
Hai guys… ini cerita lamaku. Cerita pertamaku yang terbit di toko buku. Berhubung kontraknya sudah habis. Dan kebetulan versi digitalnya sudah ditarik oleh penerbit. Jadi, aku memutuskan untuk upload di sini, karena beberapa waktu yang lalu ada yang menanyakan versi digitalnya. Dan aku juga nggak bisa up di Googleplaybook pribadi aku karena takut akunku ke banned sebab dianggap plagiat.
Dan… kapan-kapan kalau aku senggang aku bikinin special part yang manis dari Abi-Lita… :*
Blurb :
Jelita Adelia...
Prolog
Suatu sore di sebuah kafe.
"Bi, please ... lo mau ya ..." Wahyu memasang wajah memelas.
"Kenapa mesti gue sih?!" seru Abi lengkap dengan decakan.
"Karena lo orang yang paling tepat buat jadi pasangan Adek gue."
"Ah, gue masih betah ngelajang Yu."
"Umur lo udah dua lapan Bi, udah cocok buat nikah mau tunggu apalagi?"
"Lo juga dua lapan, dan belom nikah. Pake omongin orang."
"Gue kan blom ada jodoh jadi nikahnya entar aja, beda sama lo, jodoh lo kan udah di depan mata, tinggal kawinin aja."
"Apalagi kawin. Nikah aja gue ogah sama Adek lo!"
“Eits ... dimana-mana orang lebih milih kawin daripada nikah.”
“Ya udah, gue kawinin tapi nggak nikah gimana?”
“Jangan kurang ajar lo!”
“Lo yang nawarin tadi,” sahut Abi santai.
Wahyu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Kalo lo liat Adek gue yang sekarang lo pasti nyesel deh ngomong kayak gitu,” rayunya lagi, masih belum mau menyerah.
"Bagi gue sama aja! mau gimana bentuk rupanya dia sekarang, yang jelas masih seger nih diingetan gue gimana yang jelasnya sifat Adek lu."
"Beuh ... Salah besar lo Bi, banyak loh yang naksir Adek gue sekarang."
Mata Abi memutar 180 derajat. Tak percaya ucapan Wahyu yang pastinya melebih-lebihkan. "Ya udah, suruh Adek lo pilih salah satu, kan nggak perlu repot maksa-maksa gue kayak gini."
"Iya tapi masalahnya Bonyok –Bokap Nyokap- gue yang nggak mau, waktu gue sodorin nama lo mereka langsung setuju dan minta gue buat bilang ke lo. Kasian Adek gue Bi, putus sama tunangannya, entar kalo bunuh diri kan gue yang berabe. Mana Nyokap gue udah gembar-gembor ke tetangga, teman arisan, keluarga besar, kalo Adek gue mau nikah taun ini."
“Berabe kenapa? Mati tinggal dikuburin, entar gue datang tahlilan.”
Wahyu menggetok kepala Abi cukup keras, membuat Abi meringis. “Kalo ngomong diatur dikit! Ada malaikat lewat kan bahaya?!”
"Lagian lo aneh. Orang-orang kan udah tau siapa tunangan Adek lo. Kalo nikahnya sama yang laen kan makin lucu. Udah deh, tanggung malu dikit nggak apa-apa bilang sama orang tua lo, gue lagi belum kepikiran buat nikah."
"Masalahnya lagi, Nyokap gue udah DP(Down Payment)-in Wedding Organizer buat acara nikahan Adek gue."
“Ya, itu urusan keluarga lo lah.”
"Emang nya lo nggak sayang sama orang tua gue? lo kan uda anggap mereka ortu lo sendiri. Lo kandidat paling potensial, Bi."
Abi menatap malas. "Gini nih, susah urusannya kalo udah bawa-bawa orang tua, ntar deh gue pikirin,” sahutnya malas membahas lebih panjang. Besok akan ia pikirkan lagi cara menolak proposal Wahyu ini.
"Jangan kelamaan, satu hari ya."
"Satu minggu!"
“Yah ... kelamaan itu, Bi. Tiga hari deh ya...?"
"Nawar lagi. Satu minggu! Atau nggak sama sekali."
"Oke deh ... iya-iya satu minggu. Satu minggu lagi gue dateng temuin lo, awas ya! jangan kabur."
"Iya sialan lo."
===========================================================
1. Nightmare
"Antar aku sekolah!"
Aku melirik sekilas lalu mengalihkan pandanganku, "budek ya! antar aku sekolah, cepetan!" Aku memutar bola mataku jengah mendengar umpatan bocah tengil ini.
"Nggak bisa!" jawabku cepat seraya melanjutkan langkahku.
"Tunggu!" dengan cepat pula dia menarik tas ransel yang kupakai, hampir saja aku terjungkal.
"Apaan sih?!" sengitku, menarik kembali ranselku yang berada digenggamannya dan membetulkan posisi ransel dibalik punggungku.
"Oh. Jadi beneran nggak mau? Gimana ya, kalau sampe Mama sama Papa tau?"
Aku meliriknya tajam, senjatanya memang selalu ampuh. "Motorku lagi dalam proses perbaikan nggak bisa bawa boncengan." Haha, bagus Abi! Alasan yang brilian.
"Nggak mungkin rusak lah, aku kan nggak berat lagian sekolah aku juga deket."
"Ck, nggak berat ya? Tapi setauku sepeda yang baru dibelikan Papamu langsung bocor bannya karena kamu naikin kemarin."
Mukanya mulai merah padam. Manusia buntal begini dibilang nggak berat, beras 100 kilo aja kalah!
"Aku nggak mau tau, kamu harus antar aku kesekolah! Atau ...?”tampang belagu Lita membuatku menatap curiga. “Aku nangis sekencengnya biar orang-orang pada datang!" Teriaknya sembari berkacak pinggang.
"Nangis aja sana!" kataku tak kalah sengit, langsung memutar tubuhku.
Sedetik kemudian, tangisan kencangnya mengudara. Gila ni anak! Aku berlari dan membekap mulutnya.
"Iya aku anter, buruan makanya. Aww..." sial tanganku digigit.
"Dari tadi kek,” ucapnya santai, aku hanya bisa melongo melihatnya yang sudah berjalan mendahuluiku.
Selalu menjadi hal terburuk dalam hidupku kalau sudah berurusan dengan setan cilik ini. "Ih ... lepas!" aku melepas kasar tangannya yang melingkar pinggangku saat aku mulai menyalakan mesin motor.
"Udah sampe, turun!" seruku saat memberhentikan motor didepan gerbang sekolahannya.
"Makasih ya Om Abi,” ucapnya mesam-mesem.
"Aku bukan Om-Om! Udah sana!" ujarku ketus.
Aku melanjutkan perjalananku ke kampus. Kuparkirkan motorku ditempat parkir. Melepas helm, lalu berjalan menuju kelasku.
Ini ada yang aneh. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Fix! ada yang aneh. Semua terlihat memandangku sembari berbisik-bisik.
"Woy ... uda gila lo ya Bi?"
Aku mengerutkan keningku. "Apaan sih? nggak ada angin nggak ada ujan bilangin orang gila."
Frans teman satu kelasku itu mengambil sesuatu yang ada dibalik punggungku, “nih!"
PRIA KESEPIAN! BUTUH TEMAN BUAT MALAM MINGGU :*
Emosiku langsung naik ke ubun-ubun. "Litaaaaaaaaa..." teriakku sambil meremas kertas laknat itu.
"Hah!" Abi terbangun dari mimpinya disiang bolong—dihari liburnya. Matanya memendar ke sekeliling ruangan. Peluh membasahi keningnya, dahinya mengerut dia tertidur di sofa. Tak biasanya dia begini. Ini karena permintaan Wahyu tempo hari yang terus mengusiknya.
Abi bangkit dari sofa berjalan gontai ke arah pantry, ia mengambil sebotol air mineral dari dalam kulkas dan meneguknya hingga habis tak bersisa.
"Sial! Dasar setan cilik! Nikah?" Abi menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nggak. Nggak ... Nggak akan!” krak! tangan Abi meremas botol air mineral hingga tak berbentuk. Abi menyandarkan tubuhnya di meja pantry , menaikkan sebelah alisnya seraya berpikir.
Otaknya terus beputar mencari ide bagaimana caranya menolak permintaan Wahyu, tetapi sialnya selalu saja berakhir dengan jalan buntu. Sifat Abi memang pada dasarnya tidak tegaan, dia juga sangat menghormati Papa dan Mama Wahyu. Tetapi memikirkan lagi bagaimana dia akan menjalani sisa hidupnya dengan Lita membuatnya bergidik ngeri.
Abi terlonjak ditengah lamunannya ketika ponselnya bergetar. Decakan dari mulutnya tak terelakkan sembari merogoh ponsel dari saku celananya.
Wahyu : Bi, waktu lo tinggal empat hari lagi.
Abi menggerang frustrasi, belum sempat ia membalas pesan kembali masuk ke ponselnya.
Wahyu : Bi, Adek gue nggak mau makan juga, udah tiga hari ni! tolongin gue napa? nggak usah pake mikir terima aja.
Abimana S : Bukan urusan gue! Sekali lagi lo kirim pesan bahas itu langsung gue tolak tawaran lo detik ini juga.
Itu si setan cilik pasti buat ulah lagi pikir Abi.
Wahyu calling ...
Abi langsung mematikan panggilannya. Wahyu kembali memanggil, dengan cepat Abi me-reject kembali. Sayangnya, Wahyu tidak menyerah.
Abi mendengus. "Hm,” gumam Abi, tanpa merasa perlu mengucapkan salam kepada Wahyu yang lebih tepat disebut peneror.
"Weitss... santai lah bro, gue kan cuma basa-basi aja mana tau lo lupa gitu. Hehe... jangan ngambekan gitu ah, kayak anak ABG aja."
"Kerjaan gue banyak."
"Gue didesak terus sama nyokap, si Lita pake acara mogok makan segala lagi, kan pusing gue."
"Gue kan kasi kabarnya ntar empat hari lagi, ya lo bilang sama Tante suruh sabar. Lagian gue nggak jamin bilang Ya, jadi jangan terlalu banyak berharap."
"Yah... lo kok gitu sih, Bi."
"Udah dulu ya gue sibuk, bye." klik. Abi langsung memutuskan sambungannya. Lama-lama berbicara dengan wahyu membuat kadar emosi meningkat.
Abi merebahkan dirinya di sofa, mencoba mendinginkan isi kepalanya. Ponselnya kembali bergetar, pasti Wahyu lagi pikirnya kesal.
"Apaan lagi sih, Yu?!"
"Yu ... Yu ... emangnya Ibuk Mbak Yu mu. Assalamu'alaikum," sambar cepat Ibu Abi dengan logat khas Jawa yang begitu kentara. Abi meringis ternyata yang terpampang di layar ponselnya adalah nomor Ibunya.
"Wa'alaikumsalam Buk, ada apa nih tumben nelpon."
"Oh. Jadi ibu ndak boleh nelpon, gitu?" Abi mengaruk tengkuknya, selalu serba salah kalau bicara dengan Ibunya.
"Ya, bukan gitu Buk, cuma kan nggak biasa aja. Biasanya kan Ibu nelpon kalau memang ada hal penting."
"Ibu kan ndak bilang ndak penting, justru yang mau Ibu omongin hal yang penting. Penting buat hidup kamu dan kelangsungan hidup Ibu," Abi menyatukan kedua alisnya. Menduga-duga apa yang akan disampaikan Ibunya. Wajar saja Ibunya selalu mengomel selain jarang pulang—yang kalau dihitung setahun sekali pun belum tentu. Abi juga jarang menelpon Ibunya, bukan tidak ingin meluangkan waktu, hanya saja Abi jengah jika ujung-ujungnya pembahasan hanya seputar kapan ia membawa calon mantu.
"Apa itu Buk?"
"Ibu mau kamu nikah!" Kan. Kan ... benar saja. Kalau menelpon pasti pembahasan Ibunya hanya seputar nikah nikah dan nikah!
"Kamu tau kan si Marni, anak pengusaha batubata, adik kelas kamu waktu SD. Sekarang mana tambah cantik, baru jadi PNS, udah nggak dekil kaya dulu, kulitnya sekarang putih mulus. Ibu udah kasih liat fotomu, langsung kesemsem gitu. Pokoknya pilihan ibu ndak mengecewakanlah. Kalau bisa minggu ini juga kamu pulang ke kampung biar sekaligus lamaran. Ibu mau cepet-cepet nimang cucu, eyang mu juga udah sakit-sakitan, umur udah tua mikir apa lagi toh lek."
"Abi belum bisa, Buk." Sudah berapa kali Abi menolak perjodohan yang diatur Ibunya bahkan sejak dia tamat S1. Tentu saja, susah payah Abi merintis karir di Ibukota. Jika akhirnya harus menikah dengan orang sekampung itu artinya Abi akan menghabiskan sisa umurnya di kampung. Itu juga sudah menjadi siasat Ibunya agar Abi yang notabene anak laki satu-satunya bisa kembali tinggal di kampung. Abi senang jadi karyawan, Abi suka jika hasil pekerjaannya di puji bagus. Yang paling penting ini jalannya, jika ia harus kembali ke kampung meneruskan usaha penggilingan padi Bapaknya,
"Belom bisa kenapa lagi toh le? kamu mau ngecewain eyang kamu? gitu? dia pesen mau liat kamu nikah dulu sebelum meninggal katanya," ibunya memulai dengan acara sedih-sedihan, Abi sudah hafal betul.
"Ya, karena—“
"Apalagi alasan mu kali ini? dulu bilang karena mau lanjut kuliah, trus bilang lagi karena mau fokus kerja dulu, terakhir bilang karena mau nikah pas umur 28 tahun."
Berbagai alasan memang telah dikemukakan Abi. Beberapa tahun lalu Abi sempat selamat dari cecaran Ibunya saat mendapat beasiswa melanjut S2 di ETH Zurich di Swiss. Tapi sekarang, Abi sudah kehabisan akal. Alasan apalagi yang harus dia katakan kali ini.
"Karena ... Um. Karena ..." Abi berpikir keras. "Abi udah punya calon," Abi mengucap begitu saja hal yang terlintas di otaknya.
"APA?!" kontan Abi menjauhkan ponsel dari kupingnya sebelum gendang telinganya pecah.
"Kapan? sopo? orang ndi? gimana keluarga ne? Suku opo?"
"Aduh Buk, satu-satu nanyanya."
"Eh. Iya-iya, jadi sopo jenenge le?" Sahut Ibu Abi dengan suara yang sedikit melunak.
"Namanya Jelita Adelia." Nama yang sama sekali tak sesuai dengan orangnya, umpat Abi dalam hati. Pupus sudah, bagai memakan buah simalakama, niat hati Abi ingin menolak permintaan Wahyu malah secara tak langsung mengiyakan. Ini semua demi ... entahlah, demi apa? Yang jelas, Abi tidak akan mau dijodohkan dengan wanita pilihan Ibunya.
"Terus. Terus. Umure piro?"
Abi memutar memorinya, pertama kali dia ketemu, itu setan cilik masih kelas 1 SMP. Ukuran umur murid kelas 2 SMP 13 tahun kan ya? Batinnya. Berarti dikurang umur Abi yang waktu itu 18 tahun selisihnya jadi 5 tahun.
"Usianya 23 Tahun Buk."
"Terus. Terus. Kerjaannya opo?"
Abi mengernyitkan dahinya dalam. Sementara Ibunya sudah seperti tukang parkir terus-terus! Sekarang Abi harus menyesal tidak menanyakan tentang Lita pada Wahyu kemarin. Tapi untuk apa dia menanyakannya bukannya dia berniat untuk menolak awalnya. Umur 23 tahun biasanya anak gadis ngapain ya? pastinya udah tamat kuliah tu anak, batinnya.
"Eng... itu baru tamat kuliah. Masih pengangguran." Ucap Abi asal. Siapa yang tahu Lita pengangguran atau tidak.
"Oh. Ngono toh. Trus bibit bobot bebetnya gimana?"
"Oh. Itu ... Ibuk nggak usah khawatir. Ibuk taukan keluarga Om Burhan ayahnya Wahyu yang waktu itu Abi pernah tinggal dirumahnya pas kuliah S1 di Jakarta."
"Oh. Keluarga Pak Burhan. Terus ini siapanya. Ponakannya?"
"Ya nggak lah Buk. Yang mau Abi nikahin Anaknya."
"APA!!" Lagi! Abi menjauhkan ponselnya.
"Ibuk bisa nggak. Nggak bicara kenceng-kenceng."
"La... wong kamu nya. Dari tadi ngomong muter-muter mbok dari awal bilang mau nikah sama anaknya Pak Burhan kan selesai."
Sekarang Abi hanya bisa menyengir hambar, seandainya dia bilang dari tadi juga kan nggak perlu ribet-ribet mikirin berapa umurnya Lita dan apa pekerjaannya sekarang.
"Yo wes, kapan Ibuk sama Bapak bisa dateng ngelamar?"
"Nggak usah lah Buk lagian semuanya udah beres Ibuk sama Bapak datangnya pas acara akad nikah aja. Nanti dalam waktu dekat Abi kabarin Ibuk lagi."
"Iya. Ibuk selalu tunggu kabar terbarunya. Syukurlah ya Bi, akhirnya kamu dapet jodoh juga. Kalau begitu Ibuk mau kabarin kabar bahagia ini sama semua keluarga juga Eyang kamu. Oh iya. Harus ada ngunduh mantu. Biar Ibuk yang atur kamu tinggal beres. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam." Ngunduh Mantu? tapi pengantinya kali ini Lita apa dia bisa diajak bekerja sama mengingat kembali kerusuhan yang selalu dilakukan anak itu.
***
Seorang Pria bertubuh atletis bermata sipit dengan rambut gondrong sebahu, berwajah oriental, terlihat berjalan menuju meja Abi mengenakan kaos oblong juga celana jins dengan bagian lutut yang koyak.
"Udah lama bro?" Abi memandang tak suka. Sudah lebih dua puluh menit dia menunggunya.
"Lama. Lebih dua puluh menit."
"Yaelah baru juga segitu. Gue minum ya haus banget," sebelum di iyakan pun minuman Abi telah disambar. Beginilah gaya selengean Wahyu.
Mama Wahyu memang berdarah campuran Jawa-Chinesse sedang Ayahnya asli Jawa itulah sebab meski hari-harinya sering dihabiskan berkendara dengan motor kesayangannya dia tetap terlihat putih untuk ukuran pria. Dulu dia dan Abi sama-sama mengambil jurusan TI (Teknologi Informasi) namun memang hobi Wahyu lebih ke desain akhirnya dia ikut meneruskan usaha Garmen Papanya. Berkat dia, keluarga mereka kini memiliki beberapa Distro yang dikelola langsung oleh Wahyu.
Wahyu setiap hari wara-wiri dengan motor mengecek cabang-cabang Distronya tak peduli jika hari ini adalah weekend. Dia tidak seperti Abi yang akan bekerja nine to five dan sesekali lembur. Seperti saat ini. Wahyu terlihat terengah-engah karena Abi mendadak ingin bertemu.
"Gue terima usulan lo buat nikah sama Adek lo." Sontak Wahyu menyemburkan minumannya ke arah Abi.
"Dasar jorok!" gerutu Abi sambil mengibas-ngibaskan tangannya, membersihkan bajunya yang terkena cipratan.
"Lo serius," ucap Wahyu yang masih tak percaya. "Lo nggak mau pikir-pikir dulu gitu?"
Abi mendelik seketika. Baru beberapa jam yang lalu dia diteror oleh dan sekarang Wahyu malah membuat pernyataan berbalik.
"Oke, nggak usah jadi," Abi bangkit dari duduknya yang langsung disambar oleh Wahyu.
"Weitss... santai lah bro. Gue masih shock aja. Jangan marah gitu dong. Jadi beneran kan lo mau sama Adek gue?" tanya Wahyu.
"Iya,” jawab Abi singkat, padat, jelas.
Wahyu masih menatap tak percaya. “Serius?”
Abi mendengus. “Tanya sekali lagi, gue pulang nih!”
"E—e... iya. Iya sensi amat. Akhirnya ... Mama pasti seneng dengernya."
"Oh ya, ngomong-ngomong si Lita kerjaannya apa sekarang?"
"Loh. Lo nggak tau? si Lita kan lagi koas." Abi tersedak ludahnya sendiri mendengar jawaban singkat Wahyu. Pikirannya ngeri membayangkan bagaimana pasien yang ditangani oleh Lita.
"Berarti belum tamat dong? terus gue dong yang bakalan biayain kuliahnya."
"Ya elah, pelit amat sih lo Bi. Gaji lo jadi GM (General Manager) kan banyak masa bayar segitu aja nggak sanggup. Tapi entar kalo mau ngutang jangan sama gue ya. Sama Bokap aja, biar gue yang bilang kalo lo malu."
"Ngasal lo! Siapa juga yang bilang bakal pinjem duit." Bukan Abi tak mampu, mengeluarkan uang untuk si tengil Lita. Tapi rasanya kok agak sayang, ya?
"Jadi, apa alasan lo mau terima Adek gue secepet ini?"
"Apalagi kalo bukan Ibuk gue yang mau ngejodohin gue sama gadis pilihannya."
"Haha ... masih aja ternyata. Kasian banget idup lo."
"Ngetawain lagi. Ntar gue bilang aja sama Tante Mala buat ngejodohin lo biar anaknya nggak jadi bujang lapuk."
"Wah ... Wah. Lo nggak seru, mainannya ngadu-ngadu. Yang jelas lo nggak nyesel deh liat Lita yang sekarang. Eh, Bi. Ada yang mau lo omongin lagi atau nggak?”
“Kenapa?”
“Ada kerjaan urgent. Ini aja gue sempet-sempetin, kalo lo ngambek bisa bahaya gue.” Wahyu menyengir.
Abi memutar bola matanya. “Ya udah sana, males juga liat muka lo lama-lama.”
“Males ... entar juga kangen. Nanti gue kontek lo lagi oke..." ujar Wahyu mengedipkan mata seraya menepuk pundak Abi. Dan pergi cepat meninggalkan Abi. Hubungan pertemanannya dengan Wahyu memang begitu, tetapi Wahyu tipe teman yang sangat loyal tak segan membantu jika Abi sedang kesulitan.
Sepeninggalan Wahyu, lama Abi termenung. Apa ini keputusan yang tepat, bagaimana dia akan menjalani pernikahannya nanti.
***
Abi menghentikan kegiatannya yang tengah berberes memasukkan beberapa file laporan ke dalam tas kerjanya ketika bel berbunyi. Siapa yang bertamu pagi-pagi begini, pikirnya. Lagi bel berbunyi, Abi melangkah cepat lalu membuka pintu.
"Pagi, Abi sayang ..." teriak wanita paruh baya yang masih cantik diusianya kini, sambil mengecup kedua pipi Abi.
"Eh. Om. Tante."
"Pagi Abi."
"Pagi Om."
"Maaf ya mengganggu pagi-pagi. Mamanya Lita ngotot minta kesini,” ucap lagi pria paruh baya dengan rambut panjang dikuncir, beberapa helai rambutnya juga mulai memutih.
"Wah, Pa! Apartemen Abi luas juga, bagus lagi. Rapih banget ..."
Belum sempat Abi menyahuti Tante Mala sudah lebih dulu berkeliling apartemen, gaya hebringnya dari dulu memang tidak pernah hilang.
"Masuk Om, “ ajak Abi melihat Om Burhan yang sejak tadi masih berdiri.
"Tantemu senang sekali waktu Wahyu bilang kamu mau menikah dengan Lita." Meski dengan gaya yang nyentrik tapi Abi yang kenal lama dengan Om Burhan sangat menghormatinya. Om Burhan adalah orang yang sangat bijak dan baik, hampir seluruh orang di lingkungan tempat tinggalnya mengenal baik Om Burhan dan juga menaruh hormat padanya.
"Iya Om. Ibuk Abi juga senang,” sahut Abi.
"Tentu dong, dari dulu juga kan Abi udah Tante anggap seperti anak sendiri. Sukur deh Lita nggak jadi nikah sama dokter gadungan itu, dan jadinya sama kamu,” celetuk Tante Mala.
“Ma!” tegur Burhan.
Oh jadi calonnya yang batal itu seorang dokter batin Abi.
Mala mencibir sekilas lalu memusatkan pandangannya ke Abi. "Ini tante sengaja loh masak pagi-pagi. Ada rendang, tempe orek, perkedel jagung. Semua kesukaan kamu,” ujar Tante Mala sembari menyerahkan kotak makanan pada Abi.
"Eh. Iya tante, nggak perlu repot-repot. Oh iya, bentar ya Abi ambilin minum dulu."
"Nggak usah Nak Abi kami juga nggak lama, lagian kamu juga mau kerja kan." Sergah cepat Om Burhan yang pasti memerhatikan tampilan Abi.
"Iya. Nggak usah. Pokoknya kamu tenang Abi, Lita udah banyak berubah. Dia juga udah pinter masak, Tante yang ajarin."
"Bukannya terakhir kali Lita masak kita semua rebutan ke toilet ya Ma?” ucapan polos Om Burhan disambut tepukan istrinya.
Abi terdiam mematung dengan napas yang tercekat.
==================================================================
2. Sah!
Peluh membasahi kening Abi. Hari ini hari yang dinanti seluruh keluarga besar Purnomo dan Sutowo dihelat. Sudah tiga kali Abi salah mengucap ijab kabul. Apa ini pertanda dirinya yang memang belum siap. Mungkin dia siap secara lahir, tapi secara batin? Entahlah!
"Ini kalau nggak sah juga, biasanya pengantin prianya harus dimandikan.” Suara desas desus dari arah belakang terdengar hingga ke telinga Abi.
"Ayo diulang sekali lagi ya," ujar Tuan Qadhi.
Papa Lita dengan mantap kembali menggenggam tangan Abi. "Ananda Abimana Sutowo bin Ganjar Sutowo. Saya nikahkan dan saya kawinkan anak saya yang bernama Jelita Adelia kepada engkau. Dengan mas kawinnya berupa: logam mulia seberat 100 gram, tunai!"
Ayo Abi! Abi mengambil napas panjang. "Saya terima nikahnya dan kawinnya Jelita Adelia binti Burhan Purnomo dengan mas kawinnya yang tersebut tunai!” Abi baru menghembuskan napasnya kembali setelah menyuarakan rentetan kalimat sakral itu.
"Saksi sah?" tanya sang Tuan Qadhi.
Saksi dari kedua belah pihak terlihat saling memandang. Dan selanjutanya, "sah!" seru lantang para saksi.
Semua orang yang berada di kediaman Purnomo bisa bernapas lega. Ibu Abi dan Mama Lita bahkan terlihat menangis. Mas kawin seberat 100 gram logam mulia itu adalah permintaan Lita atas inisiatif Mamanya sedangkan Abi hanya mengikutinya.
Sampai detik dimana Abi telah sah menjadi seorang suami, Abi belum pernah sekalipun melihat wajah Lita yang sekarang.
"Nah sekarang pengantin wanita bisa keluar,” ucap seorang keluarga Lita yang mengalihkan pandangan Abi. Bagai gerakan slow motion seluruh keluarga termasuk Abi terpukau dengan kemolekan Lita. Kali ini harus diakui Abi bahwa nama yang melekat sudah sesuai yaitu Jelita. Mengenakan kebaya biru langit yang senada dengan pakaian Abi. Riasan make up pun tak terlalu tebal sehingga masih menampilkan kesan alami berbeda dengan pengantin biasanya mengenakan lipstick merah menyala Lita malahan terlihat manis dengan lipsticksoft pink nya.
"Walah... mana ayu tenan toh le." Ucap Ibu Abi yang tersenyum semringah. Sedang Mama Lita memasang air muka bangga, anaknya jadi primadona. Tentu saja dia adalah pengantinnya, sudah sewajarnya ia tampil lebih spesial.
"Biasa aja natapnya, Bi. Awas air liur lo netes,” sahut jahil Wahyu yang mengenakan setelan baju batik senada dengan yang dipakai Papanya—duduk tepat dibelakang Abi.
Saat Lita semakin merapat, degupan jantung Abi semakin berlarian. Seruan untuk menyalami sang suami menyentakkan Abi yang sedari tadi menatap terkesima. Lita sama sekali tidak canggung mengambil tangan Abi untuk dikecupnya sebagai rasa bakti telah menjadi seorang istri. Sementara Abi harus berusaha sekuat tenaga menahan tubuhnya yang bergetar ketika mengecup kening Lita.
Upacara hijab selesai, dan selanjutnya rangkaian acara demi acara khas Jawa mereka lakoni dengan baik. Hingga tiba saatnya sungkeman. Abi sama sekali tak mengalihkan tatapannya saat Lita menitihkan air mata memeluk Mamanya erat memohon do'a restu. Lita juga memeluk erat Ibu Abi terlihat seperti mereka telah kenal lama, padahal baru beberapa menit yang lalu mereka saling tatap. Sialnya, haru malah menyeruak dari dalam diri Abi, melihat itu semua membuat Abi juga ikut berkaca-kaca.
“Nak Abi yang rukun ya kalau ada masalah dibicarakan baik-baik dengan kepala dingin Lita masih muda wajar kalau jiwanya agak labil,” pesan Mama Lita.
“Abi, Papa percayakan Lita padamu,” pesan singkat Papa Lita yang langsung disambut anggukan mantap oleh Abi.
“Yang langgeng ya le. Ibuk selalu do'akan kamu yang terbaik. Sekarang kamu dapet bidadari surga harus kamu jaga amanah dari Gusti Allah dengan baik. Jangan kasar-kasar sama istrimu. Jangan dipaksa berhubungan kalau istrimu sedang capek,” kalimat terakhir Ibunya yang membuat Abi mengernyit—untung pelan, batinnya.
“Jadilah laki-laki yang bertanggung jawab.” Abi mengangguk patuh pesan Bapaknya. Orang yang tak pernah banyak bicara tapi setiap perkataannya selalu tersimpan rapi di memori Abi. Bahkan pesan-pesannya Abi bawa kemanapun ia berada.
***
Acara dilanjut dengan resepsi yang diadakan disalah satu hotel berbintang. Sejak semalampun keluarga Abi telah menginap hotel itu.
Hal yang tak luput dari perhatian Abi sejak selesai ijab kabul adalah Lita. Gadis itu benar-benar berubah. Tak ada lagi Lita yang gendut dan berjerawat. Lita saat ini adalah Lita yang cantik dan langsing.
Sikap ramahnya pun ditunjukkan kepada semua keluarga Abi dengan cepat. Lita mampu menyesuaikan diri. Dia terlihat senang mengobrol dengan adik dan sepupu Abi. Dia juga dengan luwes mengendong Aldi keponakan Abi yang baru berusia tiga tahun anak dari kakak perempuan Abi.
Semua terlihat bahagia. Tentu saja Abi harus bersyukur akan hal itu. Tak ada lagi acara-acara perjodohan yang mengharuskannya tinggal di kampung. Ternyata dia mengambil keputusan yang tepat. Tapi apakah Abi telah jatuh hati pada Lita. Jatuh hati pada pandangan pertama mungkin? mengingat bola matanya yang hampir copot karena melihat Lita tanpa berkedip.
Abi mematut gambaran dirinya dicermin mengenakan tuxedo silver. Seperti apa tampilan Lita pikirnya. Pasalnya dia sudah tak berjumpa semenjak Lita masuk keruangan untuk dirias.
"Udah cakep kok. Nggak perlu diliatin sampe segitunya, ntar cerminnya pecah," celetuk Wahyu yang sudah berada diruangan Abi. Dia juga sudah merubah tampilannya dengan setelan jas hitam.
"Nggak sabar kan lo mau liat Adek gue. Gue bilang juga apa, Lita yang sekarang udah beda." Abi menatap malas Wahyu yang dibilangnya memang benar, tapi mulut cerewetnya itu juga perlu di-lem supaya tidak terus-terusan mempermalukan Abi.
"Banyak bacot lo. Udah yuk!" Abi mendorong punggung Wahyu keluar ruangan.
"Mau gue temenin atau nggak?" Tanya Wahyu. Dia tau Abi mungkin akan gugup harus menjemput Lita.
"Nggak usah gue sendiri aja."
"Yakin?” ledek Wahyu lagi.
Belum sempat Abi melayangkan pukulannya sobatnya itu sudah keburu lari. Dengan langkah tegap Abi menuju keruangan Lita. Diketuknya pelan pintu yang tertutup itu.
Pintu terbuka, yang menyambutnya adalah Gendis adik Abi perempuan Abi. "Eh mas, udah nggak sabar ya mau ketemu mbak Lita," goda adiknya.
"Acaranya sudah mau dimulai." Abi berujar datar membuat adiknya membentuk bibir mengerucut. Pintu akhirnya terbuka lebar. Dari belakang Abi bisa melihat baju selayar panjang menyeret lantai berwarna putih gading begitu pas dengan tubuhnya.
"Yuk pada keluar! Ada pangeran yang mau jemput putrinya nih!" teriak Adik Abi kepada sepupu-sepupunya yang masih berkumpul. Mendengar candaan itu mereka hanya menatap Abi sambil tersenyum penuh arti.
Sepersekian detik berikutnya ruangan hanya menyisakan pengantin wanita. Abi melangkah pelan ke dalam ruangan. Lita belum juga membalik badan. "Acara akan dimulai," suara pelan Abi seakan tertelan.
Lita memutar anggun. Lagi, Abi terpana. Kali ini Lita jauh lebih memukau. Lita tersenyum manis, sangat manis melebihi rasa madu. Diamitnya lengan Abi. "Ayo!" sepatah kata Lita belum mampu mengembalikan Abi ke Bumi, pasalnya kini ia serasa sedang menjemput bidadari dari khayangan.
"Mas,” ucap lembut Lita.
"Oh... Ayo, maaf." Lita hanya kembali tersenyum menyadari dirinya telah menyihir pria disampingnya.
Dengan langkah pelan dan hati-hati Abi berjalan menuntun Lita, meski menggunakan hak tinggi Lita masih belum mampu menandingi tinggi Abi, jika tanpa alas kaki Abi tebak tinggi Lita hanya sebatas bahunya. Abi berhenti melamun ketika riuh tepuk tangan juga siulan jahil—yang Abi tahu itu dari Wahyu, mewarnai perjalanan mereka ketika sampai di ballroom tempat acara. Selanjutnya mereka hanya mengikuti instruksi dari MC acara.
Suasana ballroom bernuansa violet. Semua tampak indah dan tertata rapih. Sekitar seribuan tamu undangan akan menjadi saksi berlangsungnya acara megah mereka. Harus diakui Lita selera Mamanya memang bagus.
Perhelatan berlangsung meriah. Beberapa saudara Abi juga Lita bahkan ada yang menyumbangkan suara semakin menambah keriuhan. Senyum tak henti mengembang dari wajah Lita. Semua rekan teman sejawat yang diundang hampir menyempatkan diri untuk datang termasuk teman sekantor Abi. Abi memperkenalkan satu persatu sesuai jabatan pada Lita. Lita menanggapinya dengan tersenyum ramah menjabat satu persatu rekanannya tersebut.
Teman sekantor Abi juga sempat kaget ketika menerima undangan Abi, karena Abi yang selama ini diketahui single, tiba-tiba malah sebar undangan. Namun do'a tulus tetap mereka ucapkan.
"Selamat ya, Ta ... Ah ... nangis gue, kok lo sih yang nikah duluan!" Kartika sahabat Lita bersorak heboh diatas pelaminan yang pastinya mengundang perhatian tamu lain.
"Dia temenku Mas namanya—“
"Kartika,” sahut Kartika yang langsung menyambar tangan Abi dan enggan melepasnya cepat-cepat.
"Ah iya. Saya Abi."
"Tik... udah sana! lo macetin antrean tuh,” protes pelan dari Lita, antrean memang tampak mengular. Yang diprotes malah mengerling genit ke Abi. Lita menarik begitu saja lengan Kartika plus meliriknya tajam.
"Lo utang cerita,” bisik Kartika ke Lita.
Lita merasakan kakinya lumer seolah tak bertulang karena terus berdiri dengan hak tinggi. Akhirnya, setelah rasa lelah yang menderanya, sampailah ke acara lempar buket—acara yang paling ditunggu-tunggu oleh para wanita single yang ingin segera menikah. Semua teman, saudara dan kerabat pada berkumpul dibawah podium. Lita dengan semangat melempar buket bunga ke belakang.
"Yey!" seru Kartika yang dengan perjuangan tinggi melompat seolah ia Tsubasa yang hendak merebut bola. Dengan senyum tiga jari Kartika menatap buket bunga tersebut dengan penuh do'a pengharapan.
"Teman kamu unik." Ini kalimat pertama yang diutarakan Abi yang merujuk langsung ke Lita berusaha mengajaknya bicara.
"Iya Mas," jawab lembut Lita masih dengan senyum manisnya. Lama-lama melihat senyum Lita bisa-bisa Abi sakit gula.
***
Serangkaian acara sepanjang hari yang melelahkan akhirnya terlewati. Lita sudah pamit duluan menuju ke kamar pengantin yang disediakan pihak hotel. Sedang Abi masih memilih berbincang dengan para tetua. Acara kumpul keluarga begini jarang diikutinya semenjak kuliah.
Para Bapak-Bapak juga menikmati kopinya. Abi juga tak menolak kopi dia juga sering minum kopi hitam saat harus begadang menyelesaikan pekerjaannya.
"Abi, sudah sana ke kamar, kasian Lita menunggu,” ujar Papa Lita.
"Iya Om. Eh, Pa."
"Eh, Bi. ini hadiah dari gue. Hampir lupa gue ngasihnya." Wahyu berucap pelan menghampiri Abi yang sudah beranjak.
"Thanks ya bro."
"Sama-sama adik ipar," sahut Wahyu lagi-lagi dengan nada jahilnya.
Abi berjalan ke arah lift. Memencet angka lantai kamarnya. Abi menilik tas kantung kecil yang diberikan Wahyu, kemudian menggeleng karena isinya hanyalah kaset VCD kartun. Dia kira gue anak-anak batin Abi.
Abi memencet bel. Sejak tadi dia santai tapi mendekati kamar pengantinnya keringat dingin mulai bermunculan. Ini yang orang sebut malam pertama apa yang akan dilakukannya. Dia jelas tak punya pengalaman sama sekali. Berciuman saja dia belum pernah. Abi selalu mendapat predikat anak baik-baik. Jalan hidupnya—Sangat. Amat. Lurus.
"Masuk mas." Belum apa-apa suara merdu telah menyambutnya. Lita terlihat segar sehabis mandi tercium dari aroma sabunnya, dia juga telah berganti dengan baju tidur sutra berwarna merah maroon.
"Eh iya,” sahut Abi kikuk.
"Mas kalau mau mandi. Bajunya udah aku siapin dikamar mandi."
"Iya, makasih." Jawab Abi canggung.
Abi langsung bergegas kekamar mandi, menghindari kecanggungan. Abi sengaja berlama dikamar mandi, air shower tetap mengguyur membasahi kepalanya. Ini cocok untuk mendinginkan kepalanya supaya bisa berpikir jernih untuk selanjutnya.
Abi keluar dengan kaos dan celana panjang yang sudah disiapkan Lita. Tetesan air dari rambutnya membasahi handuk kecil masih bertengger di lehernya.
"Mas ini aku sengaja buatin Mas wedang jahe. Kayaknya Mas lelah banget." Lita menyodorkan segelas minuman dalam nampan kecil. Dia membuat sendiri sementara ini dihotel. Hati siapa yang tak luluh. Cantik, manis, lembut, juga baik pekertinya. Benar-benar menantu idaman.
Abi menatapnya lembut dan mengambil gelas yang disuguhkan. Dengan gerakan lambat Abi menggerakkan tangannya yang memegang gelas hingga menyentuh bibir bagian bawah. Terlalu cepat. Ini terlalu cepat, batinnya.
Lita menambah lebar senyumannya hingga ujung matanya berkedut. Ini gerakan terlama bagi seseorang yang hendak meminum.
Gotcha! Abi mendapatkannya. Lita yang mempunyai isi kepala picik, tak mungkin berubah secepat ini. Bunyi gelas kaca beradu dengan nampan keramik. Cipratan air mengenai punggung tangan Abi yang masih memegang erat gelas yang diletakkannya kembali ke nampannya.
"Kenapa? Mas tidak suka." Masih dengan ekspresi lembut Lita.
"Jangan berpura-pura lagi, kamu bisa menipu seluruh keluarga tapi tidak denganku."
Air muka Lita seketika berubah bukan tatapan takut dan terluka karena dituduh. Lita menaikkan sebelah alisnya. Tangannya meletakkan nampan kasar diatas meja.
"Well, aku terkejut loh kamu tidak terpengaruh." Dia berdiri bersidekap dengan gaya congkak khasnya yang sangat dihapal Abi.
Tatapan mereka saling menusuk.
Hebat juga dia, batin Lita.
Kamu kira aku tertipu. Dari kedutan matanya saat tersenyum aku sudah tau, jawab Abi dalam hati.
===============================================================
3. Aturan Main
Kamar pengantin yang telah disiapkan dengan nuansa romantis lenyap sudah. Aura ketegangan dari kedua insan berselisih saling menatap penuh ancaman.
Rencana Lita memang gagal, tapi ini lebih dari yang dia pikirkan. Semua akan berjalan mulus tanpa harus bersandiwara di depan Abi. Apa yang ada dibalik minuman itu sebenarnya hanyalah obat tidur. Lita rupanya salah memprediksi kalau Abi mungkin sudah tertarik dengannya. Jadi dia menyiapkan semua itu untuk berjaga-jaga jika saja Abi langsung menerkamnya.
Keuntungannya, sekarang tak ada lagi yang harus dipusingkan Lita, karena toh Abi pun tidak memiliki ketertarikan dengannya.
Lita berjalan dengan santai melewati Abi dengan wajah congkaknya menuju ranjang pengantin mereka. Hari ini dimalam pertamanya Lita akan tidur dengan tenang.
Abi mendengus kesal. Ternyata Lita masih belum berubah dari bocah menyebalkan yang dulu Abi kenal. Penampilan fisik ternyata hanya kamuflase. Tangannya meraup wajah kasar harus sekamar dengan wanita menyebalkan ini. Tetapi kalau dia tidur di sofa maka dia kalah.
Abi membalik badannya dilihatnya Lita yang terpejam dengan nyaman, diliriknya lagi kado dari Wahyu. Mungkin kaset itu bisa menemaninya hingga tertidur pikirnya lagi. Abi menyetel kaset tersebut dalam DVD Player yang tersedia dikamar hotel tempat mereka menginap. VCD berputar, Abi yang masih menatap lurus ke layar langsung memaki menyumpah-serapah sumber kekacauan siapa lagi kalau bukan—Wahyu.
Tetapi, kesialan selanjutnya harus diterima Abi saat timpukan keras dari benda—yang untungnya bukan batu itu mendarat ditengkuknya, bantal hasil lemparan Lita terhempas di sebelah tubuh Abi.
"Matiin Abi...!!" teriakan Lita menggema dengan wajah yang merah padam. Dengan sigap Abi mematikan DVD Player. Menghentikan suara-suara desahan yang mulai menggema.
“Lo gila ya! Segitu frustrasinya karena belom lepas perjaka!”
Abi menatap Lita garang, "seharusnya kamu bilang gitu ke Wahyu! Dia yang kasih VCD-nya tadi." Rasa marah Lita beralih ke Wahyu, dalam otaknya mengutuk tingkah jahil kakaknya itu. Bagaimana jika Abi jadi bernafsu karena video tadi? Habislah dia!
"Tapi juga salahmu kenapa menghidupkannya. Udah tahu Wahyu gitu—agak-agak miring." Lita tetap ngotot tak mau kalah.
Abi mengambil bantal dari lantai dan melemparkannya kembali ke Lita. “Karena aku tidak akan bisa tidur dengan makhluk serigala berbulu domba sepertimu." Abi berbahasa formal, untuk Lita, sudah seharusnya ia menjadi orang asing. Tabiatnya mengerikan, baik-baik sedikit langsung minta jantung.
"Apa?” tanya Abi dengan nada tak senang berhubung Lita masih melotot ke arahnya. “Atau aku bisa menyebutmu siluman rubah." tantang Abi lagi.
"Tidur di sofa!" bentak Lita.
"Tidak mau. Kamu saja sana kalau mau." Abi berjalan kesisi ranjang menempati tempat kosong disebelah Lita. Lita terduduk menahan geram. Lita hendak melayangkan serangan bantalnya lagi, tetapi Abi lebih sigap. Kekuatan Lita kalah jauh darinya. Lita menatap tajam, Abi yang sekarang ternyata bukan lagi Abi culun yang baru menginjakkan kaki di kota besar dan yang bisa dia setir sesuka hatinya.
Ya. Bahkan Abi yang sekarang memiliki postur tubuh lebih tinggi dan ideal tidak terlalu kurus seperti dulu. Kulitnya tetap sawo matang, tetapi garis wajah pria yang ditaksir Lita memiliki tinggi 175 cm lebih itu semakin menunjukkan kedewasaan. Ralat. Tua! Lita begitu enggan mengakui kalau saat ini Abi pantas menyandang predikat—cowok incaran cewek single yang minta dihalalin segera. Tampan. Mapan. Dermawan? Ah, Lita tidak yakin, dulu Abi sangat pelit.
Lita menyusun bantal guling tepat ditengah ranjang. "Kalau sampai kamu melewati batas garis ini awas saja."
Lita terkesiap dengan gerakan Abi yang tiba-tiba, menyisakan hanya beberapa centi jarak wajahnya dengan wajah Abi. "Kalau aku tidak mau bagaimana?" nada pelan penuh ancaman dari Abi.
Lita menyipitkan matanya, tanda ide terbersit di otaknya. Dengan gerakan pelan tangan Lita menyentuh lembut dada Abi. "Benar juga mungkin kita bisa mencobanya." Lita mengedipkan sebelah matanya.
Abi langsung menghempas kasar tangan Lita dari dadanya. "Jangan pernah menyentuhku,” ucapan tegas Abi yang langsung membuat Lita tertawa keras, bukankah kalimat itu harusnya diucapkan oleh gadis perawan?
Abi ternyata masih belum berubah, masih takut dengan wanita pikir Lita. "Makanya jangan sok-sok an. Aku ngantuk jangan berdebat lagi, tanganku pegal seharian menyalami tamu," dumel Lita sambil menyibak selimut berbaring memunggungi Abi.
Kali ini Abi setuju dengan Lita, tubuhnya juga sangat lelah menjalani rentetan acara yang melelahkan. Diapun ikut merebahkan diri memunggungi Lita. Sungguh posisi yang janggal bagi pasangan yang menjalani malam pertama.
***
Seluruh keluarga inti telah berkumpul menyantap sarapan pagi mereka di restoran hotel. Hari ini keluarga Abi akan balik ke kampung. Sepasang pengantin baru berjalan menghampiri. Abi melirik Lita yang tersenyum semringah sementara Abi memasang senyum yang dipaksakan. Mereka duduk dibangku yang telah tersedia, para keluarga pun menatap penuh binar.
Penyatuan kedua keluarga berjalan dengan baik. Semua terlihat sudah akrab. Hanya saja mereka tidak tahu kalau yang jadi pengantin malah bermusuhan. Layaknya seorang istri Lita mengambil perannya melayani sang suami. Dengan gesit Lita membalik piring Abi, "Mau makan apa Mas?" tanya Lita penuh kelembutan. Para keluarga yang menatap pun hanya bisa tersenyum penuh arti.
"Roti aja,” jawab abi singkat. Lita mengambil potongan roti dan menuang jus jeruk ke gelas Abi.
“Bapak sama Ibuk mau langsung pulang? Nggak mau jalan-jalan dulu?” tanya Abi saat telah selesai menyantap sarapannya.
“Kami langsung pulang saja. Jalan-jalan dengan tubuh lelah juga ndak enak,” sahut Ibu Abi.
“Kalau gitu Abi ikut antar ke bandara.”
"Tidak usah Abi, sebaiknya hari ini habiskan waktu berdua dengan istrimu,” ujar Bapak Abi.
Abi melirik ke Lita yang tenang dengan mode malu-malu. Sungguh, jika boleh Abi ingin muntah. “Iya Pak,” jawab Abi.
"Oh ya kalian habis ini mau kemana dulu?" tanya Ibu Abi.
"Rumah."
"Apartemen.” Jawab Lita dan Abi berbarengan membuat semua mata menatap mereka bergantian.
"Iya. Maksud mas Abi kami mau ke rumah dulu ambil barang Lita baru ke apartemen." Lita menjawab sembari menyenggol lengan Abi.
"I—iya gitu maksudnya," sambung Abi kikuk. Mata Lita memendar penuh ancaman ke arah Abi.
"Ta. Rambut lo kok nggak basah?" lontaran itu membuat aktifitas seluruh keluarga kembali terhenti. Celetukan ini berasal dari satu sumber suara, biang rese’ dari semua kejadian. Tak ayal Lita dan Abi pun memasang tatapan membunuh ke arah Wahyu yang lebih dahulu dihadiahi pukulan oleh Mamanya.
"Abangku tersayang kan ada hair dryer jadi nggak perlu tuh basah-basahan rambut." Jawaban lembut nan nyelekit dari Lita. Keluarga yang seakan paham melanjut sarapan pagi mereka.
Lita memegang sendok penuh kegeraman. Mungkin lain kali dia harus memesan lem khusus untuk menyumbat kata yang akan dikeluarkan Wahyu.
***
Lita menghempas pintu mobil dengan kasar meski mengomel panjang lebar selama perjalanan. Lita menyalahkan Abi atas ketidaksinkronan jawaban mereka tadi di depan keluarga. Sementara Abi tetap tidak menghiraukannya dan terus menatap ke depan. Abi seperti tidak menganggap kehadiran Lita sama sekali.
Kesal itulah yang dirasakan Lita, makhluk itu berubah menjadi robot sekarang. Abi yang dulu akan melawan dan dengan mudah kembali pada tipu daya Lita. Tapi Abi yang sekarang berbeda. Tentu saja! Dia sudah menghabiskan banyak jam terbang, menghadapi Lita tak lagi dengan otot tapi dengan otak.
Apalagi dengan kedudukannya disalah satu perusahaan telekomunikasi terkemuka. Menjadi pimpinan dari bawahan yang tidak sedikit juga, wibawa dan pembawaannya pasti berbeda. Tetapi, Lita masih percaya kalau ia bisa mengerjai Abi seperti dulu, rasanya begitu menyenangkan mendapati pria itu dengan muka memerah dan mengomel seperti ABG yang sedang datang bulan.
"Tunggu." Langkah Lita terhenti saat sudah sampai ruang tamu rumahnya. Oh ternyata si Robot bisa bicara juga, batin Lita.
“Apa?”
"Sekarang akulah kepala keluarganya jadi kata-kataku yang akan kamu ikuti,” ucap Abi penuh penekanan.
“Nggak usah sok sok pake bahasa formal bisa nggak?”
"Tidak bisa.”
“Oh. Impian terpendam ya? Jadi cowok-cowok kaku.”
“Terserah. Sekarang aku tidak peduli lagi dengan ejekan-ejekanmu. Sekarang aku bukan lagi Abi yang bisa kamu perintah seenaknya. Bukan lagi Abi yang pasrah menahan kesal karena kenakalanmu.”
“O,” sahut Lita cuek.
“Kamu adalah seorang istri yang harus menurut pada suami. Dan untuk itu aku menetapkan aturanku—“ Lita memalingkan pandangan, begitu malas dengan pembahasan seperti ini tapi dari sudut matanya ia melihat Bi Jum—asisten rumah tangga Mamanya- sedang melangkah keluar dari balik pintu dapur.
“Abi!”
“Jangan pernah memotong ucapanku. Walau pernikahan kita bukan pernikahan—“
Abi meringis saat Lita menginjak kakinya, tangan Abi langsung mencengkeram pundak Lita mendorong tubuh gadis itu. “Sudah aku bilang aku bukan Abi yang dulu lagi. Kalau kamu masih berani—“
Abi mendelik bibir mulus Lita telah bersarang dibibirnya yang setengah terbuka. Dengan tangkas Abi mendorong tubuh Lita hingga gadis itu hampir saja terjatuh. Lita menatap Abi dengan kemarahan yang mencapai ke ubun-ubun sejak tadi dia telah memberikan kode keras pada Abi tapi Abi tetap saja mengoceh. Tetapi bukan saatnya ia menumpahkan kemarahan, Lita bergerak cepat dengan menggandeng lengan Abi.
"Eh. Maaf non Bibik nggak sengaja masuk tadi." Bibi pembantu rumah tangga keluarga Lita terlihat kikuk menyaksikan adegan ciuman pengantin baru.
"Nggak apa Bik, ini Lita cuma mau ambil barang aja. Udah Bibik siapin kan."
"Iya udah, Non."
"Makasih ya, Bik." Sopan Lita dengan senyum menawannya.
"Iya sama-sama Non, Bibik balik ke dapur dulu."
"Makanya kalo mau ngomong liat situasi." Lita mendumel pelan tepat ditelinga Abi. Abi langsung menarik lengannya yang diapit Lita sejak tadi. Lita pun langsung naik ke kamarnya untuk mengambil barangnya.
Abi menggeram frustrasi. Sial memang, setan cilik itu telah mencuri ciuman pertamanya dengan sangat tidak layak.
Lita turun dengan menggeret dua buah koper besar. "Sayang ... kamu nggak ada niat buat bantuin aku?” Lita berteriak lantang dengan sengaja.
Abi yang sudah tahu ini siasat Lita langsung menghampiri dan menarik koper besar itu menuju mobilnya yang terparkir di pekarangan rumah orang tua Lita.
***
Abi membuka bagasi mobil dan turun dengan cepat dari mobilnya yang sudah terparkir di basement apartemen. Lita pun ikut turun dilihatnya Abi yang berdiam tanpa berniat mengeluarkan barang bawaannya.
"Ngakunya kepala keluarga. Mengangkat barang istri adalah kewajibanmu sebagai suami," sengit Lita.
"Deal! Kamu sudah mengakui sebagai istri jadi kamu harus melaksanakan semua yang sudah aku atur." Lita melotot, ini hanya pancingan. Abi langsung mengeluarkan koper besar itu dari bagasi mobilnya dan menyeretnya memasuki wilayah apartemen. Lita mengikutinya sambil terus menggerutu dalam hati.
Keputusan menikah dengan Abi juga karena andil Lita. Waktu itu Wahyu menyeletuk menyebutkan nama Abi yang sudah kembali tinggal di Jakarta. Informasi itu langsung Lita sampaikan ke Mamanya, dan Mamanya pun setuju hanya Abi yang pantas menjadi menantunya. Sedangkan bagi Lita, Abi adalah pilihan yang paling tepat, Abi sangat membencinya otomatis Abi tidak akan berpikir untuk menyentuhnya jika melihat saja Abi sudah menampilkan ekspresi muak—seperti saat ini.
Abi memunggungi Lita dia hendak memencet tombol apartemennya, tapi dia menghentikan gerakan tangannya.
"Kenapa?" tanya Lita yang sedari tadi memperhatikan Abi meskipun dari balik punggungnya.
Abi bergeser kali ini kotak tombol bisa dilihat oleh Lita. Sebelumnya Abi tinggal sendiri dia selalu waspada dalam memencet tombol apartemennya untuk antisipasi atas hal-hal yang mungkin tidak diinginkannya terjadi.
"Lihat dengan benar. Jangan sampai lupa." Lita paham apa maksud Abi dia memperhatikan dengan saksama. Suara denting pintu terbuka terdengar.
"Tinggal bilang saja kalau itu tanggal hari ulang tahunmu. Hanya tinggal dibalik. 15 April jadi 0415. Dasar payah!” Lita menggeleng-geleng kepalanya sambil masuk ke dalam apartemen.
Mata Abi menyipit mendengar cibiran Lita yang sepertinya masuk diakal. Tapi, ada sesuatu yang tak disadari Abi yaitu Lita masih mengingat hari ulang tahunnya. Abi masuk dengan masih menggeret koper.
"Lita!" geram Abi kemudian.
Lita menoleh. "Apa lagi?" Lita mengikuti arah pandang Abi yang menunjuk ke sepatu flat miliknya yang tercampak tidak beraturan.
"Rapikan!"
Ini hanya hal sepele dan Abi sudah marah, apa ini tidak keterlaluan? pikir Lita. Dengan menghentakkan kakinya Lita mendekat dan menempatkan sepatunya di rak sepatu.
"Yang mana kamarku?" tanya Lita to the point, meski status mereka suami-istri tapi Lita tidak berpikir mereka harus tidur sekamar.
Abi tak menggubris, ia duduk bersandar di sofa.
Lita berdiri bersidekap mengamati apartemen Abi yang terbilang sangat rapi dan bersih, Lita sudah paham kalau Abi memang pembersih sejak dulu. Dulu ketika masih kuliah pakaiannya saja dia cuci sendiri meski Mama Lita selalu marah dan melarang, Mama Lita selalu bilang kalau mereka punya pembantu untuk mencuci pakaian Abi. Tapi Abi menolak karena takut bajunya malah jadi rusak.
"Mau sampai kapan berdiri disitu,” ucap Abi akhirnya.
"Aku tanya yang mana kamarku?"
"Duduk dulu, ada beberapa hal yang harus aku jelaskan selama kita masih tinggal bersama."
Lita langsung bergerak menuju sofa, pernyataan Abi menyiratkan seakan-akan mereka tidak akan tinggal bersama untuk waktu yang lama. "Apa maksudmu masih tinggal bersama? kamu mau menceraikanku? dengar ya, meski kamu menyewa pengacara mahal sekalipun aku tidak akan menandatangani surat cerai apapun. Kecuali aku sendiri yang minta cerai,” cecar Lita.
"Aku tahu kamu licik Lita. Tapi aku bukan orang yang sepicik itu. Tinggal disini ada aturannya tidak sembarangan, aku butuh ketenangan meskipun dengan kehadiranmu saja sudah membuatku tidak tenang."
Lita mendengus sebal.
"Aku ingin kita tidak mencampuri urusan masing-masing itu yang utama. Yang kedua adalah masalah kebersihan karena kamu tinggal disini dan statusmu sebagai istri sudah sepatutnya kamu yang membersihkan rumah tapi tidak dengan kamarku kamu tidak boleh menyentuhnya." Jelas Abi.
"Bagaimana kalau aku nggak mau? bersih-bersih kan capek! Aku jugakan banyak tugas. Belum lagi kalau kena giliran jaga malam—“
“Mana jadwal magang mu?” tanya Abi membuat Lita mengerutkan keningnya.
“Buat apa?!”
“Aku harus tahu lengkapnya jadwal kamu. Termasuk sedang di stase mana kamu saat ini. Jangan kira aku tidak tahu, Lita. Aku juga punya teman seorang Dokter.”
Mata Lita bergerak liar. Abi benar-benar tidak polos lagi sekarang atau memang kelicikan Lita yang semakin mudah terbaca. “Ih ... nggak liat apa ini barang-barang belum dikeluarin. Kalau mau, nah! Bongkar sendiri.”
Abi menipiskan bibirnya. “Oke. Besok kasih ke aku. Sekarang jawab. Kamu sedang berada di stase mana?”
Lita mencebik kesal. “Radiologi!”
Abi tersenyum miring, “udah jelaskan. Nggak ada giliran jaga malam seperti yang kamu bilang tadi.”
“Iya. Tapi nggak lama lagi bakalan pindah ke stase bedah.”
“Aku tidak tanya nanti. Yang aku tanyakan sekarang. Kamu masuk pukul berapa?”
Lita memajukan bibirnya, “jam tujuh,” sahutnya ketus.
“Pulangnya?”
Lita meringis Abi sepertinya tahu banyak. “Ya nggak tentu, kalau ada tugas tambahan bisa lebih lama pulangnya.”
“Pulang jam berapa? Yang sesuai jadwal!”
“Jam dua,” sahut Lita masih dengan tampang tak bersahabat.
“Maksimal pukul empat sudah sampai dirumah. Lalu bersihkan apartemen.”
“Kan udah capek seharian di Rumah Sakit, pulangnya ya tidur. Masa kamu mau suruh aku bersihin apartemen lagi.”
“Tidak ada alasan! bersihkan apartemen hanya butuh satu jam, kecuali kamu memang lelet. Malamnya kamu bisa tidur sepuasnya tidak ada yang melarang, kecuali kamu memang hobi begadang.”
“Nggak mau!”
"Oke. Aku tidak akan memberimu uang saku," tegas Abi. Lita merutuki sikap Abi dalam hatinya. Mungkin dia harus menurut dia tidak mungkin lagi minta uang sama Papanya karena sekarang dia sudah jadi tanggung jawab Abi.
Lita sontak mengerucutkan bibirnya. Tak ada sanggahan Abi anggap Lita setuju. "Aku lanjutkan. Sarapan pagi kamu yang menyiapkan, cukup dengan segelas susu dan roti bakar, kalau hanya alat pemanggang roti kamu bisa menggunakannya kan."
“Aku kan berangkat pagi. Kamu buat sendiri aja!”
“Kamu harus membuatnya! Sebagai gantinya, makan makan malam aku yang akan memasak. Kalau sempat, kalau tidak sempat beli diluar. Aku sudah tahu track recordmu dalam memasak dan aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan pantryku, jadi jangan sekali-kali mencoba untuk memasak kecuali aku ada disana. Satu lagi, dan ini yang paling penting, tidak ada yang namanya kontak fisik kecuali di depan keluarga. Ciumanmu tadi pagi aku berharap itu yang terakhir."
"Ck! kamu kira aku suka melakukannya."
"Terserah. Yang itu kamarmu,” tunjuk Abi mengarah ke sebuah pintu. “Aku mau istirahat jangan menggangguku sampai jam makan malam." Abi bangkit dari sofa menuju kamarnya. Menyisakan Lita yang memandangnya sinis.
Di dalam kamar Abi duduk dikursi santainya. Hari berat akan dimulai. Lita tak pernah berubah meski sudah berulang kali Abi memikirkannya tapi tetap saja ini sudah terjadi dia akan berusaha sebisanya merubah tabiat Lita. Lita yang harus mengikuti alur Abi. Tapi sampai kapan?
***
Makan malam mereka telah selesai, Abi telah masuk kembali ke kamarnya. Abi seperti enggan jika harus berlama-lama dengan Lita. Tadi Abi memesan makanan dari restoran langganannya jika dia tak sempat memasak. Lita memakan menunya dengan senang hati karena ada iga bakar kesukaannya sementara untuk Abi hanya ada sayur capcai dengan ikan steamnya. Dari menu makanannya saja sudah jelas Lita tahu kalau Abi sangat menghindari makanan berlemak.
Lita memandang tak suka ke arah piring kotor di wastafel. Sekarang ini sudah menjadi tugasnya. "Memangnya berapa sih uang saku yang dikasih dia, sampe-sampe harus kerja rodi kayak gini!" gerutu Lita dengan tanah penuh dengan busa sabun cuci piring. Tadi Abi dengan sangat tegas menyuruhnya untuk mencuci piring, jika masih ada piring kotor yang tersisa esok ia mengancam tak akan memberikan uang saku. Sial! selama ini Papanya tidak pernah meloloskan permintaan Lita untuk memiliki kartu kredit, alhasil setiap hari ia diberikan jatah uang saku. Tetapi setidaknya pemberian Papanya cukup untuk hang out, ngopi-ngopi dan ke salon bareng Kartika.
Bunyi bel interkom menghentikan kegiatan Lita, ia melempar pandangan ke sekeliling, Abi sudah menutup rapat pintunya. Lita berdecak, mencuci bersih tangannya sebelum membuka pintu.
“Hai manten baru!” seru Wahyu dengan cengiran di wajahnya.
“Mau ngapain?”
“Nih!” Wahyu menyerahkan kunci mobil miliknya. “Abi mana?”
“Di kamar ny—“ hampir saja Lita keceplosan. “Di kamar lagi istirahat, kecapekan dia. Udah Abang pulang aja, kalau mau mampir besok-besok lagi aja.”
Bibir Wahyu langsung mengerucut. “Iya—iya,” tukasnya mengacak rambut Lita membuat Lita berseru kesal.
Lita menutup keras pintu lalu kembali ke kegiatannya—mencuci piring. Tak sampai lima menit berlalu. Suara deringan telepon membuatnya berdecak keras. “Siapa sih!” gerutunya melirik ke handphonenya diletakkan di meja pantry. Dengan tangan yang masih menggenggam gelas yang berlumuran sabun Lita menoleh memastikan nama yang menelponnya.
Prang!!
Didalam kamar, Abi langsung menghentikan gerakan jarinya yang tengah mengetik mendengar suara benda pecah dari luar. Belum ada satu hari apa Lita sudah mengacau pikirnya. Dengan cepat Abi keluar dari kamar.
Ditatapnya tubuh Lita yang menegang dengan pandangan kosong, Abi semakin mendekat. Lita bahkan menginjak pecahan gelas yang terjatuh. Tapi yang jadi pertanyaan dalam benak Abi kenapa dia diam saja.
"Lepas!” teriak Lita saat Abi mengangkat tubuhnya.
"Apa kamu tidak lihat kakimu sudah berdarah seperti itu?!"
Bahkan Lita tak menyadari tubuhnya sudah terluka, tak dirasanya sakit sedikitpun. Satu nama yang tertampil di layar ponsel tadi cukup membuatnya mati rasa.
"Diam dan jangan bergerak aku akan mengobati lukamu." Ucap tegas Abi yang meletakkan Lita di sofa dan beralih mengambil kotak P3K. Dengan sabar Abi mengobati kaki Lita. Lita tak banyak bergerak juga tak banyak bicara. Dikepalanya terus mengiang sebuah kalimat. “Kita putus saja,” batin Lita menggeram, pria itu pasti menyesal telah mengucapkan kalimat laknat itu!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
