Dear Boss, I Quit! [Bab 6 - Bab 7]

20
0
Deskripsi

Bab 6

Aku dan Jani sampai duluan ke tempat janjian bersama dengan dua kurcacinya beserta suaminya—Mas Tian sekitar pukul enam lewat. Lebih tepatnya aku menebeng. Aku memang akhirnya booking tempat di restoran Ko Rei tapi bukan melalui kontak yang dikirimin Koko! Aku cari sendiri di instagram mereka.

Dan selama langkah masuk ke dalam, Jani sudah membisik-bisik, agar aku jadi juru foto keluarganya. Dasar.

Saat di dalam, aku nggak mungkin mengabaikan sosok Ko Reinold yang secara kebetulan melihatku. Mau lanjut jalan, ntar dikira sombong banget, padahal dari tatapannya Ko Rei terkesan sangat mengenaliku. 

Ya udah deh, aku sapa aja. Aku menyuruh Jani dan suaminya lebih dulu ke meja booking di halaman belakang. 

“Halo, Ko,” sapaku. 

“Aya, kan? Saya lihat nama booking, dan benar kamu. Kenapa nggak minta kontak saya dari Chandra saja?”

Aku meringis, kalau sampai ini teman Koko laporan, mati aku! “Udah dapet duluan dari IG, Ko. Makin terkenal, gampang mah nyari kontak doang.”

Senyum Ko Reinold semakin lebar. “Makasih. Makasih,” sahutnya ramah. “Saya kasih dessert special nanti.”

“Ough... makasiiih Ko,” balasku mengulas senyum lebih ramah.   

Sebelum aku menyusul Jani, Agus dan istrinya sudah lebih dulu memanggilku. Kami bertiga menuju meja pesanan. Kedua anak laki-laki Jani sudah heboh berlarian ke arena bermain anak.

Tak lama Darius datang dengan seseorang lainnya. Pria tampan yang kemudian dia kenalkan sebagai sepupunya. 

“Jeremy,” sebutnya, menyalami kami satu per satu. Dan saat menemui giliranku, jabatan kami terasa lebih lama dari yang lainnya tadi, aku sampai memandangnya aneh, tapi dia tetap menampilkan senyum ramahnya. Sialnya aku nggak mengalami efek magis seperti di film-film. Aku justru risi diperhatikan intens seperti ini, seperti ada yang salah dengan tampilanku, dan dengan segera aku menarik tangan.

Aku bilang dia tampan karena memang kenyataannya begitu. Ibarat menemukan Nicolas Saputra dalam barisan upacara, semua orang pasti ngeh dia ganteng. Meski tampangnya bukan kayak Nicolas Saputra. Kulitnya agak gelap seperti tipeku. 

Tubuhnya tinggi, tegap, proporsional. Tampilannya bersih dan klimis, meski hanya mengenakan jins dan kaus berkerah, jam tangannya kelihatan mahal, parfumnya juga. Ketika dia tersenyum pipinya memunculkan rahasia terpendam yang pastinya bikin cewek makin klepek-klepek dengan lesung pipi itu. 

Aku mengalihkan pandangan saat yang terakhir Awan dan Mada muncul. Tampang Awan langsung terheran-heran. “Kampret! Jadi boleh bawa keluarga nih? Mad! Gara-gara lo ini. Tadi kan gue udah mau bawa pasukan, lo larang pake alasan ini khusus reuni.” Awan langsung ngomel-ngomel.

Kami serempak tertawa.

Yang paling kencang udah pasti Jani dan Agus. 

“Tuh, makanya jangan mulut aja kayak keran bocor, otak juga dipake. Mayan makan malam gratis satu keluarga.” Jani langsung celingukkan ke belakang, memastikan sesuatu kalau tidak mau ditegur suaminya, suaminya yang sedang main dengan anak-anaknya pasti nggak mendengar.

“Azas manfaat beneran ibu satu ini!”

“Darius aja nggak marah kok, ya kan Yus?” 

Darius mengacungkan jempolnya. Di antara kami memang Darius yang paling sukses karena memiliki gaji paling besar plus belum ada tanggungan pula. 

“Lo, sih, Mad!” seru Awan lagi, masih terlihat sangat kesal.

“Udah, ntar minta bungkus aja satu porsi lagi,” kataku meledek.

“Lo jangan semakin menjatuhkan harga diri gue dong, Ya. Apaan bungkus-bungkus. Yus, gue bisa dapat mentahnya aja nggak?”

Kontan satu meja tertawa. 

Aku masih tertawa, saat aku mengedarkan pandanganku aku justru mendapati tatapan sepupu Darius yang jelas mengarah kepadaku sembari tertawa kecil. Aku langsung mengalihkan pandangan ke temanku yang lain.

Menyingkirkan kekesalannya, Awan menyeletuk. “Pinter juga lo milih tempat, Ya.”

Aku langsung berlagak sombong menaikkan sejumput kausku. Yeah... aku cuma pakai kaus yang agak kebesaran dan jins—zona nyamanku. Juga rambut dikuncir seadanya, tanpa polesan wajah sama sekali, selain pelembab tadi, ya karena aku berpikir buat apa dandan kalau ketemunya para cecunguk ini lagi. 

Sejujurnya aku nggak terganggu sama sekali dengan penampilanku sendiri, kalau aja mata itu nggak lagi-lagi kedapatan tengah memandangiku sekarang. Dengan tatapan yang—menurutku agak lain. Bukan mau kepedean si Ganteng merhatiin aku sih. Tapi lebih ke mungkin dia anggap aku aneh kali ya? Kalau dia Koko mungkin aja langsung nyeletuk, “Itu kamu mau jadiin kantor tempat nongkrong?” 

Yap, aku pernah dengar sindiran itu, padahal itu statusnya hari sabtu, dan waktu dengan Bu Susan pun aku santai saja, pakai kaus di hari sabtu.

Sial! Aku kontan menggelengkan kepalaku, saat isi pikiran ini kembali kedistrak dengan omelannya Koko. 

Dan, yeah... Awan mulai berceloteh seperti biasanya. Membahas berbagai hal dari yang penting sampai nggak penting. 

Bahkan saat makanan kami sudah komplit datang semua, omongannya seperti nggak ada rem.  Awan itu tipe tong kosong nyaring bunyinya, apa aja jadi bahasan, dan dia kudu menang perdebatan. Padahal bukan menang karena memang pemikirannya yang out of the box, tapi karena lawan bicaranya udah males ngeladenin. Kalau doi adu debat di ILC udah pasti dia tipe yang potong pembicaraan orang dengan menggebu-gebu.

Jani sering iseng dengan memasukkan apa saja ke dalam mulutnya, agar dia berhenti bicara. Tapi, asiknya sih kalau ada dia suasana jadi nggak krik-krik garing, jadi berasa heboh terus. 

Semuanya telah menghabiskan makan malam mereka. Hanya aku yang masih makan lamat-lamat, sambil mendengarkan celotehan Awan.

Jani ke toilet, sibuk dengan anaknya. Begitu juga dengan si Ganteng. Dan begitu balik dia malah duduk di sebelahku—kami memang menduduki sebuah kursi panjang. Sedikit membuatku terkaget dan langsung meletakkan minuman yang sempat kuseruput. 

“Kerja di mana, Ya?”

Astaga! Nyaris aku nyemburin cairan di mulut. Aku segera meraih tisu dan mengelap mulutku, yang sedikit merembeskan air.

“Oh... itu. Di percetakan. Kamu?”

“Market Research gitu.”

“Keren dong,” sahutku.

“Jangan pedekate sama dia, Gan. Cowok juga ini,” celetuk Awan.

Aku melemparnya dengan tisu bekas.

Cowok di sebelahku ini malah tertawa, bukan tawa yang terbahak-bahak, cuma tawa yang memperdengarkan sedikit nada maskulinnya terus bibirnya mengembang lebar memamerkan senyum menawannya. Ini bahaya, cowok yang begini ini berpotensi bikin jatuh cinta dalam lima menit sekaligus bikin patah hati seumur hidup. 

“Masa sih? Manis begini kok.”

Kan! Dan aku masih nggak mengerti apa tujuan dia mendekatiku, selain supaya dilihat dia jago ngegombal.

“Ati-ati. Korban gagal move-on itu...” sambung Agus. 

Sialan! Aku menatap tajam Agus yang justru terbahak. 

“Kalau sama gue pasti berhasil move on.”

Softboy banget ini cowok. Itu mungkin makanya Andika ex Kangen Band selalu laku, karena mulutnya lebih manis dari gula. Andika yang dalam tanda kutip ‘tamvan’ aja bini plus mantannya banyak. Apalagi ini cowok yang jelas-jelas tampan?

“Eh, sori ya. Kata-kata aku nggak menyinggung kamu kan? Biasa kalau sesama cowok memang harus adu kekuatan.”

Aku hanya menyengir singkat. 

“Oh ya, boleh minta kontak WA kamu, nggak?”

Sontak saja aku menatapnya lebih dalam. “Enggak,” sahutku.

Bibirnya terbuka, sedikit kaget.

Namun, aku tersenyum kaku. “Bercanda.”

“Astaga... aku sampai jantungan,” katanya dengan reaksi yang menurutku berlebihan.

Aku tertawa. Kemudian memberikan nomor teleponku, dia memanggil kontakku, dan kudiamkan saja ponselku di dalam tas. 

“Nanti kucek,” kataku.

Acara hari ini sangat seru. Seru dengan kegirangan anak-anak Jani. Seru dengan perdebatan Awan vc Agus. Dan aku senang telah membawa teman-temanku ke tempat yang bagus, plus makanannya juga enak banget.

Waktunya pulang, aku menemui Ko Rei dan mengucapkan terima kasih sekali lagi.  

Semuanya lancaaar... sebelum aku mendapati sebuah mobil melesat dan memarkir. Si Lexus yang sangat kukenali!

Kontan saja, aku yang tadinya sudah memakai jaket, menaikkan penutup kepala, dan melipir ke ujung kiri, berbarengan dengan dua orang paling tinggi di antara kami, siapa lagi kalau bukan Darius dan sepupunya. 

Bodo amatlah. Sekalipun aku sangat-amat mengenalnya, Koko adalah orang yang akan kuhindari jika tak sengaja bertemu di luar pekerjaan seperti ini. 

“Mau sekalian kita antar pulang, Ya?” tawar Jeremy.

Aku mendongak, cowok ini memamerkan senyum menawannya. “Eh? Enggak. Aku nebeng Jani tadi.”

“Oh, oke,” sahutnya.

Aku kembali celingukan ke belakang, dan berjalan mendahului menuju Jani dan suaminya. Sepertinya aman, Koko nggak ngelihat aku. 

 

 

***

 

 

+62812xxxxxx : Hai.

+62812xxxxxx : Ini aku. Jeremy (bukan) tetty ;)

+62812xxxxxx : I Hope u save my number. Mana tau bisa dpt info dari kepoin status kamu ;)

 

Aku baru saja akan menghubungi Mama untuk membukakan pintu saat pop up chat muncul di layar. Biasanya pesan-pesan seperti ini akan kuabaikan jika dari cowok iseng, tapi berhubung ini adalah sepupu Darius, dan aku keburu membacanya, jadi terpaksa kubalas. 

Aku langsung membuat nama kontak Jeremy.

 

Aya : Sayangnya aku jarang bikin status. J

Jeremy : Kamu type. ‘Sayang’, berasa aku dipanggil sayang.

 

Sebelah alisku terangkat. 

 

Jeremy : Hihi, garing ya.

Jeremy : Night Aya. Next time, aku boleh chat random ngk?

Aya : Maksudnya?”

Jeremy : Misal tiba-tiba aku ajak jalan gitu.

Jeremy : Eh, tapi aku nggak lagi motong jln cwo lain kan? 

 

Kernyitanku tambah dalam.

 

Aya : Ngk kok.

Jeremy : So lucky to know u free 

 

Aku tidak membalas lagi dan sangat kaget saat pintu rumah terbuka.

“Duh... Mama ngangetin banget,” kataku memegang dada.

“Lha, Kakak sendiri ngapain berdiri di depan pintu? Tadi Mama dengar mobil berenti, ngirain itu Kakak, ternyata benar.”

Aku masuk. “Lagi balas pesan tadi, Ma...”

Mama kembali mengunci pintu.

“Ya, tapi ketuk pintu dulu masa nggak sempat, Kak...”

Aku mengangguk-angguk mendengar teguran Mama, sebelum masuk ke dalam kamar. 

Kemudian aku cepat-cepat membersihkan diri dan merebahkan diri ke kasur, dengan tangan gesit kembali mengambil ponsel dan mengetikkan sesuatu ke Jani.

Di sepanjang jalan tadi lidahku sudah gatal ingin membahas hal ini dengan Jani, tapi berhubung masih ada Mas Tian, aku jadi agak sungkan, meskipun aku tahu ujungnya Jani pasti menceritakan segala hal ke suaminya, tapi tetap aja, rasanya nggak nyaman saat ada orang lain ikut nimbrung curahan hatiku.

Eittss... tapi ini bukan curahan hati sih, lebih tepatnya rasa penasaran. 

Kata orang jangan menilai seseorang dari sampulnya saja, tapi bagiku pria itu sangat agresif, tanda tanya besar semakin memenuhi kepalaku. Sejago apa Darius mempromosikanku hingga pria itu menjatuhkan perhatiannya kepadaku, meskipun, ya, memang hanya aku yang single tadi. 

Tapi, dengan tampang setampan itu meski aku coba merangkai kata mutiara yang tepat untuk tidak terkesan judge seseorang dari cover saja, tetap rasanya nggak mungkin. Pasti ada apa-apanya, sekalipun sekadar cowok itu pengen ada teman chat berhubung lagi kosong. Tapi dia adalah sepupu Darius, bukan random person yang bisa kuabaikan sesuka hati. 

Aku harus tahu apa tujuannya, dan jujur saja, pikiran ini selalu mengarah ke hal yang buruk. 

 

Aya : Jan, bocils lo udah aman kan?

 

Aku menunggu hingga lima menit berlalu baru pesanku terbalas.

 

Jani : Udah cyiin... Knp? Mau bahas sepupu Darius, kan? Iya, iya.. gue tahu dia tertarik sama lo. Bahasa tubuhnya keliatan jelas Beb. Klo gue masih single udah pasti gue jealous parah. 

 

Bola mataku memutar, kenapa malah Jani yang nyerocos panjang lebar?

 

Jani : Lo mau gue cari tahu tentang dia? Gampiiiiilll... serahin sama Gue. Udah saatnya lo memulai hubungan baru. Lo yang disangkutpautin sama Jo gue yang eneg. 

Aya : Bukaaan...

Aya : Jan. Please berenti typing dulu, sebelum gue selesai bales!

Jani : Hihhh... telepon lah Beb! 

 

Aku tertawa kecil, lalu kemudian mendial nomor Jani. 

“Ayo... cuss... ngomong yang jelas ya, jangan sepatah-sepatah!” sahut Jani langsung tanpa salam pembuka. 

Aku meringis, karena kebiasaanku memang kebanyakan mikir. “Oke, tapi jangan lo sela, ya.”

“Siaaaap.”

“Lo pasti setuju sama gue kalau sepupu Darius itu ganteng. Dan tadi begitu sampai di rumah, dia wa gue, ngasih tahu nomor dia. Gue nggak bodoh, gue tahu itu jurus PDKT. Tapi pertanyaannya kenapa mesti gue? Cuma karena gue yang single? Oh... please lah Jan, pergaulan dia udah pasti lebih luas daripada gue, dari cara dia ngalus sekali kedip aja bisa dapat pacar. Dan gue ini nggak muda lagi, nggak cocok kalau cuma dijahilin sekadar main mata.”

“Hmmm... yang lo bilang benar sih. Dan sekarang gue jadi ikutan mikir. Tapi bisa jadi sih, Ya, dia lagi nyari calon istri buat langsung dinikahin gitu.”

“Gue?” tanyaku sarkastik.

“Jangan rendah diri gitu doong...”

“Sadar diri, bukan rendah diri.”

“Jadi maksud lo kalau sepupunya Darius itu modelan kayak Jo baru lo percaya ada cowok yang serius deketin lo?”

Bola mataku langsung ke atas. “Lo bilangin gue buat move on, tapi selalu bandingin ke Jo lagi, Jo lagi...” sahutku malas.

Jani justru tertawa. “Ya mau gimana lagi. Mantan lo cuma atu-atunya itu! Mana jelek lagi! Hahahhaa... kalau sekarang gue puas ngejekinnya.”

“Fokus dong!”

“Sori, soriii... Ya gimana ya?”

“Kalau ini bukan sepupu Darius gue gampang abaikannya.”

“Coba kita langsung tanya aja ke Darius. Konferens, cuss!”

Aku melakukan apa yang diperintahkan Jani. 

“Halo,” sahut Darius.

“Iyuus!” panggil Jani.

“Konferens nih? Aduhh... bisa bermasalah nih kuping gue kalau ketemu Anjeli, bentar gue cari tempat aman!”

“Sialan!”

“Kenapa para Bebebku? Sementang gua lagi di darat kalian kangennya ampun-ampunan ya?”

“Iyuuuuh! Ada hal penting nih! Lo mesti jawab dengan jujur!”

“Duh, kok gue mendadak takut ya.”

Aku masih diam saja. 

“Aya pusing tuh, kenapa bisa sepupu lo yang tampan nan rupawan itu pilih Aya buat jadi sasaran tembaknya. Jawab! Pilihan pertama, emaknya udah ngebet minta cucu atau gimana? Pilihan kedua,  lagi putus dari pacarnya dan sedang cari pelarian? Pilihan ketiga, memang niat PDKT aja tanpa embel-embel apa pun, cuma buat teman kencan doang.” 

“Keempat, lo taruhan sama dia?” tembakku.

Darius nggak langsung menyahut, bahkan nggak terdengar suara apa pun, aku memeriksa ponselku dan panggilan masih menyala. 

“Iyuuuss! Lo masih di sana kan?” pekik Jani.

“Ya, pleaseee... sori bangeeet.... kalau ketemu gue sujud deh di kaki lo.”

“Anjir! Pilihan keempat?? Wah parah lo!” yang mencak-mencak tentu saja Jani.

Bahuku sedikit merosot. Meski nggak terlalu terkejut juga.

“Dia tiba-tiba nginep di apartemen gue. Bilang pengin ganti ponsel. Kami memang biasa taruhan dari dulu, entah itu main futsal, main PS, atau apalah. Nah kali ini nilai taruhannya agak besar Iphone terbaru, biasa paling traktiran makan doang. Jadi, ya... nggak bisa dong cuma main futsal, rugi banget gue kalau sampai dia menang. Terus dia nantangin nakhlukin cewek di kelab. Gue tolak, ya karena gue yakin dia bakalan menang. Anaknya gitu banget, harus menang pokoknya. Gedeg gue, jadi gue bilang lah takhlukin temen gue kalo bisa. Jadi, ya...”

“Terus lo sodorin nama Aya??” sambung Jani.

“Gue bilang Aya cinta mati ke Jo—“

“Gue nggak cinta mati ke Jo!” potongku dongkol.

“Hihi sori, sori. Itu intermezzo aja, biar dia percaya. Gue bilang pokoknya lo nggak bakal mempan di deketin cowok lain. Pede banget dia pokoknya bisa takhlukin Aya tuh. Ya, please, lo jangan kemakan gombalan dia ya. Biarin gue menang kali iniii...”

“Enak aja lo. Aya yang diribetin lo yang dapat untungnya.”

“Okelah, Beb. Kita bagi dua hasilnya, ya, Ya? Pleasee...”

“Sembarangan! Gue nggak dianggep? Bagi tiga dong!” 

“Guyss...” potongku. 

“Tuh kan, Jan. Lo recok banget, Aya jadi ngambek.”

Mataku memicing, mendengar kata ‘ngambek’ aku jadi—napasku terhela kasar, aku nggak ngambek kenapa orang-orang suka menganggapku ngambek, sih??

“Um... Ya, gimana ya ngomongnya,” imbuh Jani dengan nada merayu. “Iphone terbaru berapaan sih, Yus!”

“Tiga puluhan juta, Jan,” sahut Darius semangat.

“Nah, kalau bagi tiga, dapet sepuluh-sepuluh. Mayan lho, Ya, buat susu anak gue... eh tapi itu saran doang sih. Hehe.”

Bibirku menipis dengan mata berotasi. “Cuma tolak, abis itu selesai kan?”

Lagi, Darius nggak langsung menjawab.

“Hm. Gimana ya bilangnya, sebenarnya dia minta waktu tiga bulan. Karena kerjaan, juga pastinya cuma sempat punya timing pas weekend. Tapi, Ya, gue yakinnya sih dia nggak bakal dengan cepat nembak lo, dia pasti liat-liat gelagat lo dulu, dan dia memang paling jago deketin cewek.”

“Ya! pokoknya Lo tetap semangat, lo nggak boleh kalah dengan pesona Jeremy Tetty! Gue selalu di belakang lo, tenang aja!”

Aku sedikit tertawa. “Gue berasa ikutan Benteng Takeshi.”

Darius menyeletukkan tawa. 

Dalam hati aku sedikit mempertimbangkan hal lain. Ini bagus untuk memulai petualangan baru. Sedikit banyak aku yakin bisa memanfaatkannya. Dan impian liar masa remajaku kembali menyeruak. Setidaknya aku tahu Jeremy bukan dengan tulus mendekatiku, dan aku juga nggak perlu merasa nggak enak hati jika aku menjahatinya kelak. 

“Tapi Lo beneran harus tahan gempuran lahir batin ya. Nggak mempan gombalan biasanya dia main fisik.”

“Lo umpanin Aya ke penjahat kelamin?!”

“Dia bukan pemerkosa kok dia. Tenang aja. But you know lah... kalau dua orang dewasa udah sama-sama, ada setannya. Gue takutnya, Aya nggak tahan dengan rayuan mautnya. Hihi.”

“Gimana Ya? Kalau nggak kuat, lambaikan bendera putih sekarang aja.”

Ah... permainan ini seru juga. 

“Okeh. I’ll take it!” 

“Kalian aturlah. Yang kali ini pokoknya gue kudu menang.”

“Atur-atur,” gerutu Jani. “Kalau gitu bagian lo paling sedikit!”

“Apes deh gue ngadepin emak-emak, ahli banget soal itung-itungan.”

Aku dan Jani serempak tertawa.  

Dia jago main fisik? Hm... kelihatan banget sih. Wajahku memerah saat memikirkan bibir ini masih perawan. Herannya, aku justru tambah bersemangat, hidupku jadi lebih menantang, lumayanlah tambah-tambah pengalaman, curangin kadal buntung! 

Panggilan kami sudah berakhir dari tadi. Dan aku masih cengar-cengir berbalasan chat dengan Jani. Sialan tuh anak, ilmu percintaannya banyak banget. 

Aku masih malas-malasan memainkan jemari di layar ponsel meski tahu sudah jam satu lewat sekarang. Mengingat Jeremy menyebut-nyebut tentang status, aku jadi mengklik menu status, biasa aku sangat jarang melihat status orang lain, berhubung aku masih berteman dengan Jo dan istrinya—Ya, aku nggak serta-merta langsung memblokirnya jika hal itu hanya untuk menunjukkan aku sakit hati, aku nggak mau terlihat lebih bodoh lagi.

Status Jeremy nggak ada, mungkin karena aku baru berteman, atau juga karena tu cowok hati-hati banget dalam menunjukkan aktifitasnya.

Namun, yang justru menarik perhatianku adalah status Kodanil. Mana banyak banget lagi kayak jahitan jelujur. Aku mencoba membuka satu, dari sekian banyak itu dia pasti nggak akan menemukanku kepo di sana. 

Foto pertama adalah fotonya yang sedang memegang garpu dan pisau, memotong sebuah piring makanan yang tampak lezat dengan status...

 

‘Testing new menu. Honey grilled ribs with mushroom sauce, On Habitat cafe&resto.’

 

Fotonya bagus sih. Tapi aku nggak nyangka dia sok ngartis begini. Kontan saja aku langsung back dan keluar dari aplikasi. Namun, nggak berselang lama, pesan dari Koko justru muncul, dan membuat mataku kontan mendelik. Mampus! Ko Rei pasti bilang kalau tadi aku dan teman-temanku datang, dan jangan bilang Ko Rei jelasin perihal bookinganku. 

 

Kodanil : I got you!

Kodanil : Saya boleh datang siang. Kamu tidak.

Kodanil : Tidur sana!

 

Aku sedikit bersyukur dugaanku nggak kejadian sekaligus menyesal karena udah penasaran dengan statusnya. Ya, aku kira dia bukan jenis orang yang melihat-lihat siapa saja orang yang melihat statusnya, kurang kerjaan banget sih, ngecek begitu.  

Lihat saja. Hal pertama yang akan kulakukan setelah resign adalah menghapus nomornya!

 

============================================

 

Bab 7

 

Aku sangat-sangat serius dengan niatanku resign kali ini. Jika Koko meminta one month notice, itu artinya sekitar paling lama satu bulan lagi aku masih menduduki kursi panas ini. Siapa pun penggantinya? Ah... siap-siap saja. Aku nggak akan kasih clue, malas!

Bolak-balik aku membuka tirai di belakangku, dan Lexus itu belum terparkir. Bagus! Satu lembar kertas telah terprint tanpa cacat, dan langsung kulipat dengan cepat lalu kumasukkan ke dalam amplop panjang. 

Sial, baru sepagi ini, tapi perasaanku udah deg-degan banget. Dan melihat jam dinding aku jadi semakin stres, pulang kerja tentu aja masih lama, dan aku harus melalui waktu lama lagi di mana aku akan menyerahkan surat pengunduran diri. Aku mengembuskan napas kasar, kesal dengan diri sendiri, bisa nggak sih, nggak panik? Bisa nggak sih otakku nggak mengarang adegan buruk, dan mengkhayalkan semuanya akan berjalan lancar seperti kemauanku.

Aku kembali mengintip dari balik tirai, sudah pukul sepuluh. Ah, bisa jadi dia hanya akan muncul sore hari untuk terima laporan harian. Kadang-kadang dia kan begitu. Memikirkan Koko yang datang untuk sekadar cek laporan harian, langsung membuat imunku naik. Aku merilekskan tubuhku, dan kembali menekuri pekerjaanku. Dia datang, kasih surat resign, beres!

Setengah jam berlalu kulihat dari jam di komputerku, dan senyumku semakin mengembang karena feelingku sepertinya akan jadi kenyataan.

Ponselku berdering, melihat nama yang terpampang mataku langsung memicing tajam. Pak Sapta. Please... jangan ada berita buruk lain, kalau cuma minta kasbon, aku bisa handle, tapi kalau yang lain-lain—sialan, perasaanku balik ke mode panik.

“Halo, Pak,” sahutku. Bibirku menipis, meskipun kakiku terus saja bergerak.

“Ada barang reject. Warnanya nggak pas. Kliennya Nova, dia udah tahu, dan dia bilang mau urus ke bos kecil.” Yang dia maksud adalah Koko. 

“Terus?” tanyaku dengan wajah penuh antisipasi. 

“Aku kasih tahu kamu juga, buat jaga-jaga kalau bos kecil tanya.”

Oh, ya, makasih atas perhatiannya Pak Sapta, tapi kayaknya aku tetap kena imbasnya.

“Barang apa?” tanyaku akhirnya dengan jantung dag dig dug.

“Spanduk kartu seluler, dua ribu pcs.”

Mampus! Kepalaku langsung terhenyak ke sandaran. Arghh...! Tubuhku langsung berputar di kursi 360 derajat penuh. Aku bisa hadapi omelan Koko, tapi masalahnya kenapa harus hari ini! Kalau moodnya nggak bagus gimana aku kasih surat pengunduran diri! Tapi bodo ah! Apa pun suasana hatinya aku wajib kasih surat resign! 

Aku buang napas, tarik napas, gitu aja terus, tapi aku tetap nggak bisa tenang. Aku coba cek lewat tirai. And see... dia datang! Pasti dia udah dengar kabar tuh. 

Wajahku pasti kelihatan kusut banget sekarang. Kalau aku bekerja di dunia kreatif udah pasti nggak akan ada ide yang keluar dari kepalaku, berhubung pekerjaanku menghadapi banyaknya rekapan, jadi mau perasaan campur aduk juga, aku tetap kudu kerja jangan sampai selip, kalau nggak mau Koko makin ngamuk-ngamuk.

Ketika pintu terbuka aku sangat terkejut, rasanya seperti tersengat listrik tegangan tinggi. Apalagi orang yang masuk kini menatapku dengan wajah tegang yang sama. Aku hanya berani meliriknya. Dan yang dia lakukan malah duduk di kursi di hadapanku. Bikin aku tambah nggak nyaman.

Koko menyugar rambutnya. Sialnya, tetap kuhitung dalam hati. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Ya, tepat tiga kali dia baru berhenti. Dengan wajahnya yang memerah dia berkata slash mengomel, “Rugi bahan baku. Biaya operasional. Tidak dapat untung! Pusing saya.”

Dan nggak mungkinkan kuangguki semua ucapannya itu, kalau nggak mau dia tambah ngedumel.

“Kamu tahu?” Enggak, jawabku dalam hati. “Saya tadi baru bangun, baru tidur tiga jam. Ditelepon, kasih kabar tidak bagus.”

Ya terus, hubungannya sama gue apaan?? Aku hanya mengarahkan bola mataku ke kertas-kertas di hadapanku. Tambah nggak membayangkan gimana reaksinya ketika aku kasih surat pengunduran diriku nanti.

Saat dia memajukan tubuhnya aku spontan menegapkan tubuh. Dan ternyata yang dia lakukan adalah melirik gelas kopiku.

“Ya, tolong ambilkan segelas air hangat untuk saya,” ucapku ketika berdiri lalu menuju ke ruangannya.

Sudut bibirku langsung terangkat aneh. Dia melihat gelas kopiku, lalu yang dimintanya air hangat, apa hubungannya coba?

Aku menginput pekerjaanku yang tersisa dan akan hendak mengambilkan Koko air hangat saat pintu kembali terbuka.

“Ya. Tidak jadi air hangatnya.” 

Aku langsung senang, dan kembali memutar kursiku, sebelum... 

“Buatkan kopi saja, Ya. Jangan pakai gula,” imbuhnya lagi sebelum menutup pintu. 

Sial! Nggak bisa lihat orang senang sedikit aja, apa??

 

***

 

Perutku melilit. Seriusan. Waktu pulang kerja sudah semakin dekat. 

Pintu ruanganku terketuk, spontan saja, aku menatap setajam elang. 

Udjo muncul di sana. Bola mataku langsung berputar. Dia menempati kursi di depanku dan langsung berkata, “Mbak, aku kasbon seratus ya.”

Aku sedikit memijat pelipisku. “Bulan ini kamu kasbon sudah hampir setengah gajimu.”

“Ya gimana lagi, Mbak. Kalau saya nggak kasbon hari ini, ntar malam saya nggak makan. Maklumlah Mbak, anak kos.”

Sejujurnya aku juga nggak masalah selama nggak melewati gajinya. Tapi aku tetap harus laporan ke Koko, dan yang gini ini yang bikin aku selalu kena omel. 

“Ini yang terakhir Mbak.”

“Ya jelas harus yang terakhir, lima hari lagi gajian,” balasku.

“Ya jadi bisa, kan?” sahut Udjo dengan wajah memelas.

Aku paling lemah dan malas kalau urusannya begini, dan segera saja kuberikan uang padanya.

Satu jam kemudian, waktu yang kumaksud sejak tadi tiba. Dan sebelum masuk ponselku bolak-balik bergetar, chat dari Jeremy yang langsung ku-swipe dengan cepat. Sori ya, saat ini aku nggak sempat mengurusi kadal buntung seperti kamu. 

Tanganku semakin dingin ketika mendorong pintu ruangan Koko. Sialan nih, AC kenapa di setel dingin banget sama Koko. 

Aku bergerak setenang mungkin menyodorkan buku besar juga bukti-bukti bon harian kepadanya. 

“Udjo kasbon lagi?” tanya Koko dengan suara melengking sebelum dia melihat rincian laporanku. Dia pasti ngeliat dari CCTV nih!

Aku mengangguk. 

“Kamu cek kinerja dia. Kalau menurun pasti ada apa-apa.”

Aku nggak mengangguk apalagi menggeleng. Ada hak apa aku urusi urusan pribadi orang?

Dan dengan menahan napas aku meletakkan amplop ke hadapannya. 

“Apa ini?” tanyanya dengan alis terangkat. 

“Surat—resign, Ko,” kataku menahan sebisa mungkin suaraku yang agak terbata. 

“Siapa nih? Masa-masa sulit begini masih saja sok-sokan mau resign.”

Mam-to-the-pus! Tubuhku kontan kaku. 

Wajah Koko kesal maksimal ketika menarik surat dari dalam amplop. Tatapannya terpaku, dia bahkan nggak melirikku sama sekali. Hanya serius membaca seperti membaca berita penting. Dan aku menantinya membaca isi surat seperti detik-detik keputusan tereleminasi ajang pencarian bakat. Bedanya kali ini aku pengin banget dieleminasi dalam tempo secepat-cepatnya! 

Dia nggak menatapku, hanya menyingkirkan surat itu lalu kembali mengecek arus kas harian. 

Ini gimana sih? Kenapa nggak ada komentar apa pun??

Padahal setelah ini aku juga udah berencana beli kelinci untuk peliharaan di rumah, biar ada kesibukan selama mencari kerjaan.

“Laporan gaji bulan lalu, mana?”

Hah?

“Di lemari saya, Ko.”

“Ya ambil...”

Aku keluar dengan ragu-ragu segala laporan tiga bulan terakhir memang belum kumasukkan ke ruang arsip. Aku kembali dengan map di tanganku lalu menyerahkannya ke Koko.

Dia menelitinya. 

“Di mana-mana, marketing memang lebih tinggi gaji, karena ada insentif.”

Ya memang. Terus kenapa di bahas sekarang??

“Oke, saya naikkan lima persen gaji kamu.”

Aku spontan mendelik. “Saya—nggak minta naik gaji Ko, saya mau resign.”

“Alasannya apa?”

“Banyak.”

“Banyak, artinya naik gaji salah satunya? Sudah saya kabulkan, jangan harap saya kabulkan semuanya. Kenyataan selalu tak sesuai harapan, kan?”

Aku mengernyit. “Harapan saya cuma resign, Ko, nggak ada yang lain,” celetukku.

“Lalu setelah keluar dari sini kamu mau melakukan apa?”

“Ya cari kerja,” balasku cepat-cepat.

Koko langsung menggeleng-gelengkan kepalanya. “Berhenti kerja. Cari kerja?” katanya dengan ekspresi seperti mengolok keputusanku.

“Saya mau cari suasana baru.”

“Di mana-mana tempat kerja sama. Di tempat lain kamu mungkin tidak bisa makan siang lebih lama, pasang bulu mata, cobain kuteks, gosip, ngemil sepuasnya, pakai jins dan kaus saja,” paparnya sengit. 

Ini kenapa dia jabarin semua dosa-dosaku di sini sih??

“Terkecuali kamu punya usaha sendiri. Itu pun faktor risiko dan tanggung jawab bisa-bisa bikin kepala pecah.” Dia lantas memicing dan memandangku setajam busur. “Kamu mau mendirikan percetakan juga??”

Aku gantian menatapnya sengit. “Enggak kok, Ko.”

Sialnya, aku udah sanggah dengan ekspresi mengerikan seperti ini pun tetap dipandang curiga olehnya. Alis Koko mengerut lebih dalam, begitu juga dengan bibirnya, seolah-olah sangat menilai jawabanku. 

Aku mengalihkan tatapan, merasa tak perlu meyakinkan lebih jauh jika aku memang tak berniat menyaingi usahanya ini. Kalau dia berpikiran jelek, ya silakan saja, toh aku juga akan keluar...

“Kalau alasan kamu cuma ingin cari-cari pengalaman, saran saya pikir ulang. Sudah baik loh saya tawarin begini. Tapi naik gajinya, tidak jadi ya, harus pilih salah satu,” ucapnya kemudian.

Mataku kontan memicing dan kembali menantang tatapannya.

“Saya mau resign, Ko,” ulangku dengan nada lebih tegas dan tubuh sedikit maju.

Lagi, Koko meneliti ekspresiku. Aku menahan napas, sangat berharap ucapan yang keluar selanjutnya dari mulutnya adalah langsung memuluskan jalanku—

“Kamu mau tinggalkan saya?”

Hah?

Koko memalingkan wajah sesaat sementara aku masih terperangah.

“Saya baru kembali ke sini setelah dua puluh tahun. Saya usaha cari kontak lama, bangun hubungan dengan teman-teman lama. Kita bahkan sudah bercerita tentang rencana saya ke depannya. Saya harus punya tim yang solid. Bukan tidak mungkin suatu saat saya gandeng kamu as a partner. Kamu tega meninggalkan saya?” tekannya.

Kok jadi gini sih? Kenapa dia jadi playing victim banget??

“Tapi, Ko—“

“Kamu mau cari pekerjaan di mana?”

“Di mana saja.” Sial, aku salah jawab, melihatnya akan menyela ucapanku lagi, aku langsung mengimbuhi. “Yang ada jenjang karir. Perusahaan besar. Skala internasional,” sahutku melebih-lebihkan.

Tatapan Koko semakin menilaiku, dan itu semakin membuatku nggak nyaman. Astaga... mau resign aja kok susah banget sih?

“Okay,” gumamnya.

Fiuh... dadaku langsung mengembang, kali ini sepertinya dia menyetujui—

“Kamu bebas melamar pekerjaan, tapi hanya seandainya perusahaan bonafide yang menerimamu, baru kamu saya perbolehkan resign.”

Napasku langsung tertahan.

Masalahnya kapan gue keterima kerja di perusahaan bonafide?? Kalau itu setahun atau dua tahun kemudian gimana? Aku bakal tetap ketahan di sini dong?? 

Nggak bisa dong! Nggak bisa begini!

“Saya mau menikah,” celetukku begitu saja. Ilmu kepepet memang mengerikan. 

Bola mata Koko melebar, tapi ya nggak selebar mataku kalau melotot. “Tadi katanya mau cari tempat kerja baru. Sekarang mau menikah, yang mana yang benar?” tanyanya sewot.

“Ya, Saya—memang mau menikah saja jika nggak dapat pekerjaan yang saya inginkan.” Bodoh Aya! Jawabanmu rancu banget! “Setelah menikah, saya nggak mau bekerja,” sambungku cepat-cepat. Bohong, bohong deh situ, yang penting resign dulu. 

Koko terdiam beberapa saat. Tatapannya tak lepas dariku. Kenapa sih, ini lebih menakutkan daripada sidang meja hijau?

Dia terlihat mengambil kotak rokoknya, baru dikeluarkan selinting anehnya dia kembali memasukkannya, dan menjauhkan kotak rokoknya. 

Aku tahu dia merokok, tapi herannya, aku nggak pernah mendapatinya merokok di depanku. Mungkin dia tengsin aku bisa mencium bau-bau yang lain dari dia selain wangi parfumnya yang semerbak.

Cut off, soal rokok. Jadi nasibku gimana ini??

“Bilang dong kalau alasannya itu,” katanya kemudian dengan nada lebih pelan.

Fiuh... aku mendesah lagi, kayaknya bakal aman ini. Dari gelagatnya dia nggak curiga aku bohong.

“Kamu pesan undangan di sini kan? Jangan bilang di tempat lain,” tudingnya lagi.

What??

Jika ini game aku udah mati dua kali, dan sekali lagi pasti game over. 

“Kapan rencana pernikahannya?” tanyanya lagi.

And the game its over...

Alisnya terangkat. “Kenapa? Baru akan tunangan?”

Untuk hal sebesar ini mana mungkin aku bisa bohong!!

“Um,” kepalaku langsung menunduk. “Itu. Masih—cari calonnya.”

Mulutnya sedikit terbuka, kemudian tersenyum lebar. Sedikit mencetuskan tawa yang sepertinya tak sanggup ditahan lagi. Dia pasti puas sekali. Sial!

“Do you still single?”

Mati! Tuh kan!

“Oh, ya, jawabannya sudah jelas. Kamu tidak pernah dijemput pria. But i can’t a make conclusion jika kamu single. Tapi sekarang sudah jelas,” cerocosnya lagi dengan senyum miring, membuatku mati kutu. 

Good job, Aya. Kamu berhasil mempermalukan diri sendiri. 

“Cari calon sambil bekerja adalah pilihan yang cerdas. Ibu Mertua zaman sekarang lebih suka dengan menantu yang ada pekerjaan, percaya dengan saya,” ujar Koko dengan senyum puas. 

“Jika saya tetap bekerja di sini, saya nggak akan bisa mendapatkan calon yang saya harapkan kalau dari pagi sampai sore bahkan malam saya berkutat di meja kerja,” balasku.

“Ya cari yang di sekitar sini dong.”

Aku langsung melengos dan mendengus. Siapa? Nggak mungkin situ, kan??

 

 

==========================================================

 

Bab 8

“Sudah, kan?”

Aku kontan menggeleng. 

Raut wajah Koko kembali ke mode kaku.

“Bukannya penjelasan saya tadi sangat jelas?”

Aku menahan geraman. Ucapanku tadi juga sudah sangat jelas. “Tapi saya serius mau resign, Ko!” kataku tegas setengah kesal. Bodo amatlah, udah mau keluar ini juga.

“Serius mencari pasangan?” 

Aku sedikit tersentak, bukan itu! Tapi udah kadung basah. Ya udahlah. 

“Iya—“

“Apa kriteriamu?” potong Koko lagi.

Aku menarik napas, mendesah kesal. “Baik, setia, pengertian, punya pekerjaan.” Sialnya aku menyahut pertanyaan itu dengan cepat, ya mau bagaimana lagi, aku ingin mencapai ke inti percakapan secepat mungkin.

“Umum sekali.”

Asli ini orang sebiji beneran bikin emosi. 

“Kriteria lain?” 

Aku memutar bola mata. “Enggak cacat. Bukan cuma cacat fisik, tapi juga cacat mental.” Aku sangat berharap dia tersindir dengan penutup kalimatku.

Dia mengangguk-anggukkan kepalanya. Telunjuknya juga ikut terketuk-ketuk di atas meja. Mungkin dia suntuk karena pengin ngerokok, sebab tatapannya ke arah asbak.

Keadaan itu berlangsung lumayan menguras waktuku, sementara lututku nggak berhenti bergoyang. Bisa aja sih, aku langsung pamit pulang udah setengah tujuh ini... tapi enggak. Aku menahan diriku sekuat tenaga, karena besok-besok belum tentu ada kesempatan seperti ini lagi. Atau juga karena Koko udah tahu niatanku, bisa aja dia cari-cari cara untuk mengelak.

Tak lama, Koko menaikkan kepalanya—menatapku yang juga sedikit lebih lama.

“Saya memenuhi semua persyaratan. Ya, menikah dengan saya, saja.”

Dunia sepertinya berhenti berputar. Atau aku tadi salah masuk pintu dan sekarang aku berada di alam lain? 

Tapi jika memang begitu mengapa tetap Koko sableng ini yang ada dihadapanku?

Aku benar-benar tak habis pikir. Dia mengatakan sebuah kalimat yang membuatku berhenti mengembuskan napas nyaris sesak napas. Sedangkan dia santai saja, tetap mengecek arus kas dan berbagai bon pembayaran hari ini yang kusodorkan tadi.

Sial banget memang aku, harus terjebak di situasi seperti ini. Nggak ada yang bisa kulakukan selain tetap tenang, meski hatiku rasanya gedek minta ampun.

Biar begini, aku juga pernah memikirkan skenario akan bertemu jodohku secara tidak sengaja di KRL, di mal, di pesawat, atau yang keren di kafe sambil lirik-lirikkan. Dan, ya, aku sadar betul itu mungkin hanya terjadi di drama.

Tapi seenggaknya bukan dilamar pria seperti deal-dealan ke klien kayak begini dong! 

“Kenapa diam?” Dia bertanya.

Kenapa diam katanya? Oh, sudah bagus sekali aku diam. Nggak melemparnya dengan botol minum di depannya, asbak, tumpukan kertas, kotak pensil, ponsel, Macbook—Ups, yang dua terakhir perlu diralat, bisa-bisa aku disuruh ganti rugi.

Tapi, ya, kenapa aku diam? Karena aku nggak tahu harus tertawa terbahak-bahak, atau tambah waspada karena takutnya ini jebakan. Karena dia paling seneng tuh, kasih pertanyaan jebakan ala-ala chef Juna.

Aku mengerjap, sekali. Oke, mungkin ini kesempatanku untuk berkata dengan keren, jika dia bukan tipeku, jika dia adalah satu dari pria yang akan kubiarkan mati jika hanya tersisa aku dan dia di muka bumi ini. 

Lagipula. Kapan lagi, kan? Bisa nolak cowok? Bukankah ini impianku setelah dicampakkan si mantan setelah tujuh tahun pacaran.

Sip! Selesaikan ini dengan keren lalu kabur dengan cepat.

Mulutku udah terbuka sedikit, meski nggak tahu mau ngomong apa, dan nggak bisa merangkai kalimat elegan, setidaknya aku harus berkata sejelas-jelasnya jika aku nggak menyukai dia--

“Pasti syok ya dilamar pria tampan dan mapan seperti saya?” imbuhnya dengan sudut bibir terangkat membentuk seringai.

Shit! Aku gagal keren.

Wajahku menyengat panas, atau sekarang udah terlihat merona? Ini lebih karena batinku nggak berhenti mengumpat. Jangan-jangan dia akan salah paham lagi?

Aku yakin tampang kalemku udah kelihatan gelisah di matanya, buktinya, senyumnya makin lebar. Bentar lagi dia pasti tertawa. 

Kalau dengan dia, comfort zone-ku udah pasti berubah jadi kampret zone! Dasar kampret!!

“Jujur saja. Saya membutuhkan kamu untuk berbisnis di sini.”

Tuh kan! Aku duga juga apa, pasti ada cabai dibalik bakwan!

Kini giliran aku yang menyeringai masam. 

“Tapi saya—nggak mau menikah dengan Koko,” ucapku apa adanya.

Wajahnya sedikit tersinggung. Mamam tuh! 

“Kenapa?”

YA KARENA MEMANG NGGAK BISA, BUNG!

“Cinta. Saya hanya akan menikah dengan orang yang mencintai saya,” imbuhku. Ini aku lagi ngomong apaan sih?

Pertama-tama dia tertawa biasa saja, tapi lama-lama malah terbahak-bahak. Sial! Gue lempar asbak juga nih!

“Cinta seperti apa maksudmu?” 

“Ya—cinta antar pasangan.”

“Seperti apa itu?”

Aku menggigit bibir bawahku kesal sekali, karena nggak mampu menjawab. 

“Let me tell you something about love. Cinta hanya perasaan yang dianggap indah dan terlalu diagung-agungkan, pada prakteknya, semua hubungan membutuhkan rasa hormat, nyaman, saling mengerti, saling toleransi, berbagi tugas. Its more than love like you said. Kamu mau makan pakai cinta? You know what i mean?”

Pandanganku menunduk malas. Masih sama sekali nggak habis pikir bisa terlibat pembicaraan seperti ini dengan bosku yang—ah, sudahlah, payah bilang.

Tapi di titik ini, aku justru teringat dengan Jo. Teringat dengan hubungan kami yang berjalan mulus namun ternyata begitu retak. Teringat dengan konsep hubungan yang saling membutuhkan—atau sebenarnya hanya Jo yang terus-menerus membutuhkanku, hingga akhirnya kini kusadari aku hanya dimanfaatkan. 

Aku tahu, aku menyetujui ucapan Koko. Love is bullshit, yang ada hanya ajang mencari keuntungan dari masing-masing pasangan. Dan otakku juga akan mengatakan hal yang sama jika ingin mencari pasangan yang sebenarnya. Tapi berhubung ini dengan Koko, aku akan mengatakan yang kebalikannya. Aku ingin mematahkan segala rantai yang berusaha dipasangnya kepadaku.

Jadi, aku kembali mendongak, dan berkata. “I don’t mind being stupid. Saya ingin berbahagia dengan pria yang saya cintai, pria yang membuat saya merasakan crazy butterfly effect. Pria yang membuat saya terus memikirkannya seperti orang gila. Dan hubungan yang berjalan begitu saja, meski tak tahu apa yang dituju. Hidup sangat singkat jika saya harus selalu terpaku pada pencapaian. Singkat kata, saya hanya ingin bahagia. Bukan kerja keras, sampai lupa dengan siapa sebenarnya saya menikah.” Tutupku menyindirnya dengan keras.

Kembali, dia menatapku lama, sebelum matanya mengerjap. Dan dengan dagu terangkat dia berkata, “Okay, kalau begitu buat saya falling in love.”

It’s not about you, hei Fernando! It’s about me!

“Saya.” Selaku cepat. “Maksudnya adalah saya. Saya yang harus merasa dicintai. Dan jujur saja Koko bukan tipe saya.”

Aku nggak jadi game over, karena wajahnya langsung memerah dan kelihatan stres tuh! 

Dia mengusap-usap hidungnya. Lalu kembali terpaku kepadaku. 

“Tapi kamu percaya kan, cinta bisa datang karena terbiasa?”

Ekspresiku mulai ngeri.

“Okay, let’s make it clear. Beri saya sepuluh kali kesempatan.”

Buset! Sepuluh kesempatan apaan?! Di mana-mana orang minta kesempatan kedua, atau maksimal itu tiga kesempatan!

Aku sukses melongo. Aku nggak tahu ada berapa senjata cadangan yang dia punya. Dan aku nyaris lupa kebiasaan Koko di dalam ruangan ini jika tidak sedang sibuk adalah bermain game online!

“Tapi Ko—“

“Please... “

Again! Jangan ada kata ‘please’. Aku mohon! Dia memanfaatkan sisi nggak tegaanku dengan sangat amat baik.

“Kalau ternyata tidak berhasil sama sekali, saya janji tidak akan ada permusuhan di antara kita. I’m sportive player in every games I play.”

Mampus kan, harusnya aku udah sangat tahu, ini hanya seperti sebuah games yang wajib dia menangkan.

“Kalau tidak berhasil. Koko janji akan menerima pengunduran diri saya, lengkap dengan surat rekomendasi??”

“Yep. Deal?” tawarnya, mengulurkan tangan.

Aku diam. Dan semakin lama lututku semakin bergoyang tak tenang. Sial! Sial! 

Tangannya masih menggantung di hadapanku. Wajahku pasti semakin berkerut was-was dan ragu.

“Sudah pukul tujuh lewat, lho.”

Hah? Suara hatiku langsung menjerit. Aku mau pulang! 

Aku mengulurkan tanganku ragu-ragu yang langsung ditangkapnya dengan cepat, sampai-sampai aku terkaget. 

“Deal!” serunya dengan wajah secerah matahari, padahal hari udah malam.

Aku menarik cepat tanganku dari tangannya dan cepat-cepat membereskan bukuku dari hadapannya. 

“Sudah gelap. Mau saya antar pulang?”

Aku tahu dia mengejekku. “Enggak, makasih!” seruku yang langsung memutar tubuhku dan kabur dari ruangannya. 

 

===========================================

 

Bab 9

Nggak peduli semalam apa, tapi hari itu juga aku mengendarai motorku ke rumah Jani. Pikiranku linglung banget. Aku benar-benar nggak percaya dengan kebodohan yang kulakukan tadi, kenapa aku nggak bersikeras resign nggak peduli apa pun yang dikatakan si Kodanil! Nggak peduli dengan kesepakatan-kesepakatan gila yang dibuatnya. 

Jangan-jangan tadi aku dihipnotis? Arghh... sekarang aku benar-benar menyesali semuanya. Kalau besok aku bilang ke Koko untuk batalin semua kesepakatan kami tadi, kira-kira jurus apalagi yang akan dikeluarkannya? Serius, otakku buntu banget. 

Aku menghubungi Jani begitu sampai di depan pagar rumahnya.

Jani yang tahu aku sudah di depan rumahnya, tampak tergesa-gesa keluar. “Kabur dari rumah lo?” tudingnya langsung.

“Sejak kapan gue kabur dari rumah?” balasku.

Ya, aku memang nggak pernah bertengkar dengan Mama, kalau cuma ngambek-ngambek khas remaja sih sering. Tapi seringnya Mama yang mengalah. Mama terlalu percaya diri jika anak satu-satunya ini teramat lurus—dan yah, gara-gara itu pula seperti ada sekat tak kasat mata yang mengelilingi jika aku ingin melakukan hal melenceng. Hati nuraniku selalu memainkan perannya, meski kerap kali sisi liarku ingin mencoba hal-hal baru yang tentunya bertentangan dengan norma-norma—dan itupun selalu gagal.

“Jadi??” desak Jani membukakan pintu pagar. 

Aku melajukan motorku. Mematikan mesin. Membuka helm. 

“Yang kali ini lebih mendesak,” balasku.

Tampang Jani semakin penasaran dan was-was. Tanpa membuka jaket aku langsung duduk di kursi terasnya, menyandarkan punggung lelah.

“Belom mandi lo, Ya?”

“Belom...” sahutku panjang, nggak peduli dengan tampang pura-pura jijik Jani. “Baru pulang kerja langsung ke sini.”

“Duh... kok gue jadi deg-degan. Nabrak orang lo ya?” tebaknya lagi sambil mengamati motorku.

“Enggak...”

“Jadi apaan dong? Jangan bikin gue panik, ih!”

Aku mendesah beberapa kali, memandang Jani dengan tampang kusut dan lelah. Sebenarnya kalimat ini malas sekali harus kukeluarkan, tapi mau gimana lagi. “Gue dilamar bos gue. Kurang gila apa coba??”

Dan Jani... yeah langsung memekik histeris. “Serius lo? Bentar lagi nikah dong??”

Aku langsung mengibas-ngibaskan tanganku. “Enggak gitu...” 

Dan dengan perasaan campur aduk aku menceritakan kejadian tadi kepada Jani. “Dia cuma mau ambil keuntungan dari gue. Gue jamin, semisal, gue terima tuh lamaran dia, dia juga pasti bikin perjanjian, bisa aja cuma nikah kontrak. Bodoh banget, kan gue?” desahku.

Jani manggut-manggut. “Bener, Ya. Lo nggak boleh percaya gitu aja.”

“Dia bilang nikah sama gue di sini. Ntar dia di Singapura punya bini lagi. Atau paling nggak selingkuhan. Teman kencan, teman tidur. Terus gue di sini banting tulang ngurusin bisnisnya. Ih... enggak-enggak.”

“Masuk akal!” seru Jani menyetujui ucapanku.

“Gue nggak ngerti, kenapa mesti gue coba?” ucapku masih dengan perasaan kesal yang sama. 

“Gue pernah tuh baca artikel. Kalau nggak salah kalimatnya, gini, men attend women for two reasons, sex and love, but in most cases men don’t marry for sex or for love, they marry for stability.”

“Nah kan! Karena gue dianggap membawa stabilitas bagi dia, jadi dengan mudahnya dia ajak gue nikah!” Aku langsung menjentikkan jariku. “Ini nggak bisa dibiarin.”

Jani ikut menganggukkan kepalanya semangat. “Enggak bisa! Oke, tenang-tenang. Lo mau makan apa?”

Aku melirik Jani malas. “Gue butuh solusi, Jan. Bukan makan.”

“Ya makan dulu, biar pikiran lebih fresh. Gue sih gitu.”

“Terserah deh. Apa aja.” Karena aku juga nggak yakin bisa menelan apa pun sekarang. 

Jani memainkan jari-jari di layar ponselnya. “Sate, nasi padang, piza, burger, bakmi—“

“Apa aja, yang penting jangan bakmi!” Astaga... aku senewen banget sama itu bakmi. 

“Sate aja ya. Gue lagi pengen sate,” sambung Jani.

Jani ke dalam dan mengambil minuman dingin untukku. Dia kembali berkutat dengan ponselnya.

“Eh, anak lo udah tidur?”

“Lagi dininabobo sama Bapaknya.”

Aku menggelengkan kepala. Sekaligus iri, jika boleh memilih calon pasangan, gue pengennya yang kayak suami Jani tuh, kalem, perhatian, pengertian. Bukan yang... aku langsung bergidik mengingat omelan cowok itu lagi.

“Hm. Gini-gini.” Aku langsung mendekatkan wajahku ke arah Jani, saat sahabatku itu mulai memberikan petuah. “Lo pasang muka badak aja, ajak ngedate duluan. Yang penting sepuluh kali pertemuan, kan? 

Tampangku agak ragu-ragu. “Sepuluh kali pertemuan? Kok kayak bimbel?”

Jani langsung menoyor kepalaku. “Fokus beb!”

“Sori-sori...” sahutku sambil meneguk minuman dingin.

“Anter pulang juga ikut itungan tuh, tekanin aja begitu. Jadi semisal dia antar lo pulang. Sepuluh kali antar pulang, udah deh, selesai.”

Aku langsung memasang tampang berpikir. Terdengar mudah ketika diucapkan. Tapi aku nggak yakin akan semudah itu jika menghadapi Kodanil.

“Tapi—gue ragu bisa ajakin dia duluan. Gimana ya Jan. Liat wajahnya aja gue empet. Ntar dia kegeeran tuh, gue yang ajak-ajak duluan.”

“Ya bodo amat! Lo mau resign nggak?” tantang Jani.

“Ya mau!” sahutku cepat dan lugas. 

“Tuh, makanya dengarin saran gue.” Jani mengelus-elus dagunya. “Kalau lo nggak ada aksi, bisa jadi sepuluh kesempatan yang dia maksud cuma buat nahan lo lebih lama kerja di sana. Kalo satu kesempatan dalam 2 bulan, artinya 20 bulan dong lo ketahan di sana?”

Aku langsung mendelik ngeri. Benar juga. Bahuku menegap, “Oke, oke. Gue bakal usaha ajak dia duluan,” putusku cepat. 

“Pokoknya kalau dia minta kesempatan itu bukan hanya atas persetujuan dia. Dan lo juga berhak mengajukan permintaan, bukan cuma terima-terima aja dia ajak jalan ke mana. Semacam... yah absensi gitulah.”

“Tuh kan, kayak bimbel.”

“Ish!” dengus Jani lagi. “Lo masih mau dengerin nasihat gue nggak?”

“Ya masih,” sahutku.

“Makanya fokus! Lo kasih target, paling lama tiga bulan urusan lo sama bos lo harus udah kelar. Urusan lo sama si Jeremy Tetty juga kelar. Resign. Cari kerjaan baru!”

Aku mengangguk dengan perasaan menggebu-gebu. Nggak salah aku memutuskan ke sini tadi, perasaanku jadi sedikit lega. 

“Pokoknya lo nggak boleh biarin cowok-cowok itu memanfaatkan lo.”

“Betul!”

“Coba sini. Gue mau liat bentukan si bangsat yang coba-coba permainin sahabat gue.”

Aku langsung membuka ponselku. Yang paling gampang adalah membuka foto profil Whatsappnya. 

Aku menyerahkan ponselku ke Jani.

“Lho, bukan Koko tuir?”

Tampangku sedikit mengerut. “Nggak tuir-tuir banget. Tapi udah lewat 30-an dia.”

Alisku semakin tertekuk, melihat bibir Jani yang terbuka.

“Nggak ada foto lain?”

Ngeliatin statusnya? Malas banget. Ah, kayaknya IG dia namanya sama deh. Aku berusaha mencari di menu pencarian instagram. Dan, dapat!

“Nih!” 

“Ini seriusan bos lo?”

Aku mengangguk ragu-ragu. Jani pasti melihat keanehan juga, kan? Jangan-jangan dia bisa mencium bau-bau pria nggak benar di sana.

“Ini mah, ganteng, Ya! Kok lo nggak pernah gosipin dia ke gue sih. Kalau bos lo model begini sih, nggak perlu ditawarin juga gue duluan yang minta dinikahi.”

Astaga... Kontan saja aku menoyor kepala Jani. “Tadi, lo semangat banget atur strategi ini itu. Gimana sih??” sahutku kesal.

“Nikah kontrak juga oke kayaknya, Ya,” ucap Jani sambil cengengesan.

Aku menarik ponselku sebal. 

“Atau lo minta harta gono gini Ya. Satu ruko percetakannya jadi milik, lo.”

“Kalau sebelum pembagian harta gono gini, gue dimutilasi gimana?” 

“Astaga Ya, amit-amit... ngeri banget omongan lo!” 

Aku nggak sempat menyahuti ucapan Jani, karena kepotong ojek online yang mengantar pesanan kami.

Jani mondar-mandir mengambil piring, dan mengurusi dua bocahnya terlebih dahulu, sementara pikiranku masih saja kusut. 

“Apa sih, tadi nama IGnya. Mau gue follow.”

“Ganjen lo!”

“Eh... mana tahu gue bisa mata-matain. Dia ternyata udah punya pacar gitu? Kayaknya nggak mungkin deh dia belum punya pacar. Badan bagus, tampang oke banget, usaha ada.”

Aku melirik Jani sambil menghabiskan satu tusuk sate. Itu benar sekali, kemungkinan besar dia memang sudah punya pacar. Dan aku memang nggak berharap apa pun. Aku juga yakin dia mengemukakan ide gila itu cuma asal-asalan aja, agar bisa menahanku selama mungkin. 

“Gue nggak peduli dia punya pacar atau nggak. Mata-matain pun percuma. Gue cuma mau melewati sepuluh kali kesempatan itu, terus cabut.”

Jani mengangguki ucapanku. “Pokoknya kayak yang gue saranin, Ya. Lo harus cari cara supaya dia sering-sering ajak lo jalan.”

Aku menyetujui ucapan Jani. Tapi yang bikin sebal adalah, beban di pundakku jadi tambah, karena harus memikirkan rencana semacam itu. 

Jani masih mengutak-atik ponselku, sekaligus ponselnya.

“Mampus!”

“Kenapa?” tanyaku dengan mata melotot. 

“Sori Ya, gue lupa ini hape lo. Gue follow.” Jani mengudarakan kedua tangan yang memegang dua handphone itu.

Sial! 

“Jani...!” pekikku kemudian buru-buru unfollow akunnya. 

“Kayaknya tetap bakal muncul di pop-up dia deh,” ucap Jani membuatku lemas. “Ya moga-moga aja ketimbun jadi dia nggak ngeliat,” ringis Jani berusaha menyemangatiku, tapi aku malah semakin stres mengusap-usap wajahku.

 

 

***

 

Ada saat di mana aku malas sekali datang ke sekolah, yaitu di saat ada tugas hapalan. Padahal aku yakin sudah menghapal dengan tepat, tapi rasanya tetap nggak mengenakkan jika harus tampil dan menghapal sesuatu. Rasanya seperti demam panggung.

Dan hari ini aku seperti mengalami perasaan itu lagi. Aku begitu malas datang ke tempat kerja, padahal pikiranku sudah mengkoordinir semua hal yang harus kulakukan. Sudah kukotak-kotakkan ke tempat yang benar, namun tetap aja, membayangkan bertemu dengan Koko membuatku benar-benar malas datang. Tapi akan lebih gawat jika aku pura-pura sakit. Bisa saja Koko cari alasan biar bisa bertemu denganku, dia kan nekat, lalu akhirnya ketahuan kalau aku bohong. 

Trik antar pulang juga langsung kucoret. Aku justru nggak mau dia sampai bertemu dengan Mama. Aku saja mampu dimanipulasinya, apalagi Mama yang hatinya selembut sutra. Aku nggak mau dia jadi punya rencana untuk mengambil hati Mama. 

“Aya!”

Aku menoleh pada saat kakiku sudah mencapai lantai tiga. Ngapain sih, Mbak Nita teriak-teriak? Jangan bilang ada masalah ya!

“Gue panggilin dari tadi, jalan terus, lo,” ucapnya menggebu-gebu, sambil mengatur napas.

Aku juga kasian sih, dia harus naik-turun tangga dalam kondisi hamil seperti ini.

“Masa sih, Mbak? Kok gue nggak dengar ya?”

Mbak Nita mendengus, “Tenggorokan gue sampe kering manggilin lo. Eh, lo nya malah kayak robot, jalan terus.”

Aku mengusap-usap dahiku, memandang Mbak Nita sungkan. “Pikiran gue lagi ruwet, Mbak.”

“Masalah kerjaan?”

“Justru bukan masalah kerjaan. Jadi gue mohon dengan sangat, jangan ada masalah hari ini, ya Mbakkuh...”

Mbak Nita hanya cengengesan. “Manusia berhak berencana tetap Tuhan yang mengatur. Jadi gue nggak janji, ya.”

Aku serta-merta memutar bola mata.

“Kenapa? Dipaksa nikah? Dijodohin ya?”

Aku langsung tersentak dengan mata mendelik. Kenapa aku nggak memikirkan ide itu kemarin?? Bodohnyaa... Kalau aku bilang sudah dijodohkan, pasti Koko bakalan mundur! Atau kubilang saja nanti?

“Siapa yang dijodohkan?”

Astaga! Jantungku serasa lompat dari sarangnya.

“Aya, Ko!” celetuk Mbak Nita. 

Aku menoleh, sedang Koko masih menatap Mbak Nita. Good job Mbak! Nanti aku traktir makan deh--

 “Tapi itu tebakan saya aja sih, Ko,” sambung Mbak Nita yang langsung membuat bahuku merosot, pancingan tadi udah pas banget padahal, kenapa mesti jujur sih Mbak!!

Dan saat kulirik, Koko justru menggoyang telunjuknya. “Hm... salah tebakan kamu,” ucapnya dengan nada sombong. 

Bibirku sedikit terbuka, karena sungguh tak tahan dengan keadaan ini, aku buru-buru masuk ke dalam ruangan. 

Aku baru akan meletakkan tasku ketika Koko hadir. 

“Minggu ini aku minta kesempatan pertama.”

Tubuhku langsung menegap sempurna kesempatan itu langsung kuterima dengan hati sangat gembira. “Kapan?” jawabku langsung, yang kemudian membuat mataku mengerjap, karena sadar betapa bodohnya aku, padahal tadi si Koko sudah menyebutkan waktunya. 

“Minggu. Ini,” ulang Koko menyanggahkan telapak tangannya di meja kerjaku. 

Aku menganggukkan kepalaku kaku. “Saya—tadi kurang dengar.” Alasanku, karena yang sebenarnya aku terlalu excited dengan tawaran itu. 

“Semalam kamu follow saya, kan? Tapi saya cari-cari lagi, tidak ada nama kamu di daftar followers.” 

Aku diam saja, sembari menahan napas, berharap dia cepat-cepat masuk ke ruangannya. Tapi sepertinya kali ini aku nggak akan lepas semudah itu. Udahlah, terima nasib aja. 

“Kamu memata-matai saya, tapi akhirnya malah terpencet?” tebaknya dengan tampang tengil. “Kenapa? Setelah dilihat-lihat saya memang lumayan, dan sekarang justru kamu yang excited?” tanyanya dengan senyum yang tersungging.

Oh, sungguh percaya diri sekali Anda Fernando!

Wajahku tertekuk malas, enggan menjawab. Salah paham lagi kan dia tuh!

Alisku sedikit terangkat saat dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah mainan kecil berwujud anjing berwarna putih dengan totol-totol hitam. Air mukaku semakin aneh.

“Dulu saya punya anjing sungguhan seperti ini, tapi sudah meninggal ada tumor di perutnya. Ini mainan kesayangan saya, untuk kamu, jangan sampai hilang.”

Dahiku berkerut dalam sekali. “Kalau kesayangan Koko kenapa diberikan ke saya?” tolakku langsung.

Koko menjentikkan jarinya. “Cari tahu jawabannya sendiri,” sahutnya sok misterius dan berjalan santai ke ruangannya.

Dasar aneh!

Aku mengambil miniatur tersebut, dan memandang dengan ekspresi bingung. Jangan-jangan ini ada peletnya? Sambil bergidik aku segera menarik laci meja kerjaku paling bawah dan meletakkannya di sana.   

 

===========================================

 

Bab 10

Kodanil : Mana?

Kodanil : Kenapa belum shareloc juga?

Kodanil : Aya!

Kodanil : Aya, baca text saya, saya jadi mutar-mutar nih.

 

Astaga... belum aja kesempatan pertama terlalui ini orang udah berubah ke wujud aslinya, seriusan, gara-gara chat yang nggak berhenti itu aku jadi setengah berlari. Ya, aku memang sengaja nggak menunggu Koko di rumah, jadinya aku berjalan ke simpang rumahku tepat di depan minimarket, padahal jaraknya hanya 200an meter, tapi berasa jauh banget karena aku dikejar-kejar begini.

Dengan napas ngos-ngosan, aku segera ke emperan minimarket. Sial panas banget. Lagian dia mau ajak aku ke mana sih siang-siang begini? Kenapa nggak sore aja sih? Dumalku dalam hati sambil membalas pesan Koko, lalu pesan lain pun muncul.

 

Jeremy : Ya. Hari ini kamu ada kesibukan ngk?

 

Ada banget! Balasku dalam hati.

Sialnya, udah keburu kebuka ini pesan. Gimana ya? Hm, mending tanya balik aja.

 

Aya : Kenapa Jer?

Jeremy : Ada tempat nongkrong baru, mau ajakin kamu kalau ngk sibuk.

 

Wajahku langsung sedatar triplek, basi banget jurusnya.

 

Aya : lagi ada kegiatan sih ini. Sori ya. Maybe next time.

Jeremy : Oke, noprob. Next time kyknya aku perlu buat janji 2x24 jam dulu buat ketemu kamu. Susah banget kyknya. 

Aya : biar berasa org penting aku.

Jeremy : penting bgt mmg bagi aku.

Aya : hahaha

 

Iyalah penting. Kan situ memang ada maksud. Aku langsung menyimpan ponselku takut ke-gap lagi online.

Dan sekarang, kayaknya aku kualat deh, nungguin Koko yang nggak juga nongol, udah tahu menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan. Jangan-jangan dia benar nyasar? Ah, alamat kena omel. Mending dinginin kepala dulu, aku baru memutar langkah hendak masuk ke minimarket beli yang dingin-dingin, eh Lexus itu kebur nongol.

Napasku terhela panjang. Aku masih pakai outfit andalanku, jins dan kaus, untungnya begitu Koko keluar dia juga pakai setelan hariannya, yang kuduga kami nggak akan pergi jauh-jauh, palingan juga ke mal.

“Panas nih, buruan ayo.”

Tuh kan!

Aku langsung masuk ke kursi penumpang. 

“Mana sih gang rumah kamu? Serius tidak bisa masuk mobil?”

Gerakanku yang tengah memakai seatbelt jadi berubah kaku, aku ngangguk singkat nggak berani memandang ke arahnya, takut ketahuan aku bohong. Gini banget memang orang yang nggak biasa bohong, kikuk.

Koko menjalankan mobilnya. Syukur deh dia nggak ada bahas-bahas kesasar dan sebagainya. Tapi kulirik sekilas tampangnya terlihat kesal. Mau itu karena aku atau bukan, ya peduli amat.

Dan lebih bersyukur lagi, karena selama perjalanan Koko memasang ear sedang teleponan dengan entah siapa, dan aku juga nggak tahu apa yang dibahasnya, karena dia menggunakan ‘bahasa ibu’ campur inggris yang logatnya jadi aneh. Lucunya, aku jadi menebak-nebak, kapan dia menggunakan bahasa inggris. 

Kami belum sampai ke gedung-gedung bertingkat di kota, tapi mobil sudah membelok. Dan sialnya, mobil membelok ke gang yang kukenali, tatapanku sedikit awas. Aku tahu banget ini jalan menuju rumah Bu Susan. Atau mungkin dia ada keperluan sebentar? Tapi aku nggak pengin ketemu Bu Susan sih. Selain cerewetnya mereka sebelas duabelas, Bu Susan itu kepo banget, bisa-bisa aku ketahan di sana hanya untuk bahas satu per satu gosip apa yang lagi hot di antara karyawan. 

Tapi tunggu dulu! Jangan bilang Koko udah cerita soal rencana gilanya terhadapku? Mampus!

Tatapanku jadi sedikit gelisah, apalagi ketika mobil benar-benar berhenti di depan rumah Bu Susan yang berpagar tinggi itu.

“Ayo turun,” ucap Koko.

Aku belum melayangkan pertanyaan apa pun, takut untuk menebak-nebak. Jadi aku ikuti saja langkah dia dari belakang. Koko menekan bel. 

Nggak ada tanda apa-apa. Koko tekan lagi tuh bel. Tapi nggak lama aku lihat dari celah pagar pintu utama terbuka, Bu Susan kepayahan berjalan dengan tongkatnya. 

“Buka saja. Pagar nggak dikunci.”

“Kenapa tidak dikunci? Kalau ada yang masuk bagaimana??” balas Koko memekik membuatku sedikit terkaget.

“Mbak Asri lagi pergi sebentar.” 

Koko membuka pintu pagar dengan tampang kesal. Ini ibu anak sebenarnya kenapa sih? Batinku.

“Masuk. Sudah ditunggu Mom,” ucapnya dengan suara lebih pelan.

Hah?? 

Aku melangkahkan kaki melewati pagar ragu-ragu.

“Kok Koko nggak masuk??”

“Nanti kalau sudah selesai, langsung Whatsapp saya. Akrabkan diri dengan calon mertua.”

Sial banget! Mataku kontan melirik tajam, sambil mendumal dalam hati.

“Koko mau ke mana?” tanyaku dengan wajah sedikit panik ketika melihat langkahnya benar-benar memutar.

“Saya ada urusan sebentar.”

Bangsat! Jadi aku mau diumpanin sendirian? Ini gimana??

“Tapi Ko—“

“Aya! Masuk sini.”

Kami masih bertatapan. Tapi kenapa ekspresi Koko mengeras begitu ya? Entahlah. Kalau kupikir-pikir lagi, daripada menghabiskan waktu dengan Koko, lebih baik aku menanggapi celotehannya Bu Susan. 

Jadi, tanpa bertanya-tanya lagi aku langsung masuk. 

“Mau ke mana dia?” tanya Bu Susan. 

“Hah?” tanyaku sedikit linglung. “Oh, itu, katanya ada urusan Bu.”

“Ayo masuk.”

Dan... aku tarik segala ucapanku tadi. Aku bilang lebih baik menanggapi celotehan Bu Susan. Nyatanya aku di sini, bukan cuma untuk gosip nggak penting. Tapi... disuruh turunin pot gantung tanamannya yang banyaknya sampai aku malas hitung.

Bu Susan bilang itu tanaman dia dan adiknya yang sekarang lagi ada urusan keluarga ke Kalimantan. Jadi berhubung dia punya keterbatasan fisik, jadi sudah hampir seminggu nggak ada yang urus. Dan parahnya lagi, aku jadi tahu kenapa mendadak Koko meminta kesempatan, ya karena ini! Aku yakin harusnya dia yang berada di sini, makanya dia langsung kabur, dan aku yang dikorbankan. Hebat! Two thumbs up untuk rencana briliannya memanfaatkan tenagaku.

Bu Susan terus saja menjelaskan kepadaku segala tanaman yang dimilikinya, dari mulai sebutan tanaman tersebut hingga nama aslinya. Sebenarnya itu juga merupakan ilmu baru untukku, mana tahu setelah resign aku membuat kesibukan dengan tanaman juga. Namun, berhubung perasaanku udah dongkol dari tadi, jadi apa yang dikatakan Bu Susan langsung lewat begitu aja.

Ditambah lagi, situasi sekarang—yang siapa pun jika melihat—aku memang seperti pesuruh. Angkat itu, angkat itu, geser ke sini, geser ke sana. Pilah tanaman, cabut dari pot yang tanahnya sudah berjamur, dan sebagainya...

Salahku juga yang terlalu terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Karena di rumah aku hanya berdua dengan Mama, jadi aku terbiasa memasang bola lampu, memanjat pasang kain jendela, menyusun dus-dus barang-barang pecah belah Mama ke lemari. 

Dan tentu saja, enam tahun bekerja bareng Bu Susan, wanita ini sudah sangat tahu aku bisa mengerjakan segalanya. Aku nggak bisa lagi berakting jadi cewek kelemar-kelemer, duduk anggun sambil minum teh di depan dia. 

Rasa kesalku kian menumpuk. Nggak salah kan, jika aku berpikir kesempatan yang diminta Koko itu, akan kami habiskan dengan makan, nonton. Keliling-keliling nggak jelas, bahkan lebih baik. Bukannya malah begini! Hari minggu yang biasanya kulakukan dengan istirahat seharian, malah kuhabiskan dengan melakukan pekerjaan berat begini. Dan ini semua salah Koko! 

Dan sepanjang aku menggeser tangga menyiram tanaman gantung, aku semakin yakin, kesempatan yang diminta Koko itu adalah berhubungan dengan mengeksploitasi pikiran dan tenagaku. Jadi dia nggak rugi-rugi amat. Sial! Meski nggak pernah meledak, aku juga manusia yang punya rasa amarah dalam hati.

“Itu bawa ke sini, Ya!” 

“Ini, Bu?” ulangku. 

“Iya, terus ambil polibag di sudut dekat keran.”

Aku mencari yang dimaksud Bu Susan dan meletakkan di dekatnya. Sudah kan?

“Karung tanahnya sekalian.”

Napasku kian terhela putus-putus, memang dasar Aya yang nggak enakan, jadi tetap kuambil itu karung. Setelah ini otot tanganku dijamin semakin besar.

“Perhatikan cara saya perbanyak tanaman.”

Aku hanya menaikkan alis malas.

“Saya dengar omzet naik jauh, anak saya ada rencanain apa saja, kamu tahu nggak?”

Aku melirik kikuk, apa perlu kubocorkan jika Koko sudah membeli ruko? Tapi, ntar aku bermasalah. 

“Biasa aja sih Bu, tapi ya, dia memang rajin hubungi teman lamanya buat promo.”

Bu Susan mengangguk-anggukkan kepalanya. “Hebat kan anak saya. Tapi saya nggak bilang itu di depan dia, nanti jadi besar kepala. Dan nggak mau lagi dengar saran-saran saya.”

Aku hanya tersenyum masam.

“Jessica itu gimana?”

Aku menoleh kaget. “Maksudnya, Bu?”

“Saya dengar dari Nita, kayaknya gadis muda itu suka dengan Chandra, respon Chandra juga positif. Menurut kamu gimana? Apa mereka ada gelagat punya hubungan di luar kantor?”

Aku seperti tertembak tepat di jantung. Ibu satu ini pasti nggak tahu sama sekali dengan rencana gila anaknya. Apa sebaiknya kuberitahu saja, dan meminta perlindungan Bu Susan? Tapi, jangan gegabah dulu, Ya. Aku harus cari tahu dulu.

“Sejujurnya, saya sama sekali nggak tahu menahu, Bu. Ibu—pengin Koko sama Jessica dekat?”

“Saya belum kenal anaknya. Saya cuma penasaran, kapan anak itu pengin menikah. Atau sebenarnya dia tidak mau menikah, karena hubungan saya dan Papanya tidak baik.”

Berat juga sih. 

“Khawatir saya. Kalau teman kencan lain, kamu ada tahu sesuatu nggak? Kira-kira ada wanita yang didekatinya nggak?”

Mati!

“Kenapa—nggak coba ibu jodohkan saja?”

“Hm... no no no... saya ini korban perjodohan. Itu makanya ada Chandra!” ucap Bu Susan menggebu-gebu.

Aku kontan meringis.

“Aya! Jangan ditekan-tekan biarkan gembur.”

Aku sontak terkaget dan menghentikan gerakanku. Dan mengikuti apa pun arahannya. Nggak di mana pun rasa sebagai bawahan itu tetap mengikuti.

Baru sekitar pukul lima sore, Koko muncul lagi. Yang kemunculannya, ingin sekali kutimpuk pakai pot. 

“Belum selesai juga?”

“Mau pulang?” tanya Bu Susan ke anaknya yang terkesan seperti pembicaraan dengan orang lain saja. Entah itu hanya perasaanku saja.

“Iya,” sahut Koko singkat.

“Ya sudah. Aya, letakkan yang sudah ditanam rapi di bawah sana. Ini karung tanahnya—“

Ucapan Bu Susan tidak selesai karena Koko sudah mengangkatnya lebih dulu. 

“Mana lagi?”

“Polibagnya di susun di bawah sana.”

Aku mengambil satu tapi Koko sudah mengambil empat, jadi aku mengambil satu lagi sisanya dan mencuci tanganku di keran. Begitu Koko mendekat untuk ikut mencuci tangannya spontan aku bergeser.

“Kenapa lama sekali?” bisiknya. “Saya tunggu chat kamu dari tadi.”

Dahiku mengerut antara bingung dan dongkol setengah mampus. Bukannya dia yang sengaja ajak aku ke sini!

“Sudah kan?” tanya Koko ke ibunya yang terkesan kasar bagiku. “Kami pulang.”

“Hm,” gumam Bu Susan sok cuek, padahal tadi dia kepo banget soal anaknya.

Sebenarnya mereka kenapa?

Bodo ah! Ngapain juga aku yang ikut pusing? Dan ketika kugerakkan lengan untuk mengambil tas, terasa sekali kaku dan pegalnya. Aku melirik punggung Koko dengan emosi yang berkecamuk. Lu orang yang buat gue kayak gini!

 

***

 

Saat kukira kami akan langsung pulang, Koko malah melajukan kendaraannya ke arah lain. Ini mau ke mana sih? Aku udah dekil berkeringat gini, masuk ke cafe juga pasti bakalan aku tolak!

“Ko, kita nggak langsung pulang aja?” Akhirnya aku menyuarakan pikiranku dan menatapnya dengan wajah lelah.

“Iya, setelah ini pulang.”

Setelah ini??

Mobil terus saja melaju, yang kadang berputar, dan Koko seperti mencari-cari sesuatu di ponselnya. 

“Ah, itu dia,” ucapnya saat memberhentikan mobil di depan sebuah... toko bunga?

“Ayo turun.”

“Kalau nggak lama, kayaknya aku di sini aja deh Ko.”

Koko sedikit menaikkan alis, bibirnya menekuk. “Ya mana tahu kamu mau lihat-lihat.”

Aku kembali menoleh. Bangunan yang serba putih dan terkesan elegan itu memang menarik minat, sekaligus membuatku malu dengan tampilanku.

Aku tetap menggeleng. “Enggak deh.” Apalagi kalau aku di sana malah jadi kambing congek, lihatin Koko milih-milih bunga untuk—entah siapa itu—biasa sih aku disuruh kirim papan bunga untuk peresmian usaha temannya. Yang kali ini barangkali juga begitu, pasti ada temannya yang sedang bikin perayaan.

Aku tahu Koko mendengus saat keluar.

Tapi yang bikin aku tambah kesal, dia malah membuka pintu mobil di sebelahku. “Sayang bensin, mesin hidup terus, ayo ikut.”

Astagaa.... kini giliran aku yang mendengus keras dan akhirnya tetap turun, dan mengekorinya sekaligus ingin mencekiknya dari belakang kalau bisa.

“Cari apa, Ko?” sapa pegawai toko ramah.

“Bouquet,” ucap Koko singkat.

Mataku kontan jelalatan, dan jelas segala jenis mawar menarik sorotan manikku. Merah, putih, kuning, biru?? Ah, aku pernah lihat di internet mawar hitam juga ada, tapi melihat sendiri warna unik itu sedikit banyak buat aku takjub.

“Mau bunga jenis apa? Atau campur?”

“Kamu suka yang mana?”

Hah? Aku menganga. Bukan senang aku justru malu, dan sedikit memutar tubuhku memegang erat temali tasku.

“Ah... untuk Mbak?”

“Pacar saya memang pasif, sampai saya tidak tahu dia sukanya apa.”

“I’m not your girlfriend,” desisku di sebelahnya.

“Apa sayang?” balasnya.

Bagiku ini sungguh nggak lucu. “Saya tunggu di luar,” sahutku, dan langsung melangkahkan kaki keluar. Hari ini aku benar-benar dipermainkan, setelah kerja rodi di rumah Mom-nya, sekarang dia berharap aku senang karena dibelikan bunga untuk sogokan.

Nggak lama Koko keluar dengan buket bunga di tangannya. Aku menahan diri untuk nggak melirik padahal jelas mataku mengkhianati karena buket bunga yang lumayan besar itu berisi bunga mawar biru yang sangat cantik. Sial.

Dia menghidupkan kunci mobil, dan aku segera naik.

Begitu dia naik ke kemudi, dia meletakkan buket tersebut begitu saja di pangkuanku. Kulirik kartu ucapan yang tertancap bertuliskan, ‘For my anti-mainstream woman’, kontan saja bola mataku berotasi. Bukan lagi antimainstream, aku bisa gila jika terus-terusan begini.  

“Bisa tidak akting ceria sedikit? Ke manapun kita pergi apa kamu berniat mempermalukan saya?”

See? Justru dia yang marah-marah.

Aku diam saja dan menatap ke luar jendela.

Nggak ada sahutan lagi darinya, yang kuduga dia juga sangat kesal. Padahal akulah yang harusnya lebih kesal.

Dan sekarang, aku juga harus memikirkan alasan agar dia nggak memberhentikan aku di depan rumah.

Sepanjang jalan, kami diam. Bagus untukku, dengan kepala semakin pening mencari-cari alasan. Dan di saat seperti ini aku teringat Jani.

“Ko, saya berhenti di depan saja, saya mau ke tempat teman, ada barang yang mau saya ambil.”

Koko langsung menoleh. “Di mana rumahnya?”

Aku sedikit berjengit. “Dan sekalian mau ngobrol-ngobrol juga. Biasanya saya bakal lama di sana Ko.”

“Ya, kenapa?” Hah? “Saya antar ke rumah teman kamu, kan bisa?”

Oh... astaga... aku kaget banget. Kirain dia maksa tungguin aku di tempat Jani.

Aku mengangguk, “Ya udah,” sahutku lalu membertahukan alamat Jani. 

“Itu gang rumahnya, bisa masuk, tapi susah.” Untuk kali ini aku jujur, Jani memang sering ngedumel tentang gang masuk rumahnya yang paspasan mobil.

Koko melajukan kendaraannya berhenti di depan kios. 

Segera saja aku turun sambil menyingkirkan itu buket. Tapi sepertinya keputusanku salah besar, karena Koko juga jadi ikut turun.

“Kenapa tidak di bawa?” tanyanya ketika memutari sisi mobil. 

“Enggak, Ko,” tolakku langsung. “Saya tahu, saya hanya dimanfaatkan. Dan nggak perlu sogokan semacam ini. Sembilan kali lagi kan? Suruh apa saja saya ikhlas, asal saya resign.” Aduh, lancar sekali ucapanku, tapi mau bagaimana lagi, tanganku pegal-pegal dan hari ini aku dongkol banget. Ditambah ucapannya yang mengada-ada di toko bunga tadi.

“Why are you talking like that?”

Apa dia sedang mulai memainkan scene playing victim? Gawat nih. Dari pada makin ribet aku mengambil bunga dari dalam mobil. “Duluan, Ko—“

“Sesuatu tidak berjalan lancar?” potongnya secepat kilat.

“Saya duluan, Ko. Mau cepat-cepat pu—nyantai di rumah teman saya, capek angkat-angkat pot,” sindirku.

“Mom suruh kamu angkat-angkat pot?”

Ya menurut situ??

“Di suruh apa saja kamu?”

Aku enggan menjawab, jika nggak mau salah ucap lagi. Aku masih mau bersikeras undur diri, tapi Koko malah mengambil ponsel di dalam mobil dan tampak langsung menghubungi seseorang, yang sudah kuduga adalah Mamanya. Dia kemudian berbicara dalam ‘bahasa ibu’ yang sama sekali nggak kumengerti, tapi yang jelas tampangnya tampak kesal.

“Mom kira saya bayar kamu,” dengusnya ketika mematikan panggilan. 

Ya wajar saja sih jika tenagaku dikuras habis-habisan oleh Bu Susan jika anggapan beliau begitu. 

Dia menyugar rambutnya. 

“Tante saya yang tinggal bareng Mom sedang ke Kalimantan.” Ya, aku tahu, sahutku dalam hati. “Mom bolak-balik menghubungi saya tanaman tidak ada yang menyiram. ART ada kenapa dia tidak suruh? Katanya kerjaan Mbak siapa itu sudah banyak. Ngotot suruh saya datang, pasti ada apa-apa, saya tahu.” 

Ucap Koko dengan gaya mengomel seperti biasa, dan kali ini meski omelan itu tidak ditujukan untukku tapi tetap saja, orang-orang yang nggak sengaja noleh pasti mikir aku yang dimarahi. Dan gimana caranya aku menghentikan ini??

“Kamu juga, sudah saya katakan jika selesai, telepon, saya jemput. Saya tunggu-tunggu, kamu tidak ada kabar juga. Saya pikir kamu ngobrol apa gitu sambil minum teh. Tidak tahunya??”

Aku mundur selangkah. Kenapa ujungnya selalu tetap aku yang disalahkan? Aku menatap Koko semakin malas.

“Kamu tahu kenapa saya tidak bicara dengan Mom?”

Ya mana kutahu! Pekikku dalam hati. Bodo ah, aku harus cabut! Belum juga aku minta izin, dia udah kembali nyerocos...

“Mom minta izin menikah lagi, dengan suami orang, katanya itu pria cinta pertamanya, tahi kucing! Kurang gila apa? Berjalan saja masih kesusahan. Jika itu kamu jadi saya apa yang akan kamu lakukan? Tentu marah, kan? Dan Mom selalu cari-cari alasan menghubungi saya, agar saya datang ke rumah. Kalau dia berani bahas mau menikah, bisa-bisa kursi di rumah melayang. Itu alasannya kenapa saya tidak mau bertemu, Mom,” dumal Koko panjang lebar dengan wajah memerah dan tangan berkacak pinggang. 

Ya, aku juga sangat terkejut. Dan sedikit nggak suka dengan permainan emosi ini. Tapi apa pun alasannya, tentu saja itu nggak ada hubungannya denganku kan? Lalu sekarang Koko berdiri di hadapanku dengan wajah kesal yang ditujukan ke Mamanya, sementara orang-orang bisa saja berpikir kami sedang bertengkar.

“Saya—turun prihatin. Semoga masalah Koko segera selesai.” Aku mundur selangkah. “Dan, saya—duluan, Ko.”

“Ya tunggu dulu, urusan kita kan belum selesai.” Astaga... Urusan apa lagi? “Begitu itu cinta yang kamu maksud? Open your mind!”

Aku mengembuskan napas kasar. Jadi dia akan balik ke situ lagi?? Mau dia nggak percaya cinta sekalipun ya itu bukan urusanku, dan harusnya nggak melibatkanku kan?? 

“Masalah itu nggak perlu kita bahas di sini kan, Ko?”

Sejenak, Koko seperti baru sadar dia berada di mana, sambil melirik ke arah lain.

“Jadi karena itu kamu marah?”

“Enggak. Enggak. Saya nggak jadi marah. Saya cuma salah paham aja tadi.”

Dia masih menatapku lamat-lamat. Tapi nggak berkomentar, kayaknya Koko percaya dengan ucapanku, bagus deh. 

“Tapi saya tidak beli bunga itu untuk sogokan,” katanya tak terima. 

Oke, aku memang salah paham tadi. Dan semakin aneh dengan adanya buket di lenganku sekarang. “Jadi untuk apa?”

“Ya buat rayu kamulah!” katanya sewot.

Ampun! Aku bahkan nggak terayu sama sekali. Dalam dongkol ada secerca semangat. Kabar bagusnya, dia benar gunakan kesempatan untuk memintaku jadi istrinya—Oh, bukan aku mau GeeR. Tapi dengan begitu, aku bisa bebas meminta waktunya untuk kesempatan-kesempatan semacam ini sembilan kali lagi kan? Yes! Masalah kelar!

Aku menyengir kaku, dan memutar langkah saat terlihat kira-kira Koko nggak mengajakku bicara lagi.

Tapi baru beberapa langkah, aku menyadari dia mengikutiku. Sial! 

“Kenapa Koko masih ikutin saya??”

“Jalan saja. Saya cuma mau tahu rumah teman kamu yang mana.”

Mampus deh aku! Pasti curiga ini orang? Mana Jani belum balas chat dari tadi, aku curiga hari minggu begini dia pasti jalan-jalan dengan keluarganya. 

Koko malah berjalan sambil celingukan, seperti mengamati daerah yang didatanginya. Aku tahu dia punya rasa penasaran yang tinggi terhadap apa pun, apalagi kalau yang berbau-bau prospek bisnis. Tapi aku beneran terganggu!

Dan semakin terganggu karena akhirnya kami malah berjalan bersisian, dengan lalu lalang kendaraan—yang meski nggak banyak tetap sedikit menaruh perhatian pada kami. 

“Ko,” ucapku sambil menggigiti bibir dalam. “Saya bawa-bawa bunga begini, Koko jalan di sebelah saya. Saya malu.” 

“Kenapa harus malu? Kita tidak kenal mereka.”

“Zaman sekarang cuma modal video orang yang nggak dikenal pun bisa jadi viral,” sengitku sedikit mengada-ada, melirik takut-takut ke sekelilingku. Berusaha menyembunyikan buket sebesar ini rasanya mustahil. Mana tasku kecil banget. Bawa karung baru cocok. 

“Yang mana rumahnya? Masih jauh?”

“Ya makanya Koko langsung balik aja, ngapain ikutin,” Aku kedengeran ngusir banget ya? bisa curiga nih, dia. “Kan, capek, Ko,” sambungku cepat-cepat.

“Capek?” suara Koko seperti meledek. “Saya sering ikut marathon, meskipun bukan atlet profesional. Berapa jauh kamu pernah jalan? Satu kilo? Dua kilo? Kecil bagi saya. Apalagi cuma sekian ratus meter begini.”

Duh kan, jadi jauh pembahasan. Jadinya ya, nggak kujawab, anggap aja angin lalu kayak yang udah-udah.

“Bunganya kalau sudah layu jangan dibuang. Selagi segar foto-foto dulu.”

Mulutku kontan saja terbuka beberapa saat. Memandangnya speechless.

“Ada banyak kreasi bunga kering, coba cari di Youtube. Kalau perlu dibingkai.”

Bibirku mengulum ketat, apaan sih? Dia kira aku memuja banget bunga pemberiannya?? Ini aja aku udah bingung gimana cara nyembunyiin dari Mama. 

“Pokoknya jangan dibuang. Sayang uangnya.”

Astaga... ini mulut nyaris nyeletuk, sini gue gantiin sekalian kalau nggak ikhlas! Tapi berhubung aku capek banget dan nggak pengin ngadepin another drama, jadi aku jalan saja terus. 

“Kamu pernah diberi bunga sebelum ini?

Aku langsung bergidik, melirik Koko singkat, dan hanya dalam waktu singkat itu pula aku lihat dia menatapku penasaran. Kalau bunga palsu saat wisuda masuk itungan artinya, iya kan?

“Pernah,” sahutku singkat.

“Sebesar ini juga?”

Aku nggak berani menatapnya, jangan-jangan setelah ini dia tanya bunga jenis apa yang pernah diberikan kepadaku?? Yap. Diam memang lebih baik.

“Kalau pun sama besarnya, saya yakin cuma saya yang kasih bunga warna biru.”

Karena memang cuma situ yang aneh! Kenapa nggak sekalian aja kasih bunga warna hitam!

Begitu kulirik kesal ke arahnya. Dia malah menyeringai dengan gaya khasnya. Ampun deh!

“Itu rumah temenku. Koko langsung pulang aja.”

Koko langsung memasang tatapan mengamati. “Kayaknya orangnya tidak di rumah. Pagarnya terkunci begini.”

Kan! Aku berusaha menormalkan ekspresi juga napasku saat berkata. “Iya, memang Jani lagi di jalan, bentar lagi nyampe. Saya memang udah janjian kok,” kataku berusaha meyakinkan.  

Namun, Koko malah menjuruskan tatapannya, membuatku menahan diri agar nggak salah tingkah. Aku takut banget dia malah bertahan di sini untuk sama-sama nunggu Jani. Sial! Ini salahku sih, nggak koordinasi ke Jani.

Tapi sepintas kulihat Koko memundurkan langkahnya. Thanks God! Seruku dalam hati.

Aku sedikit memiringkan tubuh, agar nggak kelihatan aku menunggunya pergi.

“Aya,” ucapan itu membuat dadaku kembali memburu. 

“Kenapa lagi, Ko?” tanyaku yang sedikit terdengar kesal.

“Tingkahmu mencurigakan.”

Aku kontan mendelik. Mampus! 

“Kamu pasti masih marah,” imbuhnya yang membuatku mengembuskan napas antara lega dan kesal.

“Enggak...” sahutku yang kontan menggeleng-gelengkan kepala. “Beneran enggak,” tekanku.

Lagi, Koko mengamatiku beberapa detik, sebelum akhirnya benar-benar membalik tubuhnya dan berjalan menjauh.

Fiuh... napasku langsung terhela selega-leganya. Aku langsung mengambil ponsel dan men-chat Jani kalau aku bakal langsung pulang, dan di mana pun dia berada dia nggak perlu buru-buru pulang.

Sip! Urusan hari ini beres!

Satu hal yang pasti, pokoknya Koko nggak boleh ketemu Mama!

Tapi ini bunga gimana ya? Aku juga nggak mungkin tega buang sih, bukan karena sayang uangnya Koko! Tapi sayang ke petaninya, tanam bunga begini kan nggak gampang. 

Aku hendak memesan ojek online, saat pop up pesan muncul. Mataku kontan membulat dengan darah seolah menyerap turun. 

 

Kodanil : Aya

Kodanil : Saya belum katakan tebakan saya yang lain. 

Kodanil : Kamu sengaja singgah di rumah teman kamu. Agar sy tidak antar kamu ke rumah kan?

Kodanil : I won’t debate you about that. Krn kamu pasti kalah.

Kodanil : Next time, saya pastikan jemput di depan pintu rumah kamu.

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Dear Boss, I Quit! [Bab 11 - Bab 15]
22
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan