar yang biasa sunyi kini menjadi ramai karena suara tangisan bayi tersebut.
"Masih belum mau tidur juga?"
Fanny sotak menoleh ketika mendengar suara Albert bertanya. Dan benar saja, Albert yang sebelumnya berada di dalam ruang kerjanya, sampai kembali ke kamar gara-gara mendengar suara cucunya terus saja menangis tak kunjung berhenti. Padahal, waktu sudah menujukan pukul sepuluh malam.
Sembari meringis, Fanny menggeleng enggan, "Belum, Pi. Dikasih susu juga gak mau." Jawab Fanny, tanpa berhenti menimang sang cucu sembari mengusap lembut punggungnya.
"Sini coba, biar Papi yang gendong," tawar Albert. Mengulurkan kedua tangannya untuk meraih cucunya yang masih menangis di gendongan Fanny.
Fanny buru-buru menggeleng sembari menjauhkan cucunya dari jangkauan Albert, "Jangan, Pi." katanya, "Nanti Bee nangisnya malah makin kenceng. Sama Mami aja yang suka ketemu nangis keras begini. Apalagi sama Papi yang ketemunya jarang banget?"
"Ya, lagian kamu, Fan," Albert menghela nafas kasar di tengah kalimat, "udah tau kalau Bee ini susah dipegang sama orang lain. Kenapa nekat minta Bee yang dititip di sini?"
"Karena Bee anak perempuan," jawab Fanny dengan nada sedikit sewot. Sedikit tidak terima disalahkan.
"Memang bedanya apa anak laki-laki sama anak perem--"
"Ya, bedalah!" desis Fanny ketus. Dengan nada yang pelan, agar tidak semakin membuat tangisan cucunya semakin keras. "Papi, kan, tau sendiri. Dari dulu Mami itu pengen banget punya anak perempuan. Tapi, yang keluar laki-laki lagi, laki-laki lagi." jawabnya.
"Iya, dan keinginan kamu pengen punya anak perempuan itu bikin Rere jadi korban." kenang Albert. "Waktu kecil, Rere abis kamu dandanin kaya anak perempuan." Albert menggelen pelan, "Untungnya setelah gede dia gak krisis identitas."
Fanny mendengkus, antara geli dan juga kesal. "Habis mau gimana lagi," gumamnya, "Itu saking pengennya Mami punya anak perempuan. Tapi anaknya yang bungsu ternyata laki-laki lagi. Makanya sekarang pas anak-anak Rain harus dititip Mami mintanya Bee aja. Buat memuaskan keinginan Mami ngurus anak perempuan sedari bayi. Eh, tapi malah begini." raut wajah Fanny mendadak kusut di akhir kalimat.
"Kan, Keyko sendiri udah bilang, peringatin Mami dari awal pas Mami minta Bee yang dititip. Kalau Bee satu-satunya anak mereka yang gak gampang bisa dipegang siapapun. Rain aja butuh waktu beberapa bulan buat bisa gendong. Itupun setelah mereka tinggal satu rumah. Padahal Rain Ayahnya sendiri. Apalagi Mami yang jarang ketemu dan gak satu atap." Kata Albert.
Fanny menggersah nelangsa, "Kan, Mami pikir Bee udah kenal Mami. Tiap akhir pekan, kan, Bee sama saudaranya ikut Mami. Tapi ternyata, anak Rain yang ini bener-bener--" Fanny menggeleng keras. Tak melanjutkan kalimatnya.
"Karena pas akhir pekan ikut Mami, kan, Mbak-nya mereka ikut. Sekarang gak."
"Terus gimana, dong, sekarang?" tanya Fanny lagi, dengan nada lesu dan wajah kusut. Sembari menunduk untuk melihat sang cucu yang masih saja terus memangis sembari menenggelamkan wajahnya di dada Fanny. "Kalau tau bakal begini, dari awal Mami minta si sulung aja yang dititip di sini."
"Ya, udah, sini gantian Papi yang gendong--"
"Tapi--"
"Dicoba dulu," potong Albert.
Fanny menghela nafas kasar untuk sesaat, dan lantas menuruti permintaan Albert untuk memberikan cucunya pada sang Kakek. Namun, beru saja Albert akan meraih Bee dalam gendongan Fanny, suara tangis Bee justru semakin keras hingga membuat Kakek dan Neneknya kaget. Panik dan kelimpungan bersamaan. Sepanjang malam.
***
Rumah Revaldo (00.05 am)
“PAPA!!” Arseno menjerit histeris dengan air mata—buaya—yang sudah berderai membasahi wajahnya. Tak lupa dengan gaya andalannya, menggelinding ke sana kemari di atas karpet lantai kamar.
Tentunya, sama seperti sebelum-sebelumnya, jeritan Arseno kali ini pun langsung dibalas lengkingan tawa nyaring, terkekeh-kekeh sambil bertepuk tangan, plus dengan untaian ludah di mulut mahluk bulat yang kini tengah dalam gendongan Revaldo. Seolah apa yang dilakukan Arseno adalah atraksi paling lucu yang tengah dia tonton sedari tadi.
Sedangkan Revaldo, hanya bisa menatap anak semata wayangnya dengan wajah nelangsa.
Nelangsa karena bingung sendiri apa yang harus dia lakukan lagi untuk membuat anak semata wayangnya itu berhenti menangis.
Iya, saat ini Arseno sedang tantrum. Merajuk karena tidak suka sedari sore tadi Revaldo terus saja menggendong mahluk bulat, yang tidak lain adalah baby C—Carlos Regen. Anak bungsu dari Kakak sulungnya yang sedari sore tadi memang dititip di rumahnya lantaran kedua orangtuanya kini sedang berada di rumah sakit.
Sekedar informasi, Kakak sulungnya itu—Rainendra saat ini sedang dirawat di rumah sakit karena tumbang. Sudah berapa hari ini badannya panas. Tidak membaik walau sudah minum obat yang akhirnya harus dilarikan ke rumah sakit lantaran panas tubuhnya tidak turun-turun.
Kata dokter, kecapekan. Dan harus di rawat intensif di rumah sakit untuk beberapa hari ke depan sampai kondisinya membaik.
Katanya, sih, kecepekan karena akhir-akhir ini kerjaan Rain sedang banyak. Terus, dia juga harus disibukkan wara-wiri ke sana kemari untuk mengurusi persiapan acara resepsi pernikahannya dengan Keyko yang akan di gelar tak lama lagi.
Dan karena Rain masuk rumah sakitlah ketiga anaknya harus dititipkan.
Padahal, Rain yang Revaldo kenal sosok mandiri dan tidak pernah menyusahkan. Tapi, kini menjelma jadi sosok manja yang hanya ingin ditunggui Keyko saat di rumah sakit.
Bah! Revaldo jadi curiga, jangan-jangan sakitnya Rain itu hanya pura-pura. Rekayasa hanya untuk bisa berduaan di rumah sakit terus melakuikan hal iya-iya di sana demi mewujudkan fetish dan fantasi Rain setelah Rain menonton video b*k*p bertemakan rumah sakit dan suster bohay berpayudara besar.
Mengingat Kakak sulungnya itu sekarang jadi orang mesum dan bisa kawin dimana saja macam kucing.
Set dah!
Pikiran Revaldo bisa sampai seburuk itu pada sang Kakak sulung.
Habis bagaimana, Revaldo sudah sering sekali melihat—memergoki Kakak sulungnya itu berbuat mesum di sembarang tempat. Jadi, wajar, kan, kalau sekarang Revaldo punya pikiran buruk?
Masalahnya, kenapa pula Rain sakit ketika para pengasuh anak-anaknya libur pulang kampung untuk hari raya?!!
Jadinya, kan, anak-anaknya harus dititip di sana-sini seperti sekarang!
Mana tiga biji pula!
Satu di rumah besar, satu di rumah Revaldo, satu di rumah Ryan. Mengingat Bella sedang pergi berlibur sembari menengok orangtuanya bersama suami dan anaknya. Juga, orangtua Keyko yang sedang kembali ke Jepang untuk beberapa saat.
Kok, Kakak sulungnya itu nyusahi sekali. Siapa yang bikin, siapa yang kerepotan seperti sekarang.
Hah! Di tengah tatapannya pada sang anak, Revaldo mendengus kasar.
Dipikir-pikir, ya pasti kecapeanlah! Orang saban hari kawain melulu tidak mengenal waktu dan tempat!
Sue bener!
Tuh, kan, kalau Revaldo ingat dia jadi senewen sendiri.
“Papa Yeye ndak tayang agi nyama atu! Huaaa!!” lagi, Arseno kembali terdengar bersuara. Menjerit histeris yang lagi-lagi disambut gelak tawa sumringah mahluk bulat yang sampai saat ini masih berada dalam gendongan Revaldo. Yang sedari tadi menolak diturunkan ataupun digendong Lian.
Karena setiap kali Lian akan mengambil alih, ataupun akan Revaldo turunkan dalam gendongannya, mahluk bulat itu akan mengeratkan kaki dan tangannya. Sudah mirip anak monyet.
Satu tangan Revaldo yang bebas sontak meraup kasar wajahnya frustasi melihat tingkah anak semata wayangnya yang suka sekali mendramatisir keadaan hanya karena cemburu pada baby C.
Ohoo, jangan salah, Revaldo itu tau kalau anak semata wayangnya itu memang jagonya kalau masalah mendramatisir keadaan. Bagaimana pun, kan, Arseno itu punya gen Revaldo yang kental sekali. Jadi, Revaldo bisa tau kapan anaknya sedang mendramatisir keadaan dan juga tidak.
Tapi masalahnya, anaknya itu kalau sedang mendramatisir keadaan suka berlebihan dan kadang kebablasan. Dalam arti, susah untuk ditenangkan dan dibujuk.
Seperti sekarang.
“No,” desah Revaldo akhirnya. Memanggil nama anaknya dengan lesu. “Papa, kan, gak kemana-mana. Di sini dari tadi main sama Ano—“
“TAPI PAPA NDAK MAIN NYAMA ATU!!” Arseno kembali menjerit. Lalu kembali menggelinding ke sana kemari. “PAPA MAINNYA NYAMA CI DADUT TELUS!” jeritnya lagi. Semakin keras dan semakin berutal menggelinding macam gasing. “Papa aat (jahat) nda tayang nayama Ano agi—“
“Siapa bilang?” Revaldo mendelik tak terima. “Papa sayang Ano, kok—“
“Bodong!!” jerit Arseno lagi. “Papa bodong!”
“Bohong, No, bohong!” koreksi Revaldo gemas. Duh, anaknya ini kapan, sih, bicaranya lancar dan dimengerti umat manusia? “Bukan bodong! Udel Papa gak bodong!” timpalnya, berusaha meluruskan kata-kata anaknya yang suka sekali ambigu.
Arseno mendadak berhenti menggelinding, “Ano juga bilang ditu tadi Papa!” protesnya nyolot. Sembari mengusap ingus menggunakan punggung tangannya dengan serampangan. Menyebabkan ingusnya membentuk garis horizontal di bagian pipi.
“Tadi Ano bilangnya bodong—“
“Bodong!”
“Iya, bodong—“
“Papa munya tuping nda?!”
“Punyalah, ini ada dua kuping Papa.”
“Talo munya tuping dengelin atu omong nyang benel!”
“Justru karena—“
“Papa aat!!” Arseno kembali ke aktivitasnya yang tadi. Menggelinding ke sana kemari tak karuan. “Ano mau sulu Mama Yan tali Papa balu jaja!”
“Ini ada apa—astaga! Revaldo!!” Lian yang baru saja kembali dari dapur dengan dua botol susu untuk Arseno dan baby C langsung berseru nyaring setelah mendapati posisi anaknya yang sedang menggelinding ke sana kemari di atas lantai. “Ini anaknya diapain?!!” sengitnya galak sembari menghambur, untuk menghampiri anaknya yang masih sibuk menggelinding ke sana kemari.
Melihat istrinya yang sudah memasang mode galak, Revaldo langsung gelagapan. Panik bukan main. “Aku gak ngapa-ngapain, Ay!” sangkalnya cepat. Dengan gelengan kepala keras berulang kali.
Di tengah aktivitasnya yang sedang berusaha mengangkat tubuh anaknya di lantai, Lian mendelik. “Kalau gak diapain-apain kenapa Ano rebahan di lantai begini?!” herdiknya lagi.
“Lah, anak kamu yang—“
“Anak aku kamu bilang?!!” Lian berseru sengit sembari melotot garang pada Revaldo.
Revaldo mengerjap kaget, “A-anak aku juga maksudnya!” koreksinya cepat. Setelah melihat istrinya yang galak luar biasa itu terlihat akan menyemburkan amarahnya. Bukan, Revaldo bukan suami takut istri. Revaldo Cuma terlalu bucin saja. Serius! “Iya, anak aku juga!” timpal Revaldo lagi dengan anggukan keras kepalanya berulang kali. Maaf, ya, Revaldo terlalu takut disuruh tidur di luar. Di ruang televisi lebih tepatnya. Dan hanya ditemani nyamuk-nyamuk nakal. “Aku Bapaknya! Aku yang ngadon, Ay! Aku—“
“Mama, Papa aat!” adu Arseno tiba-tiba. Setelah Arseno berhasil Lian angkat dari lantai, dan kini berada dalam gendongan Lian. “Papa aat!” tuduh Arseno lagi, dengan telunjuk yang sudah menuding ke arah Revaldo yang hanya bisa mengerjapkan matanya berulang kali. “Papa nda tayang nyama Ano agi! Huhuhuu!” dan lalu mulai menangis penuh drama. Tak lupa dengan air mata—buayanya—yang kembali bercucuran membasahi wajah. “Ayo, tita tali Papa balu jaja—“
“Hus! Sembarangan aja kamu, No!” potong Revaldo keki. Berbanding terbalik dengan mahluk bulat yang masih terus bertahan dalam gendongan Revaldo. Yang terus saja tertawa tiada henti melihat perseteruan sengit antara Revaldo dan juga Arseno. “Enak aja kamu ngajak Mama cari papa baru!” protesnya. Sengit setengah mati.
“Balin!” balas Arseno tak kalah sengit. “Papa Yeye udah ndak tayang atu agi!” serunya, dramatis. “Ano mau tali Papa balu nyang tayang nyama Ano—“
“Jangan sembarangan ngomong, ya, No!” peringat Revaldo. Mulai misuh. “Kamu gak tau apa perjuangan Papa ngawinin—eh, nikahin Mama kamu maksudnya!” katanya, dongkol bukan main. “Perjuangannya itu penuh lika-liku dan air—“
“Udah-udah!” potong Lian yang merasa gemas sendiri pada pertengkaran unfaedah suami dan anaknya itu. “Kamu tuh ya, Al,” Lian kembali mendelik ke arah Revaldo. “Dititipin sebentar buat bikin susu aja gak bisa! Gimana mau punya anak lagi!” sengitnya.
“Bukan gak bisa, Ay!” kilah Revaldo cepat. “Kalau anak sendiri gak bakal begini. Apalagi anak aku.” katanya, dengan wajah bersungguh-sungguh. “Kalau sama anak sendiri itu lebih leluasa. Lebih bisa tegas, dan lebih bisa ngatur—“
“Oh, anak kamu, ya?” kata Lian, dengan senyuman penuh arti. Namun, dengan mata yang lantas melirik pada putra semata wayangnya yang masih sibuk memasang wajah teraniaya dengan derai air mata di gendongan Lian.
Revaldo mengejap, berulang itu. “Ya, beda cerita, Ay!” lagi, Revaldo berkilah. “Cetakan kedua ketiga dan seterusnya biasanya penyempurnaan dari cetakan pertama. Aku misalnya, aku lebih ganteng dan lebih manis dibanding sama Mas Rain apalagi Mas Ryan,” katanya, jumawa.
Tentunya, langsung Lian balas dengan merotasikan matanya sendiri.
“Sama halnya sama Adiknya Ano nanti! Dijamin dia gak raja drama—“
“Ano ndak mama (drama)!” tiba-tiba saja Arseno yang masih dalam gendongan Lian berseru kencang, tak terima dikatai oleh Ayahnya sendiri. Menangis, meraung sejadi-jadinya. Bahkan, tanpa diduga, Arseno sampai memukul paha gempal baby C yang masih dalam gendongan Revaldo. Tentu saja pukulan Arseno secara otomatis membuat si yang punya paha ikut menangis kencang. Sejadi-jadinya, serta lebih keras dari tangisan Arseno.
Saking kencangnya tangisan Baby C, sampai-sampai membuat Arseno yang sedari tadi menangis mendadak diam. Lantas, seolah dirinya tidak baru saja melakukan suatu kesalahan yang menggemparkan rumah kecil Revaldo, Arseno pun mengajak Lian untuk tidur dengan tanpa beban.
Meninggalkan Revaldo yang kelimpungan sendiri menenangkan baby C yang terus saja menangis kencang tiada henti sepanjang malam.
Dalam hati Revaldo merutuki dirinya sendiri.
Kenapa juga tadi Revaldo tidak mengambik Baby A saja? Anak sulung Rain yang lebih pendiam dan tidak banyak tingkah.
Tapi, ya, bagaimana. Sebelum Revaldo menggendong anak sulung Rain, si bontot yang punya badan paling bulat dan gempal itu sudah terlebih dulu nemplok padanya macam anak koala!
***
Rumah Ryan (02.00 am)
Dengan perlahan agar tak menimbulkan suara yang bisa membangunkan Kyle yang baru saja terlelap sedari tadi, sekaligus membangunkan bayi laki-laki yang tidak lain adalah Azura Varsha—putra sulung Rain yang biasa dipanggil Baby A, yang kebetulan malam ini sedang dititip di rumah Flo, dan kini sudah terlelap sedari tadi di atas ranjang, Flo menurunkan Kyle—putra bungsunya ke atas ranjang. Tepat di samping Baby A.
Setelah mengecup sekilas kening Kyle, Flo kembali menegakkan punggung. Menatap Baby A sekilas dan lantas ikut mengusap kepala bayi laki-laki yang umurnya hanya berbeda beberapa bulan dari Kyle dengan sayang.
Anak sulung Rain ini pintar sekali. Dari semenjak datang untuk dititip di sini, dia sama sekali tidak rewel apalagi menangis. Tidak juga selalu ingin digendong. Cukup ditidurkan di atas ranjang, diberikan mainan ataupun botol susu. Dia akan diam, anteng selama berjam-jam sambil memegangi mainannya, ataupun botol susunya sendiri hingga akhirnya jatuh tertidur sendiri.
Seolah Baby A tau kalau Flo sendiri sedang kerepotan mengurusi Kyle yang seharian terus saja rewel dan menangis karena badannya panas.
Tanpa sadar Flo tersenyum, “Anak Mas Rain yang ini baik banget.” Bisiknya, “Pinter. Mirip banget sama Papanya,” timpal Flo lagi. Sebelum akhirnya kembali bangkit dari ranjang untuk mencari Ryan-suaminya yang sedari tadi mengurung diri di ruang kerja. Sibuk mengerjakan pekerjaan yang dia bawa pulang.
“Kamu mau kemana?” pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Flo, sesaat setelah membuka pintu ruang kerja Ryan, Flo mendapati Ryan yang sudah berganti pakaian dari pakaian tidur menjadi pakaian semi formal, yang biasa Ryan kenakan di saat dia akan keluar rumah. Lengkap dengan jaketnya.
Ryan yang sedang mengambil kunci mobil di atas meja kerjanya menoleh sekilas untuk melihat Flo, “Ah, iya.” Ryan mengangguk, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke tas meja, “aku mau keluar sebentar—“
“Malam-malam begini?” potong Flo lagi, dengan kening berkerut. “Kamu lupa kalau Kyle badannya lagi panas?”
“Bukannya tadi panasnya udah turun—“
“Kalau panas lagi gimana? Nanti dia rewel lagi, sedangkan di sini juga ada Baby A. Gimana kalau pas Kyle rewel Baby A jadi ikut nang—“
“Flo,” Potong Ryan cepat setelah merasa kalau nada suara Flo mulai mulai berubah, sedikit meninggi. Mau tidak mau Ryan kembali mengalihkan atensi matanya pada Flo. Ryan menghela nafas panjang sesaat, lantas melangkah mendekati Flo yang masih berdiri di ambang pintu. “Tenang.” kata Ryan, setelah Ryan menghentikan langkahnya tepat di depan Flo.
“Gimana aku bisa tenang kalau kamu mau ninggalin aku sendiri pas Kyle—“
“Kyle baik-baik aja.” Sela Ryan lagi. Berusaha menenangkan sekaligus meyakinkan. “Panasnya udah turun. Baby A juga anteng, kan, dari tadi? Gak rewel kayak saudara-saudaranya yang lain—“
“Ry?” panggil Flo dengan nada suara seolah tak percaya. Bahkan, matanya pun mulai berkaca-kaca dengan sorot mata terluka.
Ryan mendadak meraup wajahnya sendiri, “Flo, please?” pintanya. “Aku ada urusan kerjaan—“
“Urusan kerjaan apa malam-malam begini?” cecar Flo lagi.
“Tadi asisten Mr. Naka tiba-tiba hubungin aku. Ada yang mau dibicarakan katanya—“
“Malam-malam begini?” untuk ke sekian kalinya, Flo kembali mengulang pertanyaan yang sama. Karena sedari tadi, Ryan sama sekali tidak menjawab pertanyaannya.
“Flo, kamu sebenarnya kenapa, sih?” tanya Ryan akhirnya, “Kamu tau, kan, kalau semenjak aku dilimpahkan tanggung jawab masalah Mega proyek ini sama Papi. Udah pasti aku harus sering ketemu sama Mr. Naka selaku investor terbasarnya?” katanya, dengan kedua tangan yang sudah memegang kedua sisi bahu Flo. “Dan kamu juga tau, gak setiap waktu Mr. Naka datang ke Indonesia. Sekalinya datang, waktunya gak pernah pasti. Dan waktunya pun selalu kejar-kejaran sama janji Mr. Naka yang lain. Jadi, yang waktunya harus dituntut lebih fleksibel mau gak mau, aku. Bukan Mr. Naka.”
Flo menghela nafas tanpa sadar, karena tau kalau apa yang Ryan katakan memang benar adanya. Semenjak Ryan diberi tanggung jawab meneruskan Mega proyek yang dulunya dipegang oleh Rain, Ryan jadi semakin sibuk mengingat proyek ini memang besar dengan nilai kontrak yang tidak main-main angkanya. “Sama..” Flo menelan ludahnya sekilas di tengah kalimat, “Nicole juga?” tanyanya, terdengar ragu.
“Hm.” Ryan mengangguk.
“Lagi?”
Kali ini giliran Ryan yang mengerutkan kening, “Maksudnya?”
“Sama Nicole lagi?” ulang Flo, dengan kalimat yang lebih jelas kali ini.
“Iya, kenapa?”
“Kenapa?” Flo berdecak tanpa sadar.
“Apa yang kenapa? Aku udah cerita, kan, kalau Nicole itu asisten pribadinya Mr. Nak—“
“Sekaligus mantan pacar kamu.” Imbuh Flo segera, di tengah kalimat Ryan.
“Flo? Really?” decak Ryan lagi. “Itu masalalu dan masih kamu ungkit?”
“Masalalu yang kembali datang ke masa sekarang, kan?”
Ryan tak langsung menjawab, diam sesaat hanya untuk menatap Flo lurus, “Apa segitu gak percayanya kamu sama aku?” tanya Ryan akhirnya.
Ditatap sedemikian rupa oleh Ryan, membuat Flo mau tidak mau membuang wajahnya ke arah lain.
“Setiap orang punya masalalu, kan, Flo?” kata Ryan, dengan nada yang terdengar terluka. “Begitu pula juga aku. Dan sayangnya, harus aku akui, masa lalu aku gak sebagus itu untuk dibanggakan. Kalau aja aku bisa merubah masa lalu, pasti aku bakal rubah semua titik hitam di masa lalu aku supaya kamu gak kaya gini dan langkahku pun ringan ke depannya. Tapi masalahnya, gak ada yang bisa merubah masa lalu, kan?”
Sambil menggigit bibirnya kuat Flo menunduk, tak bisa menjawab. Dengan kedua tangan yang sibuk meremasi gaun tidur yang dia kenakan saat ini.
Ryan menghela nafas panjang, tersirat jelas kalau Ryan pun sedang berusaha mengendalikan emosinya yang sempat terpancing sebelumnya, “Flo dengar,” kata Ryan akhirnya, setelah bisa menguasai diri sendiri. Sembari mengangkat wajah Flo lembut agar kembali melihatnya, “aku sama Nicole emang pernah ada hubungan. Tapi itu dulu. Kami udah selesai dulu sekali. Dan sekarang, kami hanya sebatas rekan kerja. Gak lebih. Jadi, please, gak usah cemburu buta—“
“Cemburu buta?” decih Flo tak terima. Dengan tangan yang sontak saja menepis sedikit kasar tangan Ryan yang masih memegangi dagunya. “Cemburu buta kamu bilang?” sengit Flo lagi. “Apa salah kalau aku takut terjadi hal buruk sama rumah tangga kit—“
“Gak akan, Flo!” tegas Ryan lugas. “Gak akan pernah ada hal buruk yang terjadi sama rumah tangga kita. Aku tegaskan sekali lagi, aku sama Nicole gak ada apa-apa. Hanya sebatas hubungan kerja aja. Kalau aku masih ada apa-apa sama dia, gak mungkin juga aku berulang kali ngajak kamu buat ketemu sama dia, kan?” terang Ryan lagi. Masih mencoba meyakinkan.
Flo kembali diam.
Ryan benar, Flo memang pernah dibawa beberapa kali bertemu dengan Nicole dibeberapa acara yang dia hadiri dengan Ryan.
Flo dan Nicole bertegur sapa. Dan Nicole pun terlihat baik dan welcome pada Flo. Serta asik di ajak bicara. Bukan hanya itu, Nicole itu wanita yang cantik dan juga pintar. Iya, saking pintarnya, dia diangkat jadi asisten—tangan kanan Mr. Naka yang notabene-nya adalah pengusaha besar dengan perusahaan investasi raksasa yang mendanai ratusan proyek-proyek besar.
Namun, sebagai sesama wanita, Flo bisa melihat dengan jelas masih ada ‘rasa’ yang tersirat dalam sorot mata Nicole setiap kali dia melihat Ryan.
Bahkan, berulang kali Flo mendapati Nicole memperhatikan Ryan diam-diam di saat atensi Ryan sedang teralihkan pada hal lain atau orang lain. Terus melihat Ryan dengan sorot mata penuh makna dan penuh puja.
Serta, beberapa kali juga Flo mendapati kontak fisik yang dilakukan Nicole yang walaupun tidak berlebihan. Namun, sedikit berbeda.
Jadi, wajar, kan, kalau Flo cemas?
Mencemaskan rumah tangganya dan juga suaminya?
Dan lagi, Flo harus akui, suaminya itu tampan. Dulu saja banyak wanita yang tergila-gila padanya. karena itu, mantan pacarnya pun tidak terhitung.
Terlebih kini, karir Ryan sedang meroket. Wanita mana yang tidak tergiur dengan sosok tampan seperti Ryan? Yang memiliki karir yang sedang cemerlang?
Pasti banyak, kan, terlepas kenyataan Ryan sudah punya Istri dan Ayah dua anak?
Terlebih, wanita itu tidak lain adalah mantan pacar Ryan ketika Ryan masih kuliah dan tinggal di Amerika. Yang konon katanya, menurut cerita Nicole ketika mereka berbincang santai, dulu itu mereka tidak putus. Hanya tiba-tiba hilang kontak lantaran satu sama lain fokus menyelesaikan pendidikan masing-masing kala itu.
Dan masalahnya lagi, ini bukan kali pertama Ryan keluar malam—dini hari dengan alasan pekerjaan. Bersama Nicole. Ini untuk yang ke sekian kalinya. Karena setiap minggu, ada saja pekerjaan—yang katanya—harus Ryan urus tak perduli itu sudah malam atau sudah dini hari.
Malah, pernah suatu waktu Ryan tetap memilih pergi untuk mengurusi pekerjaan ketika Avi—putri sulung mereka sedang di rawat di rumah sakit karena demam berdarah. Meninggalkan Flo sendirian—bersama Kyle yang kala itu baru berumur beberapa bulan.
Mengingat beberapa bulan ini, semenjak Ryan jadi penanggung jawab Mega proyek yang digarap bersama Mr. Naka, mereka tinggal di luar kota. Jauh dari sanak saudara.
Dan Flo masih ingat saat itu, rasanya Flo ingin menjerit dan menangis sejadi-jadinya ketika Avi menangis ingin di gendong, sedangkan Kyle sendiri tidak mau lepas dari gendongan Flo.
Sedangkan Ryan, baru kembali ke rumah sakit saat siang harinya. Katanya, Ryan baru pulang saat menjelang pagi dan langsung tidur.
Dan semua itu, Ryan yang suka pulang telat dan juga keluar rumah tak kenal waktu dengan alasan pekerjaan, terjadi setelah Mr. Naka mengenalkan asistennya—Nicole pada Ryan. Yang katanya, selama Mr. Naka tidak di Indonesia, semua pekerjaan menyangkut Mega proyek yang sedang mereka lakukan, akan diurus oleh Nicole.
Yang artinya, Ryan akan lebih sering berhubungan dengan Nicole ketimbang Mr. Naka itu sendiri. Dan akan terus seperti itu sampai Mega proyek itu rampung di kerjakan.
Bisa dibayangkan, kan, bagaimana perasaan Flo saat ini?
Flo jadi seringkali was-was dan juga sering berpikir macam-macam. Tapi, kalau keadaannya terus seperti ini. Istri mana juga yang tidak cemas akan kelangsungan rumah tangganya?
“Flo, udah, ya?”
Flo sedikit terkesiap hingga lamunannya pun ikut buyar manakala merasakan usapan di puncak rambutnya. Tentu saja pelakunya tidak lain adalah Ryan.
“Jangan begini. Toh, aku beneran kerja. Gak macem-macem. Hm?” kata Ryan lagi, dengan nada yang lebih lembut kali ini.
Flo menggigit bibir, tak sanggup menjawab. Karena kalaupun Flo menjawab, bukan kata atau kalimat yang akan keluar dari mulutnya. Namun, tidak lebih dari isak tangis lantaran matanya pun kini sudah berembun akibat genangan air mata yang semakin banyak terkumpul di pelupuk matanya.
“Kalau gitu aku jalan dulu,” Ryan mengecup sekilas sudut bibir Flo. ”Kabarin aku kalau ada apa-apa. Aku juga gak akan lama, kok. Tunggu aku pulang, ya."
Bohong.
Karena pada kenyataannya, walaupun Flo menunggu Ryan pulang sepanjang malam. Sampai matahari terbit di saat pagi menjelang, Ryan belum juga kunjung pulang.
***
Btw, terima kasih buat pembaca Dian Eka yang kemarin udah nyumbang nama si kembar!
Sarangeyo 🫶💞
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰