
Blurb :
Sudah sejak lama Alvin menyandang status duda, Ibu mertua dan Kakak Iparnya terus saja merecoki kehidupannya beserta putri semata wayangnya. Alvin meyakini masalah yang dihadapinya bukanlah masalah besar, hanya saja akan terus melilit jika dia tak mengambil sikap. Di saat yang sama, Amira Jayanti, seorang gadis belia, pembantu di rumah ibunya, dengan berani melamarnya.
Sama-sama memiliki tujuan Alvin yakin pernikahan itu tak akan sulit dijalani. Namun, nyatanya, bersama terus-menerus dengan...
Prolog
"Bi, Bibi masih ingat nggak? Apa yang Bibi bilang waktu Mira pertama kali minta kerjaan sama Bibi?"
Setengah mengantuk, berbaring di ranjangnya, Bi Sum menjawab asal-asalan. "Opo ya?"
"Cantik-cantik kok mau ikut Bibi jadi pembantu," sambung Amira.
"Ah, iya iku... Belum ada panggilan kerja lagi?"
"Ada," sahut Amira singkat. Memang ada, batin Amira. Tapi matanya menatap lurus ke buku kecil yang di pegangnya
Rencana cadangan ...
"Semoga kali ini keterima ya, Nduk," gumam Bi Sum, tak lama terlelap.
Amira beringsut dari kasurnya. Mengambil cermin kecil yang diletakkannya di atas meja pendek. Menggerai rambutnya, menyisirnya lambat. Saat mencoba melengkungkan senyumnya di cermin, semua terasa sangat aneh, sangat bukan dirinya. Dia menaikkan alis, mengerutkan, memicing-micing matanya, menjilati bibir bawahnya, sebelum akhirnya mendesah. Belum saatnya menyerah, Amira kembali melengkungkan senyum lebar, matanya berkedip—bukan seksi—lebih kepada orang yang sedang kelilipan.
Tidak, ini memang bukan dirinya. Lebih baik dia bersikap jujur. Dia kembali mengikat rambutnya, bersamaan dengan bunyi sesuatu—yang sepertinya dari arah dapur. Terdengar jelas, karena begitu dekat dengan kamarnya.
Bu Hanun tak pernah repot ke dapur di tengah malam. Terkecuali itu adalah...
Amira keluar memastikan. Tubuh tinggi menjulang hanya terpaut jarak beberapa langkah darinya. Mengendus panci yang dipegangnya. Pria ini—Alvin Pramudja—baru sampai sekitar dua jam yang lalu. Semua yang dikatakan Bi Sum tentang dirinya hampir mendekati kebenaran seperti yang selama dua bulan ini ada di khayalan Amira.
"Itu pernah digunakan merebus sayur dan mie instan."
Pria itu terkesiap, mengamati Amira dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tak butuh waktu lama baginya untuk menguasai keadaan. "Jadi, yang mana yang bisa digunakan untuk merebus air?"
Suara berat itu memasuki telinga Amira. Pria ini akan membuat kopi bisa dilihat dari bungkusan yang tergeletak di atas meja makan.
"Ini."
"Makasih—" Pria itu melirik lagi. "Anak Bi Sum?"
"Bukan." Saling diam, Amira kemudian melanjutkan. "Saya Amira Jayanti," jawab Amira dengan pandangan lurus dan tenang. "Biasa dipanggil Mira."
Pria itu mengangguk.
Amira sadar dunianya kurang luas hingga baru menemukan pria setenang dan—sepertinya Amira pernah mendengar istilah berkharisma. Hingga saat berdiri tak jauh darinya, membuat perut Amira bergejolak dan lututnya sedikit melemas. Tapi, dalam dunianya yang sempit itu dia membutuhkan pria ini.
"Saya—ingin bicara dengan, Bapak."
Alvin Pramudja baru saja selesai mengisi air dari dispenser ke dalam panci. Sebelum meletakkan ke atas kompor. Dia menggerakkan dagunya, tanda persetujuan. Lalu menghidupkan kompor.
Amira tahu pria itu masih menunggu, sedangkan Amira sendiri menghitung detik di kepalanya, mengerjapkan mata sembari napasnya berangsur pendek-pendek, menunggu dirinya benar-benar hilang akal atau mundur.
Maju atau mundur!
Tak ada kesempatan dua kali.
Tepat saat pria itu meliriknya lagi, dengan napas tertahan...
"Saya—ingin menjadi istri Bapak." Mira sadar permintaannya seolah meruntuhkan langit-langit rumah ini dalam hitungan detik. Dan reaksi yang akan diterimanya tidak akan baik. Siapa saja yang mendengarkan lontarannya akan menganggap itu lelucon yang sama sekali tak lucu.
Jika orang itu bukan Amira Jayanti, ini akan menjadi hal tergila yang pernah dilakukan. Tetapi dia adalah Amira Jayanti gadis yang telah menggadaikan harga dirinya sejak lama, dan yang tersisa saat ini mungkin hanya keperawanan.
Tremor seperti menyerang kaki Amira, namun ia tetap berdiri tegak ketika pria dihadapannya menatapnya tanpa berkedip. "Mau kopi juga? Sepertinya kamu perlu berpikir jernih."
Amira menolak dirinya melemah. Dia menggeleng kuat.
"Kalau begitu sepertinya kamu butuh tidur." Alvin Pramudja membalik badannya.
Habis. Amira mencengkeram pahanya kuat sebelum melepaskannya lagi. "Bukan tidur yang saya butuhkan saat ini—tapi uang."
"Sebelum sampai ke tahapan meminta menjadi istri saya. Kenapa kamu nggak bersujud meminta pinjaman?" Alvin Pramudja bahkan bertanya tanpa membalik tubuhnya.
"Saya membutuhkan uang dalam jangka panjang. Apa Anda bersedia meminjami saya uang setiap bulannya?" Jantung Amira berhenti berdetak sepersekian detik saat Alvin membalik tubuhnya, menyila lengannya di depan dada. "Atau apa Anda akan menawarkan pekerjaan dengan gaji minimal lima juta perbulan untuk seorang lulusan SMA?"
Otot-otot diseluruh tubuh Amira menegang. Lehernya bahkan terpatri tak bisa menoleh ke hal lain selain Alvin Pramudja. Pria itu membiarkannya berdiam diri seperti patung hingga airnya mendidih, dan dia mematikannya.
"Menurutmu berapa persen proposalmu ini akan disetujui?" tanya pria itu setelah menatapnya seolah mengulitinya.
Amira mengambil napasnya dalam-dalam, bola matanya yang sejak tadi menjurus ke depan kini merosot turun ke lantai. "Nol—koma satu persen."
==========================================================
Bab 1
Dua bulan sebelumnya.
Uang pendaftaran : Rp. 600.000
Uang gedung : RP. 5.000.000
Pembelian seragam...
"Itu... memang sebanyak itu Mbak?" Amira hanya menoleh sekilas kepada Hanin. "Nggak kebanyakan Mbak?"
"Barang-barang Maya udah beres semua?"
Bukan menjawab Amira malah mengajukan pertanyaan lain. Pondok pesantren adalah tempat teraman bagi kedua adik perempuannya, setelah nenek mereka meninggal tiga hari yang lalu. Rumah ini satu-satunya harta peninggalan neneknya yang konon katanya dulu kaya raya dan harta tersebut telah dihabiskan oleh anak semata wayangnya—siapa lagi kalau bukan Ayah mereka. Bahkan peninggalan satu-satunya ini Amira tahu telah terjual, itu sebabnya dia menulis daftar biaya masuk sekolah untuk kedua adiknya dengan menaikkan tiga kali lipat. Sebab dia tahu, separuh pun belum tentu terbayarkan oleh Ayahnya.
"Maya di mana?" tanya Amira lagi.
"Lagi pamitan sama temannya. Mbak hari ini libur lagi? Ini udah hari ke empat, memangnya mbak dikasih cuti selama itu?"
Bibir Amira menipis, dahinya berkerut. "Mbak, udah berhenti," katanya cepat.
"Kenapa? Ngundurin diri lagi?"
Amira mengangguk. Seolah itu adalah kebiasaan. Amira bukan orang yang tak tahan akan tekanan kerja, selama itu menyangkut otot-otot tangannya yang masih berfungsi dia tak akan mengeluh. Orang-orang disekitarnya lah yang membuatnya mengundurkan diri. Pria-pria yang seolah ingin mengambil kesempatan, atau atasan yang main mata, dan kasus terakhir ini karena atasannya yang merupakan seorang wanita tidak suka dengannya hanya karena pria yang disukainya ternyata menyukai Amira.
"Jadi habis ini mbak mau kerja di mana?"
Amira menoleh. "Ada. Mbak udah dapat pekerjaan baru," katanya mantap. Yang kali ini dia bisa dipastikan bernapas lega. Bi Sum, ibu dari mbak Sita, tetangganya, sudah lama bekerja jadi pembantu di rumah orang kaya, seorang wanita paruh baya yang menolak tinggal dengan anak-anaknya dan lebih memilih tinggal di rumahnya sendiri di Malang. Itu bagus, walaupun dengan gaji yang tidak terlalu besar, nggak akan ada pria-pria yang menatapnya seperti ingin segera membawanya ke kamar di sana. Hanya karena dia cantik dan melirik ke buah dadanya—Amira bisa menguruskan badannya tapi dia tak menemukan cara mengecilkan payudaranya.
Tapi, Amira tahu itu hanya persinggahan sementara, sebelum dia menemukan pekerjaan baru, untuk menghidupi Adik-adiknya.
"Mbak," kata Hanin ragu-ragu. "Kenapa kita nggak ngontrak per tahun aja, lebih—murah. Lagian kami bisa masuk di sekolah negeri biasa, biaya sekolahnya juga nggak terlalu mahal."
Di mata orang lain idenya gila. Benar, tak ada yang bisa menyalahkan. Tapi Amira akan menyimpan alasannya sendiri. Dalam realita yang dihadapinya, ini yang terbaik yang bisa dia lakukan—saat ini.
Amira tak menghiraukan ucapan Hanin, dia terus menulis.
"Mbak—" ujar Hanin lagi. "Sebulan atau dua bulan lagi nama kami akan dipanggil karena nggak bayar uang sekolah, jadi sama aja."
Amira meletakkan pulpennya. Kali ini tubuhnya ikut memutar. "Sebenernya kita punya solusi lain."
"Apa?" tanya Hanin mengerutkan kening.
"Kamu cari Ibu kandungmu, dan Maya cari juga cari Ibu kandungnya—"
"Mbak!" pekik Hanin dengan bibir bergetar, matanya serta-merta memerah. Ya, mereka adalah satu Ayah, namun beda Ibu. Hal itu yang menjadikan pembahasan seperti ini sensitif. "Maksud Hanin, kenapa kita nggak tinggal bertiga kayak dulu? Di kontrakan."
Bahu Amira menegang, dia pandai menyimpan emosi. Bahkan hingga saat ini ia tahu Hanin masih mempertanyakan keputusannya yang tiba-tiba keluar dari kontrakan mereka, dan mengemis untuk tinggal dengan nenek dari Ayahnya—yang sama sekali nggak mengharapkan kehadiran mereka di rumahnya. Hidup mendengar rentetan omelan nenek mereka, sama buruknya dengan Ayahnya yang datang sesekali meminta uang sambil membanting barang, narkoba telah memutuskan urat sarafnya.
Tetapi Amira memilih menyimpan memori kelam yang membuat tubuhnya mendingin hingga ke tulang-belulang itu sendirian.
Suara motor terdengar. Amira segera bangkit. "Setelah ini dia akan menghilang. Sebelum menghilang kita harus minta uangnya."
Amira segera keluar. Dan di ruang tamu, tubuh Ayahnya sudah terduduk malas-malasan. "Ini biaya masuk tahun ajaran baru Hanin dan Maya."
Ayahnya menarik malas kertas yang disodorkan Amira.
"Kok bisa sebanyak ini?!"
"Sekaligus uang pembangunan," sahut Amira malas berpanjang-panjang.
"Uangku nggak ada!"
"Uang hasil jual rumah?"
"Habis."
"Bohong," kata Amira dingin.
Ayahnya berdiri berlalu ke dapur dan membuka kulkas. Saat terduduk di kursi meja makan, Amira kembali menyodorkan kertasnya. "Aku nggak ada uang!!" geram Ayahnya membanting gelas kaca yang digenggamnya.
Sementara Hanin hanya bisa berdiri dibalik pintu melirik Kakaknya yang tetap bersikeras berdiri di hadapan Ayah mereka.
"Besok mereka harus berangkat."
"Terserah!"
"Aku akan menjual barang-barang di sini. Kulkas, Tv, mesin cuci—"
"Rumah ini udah dijual beserta isi-isinya!"
Amira menggeram. Kembali menyodorkan kertas, "kalau gitu Ayah ada uang buat bayar ini."
"Kamu nggak dengar tadi aku ngomong apa?"
"Bayar! Atau aku jual barang-barang di sini!" desis Amira menggebrak meja. Membuat Hanin semakin ketakutan, takut kalau-kalau Ayah mereka akan memukuli kakaknya.
Amira sudah terbiasa menyaksikan rahang-rahang itu terkatup kasar. Dan dia sudah bersiap dengan aksi brutal ayahnya.
Tapi tak disangka yang terjadi adalah ayahnya mencampakkan gumpalan uang ke atas meja. Amira langsung mengambilnya dan pergi dari sana. Sebisa mungkin dia tak mau berlama-lama dengan Ayahnya. Bahkan hanya dengan kenyataan mereka berada di atap yang sama saja membuat keringat dinginnya bermunculan.
Hanin mengikutinya ke kamar, dan dia segera mengunci pintu.
"Berapa?" tanya Hanin penasaran saat Kakaknya selesai menghitung.
"Tujuh—juta," sahut Amira mengeram dalam hati, rumah sebesar ini beserta isinya, hanya menyisakan uang segini?! Tak lama dia mendesah, ditambah dengan tabungannya, hanya cukup untuk tiga bulan pertama.
***
Dua bulan kemudian..
Alvin Pramudja, nama itu terasa sangat familiar di telinga Amira. Setiap saat, setiap ada kesempatan, pasti ada pembahasan tentang pria itu. Dan Amira berusaha mematri semua detail informasi yang datang.
Alvin Pramudja adalah seorang pria berusia 36 tahun, lahir pada tanggal 1 Januari, mempunyai putri yang super manja—mendengar dari cerita-cerita Bi Sum—bernama Kailandra Putri Pramudja berusia 6 tahun. Istrinya meninggal tiga tahun lalu karena kanker darah. Alvin Pramudja sendiri anak pertama majikannya—Ibu Hj. Hanun Sasmita, yang hanya mempunyai dua orang anak, anak keduanya, perempuan, tinggal di Australia mengikuti pekerjaan suami. Suami Ibu Hanun adalah mantan pejabat daerah, telah meninggal dua tahun lalu.
Tampan, itu tak perlu disangsikan. Amira telah banyak melihat dari foto-foto yang terpajang, juga foto-foto di album keluarga mereka.
Pekerjaan? Dia belum mempunyai informasi detail, sementara hingga saat ini Bu Hanun belum berceloteh tentang itu. Dia akan cari tahu lagi nanti. Yang pasti kata Bi Sum dia pemilik perusahaan—atas usahanya sendiri. Yang membuatnya tak memiliki sifat seperti Ayahnya—menghabiskan harta orang tua.
Dia sangat menyayangi istri, Ibu dan anaknya—begitu menurut Bi Sum. Yang telah digarisbahwahi dalam catatan Amira, bahwa pria itu mungkin tak akan menyakiti wanita secara fisik. Namun, seorang Amira tak akan percaya begitu saja, sebelum memastikannya. Menyayangi Ibu? Bagian itu perlu di checklist sebab saat pria itu baru datang, dengan senyum hangat dia menyalami tangan Ibunya dan mengecup keningnya—khas anak perantauan. Mungkin itu umum, tapi Amira memastikan, adegan itu tak mungkin dibuat-buat. Dan raut kerinduan itu sedikit banyak mampu menyentakkan emosi masa lampau yang segera ia enyahkan.
Satu dari sekian detail yang diingat Amira, ada satu hal yang memuaskan, pria itu bukan hidung belang—dia tak pernah mengarahkan sedikit pun tatapannya ke dada Amira. Itu melegakan.
Amira menutup informasi yang dibeberkan isi kepalanya. Dan memfokuskan diri saat Alvin bergerak mengambil kopinya, dan duduk di kursi meja makan. Secara keseluruhan defenisi seorang pria tertampil pada fisik seorang Alvin, tinggi, kokoh, bahunya bidang, tegap, memiliki garis wajah tegas, dan sorot mata yang mampu membuat Amira merasa kerdil—padahal sebelum ini dia dengan percaya diri menobatkan diri sendiri sebagai gadis paling cantik di desanya, tanpa permak seperti wanita kota.
Tapi mungkin Amira memang terlalu percaya diri karena buktinya Alvin malah menyesap kopinya dengan santai.
Pria ini punya pengendalian diri yang sangat baik, atau karena hal semacam ini sudah pernah dia hadapi sebelumnya? Kepercayaan diri Amira sedikit terkikis, tiga tahun tanpa pendamping, tampan dan mapan, mustahil tak ada wanita yang mendekatinya kan? Atau terlalu banyak sampai-sampai—dirinya tak ada bedanya dengan yang lain.
"Berapa usiamu?" tanya Alvin tenang tanpa emosi.
"Dua puluh satu tahun."
"Kamu berhutang dengan rentenir?"
"Iya,” sahut Amira terlihat meyakinkan.
"Kalau begitu kamu butuh uang tunai. Kenapa meminta lima juta per bulan?" tanya Alvin dengan tatapan menyelidik.
"Ada hutang-hutang yang biasanya dibayar per bulan dengan bunga yang tinggi." Amira yakin pernah mendengarnya.
Alvin bersidekap. Membuat bola mata Amira melirik ke arah lain saat pria itu mengamatinya. "Kenapa berhutang?"
"Apalagi? Tentu karena kemiskinan—butuh uang." Ah, Amira sadar ucapannya harus terlihat meyakinkan. "Orang kaya seperti Anda pasti tidak pernah berhutang hanya demi membeli satu kilo beras."
Tangan Alvin bergerak. Menyesap kopinya. "Kenapa tidak meminjam ke Ibu saya?"
"Saya cukup tahu diri untuk tak menyulitkannya dengan terus-menerus meminta pinjaman—"
"Tetapi kamu cukup tak tahu diri meminta saya menikahimu?"
Amira menggigit bibir bawahnya, dia salah menjawab. Tapi dia tak mungkin mengungkapkan jika dirinya butuh perlindungan. Penyakit insomnianya semakin parah karena pikirannya tak juga tenang.
"Saya percobaan ke berapa?"
Dahi Amira mengernyit, tak mengerti maksud pertanyaan Alvin.
"Sebelum meminta saya menikahimu. Ada berapa banyak pria yang kamu mintai hal yang sama?"
Amira sontak menggeleng, "Tidak ada, ini baru pertama kali."
"Kenapa harus saya? Kamu bahkan belum mengenal saya—" ucapan Alvin menggantung, ada kenyataan yang baru saja menyentaknya, "seberapa banyak kamu mengenal saya?" tanyanya kemudian dengan tatapan dingin. "Ini tujuanmu bekerja di sini? Kamu sudah mengetahui tentang saya sebelum ini."
Tidak. Belum. Tapi apa boleh buat, semua sudah kepalang basah. "Iya."
"Karena saya duda, tampan, mapan?"
Alvin terlalu berterus terang, hingga Amira belum mempersiapkan dirinya dengan baik. "Saya butuh uang."
"Dengan menikah dengan saya kamu berpikir akan mendapatkan banyak uang?"
"Tentu. Anda kaya."
"Lalu seminggu setelah menikah saya akan berada diperistirahatan terakhir."
Sindiran halus itu menggelitik Amira.
"Dan Anda tidak akan semudah itu mewarisi harta ke saya. Saya tahu Anda tak akan sebodoh itu. Dan saya tahu tak ada yang gratis di dunia ini. Saya tahu menikahi saya adalah hal yang paling mustahil dalam pikiran Anda. Tapi bisa saya pastikan saya akan tetap di koridor yang Anda inginkan. Saya tidak menawarkan diri menjadi istri yang menuntut kesetiaan, perhatian. Saya pintar memasak. Saya akan mengurus anak Anda. Saya—sedang mengupayakan menjual diri secara halal. Dan jika pertanyaan mengapa harus Anda? Karena saya yakin, sebenci apa pun Anda dengan saya, Anda tak akan melakukan kekerasan fisik."
"Verbal kadang bisa lebih menyakitkan daripada kekerasan fisik."
"Saya yakin pernah menerima yang lebih sakit," ucap Amira yakin.
Alvin berdiri dari duduknya mengangkat cangkir kopinya, membuat Amira semakin gelisah. "Kamu beruntung saya hanya menganggap obrolan ini angin lalu."
Amira teringat sesuatu penolakan pria ini pasti tentang hal itu. "Saya tidak menawari diri sebagai pengganti istri Anda. Anda bebas mengenangnya selama yang Anda mau."
Tubuh yang hendak berbalik itu terlihat mematung, hanya melirik sedikit ke arah Amira sebelum kembali melangkah.
Tidak! pekik batin Amira. Dengan tergesa Amira melangkah menghalangi jalan Alvin. "Saya—" apa lagi? Apa lagi? Ayo berpikir Amira! "—Cantik." Rasanya Amira ingin memukuli bibirnya sendiri. "Karena—saya cantik. Bisakah itu menjadi pertimbangan?"
"Kamu juga pasti pernah melihat foto istri saya." Amira mengangguk. "Seberapa cantiknya?"
"Sangat cantik," ungkap Amira putus asa.
"Dan ada lebih dari sepuluh wanita yang juga cantik yang mau menjadi istri saya," sambung Alvin.
Saat Alvin kembali melangkah, Amira sadar telah membuat kesalahan besar, akibat dia menahan tangan Alvin hingga kopi menumpahi tangannya juga tangan Alvin. Tampang Alvin tampak menggeram.
Amira menarik tangannya cepat seakan tangan Alvin adalah bara api. Dan dia malah sibuk membersihkan tangannya sendiri.
Bodoh, seharusnya aku mengambil kain, tisu atau apa pun dan membersihkan tangannya, batin Amira memaki. "Maaf," ucapnya setelah sadar akan kesalahannya. "Saya akan membuatkan yang baru."
Alvin menaikkan alisnya, sebelum meletakkan cangkir kopinya kembali ke atas meja.
"Saya akan membuatkan Anda kopi. Tapi jika kopi saya enak, itu bisa jadi pertimbangan?"
Alvin terlihat mendengus tertahan. Ekspresi lain dari dirinya akhirnya tampil ke permukaan.
"Saya sedang memperjuangkan kemungkinan nol koma satu persen milik saya—" sela Amira cepat sebelum berpaling.
=======================================================
Bab 2
Kopi penentu. Amira menatap cangkir kopi yang dibawanya. Berkali-kali dia memaksa hatinya untuk yakin, tetapi getar lain tetap ada. Kegilaan ini tak akan dia lupakan seumur hidupnya. Tapi suara-suara lain dalam dirinya muncul memberi semangat. Tindakannya mungkin akan menjadikannya gadis paling tebal muka yang pernah ditemui pria itu, namun tindakannya tak akan membuatnya berurusan dengan pihak berwajib, tak melanggar norma dan aturan hukum, dan selama dia masih bisa menekan rasa malu hingga ke titik dasar, maka semua akan baik-baik saja.
Ya, semua akan baik-baik saja. Pria itu hanya akan menganggapnya wanita gila dan keesokkan harinya dia juga akan bekerja seperti biasa.
Setelah berdiam diri beberapa saat, dan tak bisa memastikan dia lebih lama lagi berdiri di depan pintu kamar pria itu karena takut kopinya dingin, Amira mengetuk pelan. Ketukan yang tak mendapat sahutan. Mengetuk lagi, dan tetap tak ada sahutan.
Bibir Amira menipis, demi hal terakhir yang bisa dilakukannya, dia memutar pegangan pintu. Saat mengintip sedikit, suasana masih terang menderang. Dan pria itu tengah memainkan ponselnya.
Tanpa permisi, ataupun meminta izin, Amira membuka daun pintu lebih lebar, barulah pria itu mengangkat wajahnya.
“Kopinya, Pak,” ujar Amira pelan, setelah menyelesaikan tiga langkah ke dalam.
Bibir tipis itu tetap mengatup. Amira memberanikan diri melangkah lagi dan meletakkan nampannya ke atas nakas. Amira lalu mengambil sesuatu dalam saku baju tidurnya dan meletakkannya di sebelahnya. “Ini nomor telepon saya,” ujarnya membuat Alvin menoleh.
Diambilnya secarik kertas tersebut dan menyerahkannya kembali ke Amira.
Alis Amira terangkat, dia tahu ini tak akan mudah—sama sekali tidak. “Jangan mengembalikan Anda bisa menyimpannya—“
“Tolong buang ini ke tong sampah.”
Mulut Amira terasa kering, mungkin pria ini sedang membuktikan jika verbal terkadang lebih menyakitkan daripada kekerasan fisik.
“Apa pun persyaratan lain dari Anda—akan saya turuti.”
Keheningan menyelimuti. Napas Amira berubah pendek-pendek, akal sehatnya yang mengatakan untuk tetap tenang nyatanya sekarang goyah, ditatap begitu intens.
***
Gadis ini masih memaksa, batin Alvin.
Setiap kali ia mempunyai waktu senggang, mengunjungi Ibunya adalah prioritas tertinggi. Tetapi kunjungannya yang ini memang tak sepenuhnya ingin melihat keadaan Ibunya, ada sesuatu yang mengganggu, dan Alvin butuh ketenangan—dia bahkan tak menunggu jadwal libur Kai. Awalnya ia ingin membicarakannya dengan ibunya, namun setelah berpikir lagi mungkin itu akan membebani, dan Alvin terbiasa mengatasi masalahnya sendiri.
Kai semakin tak terkendali. Minggu lalu, Kai tiba-tiba datang sore tadi dan tanpa aba-aba ingin menonton bioskop. Padahal hari itu adalah hari senin, dan Alvin telah memberikan sanggahan apa pun untuk ide Kai, tetap tak berhasil, meski Kai berjanji sampai di rumah dia akan langsung tidur.
Kai, meskipun sangat manja dan pemaksa, namun Alvin paham jika anaknya tersebut tak pernah menginginkan sesuatu dari hasil inisiatifnya sendiri. Selalu ada pemicunya. Saat dia ingin sepatu baru, padahal sepatu lamanya masih sangat bagus, penyebabnya adalah karena ada teman sekelasnya memamerkan sepatu baru. Dan saat dia ingin ke suatu tempat artinya ada seseorang yang lebih dulu menceritakan tempat tersebut.
Namun, Alvin menyadari ini adalah kesalahannya, Kai tumbuh menjadi anak yang tak mandiri, tak tahu apa yang benar-benar diinginkannya. Dan berujung terlalu sering dimanfaatkan orang lain.
Dan Sonya, kakak iparnya memanfaatkan Kai dengan cukup baik. Mereka semakin dekat, berkat Kai. Ditambah lagi Mama mertuanya semakin sering menyinggung pembicaraan ke arah yang tak Alvin inginkan. Menanyakan di setiap kali kesempatan kapan dia mencari pasangan baru, kasihan Kai sendirian di rumah, dan sebagainya.
Ketidaktertarikan Alvin terhadap lawan jenis, selama ini dianggap orang sekitarnya sebagai akibat ia belum melupakan almarhumah istrinya. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya Alvin telah mengikhlaskan bahkan di saat pertama kali istrinya terbaring di rumah sakit. Dia terbiasa memikirkan hal paling buruk yang akan terjadi di hidupnya, dan memproses hati agar tak terlalu terluka.
Sementara penyebab ia belum berniat menikah lagi adalah rasa percayanya—dia belum percaya ada wanita yang mendekatinya secara tulus. Bukan hanya untuk dirinya tapi juga untuk Kai. Wanita yang datang kepadanya penuh gula-gula—cantik dan mencari perhatian—hal tersebut malah membuat Alvin yakin ada yang tidak beres di sana.
Terkecuali hari ini?
“Karena saya—cantik.”
Pada kenyataannya Alvin memang mengakui gadis ini lumayan cantik—memang cantik, sisi batinnya yang lain menggerutu. Bibir Alvin menipis, menahan diri untuk tidak tertawa, karena baru kali ini ada seorang gadis mengungkapkan kelebihan secara gamblang.
Alvin mengembuskan napas kasar. Ia sendiri tak pernah menyangka dirinya akan dilamar oleh seorang wanita dengan cara—aneh, unik, dan kurang ajar seperti itu. Seharusnya ia akan mengingat memori tersebut sebagai momen langka di sepanjang tiga puluh enam tahun usianya, yang akan dia tertawakan di kemudian hari. Namun, yang ada ingatan itu justru mengganggunya. Ia tahu wanita itu serius. Kapan terakhir kali ia melihat seorang wanita tampil apa adanya di hadapannya? Apa adanya bukan hanya dalam pandangan berbusana, melainkan sikap. Bertahun-tahun menjadi pemimpin sedikit banyak membuat Alvin berpengalaman menilai seseorang.
Dan sekarang Alvin membuat gadis itu menunggu. Karena tak kunjung mengambil kertas dari tangan Alvin, ia pun meremasnya. Tubuh itu mematung memandangnya tanpa berkedip.
“Saya tak mengerti kenapa ada orang yang menganggap enteng arti pernikahan.”
Di saat bersamaan, Amira merasa perutnya melilit. Kepalanya serasa ditimpa batu besar. Apalagi yang mampu dia ucapkan untuk menyanggah pernyataan itu? Otaknya terus berpikir, namun tak ada yang sanggup dia utarakan selain hal-hal yang membebaninya.
“Sejak awal saya tahu kemungkinan ini sangat kecil—bahkan nyaris tak ada. Saya hanya berpikir apa yang bisa saya berikan untuk hubungan timbal balik ini. Apa-apa saja yang mampu saya lakukan. Tapi sepertinya memang tak ada, Anda bisa menemukan wanita lebih cantik, lebih pintar, atau membayar babysitter untuk mengasuh anak Anda. Hal-hal itu membuat saya berpikir Anda pasti mencemooh kenapa harus saya? Tetapi dalam keadaan terdesak orang-orang bisa melakukan apa saja—mencuri, merampok, atau bahkan bunuh diri.
“Saya tidak memilih melakukan itu—atau belum. Jadi yang saya katakan ke Anda adalah bentuk usaha saya, terlepas itu sama artinya ‘menganggap enteng arti pernikahan’.” Alvin mengamati Amira yang terdiam sejenak, terlihat mengambil napas. “Saya minta maaf jika ini membebani Anda, dan mengganggu waktu Anda.”
Alvin menaikkan alisnya, akhirnya gadis belia ini menyadari kesalahannya. Saat Amira memutar langkahnya, Alvin sangat yakin jika dia telah melakukan hal yang tepat, sekalipun dirinya juga terdesak, menikah dengan orang asing adalah tindakan paling mustahil ia lakukan--.
Alvin kontan beranjak dari kasurnya dengan mata membeliak ketika—entah kapan tepatnya, karena secepat kilat Amira kembali berbalik dan berlutut di hadapannya.
“Anda benar, ini hal pertama yang seharusnya saya lakukan. Saya tidak tahu apa pun tentang pernikahan, tapi saya akan pastikan tidak akan mengganggu Anda, tidak akan membebani Anda. Apa yang Anda ingin saya lakukan, maka akan saya lakukan. Apa yang Anda tidak ingin saya lakukan, saya tidak akan lakukan. Lima juta per bulan, tidak ada kekerasan fisik, hanya itu syarat dari saya—“ Amira terus mengoceh tanpa berani menatap Alvin. “—Atau pinjami saya uang, tapi saya tidak bisa berjanji akan melunasinya dengan cepat.”
Rahang Alvin mengetat. Gadis ini tidak memandangnya sebagai seorang pria—mapan apalagi tampan. Dia hanya butuh uang.
“Bangunlah,” ucap Alvin menekan kata-katanya, sama sekali tidak tahan dengan aksi Amira.
Gadis itu mendongak. Alvin berharap ada kepalsuan di sana, meneliti lebih jauh, seandainya ini memang hanya perangkap seorang gadis yang berpura lugu, namun menyimpan sejuta rencana di kepalanya. Tapi, tatapan yang tertampil hanyalah tatapan putus asa.
“Bangun,” ucap Alvin lagi dengan nada tegas. Namun, Amira malah mencengkeram celananya.
“Saya—masih perawan.” Sesaat Amira memejamkan matanya. “Oke, saya tahu ada ratusan perawan di luar sana yang bisa Anda jadikan istri,” ucapnya kemudian dengan nada tak bergairah.
Amira melepaskan cengkramannya, dan mengambil kertas yang tadi dicampakkan Alvin sebelum berdiri, membukanya kembali dan meletakkan ke atas nakas. “Batasnya hingga akhir bulan. Iya atau tidak, tolong kabari saya.” Alvin mendelik sinis tetapi Amira tetap berusaha menegakkan kepalanya. “Untuk pertama dan terakhir kalinya biarkan saya yang memutuskan. Untuk selanjutnya saya yang akan mengikuti kata-kata Anda.”
“Saya tidak menikah dengan wanita yang tidak saya cintai.”
Napas Amira tersekat. Cinta? Hal yang sama sekali tak ada dalam bayangannya. Dia tak pernah mencintai ataupun dicintai. “Kalau begitu Anda bisa belajar mencintai saya.” Alvin tersenyum meremehkan. Lagi-lagi Amira salah berucap. “Um.. Bukan. Saya yang akan membuat Anda jatuh cinta kepada saya,” ralat Amira cepat. Tapi bagaimana caranya? Rutuk batinnya yang tak sejalan.
Emosi dari berbagai sisi muncul dalam diri Alvin. Ketenangannya terusik. Bisa-bisanya gadis ini menawarkan solusi dengan begitu mudahnya. “Kalau kamu tidak keluar sekarang juga. Saya pastikan tak akan mempertimbangkan apa pun, dan langsung berkata tidak.” Alvin berusaha memperoleh ketenangannya kembali.
“Sa—ya akan tunggu kabar dari Anda,” ucap Amira sebelum memastikan diri harus keluar sekarang juga.
Saat pintu tertutup. Alvin terduduk di kasurnya. Menyesap kopi di hadapannya, tak peduli jika itu kopi buatan gadis itu pikirannya buntu. Sesaat keningnya berkerut, kemudian dia mencicipi lagi.
“Jika kopi saya enak, itu bisa jadi pertimbangan?”
Sial. Alvin kontan meletakkan kembali cangkir. Rasa memang sulit berbohong.
=========================================================
Bab 3
Amira tahu Alvin bukan pria bodoh. Keesokan paginya. Entah siapa yang memulai obrolan duluan, yang pasti kini dari balik pintu dapur kotor Amira mengintip pembicaraan Alvin dan Bi Sum.
"Jadi, Ibunya sudah meninggal? Dan Ayahnya-"
"Gendeng! Kerjaane ngentek-ngentekno." sambung Bi Sum jengkel. "Mas Alvin, ada kerjaan ndak di perusahaan Mas Alvin, jadi apa aja, kalo di kota kan gaji lebih gede. Amira memang lulusan SMA, tapi anaknya rajin, bersih. Kalo Mas Alvin ndak percaya bisa tanya Ibuk."
Alvin tampak terdiam memandangi Bi Sum. "Nanti kalau ada lowongan saya kabari Bibi."
"Bener yo Mas Alvin."
Alvin mengangguk. "Tapi Bibi jangan bilang ke dia."
"Kenapa Mas Alvin?"
"Takutnya dia kecewa karena saya nggak bisa menjamin ada lowongan atau tidak."
"Oh... iyo, iyo, Bibi ngerti."
Amira pergi mengambil cuciannya begitu obrolan itu selesai. Tatapannya gamang memandang seember pakaian.
Pilihannya hanya dua. Jika pria itu menghubungi Bi Sum, berarti tawaran pekerjaan yang datang. Jika pria itu menghubunginya maka ...
Sejak saat itu melihat ponsel seakan hal terpenting untuk Amira—seperti itu hidup dan matinya. Lamaran pekerjaan yang sudah ia siapkan ditangguhkan untuk beberapa hari ke depan. Iya atau tidak, Amira yakin akan menemukan jawabannya. Kemungkinan terburuknya adalah 'ditolak' tapi dunia tak akan runtuh meski itu kenyataan yang di dapat nanti. Dia harus siap dengan kemampuannya bertahan hidup, di mana pun itu, meski tempat ini sangat nyaman, bahkan terlalu nyaman untuknya. Andai uang bukan segalanya saat ini.
Hingga minggu kedua terlewati masih belum ada kabar apa pun. Harapan Amira menurun hingga 50%. Dan hari ini, Ibu Hanun akan pergi ke Jakarta, kata Bi Sum, dia diminta menjaga Kai putri Alvin selama Alvin berada di luar kota.
Itu sebabnya kah pria itu belum mengambil keputusan? Karena sibuk? Seumur hidup Amira belum pernah berharap sebesar ini. Amira bersusah payah menjaga kewarasannya, agar tak memiliki harapan terlampau tinggi.
Minggu ketiga.
Meski masih ada waktu tetapi hari ini Amira memilih mengajukan lamaran yang sempat ia tunda dia harus realistis sebelum—Bi Sum berlari tergopoh-gopoh ke kamarnya.
"Amira berangkat sekarang ke Jakarta!" ujar Bi Sum panik. "Itu, tadi Mas Alvin telepon, besok pagi kamu harus udah sampai di Jakarta. Kemarin itu Bibi ada minta kerjaan ke Mas Alvin, tapi Mas Alvin bilang jangan ngomong-ngomong ke kamu dulu, takutnya nggak ada, tapi ini barusan dia telepon nyuruh kamu ke Jakarta, berarti ada kerjaan!"
Amira mematung. Seperti tak mampu berpikir, apa-apa yang harus dibawanya? Pakaian apa yang harus digunakannya? Apa saja yang ia butuhkan selama perjalanan?
Keputusan pria itu adalah—kesempatan kerja. Tak membiarkan rasa kecewa menyusup ke hatinya, Amira memilih mengambil tas travel miliknya.
"Kamu ada uang ndak? Biar Bibi yang ongkosin Busnya."
"Ada Bi."
"Ya udah. Sini mana baju yang mau kamu pakai biar Bibi gosokin."
Sepanjang pagi itu mereka sibuk. Siangnya Amira berangkat dengan estimasi sampai keesokan paginya dari Malang ke jakarta.
Pesan Bi Sum sebelum dia berangkat, "Apik-apik, yang betah. Kerja di manapun nggak ada yang seneng-seneng pasti banyak susahnya."
Amira tahu, dia sangat tahu. Ia memeluk Bi Sum sebelum naik ke Bus yang sengaja dia beli dua tiket, agar kursi di sebelahnya tetap kosong. Amira tak mau mengambil risiko ada pria asing yang duduk di sebelahnya.
***
Detik-detik berlalu menjadi menit-menit yang sekarang bergulir hingga ke jam. Tangan Amira tetap mencengkeram tas besar miliknya sambil menatap waspada ke sekeliling terminal. Pria itu, kenapa tidak langsung saja memberikan alamat? Kenapa harus menyuruhnya menunggu di keramaian seperti ini?
Kriminalitas memang bisa terjadi di mana saja, tidak hanya di kota besar, di tempatnya tinggal pun banyak terjadi. Dan Amira tak bisa menganggap semua akan berjalan mulus, berpikir bahwa masih banyak orang baik, karena nyatanya sepanjang hidupnya dikelilingi manusia tanpa hati.
Amira kembali melirik jam tangannya. Begitu sampai tadi, dia menelepon Bi Sum, agar mengabarkan ke Alvin. Amira memang menyimpan nomor Alvin, tetapi akan lebih baik jika Bi Sum yang memberitahu pria itu. Karena sejak awal Alvin lebih memilih mengabarkan tentang pekerjaan ini lewat Bi Sum.
Kaki Amira mulai mengetuk-ngetuk ke lantai, tak tenang.
Namun, saat melihat Alvin dari kejauhan, seketika kelegaan membanjiri Amira, kontan saja tubuhnya berdiri. Pria itu mengenakan kemeja yang dimasukkan ke dalam celana jeans, warna ikat pinggangnya senada dengan sepatunya yang berwarna cokelat tua. Rambutnya yang terpangkas rapi tampak berkilap. Dan yang terlalu mencolok hingga beberapa orang melirik ke arahnya lebih dari sekali adalah kacamata hitam yang bertengger dihidungnya.
Edisi lain dari cerita Cinderella kah? Entah mengapa sisi pesimis Amira menyambut gembira kenyataan bahwa pria ini hanya menginginkannya sebagai pekerja.
Dan melihat Alvin yang datang begitu tenang dengan gaya superiornya, menutup bibir Amira rapat-rapat, enggan membocorkan bahwa dia telah menunggu hampir dua jam di sana. Yang Amira yakin seorang Alvin juga tak akan peduli dengan informasi itu.
"Hanya ini barangmu?"
Amira melirik tak yakin ke tas travel yang dibawanya, tapi kenyataannya memang hanya ini dan tas ransel dipunggung yang dibawanya, jadi ia mengangguk.
Alvin tak mengucapkan sepatah kata pun, namun dari gesturnya Amira tahu itu perintah untuk mengikutinya menuju mobilnya yang terparkir.
"Jangan berpikir untuk duduk di belakang." Amira tersentak, dan langsung melepaskan tangannya dari pegangan pintu.
Pintu bagasi terbuka, Amira tak perlu menjadi lebih idiot untuk memahami maksud Alvin. Dia meletakkan ke dalam tas travelnya, dan Alvin kembali menutup pintu. Dan mereka kemudian masuk ke dalam mobil.
Ingin rasanya Amira menampar dirinya sendiri. Berteriak keras pada dirinya sendiri kalau dia tak perlu bersikap rendah diri, dia harus mengembalikan kepercayaan dirinya secepat mungkin dan menyamai ketenangan Alvin.
"Saya butuh mandi," ujar Amira ditengah perjalanan.
Alvin menoleh dengan pandangan menilai. "Tentu saja kamu butuh mandi dan merapikan tampilanmu."
Ya, maksud Alvin adalah dia tak mungkin dipertimbangkan bekerja di perusahaan mana pun dengan penampilan kusut seperti ini, Amira paham.
Dan sepanjang perjalanan Amira memandang lurus ke jalanan. Isi kepala merambat kemana-mana. Sebagus apa pun pekerjaan yang ditawarkan itu pasti memaksanya untuk bersosialisasi. Amira menghadapi kenyataan itu dengan dada bergetar, berharap kali ini dia akan bertahan lebih lama.
Lamunan itu tak bertahan begitu lama karena mobil memutar di sebuah gedung.
Amira mengikuti Alvin turun. Kali ini pria itu—tanpa perlu izin—mengambil tas travel milik Amira dan membawanya. Mereka masuk ke dalam lift berhenti di lantai tujuh lalu masuk ke sebuah ruangan, yang Amira tahu ini sebuah apartemen.
"Aku hanya memberimu waktu kurang dari tiga puluh menit untuk mandi dan merapikan diri," ujar Alvin, yang langsung diangguki oleh Amira.
Gadis itu tak membuang waktu, sampai di kamar yang ditunjukkan Alvin dia langsung membongkar isi tasnya dan mengambil setelan kemeja dan rok yang telah ia persiapkan kemarin.
Tak sampai tiga puluh menit Amira telah rapi. Rambutnya digulung ke atas. Bibirnya diolesi lipgloss. Tampilannya yang mengenakan kemeja putih dan rok pensil hitam sebatas lutut—namun tidak ketat—ia anggap cukup layak untuk dipertimbangkan, meskipun tak yakin dengan CV-nya yang hanya tamatan SMA.
Amira mengambil mapnya sebelum keluar.
Dan ketika Alvin menatapnya. Pria itu langsung mengerutkan kening.
"Ini pakaian terbaikmu?"
"Ya?" Amira bertanya dengan wajah bingung.
"Ini pakaian terbaikmu untuk menikah?"
"Apa??" suara Amira kontan meninggi. "Menikah? Maksudnya?"
Alvin berdecak. "Wajah kagetmu sama sekali tidak singkron dengan permohonanmu tempo hari."
"Tapi—Bi Sum bilang Anda menawarkan pekerjaan." Amira menggigit bibir bawahnya. "Kenapa tidak menghubungiku langsung?"
"Saya menghilangkan nomor teleponmu. Yang jelas saya tidak pernah mengatakan kepada Bi Sum kalau tujuanmu ke sini untuk interview pekerjaan," tambah Alvin geram.
"Tunggu—dulu. Aku—Um, saya, belum mengurus surat apa pun, bagaimana mungkin kita menikah?"
"Surat? Kita akan menikah secara Agama."
Mata Amira membeliak, bibirnya menipis. "Maksud Anda nikah siri?"
"Dan kamu pikir kita akan menikah secara negara?"
"Itu artinya Anda bisa mencampakkan saya kapan pun Anda mau? Bulan depan pun bisa." Dada Amira naik-turun.
Alvin mendekat. Matanya memandang Amira serius. "Saya tidak membeli kucing dalam karung, kamu belum membuktikan satu pun dari ucapanmu—“
"Jika saya berhasil membuktikan ucapan saya maka Anda harus berjanji sesegera mungkin mendaftarkan pernikahan kita," potong Amira tak kalah serius.
Aura tegang menyelimuti.
Bibir Alvin menipis dengan garis rahang berkedut. "Saya yang memutuskan," tekannya.
Amira menggeleng. "Tidak. Saya yang memutuskan," sanggah Amira tak kalah tegas.
"Keputusanmu saat ini hanya. Iya atau tidak?"
Dada Amira bergetar. Napasnya tak berangsur normal.
Lima juta per bulan. Lima juta per bulan, kata batin Amira mengejek. Lalu wajah adik-adiknya bergantian muncul.
Amira mengambil napas panjang sebelum berkata. "Tidak."
Alvin memundurkan langkahnya. "Oke."
Amira tak akan menangis. Amira menolak untuk menangis. Dia kembali ke kamar dengan Alvin memperhatikan lekat.
Dan saat kembali sambil menenteng tasnya. Dengan sangat berat hati Amira harus mengatakan, "Bisa—pinjami saya uang untuk ongkos pulang? Begitu dapat gaji bulan ini akan saya lunasi."
Bibir Alvin seperti tersulam. Tahu keinginannya tak akan terkabul Amira kembali melangkah.
Hening menyelimuti.
"Coba tatap aku." Aku? Amira menoleh, alisnya menungkik sinis. "Tersenyum," perintah Alvin lagi, tetapi wajah Amira tetap ketat.
"Akting saling mencintai saja kamu tak bisa. Gitu menantang diri untuk membuatku mencintaimu." Alvin mendekat. "Waktumu tiga bulan. Setelah tiga bulan aku yang memutuskan akan tetap menikah siri atau mendaftarkan pernikahan, atau—berpisah. Untuk saat ini kita harus berpura-pura sebagai pasangan saling mencintai, agar penghulu dan yang lainnya tidak curiga."
Amira masih mematung di tempatnya.
"Lupakan pembicaraan formal. Mulai sekarang panggil aku, Mas."
Alvin melewati tubuh Amira, namun langkahnya terhenti ketika Amira menarik lengannya. Gadis itu menatapnya dengan tatapan begitu dalam dan suram. Tetapi lama-kelamaan melembut. Tatapan lekat itu sama sekali tak teralihkan. Alvin mulai mengantisipasi apa yang sekiranya akan dilakukan gadis ini.
"Aku—mencintaimu." Pipi itu merona, senyum itu terbentuk tipis malu-malu. Akan lebih bagus jika rambut itu terurai, batin Alvin. Seperti terkena siraman magis Alvin menarik ikat rambut Amira, helai-helai lembut itu terasa di jemarinya, seolah belum cukup jemari Alvin merambat ke pipi.
Alvin tersentak apa yang dilakukannya? Gadis ini mencintainya?
"Apa aku juga harus berkata aku mencintaimu nanti? Aku juga harus berakting seperti ini, nanti?" pertanyaan Amira meruntuhkan segalanya.
Seolah terhempas ke realita. Alvin melepaskan tangannya. "Iya. Seperti itu," sahut Alvin dingin.
Alvin harus menarik ucapannya soal gadis ini tak jago berakting. Nyatanya Amira bahkan terlalu menjiwai.
============================================================
Bab 4
“Aku punya banyak pertanyaan.” Akhirnya Amira membuka suara. Mobil tengah melaju, dia telah berganti pakaian, dress dengan mode simple tanpa motif yang panjangnya di bawah lutut. Ini mahal, Amira tahu saat melihat label harga yang tertera, saat itu perutnya bahkan melilit membayangkan dia bisa membeli sepuluh baju dengan harga yang sama di pasar. Tetapi dia juga tahu saat itu bukan saat yang tepat untuk memprotes, dia harus tampil layak jika ingin bersanding dengan pria yang kini duduk di balik kemudi, dan dilihat orang lain.
Alvin menoleh. “Setelah berlutut dan memohon sekarang kamu membutuhkan alasan? Kenapa tiba-tiba aku memilih menikahimu?”
“Ah—bukan,” sela Amira cepat yang membuat Alvin mengernyit bingung. “Tentang situasi ini, maksudku akan kemana kita saat ini, dan bagaimana?” Amira tahu bahasanya terlalu berbelit-belit. “Tidakkah kita harus menyamakan cerita kita? Ketika ada orang lain yang bertanya awal mula kita bertemu?”
Sebenarnya Alvin baru saja hendak membahas itu. Tetapi mengapa yang membuatnya tertarik sekaligus—dia ingin menampik—kecewa, adalah perempuan ini terlihat tak peduli dengan alasannya.
“Anda ingin aku memainkan peran, artinya aku harus tahu skenarionya.” Alvin kembali melirik. “Kisah yang umum adalah jatuh cinta pada pandangan pertama,” lanjut Amira, bahkan wajahnya terlihat serius saat mengutarakan isi pikirannya. “Anda pulang ke kampung halaman, bertemu denganku lalu jatuh cinta.”
Alvin melempar pandangan. “Anda?”
“Ya?”
“Mas,” ucap Alvin tegas.
“Hah?” Amira melongo sesaat. “Oh, iya. M—Mas.”
“Jadi maksudmu aku yang jatuh cinta lebih dulu?”
Amira mengangguk. “Akan lebih masuk akal jika begitu. Mas jatuh hati, ditambah dengan ingin mencari sosok Ibu untuk anak Mas. Tidak akan ada yang curiga jika itu yang terjadi.”
Alvin mengembuskan napas keras. “Cari cerita lain. Yang jelas bukan aku yang jatuh cinta duluan, karena kenyataannya memang bukan begitu.”
Amira menaikkan alisnya. “Kalau begitu buang saja kata ‘jatuh cinta’ inti dari Mas menikahiku adalah untuk menggantikan sosok Ibu bagi anak An—M-Mas.”
“Kalau itu alasannya, aku sudah menikah dari dua tahun lalu. Cari cerita yang tidak menguntungkan satu pihak,” sindir Alvin.
“Bisakah seseorang saling mencintai dalam waktu yang sangat singkat?” Amira bergumam pelan, namun tetap terdengar di telinga Alvin.
“Bukan mencintai, tapi mengagumi.” Amira menoleh, Alvin tetap berfokus pada setirnya. “Setiap orang punya penilaian terhadap orang yang baru pertama kali di kenalnya, dan poin plus itu adalah rasa kagum, terkesan. Yang dapat membuat seseorang memikirkan, atau menoleh lebih dari sekali. Aku nggak percaya jatuh cinta pada pandangan pertama. Itu terlalu mengada-ada.”
Amira mengamati Alvin dengan saksama. Begitu lekat. Hingga Alvin... Hm... harusnya dia fokus menyetir, kan? Dan harusnya dia membentak wanita itu karena... Alvin menolak menyebutnya salah tingkah. Jadi dia menegakkan tubuhnya kaku, berdeham sesaat. “Apa yang kamu lihat?”
Gadis itu bahkan terlihat tak terpengaruh, dia memutar kepalanya dengan pandangan berpikir. “Apa yang aku kagumi dari Mas. Aku sedang memikirkannya.”
Oh, kali ini Alvin benar-benar tersinggung. “Ada banyak. Atau itu sama sekali tak terlihat? Kamu sengaja ingin aku menyebutkannya, kan?”
Dahi Amira mengerut. “Apa? Tampan, mapan, berpendidikan tinggi? Semua orang akan melihat itu. Dan alasanku menerima Mas jadi terlalu klise.” Mulut Alvin terasa mengering, dia tak habis pikir dengan jalan pikiran gadis satu ini.
“Pikiranmu terlalu rumit. Memangnya apalagi yang akan dipikirkan orang lain saat seorang pembantu menikah dengan anak majikan kalau bukan karena harta?” Alvin tidak menyaring omongannya, dia justru ingin melihat ekspresi gentar di wajah Amira.
Dan, hal itu terwujud.
Amira memandanginya dengan air muka suram. Dalam situasi seperti ini justru batin Alvin yang berdenyut. Sial, makinya pada diri sendiri.
“Aku benar, kan?” pancing Alvin lagi.
“Iya,” sahut Amira datar. “Kenyataannya memang begitu.” Dia terdiam lama. Dan itu justru membuat Alvin gelisah—harusnya tidak. Oke, lupakan, Alvin, kamu berhasil memancingnya.
Hening melingkupi, sebelum Amira membuka suara. “Kalau begitu izinkan aku mengatakan sejujurnya pada Bu Hanun.” Dahi Alvin terlipat. Kepada Ibunya? “Jangan biarkan Ibu Hanun menanggap niatku baik atau sangat buruk. Bu Hanun harus tahu kalau aku melakukan ini karena uang.”
“Kenapa kamu sangat peduli tanggapan Ibu?”
“Karena dia memperlakukanku sangat baik dan aku nggak bisa membalasnya. Akan lebih baik aku jujur, meskipun tetap mengecewakannya.”
Kini giliran Alvin yang terdiam. Rahangnya berkedut menatap jalanan. Ibunya, benar, dia bisa saja menjatuhkan Amira karena memang kenyataannya Amira lah yang meminta dinikahi, lalu pertanyaan selanjutnya adalah mengapa Alvin menerima? Mamanya paling mengenalnya, semata-mata karena rasa kasihan sepertinya terlalu munafik.
“Skenario yang pertama tadi, apa?”
Amira menoleh bingung.
Tapi, sebelum dia menjawab, Alvin telah mendahului. “Si Pria jatuh cinta pada pandangan pertama, lalu si wanita menerima malu-malu kucing. Kita mainkan peran itu.”
“Bukannya Mas bilang jatuh cinta pada pandangan pertama itu mengada-ngada?”
Shit! Alvin membelokkan mobilnya kasar. “Ini hanya peran,” sahutnya jengkel.
“Oh, Iya,” sahut Amira santai, yang membuat Alvin bertambah jengkel.
Sementara gadis itu mulai menyadari sekeliling, dan berkata dalam hati, ini jalanan kota Jakarta.
=====================================================
Bab 5
“Kalau tidak mengerti apa yang kukatakan dan kulakukan nanti, cukup diam. Jika aku lempar pertanyaan baru kamu jawab.” Alvin mengatakannya setelah mesin mobil dimatikan.
Sejak tadi Amira sudah mengamati, mereka berada di sebuah komplek perumahan, dan kini di depan rumah minimalis berwarna oranye tengah terparkir satu mobil berwarna hitam. Dalam sekali pandang, Amira sudah bisa mengambil kesimpulan, pria disebelahnya ini telah mempersiapkan segalanya. Pertanyaan itu memang menggelitik, kenapa Alvin yang sebelumnya bersikap acuh jadi berubah haluan? Tetapi untuk saat ini Amira tidak butuh jawaban, dia butuh uang.
Jadi, ketika Alvin melepas sabuk pengaman dan membuka pintu mobil tanpa mengatakan apa pun, yang perlu dilakukan Amira cukup diam kan?
Namun, meski tetap berusaha fokus, nama Bu Hanun masih setia bercokol di pikiran Amira. Perut Amira serasa diperas kencang sekali. Wanita lemah lembut dengan sikap keibuan, dia baik kepada siapa saja termasuk Amira, tetapi tanggapan apa yang akan diberikannya ketika putranya menikahi pembantunya sendiri?
Meski pikirannya bercabang, namun Amira tetap menyadari Alvin yang memutar sisi mobil lalu membukakan pintu untuknya.
“Ini rumah temanku, Gibran. Kita akan menikah di sini.” Alvin mengulurkan tangannya.
Kenapa di rumah temannya? Pertanyaan itu hanya terucap dalam batin Amira, dia tahu kalau dia tak punya kapasitas untuk bertanya.
“Jangan lupa pesanku,” imbuh Alvin yang justru menggerutkan kening saat Amira malah turun, bukannya menyambut uluran tangannya.
Alvin dengan cepat menarik tangan ke sisi tubuhnya, bersikap seolah tak ada kejadian. Pintu mobil tertutup, Alvin melirik Amira yang mengibas-ngibaskan gaunnya. Sebelum... merangkul lengannya. “Iya, aku tahu,” sahut gadis itu berbisik.
Alvin melirik Amira, berusaha meyakinkan diri kalau dia belum pernah kehilangan kontrol diri pada wanita mana pun, termasuk sekarang. Ya, termasuk sekarang.
Saat melangkah, Alvin baru menyadari tinggi gadis ini hanya sepundaknya. Dan ketika Gibran keluar dari rumahnya, pandangannya langsung tertuju pada Amira, sebelah alisnya naik, memberikan pandangan menilai yang tak lama beralih ke Alvin dengan senyum menggoda, sedangkan Alvin memilih memutar bola matanya ke arah lain. Kalau sadar usia mereka berapa, harusnya saat ini bukan jadi ajang ‘ciee ciee’ saat temannya membawa gandengan baru.
“Penghulunya belum nyampe?”
“Lagi di jalan,” sahut Gibran, mempersilakan mereka masuk.
“Lho, calon pengantinnya nggak pake kebaya?”
Gibran menoleh ke istrinya yang tiba-tiba menyela, “Memang harus pake kebaya?”
“Ih, Mas kok balik nanya. Yana kan nanya ke Mas.”
“Ya udah, makanya Mas balik nanya, harus pake kebaya nggak?”
“Ya kan biasanya gitu. Dulu Yana juga pake kebaya.”
Alvin menatap pasangan suami-istri itu bergantian. “Memangnya kalau nggak pakai kebaya nikahnya nggak sah?”
Istri Gibran tersebut malah tertawa. “Ya nggak Pak Alvin. Kan nggak ada hubungannya kebaya sama sah atau nggak.”
Alvin tersenyum singkat. “Berarti nggak masalah kalau Amira nggak pakai kebaya.”
Yana mengangguk. Tak lama menepuk lengan suaminya. “Mas kalau jawab itu kayak Pak Alvin jadi Yana nggak bingung.”
Mati kutu. Gibran baru hendak membalas, dan keburu keduluan istrinya yang memperkenalkan diri dengan begitu ramah ke Amira, sampai Amira melepaskan tangannya dari lengan Alvin dan mengikuti istri Gibran tersebut ke dalam rumah.
“Kalau Yana mau dipoligami gue maulah, ciwi-nya model begitu, sepuluh juta perbulan pun gue ikhlas ngasihnya.”
Alvin langsung mencibir. “Harusnya gue rekam omongan lo barusan.”
“Mas! Tolong liatin Tio main di teras samping.”
Tak butuh waktu lebih dari sedetik untuk Gibran masuk ke dalam rumah. Alvin menggeleng. “Gitu mau poligami.”
Alvin melangkah ke dalam, bersalaman dengan kerabat Gibran dengan mata mencari-cari sosok Amira. Sesaat Alvin terpaku, dari lorong penghubung antar ruangan, dia melihat Amira yang tengah menggendong bayi Yana yang baru—berapa bulan? Alvin lupa. Gerakannya begitu santai dan luwes.
“Udah cocok punya bayi,” Alvin mendengar celetukan Yana, “eh, bentar lagi bisa bikin ya?”
Bahkan gadis itu hanya tersenyum tipis, dan kembali menyerahkan bayi ke Ibunya.
“Mbak umurnya berapa sih? Keliatannya masih muda banget.”
“Dua satu.”
“Dua puluh satu?? Ya ampuun.. pantesan. Aku ngerasa tua banget. Jadi ceritanya Pak Alvin beneran dapet gadis ting-ting. Eh, ya pantes sih, Pak Alvin duda ganteng. Tapi, Mbak udah kenal baik sama Kai kan?”
Alis Alvin menungkik, sebaiknya ia segera ke sana.
Di lain sisi, Amira diam sesaat, memandangi Yana yang tengah mengayun-ngayunkan bayinya dalam gendongan. Ingat pesan Alvin, batinnya. Jadi, Amira hanya menyunggingkan senyum tipis, dan tersentak menghindar saat ada lengan yang menyentuh pundaknya.
Bola mata Amira melebar dengan jantung yang mendadak berdetak hebat. Alvin, yang berada di depannya sekarang adalah Alvin, memangnya siapa lagi?
“Ya ampun, Pak Alvin ngagget-ngaggetin aja.”
Amira menghela napas, setelah berhasil mengusai diri dia tersenyum. “Kenapa?” tanyanya berbisik.
“Jangan jauh-jauh,” bisik Alvin, membalas.
Namun, ternyata tidak cukup pelan bagi Yana yang langsung tersenyum menggoda. “Duh, maaf ya Pak calonnya dipinjem bentar tadi.”
Alvin tersenyum kikuk, lalu menarik Amira bersamanya. Mereka duduk berdekatan, sekilas tampak seperti pasangan yang sulit di pisahkan.
Saling diam. Alvin tersentak menoleh saat Amira memegang lengannya.
“Nggak ada Bu Hanun di sini.”
“Memang nggak ada.”
Jawaban Alvin membuat Amira menoleh. “Kenapa? Kita—akan menikah.”
“Apa ini masalah yang penting bagimu? Ada atau tak ada Ibuku?”
Mereka saling bertatapan sejauh ini belum ada yang mengerjap.
“Pilihanmu mau atau tidak? Ini pertanyaan terakhirku.”
Akhirnya Amira mengerjap, memandang lurus ke depan selama beberapa saat.
***
“Saya terima nikahnya Amira Jayanti binti Yadi Wicaksono dengan mas kawin kalung emas seberat dua puluh gram dibayar tunai.”
Amira memegang kalung di lehernya. Dan seingatnya ini perhiasan pertama yang pernah dimilikinya. Tidak tahu kalau ketika balita Ibunya pernah menyematkan perhiasan. Mas kawin yang dia terima bukan cicin seperti pada umumnya. Mungkin pria ini enggan memberi tanda sakral seperti itu kepada Amira.
Amira menoleh saat mobil berbelok memasuki sebuah komplek perumahan yang rata-rata bertingkat, meski bentuknya tak seragam. Sepi, sepanjang mata Amira memandang hanya ada mobil terparkir dan beberapa orang yang tampak.
Mungkin sebentar lagi dia akan bertemu dengan gadis kecil bernama Kailandra.
Mobil berbelok lagi. Dan tak lama berhenti di sebuah rumah besar, berpagar tinggi, namun terlihat pintu pagar terbuka. Terdapat dua mobil di sana.
Amira menoleh, melihat Alvin menampilkan ekspresi berpikir keras, seluruh otot wajah pria itu terlihat menegang.
Ada apa?
“Tunggu di sini.”
Hanya itu jawaban yang diterima Amira saat menyaksikan Alvin turun dengan cepat dari mobilnya. Amira hanya mengamati Alvin yang berdiri di pintu pagar dengan kening berkerut. Dan semakin bertanya-tanya saat Alvin kembali dan membuka pintu untuknya.
“Kenapa?” kali ini Amira benar-benar penasaran.
Alvin seperti hendak mengatakan sesuatu, namun mulutnya kembali terkatup rapat. Dan tak butuh adegan pura-pura romantis mengulurkan tangan, Alvin langsung saja menarik tangan Amira untuk turun.
Amira merasakan bagaimana kuatnya Alvin menggenggam tangannya. Terus menyeret langkahnya, Amira tahu ada sesuatu yang tak beres di sini. Dia menghentikan langkah Alvin dengan menarik lengannya.
“Aku nggak tahu apa yang bakal terjadi kalau Mas nggak jelasin.”
Rahang Alvin berkedut, dengan sorot mata serius. “Aku juga nggak tahu apa yang akan terjadi.” Rencanaku berantakan, sambung Alvin dalam hati, melirik ke fortuner putih yang terparkir di garasi mobilnya. “Ayo!”
Cengkraman tangan Alvin semakin kuat. Berdiri sesaat di depan pintu sebelum melangkah masuk. Kalimat sapaan apa yang tepat? Alvin bahkan sudah tak mampu memikirkannya, dia hanya melirik ke sekeliling. Suara-suara terdengar dari ruang tengah, dia memastikan diri tak menoleh ke Amira. Dan saat bertemu pandang dengan orang-orang yang bersuara tadi.
Mendadak sepi melingkupi. Masing-masing tertegun.
Yang pertama kali membuka suara adalah Ibunya. “Amira??” sorot matanya lalu jatuh ke genggaman tangan Alvin. Namun tak hanya itu saja yang membuat perhatian Alvin terbelah, Kai. Mana Kai?
“Jadi, Mbak udah kenal sama calon yang mau dikenalkan Alvin?” itu suara Mama mertuanya, Alvin biasa memanggilnya Mama Ina. “Bukannya tadi Mbak bilang belum kenal?”
Wajah Alvin telah berubah sekeras batu.
“Iya, tapi saya nggak tahu kalau calon yang dimaksud Alvin—“ ucapan Ibu Alvin berhenti kembali menatap Amira.
Di sampingnya Amira berusaha setegar karang, walau kenyataannya kakinya berubah layaknya jeli.
“Ada yang mau Alvin bilang sama Ibu, sama—Mama Ina juga.”
“Kamu mau ngenalin calon kamu, kan? Ibu kamu barusan cerita,” Mama Ina memotong. “Tapi Mama kecewa, kenapa kamu nggak ada cerita apa pun ke Mama? Kenapa kamu nggak minta pendapat Mama? Terus Kai—“
“Ma,” Alvin menyela. “Alvin dan Amira,” Alvin mengambil napas. “Kami sudah menikah,” katanya tegas.
Tangan Amira terasa sedingin es. Di hadapannya dua Ibu paruh baya memandang terkejut. Amira hanya berharap salah satu di antaranya tidak pingsan di tempat.
“Alvin...” kata-kata Ibu Alvin tergantung di udara saking terkejutnya.
Namun, lengkingan lain lebih memekakkan telinga.
“NGGAK MAU!! Kai nggak mau punya ibu tiri!! Kai benci PAPA! Papa bohong! ibu tiri itu pasti jahat!”
Di sana berdiri Sonya sedang Kai kembali berlari ke kamarnya.
Amira merasakan sakit pada jemarinya, karena genggaman tangan Alvin semakin kuat, terlihat wajah pria itu memerah, seperti menahan amarah.
“Kamu lihat sendiri kan Alvin, akibat yang kamu timbulkan? Baru kali ini Mama bener-bener kecewa sama kamu,” suara Mama Ina mengintimidasi seperti biasa. Dia berjalan dengan tatapan marah ke arah Amira menuju kamar Kai. Dilirik Amira Bu Hanun yang terduduk lemas. Melihat ke arah lain, seorang wanita cantik yang tadi keluar bersama Kai juga menatapnya sinis. Amira yang memang bingung dengan keadaan ini, mulai mencerna sedikit demi sedikit apa yang terjadi.
Alvin melepaskan genggaman tangannya dan melangkah lebar menuju kamar Kai. Hancur lebur. Rencananya yang hampir sempurna gagal total. Padahal dua hari lalu dia telah membicarakan soal ini dengan Kai. Namun, entah apa yang dikatakan Sonya saat dia tak ada tadi.
“Kamarnya dikunci,” celetuk Mama Ina sinis, mengarahkan pandangan ke Alvin.
“Kai!” Alvin mengetuk pintu kamar putri semata wayangnya. “Buka pintunya sayang... Papa mau ngomong.”
“Percuma aja, Mas tahu sendiri kan, kalau Kai udah ngambek?” Alvin tak memedulikan perkataan Sonya. “Lebih baik Kai ikut kami untuk beberapa hari.”
Tubuh Alvin menegang kali ini dia menoleh. “Kai nggak akan kemana-mana,” serunya tegas.
“Terus kamu mau biarin Kai ngurung diri sampai nggak makan?” Mama Ina kembali bersuara. “Mama nggak akan biarin kalau cucu Mama kenapa-kenapa.”
Alvin merasa terhimpit, dan kepalanya serasa mau pecah. Tapi dia tak mungkin sanggup mengusir Mama mertuanya. Dia hanya akan menjadi banci jika melawan wanita.
“Alvin masih sanggup mengatasi Kai. Bukannya Mama sendiri yang sering bilang Alvin harus cari pengganti Sania? Dan sekarang Alvin sudah menemukannya.”
“Tapi harusnya kamu melakukan pendekatan dulu. Ini terlalu tiba-tiba. Mama juga nggak tau, apa dia tulus nikah sama kamu dan sayang sama Kai atau nggak kan?”
“Amira gadis yang baik, aku kenal dia mbak.”
Serempak menoleh. Termasuk Amira. Mama Alvin berdiri dari duduknya, namun masih enggan menatap ke Amira.
“Kalau begitu kita tanya ke Kai. Dia mau ikut siapa untuk malam ini.” Alvin kembali melemparkan pandangan ke Sonya. “Aku juga nggak mau Kai kenapa-kenapa Mas.”
“Iya Sonya bener,” tambah Mama Ina. “Coba kamu ambil kunci cadangan, Vin?”
Alvin membalik tubuhnya. Tatapannya bersirobok dengan Amira sesaat sebelum memalingkan tubuh menuju kamarnya. Dan kembali dengan kunci dalam genggamannya.
Kejadian seperti ini sudah berulang-ulang terjadi. Tapi biasanya Alvin akan membujuk sampai Kai sendiri yang membukakan pintu untuknya.
Saat pintu terbuka, Kai telihat telungkup di sudut ranjang dengan suara tangisan yang teredam.
“Kai,” suara Alvin berseru lembut.
“Kai benci papa! Keluar!!”
“Kai,” kali ini Sonya menyahut. “Ini tante sayang. Wajahnya jangan ditutupin gitu, nanti susah napas.”
Alvin melesak maju. “Kai... Bukannya Kai udah janji ke Papa? Inget kan yang Papa bilang dua hari lalu.”
“Tapi Kai nggak mau punya Ibu tiri! Papa bilang ibu tiri baik. Bohong! Tante bilang ibu tiri jahat!”
Kesabaran Alvin hampir habis. Dia menatap marah ke arah Sonya, namun perempuan itu tetap mengelusi kepala Kai.
“Kamu salah ngerti Kai, tadi tante cuma tanya, darimana Kai tahu ibu tiri baik? Kayak dongeng-dongeng yang kamu baca, ibu tiri itu jahat. Ya kan?”
Argh! Alvin mengusap wajahnya. Kepalanya rasanya mau meledak. Sekarang dia benar-benar yakin ini ulah siapa.
“Kai, ayo ikut Oma aja yuk. Kita jalan-jalan sama Tante, sama Opa. Main ice skating...”
Kai menolehkan sedikit kepalanya, terisak dengan wajah kusut.
“Lebih baik Kai jangan kemana-mana dulu Mbak. Alvin butuh bicara dengan Kai.” Ibu Alvin menengahi. Dan Alvin bersyukur untuk itu.
Mama Ina memutar bola matanya tak senang. “Oke, sekarang Oma tanya, Kai mau tetap di sini atau ikut Oma?”
Kai terduduk. Masih terisak, memandang marah ke arah Papanya namun tergiur dengan ajakan Omanya. Namun, lebih marah lagi saat melihat ke arah Amira yang melangkah ke arahnya. Kai telah bersiap untuk teriak jika saja langkah itu tak terhenti di sebelah Papanya.
Alvin terkesiap saat Amira merangkul lengannya.
“Lebih baik Kai ikut sama Omanya Mas. Jadi kita ada waktu—“ Amira memajukan kepalanya sedikit ke arah Kai. “—berdua aja.”
Alvin melotot marah, hendak membungkam aksi Amira jika saja tidak ada teriakan yang memekakkan telinga.
Kai melompat turun. Menepis tangan Amira dari lengan Alvin dan melompat ke pelukan Papanya. “Nggak boleh! Nggak ada yang boleh ambil Papa dari Kai!!”
Alvin melirik Amira saat bertanya. “Jadi, Kai mau ikut Oma atau tetap di rumah?”
“Kai mau sama Papa! Kai nggak mau Papa diambil ibu tiri!”
Mama Ina mendengus kasar, sementara Sonya menatap Amira dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
