Menolak Asmara [Bab 1]

215
15
Deskripsi

Haloooo guys… ketemu lagi sama si centil Asmara! Belum ketemu sama Sastra nih. Penasaran nggak sih, karakter Sastra bakalan kayak apa?? Apa bisa bikin Asmara mati kutu dan ngeluarin banyak jurus rayuan maut?

Kalau nggak ada halangan, besok aku bakal upload banyak bab sekaligus… hihi

Bab 1

Asmara menandaskan es krimnya, sangat malas untuk keluar berolahraga. Padahal dia harus tetap mempertahankan bentuk tubuhnya, namun masalahnya sudah berbulan-bulan dia banyak pikiran, nggak perlu olahraga untuk menjaga berat badan.

Denting tagihan paket bulanan masuk ke ponselnya. Dan jantung Asmara berdegup kencang, saat membuka mobile banking-nya, hal terhoror yang dia lakukan beberapa bulan belakangan.

Dan… Asmara langsung melompat dari sofa, matanya melotot mulai sesak napas melihat saldo di rekeningnya sudah menyentuh angka… 29,999,800!

Enggak! Gawat! Dia nggak akan bertahan sebulan lagi, jika hanya mengandalkan uang yang tersisa dua ribu itu. Belum lagi bayar cicilan apartemen!

Arghhh! Ini semua gara-gara Ernando! Hidup yang sudah dia bangun dalam fase enak-enaknya harus morat-marit begini. Andai saja Asmara nggak tergiur membangun usaha coffee shop Asmara tak akan berhenti dari pekerjaannya. Tapi, Asmara perlu mengakui otak bisnis Ernando cukup cemerlang, dan coffee shop mereka lumayan ramai.

Masalahnya adalah… musibah tak datang dengan aba-aba! Semuanya seperti gelombang tsunami.

Musibah itu datang ketika Ernando mengajak Asmara pergi menginap di hotel berbintang, dan sengaja memesan suite room. Asmara sempat menduga-duga Ernando akan melamarnya. Oh… tentu saja dia sudah siap-siap berakting terkejut plus terharu. Meski ketika sampai dikamar tidak ada bunga-bunga, makanan, atau yaahh… yang bersifat romantis. Tetapi, Asmara tak sampai nekad membongkar tas Ernando—mana tahu ada cincin? Ah, Ernando pasti mempersiapkan makan malam romantis, cincin itu pasti disembunyikan.

Asmara ikut saja ketika Ernando bilang ada janji dengan orang penting. Mana Asmara tahu ternyata Ernando membawa uang untuk menyuap seorang pejabat, demi memperpanjang izin tambang ilegal perusahaan bokapnya! Hingga Asmara ikut-ikutan terseret kasus operasi tangkap tangan. 

Dan sekarang coffee shop yang dia rintis bersama Ernando diambil alih oleh si nenek sihir—Mama Ernando, bekerja sama dengan adiknya.

Bajingan emang! Sayangnya Asmara tidak punya power.

Kenapa Asmara tetap bertahan dengan Ernando. Ya jelas, karena Ernando royal banget. Nggak ribet. Nggak posesif. Tampang middle-middle yang nggak bisa dibilang terlalu tampan nggak bisa dibilang jelek juga. Agak gemoy. Standar lah… yang penting nggak malu-maluin digandeng ke mana-mana. 

Menganggap Asmara satu-satunya pacarnya yang tidak menuntut perhatian, seperti memintanya mengabari setiap saat, ya… padahal karena Asmara nggak cinta juga…! Yang penting transferan lancar.

Minusnya cuma satu itu, Mamanya yang jelas nggak suka sama Asmara! Mama Ernando yang Asmara tahu terang-terangan sibuk mencarikan jodoh untuk anaknya. Maunya juga yang dari kalangan atas. Yeahh… alasan klasik. Tapi sudah hampir lima tahun Asmara berpacaran, kenapa tuh mak lampir nggak pernah datang menawarkan uang ke Asmara. Padahal kalau ditawarakan, Asmara akan ambil uanglah! 

Makan tuh sok high! Mampus dah, suami sama anak sama-sama masuk penjara kan! Eh, tapi Asmara ikut ketiban mampus sih! Ya, Asmara tahu ternyata keluarganya mempunyai tambang ilegal. Asmara cuma peduli sama transferan!

Asmara yakin keluarga Ernando tidak akan jatuh miskin, sementara dia?? Cuma cem-ceman yang bisa dibuang kapan aja!

Asmara pusing tujuh keliling. Menjambaki rambutnya hingga botak juga tak akan membuatnya ketiban duit. Berpikir Asmara… berpikir…!

Selama enam bulan ini Asmara masih rutin mengunjungi Ernando. Tapi kayaknya sama sekali nggak ada angin segar. 

Apa dia harus menjual mobil kesayangannya? Asmara mengusap-usap wajahnya frustrasi. Atau dia gadaikan saja, untuk membayar cicilan apartemen? Tapi nanti bagaimana cara menebusnya??

Asmara tahu ada satu orang yang bisa dimintai tolong. Tapi, orang ini agak-agak… Ughh… dicoba sajalah! 

Dengan menggosok-gosok dagunya tak tenang, akhirnya Asmara memencet tombol memanggil.

Terdengar dering panggilan, dan selama nada itu berbunyi jantung Asmara memompa cepat. 

“Halo!” langsung suara kasar yang akrab di telinga Asmara itu.

“Halo. Lo masih inget kan, sama gue?”

“Apanya, kau?” decak Kakaknya dengan logat khas anak Medan-nya. 

Syukurlah, Kakak kandungnya itu masih mengingatnya. Meski bertemu lima tahun lalu di Jakarta, tapi sudah setahun mereka tidak komunikasi. Asing. Memang. Sejak kecil mereka tidak tinggal bersama.  

“Mau nikah kau?”

Shit! Malah diingetin lagi.

“Enggak. Gue—ada perlu.”

“Perlu apa?”

Gimana bilangnya??

“Halo!” seru Dahlia karena Asmara tak kunjung bersuara.

“Gue—lagi ada masalah—"

“Intinya aja langsung…”

“Lo punya duit?”

“Mau minjem kau? Nggak punya.”

Bangke…! Sama adik sendiri juga! 

“Lo Kakak gue satu-satunya. Lo tega liat gue kesusahan…” meski begitu Asmara tetap harus berintonasi memelas

“Udah nggak bisa makan lagi kau rupanya?”

Padahal Dahlia tak melihat, namun Asmara tetap memasang mimik sedih. “Enggak…”

“Benarnya itu?”

“Iyaaa…”

“Bentarlah, kukirim satu juta.”

Asmara langsung berseru. “Satu juta dapat apaan??”

“Gue butuh seratus juta.”

“Gilak kau memang!” cerocos Dahlia langsung.

Sialan. Emang nggak ada cara lain. 

“Kalau gitu gue bakal balik ke Medan.”

“Mau ngapain kau ke Medan? Mau numpang hidup sama aku??”

“Ck! Gue bakal cari kerjaan di Medan.”

“Mana bisa sini ngelamar situ dapat kerja.”

“Ya sabarlah… pengalaman kerja gue banyak. Pasti cepet dapet.”

“Susah cari kerja di sini…”

“Lo nggak percaya sama gue? Minimal… tiga bulan! Gue pasti udah dapet kerja.”

“Kenapa nggak kau cari kerja aja di Jakarta sana. Ada gila-gilanya kau, malah mau cari kerja di kampung.”

“Nggak bisa… di sini banyak temen gue—" 

Biar begini juga, Asmara pernah jadi atasan yang semena-mena. Shit! Pasti banyak yang menertawakan keadaannya. Gimana dia nggak mau semena-mena sama tuh sales, tujuannya nyari gadun bukan nyari pembeli, gatal! Ya… Asmara dulu awal mula jadi sales mobil juga pasang tampang menggoda sih, tapi liat-liatlah… nggak juga segala bentuk rupa dipepetin.

“Pokoknya nggak bisa!”

“Balik aja lagi ke rumah Tulang!”

“Enggaak… enak aja!” hanya membayangkan wajah istri Tulangnya, Asmara sudah mau muntah. Dia pergi dari rumah Tulangnya karena berantem sama si tante itu. 

Ini semua karena keluarga Bapaknya yang menyuruh-nyuruhnya ikut dengan Tulang yang sukses di Jakarta. Anak yatim, ikut saudara. Bisa dibayangkan segokil apa tekanannya. Hanya karena iming-iming disekolahkan, dan Asmara menghabiskan masa SMA di rumah itu seperti di neraka. Dijadiin pembokat sih lebih tepatnya, disuruh bersihin ini itu.

Setelah tamat, Asmara langsung kerja jadi sales TV berlangganan, sales motor. Tiga tahun wara wiri, jilat sana sini. Asmara sedikit naik tingkat, dapet kerjaan jadi sales mobil, sambil kuliah, dengan uang yang sangat ngepas, dia harus membayar kost dan menjaga penampilan yang butuh modal banyak. Asmara pacaran, tapi yang lalu-lalu cuma anak mahasiswa yang masih minta ke orang tuanya, keuntungannya hanya ditraktirin nonton, dibeliin makan, ada beberapa yang mau bayarin kostnya.

Ernando tangkapan terbesarnya. Dan atas rekomendasi Ernando juga dia pindah perusahaan dan menjadi marketing mobil mewah. 

Pengalaman hidup membuat Asmara menjadi orang yang bodo amatan, nggak ada gunanya peduli ke orang lain, dekati yang bisa dimanfaatkan. Titik.

“Aku pun nggak mau nampung kau pengangguran lama-lama di rumahku.”

“Ya makanya pinjemin gue duit. Biar gue nggak balik ke Medan…!” kesabaran Asmara habis.

“Ngancam aku kau?!”

Pekikan Dahlia bahkan lebih horor dari debt collector.

 

***

 

Asmara menyelipkannya kertas terlipat ke tangan Ernando sebelum keluar. Dengan wajah dipaksa berkaca-kaca.

Asmara membuang napas keras-keras, capek juga akting pura-pura sedih. Sedih versi Asmara saat hanya saat dia memikirkan nasib saldo rekeningnya. 

Memasuki taksi yang dipesan. Asmara membetulkan kaca mata hitamnya, dan berpangku siku ke luar jendela taksi, menyeringai, sekaligus illfeel teringat tulisan tangannya. Dia pastikan Ernando akan terngiang-ngiang dan penuh rasa bersalah. 

 

 

Hubby.

Semakin hari aku kesepian setiap hari hanya menunggu di apartemen, nggak tau mau ngapain. Aku sudah nggak bisa menyibukkan diri di coffee shop yang kita rintis. Aku berpikir untuk cari kerja lagi, tapi semua orang sedang menjauhiku.

Aku tahu kamu tertekan. Aku juga sejujurnya sangat tertekan. Kamu pasti tahu, keluargamu nggak pernah menyukaiku. 

Air mataku terus mengalir tiap memikirkanmu. 

Maafin aku. Aku nggak bermaksud meninggalkanmu di fase terendah dalam hidupmu. 

Tapi aku juga nggak tahu harus bersandar kepada siapa.

Aku balik ke kampung untuk menenangkan diri. Dalam beberapa bulan ini mungkin aku nggak akan datang jenguk kamu. 

Jaga kesehatan ya Sayang.

Kamu tahu gimana cara menghubungi aku.  

 

 

Taksi yang Asmara pesan baru melaju ketika ada panggilan dari nomor tak terdaftar di kontaknya.

“Halo?” sahut Asmara dengan nada lembut.

“Honey. Ini aku,” dari suara paniknya Asmara sudah tahu ini panggilan siapa. 

Yes!

“Hm.”

“Honey, please jangan ke mana-mana. Aku udah dengar dari pengacara Mama ambil alih semua coffee shop, tapi kamu tenang Sayang. Setelah aku keluar, Mama nggak akan campur tangan lagi.”

“Dari awal juga itu bukan punya aku.”

“Jadi kamu benar-benar mau pulang kampung?”

“Hm. Kecuali… ada kesibukan lain, tapi sejauh ini nggak ada yang terpikirkan, Bi… aku kan juga harus punya pegangan buat kebutuhanku sehari-hari, tabunganku udah menipis.”

Pakai semua koneksi lo buat cariin gue kerjaa!

“Ya udah kalau itu keputusan terbaikmu. Kapan kamu berangkat?”

Asmara melotot. Dia malah nanya kapan berangkat?! Harusnya dia mohon-mohon agar Asmara tidak pergi! Suruh orang transferin duiit!

“Tapi—aku nggak bakal bisa jenguk kamu. Dalam waktu yang lama lho…” tekan Asmara. 

“Aku ngerti. Begitu aku keluar. Aku akan segera jemput kamu.”

Ya masalahnya lo kapan keluarnya! Sidang aja nggak kelar-kelar!

“T-tapi Bi! Aku beneran udah beli tiket loh…!” gigi-gigi Asmara menahan geram. “Kamu beneran nggak apa-apa aku nggak dateng-dateng lagi ke sel?”

“Jangan khawatir Sayang. Pengacaraku sedang usaha agar hukumanku seringan mungkin. Aku pasti segera keluar.”

Arghhhh! Asmara membanting tasnya begitu panggilan berakhir, sampai-sampai sopir taksi memutar kepalanya. 

Sialan. Beneran sialan! Jadi gue tetep harus pulang kampung nih ceritanya?!

 

 

***

 

Asmara mengentak-entakkan kakinya. Pesannya dari sepuluh menit yang lalu yang dia kirim begitu sampai dibandara belum juga dibaca. Ini keputusan yang sangat berat—balik kampung! Tapi, Asmara malah dikacangin?!

 

Asmara : Gue udah di bandara.

 

Padahal dua jam yang lalu juga Asmara sudah mengabarkan akan berangkat ke Medan, dan hanya dibaca! Gila tuh Dahlia, padahal pas dia datang ke Jakarta Asmara traktirin kakak dan ponakan-ponakannya. 

Awas aja kalau sampe dia nggak balas budi!

Asmara berkacak pinggang mulai gelisah. “Apa gue datang langsung aja ya? Tapi kalau gue diusir? Dan dia pura-pura nggak ngenalin gue?” 

Asmara tersentak saat dia melewatkan kopernya, dan membiarkan berputar sekali lagi. Setelah mengamankan satu koper besarnya, Asmara langsung berjalan ke sudut. Dengan pandangan tetap fokus ke ponsel.

Kalau dia balik lagi ke Jakarta, sama aja ngabisin duit buat tiket. Dan dengan sangat terpaksa menjual mobilnya yang sedang dititipkan?

Dengan emosi mulai naik, Asmara tak sabaran menghubungi Dahlia. 

“Halo—"

“Udah mau sampe aku ini. Diamlah kau di situ!”

Seringai Asmara langsung melengkung lebar meski Dahlia mengomel. “Okay… sisterr—”

Belum juga, panggilan Asmara sudah dimatikan. Sialan. Tapi, senyum Asmara tetap melengkung lebar, dan langkahnya riang menuju pintu keluar. 

Lebih dari dua puluh menit menunggu. Akhirnya Kakaknya itu nongol.

“Lo bilang bentar lagi nyampe…!” dumal Asmara langsung begitu bertemu dengan Dahlia yang… “Udah merah aja nih rambut,” ucap Asmara sambil menyentuh ujung Dahlia. 

Dahlia mengibas rambutnya. “Jangan pegang-pegang. Baru kucuci rambutku ini ya…”

Asmara berdecih. 

“Lo jemput gue sendirian aja?” tanya Asmara celingukan sambil jalan.

“Jadi kau mau dijemput satu kampung?”

“Ya biasa kan gitu. Orang kampungmu suka rame-rame pasti jemput ke bandara.”

Dahlia melirik sangar. “Sendirian aku. Abangmu lagi ke ladang. Jadi, kubawalah mobil pelan-pelan.”

Asmara menaik-naikkan alisnya. “Gue tau lo nggak tega ngeliat adik semata wayang terlantar di bandara kan?”

“Jangan ngomong lo-gue di sini! Nanti dikira orang sombong.”

“Lebih kasar lagi ngomong aku-kau,” balas Asmara.

Sampai di parkiran, mata Asmara langsung bersinar, tertuju pada mobil berwarna merah menyala. Dengan plat yang jelas masih baru.

“Wuih! Baru nih?”

Dengan wajah setengah jutek Dahlia tetap menaikkan dagu sombong. 

“Warnanya sesuai kesukaan lo ya. Merah menyala…”

“Selama hampir lima belas tahun jadi istri. Baru inilah aku dibeliin mobil.”

Asmara menepuk tangannya tinggi-tinggi merasa bangga. Meski lucu saja mendengar curhatan Dahlia yang blak-blakan.

“Ni mobil atas nama lo kan?”

“Atas nama Bang Fedri.”

Asmara menarik lagi sorot bangganya. Berdecak keras. “Bego banget. Harusnya pake nama lo lah…”

“Nggak ngaca kau. Nggak sadar kenapa sekarang kau kujemput di sini?”

Asmara langsung mencibir. Memang. Sepertinya dia butuh cermin besar. 

“Yang penting simpananku udah banyak.”

Asmara langsung memepet ke Dahlia. “Berapa?? Kenapa kemarin gue pinjem duit lo bilang nggak ada.”

Segera saja lengan Asmara terdorong. Asmara dengan susah payah memasukkan kopernya yang lumayan berat ke mobil, dan masuk ke kursi depan. Sambil memakai seatbelt, Asmara melihat gerak-gerik Dahlia begitu tegang.

“Mau gue yang bawain nggak?? Gini-gini gue mahir bawa mobil.”

“Ck!” decak Dahlia keras.

Asmara menggeleng meledek. Membiarkan Kakaknya berbuat sesukanya. Lecet juga mobil dia, bukan gue!

Mobil berputar aneh, dan berjalan lambat. Sepertinya Asmara perlu menggenggam pegangan kuat-kuat. 

“Aku tau cara biar kau cepet dapat uang.”

“Lo mau jual gue ke Om-Om?”

Ekspresi Dahlia seperti ingin memakan Asmara, perempuan itu sedang sibuk memutar mobil jadi tangannya tidak sempat menoyor kepala adiknya. “Enggak sesadis itu aku ya! Dengar dulu.”

Bola mata Asmara berotasi. “Oke apa?” 

“Ada sepupunya Bang Ferdy. Baru cerai setahun lalu.”

Asmara kontan melotot. “Lo mau nyuruh gue kawin paksa?!”

“Dengar dulu!!” bentakan Dahlia langsung menggelegar. Hingga bahu Asmara sedikit berguncang. Sialan dia kalah sangar dari kakaknya.

“Ya. Ya. Apa?”

“Namanya Sastrawan Abadi Sitepu. Ingat itu, jangan lupa. Nondong Iting si Sastra dari pihak Mamaknya, sama Nondong Bang Ferdy dari pihak Bapaknya, Kakak adek.”

Kepala Asmara pusing mendengar penjabaran Dahlia. 

“Terus. Terus,” potong Asmara cepat.

“Dulu dia nikah sepuluh tahun nggak punya-punya anak. Udah berobat dia sama istrinya sampe ke Penang, Singapura, nggak juga bisa punya anak.”

“Terus diceraikan?” sela Asmara dengan wajah jengah.

“Istrinya yang minta cerai! Mungkin kasian dia liat lakiknya jadi nggak dapat anak gara-gara dia.”

Asmara agak sensitif mendengar komentar itu, meski dia juga tak peduli dengan urusan perasaan orang lain. 

“Yang kudengar, si Sastra bener-bener nggak mau nyeraikan. Berantamlah dia sama Mamaknya, adu mulut mungkin. Mungkin memang nggak mau dia cerai, dia itu pacaran dari kuliah, sampai nikah sama mantan istrinya itu.”

“Jadi, intinya, lo mau gue nikah sama cowok yang belum move on?”

Kakaknya melotot. Asmara langsung menutup rapat bibirnya. Modelan Dahlia dibawa ke kelab malam, senggol sedikit sepertinya bakal langsung baku hantam.

“Hari gini. Kau masih mikir cinta-cintaan??”

Asmara berdecak keras. “Nggak ada gue bilang cinta! Gue cuma males ribet berurusan sama cowok bucin tolol!”

“Itu nggak usah kau pikirkan. Kau bayangkan aja. Kalau dia nikah sama kau, terus kau punya anak. Nggak kebayang sesayang apa mertuamu itu nanti! Uhhh… semuanyalah jadi punyamu.”

Asmara melirik malas, pikiran-pikiran primitif. Mengurusi diri sendiri saja susah, disuruh urus anak. Sejauh ini Asmara tidak berniat punya anak.

“Kaya-kaya. Royal nggak?”

“Apa itu royal?”

Asmara langsung mendengus. “Suka ngasih duit nggak??” 

“Kalau itu nggak usah kau tanya. Kau tahu, itu padahal mantan istrinya yang minta cerai. Tapi tetap dapat rumah, mobil, tanah ada juga kayaknya.”

“Itu sih harta gono gini, yakali sepuluh tahun berumah tangga nggak dapat apa-apa.”

Dahi Dahlia tampak berkerut, berpikir, dan berakhir mengibaskan tangannya.

“Pokoknya keluarga Mami Linda itu baik kali! Kalau soal uang nggak usah kau sangsi. Anak-anakku aja tiap lebaran dikasih THR lima ratus ribu!”

Asmara menaikkan sedikit alisnya, meskipun itu belum membuktikan standar Royal yang Asmara maksud. 

“Tapi ntar, kalau gue nuntut cerai, gue harus dapat lebih banyak dari itu—aw!” Asmara berdesis sebal. “Ngapain sih mukul-mukul!”

“Ngapain mikirin cerai?! Dia itu pewaris tunggal, Asma!”

“Asmara!” bentak Asmara dengan nada lebih tinggi.

“Terserahmu. Yang jelas, kalau kau mau tetap tinggal di sini, kita harus atur rencana biar kau jadi istri Sastra.”

“Lo ngancem?”

“Terus kau mau ngapain di kampung? Ongkang-ongkang kaki? Mertuaku bakalan datang dan ngeliat kenapa adikku di rumah aja! Yang ada jadi omongan tetangga…”

“Nggak nyampe sebulan gue bakal dapat kerjaan,” balas Asmara sesumbar. 

“Kau bilang tiga bulan aja dapet kerja aku nggak percaya. Ini lagi kau bilang satu bulan.”

“Gue pinter! Pengalaman kerja gue banyak!” seru Asmara sombong. “Masa gue secantik ini mau lo jodohin sama Bapak-Bapak.”

“Ck! Mukanya belom keliatan tua…!” seru Dahlia tak terima. “Masih ganteng kali pun! Nggak percaya orang dia udah umur lewat 40-an.” 

Mata Asmara menyipit tak percaya. 

“Berapa umurnya?”

“43 tahun.”

“Beda 15 tahun dari gue??” pekik Asmara. “Wah. Bener-bener lo…!”

“Iya. Tapi nggak kayak bapak-bapak! Memang belom punya anak! Nggak kau tengok masih ganteng gini??”

“Ngomong-ngomong. Kok lo gencer kali bilang dia masih ganteng. Jangan-jangan lo yang naksir dia?”

Asmara langsung mengelak saat Kakak sebiji-nya itu kembali hendak memukulnya. Sampai mobil sedikit oleh dan di klakson kencang mobil belakang.

“Makanya! Nyetir aja lo yang bener.”

Dahlia langsung mengeluarkan sumpah serapahnya. 

“By the way. Kita singgah makan kan? Gue udah laper banget.”

“Di rumah aku udah masak.”

“Jarak dari sini ke rumah lo kan masih jauuh!”

“Alaah… udahlah! Sayang nggak ada yang makan.”

Bibir Asmara menipis. Dasar peliiit!

 

***

 

Ni orang bener-bener nggak ngajak gue berenti makan, gue udah laper banget ini njing! Awas aja kalau masakannya nggak enak dumal batin Asmara melirik Dahlia.

Dengan bibir memberengut Asmara menatap jalanan kampung yang sebentar mulus sebentar berlubang, tambal-tambal batu-batu yang kalau panas abu sudah seperti salju, dan jika hujan becek minta ampun. 

Bibir Asmara menipis. Dia masih bisa bernapas tanpa mendadak tegang sebab rumah Kakaknya tidak satu kampung dengan rumahnya sewaktu kecil.

Dahlia mendadak menyetir lambat dan mengayun-ayunkan tangan di depan wajah Asmara.

Apalagi??

“Yang itu! Yang berpagar panjang itu rumahnya. Besar kali, kan?”

Asmara melongokkan kepalanya, ke arah seberang jalan. Maksudnya rumah sepupu suaminya tadi?? “Pagarnya besar.”

“Rumahnya juga.”

“Nggak keliatan.”

“Akh!” Asmara langsung mengaduh saat kepalanya lagi dan lagi ditoyor.

“Paok kali. Kalau pagernya aja udah besar, pasti rumahnya besar!”

“Ya udah sih, nggak perlu ngegas!” Mobil melaju perlahan. Tatapan Asmara masih penuh selidik. “Keluarganya mafia?”

“Enggak. Jangan asal fitnah!”

“Gue nanyaa…” ngegas mulu ni orang.

“Udah banyak tanahnya dari jaman Bolangnya hidup, dulu. Keluarga dari Mamaknya pun kaya-kaya. Bapaknya ada ikut organisasi kepemudaan disinilah. Tapi nggak punya barak judi. Tenang aja. Bapaknya pernah tiga kali jadi anggota DPRD. Pemilihan terakhir kemarin kalah.” 

“Kenapa kalah?”

“Udah sering pun dibantu sama Kila itu warga kampung mereka pilih yang lebih banyak ngasihnya pas pemilu.”

“Kenapa dia nggak ngasih banyak?”

“Ih, udah seratus ribu dia ngasih per kepala, yang lain berani ngasih lebih tinggi lagi.” 

“Siapa suruh nggak ngasih lebih banyak. Pelit berarti.”

“Udah sering bagi-bagi sembako Kila itu dari sebelum jadi anggota dewan pun!” Dahlia memicing. “Kok jadi bahas itu aku,” potong Dahlia galak.

Asmara mengendik, dengan wajah sok polos.

“Si Sastra itu udah dikenalin sama ada anak gadis perawat, nggak mau. Bidan juga nggak mau. Dokter! Tapi janda. Juga nggak mau.”

Dahi Asmara berkerut, melirik malas. “Terus kenapa lo pikir dia bakal mau sama gue?”

Dahlia meliriknya dari atas kepala sampai ujung kaki. “Kau dapat anak bos tambang bisa. Masa ngerayu si Sastra nggak bisa?”

Asmara mencibir melirik Kakaknya malas meski tetap mengibaskan rambutnya. Ya, semua cowok akan sulit menolak pesonanya. Terkecuali mereka-mereka yang memiliki iman teguh. Tetapi, sayangnya, energi Asmara sudah lumayan terkuras beberapa bulan ini. Kalau mau mulai merayu cowok lagi dia butuh modal. 

Selain itu dia masih ingin mempertahankan Ernando. Meskipun belum keliatan hilalnya kapan Ernando akan bebas. Hanya saja… jika dia menikah diam-diam di sini, dan dapat banyak keuntungan? Oke… Asmara akan mempertimbangkan segala detailnya.

Mata Asmara menyipit ke arah pagar besar dan berukir tersebut. Asyik juga sih, kalau dia jadi nyonya rumah. Di kampung dia bisa bebas berkamuflase. 

“Tapi dia beneran royal kan?”

“Kau kira aku bohong??”

“Orang kaya kampung, nanti ujung-ujungnya patriarki kayak lakik lo? Ntar gue dipaksa masak, nyuci—"

Tangan Dahlia langsung melayang ke kepala Asmara. “Akh! Lo jangan dikit-dikit nabok bisa nggak sih?!”

“Udah kukasih solusi, naik pula darahku kau buat. Satu lagi! Ilangkan, logat sok kotamu itu!”

Asmara memutar bola mata, padahal logat Kakaknya yang bikin gendang telinga pecah. Kencang suaranya sudah seperti knalpot modif!

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Menolak Asmara
Selanjutnya Menolak Asmara [Bab 2; Bab 3; Bab 4; Bab 5]
133
21
Sesuai janjiii… aku hadir membawa banyak Bab… ahhahah…
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan