Left Shadow [Bab 5 - Bab 8]

35
0
Deskripsi

Kelima

 

Hanya karena ada yang tercabut dari rahimnya tak berarti dunia Manda luluh lantak. Itu pemikiran positif, karena nyatanya setiap hari dia semakin dibayang-bayangi ketakutan. Hidup sendiri sampai ajal menjemput.

Ada Dimas. Dimas berjanji tak akan meninggalkannya. Tapi, Manda bukan wanita bodoh dia hanya wanita munafik yang sering mengabaikan alarm dikepalanya.

Suatu saat Dimas pun mungkin akan meninggalkannya. Cepat atau lambat. Setelah banyak hal membuktikan Dimas lebih memilih menghabiskan sebagian besar waktu untuk pekerjaan dan sisanya untuk keluarga, lalu di mana posisinya?

Tangan Manda mengalung ke tengkuk Dimas yang sedang menekuri laptopnya. Tentu saja, kehilangan bayi dari wanita simpanan bukan masalah besar untuk Dimas, atau mungkin itu anugerah, sekali lagi Manda menyembunyikan prasangka itu.

“Posisi sekretaris sudah digantikan. Nanti kalau udah tiga bulanan baru bisa aku pindah ke divisi lain. Aku tahu kamu pasti bosan diam di rumah setiap hari.”

Manda menyenderkan kepalanya. Menatap ke arah laptop dengan kurva-kurva berwarna-warni menghiasi layar.

“Sedikit lagi, aku bisa lepas dari Papa,” gumam Dimas. “Dan aku bener-bener nggak sabar,” lanjutnya mengecup bibir Manda sekilas.

“Hm.”

Terkadang Manda bingung apa yang dilihat Dimas dari dirinya, wanita yang tak suka berdandan dan introvert akut. Ah, mungkin  satu-satunya hal yang bisa dijadikan alasan adalah Manda yang selalu menurut.

“Dia cantik?”

Kening Dimas berkerut saat menoleh ke Manda. “Siapa? Sekretaris itu?” Dimas mengangguk. “Pakaiannya selalu modis dengan rambut disanggul.”

“Bagus, dia bisa memanjakan matamu.”

Dimas tak yakin itu adalah sebuah sindiran atau pujian. Isi kepala Manda terlalu menarik untuk diikuti. Terkadang dia bersikap terlalu egois hingga mengabaikan pesan Dimas, terkadang terlalu penurut hingga apa pun yang Dimas minta akan dilakukan.

“Aku berharap kata-kata itu benar-benar bukti kalau kamu cemburu.”

Manda tersenyum kecil. Bukan air muka cemberut seperti yang dilakukan mantan-mantannya terdahulu, apalagi Ayu.

Dimas menyingkirkan laptopnya, menarik punggung tangannya untuk mengelusi wajah Manda. Dia panik saat tiba-tiba Manda meminta status, namun setelah anak mereka ternyata tidak bisa lahir ke bumi, Dimas menyadari, pernyataan yang keluar dari mulut Manda semata-mata karena dia sedang mengandung. Karena nyatanya saat ini Manda kembali menjadi Manda yang dia kenal.

“Aku benar-benar mencintaimu. Kamu tahu?”

“Hm,” gumam Manda mengangguk.

“Dan terkadang aku ingin kamu benar-benar cemburu,” lanjut Dimas mengecup bibir Manda lebih dalam. Dimas masih ingin melanjutkan jika tidak karena ponselnya berbunyi.

Sudah pukul enam lewat. Kemarin dia berhasil mencari alasan, dan hari ini, dia tak akan bisa menginap di apartemen Manda. Dimas mengecup kening Manda sebelum membereskan barangnya. “Aku harus pulang,” seru Dimas dengan nada tak suka. “Nggak perlu masak, aku akan memesankan makanan.”

Manda tersenyum tipis atas perhatian yang diberikan Dimas, tiga minggu telah berlalu setidaknya Dimas jauh lebih perhatian dari biasanya. Namun, dalam benak Manda masih ada sesuatu yang mengganjal. “Aku ingin mengisi waktu dengan liburan.” Manda beringsut turun.

“Aku belum bisa cuti—“

“Enggak. Aku pengin jalan-jalan sendiri, boleh, kan?”

Saat tangan Manda berada di lengan Dimas. Dimas tahu ini sesuatu yang tak bisa ditolaknya. Wanita ini terlalu memikatnya. Jika bukan karena posisi Ayu yang masih penting juga demi buah hati mereka, mungkin Dimas sesegera mungkin menanggalkan akal sehatnya.

“Oke, ke mana? Aku akan memberikanmu akomodasi lengkap dengan tour guide. Jangan berkeliaran sendiri Manda—“

“Aku sudah tentuin sendiri destinasinya. Juga tiketnya. Tinggal berangkat aja.”

Dahi Dimas langsung berlipat, matanya berkilat. “Kamu merencanakan sesuatu di belakangku?”

Manda menggeleng. Dirabanya dada Dimas. “Ya, memang ada yang belum kuceritakan sama Mas. Dan aku butuh waktu untuk itu. Tapi liburan kali ini, aku membutuhkannya—“ Manda menghela napasnya. “Aku—belum sepenuhnya merelakannya.”

Dimas tahu yang dimaksud Manda adalah bayi mereka. Dia mengecup kening Manda. “Bagaimana kalau sebulanan lagi? Kita bisa pergi bersama.”

 

Manda menggeleng kuat. Pandangannya menunduk hingga keningnya menyentuh dada Dimas.

Dimas menghela napas. “Oke, tapi ponselmu harus selalu aktif.”

“Hm.”

“Jangan hanya bergumam, Manda.”

Manda mengalungkan tangannya ke tubuh Dimas. “Iya.”

Dimas menyerah dengan sahutan singkat Manda.

 

***

 

“Bos!! Kucing aku mana!”

“Mati!  Gue lempar ke jalanan. Kelindes truk.”

Swastika melotot, berlari ke luar.

“Goblok lu, ngerjain tu anak. Yang ada nangis nggak udah-udah.”

Bara mendengus. Dia sebal dengan kelakuan Adminnya itu yang selalu membawa kucing kemana-mana, padahal Bara sendiri alergi bulu kucing. Mati saja. Bara bahkan tak peduli seimut apa kucing itu.

Wanita itu kembali mengelus-elus kucing yang dibawanya dari luar. “Sengaja banget ya Bos. Kasih makan di luar, biar lari ke jalanan.”

Bodo! Batin Bara melanjutkan langkah ke ruang belakang. Ada sekitar sepuluh pekerja yang sedang melakukan finishing menjahit ritsleting, dan memeriksa kualitas barang. Bara beralih ke ruangannya yang sekaligus difungsikan sebagai ruang meeting. Ada Bara yang mengurus desain produk, Endro yang biasa mengurusi pemasaran, Gusti kepala bagian produksi, dan tentunya kepala Admin, Swastika.

Sudah hampir lima tahun dia dan Endro menekuni bisnis ini. Produksi tas dengan brand Sabara, bukan ‘Endro’ karena namanya kurang menjual, bagi Bara. Setelah patah hati akut yang dialaminnya sepuluh tahun lalu, Bara hijrah ke Bali. Mengikuti temannya, Endro, yang lebih dulu menetap membuka kafe yang dimodali orang tua.

Bara tak bakat jadi barista. Dia hanya memiliki kemampuan seni yang tinggi. Bosan. Bara mulai menantang diri melakukan apa pun. Melukis, belajar menato, bahkan menjadi sopir pun pernah dilakoninya.

Usaha yang sekarang dijalaninya dengan Endro hasil dari pengembangan pengusaha lokal yang gulung tikar. Ide dasarnya lumayan, hanya pasarnya belum luas. Endro yang jeli melihat pasar dan Bara yang memiliki kemampuan mengembangkan mode menjadi klop satu sama lain ketika membulatkan tekad merintis usaha yang bahkan tak pernah terpikirkan di benak mereka. Yang sekarang melejit dengan pangsa pasar Asia. Dan sudah jadi pengekspor tetap dengan gabungan brand oleh perusahaan mode di Jepang.

Endro sendiri telah menikah dan memiliki dua putri dengan WNA asal Australia dan sekarang resmi berkewarganegaraan Indonesia.

Saat Endro selalu meledekinya bujang karatan, maka Bara akan membalasnya dengan Ayah palsu, karena dua putrinya yang berwajah bule.

“Tu anak kalo nggak karena kerjaannya bener udah gue pecat,” gerutu Bara menekuri laptopnya berkutat dengan sketsa produk yang akan louncing bulan depan. Secara berkala mereka terus memperbaharui, mengikuti tren, ada sebagian masih dipertahankan.

Endro seolah tak memedulikan. “Bridal shower Selena ntar malem. Eh, tapi ngapain gue ngundang lo ya, yang ada makin senewen karena nggak kawin-kawin.” Endro menutup dengan gelakan.

Bibir Bara menipis. “Gue kawin pernah. Ijab aja yang belum,” balas Bara.

“Ya udah, besok gue bawain penghulu, Swastika siap diijab.”

No way! Yang ada si Bos sembelih Moshi.” Swastika tiba-tiba muncul memasuki ruangan sembari menggendong kucingnya.

“Lo selangkah lagi maju, itu kucing bener-bener gue sembelih.” Alergi Bara belum sampai ke tahap yang serius, dia bersin tiap kali binatang-binatang berbulu mendekat.

“Itu pas pembagian jatah hidung si Bos dapet yang second jadi gitu tuh,” ledek Swastika. Bara membuka mulut hendak membalas. “Ada cewek di depan. Cariin bos. Minta dinikahin.”

Bara malah memutar tubuh. Terkadang dia perlu memilah informasi yang dikeluarkan dari mulut Swastika.

“Lo kasih info yang serius. Itu si Bara lagi mode senggol bacok gara-gara Moshi lo naik ke badannya pas tiduran di sofa tadi.”

Swastika cekikikan. “Beneran Bos, ada yang nyariin—“

“Minta nikah?!” bentak Bara, bukan takut Swastika semakin tergelak.

Endru menikmati pertengkaran lucu itu tiap harinya. Tapi kali ini ada pekerjaan lain yang harus diurusnya.

“Hehe... kalau yang itu gimmick. Kalau nggak mau temuin, bilang. Biar aku sampein.”

“Lo ada tanya dia dari mana? Apa keperluannya? Lo kerja di sini udah berapa lama? Kalau tu orang niat rampok gimana?”

Swastika menarik napas sambil mengacungkan sebelah tangannya menyuruh si Bos diam sejenak.

“Namanya Amanda Falani. Dari Jakarta. Keperluannya apa dia nggak jawab, yang jelas dia bilang Bos kemungkinan besar ingat dia.”

Sontak Bara berdiri, hingga kursi berodanya menghantam meja. “Shit! Kenapa baru ngomong sekarang!”

Oh yeah... Swastika sudah sangat amat terbiasa dengan umpatan, dan bentakan itu. “Tu cewek minta tanggung jawab ya Bos? Bener, kan, dugaan aku, tampang Bos gitu banget.”

Swastika menyingkir mendekap Moshi erat. Lihat ekspresi merah padam begitu, lumayan buat merinding juga. Duh... candaannya salah waktu.

Bara tak menumpahkan kekesalannya. Karena dikepalanya, nama Amanda Falani berdentum keras. Mau apa cewek itu?! Batin Bara marah. Tak se-iya dengan sudut hatinya yang belakangan tak bisa melewatkan begitu saja pertemuan mereka terakhir kali.

Bara seharusnya terbebas, tapi dia manusia paling anti berutang, apalagi ini utang nyawa.

Sampai di depan, tepat di kursi tunggu. Wanita itu, wanita yang terlihat sangat sederhana, hanya mengenakan terusan motif batik dan sepatu flatshoes, dengan rambut tergulung ke atas menyisakan riap-riap anak rambut, memandang ke arah pintu kaca.

Bara sesaat tertegun melihat koper berukuran sedang di sebelah wanita itu. Dia tak menyapa, hanya berdeham sebelum pandangan itu beralih ke arahnya.

“Kamu ke sini untuk menagih utang?” Bara menyesali dirinya yang terlahir untuk tidak bersikap basa-basi.

Wanita itu mengangguk, melarikan jemarinya pada pegangan koper.

“Apa? Bagaimana aku membayarnya?”

Manda berdiri memegang temali tasnya. Dalam hatinya gusar meski ditutupinya begitu rapat. Dia lumayan ahli menyamarkan ekspresi.

“Kamu benci saya?”

Bara membelalak. Apa yang barusan telinganya dengar? Tidak salah. Bukankah seharusnya wanita ini yang membencinya.

Kikuk, Bara menggeleng.

“Kamu berbicara dengan nada kasar.”

Oh my god! Gerakan Bara menggaruk tengkuknya berlebihan bahkan tangannya terangkat maksimal. “Enggak. Maksudnya. Kamu tahu ada orang-orang yang memang dilahirkan berbicara dengan cara membentak. Aku salah satunya.” Aku lebih sopan dari gue kan? Bara tak yakin.

“Saya butuh refreshing. Hanya itu.”

Bara membasahi permukaan bibirnya. Dia punya rumah dan kamar cukup bagus untuk ditempati, Mamanya sesekali datang dan menginap di kamar kosong itu, berhubung harinya lebih sering dihabiskan di rumah produksi. Tapi apa mungkin dia menawarkannya ke wanita ini.

“Aku akan mencarikanmu hotel. Dan... aku cukup sibuk, kamu bisa bepergian sendirian.”

“Refreshing yang saya maksud adalah menyendiri di tempat yang nyaman. Bukan jalan-jalan. Maaf jika persepsi kita berbeda.”

“Oke... sepertinya aku tahu tempat seperti itu.” Bara mencoba mengerti apa yang diinginkan wanita di depannya ini, tak cocok rasanya bersenang-senang setelah kehilangan buah hati. “Sebentar.” Bara berbalik bermaksud mengambil kunci mobilnya.

“Maaf saya tidak membukakan pintu, hingga semua makanan itu berakhir ke tong sampah,” ucapan wanita itu membuat Bara kontan menghentikan langkahnya. Bukankah harusnya dia yang minta maaf? “Saya sedang lelah dan kalut waktu itu.”

Bara menganga. Apakah ini cara wanita ini membuatnya semakin merasa bersalah?

 

==========================================================

 

Keenam

 

“Itu tadi toko tas?”

Pertanyaan itu muncul ditengah perjalanan.

Bara menoleh. “Bukan. Hanya sebagian produk yang udah selesai dan akan dipasarkan. Kami hanya memasarkannya secara online, jadi nggak ada outlet khusus. Itu semi handmade, jadi terbatas. Untuk desain pun terbatas.”

“Kenapa nggak ada factory yang jual?”

“Kamu tahu brand Sabara?”

Manda mengerutkan keningnya. Seperti pernah mendengar.

“Kami nggak buka toko hanya agar ke eksklusifannya nggak berkurang. Ada reseller yang bantu jual, juga web khusus produk kami. Nggak hanya itu, UMKM setempat pun bisa memasarkan produknya di toko online kami. Apalagi zaman sekarang orang-orang lebih senang duduk di rumah, barang datang. Harga pun dipatokkan untuk kaum menengah ke atas. Jangan tanya kenapa, karena pengrajin kami udah seharusnya dibayar mahal sama orang-orang berduit.”

Masuk akal. Manda mendadak kikuk. Semua orang ternyata tampak keren jika menceritakan passion-nya. Dimas salah satu contohnya.

Mobil Bara berputar ke sebuah perumahan. Bara bermaksud membawa Manda ke vila milik Endro. Ada satpam yang berjaga, lagi pula dia sering pinjam. Urusan izin belakangan. Laju mobilnya memelan.

“Kok rame?” gumamnya. “Argh...”Bara memijat pelipisnya.

Manda mengamati cowok bertato itu tengah memasang ekspresi suntuk. “Aku lupa kalau vila ini lagi dipake orang. Sori-sori,” gumam cowok itu memutar setirnya. “Lo—eh kamu maksudnya rencana liburan berapa hari?”

Bibir Manda terbuka sesaat sebelum mengatup dan memandang lurus ke jalanan. “Bisa tiga hari, seminggu, atau lebih.”

Bara menelengkan kepalanya. “Kamu udah izin suami, kan?”

Saat pandangan Bara memaling gantian Manda yang memandangnya. Pria ini menganggapnya wanita bersuami.

“Kok nggak jawab? Setelah keguguran lalu jalan-jalan sendiri. Kalau aku jadi suami kamu pasti nggak kasih izin.” Bara menoleh singkat. “Atau kamu memang nggak izin?”

Manda berusaha rileks. “Kenapa kamu nggak kasih izin? Kalau itu demi mengobati siksa batin, tetap nggak kasih izin?” Hei? Kenapa Manda harus bicara seluwes ini. Tidak, pria yang disebelahnya yang memulai.

“Siksa batin untuk siapa? Apa suamimu juga nggak merasakan kehilangan, begitu? Aku sudah siap sedia dihajar atau diperkarakan. Karena jika aku jadi suamimu maka aku akan mengejar si pelaku sampai ke ujung dunia.”

Hanya dalam satu kali percakapan panjang seperti ini, Manda sudah bisa mendeskripsikan siapa Bara. Atau memang pria inikah yang dicari Mahesa Ayu? Dari segi penampilan mungkin Bara tidak ada seujung kuku pun dibandingkan Dimas. Tetapi pria itu punya kharisma yang sangat kuat. 

“Kenapa waktu itu kamu mengejarku?”

“Kamu lari.”

“Aku hanya terkejut.”

“Butik close kenapa kamu di sana? Ingin menemui siapa?”

“Aku—“ Manda meneguk saliva. “Nggak melihat pamplet close.”

“Bisakah cari alasan yang lebih masuk akal?” Jantung Manda berdegup cepat. “Kamu teman Mahesa Ayu? Atau mengenalnya? Ayu terus-terusan menerorku dengan pertanyaan yang sama. Apa kamu lari karena melihatku menciumnya?”

Napas Manda tercekat. Tak menyangka pria ini akan se-terbuka ini.

“Oke, biar aku beritahu satu hal. Aku dan Ayu saudara sepersusuan. Aku menyukainya dan tentu saja dia menolakku. Dia hanya meminum air susu ibuku, nggak ada darah keluarga kami yang mengalir.” Sial. Bara mendengus. “Jadi sekalipun kamu menyebarkan berita ini, yang terpuruk adalah Ayu, dan aku tetap di sini meneruskan usahaku.”

“Kenapa kamu terdengar sangat egois. Lantas kenapa kamu datang menciumnya.”

Bara meraup wajahnya. “Ya, sekarang aku memang akan bersikap egois. Membelanya terus-menerus tak akan menjadikanku pasangannya. Jadi percuma saja.”

Manda menghela napas panjang. Mungkin saja pria ini sedikit tidak waras.

“Jadi kamu akan tetap menyebarkannya? Perancang busana ternama Mahesa Ayu selingkuh dengan saudaranya sendiri. Itu akan menjadi berita luar biasa. Aku akan senang hati mendengarnya jika tidak ada Sybil ditengah-tengah mereka.”

Manda mengamati perubahan ekspresi Bara meski pria itu tetap fokus menyetir.

“Aku sudah terlalu sering menantang bahaya. Hanya, sulitnya, sebagai manusia hati kecilku masih berfungsi.”

“Kenapa kamu menceritakannya padaku? Aku bisa saja menceritakannya semua pada siapa pun.”

“Artinya, enggak,” tandas Bara. “Kamu nggak akan menceritakannya. Padahal sudah dari berminggu-minggu yang lalu aku menunggumu minimal menghubungi.”

Kembali diam.

Manda tak ingin menimpali, karena hatinya cenderung meragu. Apalagi dihadapkan dengan setumpuk kenyataan. Bisa jadi, Dimas juga mengenal pria ini. Namun, Manda tak mungkin menanyakannya.

Manda mengecek ponselnya. Pesan dari Dimas yang wajib dijawabnya cepat jika tak mau pria itu menghubunginya sekarang. Manda tertegun. Lantas apa yang dilakukannya di sini, dengan rencana awal untuk mencari tahu semuanya dan ternyata pria ini membeberkan tanpa perlu Manda mengorek lebih dalam.

“Suamimu?”

Manda menggeleng. Menaruh ponsel kembali ke dalam tasnya. “Aku tidak punya suami.”

Bara hendak ber-oh ria sebelum menoleh dan kehilangan sedikit kendali kemudinya.

Apa katanya tadi? Tidak punya suami? Bara menganga cukup lama sebelum menipiskan bibirnya. Dari tampilan jelas wanita ini tak terlihat seperti wanita serampangan. Namun, nyaris memiliki bayi tanpa suami? Bara hampir mendapat kesimpulan yang pasti.

“Bercerai?”

Dahi Bara bertaut memperhatikan Manda yang menggeleng. “Belum menikah.”

Situasi di dalam mobil berubah sangat canggung.

“Berhentikan aku di hotel mana saja.”

Kembali diam. Bara tak menyahut.

“Sebenarnya aku punya rumah pribadi. Ada paviliun terpisah dari rumah utama. Kalau mau kamu bisa menginap di sana.”   

“Enggak. Makasih,” sahut Manda cepat yang dikepalanya saat ini adalah segera sampai di apartemennya. Tempat persembunyiannya.

“Kamu tersinggung karena aku tanya soal suami?”

Manda diam.

“Aku tahu rasanya melarikan diri saat pikiran kita sedang suntuk. Jangan pikir aku bakal macam-macam. Kamu bebas pegang kunci, tenang saja aku nggak akan curang pakai kunci cadangan.”

Kembali Manda menggeleng.

Bara tak mengajukan penawarannya lagi. Dia memberhentikan mobil di sebuah hotel and resort.

Manda sempat mengelak, tetapi Bara langsung masuk dan memesan sebuah kamar untuknya.

“Ada acara di kafe teman malam ini. Jika mau ikut aku bisa menjemputmu,” kata Bara setelah belboy berlalu membukakan pintu kamar dan menyerahkan kunci.

Manda diam. Tampak berpikir.

“Bukan ke kelab malam. Hanya santai-santai di kafe.” Bara mengecek ponselnya yang berbunyi. “Oke, kamu ada simpan nomorku, kan? kalau berminat hubungi aja.”

Manda mengangguk singkat.

Pintu akan tertutup jika saja Bara tak menahannya dengan kaki. “Aku tahu kamu nggak akan meneleponku.” Dia menyodorkan ponselnya. “Please, catat nomormu di sini.”

Manda menggigit bibir bawahnya sebelum menerima ponsel Bara.

“Aku serius ingin membayar utangku,” gumam Bara.

Manda menyerahkan kembali ponsel Bara setelah memasukkan nomor ponselnya.

“Oke, aku balik. Kalau ada apa-apa jangan sungkan telepon.”

“Hm.”

 

***

 

Endro menyikut Bara begitu cowok itu masuk ke kafe D’End dengan membawa cewek yang diceritakannya siang tadi. End, tak memiliki arti khusus hanya diambil dari penggalan nama Endro. Tapi, secara spesifik Bara akan mengejek dengan mengartikan nama kafe menjadi ‘kafe tamat’ dan langsung mendapat lemparan cangkir kertas apabila Bara celetuk yang nongrong di situ akan segera ‘tamat’ riwayatnya.

Acara Bridal Shower Selena, sahabat Caroline, istri Endro yang akan menikah dengan pria Indonesia.  Harusnya acara khusus cewek-cewek. Tapi, berhubung mengenal baik Bara, jadi acara malam ini lebih kepada kumpul-kumpul melepas masa lajang.

Manda terkejut saat Bara menarik tangannya. Pertama kalinya lelaki lain selain Dimas. Namun, Manda tak bisa melayangkan protes, selain kafe sedang ramai-ramainya, Bara juga tak mengarahkan pandangan ke Manda sebelum pria itu menempati sofa rotan melingkar di sudut ruangan.

Tanpa perlu memesan tak lama datang camilan, kentang goreng, kacang. Juga gelas-gelas besar bir.

“Mau aku pesenin jus jeruk aja?”

Manda menggeleng. Bir tidak buruk, dia pernah meminumnya bareng Dimas.

Ah ya. Kenapa juga Bara masih menganggap wanita ini malaikat sementara kenyataannya? Namun, jika ada istilah judge a book by its cover, maka segala penilaian baik akan jatuh ke wanita yang duduk di sampingnya.

Tanpa make up. Cardigan hitam yang panjangnya hingga lutut membalut dress motif bunga mawar. Memakai sandal. Sepertinya ini style kesukaan Manda, pikir Bara. Asli, Bara tak pernah mengamati seorang wanita sedetail ini. Namun, wanita ini pengecualian apalagi kalau bukan karena fakta hamil di luar nikah. Bukan hal baru, namun rasa-rasanya... Ah!

Bara meneguk birnya sambil memandang ke stage kecil di mana ada sepasang kekasih berdansa ala tango.

Manda meneguk gelas besar itu sedikit, mulai menikmati suasana. Benar kata Bara, suasana cukup cozy tak ada ingar-bingar musik yang berdentum keras. Semua yang ada di sini terlihat santai, dengan alunan musik pas.

Dimas sudah pasti tak akan pernah mengajaknya ke tempat seperti ini.

“Kekasihmu tahu, kamu hamil, sebelumnya?” Manda melirik Bara yang mengupas kulit kacang dan memakannya. Gayanya begitu santai, dengan kaus longgar dan celana selutut.

Manda mengangguk.

“Lalu dia nggak berpikir menikahimu?”

Kali ini Manda menggeleng.

Entah mengapa Bara mencampakkan kulit kacang kesal. “Dasar pengecut!”

Manda menyandarkan punggungnya. “Dia memiliki istri. Dia tak mungkin menikahiku,” gumam Manda kembali meminum birnya.

Rahang Bara terjatuh, mulutnya terbuka entah untuk berapa lama mengamati gerak-gerik Manda yang seolah tak terbebani akan hal itu.

You’re clasic. Awesome. Kamu punya kemampuan untuk membuat orang memandangmu dua kali. Dan kamu memilih menghabiskan waktu dengan suami orang?” ungkap Bara tak percaya, meneguk birnya hingga habis setengah.

Really? Tapi hanya dia yang memandangku dengan benar,” kata Manda datar, masih menjuruskan perhatian ke pasangan yang berdansa, kali ini lagu berubah mellow.

Bara bangkit. “Wanna dance?” tawarnya menjulurkan sebelah tangan.

I can’t dance,” aku Manda bohong. Dia beberapa kali melakukannya dengan Dimas.

“Aku ingin memandangmu dengan benar.”

Stupid! Bentak batin Manda saat tangannya meraih tangan Bara. Termunafik! Manda menolak pemikiran kalau pria di hadapannya juga memiliki kemampua untuk membuat orang lain memandangnya dua kali.

Sayup-sayup suara suitan terdengar dari ujung meja bersamaan dengan musik instrumental romantis yang mengalun, saat Bara menarik pinggangnya. Manda tak mengalihkan pandangan dari pria di hadapannya. Tidak bisa berdansa? Nyatanya gerakan tubuh Manda tidak singkron dengan ucapannya tadi.

Dalam jarak sedekat ini, Manda bisa mengamati. Ada tato kalajengking kecil di lehernya. Tahi lalat di kuping sebelah kiri. Deretan gigi rapi yang mengembang saat Bara menatap ke arah lain, dan jangan lupakan lesung kembar yang membuat cowok ini sangar dan manis disaat yang bersamaan.

Bara menundukkan pandangannya. Bola mata Manda hanya melirik ke atas, enggan mendongak jika tak ingin jarak semakin menipis, bahkan terpaan napas Bara terasa di pipinya. Tiap kali begini, ada alarm di kepala Manda yang berdering kencang, namun tetap tak diindahkannya.

“Aku sedang memikirkan hal konyol di otakku,” bisik Bara.

“Apa?”

“Pemikiran bahwa alasan utama wanita-wanita yang mau dengan pria yang sudah menikah adalah harta.”

Manda mengulum senyum. “Anggap saja aku seperti itu.”

“Sekali lagi, artinya tidak.” Bara menarik pinggang Manda lebih erat. Dia punya harta, tapi dia tak ingin menyebutkannya di depan Manda. “Tapi itu justru membuatku bertambah gusar. Artinya kamu tulus mencintainya.”

Manda memaling ke sisi tengkuk Bara jika tak mau wajahnya bersentuhan dengan wajah Bara. “Sudah kukatakan. Hanya dia yang mampu melihatku dengan benar.”

“Malam ini aku pasti tak bisa tidur karena penasaran,” gumam Bara.

Menghentakkan tubuh Manda menjauh hingga membuat wanita itu kaget luar biasa. Ternyata musik berubah. Untung Manda mengenakan sandal jika tidak sudah pasti kakinya akan menyalip, meski Bara menggenggam sebelah tangannya erat.

Mereka berdansa mengikuti pasangan lain.

“Aku tahu kamu pembohong besar, baru saja kamu bilang tak bisa menari,” bisik Bara saat memutar tubuh Manda dan memeluknya dari belakang.

============================================================

 

 

Ketujuh

 

“Besok. Bersiaplah dari pagi, aku akan menjemputmu.”

“Aku belum mengatakan setuju.”

“Aku yakin kamu sudah siap begitu aku tiba besok.”

Pria di hadapan Manda tampak percaya diri. Sekilas, Manda hanya mampu membalik tubuhnya, menahan debaran yang tiba-tiba melintas. Di samping pria ini, dia berusaha setengah mati bersikap tenang. Akan tetapi pria ini membawa aura sensual yang tak mampu dihindari Manda. Mengapa seperti ini? Mengapa hatinya terasa membuncah hanya mendengar ajakan pria ini?

“Kalau tidak jelas tujuannya jangan harap aku akan membukakan pintu,” sahut Manda santai.

Lesung pipi kembar itu muncul lagi. “Memang belum jelas tujuannya, tapi aku yakin kamu tetap membukakan pintu.” Bara jauh lebih santai.

Manda membalik badan, melipat tangan. “Peringatanku bukan isapan jempol.”

Senyum Bara malah merekah, tubuh tinggi tegapnya membungkuk, membuat Manda terpaksa mundur selangkah ketika hidung mancung itu nyaris bersentuhan dengan hidungnya. Tatapan itu sulit dihindari Manda, tajam dan mesra. Ini taktik yang membuat Manda sedikit paham. Tapi yang tak dia paham, darah sepertinya malah berkumpul di pipinya yang mendadak merah merona.  “Yang jelas, besok tidak ada kisah Cinderella yang mendadak minta pulang tepat pukul duabelas.”

“Kamu bahkan tidak tahu, kalau kemungkinan besok aku tidak ada lagi di kamar ini.”

“Tuan rumah ceroboh mana yang beritahu perampok di mana letak emas,” sindir Bara terkekeh pelan.

Tanpa sadar seulas senyum ikut mewarnai wajah Manda. “Aku menjadi obsesi barumu setelah gagal mendapatkan saudara sepersusuanmu itu? Hm?” balasnya menyindir.

Bara kembali menegakkan tubuhnya, mengendikkan bahu. “Mungkin. Dia terlalu berharga untukku.”

Entah kenapa Manda tak senang mendengar pengakuan jujur itu, lagi-lagi dia hanya akan menjadi cadangan. Manda membuka pintu kamarnya. “Meskipun besok kamu menggedor pintu ini sampai diusir satpam, aku tak akan membukakannya untukmu.”

Bara menahan lengan Manda. “Aku mendengar dengan jelas nada kecemburuan.”

“Hanya minum bir dua gelas sampai-sampai membuatmu mabuk berat seperti ini? Lucu sekali,” sindir Manda.

“Kamu yang lucu, Nona. Sampai-sampai tak sadar kata-kataku sengaja menjebak. Kukira kamu lebih pintar dari ini. Untuk sekelas wanita simpanan.”

Bibir Manda menipis sesaat, kalimat wanita simpanan, memang tak pernah enak didengar.

Bara tertegun saat Manda malah meletakkan tangannya yang bebas ke dadanya. “Kamarku terlalu luas untuk ditiduri seorang diri,” kata-kata yang meluncur dari mulut Manda sayangnya tidak seperti seorang pelacur yang menjajakan diri, yang biasanya selalu membuat Bara mengerang jijik. Namun, tatapan Manda seakan mengolok-olok dirinya.

Wanita ini begitu tenang dan berbahaya, pikir Bara. Sekaligus begitu menarik perhatiannya. “Kalau aku melangkah ke dalam sekarang juga, kamu pikir, kamu akan lolos begitu saja? Akan kupatahkan leher siapa pun yang naik ke ranjangmu selain aku,” desis Bara.

Tangan Manda malah merambat ke pipi Bara, membuat darahnya menggelegak, menahan amarah dan berahi yang muncul bersamaan. “Lesung pipimu, aku menyukainya.”

Bara menarik jemari Manda dari pipinya, meremasnya. “Jangan bertingkah seperti pelacur di hadapanku.”

“Jadi, hanya kamu yang boleh menjebakku, menggodaku, mengejekku?” Manda masih tersenyum lembut.

“Sampai aku mendekapmu di atas ranjang, itu artinya tak ada lagi jalan pulang, Nona,” bisik Bara.

“Bukan kamu yang menentukan, Sayang.”

Gilakah Bara? Hanya dalam hitungan jam, dia sudah sangat tertarik dengan wanita ini.

Manda melepaskan cekalan tangan Bara yang merenggang. “Selamat malam. Ah, salah. Selamat pagi,” katanya sebelum menghilang dari balik pintu, meninggalkan sorot mata tajam itu.

Begitu pintu tertutup, Manda menyandarkan diri dengan lemas ke pintu sambil meremas dadanya. Jantungnya berdetak begitu kencang, apa yang telah dilakukannya tadi? Kegilaan macam apa ini yang tengah merasukinya? Tetapi herannya Manda menyukai saat dirinya berpura-pura menjadi pribadi yang lain.

 

***

 

Bara tak sampai memaksa petugas hotel untuk membukakan pintu kamar Manda. Karena bel yang berulang kali ditekannya akhirnya menemui tujuan, Manda membukakan pintu.

“Apa yang perlu kupersiapkan untuk perjalanan kali ini?” tanya Manda dengan tampilan khasnya, dress panjang motif kain daerah, sandal bertali, selendang membalut di leher, dan rambut tergulung ke atas. Namun, wajah manis, cerah, serta bulu mata lentiknya sulit dilupakan.

“Tidak ada.”

“Kamu yakin? Aku malah berpikiran mengantongi nomor petugas keamanan hotel atau polisi setempat.”

Sudut bibir Bara terangkat. Wanita unik ini, pikirnya. “Nggak ada bukti kuat aku menculikmu sementara CCTV telah melihat kita berjalan layaknya pasangan.”

Bara mengulurkan tangannya.

“Haruskah aku menyambutnya?” tanya Manda kembali.

“Jalan yang kita lalui sama sekali tidak mulus, aku malah yakin kamu akan menggenggam tanganku tanpa diminta.”

Saat Manda akhirnya menggenggam jemari Bara yang tak bisa dikatakan halus itu, Bara seakan membuktikan kata-katanya. Jalanan yang mereka lalui memang tak mulus.

Mobil jeep 4 Wheel drive yang dibawa Bara mengantarkan Manda menikmati perjalanan yang tak pernah disangka-sangkakan sebelumnya. Bukan ke pantai, mobil malah melintasi jalanan pedesaan. Manda harus mengakui menikmati hamparan sawah dan pemandangan yang tersaji di depan mata.

“Aku ingin menenggelamkanmu ke dasar Gunung Agung,” kata Bara, Manda tahu itu hanya candaan meski tak diungkapkan dengan nada bercanda saat Bara menghentikan kendaraan dalam radius paling dekat dari yang dilarang untuk dilintasi.

“Kenapa?”

“Bermain api sesungguhnya, bukankah lebih menarik?”

Manda tak menanggapi. Perjalanan berlanjut. Terkadang, dia memang terpaksa menggenggam lengan Bara yang kerasnya seperti batu, saat mobil bergoyang ketika melewati jalanan terjal, berbatu.   

Menjelang siang, mereka singgah ke warung makan, untuk mengisi perut sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Dan sepanjang hari itu, Manda benar-benar tak tahu roda mobil akan membawanya ke mana.

Tubuh Manda bergoncang keras beberapa kali sebelum mesin mobil mati total. Dia kemudian menoleh cemas, “Kenapa?”

“Mogok. Apalagi?”

Mulut Manda terbuka, namun tak mengeluarkan sepatah kata. Pandangannya kemudian menyapu ke sekeliling, hanya ada bukit-bukit berbatu, dengan tanah hitam yang lembek dan becek. Biar Manda tebak, lokasi ini pasti bukan lintasan menuju tempat wisata favorit. “Nggak ada yang bisa dimintai tolong?”

Bara merogoh saku jinnya, dan menyerahkan—setengah mencampakkan—ponselnya ke tangan Manda.

Manda berusaha menghidupkan ponsel Bara. Tapi, percuma. Baterainya habis total. Manda lalu menyodorkan ponselnya.

“Nggak ada nomor yang kuhapal,” sahut Bara, mengambil rokok dan pemantik, menghisap dengan gaya yang enak dilihat. Hingga Manda mendesis, tak adakah yang bisa dilakukan orang ini, pikirnya. Mengapa santai sekali?

“Kamu nggak tau mesin?”

Bara menggeleng. “Jalan satu-satunya menunggu siapa saja yang akan lewat.”

“Sampai kapan?”

“Besok.” Bara mengendik. “Atau besoknya lagi.”

Manda mendengus, kemudian mencari kontak seseorang di ponselnya sebelum Bara merenggut dengan kasar. “Satu-satunya orang yang akan kamu hubungi pasti kekasihmu itu.”

“Kalau kamu nggak punya solusi aku harus cari jalan keluar lain, kan?” balas Manda.

“Dengan mendatangkan kekasihmu lalu melihatmu dengan laki-laki lain? Cerdas sekali.”

Manda terenyak, panik membuatnya tak berpikir panjang. Malah besar kemungkinan jika Bara dan Dimas saling mengenal.

“Apa ekspresimu akan seperti ini juga jika bertemu dengan istri kekasihmu, hm?”

Manda melirik seringai Bara. Tak menanggapi, kemudian dia menyandarkan tubuhnya ke jok, mengatur napas agar tetap tenang, membiarkan Bara menikmati cerutunya. Angin berdesau, membuat Manda semakin merapatkan selendangnya. “Jadi, kita akan bermalam di sini?”

Bara mematikan rokoknya. Wanita ini memang begitu cepat menguasai dirinya. “Kalau aku berhasil menjalankan mesin mobil ini, kamu akan menghadiahiku apa?”

Manda mengambil sejumput rambutnya menariknya ke belakang daun telinga. “Kamu mengerjaiku lagi?” katanya sambil menoleh. “Biasanya mereka yang berani meminta hadiah, adalah orang-orang yang yakin akan menang.”

“Mobilnya nggak akan menyala sebelum kamu menyebutkan hadiahku.”

“Kalau begitu aku akan menyebutkan hadiahnya begitu mesin mobil menyala.”

Manda memperhatikan Bara yang menstarter mobilnya dan menyala. Lihat, kan? dia kembali dipermainkan. “Dasar curang!”

“Katakan apa hadiahku?”

“Nggak ada hadiah untuk orang curang.”

“Aku butuh break sebentar sebelum melanjutkan perjalanan, nggak salah kan?” Bara tersenyum, Manda mengalihkan pandangan ke depan, lesung pipi itu begitu memabukkan. “Tapi sepertinya aku malah dapat bonus.” Setir Bara membelok sebelum melanjutkan. “Menikmati ekspresi panikmu.”   

Bagaimanapun, air muka Manda tak boleh mengakui, kalau pria di sebelahnya kini, begitu cepat mengaduk-aduk hatinya.

Pandangan Manda menemui bibir pantai. Sepi pengunjung. Meskipun ombaknya cukup tenang, tetapi disekelilingnya berbatu.  Pasirnya tidak putih.

“Mau turun?” Manda baru hendak menjawab, Bara melanjutkan. “Eh, tapi sebaiknya jangan, kita nggak bisa berlari-larian mesra kalau kakimu nggak mau tersandung batu.”

Refleks Manda memukul pundak Bara gemas. Pria itu terbahak, menampilkan deret giginya.

Manda baru akan menyandarkan tubuhnya kembali ke jok, sebelum napasnya tertahan karena Bara menariknya dalam rangkulan.

Lengan Bara memenjarakan tubuh Manda, logikanya meneriakinya untuk menarik diri, tetapi sudut hatinya yang lain malah terlena, apalagi saat tatapan Bara seolah mengintruksikan kepalanya untuk bersandar.

“Ini pertemuan kita yang ke berapa kali?” tanya Bara, meletakkan dagu ke kepala Manda.

“Hitung saja sendiri.”

“Tapi kamu sudah berada dalam rangkulanku.”

“Kamu yang memaksa.”

“Kamu nggak nolak, berani bertaruh kamu juga sebenarnya tertarik denganku?”

Manda mendongak. “Aku bisa saja tertarik denganmu, dengan si  A, B C, memangnya kenapa? Aku simpanan, dan bisa tertarik dengan pria mana saja yang penting menguntungkan.”

Saat kepala Bara mendekat Manda bisa menebak apa yang akan terjadi, dingin semilir angin bertabrakan dengan panas dalam jiwanya. Begitu merasakan bibir lelaki lain di bibirnya tak sadar seteguk saliva membasahi kerongkongan.

Maaf Mas, aku akan menutup cerita ini begitu sampai di Jakarta, kata Manda dalam hati ketika membalas ciuman mesra Bara. Tidak menyangka tampilan sangar pria ini, mampu menciptakan pangutan yang lembut dan menuntut.

Manda meremas pundak Bara saat menarik wajahnya, napasnya tak lagi teratur, darah yang telah berkumpul di pipi menciptakan rona semerah tomat, perutnya meledak-ledak menerbangkan banyak kupu-kupu.

“Kamu terlihat gugup, harusnya kamu pengalaman,” bisik Bara tak berhasil menyingkirkan semarak rambut Manda yang terbang mengenai wajahnya. “Merasa berdosa mengkhianati seseorang?”

Bibir Manda tak membalas serangan Bara, hanya retina matanya yang tak teralih dari sorot mata Bara. Bara kembali memiringkan kepalanya, melekatkan bibirnya, ciuman lembut membelai diterima Manda dengan hati-hati seraya memejamkan mata. Seolah tak ingin cepat berlalu. Saat itu juga, ada yang tak beres dengan diri Manda, seharusnya dia tak melibatkan perasaan apa pun.

 

==========================================================

 

Kedelapan

 

“Jadi pulang besok?”

“Hm.”

“Hmm... apa Manda?”

“Iya.”

“Oke. Jangan lupa kabarin kalau udah sampai.”

“Iya.”

“Sekarang lagi apa?”

Manda menggigit bibir bawahnya, diliriknya Bara tanpa menoleh. Manda berharap Bara bersikap biasa saja, atau minimal mengalihkan pandangannya, karena yang ada sekarang Bara malah terang-terangan menunjukkan perlawanannya, menatap Manda seolah akan menelannya hidup-hidup.

“Jalan-jalan. Di luar.”

“Ini sudah jam berapa Manda? Kamu sendiri kan? Cepat kembali ke kamar hotelmu.”

“Hm, ya.”

“Oke, ini Mas juga mau pulang. Mas tutup.”

“Ya.”

Dibawah kendali Dimas Manda tak pernah merasa segentar ini. Debaran jantungnya juga tak pernah sekeras ini. Dari sorot matanya bisa dilihat, kalau Bara adalah seseorang yang akan mempertahankan yang dia miliki dengan kukuh.

Tapi, siapa dia? Manda tak harus bertekuk lutut secepat ini, kan? Namun, semakin dia menyangkal, semakin rasa penasaran ini membuncah. Berhadapan dengan Bara seolah memacu adrenalin.

“Kebohongan yang ke berapa?”

Manda tak menanggapi, dia memasukkan ponsel ke dalam tas kecilnya. Bara masih menahannya di pinggir pantai. Cuaca sore—hampir malam—dengan embusan angin membuat dingin menusuk ke kulitnya, ditambah dengan pakaian berbahan tipis yang dikenakan. “Bisakah kita pulang sekarang?”

“Silakan turun dan jalan kalau kau mau pulang!”

Bibir Manda menipis dengan mata berkedip. Namun, pandangannya tetap lurus. Nada bicara Bara jelas sekali menunjukkan kalau pria itu sedang emosi. Apa sebabnya? Hanya karena dia mengangkat panggilan telepon Dimas?

“Kamu yang mengajakku keluar seharusnya kamu juga yang mengantarku pulang.”

“Itu seharusnya. Kamu pasti sadar sejak awal aku bukan pria ‘seharusnya’. Jika kamu bersamaku, maka aturanku yang harus kamu ikuti.”

“Menyeramkan sekali.” Komentar Manda, tanpa menoleh.

Di sampingnya, Bara tengah menggeram, kepalanya mendadak pusing dengan perubahan mood yang tiba-tiba. Dari senang bukan kepalang menjadi marah luar biasa.

Bara mendesah kasar, kembali mengambil rokok dari sakunya. Herannya, nikotin kali ini seperti tak bekerja maksimal, pikirannya tetap semrawut. Dengan Ayu, meski berjuang hingga titik darah penghabisan, sejak awal Bara seolah telah mempersiapkan diri, kalau sesuatu yang tak sesuai keinginannya akan terjadi. Namun, dengan wanita di sampingnya ini? Bara tak menghitung kekurangannya, karena sejak tadi otaknya berpikir, apa kelebihan yang dimiliki pria itu hingga Manda tetap bertahan.

Mereka bertahan dalam jeda.

Manda tersentak saat tiba-tiba Bara memukul setir. Orang lain yang berada dalam posisi Manda pasti mengira laki-laki ini sudah gila, dan akan berlari sejauh mungkin. Namun, ini pasti hanya manifestasi dari rasa kesalnya yang membludak. Dan Manda sadar, Manda lah penyebabnya. Pria ini hanya besar harga diri, dan tak suka jika segala sesuatu tak sesuai keinginannya. Manda tak menyangka dia mampu memahami Bara secepat ini.

Manda menyentak Bara dengan genggaman tangan dinginnya ke lengan Bara. Pria itu menoleh. Rahang itu sejak tadi mengeras, dan sekarang mata itu diliputi tanda tanya.

“Sebentar lagi aku akan mati kedinginan.”

Bibir Bara menipis. Rayuan licik, batinnya, sambil membuang puntung rokok ke bawah mobilnya dan menginjak cepat. Sekarang tangan Manda malah mengelus tengkuknya.

“Kamu tahu sejak awal kamu bukan siapa-siapa. Baru beberapa jam berlalu, tapi seolah-olah kamu langsung bisa menggenggam hidupku. Sadarlah, sebelum kemarahanmu semakin besar.”

Degupan jantung Bara berdetak di atas normal. Darah sudah mengupul di kepala. Secepat yang tak disangka Manda tubuh kekar itu telah maju dengan bibir menekan kasar ke bibir Manda. “Seharusnya kamu matikan ponselmu,” desis Bara ketika membuat jarak menyisakan ujung hidungnya yang bersentuhan dengan hidung Manda.

“Bau rokok,” komentar Manda yang membuat Bara memejamkan mata sejenak jika tak ingin kepalanya meledak.

Napas Bara tertahan saat Manda mengecup bibirnya, kali ini penuh kelembutan. “Masih—bau rokok,” katanya berbisik.

Tatapan Bara mengunci, sumpah serapahnya tak akan berguna jika seluruh hatinya saat ini setuju kalau wanita ini yang diinginkannya. “Kamu seperti menganggapku lelucon.”

“Kamu yang beranggapan seperti itu.”

Euforia dalam hati Manda melesak keluar saat tangan kanan Bara menyentuh pipinya, gerakan lembut teraturnya, membelai pipi Manda. Kebanggaan tersendiri bagi Manda saat dia sementara ini berhasil mengatur tombol on-off suasana hati Bara.

Namun, semua itu tak berlangsung lama saat kata-kata Bara meremas hatinya.

“Tidak. Kamu hanya bermain-main, dan merasa menang karena bisa mempermainkanku. Aku terbiasa dengan permainan wanita macam kalian.”

 

***

 

Manda tak bisa mengalihkan diri. Berulang kali dia mendapati dirinya secara sadar menatap Bara. Engsel di lehernya seakan rusak dan hanya bisa menoleh ke pria itu. Hal gila apa yang telah dilakukannya hari ini. Namun, Manda sangat ingin menghapus kosakata ‘menyesal’ dari kamusnya. Karena pada kenyataannya, dalam keheningan perjalanan pulang, nama Dimas berulang kali muncul dalam benaknya, dan hatinya malah dipenuhi sosok laki-laki disebelahnya.

Desahan kecewa lolos dari bibir Manda saat Bara menurunkannya di depan hotel tanpa sepatah kata. Memelesatkan mobilnya tanpa menoleh sekali lagi. Kenyataannya sepanjang perjalanan pulang sepertinya bukan hanya dia yang berpikir. Mungkin pria itu juga berpikir, kalau wanita sepertinya sama sekali tak layak untuk disambut.

Manda masuk ke kamar hotelnya dengan suasana hati yang tak bisa dikendalikan. Seharusnya inilah yang dia inginkan, Bara berhenti mengganggu. Atau mungkin yang dikatakan Bara tepat. Dia hanya sedang bermain-main, sedikit lagi menang, dan Bara malah menggagalkan kemenangannya.

Manda menanggal satu per satu pakaian yang melekat setelah mengatur air dalam bath up, lalu menenggelamkan seluruh tubuh ke dalam air. Saat napasnya mulai tersengal, baru kepala Manda muncul ke permukaan. Manda, dalam sedikit isi kepalanya yang mulai memperoleh ketenangan, mengatakan hanya akan ada Dimas, selamanya. Dia meredam suara-suara kecil lainnya.

Berjam-jam dihabiskannya dengan berendam, hingga kulitnya mengeriput. Masih mengenakan bathrobe ketika bel berbunyi.

Keningnya mengerut, tak ada layanan kamar yang dipesannya.

Bel itu berbunyi lagi. Hingga Manda yakin ini bukanlah layanan kamar. Matanya kemudian melebar, mungkinkah?

Entah bagaimana ceritanya langkahnya ingin segera sampai ke depan pintu dan membukanya. 

“Aku beri kamu satu kesempatan. Besok aku akan datang lagi. Jika kamu tak muncul membukakan pintu. Aku akan melepasmu,” ucap Bara dalam satu tarikan napas.

Manda seolah kehilangan kemampuan mengerjapkan matanya, ditatapnya pria itu lekat, pria yang masih memakai baju yang sama seharian ini, dengan rambut yang tak ada rapi-rapinya, matanya juga sedikit memerah tapi tak melunturkan ketegasan yang terpancar. Tampaknya dia begitu seriusnya, hingga Manda tak lagi berpikir bagaimana bisa pria ini justru menekannya dengan memberikan penawaran, bukankah seharusnya Manda yang berkata demikian?

Bola mata Manda tergelincir saat seiring dengan langkah mundur Bara.

Bersamamu aku seperti sedang berjudi. Rasanya, ingin memasukkan koin dan hatimu lah yang terpilih. Tubuh Manda kaku, sekali saja dia melangkah maka habis semuanya.

Namun, hatinya... Langkah Bara semakin jauh. Gumpalan saliva sulit meluncur, dingin merambati seluruh tubuh Manda.

Dimas. Dimas. Dimas. 

Tetapi kenapa justru pria ini begitu menarik hati serta fisiknya.

 

Saat mulut Manda seperti merapalkan nama itu, langkah kakinya justru menuju Bara yang menunggu pintu lift terbuka.

“Aku mencintaimu Manda, seumur hidup kita akan bersama.” Ucapan Dimas melayang-layang dikepalanya.

Pintu lift terbuka, saat Bara sadar kehadiran Manda.

“Aku tidak bisa. Dia sudah ada, bertahun-tahun mengisi, sebelum kehadiranmu yang bahkan baru beberapa hari saja.”

“Bagiku seseorang itu wajib dimiliki. Kamu benar-benar menarik perhatianku. Gunakan kesempatan ini bagus-bagus. Pergi dariku. Aku tidak ingin berhubungan seks dengan wanita yang memikirkan pria lain.”

Undangan Bara mengejutkan. Tubuh Manda bergetar. Dimas selalu memberinya kenyamanan meski tak berani memplokamirkan hubungan mereka ke hadapan orang-orang. Namun, lelaki ini? Gilakah dia? Tetapi kenapa jiwanya begitu tertantang?

Lift kembali tertutup, selama beberapa detik mereka memakukan tatapan.

“Ck,” decak Bara kembali menekan tombol lift. “Masuk sana. Pakai baju dulu kalau mau keluar lagi,” sambungnya dengan tak lagi menatap Manda.

Bara terkejut saat sebuah tangan menarik lehernya dan bibir lembut telah bersarang di bibirnya. Sebelah tangan Bara dengan sigap menahan pinggang Manda yang tengah berjinjit ketika lumatan itu berlanjut. Sebelah jemari wanita itu membelai turun dari leher ke dadanya.

Aku menyesalinya. Aku pasti menyesalinya. Batin Manda.

Bara menyentak mundur kepalanya, meski sebagian dirinya tak rela mengakhiri ciumannya begitu saja, namun bunyi lift yang terbuka ditambah keberadaan mereka di luar ... Argh... Bara segera menarik tangan Manda menuju pintu kamar.

Dan...

“Pintunya terkunci,” gumam Manda.

Pria yang emosinya doyan naik turun itu sudah pasti mengacak rambutnya kesal. “Tunggu di sini!” tukasnya malah membentak dan berbalik dengan langkah lebar.

Namun baru sesaat dia malah kembali lagi, dengan setengah kaget Manda menerima ciuman panas Bara. “Jangan berubah pikiran sampai aku kembali. Awas kau!” ancam Bara yang kemudian berlari. Dia terlihat memaki-maki saat pintu lift belum juga terbuka.

Sementara di lain sisi, Manda sibuk mengontrol detak jantungnya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Left Shadow
Selanjutnya Left Shadow [Bab 9 - Bab 12]
37
4
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan