Come Back Home [Bab 1 - Bab 7]

29
0
Deskripsi

Cerita ini sekuel False Hope. Kelanjutan hubungan Aji-Nini setelah menikah.

 

Blurb :

Menikah dengan Aji? Menjalani suasana baru dan jauh dari keluarga? Dhini telah mempersiapkan diri lahir batin. Namun, kenyataan tak seindah bayangan. Permasalahan yang datang sama sekali tak pernah terprediksi oleh Dhini.

CUKUP sudah, aku nggak mengada-ada! Aku memang lihat dia keluar dari hotel bareng cewek. Kubiarkan air mata membanjiri pipiku. Aku nggak punya waktu, pikirku sambil memasukkan baju seadanya ke dalam travel bag. Pokoknya, malam ini juga aku balik ke Medan!


 

Bab 1


 

DHINI

 

“Ji,” bisikku ke Aji, dan Aji pun noleh. “Kira-kira mukaku keliatan kaku nggak ya pas difoto? Aku liat foto pernikahan Bang Putra sama Mbak Sri. Astaga... itu beneran lawak banget, senyum nggak dikondisikan, mana matanya melotot, kayak poster film horor,” celetukanku malah buat Aji terbahak.

Juru foto yang nggak jauh di hadapan kami kembali menjauhkan kameranya. Matanya melayangkan protes karena tugasnya nggak urung selesai. Aku wanita kekinian yang tahu membedakan barang KW dan asli, tentu aja. Tapi, kalau urusan jepret sana jepret sini, aku senewen, lebih baik buat status otw dari pada selfi muka boker.

Tapi, berhubung kepalaku udah berat banget, akhirnya aku pasrah. Genggam tangan Aji sesuai arahan juru foto, dengan kain background bermotif abstrak hitam bercampur cokelat di belakang kami. Yah, masih mending nggak motif macan tutul.

Cekrek. Cekrek.

Ough... ya, aku tahu semua pengantin wanita berlomba menunjukkan foto pernikahan terunik, tercantik dan ter-apalah lagi itu di sosmed. Sementara aku, yang perlu kutunjukkan sepertinya cuma buku nikah. Iya! Aku resmi jadi istri Aji, sekaligus yang paling bersemangat sewaktu Aji membacakan akad dengan satu tarikan napas. Mantab! Calon laki-ku memang nggak main-main, ketika yang lain pada tertunduk mengucap hamdalah, aku teriak yes! yes! dalam hati. 

Ya, hari ini adalah hari pernikahan kami. Hari yang aku nanti-nantikan. Setelah melalui lika-liku LDR-an bertahun-tahun, setelah janjinya tiga tahunan lagi dan berujung molor hingga Aji naik pangkat jadi Sertu, akhirnya hari ini kami resmi jadi pasang suami istri.

“Bang, cantik, kan?” tanyaku sama si Abang yang potret-potret tadi, sementara Aji berjalan lebih dulu ke kamar pengantin.

Juru kamera mengacungkan jempolnya.

“Kalo nggak cantik, ntar nggak kubayar sisanya loh bang,” kataku, mengingat segala pelaminan dan lain-lain masih DP doang. 

Juru kamera tersebut malah nyengir. “Tenang aja mbak... cantik kok. Kan mukanya udah di dempul.”

“Ish!” 

Aji terkekeh di ambang pintu, dia keluar lagi, pasti gara-gara aku lama. Mana ada pengantin nggak berias tebal kalau di daerah tempat tinggalku. Cuma artis korea kayaknya yang mukanya putih mulus tanpa poles sana-sini, itupun mereka perawatan kan? 

Aku meninju perut Aji ketika melewatinya. Tadi juga aku senewen gara-gara Aji gumam kalau wajahku jadi keliatan aneh, sedangkan dia sendiri menolak mentah-mentah saat wajahnya akan dibedakin dikit. Ini laki aneh banget, paling nggak suka kalau aku make up kayaknya. Setahun lalu ketika dia pulang, dan punya kesempatan jemput aku pulang kerja, dia komen soal lipstikku yang kemerahan katanya, aku malahan disuruh pake lipgloss doang, dia bilang aku bukan SPG jadi nggak perlu dandan berlebihan.

Perhatianku teralih saat Aji melepas jas pakaian adat Melayu-nya, menyisakan kaus putih polos. “Ji, pake kemeja sana gih!”

Aji menaikkan alisnya. “Panas, Ni.” Aji malah rebahan di atas kasur. Di depan keluargaku dia nggak berani ngeluh, giliran di depanku gini bawaannya malas-malasan. Aku mendekat, dengan kepala sulit noleh. Sial, kepalaku bentar lagi patah kayaknya nih. “Iya, tapi kamu keliatan hot banget gitu. Itu asisten perias-nya masih gadis.”

Aji terkekeh, aku menjauh saat tangannya hendak terulur. Aku udah wanti-wanti, awas aja dia sampe merusak riasanku. Masih ada dua sesi ganti baju selayar. Tadi pagi, aku pakai baju adat Jawa berhubung pernikahan juga digelar secara adat Jawa karena Pak Zakaria suku Jawa asli, dan keluarga Aji yang suku Melayu nggak banyak tuntut masalah adat. Juga nggak ada acara-acara ngunduh mantu, soalnya lusa kami harus sudah berangkat ke Banda Aceh, berhubung cuti Aji sudah habis. Aku udah saranin dia cuti satu hari sebelum hari H aja, eh dia malah bilang udah ajukan cuti tiga hari sebelum hari H, katanya biar bisa bantu-bantu. Raja-ratu sehari nggak usah kerjalah kan ada keluarga yang lain.  

Dan... karena Papa Aji bukan orang yang mau repot-repot ngadain pesta semacamnya—dipikirannya cuma ban mobil kali ya—jadilah semua tamu-tamunya di undang sekaligus hari ini. Capek banget, tamu tumpah ruah, tapi pasti Bu Umi yang kenyang terima amplop. Parahnya, Aji nggak mau terima amplop dari rekannya! Semua diserahin balik ke Bu Umi. Ough... jatahku kado aja, kata Aji. Berhubung udah jadi suami, nggak boleh nolak perintah.

“Itu kapan sih baju kamu dilepas semua?” tanya Aji tiba-tiba.

“Hah?” Aku memekik, udah mikirin yang iya-iya. Tapi nggak mungkin, aku udah bilang ke Aji dua hari lalu aku datang bulan dan saat itu dia malah ketawa, dia bilang kayak aku yang ngebet banget. Sialan kan?!

“Iya... kayaknya kasian liat kamu, noleh kanan-kiri aja nggak bisa. Kayak robot.”

Aku yang sejak tadi menggenggam kipas langsung memukuli tubuh Aji. “Ya salahin aja Papa kamu. Sok nggak mau adain pesta di rumahnya, eh yang diundang melebihi tamu Bu Umi!”

Tapi emang dasar Aji, dengan gaya nggak pedulinya dia narik tubuhku hingga terduduk di kasur, menenggelamkan kepalanya ke perutku. Kujewer-jewer kupingnya pun nggak bangkit. Untung sayang.

“Kepala kamu penuh banget itu, sampe mau cium aja nggak bisa,” gumam Aji. Pipiku merona. Sialnya Aji langsung bangkit begitu mendengar handle pintu terbuka.

“Nah... Nah... itu Oom.”

Mataku sontak menyipit. Nayla,  keponakanku satu-satunya yang baru berusia satu tahun mengulurkan tangannya. Ini kecil-kecil udah genit, digendong maunya sama cowok, kalo aku yang gendong pasti nangis. Sialnya, Kak Dhina malah nuduh aku nyubit anaknya.

“Ji, bentar ya, di depan lagi ada keluarga Bang Gandi.” Belum sempat aku melayangkan protes kak Dhina udah ngacir. Sial kuadrat!

Aku menarik pipi tembam Nayla gemas, Aji yang seolah udah sangat terbiasa melayangkan tubuh Nayla ke udara, membuat batita itu terkekeh geli. 

“Udah cocok belum, Ni?” tanya Aji.

“Apanya?”

“Jadi, ayah.”

Mau tak mau aku mengulum senyum. 

“Tuh kan, mau ketawa aja jadi susah. Ketebelan sih bedaknya.” 

Aku menepuk paha Aji keras. “Ngomong sekali lagi aku ngambek nih!”

Aji malah mengecupi wajah Nayla. Dan tak lama perias datang, jadi aku nggak bisa menyahut lagi.  

 

***

 

Istimewanya kalau udah suami-istri itu ya gini, guling dianggurin, gantian Aji yang kupeluk. Lelah luar biasa buat kami terlelap setelah membersihkan riasan di wajahku. Membiarkan rambutku yang awut-awutan gara-gara disasak. Bodo amat! Badanku udah pegal setengah mampus. 

Dalam mimpiku kakiku terasa nyeri luar biasa. Berselang cukup lama, hingga mataku terbuka. Berkedap-kedip sebelum menggoyang tubuh Aji.

“Ji,”

“Hm...”

“Kakiku kram...” Mata Aji kebuka dikit, rona merah di matanya sulit tertutupi. “Kebas, sulit digerakin.” Oke, aku lebay, ini bukan kejadian pertama kali, main seharian ke Gundaling aja pulangnya aku kram. Tapi, ini di samping ada laki yang resmi berstatus sebagai suami, nggak apa dong, kalau ngeluh-ngeluh manja.

“Argh!!” Sial, Aji malah bangun dan nekuk telapak kakiku sebelah kanan. “Sakit, Aji ih!”

Aku bergerak turun dari atas kasur perlahan. Kaki sebelah kananku asli kaku. 

“Coba duduk dulu, baru dibawa jalan.”

Dengan rambut yang seperti sarang tawon aku berjalan pincang. Duduk di kursi rias. Aji ikut turun, saat kebasku sedikit berkurang. Aji berjongkok dan menekuk-nekuk kakiku. 

“Mendingan?”

Aku mengangguk. Aji kemudian memijati kakiku. Yang tadinya kaku berangsur lemas. Lumayan juga, Aji pandai mijit ternyata. 

Mataku memicing ke tumpukan kado. “Itu dari Bang El! Ambilin Ji,” aku berseru begitu melihat kotak kado bertuliskan ‘Dari : Pangeran’. 

Nggak sabaran aku mengoyak kertas kado, penasaran sama isinya. “Wuihh... sepatu sport. Dia tau banget kalo disana aku bisa olahraga pagi bareng ibu-ibu yang lain, ya kan Ji?”

Aku masih bersemangat dan begitu bertemu pandang dengan Aji senyumku menyurut melihat wajah Aji yang datar-datar aja.

“Aku juga bisa beliin.”

Bibirku mengerucut, ini bukan perasaan cemburu, pasti masalah harga diri. “Ya, masa tunggu aku minta baru dibeliin,” celetukku.

Aji naik ke atas kasur. “Tidur lagi yuk!” Aku berdiri, untuk kemudian merangkak ke atas kasur. “Lagian, kasih kadonya bisa spesifik gitu ya, untuk pengantin wanita aja.”

Mataku memelotot, iya juga ya, tapi kemungkinan juga nggak, soalnya aku juga sering curhat ke Bang El, dan dia bilang akan kasih kado yang berguna. Lagi pula tadi dia dateng kondangan bareng Kenia dan mamanya. Udah keliatan deket banget mamanya sama calon mantu. 

Aku mengendus-endus dada Aji. “Cemburu ya...?”

Aji menyipitkan matanya ke arahku. “Cemburu pun nggak ada gunanya, kan kamu udah jadi milik aku.” Aji menarik tanganku dan memperlihatkan cincin di jari manisku. “Aku cuma berpendapat.”

“Ya, mungkin karena Bang El tanggap sama curhatanku. Jadi—“

“Kamu sering curhat ke Bang El?” Eh mampus! “Kamu sering mampir ke kafe Bang El?”

Bola mataku berlarian nggak tentu arah. Bohong, nggak mungkin juga kan? tapi, aku suka ngobrol sama Bang El, dia beneran pendengar yang baik. “Ya, eung... sesekali kok. Lagian kan mau jadi sodara, nggak ada salahnya kan silaturahmi. Bang El, juga sering kasih nasihat kok, kalo aku jangan terlalu tekan kamu, tentara bukan pebisnis, kamu punya gaji tetap, jadi aku harus pinter-pinter mengkondisikan. Gitu katanya.”

Aku terpaksa bergeser saat Aji memiringkan tubuhnya. “Kita kan udah pernah bahas ini, kenapa kamu cari pendengar lain? Kenapa, kamu nyesal?”

Mukaku tambah masam dengan mata menyalang, “Nggak Aji! Aku nggak pernah dan nggak akan pernah nyesal!” bibirku sedikit bergetar ketika mengatakannya.

Kembali terngiang percakapan Aji beberapa waktu yang lalu. Dia bahkan sampai menjelaskan secara terperinci total gaji yang didapatkannya perbulan.

 

“Aku bakal bicara sedikit egois, Ni. Gimana pun aku nggak mau kamu kerja setelah kita menikah nanti. Nggak ada pemasukan lain yang bisa kamu harapkan dari seorang abdi negara. Maaf kalau kesannya aku jadi ajak kamu hidup sederhana. Tapi, aku katakan ini biar kamu memikirkan semuanya. Aku nggak pengin kamu mundur, tapi aku nggak akan mungkin melarang kamu buat pikirkan yang terbaik, buat hidup kamu.”

 

Ditambah lagi, Aji udah berkomitmen nggak akan meminta bantuan Papanya lagi. Waktu itu aku langsung mengangguk, mengerti semua yang dikatakan Aji, nggak ada yang lain yang lebih kuharapkan selain hidup dengan Aji. Bersama Aji. Sebagai gantinya, aku minta dia setia sama aku seumur hidupnya. 

Dan Aji bilang. “Aku akan setia sama kamu, seperti aku setia ke negara ini.”

Malam pertama diisi dengan cairan yang mengaliri sisi wajahku. “Maaf,” kataku, mengakui kesalahan karena menumpahkan kegelisahan ke orang lain. Bang El dan Mona sering jadi sasaranku. Ketidaksiapanku lebih kepada kalau-kalau aku merepotkan Aji. Jujur aku bahkan menyiapkan tabunganku sendiri, hasil dari gaji yang kukumpulkan setiap bulannya. Aku nggak mau yang terjadi di sekitarku menghampiriku. Ribut gara-gara uang bulanan. 

Ibu jari Aji bersarang di pipiku. Bibir lembutnya mendarat di dahiku. “Berumah tangga, otomatis kita yang akan menjalani. Apa pun kegelisahan kamu, aku harap kamu membicarakannya ke aku, bukan orang lain.” Aku mengangguk ketika merangsek ke lekuk leher Aji. “Menjaga supaya nggak terjadi salah paham,” imbuh Aji. 

Aku kembali mendongak dan mengecup bibir Aji. Senyumku merekah, pilihanku nggak salah, dan nggak akan pernah salah. 

Lama dalam posisi berpelukan, sepertinya ada sesuatu yang mengganjal dibawah sana. “Ji,” kataku dengan pipi bersemu merah.

Aji meraup wajahku. “Udah, tidur aja. Berapa hari lagi? Lima? Aku tahan kok.”

“Kayaknya gede ya, Ji? Kata kak Dhina sakitnya bisa lebih sehari kalo gede. Punya bang Gandi gede juga soalnya. Tapi puas.” Mataku berbinar. Aji mendengus, seperti menahan sesuatu. “Mona, kemarin sempat mau tunjukin prosesnya dari video yang dia punya, terus aku nolak.” Jujur aja, aku bukan sok naif, Windi aja ngaku beberapa kali nonton blue film. Tapi gimana ya, aku suka geli sendiri jadi nggak pernah berani nonton, walau Windi udah jelasin panjang lebar cara download-nya. Kalo Aji aku nggak berani tanya, yang ada aku senewen kalo ketauan dia sering nonton juga. Tapi, aku yakin sih, rata-rata cowok begitu.

Aji mendesis. “Ni, please jangan bahas itu sekarang ya. Aku bisa tidur di luar nih. Nanti yang ada Ibu sama Bapak malah curiga.”

Aku menarik pipi Aji yang sama sekali nggak chubby itu.    

 

======================================================================

 

 


Bab 2

 

DHINI

 

Jadi istri Aji? Oh, memang ada dalam mimpiku, beberapa kali, bahkan sejak duduk di kelas satu SMA, saat dia dengan motor Ninja kuning-nya. Aku pemimpi ulung, yang seringnya mimpiku malah ketinggian. Tapi, jujur, tiap kali aku tanya dalam hati kenapa Aji nggak pernah bilang cinta dengan gamblangnya, hal selanjutnya yang kudapati adalah Aji membayar makanku di kantin padahal dia duduk di pojokan lain, dia yang membayar iuran OSISku langsung ke bendahara kelas tanpa kuminta. 

Kejadian kecil tapi manis itu bahkan masih sering kutemukan hingga detik ini. Jadi ceritanya, aku ini memang penggila tart, entah kenapa, makanan satu itu sangat menaikkan mood. Aku bisa menandaskannya sendiri, nggak jarang langsung mampir ke Mawar sepulang kerja. Sebagian orang nggak terlalu suka dengan tumpukan krim di atasnya, apalagi Kak Dhina, makan dikit aja udah kenyang katanya, tapi aku suka pakai banget. 

Saat resepsi kemarin, mataku nyaris nggak teralih dari kue tart pernikahanku yang ditandaskan oleh anak-anak sepupu. Ngiler udah pasti. Mau protes nggak bisa, lagian dengan make up tebal, aku sulit makan banyak. Dan hari ini, aku malah dapet kiriman dari abang Grab, sekotak tart topping selai strawberry ukuran kecil kesukaanku. Bingung udah pasti, karena perasaan aku nggak ada pesan. Sementara Aji lagi ke rumah Papanya, ambil barang, berhubung entar malem berangkat. Niatnya mau ikut tapi tumpukan barang di kamarku nggak bisa kutinggal, harus segera di bereskan dan dipilah mana yang mau dibawa. 

Oke, jadi aku berpikir rejeki nggak boleh ditolak. Apalagi tart! Sekalipun rejeki kesasar bodo amat. Setelah menghabiskan setengahnya, di kamar sendirian baru aku tersadar. Segera kuambil ponsel dan menghubungi Aji. Ternyata benar dia yang kirim. Ough! Sekali lagi Aji membuktikan kalau dia bukan cowok romantis, atau romantis yang tertunda? Entahlah, yang jelas, Aji nggak akan bilang untuk sesuatu hal yang dilakukannya kalo nggak ditanya. Itu kesimpulanku. Dan sepertinya aku memang harus membiasakan diri. 

“Yuk kuantar!” bahuku ditepuk kencang, Kak Dhina kalo mukul memang nggak kira-kira. 

“Apaan sih? Kemana!”

“RSJ! Melamun, senyum-senyum sendiri. Takutnya gila pula.”

Aku melengos kembali menyuap tart ke dalam mulut. Yang penting, satu koper besar berisi semua barangku telah kusiapkan. Aji pesan buat nggak bawa banyak-banyak, masih bisa pulang juga sebulan sekali. Medan-Banda Aceh semalaman juga sampe. Nggak ada hantaran lemari, tempat tidur dan semacamnya, karena Aji langsung beli di sana, repot kalau bawa-bawa dari sini katanya. 

“Nay, jangan minta ya... ini jatah Bunda,” kataku menjauhkan piring, batita itu malah mengoceh dengan air liur keluar dari mulut. 

Kak Dhina langsung mencibir. “Bulan depan Bang Gandi mau cuti, mau jalan-jalan ke Aceh. Kamu hapalin semua jalan, ajak kami jalan-jalan.”

“Bujuk Aji dong, buat bawa mobilnya ke sana, biar enak jalan-jalannya.”

“Lah?” Kak Dhina langsung mengernyit. “Kok kakak. Kamulah yang bujuk.”

Bibirku langsung mengerucut. Selain karena itu mobil punya Papanya, Aji nggak mau pakai mobil di sana, nggak enak katanya, pangkatnya belum seberapa tunggangannya udah Pajero aja. Iya juga sih. Ya, tapi kan itu yang beli Papanya... Ya, ya, ya, segala penyangkalanku nggak guna. Yang jelas, Aji janji bakal belikan motor matic buatku selama di sana, berhubung dia punyanya motor besar, sementara aku nggak bisa naikinnya.

“Hmm.. payah. Untuk sekarang-sekarang ini nggak bisa.“

“Punya anak cepet! Pasti bakal langsung beli mobil si Aji.”

“Duitnya dari mana?”

“Ya. Ambil kredit di bank.”

Bahuku mengendik. “Entahlah. Model Aji, tunggu kepentok, berpikir sendiri baru jalan.”

“Iya sih. Disesuaikan aja dulu. Jangan terlalu nuntut, tapi jangan diem aja juga. Bang Gandi juga sering ngedumel sih kalo kakak kebanyakan beli tupperware, padahalkan tiap ada keluaran baru bikin ngiler. Beli barang kalo nggak dipake mubajir katanya, mendingan beli popok Nayla.”

Aku mengangguk-anggukkan kepala. Gimana kalo laper mataku kumat. Eh, tapikan tabunganku masih ada.

“Lagian ya, itu bayarnya bulanan, harga barang enam ratus, tiap bulan kan cuma keluar uang enam puluh ribu,” tambah kak Dhina. “Tapi lebih untung yang jual. Eh, Dek, di sana kamu jualan aja, barang-barang online, itu Ibu-Ibu persit biasanya pantang tak top!”  

“Iya juga, tapi entah Aji ngasih apa nggak. Cari duit urusan kepala keluarga katanya.”

Kak Dhina hendak mengoceh lagi, kalau nggak suara tangisan Nayla menggema. Minta susu tuh pasti. Buktinya Kak Dhina langsung membuka kancing baju tidurnya. “Eh... di kamar sendiri sana. Ntar Aji tiba-tiba muncul gimana.”

Kak Dhina langsung berdecak  hendak membantah, tapi mendengar suara tapak kaki dia segera ngacir. 

Nggak lama Aji muncul diambang pintu. “Kopernya mana?” tanyaku langsung.

“Dibawah. Ntar malem juga dibawa turun lagi, jadi ya udah sekalian aja taruh di ruang tamu.”   

Aji nggak buang waktu untuk merentangkan tubuh di atas kasur. Aku ikut beranjak naik. “Udah makan, Yang?”

Aji malah terkikik. “Pertanyaan kamu aneh.”

“Lha, aneh kenapa?” kataku memeluk tubuh Aji seperti guling.

“Ya, harusnya kamu yang nawarin aku. Mau makan apa Kakanda... gitu...”

Aku nggak tahan buat nggak ketawa. “Nggak ada sayur di dapur, kalau kamu udah makan kan aman. Kalau belum terpaksa ambil ke warung.”

Aji mengacak kepalaku gemas. “Ada ya istri begini.”

Kontan aku mencebik. “Debut jadi istri solehahnya nanti aja, ini masih di rumah Ibu jadi leha-leha dikit.”

“Oh.. gitu,” kata Aji menahan tawa.

Kukecup bibir Aji sebelum mengangguk. “Bakso kayaknya enak Ji.”

“Titip...” pekik Kak Dhina. Pintu kamar masih terbuka, pantas dia bisa dengar.    

“Sini duitnya... kami yang beli Kakak yang bayar,” balasku.

“Pelit... Ji! Jangan ikut-ikutan binimu itu!”

Aku menepuk dada Aji saat dia menggigit daun telingaku. Selanjutnya dia langsung menyuruhku ganti baju. He always talk less do more. 

 

***

 

Barang terakhir yang diturunkan Aji dari bagasi mobil Bapak. Dulu, waktu nikah kantor Bapak yang temenin. Pagi pergi naik pesawat, dan pulang sore itu juga naik Bus. Bu Umi ngelarang keras buat nginap. Alasannya banyak. Yang belum resmi lah, yang calon pengantin harus di rumah nggak boleh kemana-manalah. Pokoknya itu titah yang nggak boleh dilanggar. 

Dan sekarang giliran udah resmi Bu Umi yang temenin ke Banda Aceh. Alasannya lagi, supaya bisa lihat suasana, Ibu bilang aku susah bergaul kalau sama tetangga, jadi kesannya dia mau baik-baikin tetangga di sana. Dan dari lama juga aku udah diwanti-wanti hubungan paling dekat itu ya ke tetangga, kalau ada apa-apa pasti tetangga duluan yang dimintai tolong, jadi harus ramah-ramah. Nggak boleh sombong.

Dua bulan sebelum nikah Aji udah deal sama penghuni lama rumah dinas. Jadi sistemnya memang harus bayar sama penghuni sebelumnya sesuai dengan bayaran yang dilakukan penghuni tersebut ke penghuni sebelumnya lagi. Katanya sih dari dulu-dulu udah gitu peraturannya. Jadi, kalau seandainya kami pindah, pemilik selanjutnya yang bayar ke kami. Saat sebulan kemudian penghuni tersebut pindah, Aji mulai melengkapi barang-barang yang pokok.

Aku menyalim tangan Bapak begitupun dengan Aji sebelum menaiki Bus. Kenek mengangkut barang kami ke bagasi. Ibu naik ke bus mendahului, disusul aku dan Aji. Satu travel bag Aji masukkan ke tempat penyimpanan barang di atas tempat duduk.

“Ni, kamu masuk duluan, Ibu nggak mau yang dekat kaca.”

Mataku sontak memelotot. Bus dengan kursi tipe dua satu, dan Ibu bilang nggak mau deket kaca?! Itu artinya aku sebelahan sama Ibu dan Aji di sebelah yang lain, terpisah lorong buat jalan. Terus aku nggak bisa peluk-peluk Aji dong? Argh!

Nggak bisa. Mana bisa tidur entar. Aku menyentil lengan Ibu. “Bu, duduk di kursi satu aja, lebih enak, nggak ada yang ganggu,” bisikku membujuk.

Bu Umi sontak melempar pandangan. Aku memutar bola mata ke arah lain, berharap Ibu nggak mengamuk di sini. Nggak lama, aku mendengar helaan napas Ibu. 

“Loh, Bu nggak jadi duduk di sini?” kata Aji.

“Nggak, di sini aja, nanti ada yang nggak bisa tidur pula,” kata Ibu pelan sarat sindiran. Tak apalah, yang penting kali ini Ibu lumayan pengertian. 

“Aku di ujung,” tukasku cepat dan menduduki kursi, nggak peduli dengan padangan Aji yang menyipit. 

Menunggu sekitar lima belasan menit, Bus pun mulai bergerak. Aku mengintip Ibu yang sedang memainkan handphone jadulnya, pasti mengirim pesan ke Pak Zakaria, memastikan ini dan itu. Dan selama Ibu menemaniku, Kak Dhina dan Bang Gandi menginap di rumah.

Aji mengulurkan antimo cair ke Ibu. “Mau minum ini Bu?” tawarnya. Ibu mengangguk, dan menerima sachet antimo juga air mineral yang di sodorkan Aji. Kemudian dia mengalihkan pandangan ke aku menyeringai sebelum bertanya. “Kamu nggak muntah kan?” aku tahu dia sengaja membuat lelucon.

Aku mengangguk, membuat Aji mengernyit. “Yakin? Biasanya juga nggak.” 

Aku mengalungkan tangan ke lengan Aji. “Iya, tapi nggak butuh antimo, butuh dipeluk.”

“Kayaknya aku yang mau muntah,” kata Aji lengkap dengan kekehan kecil. Sontak aku menepuk dadanya.

Kusandarkan kepala ke bahu Aji. Untungnya naik Bus aku bisa lebih lama dalam posisi begini, semalaman lebih tepatnya. Padahal aku bisa begini tiap malam. Haha. See, aku nggak gitu percaya sama rekan kantor yang takut-takutin, bilang kalau ada saatnya kita nggak pengin sekamar, bahkan benci sekamar sama pasangan.

Bullshit! Aroma tubuh Aji selalu kukangenin. 

Lampu dimatikan menyisakan keremangan, “Ji,” bisikku. Masih bisa melihat bayangan wajahnya. “Kamu bisa cari dimana letak bibirku nggak?” bisikku kembali nyaris tak terdengar.

Lengkungan senyum Aji samar-samar kulihat sebelum bibir hangatnya menyapaku. Lembut tanpa penekanan berlebihan. Namun, napas yang menerpa wajahku seakan berlangsung lama. Karena Aji memberikan kecupan kecupan kecil tanpa suara. Dengan tak melewatkan bagian wajahku yang lain. Terakhir ujung hidungku. 

Kulengkungkan senyum lebar. Sweet, ini yang kuharapkan. Nggak perlu honeymoon berlebihan kan?

“Aku suka heran, kamu belajar modus dari mana sih?” gumam Aji ketika merangkul pundakku mendaratkan kecupan lama di pucuk kepala. “Sayangnya aku suka.”

Seringaiku melebar. Cukup bangga dengan kemampuanku yang satu itu.  


========================================================


 

Bab 3

 

DHINI

 

Aku memerhatikan jalanan pagi dengan pandangan kosong. Suasana baru, yang sedikit membuatku bersemangat adalah jalanan di sini nggak rumit kayak di Medan. Senyum kecilku mengembang, sekelumit rencana udah kususun, mungkin aku bisa mengitari kota ini sendirian sementara Aji tugas. Ya, baru sekali liat deretan rumah berwarna hijau muda itu aku langsung bisa membayangkan betapa suntuknya seharian di rumah tanpa teman ngobrol. Kalau di Medan kan aku bisa main kemana-mana, ke rumah Kak Dhina, Mona.

Apalagi Aji itu masuk di regu penembak, kalau ada tugas urgent sewaktu-waktu dia bisa nggak pulang berhari-hari. Dulu, waktu masih masa LDR-an aku sempat sedikit was-was sih, kenapa Aji mengambil kepelatihan khusus menembak. Apa emang dia niat banget mau nembak orang mau deketin aku? Eh, kok ke Ge-eran gini sih. 

Dan tahu kenapa akhirnya aku iya-in keputusannya? Ya karena mabuk kepayang sama foto yang dikirimin Aji. Aji dengan seragam khusus dan memegang senapan plus helm juga kacamata pas lagi latihan menembak buat aku kelepek-kelepek. Bisaan banget bujuk dengan cara begituan. Dasar Aji! 

Dicampakkan ke Batalyon Infanteri 112/Raider di Japakeh makin buat aku panas dingin, sulit sih mengendalikan diri buat nggak khawatir setiap saat, apalagi cicit-cicitnya teroris masih bersemayam. Seabrek prestasi yang coba dibanggakan Aji soal tembak-menembaknya itu nggak guna dimataku. 

Sampai suatu malam Aji bilang, “Kalau udah naasnya mati, di mana aja bisa mati, ditengah jalan ketimpa pohon aja bisa mati,” katanya. Ya, kontan kubantah, masa mati sih?! Yang bener kan meninggal!

Terus apa gunanya dong aku ikut dia ke Aceh kalau bakal sering ditinggal juga, kataku. Aji bilang yang penting intensitas ketemuannya lebih sering ketimbang aku di Medan. 

“Ibu dari tadi pusing baca plang jalan di sini,” seruan Bu Umi menyadarkan lamunanku. 

“Memang gitu Bu, huruf vokalnya dobel. Yang ‘eu’ itu dibaca ‘e’ aja.” Bu Umi manggut-manggut saat Aji menjelaskan. Itu juga sih yang aku alami pas pertama kali ke sini. Dan Aji menjelaskan hal serupa.

Tadi, kami di jemput sama temennya Aji. Dan tahu ini kami naik mobil siapa? Komandannya! Begitu denger cerita Aji di dalam Bus, aku nggak yakin sih dia deket sama komandannya karena prestasi, yang ada karena suka jadi sopir kemana pun, kata Aji komandannya itu lebih percaya di sopirin dia. Kemampuannya nge-Grab dulu, kayaknya diterapkan juga di sini.

Mobil menepi di depan sebuah rumah gandeng. Sekilas aku menghela napas, selagi masih di Medan aku biasa-biasa aja, sampai di sini kok kayak ada yang mengganjal ya. Aji turun, dan sesaat membuatku terkesiap saat dia membukakan pintu untukku. 

Saat pandangan kami bertemu entah kenapa tiba-tiba aku merunduk, dan berangsur turun. “Semua akan baik-baik aja,” bisik Aji, mengusap punggungku. Tiba-tiba membuat dadaku mencelus, apa ini tentang percakapan kami semalam di dalam Bus?

“Pangkatku paling junior, dan itu juga berlaku buat kamu di organisasi istri tentara. Hmm.. mungkin, aku nggak tahu pasti kegiatan mereka gimana. Tapi, yang pasti, kamu harus menjaga sopan-santun. Nggak peduli masalah apa yang terjadi, siapa yang salah siapa yang benar, selama kamu masih junior, senioritas masih berlaku.”

“Maksud kamu? Misalkan ada apa-apa aku tetap harus diam aja gitu?”

“Kan ada aku, kamu bisa keluh kesah sama aku. Jangan ke yang lain. Dan lagi, sifat kamu yang sering marah-marah langsung ke orangnya, jangan diberlakukan di sana ya, Ni.”

Saat itu suara Aji terdengar sangat memohon. Aku mengangguki, berpikir jika itu mungkin hanya segelintir kekhawatirannya. Tapi, kekhawatiranku saat ini bukan perkara itu, namun hal-hal lain yang tiba-tiba saja terlintas di kepala. Menghabiskan hari dengan lingkungan yang baru, meninggalkan lingkungan lama yang nyaman, tiba-tiba membangkitkan kegelisahan. Aji, ya, sekarang aku sepertinya hanya bisa bergantung padanya.

Aji, dibantu dengan temannya mengangkat sisa barang ke teras. 

“Makasih ya, Nak,” kata Bu Umi, berterima kasih kepada temannya Aji. 

Pria berambut cepak itu mengangguk. Aji pun ikut menepuk pundaknya dan mengucapkan hal senada, sedangkan aku hanya bisa tersenyum. Tak lama mobil menghilang dari pekarangan rumah dinas yang bakal kutempati ini.

Tanganku bersarang memegangi ujung motif dari hijab yang kukenakan ketika Aji membuka pintu. Hijab mode langsung pakai yang kubeli selusin dengan warna berbeda, aku kalap berbelanja online begitu tahu aku diwajibkan memakai hijab ketika berada di sini. Nggak cuma hijab, bagu gamis buat di rumah, buat pergi-pergi, dari bahan katun sampe bahan kaus aku beli komplit. 

Tadi sebelum turun dari Bus dan kugunakan hijabku, aku tanya sama Aji gimana penampilanku? Aji malah jawab. “Kalau nggak habis bangun tidur, bau iler, pasti cantik banget.” Sialan kan? Dengar Aji yang bakal muji-muji pake bahasa puitis kayaknya bakal langka banget. 

“Assalamu’alaikum.” Aku dan Ibu serempak menoleh. Seorang Ibu muda tengah menggendong anak balitanya mendekat hingga ke pembatas dinding kira-kira selutut. “Akhirnya ada tetangga baru,” katanya ramah.

 

Ibu mendekat dan langsung menyalami, memperkenalkan diri. Aku mengikuti dengan mengukir senyum seramah mungkin. Ingat, di sini dilarang galak-galak. Wanita itu memperkenalkan diri sebagai Heni, istri dari Sertu Ramdan. 

“Saya Dhini, Bu Ramdan,” kataku memperkenalkan diri dengan sopan.

“Aduh, manggilnya Bu Heni aja, kan nggak lagi di acara. Kalau di rumah nggak usah formal-formal.” 

Aku mengangguk seraya tersenyum. “Kalau gitu panggil saya Dhini aja Bu. Lebih muda.”

Bu Heni langsung menyahut, “Bu Dhini aja, biar sama-sama enak, ya.” Anak digendongannya menggeliat, bocah laki-laki itu sepertinya nggak nyaman di gendong. “Beginilah Bu, dari mulai aktif jalan, nggak suka digendong,” katanya.

“Memang begitu, ini dulu anak saya Dhini malah tiga kali jatuh dari tempat tidur saking aktifnya. Pokoknya semua pintu wajib dikunci kalau nggak mau main ke mana-mana,” sahut Bu Umi. Loh kok jadi aku? Hm.. 

Aku melirik Aji yang memasukkan barang dan langsung izin masuk ke dalam membiarkan Ibu dan Bu Heni mengobrol. Saat sudah berada di dalam bola mataku mengedar, ruangan yang cukup kosong jika tidak di isi dengan dua kendaraan di tengahnya. Motor Aji dan... Honda Vario? 

“Ini buat aku pake? Kamu bilang masih mau di beli?”

Aji mengecup keningku, “Kemarin ada saudara temen jual, masih bagus belum setahun pakai. Nggak apa kan, nggak baru?”

Bibirku mengulum sebelum mengangguk dan menggandeng lengan Aji. 

“Mending ambil bongkar koper di kamar, terus langsung mandi.” Sontak aku mencebik dan memukul dada Aji. “Biar ciumnya juga lebih semangat,” bisiknya. 

“Dasar!” dumelku. Dan masuk ke dalam kamar, mengedarkan pandangan beberapa saat sebelum duduk di pinggir kasur, Ibu tak lama menyusul. 

“Kayaknya lebih rapi Aji ngurus rumah daripada kamu,” gumam Bu Umi membuka isi lemari. 

Aku mendengus, kayaknya sih emang gitu, soalnya semua barang berada di tempatnya. Bahkan gorden, seprai yang dipilih Aji juga bagus, model masa kini. Tapi mungkin juga dia sengaja bersih-bersih sebelum aku pindah ke sini, bisa jadi kan? Oh, tapi jangan lupakan sapu lidi yang menggantung, sepertinya dia memang pembersih. 

Aku beranjak mengambil sapu lidi tersebut dan menyapukannya ke atas kasur. Hampir seminggu nggak ditempati debu pastinya menempel. Setelahnya aku keluar. “Ji, sapunya mana?”

Kening Aji berkerut, “Di belakang.”

“Bersihin rumah dulu, biar sekalian bau,” kataku sambil berjalan ke dapur. Masih menyapu pandangan, perlengkapan pokok buat memasak dan sebagainya itu benar sudah dilengkapi Aji. Meja bundar kecil dengan dua kursi mengembangkan senyumku. Barangkali, kami akan sarapan pagi bersama setiap harinya. Hanya berdua... uhuy..

“Melamun, hati-hati kesambet.” Aji mengagetkanku. “Tau nggak kalau di sini itu... ada...”

“Aji!” Aku menepuk bahunya kuat dengan raut wajah ketakutan.  

“Tapi kayaknya dia nggak bakal suka kamu.”

“Hah? Dia siapa?!”

“Ya penghuni di sini, dia demennya sama cowok.” Aji bergumam dengan nada biasa sementara kudukku udah berdiri.

Mataku masih memelotot saat Aji meraup wajahku, “Astaga Nini... aku bahkan ketemu yang lebih di hutan dan biasa aja. Mahkluk gaib itu kan emang ada, tapi bukan untuk di takutin.”

“Kalau dia gangguin aku pas kamu nggak ada gimana?”

Aji mencubit pipiku. “Nggak ada... aku bercanda aja kok.”

Ish, Aji, aku yakin dia nggak bercanda sih. Aku mengedarkan bola mata, jin ipprit... menjauhlah! 

 

***

 

Aku masih mengeringkan rambut dengan handuk kecil ketika kulihat Ibu udah tertidur pulas di atas kasur, kecapekan, semalaman di dalam Bus pegal juga, padahal sekarang pukul satu pun belum ada. Cuaca di sini nggak terlalu panas berhubung bukan daerah pinggir pantai, tapi kipas angin tetap menyala, Bu Umi udah kebiasaan pake AC, jadi kemana aja bawaannya panas.

Setelah nggak ada tetesan air aku menyisir rambut. Baju tidur yang kugunakan juga berlengan panjang, coba kalau di Medan, tanktop sama celana pendek udah jadi langganan, asal nggak dibawa keluar rumah. Udah wangi, mau cium-cium Aji pun bebas... 

Tapi begitu keluar kamar. Aji malah molor beralaskan ambal dengan bantalan lengannya sendiri.

Aku berjongkok, menatap wajah polos Aji saat tidur terlihat kelelahan. Bibirnya tertutup, nggak kayak aku yang keseringan menganga, poseku tidur pasti malu-maluin banget. Aji sekarang agak putihan, nggak kayak dulu sewaktu pulang latihan. Mana sekarang rambutnya dipangkas cepak, tambah gagah aja. Dari, beberapa tentara yang kutemui di sini, wajah Aji yang keliatan paling bersinar.

Suamiku ini kok ganteng banget sih? 

Telunjukku menyentuh ujung hidungnya. Mana ini hidung mancung lagi. Fix, bibit dari Aji pasti berkualitas banget. Nggak sabar nunggu proses penyatuan. Dulu aku lumayan bagus sih nilai biologi, ditambah kuliah pertanian. Di otakku sekarang malah ngebayangin berjuta-juta kecebongnya Aji masuk ke sel telurku, terus yang paling bagus bakal kesaring, bersatu membentuk embrio. 

Astaga... anakku pasti cakep banget! 

“Pasti mikirin yang ngeres,” gumaman Aji menyentakku. 

“Nggak tidur ternyata!”

“Udah biasa waspada.” Mata Aji masih kemerahan ketika menarik lengannya. Mengisyaratkan agar aku berbaring di sebelahnya.

“Nggak mau tidur, maunya makan. Laper...” kataku yang masih berjongkok.

Aji bangkit malah ikut berjongkok di hadapanku. “Kamu siap, dengan segala perubahan besar di depan mata?”

Pandanganku berubah datar, sedetik kemudian senyumku mengembang kemudian mengangguk.

“Susah senang sama-sama?” kata Aji mengelus pipiku. Lagi aku mengangguk. “Makasih banyak,” katanya sebelum mengecup bibirku. Batinku terenyuh. Siapa sih, yang sebenarnya harus berterima kasih? Bukannya aku ya?

Aku mengalungkan tanganku ke leher Aji, menciumnya dengan ala perancis, padahal sebelumnya aku cuma liat dari film-film yang kutonton, setelah praktek ternyata bikin ketagihan, apalagi sama pasangan halal gini.  

“Kamu curang,” kataku menormalkan deru napas, “Aku disuruh mandi, tapi kamu sendiri belum mandi—“

“Nggak mandi pun kamu tertarik cium-cium aku kan?” potong Aji menyeringai. 

Iyalah! Batinku, dengan pipi bersemu. Aji mengacak rambutku, menyuruhku mengambilkan bajunya.  “Buru, dong, Sayang,” katanya disertai kedipan mata. Meski dengan bibir manyun dan hidung kembang-kempis aku tetap berdiri. See? Aku memang sulit buat nggak kelepek-kelepek dengan seorang Aji.

 

=================================================================


 

Bab 4
 

DHINI

 

Masih pukul dua malam aku udah gerah aja. Bukan karena panas, oh, bahkan malam ini tak ada kipas angin yang menyala, cuaca cukup dingin ternyata. Gerahku juga bukan karena guling yang kekecilan, guling baru yang dibeli Aji cukup nyaman. Tapi... yang pengin kupeluk bukan guling, melainkan Aji, yang udah kupatenkan jadi guling hidup. Nggak peduli besok paginya dia ngeluh lengannya kebas karena pangku kepalaku.

Akhirnya, setelah menjaga keseimbangan tubuh agar ranjang nggak terlalu bergoyang aku mengendap keluar. Aji tidur di kasur yang sengaja diletakkannya di tengah ruangan, biar bisa sekalian nonton TV katanya. Saat tadi sekitar pukul sembilan Bu Umi udah mengeluh ngantuk, Aji menyuruhku untuk ikut ke dalam kamar buat tidur. Dan bayangkan aja, selama itu aku sulit tidur, tepukan sempat mendarat ke bokongku, karena Bu Umi nggak nyaman saat aku terus mengganti posisi tidur.

Televisi masih menyala sementara yang menonton udah terlelap entah sejak kapan. Ini dia yang sering kuberi judul, TV nonton orang. Kebiasaan Pak Zakaria banget. Niatku yang hendak mematikan televisi batal karena tayangannya drama korea, sejak kapan? Oh, aku memang udah lama nggak begadang. Seandainya pun iya, yang kulakukan paling teleponan sama Aji.

Ini gimana ya? Kasurnya sempit, tapi kalau tidur pelukan pasti cukup.    

Kumatikan TV sebelum balik ke kamar ambil bantal dan meletakkan tepat di sebelah Aji, pas-pasan. Kukecup pipinya sebelum berbaring di sebelahnya, dan perlahan memeluk tubuhnya. 

“Ck,” gumam Aji saat bergeser. Kayaknya sekarang dia bisa terjaga di mana aja ya? Nggak lama tangannya yang terhimpit bergerak ke bawah tengkukku, merangkul tubuhku. “Di luar banyak nyamuk,” gumam Aji kembali.

“Di dalam nggak bisa tidur,” balasku.

Aji membuka kelopak matanya. Menyentil dahiku sebelum menepuk-nepuk lenganku yang berada di atas perutnya. Herannya nggak lama, kantukku datang. Tepukan tangan Aji, mujarab banget.

 

***

 

Aji itu jarang... banget pake baju seragam selain tugas. Bahkan saat libur ke Medan aja, aku hampir nggak pernah lihat dia pakai baju kebanggaannya itu. Padahal nih ya, ada juga teman SMP-ku yang jadi tentara, tiap saat pose pakai baju seragam, nggak peduli itu malam hari, lagi sama pacarnya, dan foto di warung tenda pula. 

Dan lihat Aji pakai seragam dengan mata kepalaku sendiri itu bisa dihitung jari. Salah satunya pas nikah, saat itu Aji gantengnya kebangetan, aku berasa mendadak jadi Song Hye Kyo meski tampang beda jauh bodo amat, Aji nggak kalah ganteng dari Yoo Si Jin kok. 

Dan pagi ini semuanya serasa berulang, aku yang menatap Aji setengah menganga. Kok aku murahan banget sih! Pura pura nggak lihat bisa kali ya, tapi nggak mungkin, jelas-jelas Aji udah ngelirik ke arahku. Dia ganti di kamar kosong, nggak ada cermin di sana, dan Aji baru aja selesai mengancingkan bajunya, setelah sebelumnya berseliweran dengan kaus hitam ketat, sambil mengeluarkan kendaraannya, memanaskan mesin, beli sarapan sama sayuran pesanan Bu Umi buat masak makan siang. Berapa banyak cewek yang menyaksikan pemandangan Aji mengenakan kaus ketat seperti tadi? Kok aku jadi was-was ya.

“Ji, sekarang kamu kebangetan deh.”

Aji menaikkan alisnya, melangkah ke arahku. “Kenapa?”

“Ng—nggak papa.” 

“Ada yang buat kamu nggak nyaman ya? Iya, kadang ada tikus keluar dari lubang kamar mandi.”

Aku bergidik. Maksudku bukan mau bahas itu. Tapi malah... “Ih... serius Ji?!”

“Ya... Um. Masa sama tikus aja takut.”

Tandukku mulai keluar dan menyoroti Aji tajam. Bisa kencing di celana aku liat makhluk mungil yang nggak ada imut-imutnya itu.

Aji menyengir hambar, “Cuma di musim-musim tertentu aja, nggak setiap saat kok.” Aji meletakkan telapak tangan kanannya ke pucuk kepalaku. Menepuk-nepuknya perlahan. “Jadi istri tentara juga harus sigap loh, tikus, cicak, kecoa, juga harus ditaklukkan,” tukas Aji sembari mengecup pelipisku. 

Lama aku mencebik sebelum akhirnya menghela napas. Seenggaknya Aji menyediakan mesin cuci di kamar mandi, bukan papan cucian. Tapi, kebiasaanku yang suka luluran lama-lama di kamar mandi gimana dong? Lagian di rumah Bu Umi, aku cuma temenan sama kecoa, tikus nggak pernah.  

“Hmm... nanti pulang jam berapa?”

“Sebelum jam istirahat juga bisa pulang, setiap ada waktu bisa pulang.” Mataku langsung berbinar, “Kalau nggak ada tugas dadakan, kalau nggak ada rapat, latihan, antar komandan,” imbuh Aji, yang membuat cengiranku sirna.

“Stop, jangan dilanjutin. Jadi, intinya seharian ini, aku sama Ibu bakal di rumah aja?”

“Memangnya mau kemana?”

Aji malah balik nanya, aku mendengus melempar pandangan ke samping. Kemudian kembali menatap manik mata Aji. Memasang tampang imut nggak berdosa. “Hm... kalau, aku jalan-jalan ajak Ibu naik motor, boleh ya, jalanan di sini gampang kok hapalinnya, aku nggak mungkin kesasar.”

“Nggak. Baru juga sehari, gimana bisa aku percaya kamu nggak nyeleweng kemana-mana. Di Medan aja kamu suka keliling tanpa kasih kabar.”

“Ih... kok gitu sih. Emang aku ada pergi kemana? Perasaan tiap malam kasih kabar ke kamu, malah kamu yang suka ogah-ogahan kalo aku tanya ngapain aja seharian.”

“Ada. Sering malah, karokean sampe malam sama yang lainnya—“

“Dari mana kamu tau?” 

“Kan ketauan bohongnya. Um, aku liat arsip IG kamu.”

Keningku berkerut, iya juga, teman kantorku suka up di IG dan tag aku. Itu artinya... “Kamu pernah periksa ponsel aku??” 

Aji nyengir.

Sementara bibirku mengerucut. “Kok baru negur sekarang?”

“Ya, dulu kan masih pacaran, nanti kamu kabur kalau aku larang ini-itu—“

“Lagian aku keluar kan cuma kalau ada perayaan aja, ulang tahun gitu,” selaku. “Kamu juga nggak pernah tanya kan? kenapa tuduh aku bohong?”

“Kamu bilang cerita semuanya ke aku, tapi kenyataannya nggak kan? termasuk cowok yang kalau foto suka nempel-nempel ke kamu.”

Mataku menyipit. “Siapa? Suwandi! Astagah... dia itu melambai. Kan aku pernah cerita.”

Aji sedikit terkesiap. “Oh, itu yang namanya Suwandi,” gumamnya, “Aku nggak tau kalau orangnya tampan juga.”

Ya iyalah, Suwandi bersih, rajin perawatan, aku aja kalah. “Lagi pula kamu lucu tau nggak? Minta aku buat cerita semuanya tapi kamunya suka diam-diam aja. Ya aku males, berasa narsis ngomong sendiri.”

Aji menggaruk kepalanya. “Ya karena hari-hari aku gitu-gitu aja, aku kira kamu ngerti.”

Aku menghela napas. “Ya, aku ngerti Aji... tapi masalahnya, kamu juga nggak nanya kan aku jalan sama siapa? kemana?” 

Aku keluar niatnya mau ambilin sisir, nggak sangka kalau Aji ngikutin, “Sori,” katanya ketika aku berbalik. Bibir bawahku terkulum, aku lagi nggak minat marah sih, karena bukan masalah besar juga, at least aku udah khatam dengan sifat Aji yang satu ini. Suka mendam sendiri.

Aku melirik ke arah pintu dapur, belum ada tanda-tanda Ibu bakal keluar dari sana. Tadi, setelah sarapan, dia menawarkan diri untuk mencuci piring, sedangkan aku langsung di suruh buat urusin suami, urusin apa? Pakaiin baju Aji? Dan kini yang bisa kulakukan untuk mengurusnya adalah berjinjit, menyisir rambut Aji. “Makanya apa-apa itu diomongin langsung. Kamu rela ya, salah paham seumur hidup dibanding tanya langsung ke aku?”

“Aku cuma mikir kamu pasti bakal balik ke aku, siapa pun di dekat kamu saat itu, ujungnya kamu pasti akan denganku.”

Kutahan dadaku yang meledak-ledak nggak keruan. Aji benar, pada akhirnya hatiku mentok di Aji. “Pede banget sih kamu?! Manager trainee di kantor waktu itu masih muda loh, baru tamat S2, malah suka chat-in aku tanya—“

Rahang Aji mengeras. Serius dia cemburu? Manager baru itu?! Beuh... jangan tanya, cakep maksimal tapi nyinyirnya minta ampun! Tapi sekarang lumayan ada gunanya juga. 

“Tanya apa? Kamu nggak pernah cerita.” Aji mendesis tegas. Sorot matanya nggak menyurut, mungkin gini kalau dia lagi menghadapi lawan di lapangan.  

“Tanya kerjaan lah!” seruku menepuk dada Aji. “Males banget cerita kerjaan ke kamu, mau hindari sumpek malah makin sumpek.”

Aji menarik kepalaku, menjejalkan ke ketiaknya. Pekikanku nggak dihiraukannya. Sampe Ibu datang. 

“Kenapa?”

“Nggak papa Bu, main-main aja,” kata Aji melepas kepalaku sementara rambutku udah semerawut. Dasar! Kucubit lengannya pun nggak pengaruh. Otot semua.

“Owalah. Kirain.” Ibu malah kembali ke dapur. 

“Ngambek,” bisik Aji, saat aku berjalan ke kamar. 

“Iya! Udah sana, kerja.”   

“Nggak antar suami sampe depan pintu?”

“Nggak! Males.” 

“Salim, ntar berdosa loh, nggak nurut ke suami.” Aku masih merapikan rambutku sebelum berbalik dan menyalim tangannya. “Ciumnya?” bibirku mengerucut, “Jangan cuma bisa nyolong pas tidur,” kata Aji mengedipkan mata sebelum mengecup pipiku.  

Diam-diam aku mengintip Aji yang keluar dan mengendarai motor besarnya. Senyumku mengembang seperti orang gila. Aji benar-benar cabut kewarasanku.

“Heh!” Aku tersentak sampai nyebut dalam hati. Bu Umi kalau ngagetin nggak kira-kira, “Sini Ibu ajarin masak!” titahnya lagi. 

Dengan ogah-ogahan aku melangkah ke dapur. Artinya satu harian ini akan dihabiskan dengan kerempongan Ibu yang mengajariku masak? Oh... nggak. Aku udah cukup fasih dengan omelan Bu Umi. Apalagi ketika membanding-bandingkan kemampuanku memasak dengan kak Dhina.

“Dulu aja, kalau pulang kampung ke Padang ogah-ogahan, bilang di sana pasti tidur di luar. Sekarang... di bela-belain tidur di luar,” sindir Ibu saat memilah bahan yang mau dimasak. 

“Ini mau dimasak apa Bu?” tanyaku mengalihkan. 

“Masa nggak bisa lihat? Ada ayam sama sayuran, kira-kira mau diapain?”

“Apa ya? Yang jelas bukan rendang kan Buk?”

Kontan Bu Umi menoyor kepalaku. “Kupas itu kentangnya!”

Ih.. kan, wajah killer-nya keluar. Aku nurut aja deh, daripada pisau melayang. 

Lima belas menit kemudian sayuran udah selesai kupotong-potong. Aku tahu ini pasti akan jadi sop. “Cari apa Buk?” tanyaku saat Ibu terlihat kelimpungan.

“Gilingan. Aji nggak punya gilingan ya?”

“Dia cuma punya blender,” kataku membongkar lemari dapur.

Ibu berdecak. “Besok kalau ke pasar, jangan lupa beli batu giling. Masakan beda rasanya digiling sama diblender. Dengar itu!”

“Iya Bu...” 

Mendengar suara pintu terbuka fokusku langsung teralih. Mataku membeliak saat Aji muncul di ambang pintu. “Loh, kok balik lagi? Ada yang ketinggalan?”

“Bu, ganti baju ya, kita jalan-jalan. Di kasih pinjam mobil sama komandan.”

“Eh... bentar, ini selesaiin masaknya dulu.”

Aji mengangguk. Kemudian berbalik. Kok aku dianggap nggak ada ya?   

 

***

 

Sepanjang perjalanan aku diam aja, kalau nggak mikir Ibu yang terlampau semangat aku pasti udah diam dikamar, merajuk. Mana Aji kayak biasa-biasa aja lagi. Kami mengunjungi kapal yang terdampar ke pemukiman sewaktu Tsunami dulu, juga Museum Tsunami. Ibu tanya ini-itu dan Aji jawab dengan sabar, selanjutnya berhenti di Masjid Raya, kebetulan salat Dzuhur, jadi Ibu dan Aji yang salat, sementara aku yang lagi nggak bisa salat cuma bisa liatin kolam ikan.

Aku kaget bukan kepalang saat ada yang menepuk pundakku. Untung refleksku nggak main pukul, jadi masih bisa ditahan sementara Aji udah berdiri di sebelahku. Aku bergeser dua langkah, membuat Aji mengerutkan keningnya. 

“Ngambek kenapa lagi?” tanyanya berbisik. “Habis ini kita ke laut loh.”

“Ya udah, jalan aja sana sama Ibu, kan tadi cuma ajak Ibu.”

Aku melirik Aji yang menyatukan alisnya. “Masa sih?”

“Iya... kamu cuma suruh Ibu yang ganti baju mau jalan-jalan. Sementara aku cuma butiran debu nggak kasat mata.”     

Aji malah terkekeh, dia menggenggam tanganku, ingin kutolak kaitannya erat banget. “Kan Ibu besok pulang, jarang-jarang bakal main ke sini lagi. Maksudnya itu kita ajak jalan-jalan Ibu, lagian kita bisa jalan-jalan setiap minggunya kan?”

“Tapi, kamu tadi bilangnya nggak gitu,” sahutku ketus.

“Sensitif banget, Ni. Oh iya, lupa, lagi dapet.” 

“Nggak lagi dapet juga istrimu ini memang sensitif. Kemana aja Bung?”

Aji menahan gelaknya, jika tak ingin menjadi perhatian orang lain. “Kamu cantik banget pakai gamis gini. Kenapa dari dulu aku nggak suruh kamu berhijab aja ya.”

Pipiku mengembung, menahan gelitikan di perut, kalau Aji udah muji bawaannya langsung tersipu-sipu. Ini gamis aku beli di tokonya Zaskia Sungkar, model simpel warna lavender, hijabnya juga syar’i berasa alim banget aku.

“Gombal.”

“Kamu tahu aku nggak suka gombal.”

Pipiku semakin memanas. Aku menarik tangan dari genggaman tangan Aji dan mengalungkan ke lengannya. “Besok-besok omongannya diperjelas lagi ya, Sayangku...” kataku menyindir.

Aji tersenyum nggak jelas.  

 

***

Aku menyendokkan pisang keju ke mulut, memandang ke arah lautan. Aji bawa kami ke pantai Lhoknga, aku cukup kaget karena banyak orang yang berwisata ke laut meski bukan hari libur. 

Tapi, bahagiaku melihat pantai berwarna biru di depan mata terkikis, pasalnya, nggak bisa nyemplung! Argh..! Aku lagi dapet, lagipula sekarang kan sekadar ajak Ibu keliling.

“Main pasir pun nggak boleh?” bisikku ke Aji. 

“Nggak mau keliling Bu?” tanya Aji yang justru menoleh ke Ibu. 

Aku menoleh, Ibu menggeleng, “Ibu di sini aja.”

Aji aja yang nggak tau, Ibu itu selain kurang piknik memang nggak suka piknik. Tempat wisata kesukaan Ibu itu ya Berastagi, beli bunga sama sayur, lihat itu Ibu udah kayak lihat berlian. 

Begitu Aji berdiri, aku langsung menggandeng tangannya. “Kita tinggal bentar ya, Bu,” kata Aji. Sedangkan aku menyunggingkan senyum ke Bu Umi, yang langsung dihadiahi tepukan di pantat. 

Belum malam pertama. Belum honeymoon juga. Jadi, ya gini. Bisanya cuma jalan gandengan. 

Aku menarik gamis agar tak mengenai pasir. 

“Jangan tinggi-tinggi angkatnya,” tegur Aji.

Kukibaskan lagi gamisku. “Cerewet. Ji... pengin nyemplung. Sumpah! Pantai cermin nggak gini.”

Aji malah menyeringai. “Ya udah, nyemplung aja sana. Tapi pulangnya jalan.”

“Tega,” kataku datar.

“Nanti kita ke Sabang. Mandi sepuasnya.”

“Bener ya, jangan cuma janji-janji doang.” Aku mencari jemari Aji yang bebas. “Kelingkingnya siniin.”

“Kayak anak kecil,” gelak Aji, saat menautkan kelingkingnya ke kelingkingku.


====================================================

 

 

Bab 5
 

AJI

 

Aku memerhatikan ponsel sekali lagi, setelah dua kali sesi istirahat latihan gabungan, belum ada satu pun kabar dari Dhini. Pukul dua belas kurang sepuluh menit, hampir jam istirahat siang. Apa yang dilakukannya seharian ini? Apakah dia sudah nyaman dengan tempat tinggal baru kami? Hari pertama meninggalkannya sendiri di rumah menyisakan sedikit rasa was-was.

Aku nggak berharap dia bikin ulah aneh-aneh, nggak istriku nggak aneh sama sekali hanya sedikit tempramen, tapi, nggak mengabari dalam rentang waktu yang cukup lama begini tiba-tiba membuatku cemas. Aku ingat sudah menyikat bersih kamar mandi, nggak mungkin dia terpeleset saat mencuci piring kan?

Pikiranku mulai ngelantur, nggak membiarkan lama-lama asumsi ini bersemayam, aku segera mengirim pesan.

 

Me : Ni, kamu nggak papa ka|

 

Sepertinya berlebihan, belum tentu dia kenapa-kenapa.

 

Me : Sebentar lagi aku pulang.

 

Mataku masih menatap layar ponsel, lebih dari lima menit, pesan WhatsApp yang baru kukirim belum juga berwarna biru. Kemana Dhini? Atau mungkin kecemasanku saja yang berlebihan. Mungkin saja Dhini benar-benar memahami perannya sebagai istri prajurit, seperti yang selalu kuulang-ulang ketika berusaha meyakinkannya, bahwa hidup denganku nggak akan selamanya mudah, tapi dengan egoisnya aku memintanya untuk bertahan. 

Embusan napas kasar serta-merta keluar, untuk saat-saat seperti ini, aku benci menjadi seorang prajurit yang harus mematuhi komando. Aku kembali mematikan ponsel dan balik ke regu. 

Meninggalkan Dhini dengan Ibu ternyata membuatku lebih tenang dari pada saat ini. Tapi, hubungan jarak jauh Medan-Aceh, juga sangat sulit bagiku. Dulu, menahan diri empat tahun untuk tatap muka setahun sekali benar-benar menyiksa. 

Nggak menunggu lama setelah barisan dibubarkan, aku langsung menuju kendaraan yang terparkir di depan kantor. 

Sampai di rumah, pintu tertutup rapat. 

"Halo.. Om," 

Sapaan yang menirukan suara anak kecil dari Bu Ramdan membuatku tersenyum memandangi bocah lincah yang berjalan hilir mudik seperti nggak ada lelahnya itu. 

"Istrinya pendiam ya Pak, jarang keluar," kata Bu Ramdan kembali.

Aku meringis tetap memasang senyum, seorang Dhini nggak mungkin jadi pendiam, yang ada dia sedang menjaga diri. Menjaga jarak. Aku memang menganjurkannya untuk nggak terlalu dekat dengan siapa pun di sini. Bergaul dengan tetap memerhatikan batasan, mengingat pertemanannya dengan Mona yang sering di luar batas.

"Dari kemarin saya mau minta nomor Whatsappnya, biar dimasukin ke grup, tapi, Bu Dhininya nggak keluar-keluar."

Nggak lama pintu terbuka, mungkin Dhini mendengar pembicaraanku dengan Bu Ramdan. Mataku memicing, saat melihat Dhini nggak mengenakan hijab plus masker di wajahnya.

"Ni," gumamku berbisik. Kontan saja, Dhini melepas masker dan menyembunyikannya di balik badan. 

Bu Ramdan terlihat mengulum senyum aneh. "Bu Dhini, bisa minta no Whatsappnya?"

Dhini sedikit membelalak lalu melirikku meminta persetujuan. Aku mengedipkan mata, tanda mengizinkan. 

Aku lalu masuk melepas sepatu, membiarkan Dhini menyelesaikan urusannya. 

"Ji, kamu ada kirim pesan ya?" tanya Dhini sambil menutup pintu. 

"Sibuk maskeran sampe nggak bisa bales pesan? Hm?" kataku mendekat dan mengecup keningnya. Melepaskan sedikit kelegaan karena Dhini sepertinya nggak mengalami masalah yang berarti seharian ini.

Bibir Dhini mengerucut, satu hal yang membuatku selalu gemas. Tapi, nanti saja mencubit pipi itu, badanku gerah luar biasa. Aku memang selalu mandi sehabis latihan, nggak peduli tengah malam sekalipun, terkecuali di tengah hutan saat sumber air memang jauh.

Selesai mandi, dengan handuk kecil di leher, sesungguhnya aku ingin tertawa melihat usaha Dhini. Menyajikan makanan di meja makan kecil. Sepertinya aku jahat, karena jujur, Dhini nggak cocok bersikap manis seperti ini. Aku lebih terbiasa mendengar nada ketusnya, atau gayanya yang merengek, kemudian mengarang alasan agar keinginannya terpenuhi.

"Aku udah capek tanya sana-sini, tunjukin isi kulkas ke Kak Dhina sama Ibu, bagusnya hari ini masak apa. Awas kalo ngeluh kurang ini-itu ya... Bagus besok beli makan di warung."

Senyumku tertahan, ternyata Dhiniku sama sekali belum berubah, dan aku ingin dia tetap begini, mulut berisiknya entah kenapa justru yang paling kurindukan. 

Duduk dengan alis terangkat, aku menerima sodoran piring yang terisi nasi. Dhini sudah tahu takaran makanku rupanya. "Terus kalau habis makan aku bolak-balik ke kamar mandi gimana? Masa mau nggak ngeluh?"

Dhini serta merta menyorotiku garang. "Ini cuma sayur bening, nggak mungkin sampe diare, paling keasinan. Tapi nggak dong, aku udah coba berulang kali kok,” dia mengerucutkan bibir, dengan wajah berusaha meyakinkan, membuatku menahan senyum. 

"Jadi, ini sayurnya bekas mulut kamu?"

"Aji... ih. Dimakan aja dulu..."

Dia mencubit lenganku. Sayur bening dan ayam goreng. Menu sederhana memang. Tapi, kuakui rasanya lumayan. "Butuh berapa lama masak beginian? Atau ada yang kebuang karena gosong?" kataku menyeringai.

Dhini mengembungkan pipinya. "Istri udah usaha masak, dihargai dikit kek. Punya laki kok nggak ada manis-manisnya. Kayak Dilan dong... manis! Gombalannya yahut!"

Alisku langsung menyatu. "Dilan siapa?" tanyaku terdengar tegas, karena memang tiap kali Dhini menyebutkan nama laki-laki lain, seolah ada yang menarik pelatuk emosiku.

Dhini malah bertopang dagu. Menatapku sambil melongo. "Serius kamu nggak tau Dilan?"

Sorotku menajam, Dilan, Dilan, siapa Dilan? Teman kerjanya dulu? Atau teman sosmed? "Temen kamu yang mana? Kamu nggak pernah cerita."

"Astaga Aji... Dilan... Film Dilan. Baru aja beredar, sayangnya di sini nggak ada bioskop. Kalo nggak malam ini juga aku udah tarik kamu keluar buat nonton. Biar kamu sekalian belajar nyenengin istri dengan lisan."

Bahuku yang tadinya tegang merosot turun. Bahkan wajah memerahku kuyakin sulit disembunyikan. Jangan tanyakan berita terkini soal perfilman denganku, entertain dan tetek bengeknya itu sudah dari zaman nggak enak sama sekali nggak menarik minatku.

"Memangnya kamu kira Dilan itu siapaku? Hayo ngaku!" Dhini menyengir lebar, aku tahu dengan sangat dia sedang memancingku.

"Habis ini balik latihan, harus cepet-cepet," akuku berbohong, yang ada setelah ini tinggal apel. 

Dhini setengah mendengus baru melanjutkan menyendokkan nasi ke piringnya sendiri.

Selesai makan, Dhini terbengong melihatku yang masuk ke kamar dan berbaring di atas kasur. Nggak butuh waktu lama bagi Dhini untuk naik dan menepuk pahaku.

"Bohong kan?!"

Aku terkekeh, meraup wajah kesalnya. 

Dhini menepukku dengan bantal sebelum meletakkan di sampingku dan ikut berbaring. "Jadi, seharian sibuk apa?" tanyaku sambil merangkul tubuhnya.

"Beres-beres. Telepon Bu Umi tanya ini-itu, teleponan sama Mona bentar, baca-baca artikel online. Eh, Ji. Bentar—“ Dhini kemudian bangkit dan mengambil ponselnya yang tadi diletakkan di nakas. "Liat nih."

Astaga.... Napasku tertahan dengan bola mata melebar. Kemudian menelungkupkan layar ponsel. 

"Ih... kenapa sih Ji? Kamu nggak usah sok suci, aku yakin dulu-dulu kamu pernah nonton film blue kan?" Dhini langsung melayangkan protes.

Aku menghela napas. "Iya... iya... terus itu kenapa? kamu tiba-tiba tunjukin gitu ya aku kaget." Gimana nggak, meski cuma gambar robot tapi tetap aja kan. 

"Ini aku juga dipengaruhi Mona. Eh, Ji, kenapa kita nggak periksa dulu sebelum nikah. Takutnya—“ Aku membekap mulut Dhini sesaat. Jujur kalau dia sudah ngomongin yang nggak-nggak aku suka khawatir. "Ini edukasi tau Ji... Dan aku jadi mikir kenapa coba anak kinyis-kinyis bisa hamil diluar nikah. Padahal dari yang kubaca, bobolnya aja susah Ji! Kalau perawan itu—“

"Udah ya Ni, nggak perlu kamu jelasin juga detailnya. Aku bisa baca sendiri. Lagian ngapain ngurusin orang coba?"

"Dulu, kamu nggak tanya si Leo itu begituan berapa kali sampe hamil?"

"Ni!" tegurku.

Dhini menyipitkan pandangannya. "Kamu nggak suka ya aku cerita jelek soal dia? Kenapa?"

Aku terdiam sejenak, sebelum mengecup pelipisnya. "Aku nggak mau nyeritain orang lain. Saat dulu dia datang ke aku pun, aku nggak ada tanya-tanya jadi aku nggak tau."

Dhini menggigit bibir bawahnya. "Hm, ya. Sori-sori." Dhini kemudian kembali menarik ponselnya. "Kalo gaya yang begini," dia menunjuk satu gambar robot yang membuatku seketika sesak napas. "Katanya enak di aku Ji, kamu jangan egois ya, gantian ngenakinnya. Kata Mona, ada beberapa cowok itu egois di atas ranjang."

"Ni, kamu nggak salah konsultasi ke Mona? Dianya sendiri aja belum nikah. Yang harusnya kamu tanya beginian itu kak Dhina."

Dhini langsung menggelengkan kepalanya. "Mona Dokter Ji, lagi ambil spesialis kandungan pula, ya pasti dia lebih paham."

"Bukannya kamu yang sering gembar-gembor kalau nggak mau berobat sama dia, takut malapraktik?" sindirku.

Dhini malah menyengir. "Kayaknya Mona sekarang sedikit pinteran, Ji."

"Terus ya Ji, kata Mona nggak boleh langsung ke main course, foreplay-nya dibanyakin biar pelumasnya makin banyak, jadinya nggak sakit gitu..." 

Serius ini, sebenernya Mona bilang apa aja sih ke Dhini!

"Kamu diracuni apa aja sih sama Mona?" tanyaku curiga.

Dhini menyengir. "Mona jualan obat rapet, yang kali ini asli herbal katanya. Jadi, dia jelasin semuanya gitu..."

Aku kontan memutar bola mata. Sepertinya untuk yang satu ini aku harus bicara langsung ke Mona agar nggak sering-sering mencuci otak istriku ini.

"Kalo aku nungging gini memang bisa masuk ya Ji? Aku kok bingung masuknya dari mana. Mona saranin download hentai aja kalo nggak berani liat yang ori, tapi nggak ah! Geli gitu!"

Astaga...! 

"Mau kemana Ji?" Tanya Dhini ketika aku bangkit.

"Balik tugas," kataku sedikit ketus. Apa Dhini nggak tau percakapan semacam ini menimbulkan hormon aneh dalam tubuhku? Mana belum sempat cicipin malam pertama lagi. Sial!

"Pulang sampe malem atau sore?"

"Nggak tau," sahutku masih sebal. Kalau pulang nanti dia masih bahas masalah ini dan aku nggak dapet pelepasan lebih bagus nongkrong di warung kopi sampe malem.

Kulirik Dhini yang mengembungkan pipinya saat aku kembali memakai seragam. 

"Memangnya kamu kapan selesainya sih?" tanyaku sambil mengancingkan seragam. "Nggak perlu ilmu dari Mona aku bisa langsung praktekin ke kamu."

Dhini malah memegangi ujung rambutnya. "Ji, kamu nggak sadar aku cuci rambut?"

Mengenaskan! Rambut? Ya, rambut Dhini terlihat setengah kering. Fuck! Sudah lama aku nggak ngumpat kan. Jadi, ngapain dari tadi dia ngomong ngarol-ngidul, kalau free dua jam ini aku bisa icip-icip?!

Aku segera mendekat dan mengecup kening Dhini lama. Kalau dibibir aku yakin nggak kuat. "Jangan kemana-mana! Langkahin kaki keluar dikit aja pun nggak boleh! Pokoknya tunggu aku balik!" 

"Iya tau. Tapi kok bentak-bentak?" tanya Dhini dengan wajah heran.

Entahlah, aku juga nggak tau kenapa jadi bentak-bentak gitu. Yang pasti... "Jangan telepon atau jawab telepon dari Mona tanpa izinku. Ngerti?"

Dhini hendak menyela namun kemudian dia hanya mengembuskan napas dan mengangguk.

 

===========================================================

 


Bab 6

 

DHINI

 

 

"Ni, aku berangkat ya," bisik Aji di atas selimut. Aku nggak tahu tepatnya jam berapa sekarang, tadi Aji keluar untuk lari pagi bersama rekannya yang lain. "Sarapan aku taruh di atas meja," katanya lagi, paling lontong, batinku. 

"Ni, kamu nggak mau liat suamimu dulu sebelum pergi. Biasanya kamu suka liat aku pake seragam." Mendengar bisikan nakalnya kontan aku membuka selimut tebal yang menutupi hingga kepala. Lihat seringainya bawaan pengin nampol. Apaan! Dia udah puas nyemburin spermanya malah aku ditinggal tidur, belum juga dapet klimaksnya. Dia bilang punyaku rapet kebangetan, susah buat nggak keluar gitu, mana nerobosnya payah. Sial banget. 

"Aku masih bau, udah sana buru pergi, entar telat apel pagi." 

Aji malah melompat ke atas kasur mengecupi seluruh bagian wajahku. "Dasar bau," ejeknya yang langsung kuhadiahi tepukan.

"Udah tau bau cium-cium!"

Aji mengecup pipiku sekali lagi sebelum turun. "Nanti makan siang aku beli aja, nggak usah ke pasar," katanya ketika sampai di ambang pintu.

"Hmm." Bagus deh, jadi bisa balik tidur, nggak ada Aji pasti bisa nyenyak, semalaman memang menyiksa banget.

 

***

 

Aku baru keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit saat mendengar suara ketukan pintu. Kulirik jam dinding masih jam sepuluh lewat, nggak mungkin Aji udah pulang kan? Gawat rumah belum aku bersihin! Semalaman nggak bisa tidur, eh tadi habis Aji pergi malah ketiduran nyenyak banget.

Buru-buru aku ke kamar dan mengganti pakaian. Rambut kubiarkan basah hanya kukeringkan dengan handuk singkat dan menyisirnya. Kembali ketukan kudengar, setelah menyapukan bedak tabur ke wajah aku membuka pintu depan dengan sebelumnya menutup pintu kamar rapat, karena seprai belum sempat kuganti, seprai yang lama kurendam akibat bercak darah yang menempel.

Begitu kubuka. Seorang Ibu sedang menggendong bocah mengulum senyum.

"Baru siap mandi Bu?" 

"I—iya nih, Bu. Ada apa ya Bu Heni?" tanyaku sopan.

Anak dalam gendongannya udah meronta minta turun. Dan segera diturunkan oleh Bu Heni. Mataku melirik begitu Rasyad berjalan tertatih ke dalam. Bu Heni berdeham pelan.

Tersadar akan suatu hal aku buru-buru menggelar ambal di lantai, setengah meringis karena lantainya belum sempat kusapu. Maklum rumah dinas kami belum ada kursi tamu. "Um. Silakan masuk Bu, silakan duduk, maaf seadanya." Ya, adab begini pernah aku dengar dari Aji, kabarnya mereka memang nggak akan duduk jika nggak dipersilakan duduk.

Aku ke belakang dan membuatkannya teh hangat. Nggak peduli ini udah hampir setengah hari, bodo amat, yang penting kata Aji harus menghargai tamu.

"Bu Dhini nggak ada niat beli kursi?" tanyanya begitu aku meletakkan nampan, sedangkan si anak tadi udah menjelajah bagian dapurku.

"Um. Ada sih Bu, cuma belum aja, lagi ngumpulin uang."

"Oh gitu, beli kredit aja. Saya tahu kok toko yang bisa kasih kredit di sini."

Aku menyengir, dia cuma nggak tahu, kalau pantangan Aji itu ya utang! Mau itu kredit atau apa pun, dia nggak bakal kasih izin. "Nanti deh Bu, saya izin ke Aji dulu."

"Aji?" tanyanya heran. 

Kontan saja aku menggigiti bibir bawahku. "I-iya."

"Bu Dhini manggil suami dengan nama?"

Kini tengkukku pun terasa gatal. "Ya... gitu, udah biasa Bu. Kami seumuran soalnya."

"Hm.. gimana ya, tapi kedengarannya tetap nggak sopan, meskipun seumurankan dia tetap kepala keluarga, gimana kalau nanti anak Bu Dhini dengar, pasti niru dong." Aku hanya bisa meringis. "Oh ya, saya liat tiap hari Pak Aji keluar beli sarapan. Ibu nggak masak sarapan pagi?"

Sebelah alisku terangkat. Kenapa ini orang jadi urus banget sama kehidupan rumah tangga kami coba? 

"Padahal belum ada anak ya, belum repot kayak saya," katanya lembut tapi terdengar nyelekit. Kutanggapi dengan senyum masam.

"Oh ya Bu, minggu ini ada arisan di tempat Ibu Darma. Ibu tahu?"

Kontan aku menggeleng. "Nggak Bu. Rumahnya yang mana?" tanyaku balik. 

"Loh, memang Ibu nggak ada laporan ke Bu Komandan? Saya saja baru dapat rumah dinas langsung laporan. Jadi kalau ada kegiatan langsung ikut aktif."

Aku nggak tahu kalau Bu Heni ini hanya keliatan lembut di muka, dan aslinya malah nyinyir begini. "Iya, nanti malam saya laporan ke Bu Komandan."

"Jangan lupa bawa buah tangan lho Bu."

Aku menarik senyum datar. "Iya Bu, makasih sarannya."

"Ya, begitu antara senior sama junior harus saling membantu," katanya bernada bangga. "Eh, Rasyad tadi kemana ya?"

Dia bangkit, aku pun ikut bangkit. Tapi nggak lama ada bau aneh yang menyergap indera penciumanku. Apa karena aku belum bersih-bersih rumah? Tapi, ini kayak bau...

Begitu menemukan Rasyad di dapur mataku membelalak. Itu anak terduduk di lantai dengan mainan baru. Ya, mainan dari hasil pupnya sendiri. Astaga! Aku hampir mengeluarkan isi perut yang sama sekali belum terisi apa-apa pagi ini.

Bu Heni mengambil anaknya dengan pandangan panik. "Maklum Bu, Rasyad nggak suka dipakein pampers," katanya lalu nyelonong keluar. Apa hubungannya coba dia bilang gitu tadi?

Aku juga segera berlari menjauh, kutunggu lima menitan lebih Ibu tetangga satu itu sama sekali nggak niat balik lagi. Dongkol, aku mengunci pintu dan mengambil masker, membersihkan pup anak tetangga! 

 

***

 

Begitu terdengar suara pintu terketuk aku buru-buru ke depan. Aji berdiri dengan menggenggam plastik di tangan kanannya. Pasti makan siang kami. Tapi makan siang nggak gitu penting soalnya... 

"Ji, tadi anak tetangga sebelah buang air besar... tainya kemana-mana... aku jijik banget," kataku langsung laporan saat menutup pintu dan menggandeng lengan Aji ke dalam. "Yang nyebelinnya, Ibunya malah bawa anaknya gitu aja. Aku tungguin sampe sekarang nggak balik lagi buat bersihin pup anaknya di lantai, nyebelin banget kan!" kataku berapi-api. "Mana aku belum sempat bersihin rumah lagi, malah ditambahin sama tai yang kececer di lantai," sambungku sambil mengambil plastik dari tangan Aji.

"Udahlah, namanya balita mana bisa ngomong kalau mau pup. Bisa jadi anak kita juga gitu nanti," kata Aji yang terlihat membela, atau mungkin malas mendengar keluhanku.

"Ya, kalo aku yang jadi orang tuanya seenggaknya balik lagi, bersihin pup yang kececer tadi, terus minta maaf sama pemilik rumah."

"Yang penting udah kamu bersihin kan?"

"Ya, udah... tapikan harusnya Ibunya juga lebih pengertian. Mana baju belum aku cuci. Terus itu tetangga udah datang aja, padahal aku baru selesai mandi."

"Pagi-pagi banget memangnya?"

"Ya nggak sih, tapikan." 

"Memangnya bangun jam berapa?"

"Sepuluh, kenapa?"

"Ya, kalau bangun lebih awal kan seenggaknya bersih-bersih rumahnya udah beres sebelum tetangga bertandang."

Apa? Dia bilang apa? Aku nggak tidur sampe subuh kan gara-gara dia juga. Bela-belain nahan hasrat nggak bangunin Aji karena kasian dia paginya harus tugas lagi. Terus sekarang dia nyalahin aku? 

Aku mengambil mangkuk dari rak dengan wajah masam, "Iya, semuanya salah aku," gumamku ketika menuang sayur ke dalam mangkuk. Aji nggak menanggapi dia duduk di kursi meja makan. Tugasku di sini kan cuma melayani suami, yang lain-lain nggak penting, termasuk kedongkolanku karena anak tetangga buang air besar sembarangan. 

Setelah meletakkan semua ke atas meja, sayur, ikan, juga nasi buat Aji. Aku yang niatnya kembali ke kamar malah terhalang karena Aji menarik tanganku.

"Marah?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Nggak," kataku setengah hati.

"Jadi kok nggak temenin aku di sini?"

"Kamar belum aku beresin. Nanti kamu ngomel lagi."

"Kapan aku pernah ngomel kamar belum bersih?"

Pertanyaan balik yang diajukan Aji malah membuatku semakin dongkol. "Iya memang nggak pernah. Tapi, sekarang aku mau beberes kamar. Biar nanti kalo tetangga balik lagi semua udah rapi, nggak kelabakan, nggak ngeluh ini-itu ke kamu," cerocosku panjang.

Aji malah narik aku ke pangkuannya. "Ibu bilang kalau yang satu lagi panas yang satu lagi harus ngalah. Aku berusaha ngalah, Nini. Udah ya, temenin aku makan."

Mau nggak mau aku melirik Aji. "Kamu memang diam, Ji. Tapi omongan kamu nyelekit."

"Omongan yang mana?" tanyanya heran.

"Kan kamu sendiri bilang kalo aku bangun lebih cepat nggak akan kayak gini. Gitu kan maksudnya?"

Aji menarik sejumput rambutku ke telinga. "Iya kan nggak ada yang salah sama omonganku. Tapi kan aku nggak ada nyalahin kamu juga."

"Ya harusnya kamu tau, aku bangun kesiangan juga gara-gara kamu. Nggak pengertian banget sih," tukasku yang masih belum puas.

"Kok gara-gara aku?" tanya Aji dengan alis menyatu.

"Aku belum dapet pelepasan kamu udah tidur duluan tadi malem," kataku sambil merengut. "Wanita kan cuma jadi pemuas nafsu," sambungku menyindir. 

Lipatan di dahi Aji semakin dalam. "Kamu merintih gitu terus bilang sakit, aku kira sakit banget, ya aku cabut nggak dilanjutin." Aji menggaruk tengkuknya. "Ya, mana aku tau kalau..." dia mendesah, "Aku juga pura-pura tidur semalam, ya mana aku tau kalau kamu penginnya lanjut. Kamu nggak ngomong." 

Mataku memelotot. "Masa aku harus ngomong sih, Ji!"

Aji mengendusi leherku. "Maaf-maaf... aku mikirnya kamu kesakitan banget. Masa iya aku nyiksa kamu di malam pertama."

"Itu makanya jangan lagak sok pengalaman, bisanya cuma nonton nggak pernah praktek. Kan gini jadinya amatiran." 

Aji malah terkekeh. "Bagus dong, kalau aku beneran mahir entar kamu curiga jangan-jangan ini bukan pengalaman pertama."

"Ya, semalam aku ajak buat belajar dulu nggak mau," kataku sengit.

"Belajar di mana? Artikel yang kamu tunjukin? Baca koran aja aku males disuruh baca begituan."

"Ish... entahlah."

Dia masih mengendus-endus bagian leherku. "Kan jalannya udah kebuka, entar malem pasti lebih gampang. Entar malem lagi ya?"

Kontan aku menjewer telinganya. "Males."

"Yakin?" tanyanya menggoda.

Kujawab dengan perut keriukan, teringat belum makan apa pun. Aji malah terbahak. 

"Pokoknya hari ini nyebelin!" pekikku bangkit lalu mengambil piring untukku sendiri. Laper, mau makan!


=====================================================================

 

Bab 7
 

AJI

 

 

“Dikasih hati minta jantung.” Dhini menggerutu begitu menutup pintu rapat. Bukan, bukan pintu depan, melainkan pintu kamar kami. 

Aku sudah berada di rumah dari dua jam yang lalu, bersantai, berhubung televisi sudah kuletakkan  di dalam kamar. Dulu, mengurung diri di dalam kamar dengan games sedikit membosankan, sekarang, bawaannya pengin di kamar terus dengan Dhini tentunya. 

Wajah Dhini masih ditekuk ketika mulai melepaskan kancing baju seragamnya. 

“Kenapa?” tanyaku dengan kerutan di dahi, takutnya Dhini nggak bisa kontrol emosi di hadapan orang banyak. Tapi, kekhawatiranku perlahan senyap, sebab Dhini mulai melucuti satu persatu pakaiannya tanpa mengindahkan aku yang sedari tadi memerhatikan.

“Aku udah beliin buah tangan yang lumayan banyak. Enak pula. Aku udah coba kok waktu beli ke toko kuenya. Eh, masih ada aja yang nyeletuk, ‘Medan itu khasnya Bika Ambon’. Apa maksudnya coba? Masa iya aku harus naik Bus dulu ke Medan baru ke acara arisan?!”

Ya, kemarin, meski sempat adu argumen panjang, akhirnya aku mengiyakan Dhini yang ingin keluar sendiri dengan sepeda motornya, mencari buah tangan untuk ketemu para senior. Setelah mengatakan kalimat yang membuatku bungkam. “Tungguin kamu keburu malam Aji... kalo udah malam kamu sekap aku di kamar. Terus aku horny, terus kebablasan, terus nggak jadi keluar, terus besoknya aku ngambek ke kamu, mau?” 

Kuakui aku memang sedikit berlebihan. Dia fasih mengendarai sepeda motor, dan jalanan di sini tentunya lebih lengang daripada di Medan. Tapi, entah kenapa tetap aja ada rasa was-was melepaskan Dhini keluar sendirian.

“Untung ada Bu Dirga yang masih sama-sama baru di sini. Dia nggak ada bawa apa pun, jadi aku aman sedikit,” lanjut Dhini, mengambil handuk di gantungan. Kebiasaannya memang membuka pakaian di kamar dulu baru mandi. Dia nggak suka menimbun pakaian kotor di kamar mandi katanya, jadi kamar kosong di sebelah dijadikannya tempat menaruh pakaian kotor sementara, sebelum besoknya di cuci. Aku juga nggak sangka Dhini bisa telaten begini. Mungkin karena diwanti-wanti sama Ibu.  

Dhini melepas tanktop yang melekat. Aku menelan ludah saat tubuh Dhini menyisakan bra dan celana dalam, oke, aku memang sudah melihatnya tanpa sehelai benang. Tapi aku sulit mengendalikan hormon. Dan, salutnya Dhini bisa tetap nyerocos tanpa memperhatikan ekspresiku?

“Tapi, masih ada aja yang nyeletuk, karena Bu Dirga masih satu hari pindah, sedangkan aku udah semingguan. Ngomongnya sih lembut Ji, tapi aku tau banget mereka nyindir. Padahal Bu Komandan biasa-biasa aja tuh.”

Dhini mengambil jadi satu pakaian kotornya. “Besok aku kirimin Bika Ambon satu kontainer baru tau rasa!” dumelnya sebelum menghilang dari balik pintu.

Aku menghela napas. Dhini masih dalam mode sensitif, aku ajakin mesra-mesraan pun pasti nggak mempan, tunggu emosinya reda baru dulu baru bisa tancap gas.

Belum ada sepuluh menit Dhini keluar, ponselnya yang tadi diletakkan di nakas bunyi. Deringnya singkat, pasti chat, batinku.

Langsung kuambil. Dan pop-up WhatsApp dari Mona muncul di layar. Aku dan Dhini memang sepakat nggak pake kode-kodean di ponsel. Awalnya Dhini ngetes aku, dan dia bungkam tahu dari dulu aku memang nggak pernah memasang kode di ponsel. Dua kali ponsel hilang saat tugas pun aku nggak terlalu meratapi. Yang penting itu, ponsel Dhini jangan sampe nggak aktif waktu kutelepon, bisa cemas mendadak.

 

Mona : Dhini.... aku mau curhat.

 

Keningku mengerut, balas, atau biarin aja? Tapi, penasaran juga apa yang biasa mereka obrolin.

 

Me : Curhat apa?

Mona : Bang El mau ngelamar Kenia... Dia minta izin ke Babang Fadli, terus Babang Fadli tanya ke aku. Aku harus gimana Din?? Nikah taun ini aku belum siap, tugasku masih menumpuk. Nikah taun depan, artinya Bang Fadli dilangkahin dong? Mamanya nggak setuju.

 

Bibirku menipis. Dasar cewek, nggak tahu mereka kalau cowok sudah menyampaikan komitmen itu artinya mereka serius. Aku juga tahu dari Dhini kalau dulu Bang Fadli itu sudah mau melamar Mona, tapi Mona kukuh mau S2 biar setara sama Bang Fadli. 

 

Me : Kamu tunda sekarang, besoknya Mama Bang Fadli carikan jodoh lain buat dia.

Mona : Ih... Dhini... kok tanggapannya gitu sih?? Kan kamu setuju waktu aku bilang soal emansipasi wanita. Soal wanita dan pria sekarang derajatnya sama. Soal kesetiaan Bang Fadli dan dia nggak masalah kalo aku kerja setelah menikah, nggak kayak Aji. 

Mona : Jadi sekarang ceritanya udah ikhlas banget jadi IRT, udah nggak ngeluh lagi soal sendirian di rumah? Pegal bersihin rumah. Padahal baru kemarin kamu curhat, kangen pengin nongkrong, nonton, jalan-jalan. Rindu suasana kerja. Terus di sana enaknya cuma kalo berduaan sama Aji doang. 

Mona : Ya sama. Aku juga mau ngisi waktu selagi laki juga nggak ada dipelukan. 

 

Aku terhenyah, menjauhkan layar dari pandangan. Dhini nggak pernah komplain apapun tentang kami. Dia hanya rewel soal tetangga. Membaca chat Mona membuat egoku sedikit terusik. Bukankah sudah jelas aku katakan pada Dhini kalau setelah menikah aku nggak pengin dia kerja, dan Dhini menyetujuinya.

Aku membiarkan pesan Mona terbaca tanpa niat membalasnya lagi. 

Nggak lama Dhini muncul dengan handuk terlilit dan rambut basah. Hasratku menguap entah kemana. Mataku berfokus pada layar TV sementara Dhini memakai pakaiannya.

“Loh, kok hapeku di sini,” gumamnya saat mendekati ranjang.

“Tadi aku ambil pas ada chat dari Mona.”

Dhini mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara aku bangkit dari ranjang untuk mengambil baju koko dan kain sarung di gantungan. Masuk waktu salat maghrib sebaiknya aku langsung ke masjid.

“Aku nggak tau ternyata kamu banyak ngeluh ke Mona. Dan sama sekali nggak ada bahas ke aku,” gumamku sebelum keluar. Sesaat kulirik Dhini memandangiku sambil melongo.

 

***

 

Kembali dari masjid Dhini langsung mengekoriku ke kamar. Aku melepas baju dan sarung lalu mengambil jaket. 

“Mau kemana?” tanyanya heran.

“Beli makan malam,” kataku. Dhini udah bilang nggak masak hari ini, karena mau ada acara arisan itu. 

Kulirik Dhini menggigit bibir bawahnya. “Aku udah dadarin telur. Eng... kalo nggak suka, ya udah deh, beli makan aja nggak papa.”

Aku menahan napasku sejenak. Melihat wajah Dhini yang sendu begitu membuatku semakin merasa bersalah. Kamu tersiksa ya, hidup di sini? Tinggal sama aku? Harusnya itu yang kutanyakan, tapi yang kulakukan malah lanjut memakai jaket. Padahal, malam ini niatnya aku mau ajak Dhini makan diluar. 

Belum sampai ke ambang pintu, lenganku dipeluk erat. Dhini menatapku dengan mata memerah. Sial! bahkan aku sudah janji nggak bikin dia nangis.

“Aku nggak mungkin ngeluh ke kamu, terus buat kamu jadi nggak konsentrasi kerja kan?” Dhini menelungkupkan kepalanya ke bahuku. “Aku udah janji mau susah seneng sama kamu. Dan semuanya nggak bisa instan kan Ji? Aku lagi proses buat memahami semua keadaan di sini dan nggak ada niat jadi kekanakan ngeluh ini itu ke kamu.” Rongga dadaku berkecamuk mendengar isakan samar. Dan semakin merutuki diri. “Tapi jangan diemin aku gini...” 

Nggak tahan, aku menarik Dhini dalam pelukan, berulang kali mengecupi kepalanya. Kenapa aku terlalu cepat terbawa perasaan soal tanggung jawab ini itu. “Aku nggak marah, serius aku nggak marah.”

“Tapi kamu langsung diem aja tadi. Lama-lama aku kenal kamu luar dalam tau nggak sih, Ji. Aku ngadu ke Mona, karena memang cuma dia yang bisa aku curhatin. Nggak mungkin aku curhat ke Ibu kan?”

Aku masih mengecupi kepala Dhini. “Iya, sori-sori. Aku yang salah.” 

“Jadi, kamu nggak mau makan telur dadar yang aku bikinin?” tanyanya dengan kepala mendongak. 

“Tadinya aku mau ajak kamu keluar sih. Tapi—“

“Oh gitu... Ya udah ayo! Aku juga butuh refreshing, penat di sindir-sindir terus tadi.”

Rahangku hampir terjatuh. Lonjakan mood Dhini benar-benar bisa berubah dalam hitungan detik. Aku mengecup kepalanya. “Rambut kamu basah,” celetukku.

“Ih... iyaa.. kenapa kamu nggak ngomong dari tadi coba mau makan di luar. Tau gitu aku nggak keramas. Basah-basah pakai jilbab ntar malah ketombean. Pokoknya tungguin aku keringin rambut baru jalan,” katanya melepas dekapanku dan mulai membongkar laci nakas mencari hair dryer.

“Tapi aku penginnya kamu tetap ngomong ke aku,” kataku duduk di pinggir ranjang.

Dhini menoleh. “Aku punya stok tart di kulkas tenang aja.” Alisku menungkik, hubungannya apa? “Kalo lagi suntuk aku bisa makan tart sambil nonton drama,” sambungnya.

Oh, jadi itu yang dilakukannya makanya anteng aja nggak kasih kabar. Padahal kalau lagi senggang aku suka uring-uringan apa yang diperbuat istriku ini di rumah.

“Ji...” dia mendekatiku setelah mematikan hair dryernya. “Besok kamu libur kan?” 

Aku mengangguk. Pasti dia pengin ajak jalan-jalan.

“Kita keluar ya...” Nah, kan. “Tapi, bukan jalan-jalan.” Keningku mengernyit. “Kita ke hotel aja Ji, puas-puasin seharian. Kalo di kamar gini aku suka panikan. Dinding kamar kita kan gandengan sama si tetangga.”

Aku menganga sebelum memutar bola mata. Istriku ini memang... “Tapi jangan lupa bawa buku nikah, entar di gerebek pula.”

Kontan aku menepuk jidat. “Kamu mau kita main di hotel melati?”

“Nggak juga. Soalnya aku kepikiran pengin langsung dapet momongan. Bu Dirga itu udah lima tahun berumah tangga Ji, tapi belum dapet momongan juga. Umurnya pas nikah nggak tua-tua banget, kan aku jadi...”

Aku nggak mau Dhini berbicara panjang lebar, dan nyerempet ke mana-mana. Jadi kubungkam saja bibirnya dengan bibirku. “Cepet ganti baju atau kutinggal. Aku udah laper.”

“Kok jadi kejem gitu?” Langkahku nggak berhenti. “Aji... iya... tunggu. Ih!”

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Come Back Home
Selanjutnya Come Back Home [Bab 8 - Bab 11]
7
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan