
Blurb :
Amanda Falani terperangkap dalam hubungan yang rumit bersama pria beristri. Awalnya Manda tak ingin pergi dari Dimas, dia hanya ingin hidup aman sebagai simpanan. Namun, lama-kelamaan dia kesepian, dan sikap Dimas yang tak ingin melepaskan keluarganya, membuat Manda merasa gelisah, dia tak lagi merasa aman. Dia ingin pergi, ingin melepaskan diri.
Suatu tragedi mempertemukannya kepada pria bernama Bara. Pria yang juga mempunyai hubungan rumit dengan Ayu—istri Dimas. Pria yang telah menarik...
Kesatu
Manda memberi sentuhan terakhir di bibirnya. Warna kesukaan Dimas, merah bata. Kata Dimas tiap kali Manda memakai warna itu, Dimas ingin mengurungnya seharian di kamar. Dan sikap posesif Dimas timbul ketika melarangnya memakai lipstik warna tersebut saat di keramaian. Jadi, Manda hanya bersiap dengan lipstik yang sengaja disimpannya khusus itu saat bersama dengan Dimas.
Dress berwarna marun melengkapi penampilan Manda malam ini. Dilihat sekilas dari balik cermin, dia seperti hendak ke jamuan makan malam di restoran berkelas. Malam ini sangat istimewa, Manda tak ingin melewatkan setiap momennya. Ujung rambut hingga kaki terlihat memesona. Tapi, sayangnya, penampilan seperti ini tak pernah Manda bawa keluar dari unit apartemennya. Sebab segala perayaan akan dilakukannya di sini, bukan hotel atau restoran mahal, apalagi acara romantis di pinggir laut.
Manda melangkahkan kaki jenjangnya, ketika bel apartemen berbunyi. Sejak usia dua puluh tiga dia sudah bersama lelaki ini. Dan kini menginjak dua puluh delapan. Itu artinya lima tahun sudah bersama, dia masih akan menantikan lelakinya. Dimas Hanafi, pria berusia tiga puluh lima itu berhasil menarik perhatiannya sejak awal bertemu.
Begitu pintu terbuka Dimas mengamati penampilan Manda dari atas hingga ujung kaki. Terkesima dengan keanggunan dari wanita di hadapannya dengan rambut panjang yang dibiarkan tergerai, seperti kesukaan Dimas. Begitu mendekat hal pertama yang dilakukan Dimas adalah meraih pinggang Manda dan mendaratkan jempol tangan kanannya ke permukaan bibir.
“Apa ini? Ingin aku menyerang sebelum menyantap makanan lezat buatanmu?”
Manda menarik jempol Dimas, dan memberinya kecupan singkat di pipi, memakai sepatu hak lima senti membuatnya bisa menjangkau pipi Dimas. Untuk ukuran wanita 168 cm tak bisa dikatakan pendek, tetapi untuk ukuran pria tinggi seperti Dimas memang butuh usaha lebih untuk menjajarinya. “Nanti dulu, malam ini spesial. Aku masak makanan kesukaan Mas, opor ayam, dan bisa dipastikan nggak pedas.” Lidah Dimas sangat sensitif dengan masakan pedas, sementara Manda kebalikannya.
“Dibandingkan dengan masakan lezatmu, aku lebih penasaran dengan hal spesial apa yang ingin kamu sampaikan. Dan lihat penampilanmu yang begini. Aku yakin sangat-sangat spesial.”
Telapak tangan Manda mendarat di dada Dimas yang masih bersetelan jas lengkap. “Iya, dan aku akan mengatakannya setelah kita selesai makan. Oke?”
Di atas sebuah meja bundar telah tersedia hidangan makan malam. Manda benar-benar menyulap ruangan malam ini seolah di restoran berbintang, lengkap dengan lilin.
“Sejak tadi, aku berpikir apa hari ini ulang tahunku. Nyatanya bukan. Aku sungguh penasaran,” gumam Dimas lagi mengecup kening Manda sebelum duduk di kursi meja.
“Jangan paksa aku mengatakannya sekarang.”
“Kalau aku memaksa?”
Manda mengerjap. Kemudian tersenyum, “Tapi jangan kali ini.”
“Kamu nggak pernah menolak perkataanku, kalau-kalau kamu lupa.” Dimas mengedipkan matanya.
Manda berpura mendengus, lalu dengan gerak pasti malah mengambil sesuatu dari dalam saku dressnya. Dia juga tak sabar memberikan berita bahagia ini. Sebuah kotak berbentuk persegi panjang dengan ikatan pita diatasnya.
Alis Dimas terangkat ketika meraihnya. Dengan tak sabaran kemudian membuka isi yang ternyata adalah...
“Testpack?”
Senyum di wajah Dimas menyurut berganti dengan kilat panik.
“Iya... dan hasilnya positif.”
Jemarinya terulur menggenggam jemari Manda erat, sedikit terasa dingin. Manda masih memercayai kemungkinan sebab pengaruh AC ruangan. Awalnya Dimas memang menyuruhnya menggunakan pengaman, tapi setahun terakhir Manda menyatakan niatannya untuk memiliki teman. Ya, teman seumur hidup, bayi mungil. Dimas sempat terkejut, tetapi setelah mengetahui alasan Manda, Dimas tak terlalu mau ambil pusing, lagi pula belum tentu langsung jadi.
“Kamu yakin? Benar-benar sudah memeriksanya?”
Manda mengangguk. “Testpack ke sepuluh. Hasilnya semua positif.”
“Belum ke dokter?”
Manda menggeleng. “Rencananya besok lusa.”
Dimas menghela napas sebelum melepaskan genggaman tangannya. “Kelihatannya enak,” gumamnya sambil mengambil sendok.
Manda membiarkan pembicaraan terputus. Makan malam dengan saling diam. Tak seperti sebelumnya, karena biasanya, ada saja pembicaraan yang mewarnai santap malam mereka.
“Kamu harus segera mengundurkan diri,” kata Dimas setelah meneguk gelas air putihnya.
Ada golakan amarah dalam diri Manda, namun yang terjadi pada parasnya justru kebalikan. Perlahan, Manda menyimpulkan senyum. “Iya, aku akan menyerahkan surat pengunduran diri besok.” Manda menyendokkan suapan terakhir ke mulutnya, sebelum berkata, “Mas... terlihat nggak bahagia.”
Suara kursi yang tergeser ke belakang menjadi tanda Dimas sedikit terusik. Dia bergerak mendekati Manda, lalu berlutut. Manda sedikit terperangah ketika memutar posisinya.
Senyum lembut menghiasi wajah Dimas. Dan seketika ketenangan membanjiri Manda. Ditambah dengan Dimas yang mengecup perutnya.
“Kamu, separuh dari jiwaku. Kamu mengertikan? Manda, nggak ada akhir untuk kita. Tapi—“ Manda masih menunggu, “—ini terlalu mendadak, aku belum memikirkan cara untuk menyembunyikanmu dan anak kita.”
Manda menggigit bibir bawahnya. Ya, Dimas sempurna, baik fisik dan perangainya. Hanya satu kekurangan, dia seorang pria beristri. Bola mata Manda berpedar sendu, meski tetap mempertahankan lengkungan senyum.
======================================================
Kedua
Apakah hari ini akan berbeda? Nyatanya tidak. Manda memasuki pintu lift kantor dengan langkah konstan.
Beberapa orang yang mengenalnya mengangguk singkat dan dibalas oleh Manda. Bukan tipe pencuri perhatian, apalagi kontroversi. Manda selalu bertingkah anggun di tiap kesempatan. Beberapa nomor asing sempat menyapanya di perpesanan WA, mempunyai sosmed namun jarang aktif. Manda seolah menjadi mahkluk tak terjamah.
Melirik sekilas ke pintu ruangan Dimas sebelum duduk di kursi kerjanya. Tak lama langkah kaki Dimas menarik perhatian Manda. Pria itu menoleh sesaat sebelum membuka pintu kerjanya.
Perusahaan mereka bergerak dalam bilang otomotif yang dipercaya sebagai Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) sejumlah perusahaan otomotif besar. Dimas bukan pencetus pendirian perusahaan, Ayahnya lah yang bekerja keras merintis usaha dari bawah. Tetapi, sejak kursi pimpinan dijabat olehnya, perusahaan mereka memperluas mampu outlet. Tahu, tak selamanya berada di atas angin, Dimas melebarkan sayap ke bisnis properti, dan sudah berjalan dua tahun belakangan ini. Hasilnya terbilang lumayan. Apalagi Manda tahu Dimas sangat pantang menyerah. Apartemen Manda, kerap menjadi sasaran lembur.
Manda mengambil bungkusan tisu basahnya dan mulai mengelap satu persatu peralatan kantor di atas meja kerjanya. OB sudah membersihkannya Manda tahu itu, tapi kebiasaannya untuk yang satu ini sulit untuk dihilangkan. Berhubungan dengan Dimas semakin menambah kegilaannya akan kebersihan. Untuk yang satu ini, Manda sangat meyakini dia dan Dimas memang berjodoh, mereka setipe.
Setelah memeriksa beberapa email, dan membuat jadwal dua hari ke depan untuk Dimas, Manda beranjak, menuju ruangan Dimas.
Dimas tak pernah bersantai di ruangannya, Manda sangat tahu itu. Bahkan dia lebih suka menghabiskan jadwal istirahatnya di ruangan, terkecuali ada kerjaan diluar. Si penggila kerja. Dimas sering bergumam hanya Manda yang mengerti dirinya. Entah itu pujian atau apa, yang jelas, tiap kali Dimas berkata seperti itu, Manda merasa dirinya berharga.
Manda berdeham singkat, membuat perhatian Dimas dari kertas yang berserakan di hadapannya teralih.
“A—Um. Saya, harus menyerahkan surat resmi ke HRD atau bagaimana?”
Dimas memandang datar sesaat sebelum berkedip. “Tidak usah. Biar saya yang urus, dan memberi alasan. Takutnya, ada selentingan tak enak di belakang.”
Manda mengangguk, mengulum sejenak bibir bawahnya sebelum berkata. “Pak, saya mau izin pulang lebih cepat.”
Dimas mengangguk. “Kamu butuh istirahat banyak.”
Hanya begitu saja tanggapan Dimas. Manda terbiasa. Bukan hubungan bos dan sekretaris yang melakukan flirting tiap kali berduaan dalam satu ruangan. Dimas, tipe yang menekuni pekerjaannya, mampu mengkoordinir isi pikirannya, dan lebih lagi, Manda salut dengan sikap profesionalnya. Tidak, segala yang ada dalam diri Dimas membuatnya salut, pengertian, dan selalu membimbingnya. Bahkan untuk hal pekerjaan yang pada awalnya hampir membuat Manda putus asa saking merutuki diri karena kebodohan kecil namun fatal dan Dimas dapat mentolerir.
Dimas membuat pribadinya yang introvert akut menjadi berani tampil di hadapan orang banyak. Mengikis sedikit demi sedikit pribadinya yang tak percaya diri. Mengeraskan isi dalam kepala, seiring dengan pemikiran, kalau dia berhak mendapat yang lebih baik dari ini. Lebih dari sekadar cadangan. Busuknya, simpanan.
Manda bergerak mundur. Stilettonya, bersahutan beberapa kali sebelum telinganya mendengar pergerakan lain. Lengan besar membungkus tubuhnya dari belakang. Dimas tidak pernah seperti ini. Keluar dari koridor atasan dan bawahan saat di kantor. Buncahan dalam hati Manda tiba-tiba menguar. Barang kali...
“Aku akan ke Jepang lusa.” Ya, Manda tahu dan kali ini akan cukup lama, dua minggu, bisa lebih. Dimas mengecup pipinya. “Dan, aku akan sangat merindukanmu.”
“Itu artinya besok masih sempat menemani ke dokter, kan?”
Dimas memutar pinggang Manda membuat mata mereka saling bertemu. “Aku menjamin seluruh hidupmu. Ada atau tidak ada anak ini.” Dimas mengecup bibir Manda singkat. “Semuanya untukmu Manda—“ dahi mereka bersatu. “—kecuali status, kamu paham kan?”
Manda mengambil napas sebelum bertanya. “Aku prioritas ke berapamu?” Kening Dimas berkerut tak suka. “Jika semua digabungkan. Kamu, aku dan ... keluargamu.”
Manda tahu Dimas pintar, bahkan dalam hal meyakinkan hatinya. Tetapi, semalaman dia tanpa sengaja memutar kembali memori kelamnya. Keluarga utuh, itu impiannya.
“I love you, Amanda Falani. Nggak ada yang berubah dari itu.”
“But, you love your wife too?”
“I love my family. Dan kamu di sisi yang berbeda. Udah berapa kali aku bilang, saat bersamamu, aku berada di dunia berbeda. Hanya kita.”
Sorot mata Manda merendah. “Aku—“
“Jangan berpikir terlalu jauh. Kamu, percayakan? Aku bukan orang yang lari terbirit-birit hanya karena kamu mengaku hamil.”
Manda menghela napasnya. Membetulkan kerah kemeja juga dasi Dimas. “Aku ingin melakukan ini, setiap harinya. Menyiapkan pakaianmu. Memasakkan makanan untukmu—“
“Manda dengar.” Dimas meraih wajah Manda. “Kamu harus percaya kalau hanya aku orang yang bisa melindungimu.” Dimas menekankan kata-katanya sebelum melumat bibir Manda. Di titik ini, Manda selalu terjerembab. Ya, yang dia butuhkan memang hanya Dimas.
***
Kontras dengan wajahnya yang tenang Manda menyimpan segudang prasangka di kepala. Langkahnya kali ini bukan lagi berani, tetapi nekat. Dan jika ujungnya Dimas tetap memilih mempertahankan istrinya, akan ada lebih dari sekadar goresan luka yang menambah panjang daftar kesakitannya.
Dimas, pria itu segalanya bagi Manda. Baik, pintar, dewasa. Yang terutama, pria itu mampu membuatnya merasa nyaman dalam artian tak ingin lepas. Dan, bertahun-tahun Manda berhasil mengikuti perkataan Dimas. Menyerahkan diri seutuhnya kepada Dimas. Hanya kali ini, Manda akan melakukan sesuatu, demi bayi dalam kandungannya.
Tangan Manda yang mencengkeram pegangan pintu kaca akhirnya menguakkan perlahan. Di sudut ruangan, tepatnya di balik sebuah meja melengkung, berdiri seorang wanita anggun berpenampilan modis. Sedang mengurusi beberapa hal dengan pekerjaannya.
Manda tak lantas mengarahkan langkahnya ke sana. Melainkan ke arah yang lain. Memilah deretan baju yang tergantung dengan pikiran penuh. Berada di butik istri Dimas, Mahesa Ayu, adalah kejadian langka. Dua kali, ya, Manda mampu menghapal dengan jelas, karena selebihnya, beberapa kali pertemuannya dengan Ayu adalah saat perusahaannya mengadakan perayaan.
“Hai,” sapaan ringan itu membuat Manda membalik badannya. Senyum ramah yang menghiasi wajah Ayu melonglongkan jeritan di rongga dada Manda. Betapa dia ingin mengakui semua kebenaran di hadapan wanita ini, pada ujungnya hanya kebungkaman yang terjadi. Tetapi, kali ini berbeda, ada kehidupan lain yang bersarang di rahimnya.
Untuk kali ini, Manda harus mengakui semuanya, setidaknya meminta atau bahkan memohon, agar wanita ini rela membagi Dimas untuknya.
“Tidak kerja?” tanyanya lagi. Dengan pandangan mata menyusuri pakaian hasil rancangannya sendiri. “Cari baju untuk acara ya? Ingin yang seperti apa?”
“Um... itu, Bu.”
“Oh, sudah berulang kali saya katakan jangan panggil Bu, terkesan sangat tua. Sybil masih dua tahun,” papar Ayu menyengir lebar.
Suatu hal lain menohok batin Manda, tutur lembut wanita di depannya bahkan mampu melelehkan pria mana pun, hal-hal tak masuk di akal sering mengerogotinya. Ayu sempurna, cantik, pintar, dan memiliki keturunan. Apa yang sebenarnya diharapkan Dimas darinya? Benarkah hanya rasa cinta yang menggebu-gebu?
“Jadi, baju seperti apa yang kamu inginkan? Saya bisa memberikan potongan harga.” Ayu mengedipkan sebelah matanya. Hal yang patut di syukuri dalam kepenatannya belakangan hari ini adalah Amanda Falani yang menjadi sekretaris merangkap personal asisten suaminya. Wanita santun dengan gaya berpakaian normal ini, membuat hatinya sedikit tenang karena panggilan misterius suaminya malam itu pasti bukan untuk wanita ini.
“Um. Manda... apa belakangan hari ini Bapak banyak bertemu dengan klien wanita?”
Sebelah alis Manda tertarik ke atas. Apakah wanita ini sudah menangkap kecurigaan? Atau ini sudah waktunya menuntaskan semuanya di sini?
“Itu—“
“Bu,” panggilan lain membuat Ayu berbalik. “Oh, silakan memilih, nanti bilang ke kasir kalau kamu kenalan saya. Okay.” Ayu menyudahi perbincangan begitu saja.
***
Menganggur, Manda tak bisa menghilangkan rasa suntuk di kepala selain membersihkan perintilan yang ada di kamar, membaca artikel dengan tak satu kalimat pun menyangkut di kepala. Bahkan mengundurkan rencana kunjungannya ke dokter kandungan. Dia ingin Dimas menemani, dan akan menunggu Dimas sampai dia bersedia.
Lalu sekarang?
Jika dia mengatakan yang sesungguhnya, apa Dimas akan membencinya? Atau bahkan meninggalkannya?
Sejam yang lalu, panggilan Manda hanya berakhir ke mailbox, Dimas tak pernah bisa di ganggu jika dalam perjalanan dinas.
Setahun atau bertahun-tahun berikutnya dia pasti masih akan mengikuti kata-kata Dimas. Dan parahnya, buah hati mereka akan menjadi sepertinya, tak dianggap. Kesakitan separah apa yang belum pernah dihadapi Manda, bahkan jika Ayu menarik rambutnya hingga rontok, Manda akan tetap melakukan kegilaannya.
Demi bayinya, demi impiannya bersama dengan Dimas.
Sebuah taksi membawa Manda ke tempat yang sama seperti dua hari yang lalu. Butik D’Mahesa berada 20 meter dari jalan raya, dengan sisi jalan setapak cukup untuk dilalui satu mobil sedang di sisinya ditanami tumbuhan hias merambat.
Kerikil membuat langkah Manda berlalu perlahan. Matanya memicing saat papan ‘Close’ tergantung di pintu.
“Tutup,” gumamnya dengan nada sedikit kesal. Dia menghela napas panjang sebelum mengitari pandangan dan mendapati mobil Ayu berada di sisi kiri.
Dengan mengulum kuat bibir bawahnya, Manda meyakini ini kesempatan emas yang dimilikinya. Perlahan tapi mantap, dia membuka pintu kaca yang memang tak terkunci.
Kosong, tak ada siapa pun. Mungkin di taman belakang? Batin Manda. Butik yang tak terlalu luas, bernuansa putih ini memiliki keunikan di bagian taman belakang. Taman yang sengaja di fungsikan untuk pemotretan karya rancangan Mahesa Ayu. Manda yakin saat membuat butik ini, arsitek menyesuaikan bentuk tanah berbelok hingga memaksimalkan ruang yang ada.
Manda belum menangkap apa pun saat kakinya berhenti di conecting door yang mengarah ke taman. Suara desah napas yang bersahut-sahutan menghentikan aliran darah Manda seketika, ada kegugupan luar biasa saat dia memberanikan diri melangkah lebih.
Kali ini sedikit mendapat jawaban sosok bertubuh tinggi berlengan kekar tengah melingkupi tubuh wanita mungil di hadapannya. Saling berdiri dengan kepala menunduk. Tato di sekitaran lengan pria itu membuat tubuh Manda bergidik hingga menjatuhkan manequin yang tak sengaja jadi sandarannya tangannya.
Sepasang mata terkesiap memandangnya dengan wajah bersemu merah, seperti menahan amarah. Tak lantas menghampiri Manda, pria itu justru memeluk erat tubuh wanita yang baru saja dicumbunya panas. Wanita yang sangat dikenali Manda, mungkinkah suami – istri itu ternyata sama-sama memiliki hubungan terlarang?
Manda menelan ludah dengan susah payah. Dalam keadaan normal, dengan pemikiran pintar dia pasti mengambil ponsel dan mengabadikan semuanya. Tapi, ketakutannya sekarang yang sekonyong-konyongnya datang karena ditatap begitu intens, membuatnya membalik tubuh. Sedikit berlarian hingga mencapai arah pintu.
“Tunggu!” bentakan itu menyulut ketakutan Manda berkal-kali lipat.
Flat shoes yang digunakannya bahkan tak bisa membawanya berlari lebih cepat. Manda menoleh sekali lagi ke belakang, pria itu masih mengejarnya. Sesuatu mengganjal ujung kakinya, membuatnya tak bisa menahan diri untuk jatuh terjerembab.
“Hei!”
Manda tak kuat. Sakitnya bahkan tak hanya di kaki dan lutut, melainkan dibagian bawah perut. Ditengah kepanikannya, kesadaran lain merenggutnya. “Bayiku... bayiku...” gumamnya dengan suara gemetar.
========================================================
Ketiga
Bara mengendap setelah mendapat akses dari Pak Jono, satpam rumah. Begitu sampai di kamar Adiknya dia menarik selimut hingga tubuh cungkring itu terjungkal. “Fuck! Begu!”
“Gue pinjem mobil.” Bara mengubek-ubek laci nakas.
Kesadaran belum sepenuhnya terkumpul. Bimo memegangi pelipisnya seraya menahan jengkel, pusing akibat terbangun mendadak dan pantat yang tak siap menerima rasa sakit. Sedetik setelah tersadar bantal langsung dilemparkan ke tubuh Bara yang masih sibuk, tak memedulikan.
“Ngapain lo pulang?! Gue panggil nyokap nih,” gerutu Bimo, bangkit, kembali meringkuk di ranjang. Gila saja, dini hari sudah ada yang mengganggunya.
“Di mana?” suara gesekan barang-barang sungguh memekakkan. Bimo menyumpal kuping dengan bantal lainnya. Tak lama tubuhnya berguncang. Si Barbara paling rese sedunia. Pergi dari rumah seenaknya, dan datang seenaknya. Jika Papa mereka tidak sedang memastikan kebun sawitnya berbuah lebat, sudah dipastikan, pria bertubuh kekar itu di seret ke jalanan. “Bimbim!”
“Besok gue naik apaan?! Dan jangan panggil gue Bimbim!” amuk Bimo tak kalah. Bimbim panggilan kecil yang sekarang terdengar memuakkan.
“Seminggu, ah nggak sampe. Tapi kemungkinan bisa seminggu. Gue pinjem.”
Bimo merotasi matanya, itu ucapan yang keluar dari mulut laba-laba memang nggak pernah jelas. “Sewa tuh, banyak. Duit lo kan banya. Daripada pake mobil gue bisa dimutilasi Papa lo.”
Bara mengacak rambutnya. Nasib wanita yang berada di rumah sakit—yang dengan tololnya dia tinggalkan karena panik sesaat setelah pintu IGD terbuka membawa wanita itu ke ruangan lain, lalu pergi nongkrong di kafe dengan pikiran suntuk—sekarang berputar-putar di otaknya. Ini gara-gara Ayu. Bodoh memang, dia terus-terusan menyalahkan wanita itu dalam logikanya, namun tetap tak berkutik begitu Ayu menatapnya dengan pandangan sendu.
Dia gila. Sudah lama juga tergila-gila dengan Ayu. Dan wanita itu memanfaatkannya dengan sangat baik. Menjadikannya tong sampah yang siap dimuntahkan uneg-uneg tiap kali ada masalah yang menderanya.
“Oke, malam ini aja. Gue tadi naik taksi, mau balik lagi. Pinjem mobil. Besok gue cari rental mobil.”
Bimo memutar tubuhnya. “Lo kan bisa balik lagi naik taksi. Susahnya di mana?”
Berang, Bara menindih tubuh Bimo. “Komen sekali lagi, lo yang gue campakin ke bawah.”
Takut? Sedikit. Ini penyakit Abangnya ketika panik. Apa dia sedang dikejar-kejar aparat? Menjadi bandar sabu? Tatapan Bimo menyelidik.
“Minggir.” Bimo berdecak. “Lo mau gue pinjemin nggak?”
Bara menyingkir. Kunci berada di tangannya setelah Bimo mengambil dari dalam tasnya. Bimo hanya sedikit lebih rapi darinya, selebihnya sama saja. Sama-sama sering membuat orangtuanya naik darah.
Begitu mendapatkannya Bara segera kembali ke rumah sakit.
Di mana wanita tadi di rawat? Bisa-bisanya Bara salah lantai. Dia terpaksa menaiki lift ke lantai dasar dan kembali menanyakan ke meja informasi. Bara baru melewatkan ulangtahun ke-32 bulan kemarin tetapi tak biasanya dia pikun seperti ini, mungkin karena terlalu panik.
Tidak. Bara tak ingin menyalahkan dirinya sendiri, ini karena rumah sakit ini memiliki banyak lantai, dan dia salah tekan tombol lift. Begitu baru benar.
“Perawat... eh suster maksudnya.” Bara mendengus, kenapa dia harus pusing dengan panggilan yang diberikan untuk wanita berseragam hijau-hijau di hadapannya? “Apa suster tidak tanya berapa nomor telepon suaminya?”
Suster di hadapannya, berdiri di balik meja informasi tampak mengerutkan kening. “Bukannya Anda bilang Anda kerabat dekatnya?”
Bara tertegun. Kebodohan untuk kesekian kali hanya karena mendapati wanita terjatuh akibat kejarannya, dan kesakitan memegangi perut sambil menyebutkan kata ‘bayi’. Dia sadar, sesuatu kesalahan besar menghampirinya sekarang. Wanita itu keguguran, darah Bara langsung berdesir.
“Oke, saya cuma panik. Tadi... saya hubungi suaminya tidak diangkat. Thanks.” Bara mulai melantur. Dan berlalu dari meja informasi.
Dia masih mengenakan baju yang sama sepanjang hari ini. Kenapa dia tidak menggunakan kesempatan untuk mandi di rumah tadi?
Bara terdiam di depan pintu. Hal yang sulit itu adalah mengolah kata, setelah seumur hidupnya selalu bicara ceplas-ceplos. Keadaan ini bahkan lebih parah dari cambukan gesper papanya. Masih kalah jauh, ketika Ayu menolaknya mentah-mentah.
Tubuhnya terasa panas dingin ketika menggeser ruang rawat inap wanita itu. Sekarang, tidak ada gunanya dia latihan memperbesar otot, mentato punggungnya dengan gambar naga.
Suara sepatu bot beradu dengan lantai keramik. Bagaimana Bara menjaga langkahnya tetap saja terdengar. Dan perhatian wanita itu serta-merta teralih.
Bibir Bara terbuka hendak menyapa dengan kalimat apa pun. Namun, tak sampai sedetik wanita itu kembali memalingkan muka. Dan lebih parahnya memejam mata. Sembab. Berengsek! Sudah pasti dia menangis. Bara merutuki dirinya sendiri.
***
“Halo,” sahut Bara malas, setelah berjam-jam berlalu dia baru mengingat menghubunginya sekarang.
“Siapa dia?”
“Siapa?” Dahi Bara berlipat tengah duduk di kursi tunggu, di luar kamar rawat inap wanita itu. Setelah sapaan diam tak bersahabat, Bara memutuskan menunggui di luar.
“Yang lihat kita kemarin, kamu lihat orangnya kan? Bara, please kalau sampe ketahuan keluarga gimana...”
“Apanya yang gimana?”
“You know what I mean! Mau sampe kapan kita lempar pertanyaan gini?”
“Tenang aja.”
“Gimana aku bisa tenang!”
“Aku. Cinta. Kamu,” sahut Bara asal-asalan. “Aku udah sebut tiga kata keramat itu berulang-ulang—“
“Ini nggak ada hubungannya! Dan sekarang aku nggak butuh cinta kamu! Mau setinggi gunung, seluas samudera atau kalimat banci lainnya tetap nggak guna, kita nggak akan pernah dan nggak mungkin sama-sama.”
Padahal tadinya Bara ingin melanjutkan. “Lalu kamu bilang lebih cinta Dimas berpuluh kali lipat. Makan itu cinta!"
“Aku bakal hajar Dimas kalau ketemu. Kamu nggak bisa halangin aku,” geram Bara.
“Don’t play stupid!”
“Yeah! Si too good to be true itu ternyata punya kelemahan kan? dan nggak tanggung-tanggung lagi. Dan nyatanya lagi aku udah stupid dari dulu bahkan mendekati crazy sekarang, karena Dimas ternyata nggak lebih baik dari aku yang busuk ini!”
“Terserah!”
“Oke! Jangan hubungi aku lagi tiap kali kamu butuh sandaran! I’m not your toy!”
“Aku paham tabiat kamu. Anyway, kamu pasti datang tiap aku butuh. Thanks.”
Bara mematikan ponsel geram. Sekali lagi dia menyeret pintu rawat inap. Wanita itu masih terlentang, tapi, matanya terbuka menghadap ke langit-langit.
Ayu! Bara mendesis geram dalam hati. Kenapa juga dia harus mengikuti perintah wanita itu?
***
Bimo benar-benar mengambil mobilnya, Bara dengan sangat terpaksa menyewa mobil selama dia berada di Jakarta.
Dengan kekesalan maksimal, dia kembali lupa akan siapa nama wanita yang ada di dalam sana. Bara membuka pintu cepat dan sontak berdiri kaku saat melihat wanita itu—Amanda Falani, Bara... itu nama yang kamu lihat dari kartu tanda penduduknya!
Oke, Amanda, Bara mengganti sebutan ‘wanita itu’ dari dalam otaknya.
“Kamu mau pulang?”
Kembali tak menjawab? Kenapa juga wanita ini tidak menuntut pertanggungjawaban apa pun darinya? Kenapa wanita ini hanya diam saja??
Tadi pagi, Bara meletakkan satu setel baju tidur dan dalaman ketika wanita itu di kamar mandi. Dia membeli dengan setengah menahan malu. Dan kini baju pemberiannya dipakai. Ada sedikit kelegaan, tapi lebih banyak pertanyaan yang bergelayut di otaknya. Hingga saat ini tidak ada yang datang.
Ke mana suaminya? Apa sedang menyiapkan diri untuk melaporkan tindakannya ke polisi? Tidak ada jalan damai, kah? Bara sangat yakin dengan penampilannya seperti ini akan dengan sangat mudah menjebloskannya ke penjara.
“Aku—saya.” Bara menggigit lidahnya kuat. “Kamu ingin menuntut ganti rugi?” sial pertanyaan bodoh macam apa ini! yang ada dia malah ditatap tajam oleh wanita itu.
Bara bedeham, “bukan, maksudku. Iya, aku melakukan kesalahan, menghilangkan nyawa bukan perkara kecil. Kamu ingin meminta apa? Jadwal ke psikolog? Atau biaya lainnya, aku akan menggantinya.”
Kening Bara mengernyit karena wanita itu malah berjalan sedikit tertatih meraih ponselnya. “Berapa nomor rekeningmu, saya dengar kamu sudah melunasi biaya rumah sakit. Berapa biayanya? Biar kita tuntaskan semuanya di sini.” Bara tercenung, tidak pernah mendengarnya bicara, sekali mengeluarkan suara nada tegas menusuk ke telinganya. “Sekalian harga pakaian ini.”
Bara menghela napas kasar. Dibanding dengan memohon maaf, pernyataan wanita ini jauh menjatuhkan harga dirinya. Apa dia tergolong wanita sombong? Atau lebih keras dari Ayu? Bara mendengus emosi, dia bahkan mengatakan dengan tidak memandang wajahnya.
“Berapa?” tanyanya sekali lagi, kali ini memaling ke arahnya. Rambut ikalnya tercuat di sekitaran dahi. Bahkan dari wajahnya yang pucat dan tanpa polesan wanita ini tetap terlihat menarik. Sial! Dia istri orang, Bara! Garis rahang Bara semakin tegas untuk tidak memperhatikan wajah wanita itu lebih dalam lagi.
“Di mana rumahmu? Biar kuantar.”
“Tidak perlu, saya sudah memesan taksi.”
“Kalau begitu aku tidak akan menyebutkan nomor rekeningku. Anggap saja impas, karena aku menyebabkan kamu celaka.”
“Tidak. Saya begini bukan karena mau terbebas dari utang budi. Tapi, karena saya tidak mau segalanya impas. Kamu akan mengingat kesalahanmu seumur hidupmu.”
Bara tercengang.
“Kamu pasti akan membuat saya sulit,” dia berbicara lagi sambil membuka dompetnya. Mengeluarkan semua uang kertas yang ada di dompetnya, dan hanya menyisakan selembar yang berwarna merah. “Saya tidak tahu ini cukup atau tidak, hanya ini uang kontan yang saya punya.”
“Kamu sudah gila ya?!” Bara tak tahan untuk tidak membentak. Seperti raja hutan yang mengaung, Bara selalu berkata keras di mana pun.
“Kamu yang akan gila, bukan saya. Kamu yang menghilangkan nyawa bayi saya. Kamu yang membuat saya terjatuh. Kamu—“ Amanda menormalkan deru napasnya. Lipatan di dahi Bara semakin banyak. “Kamu—yang akan gila, bukan saya. Bukan saya yang—harus merasa bersalah.”
“Kamu tidak waras?”
Amanda membeliakkan matanya. Mata pria dihadapannya yang tadinya berkobar marah meredup berganti dengan tatapan khawatir. Apa dia terlalu mengerikan saat ini? Tidak... tidak... dia butuh Dimas. Hanya Dimas.
===================================================
Keempat
“Bro! Di mana lo? Beneran niat hijrah atau gimana?” Bara mengapit ponsel di sela telinga dan bahunya. “Lo sengaja warisin semua ke gue? Syukur alhamdulillah kalo gitu—“
“Ngimpi lo!” Bara memotong. Lima hari belakangan Bara hanya menghabiskan harinya di hotel. “Nanti telepon lagi lah, lagi sarapan nih. Besok atau lusa gue balik.” Dehaman panjang diterima Bara dari Endro begitu sambungan terputus.
Wanita itu, Amanda, lebih kepala batu dari seorang Mahesa Ayu. Untuk Ayu, Bara jelas sangat tahu penyebab. Saudara sepersusuan berengsek yang menghalangi hubungan mereka selalu membuat darahnya mendidih. Tapi, ini? Amanda? Wanita bersuami yang menolak membukakan pintu apartemennya.
Niat Bara sekarang hanya satu, bertemu lalu mengucapkan maaf dan menghilang. Bara juga menunggu momen bertemu dengan suami Amanda, tapi nihil. Perkiraan Bara suami Amanda sedang kerja di luar kota.
Atau inikah yang dimaksud wanita itu untuk membuat rasa bersalahnya tumbuh berlarut-larut? Ini salahnya sendiri, harusnya dia bisa tak peduli. Masih bagus wanita itu tidak melapor.
Makan dengan malas, batin Bara berusaha mengenyahkan pikirannya yang lumayan berkecamuk akhir-akhir ini.
Stresnya bisa di bilang jika hanya tidak mendapat pelepasan dari wanita yang di sodorkan Endro. Pengalaman terakhir yang tak akan diulanginya lagi. Depresi ketika Ayu memilih menikah dengan Dimas dan berakhir dengan hubungan satu malam, yang... sama sekali tak menyenangkan, dia memaki sepanjang kegiatan bercinta? Ah, harusnya bukan itu sebutan yang tepat. Tapi, yang jelas, dia sampai merusak properti hotel saat wanita sewaannya ngacir begitu saja.
“Fuck! Fuck! Fuck!” Bara memaki dirinya sendiri berulang kali, karena lagi-lagi dia melangkahkan kakinya ke apartemen wanita itu yang memang tak jauh dari hotel tempatnya menginap, untuk memastikan kondisi wanita itu, “Atau kudobrak aja?”
Bara meninju tombol bel beberapa kali. Tetap tak ada tanda-tanda wanita itu akan keluar. Tadi, satpam yang berjaga mulai memandanginya sinis. Jelas, dia seperti orang asing yang hendak berbuat onar, meskipun hingga detik ini belum ada yang dilakukan Bara.
***
Ini yang sudah ke berapa kali? Manda tak ingin menghitung, tapi otaknya berputar sendiri, lima kali sudah dia bangkit dari tempat tidur; meminum segelas air lalu kembali membaluti tubuh dengan selimut.
“Sudah ada flek sejak awal, kenapa tidak memeriksakan kandunganmu sejak awal.”
Bel itu lagi? Kenapa dia tidak menyerah saja, batin Manda. Tiap kali pria itu datang omongan dokter terngiang di benaknya. Tidak ini bukan salahnya, bukan salah tubuhnya, tapi salah pria itu. Dia terjatuh karena pria itu. Akan tetapi fakta lain menggetarkan Manda, dia sangat ingin bayinya selamat hingga mengabaikan perutnya yang tak enak bahkan sebelum bertemu dengan Ayu.
Manda merogoh bawah bantal, membuka sandi ponselnya dan segera menghubungi kontak Dimas. Gigitan bibir bawahnya kian mengeras karena lagi-lagi panggilan hanya berakhir ke mailbox. Dimas tidak semudah itu bisa diganggu. Tapi, dia membutuhkannya sekarang. “Aku keguguran... aku butuh kamu,” lirihnya.
Dia pernah menjadi orang yang paling tak diharap, setelah semua tali yang menjeratnya sedikit terlepas, bersama Dimas, Manda membangun harapan-harapan baru. Mempunyai anak adalah langkah awal. Dan sekarang semuanya telah lenyap.
Panggilan lain masuk ke ponselnya. Bukan nomor pribadi, melainkan nomor telepon kantor.
“Ha-halo?”
“Halo, ini Manda?”
“I—iya.”
“Ah, ini saya, Mahesa Ayu. Maaf meneleponmu dengan nomor butik. Kamu tahu kapan jadwal Dimas kembali?”
Manda menyibakkan selimutnya, melangkah ke meja rias dan mendapati dirinya dengan tampilan awut-awutan. “Saya baru saja mengundurkan diri, Bu.”
“Hah?” lontaran terkejut dari Ayu. Manda menahan napas untuk tetap tenang. “Kamu berhenti jadi sekretaris Dimas?”
“Iya, Bu.”
“Oh, um. Kenapa mendadak?”
“Hanya—ingin mengganti suasana.”
“Oh, begitu. Saya cuma memastikan kapan Dimas pulang, ponselnya nggak bisa di hubungi. Berharap sih, nggak lewat minggu ini, kami harus merayakan hari pernikahan kami.”
Alis Manda berkedut tak suka. Bibirnya menipis dengan gumaman pelan, “mungkin... akan lewat minggu ini. Selamat, saya ucapkan lebih dulu.”
Suara tawa renyah dari seberang. Bayangan Manda, saat ini wanita anggun bernama Mahesa Ayu itu tengah merancang acara yang spesial. Apa yang salah? Kenapa begini? Dimas dan Ayu, pasangan yang membuat iri siapa pun yang melihat mereka.
Lalu pria itu? Mereka berciuman di belakang Dimas?
Ayu menutup panggilan.
Manda mengusap-usap rambut yang mencuat sebelum beralih ke pintu depan. Bunyi bel tak lagi terdengar. Tapi, Manda berharap pria itu masih di sana.
“Bu Ayu, terlihat sempurna.” Tanya Manda suatu hari kepada Dimas.
“Memang.”
“Tapi, kenapa, Mas...”
“Dia sempurna untuk dirinya sendiri. Dan, kamu yang menyempurnakan hidupku.”
Dia sempurna, tidak. Tapi kenapa pilihan wanita yang selalu berpenampilan elegan itu jatuh ke pria... yang sejak tadi menekan bel apartemen Manda?
“Oh, akhirnya kamu bukain pintu.” Pandangan Manda menatap lurus, tubuhnya terbilang tinggi tapi hanya mampu menatap hingga hidung. Sama tingginya dengan Dimas, kata hati Manda. “Aku minta maaf. Terserah kamu akan memaafkan atau tidak. Yang jelas aku sudah mengatakannya.”
Manda tampak tenang ketika Bara memundurkan langkah, “kamu akan pergi begitu saja? Setelah menghilangkan nyawa bayiku?”
Bara tersentak dengan tatapan meruncing. Apa yang sebenarnya diinginkan wanita ini? batinnya menggeram.
Menuntut ganti rugi atau semacamnya, Bara mengira wanita ini tak akan melakukannya. Ternyata dia berharap terlalu banyak.
“Lalu? Kamu ingin aku bagaimana?” tantang Bara.
“Berikan alamatmu. Saya akan memikirkannya nanti.”
Dengan cepat Bara mengambil kartu namanya. “Aku nggak akan lari, asal kamu tahu!” desisnya tak lagi bisa ditahan. Bisakah wanita ini berkata dengan nada biasa, tidak sinis seperti ini. Ini hanya akan memancingnya yang pada dasarnya tempramen menjadi semakin parah.
Ditambah lagi dengan... Amanda menutup pintunya setelah kertas kartu nama berada dalam genggamannya.
Wajah Bara memerah. Pandangannya menatap nyalang ke tong sampah tak jauh dari sana. Beruntung dia tak memegang plastik bawaannya lagi. Roti yang dibuangnya tadi sudah bercampur dengan sampah yang lain. Bara tak pernah datang dengan kosong, bubur, buah, pancake, sudah pernah berakhir ke tong sampah apartemen ini saat emosinya tak terkendali.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
