LET'S GET MARRIED! Bab 9-10

1
0
Deskripsi

Bantu dukung ya Gaes ๐Ÿ˜˜

Bab 9

Aku masih ingat hari itu. Hari pertama bertemu Mahesa di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa. Walau beda jurusan, dan dia dua tingkat di atasku, tapi kami sama-sama aktif di Lembaga Pers Mahasiswa. Dia ketua dan aku sebagai anggota baru. Sama seperti kebanyakan mahasiswi lainnya di LPM, aku pernah berada pada tahap naksir dan kagum pada Mahesa pada pandangan pertama.

Dia menarik tentu saja. Dengan tinggi sekitar seratus delapan puluh centi meter, dan postur tubuh proporsional,...

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya LET'S GET MARRIED!
2
0
BAB 12-15Benar kata Astri, seperti ada yang kurang saat Orion irit bicara. Mungkin karena belakangan ini aku sibuk dengan pikiranku sendiri, jadi baru menyadarinya sekarang. Celetukannya yang selalu mengundang gelak tawa anak-anak WeSto sudah jarang terdengar. Dia juga hampir tidak pernah lagi berinteraksi denganku, kecuali pada situasi terdesak, misalnya urusan pekerjaan atau pada saat kami kebetulan berpapasan.Rasa penasaran soal motor hilang dan dugaan kuat kalau ayahku terlibat, membuatku sedikit menyesali keadaanku dan Orion yang sedang di fase diam-diaman saat ini. Ingin bertanya langsung, tapi aku takut kalau ternyata dugaanku salah, dan justru malah membuka aib ayahku sendiri.Akhirnya aku memutuskan mengirim pesan pada Ayah.Hal terakhir yang ingin kulakukan adalah menjalin komunikasi dengan Ayah setelah semua hal yang ditorehkan dalam hidupku, tapi kali ini aku terpaksa.Assalamualaikum, Ayah apa kabar?Menit demi menit berlalu tak ada belasan sama sekali, hingga kemudian saat aku menelponnya, nomor yang kutuju tidak aktif sama sekali.Ya, Allah!Bagaimana bisa lupa kalau Ayahku itu manusia super ajaib? Dia bisa muncul dan menghilang sesuka hatinya. Muncul saat menginginkan sesuatu dari kita, lalu menghilang setelah keinginannya tercapai.Dugaanku semakin kuat saja. Ayah pasti menghilang dan menonaktifkan nomor ponselnya setelah berhasil menggondol motor Orion. Apa belum cukup Ayah menpermalukanku di hadapan keluarga besar Mahesa, sekarang dia membuatku kehilangan muka di hadapan Orion juga? Lelaki yang bahkan baru dikenalnya dalam hitungan hari dan tidak ada hubungan apa pun dengan kami.Arrrgghhh!!!Rum, aku sama Maya mau ke vendor yang ngurusin bunga untuk resepsi minggu depan sama ada urusan lain. Kamu jadi kan, ya, ke tempat vendor catering pernikahannya Gita. Dia katanya bentar lagi juga mau ke sana.Hah? Aku terkejut saat Astri melongok dari kubikelnya.Bukannya kamu, ya, yang nemenin Gita untuk food testing?Lho, gimana, sih? Kan udah dari kemaren-kemarin aku bilang, kamu udah iyain, kok.Duh, gimana ya, As. Kamu aja yang nemenin Gita, biar aku yang urus bunga-bunga sama Maya.Ya, nggak bisa, Sayang. Ini kan dari awal urusan perbungaan udah sama aku, lagian aku juga ada urusan lain. Jadi mau nggak mau, kamu yang ke tempat catering temani Gita.Tapi, As....Udah, ayo siap-siap. Aku juga mau pergi.Astri!Belum pernah aku merasa seputus asa ini. Biasanya urusan pekerjaan akan kutangani dengan penuh semangat. Namun, masalahnya ini berhubungan dengan Gita. Aku  tak yakin apakah sanggup melihatnya dengan Mahesa di sana. Aku bergidik ngeri membayangkan akankah sanggup menemani mereka mencicipi menu sambil menampilkan wajah penuh senyuman.Kamu kenapa? Kening Astri berkerut. Mungkin bingung melihat wajah memelasku.Duh, gimana ya, As. Kok aku tiba-tiba males aja pergi sendiri. Kan biasanya kalau nggak sama kamu ya sama Maya.Lho, kok, gitu? Kalau malas pergi sendiri, ajak Chandra atau Rion aja buat nemanin.Wah, sorry, Mbak. Aku lagi ada kerjaan. Ngedit foto, sahut Chandra yang kebetulan lewat depan meja Astri.Ya, udah, kalo gitu sama Orion aja. Riooon, lagi nggak banyak kerjaan, kan? Temenin Mbak Rumi, bisa, ya!Astri berteriak seraya memberikan tatapan dan senyuman penuh arti padaku, yang membuatku melengos sebal.Emang ke mana, Mbak?Ke daerah Fatmawati. Nemenin calon pengantin cicip menu catering untuk resepsi... ya siapa tau, kan, jadi referensi juga buat lo ntar kalo mau nikah.Perempuan itu mengulum senyum. Rupanya masih belum kapok untuk terus memancing-mancing Orion.Ya, terserah Mbak Rumi aja, sih. Kalau mau gue temenin, sih, ayo aja.Nah, gimana, Rum? Tu bocah mau mau aja, tuh, gumam Astri padaku.Meski Orion bukan orang yang kuinginkan untuk bisa menemaniku, tapi tak ada pilihan lain. Pilihannya hanya sendirian, lalu mati gaya di hadapan Mahesa dan Gita atau bersama Orion meski kami sedang diam-diaman. Opsinya sama-sama tidak mengenakkan, tapi kalau Orion ikut denganku, setidaknya aku bisa pura-pura sibuk mengobrol dengan lelaki itu nantinya, agar tak terlihat terlalu menyedihkan di hadapan Mahesa.Ya, udah, deh. Aku bareng dia aja perginya Nah, gitu, dong. Udahan, dong diem-diemannya. Akur-akur aja bedua, oke? Astri mengedipkan sebelah matanya.Udah, ah. Panjang bener ceramahnya. Aku merapikan rambut dan riasanku di cermin kecil yang ada di meja.Sesaat aku termangu melihat pantulan wajahku di sana. Terlihat tidak berseri. Sejak kemunculan ayah beberapa waktu lalu, disusul dengan pertemuan tak disangka-sangka dengan Mahesa, hati dan pikiranku jadi tak tenang. Hal itu berimbas pada tidur yang tak lagi pulas. Beberapa kali aku tiba-tiba terjaga tengah malam dan sulit memejamkan mata kembali.Rambutku juga bukan dalam kondisi terbaik hari ini. Pada beberapa bagian, terlihat megar dan sulit diatur. Aku mendesah putus asa, saat sisir yang kugunakan tak banyak menolong. Akhirnya aku memutuskan untuk mengikatnya saja dengan gaya ekor kuda. Meski kesannya malah jadi agak kekanakan karena aku memakai pakaian semi casual, kemeja putih, jeans biru dan flat shoes.Bayangan Gita yang anggun dengan rok batik dan blus model kebaya simpel tempo hari seketika membuat nyaliku seketika merosot ke titik terendah. Dari segi mana pun, aku tak ada apa-apanya dibandingkan Gita.Sudah, Rumi!Aku merutuki diriku sendiri. Aku benci diriku yang merasa terintimidasi dengan perempuan yang akan dinikahi Mahesa beberapa bulan lagi itu. Padahal aku bukan lagi siapa-siapanya. Hanya mantan istri yang setahun dinikahi dengan segala macam drama tak berkesudahan yang mengiringi.Aku segera menelungkupkan cermin ke meja,  dan mengambil tasku. Apa pun yang terjadi, tak ada celah lagi untuk mundur, aku harus menghadapinya dengan tegar.Ketika bangkit dari kursi kulihat Orion masih di tempatnya, tengah mengawasiku.Kamu ... jadi ikut, kan? tanyaku karena dia hanya diam saja.Terserah  Mbak Rumi aja. Kalau mau ditemani, boleh, ucapnya datar.Ya, udah. Yuk! Aku berusaha bersikap santai meski agak canggung rasanya.Lelaki itu mengangguk, lalu menyambar jaket dan tas selempangnya.Tak seperti dulu tiap kali kami semobil, pasti Orion menawarkan dengan setengah memaksa agar dia yang menyetir, tapi kali ini dia langsung duduk di kursi penumpang tanpa berkata apa-apa.Saat mobil baru melaju, dia menurunkan sandaran kursi, mencari posisi ternyaman, sebelum akhirnya menutup kupingnya dengan ear phone.Ntar kalo udah nyampe, bangunin aja, ya, Mbak.Dia memejamkan mata, sementara kedua tangannya dijadikan bantalan di bawah kepala.Ok.Niatku untuk bisa mengulik sedikit tentang motornya yang hilang jadi batal. Sepertinya dia memang sengaja memberi kesan tak ingin diganggu.Satu jam kemudian aku sudah sampai di lokasi vendor yang kami tunjuk sebagai penyedia catering untuk resepsi Gita. Bangunan megah dan Juni bergaya kolonial Belanda itu memiliki halaman yang cukup luas. Aku melihat beberapa kendaraan terparkir di sana. Dengan jantung berdebar kencang, aku memarkirkan mobil di dekat deretan pohon Pinus.Setelah berhasil menenangkan diri dan memastikan riasanku tidak rusak, aku membangunkan Orion.Rion, udah sampai, nih.Lelaki itu tak bergerak sama sekali, matanya masih terpejam rapat.Rion! Aku menarik-narik unjung jaketnya, tapi masih tak ada respon sama sekali.Rion! Bangun! Kita udah sampai. Kali ini aku menggungcang-guncang lengannya yang terasa keras berotot, meski tertutup jaket.Posisi dan ekspresi wajahnya masih tak berubah sedikit pun. Aku menatapnya keheranan,  masa iya, hanya dalam satu jam perjalanan, tidurnya bisa sangat pulas begini?Rion! Aku memberanikan menepuk-nepuk pipinya dengan pelan.Rasanya belum pernah sesusah ini membangunkan orang tidur. Atau jangan-jangan dia pingsan?Kelebat pikiran itu membuatku mendadak was-was. Tapi memangnya ada orang yang pingsan dalam tidurnya?Hati-hati aku mendekat dan membuka safety belt yang melekat di tubuh Orion, lalu meletakkan jariku di bawah hidungnya, untuk merasakan hangat napas lelaki itu.Ini pertama kalinya aku melihat Orion dari jarak sedekat ini. Bulu matanya yang panjang, terlihat jelas saat matanya terpejam rapat. Rambutnya sudah mulai gondrong dan sedikit acak-acakan, menutupi sebagian dahinya. Meski kulitnya terang dan bersih, tapi garis wajahnya sangat maskulin. Sesaat aku mengagumi bentuk bibir dan rahangnya yang terlihat pas dan proporsional.Aku tak menyangka saat tengah mengamatinya, tiba-tiba saja lelaki itu terbangun sambil terbatuk-batuk. Saking terkejutnya, tanpa sadar tanganku yang semula berada beberapa milimeter di bawah hidungnya, sekarang bertumpu di bibirnya.Tubuhku seketika membeku kala kami bertatapan. Orion juga tampak sama terkejutnya denganku.Mbak ... lagi ngapain? gumamannya terdengar tidak terlalu jelas karena mulutnya tertutup oleh jemariku.Aku buru-buru menyingkirkan tanganku dari sana, setelah menyadari betapa dekat dan awkward-nya posisi kami saat ini. Ya, ampun semoga saja dia tidak berpikir macam-macam.Ki--kita ... udah sampai. Kamu susah banget dibangunin, ucapku terbata, dan segera memperbaiki posisi dudukku.Oh, udah sampai, ya. Dia menegakkan sandaran kursi, lalu menyisir rambutnya dengan jemari.Sorry, aku ketiduran.Kamu tidur kayak orang mati. Susah banget dibangunin.Oh, jadi barusan itu, Mbak bangunin aku?Lha, iya. Emang mau ngapain coba? Aku berusaha terdengar galak, meski wajahku terasa memanas karena jengah.Tapi tadi banguninnya bukan kayak bangunin ala ala dongeng Sleeping Beauty, gitu, kan? Ada nada geli dari suaranya saat berkata. Meski tak melihatnya tapi aku bisa membayangkan ekspresi wajahnya saat ini.Gimana, gimana? Aku akhirnya menoleh juga.Nggak, kok. Becanda. Dia nyengir, lalu buru-buru membuka pintu mobil.Aku mendesah sebal setelah mencerna kembali maksud ucapannya tadi. Jadi dia pikir aku membangunnya ala pangeran membangunka putri tidur dengan sebuah kecupan? Dasar, Tengil! Rupanya keisengannya kumat lagi. Kupikir sudah kapok sejak kuomeli waktu itu.Bab 13Jantungku kembali bertalu-talu saat turun dari mobil. Aku langsung menuju ke bagian samping bangunan. Orion mengikutiku sambil bersiul-siul mengikuti nada musik dari ponsel. Sejak berangkat tadi ear phone tak lepas-lepas dari telinganya.WeSto sudah beberapa kali memakai jasa catering ini, jadi aku sudah tahu di mana tempat yang mereka sediakan untuk mencicipi menu. Benar saja, sudah ada Gita di sana bersama dua orang perempuan muda. Mungkin saudarinya atau asisten pribadinya. Namun, tak kulihat Mahesa bersama mereka.Hei, Mbak Harumi, sapanya hangat dan langsung merangkulku akrab.Hai, Mbak Gita. Maaf, ya, kami agak telat. Aku membalas rangkulannya. Wangi parfumnya memenuhi indra penciumanku.Nggak, telat, kok. Kami juga baru sampai. Perempuan itu tertawa ramah, lalu menyalami Orion yang langsung mengemasi ponsel dan ear phone-nya ke saku jaket.Penampilan Gita sama menawannya dengan saat pertama kali dia datang ke kantor WeSto hari itu. Memakai dress selutut motif tenun ikat warna hitam kombinasi kuning kecoklatan, dia tampak sangat anggun. Rambutnya yang indah seperti baru saja dari salon, dibiarkan tergerai sampai bahu. Tas dan sepatunya berwana coklat senada. Lagi-lagi, aku mengaguminya dalam hati. Mirip dengan Mahesa, perempuan itu punya daya tarik yang sangat kuat dan pintar menjaga penampilan.Setelah berbasa-basi sejenak, Mbak Ambar pemilik catering langsung mempersilakan kami menuju meja prasmanan panjang yang menghidangkan berbagai jenis menu yang tampak menggugah selera.Mbak Gita sendiri saja? Uhm, maksudku, Mas Mahesanya belum datang?Aku tak kuasa menahan rasa penasaran, saat Gita duduk di kursi dan mencicipi salah satu menu yang ditawarkan karyawan Mbak Ambar.Mahesa ..., nanti dia bakal menyusul. Entah mengapa nada suaranya terdengar berbeda, sepeti menahan sebal. Namun, bibirnya tak henti menyunggingkan senyum.Oh, gitu. Diam-diam aku mendesah lega. Setidaknya kalau Mahesa datang belakangan, aku tidak perlu terlalu lama berada di tengah-tengah mereka.Sebelum mencicipi makanan lainnya, perempuan itu mengamati tampilannya terlebih dahulu, sepeti seorang juri di acara ajang pencarian chef berbakat.  Baru kemudian mencicipi perlahan, lalu mencatat sesuatu di buku agenda yang ada di sebelah piringnya.Aku mau untuk appetizer, dressing saladnya yang rendah kalori, ya, Mbak. Terus untuk roti ini, bisa dibikin yang pakai gandum utuh, nggak? Maksudnya, dua jenis gitu, yang bahan biasa dan yang bisa dimakan oleh tamu yang lagi diet.Oh, bisa, Mbak, sahut Mbak Ambar.Aku juga langsung mencatat di buku memoku, apa yang dikatakan Gita.Ini sapi lada hitamnya enak, tapi di lidahku bumbunya terlalu strong dan agak asin. Bisa nggak dikurangi dikiiit aja. Biar pas gitu. Gita mengelap sudut bibirnya dengan serbet sebelum melanjutkan ke menu yang lain.Oh, ya, untuk es krim, saya lebih suka wadahnya dari mangkuk keramik kecil warna  putih, senada dengan sendok.Tanpa sengaja aku dan Mbak Ambar saling berpandangan sesaat, sebelum akhirnya perempuan itu menanggapi permintaan Gita. Oke, kami catat, Mbak.Mulai dari makanan pembuka, menu utama sampai makanan penutup, tak luput dari komentar Gita. Ada saja yang menurutnya kurang dan tidak pas. Padahal, sejauh kami bekerjasama, catering milik Mbak Ambar jarang mendapat komplain dari calon pengantin WeSto.Emang seribet ini ya, hanya untuk menu doang? bisik Orion padaku, saat Gita permisi dan menjauh dari kami untuk menjawab panggilan telepon.Tiap calon pengantin, pasti pengen semuanya se-perfect mungkin untuk resepsinya.Mbak Rumi juga, dong?Maksudnya?Lelaki itu tersenyum kecil. Kalau nikah pengennya nanti kayak gimana? Apa sedetail itu juga persiapannya?Aku nggak pengen nikah, ucapku cepat, tak ingin meladeni pertanyaan Orion yang sepertinya sengaja menyerempet ke arah itu. Mood-nya untuk menggodaku rupanya sudah kembali sejak insiden di dalam mobil tadi.Masa nggak pengen nikah? Mbak Rumi bukan penganut selibat, kan? Dia menautkan kedua alisnya, tampak tak percayaAku nggak pernah terpikir untuk menjalani hidup selibat, tapi karena kamu bilang barusan, sepertinya aku akan memikirkannya. Aku masih memelankan suara, meski nada bicaraku terdengar agak sinis.Wow! cetusnya, lalu tak berkata apa-apa lagi setelahnya.Dari kejauhan kulihat Gita seperti tengah berdebat di telepon. Keningnya berkerut, bibirnya sedikit cemberut saat berbicara. Sesekali perempuan itu mengetuk-ngetukkan kukunya ke meja dengan tak sabar. Sikapnya kontras sekali dengan yang sering ditampilkannya saat bertemu dengan orang-orang.Ada apa dengan Miss Perfeksionis? bisik Orion. Rupanya dia juga tengah memperhatikan Gita.Aku hanya mengedikkan bahu.Pertengkaran sepasang calon pengantin? lanjutnya kemudian.Aku menoleh pada lelaki itu. Tidak menyangka dia akan berpikir demikian.Sok tahu, kamu.Bukan sok tahu, hanya nebak-nebak. Apa lagi yang bikin seorang Miss Perfeksionis gusar kalau bukan ada sesuatu yang nggak sesuai dengan harapannya? Dari gesturnya sih, itu kayaknya lagi sebal sama calon suaminya.Sejak kapan kamu jadi cenayang? cibirku, meski dalam hati aku juga sempat menduga hal yang sama. Mungkin Gita sedang berdebat dengan Mahesa. Memikirkan hal itu, tanpa dapat dicegah ada semacam perasaan ganjil yang muncul tiba-tiba di sudut hatiku yang paling gelap. Apa mereka sering berdebat?Kenangan masa lalu selama bersama Mahesa seketika membanjiri pikiranku. Hubungan kami berdua dulu bisa dibilang tanpa riak dan gelombang. Kalau saja ayahku tak berulah dan Mama Mahesa menerimaku dengan tangan terbuka, pasti kami akan menjadi pasangan paling bahagia di dunia ini.  Seperti yang pernah kubilang, aku memang pernah naksir Mahesa saat masih mahasiswa dan mencintainya diam-diam, hingga akhirnya bisa menetralkan perasaanku. Namun, siapa sangka setelah dia lulus dan bekerja, takdir mempertemukan kami kembali di acara reuni LPM di kampusku.Hana wisuda tahun ini, ya? Dari banyak teman-teman seangkatannya dan juga mahasiswi lainnya di acara itu, dia memilih untuk bergabung denganku di sudut aula.Tentu saja aku tak menyangka dia masih ingat padaku setelah dua tahun kelulusannya  dan kami tidak pernah lagi bertemu.Iya, Kak.Rencananya, mau ke mana abis lulus?Ya ... cari kerja. Uhm, ada lowongan nggak di kantor Kak Hesa? tanyaku mencoba sok akrab.Ada kayaknya, kalau nggak salah di bagian customer service. Coba aja masukin lamaran ke sana.Dia meminta nomor kontakku saat itu dan langsung mengirim info penerimaan fresh graduate di kantornya ke ponselku.Seperti memang sudah ditakdirkan, aku diterima bekerja di kantor yang sama dengan Mahesa, dan mulai akrab dengannya. Lebih tepatnya dia yang seperti sengaja mengakrabkan diri denganku. Sering mengajak makan siang, bahkan sering menawarkan tumpangan saat jam kantor usai.Tidak sulit menumbuhkan kembali perasaan cinta yang dulu sudah terkubur saat masih menjadi juniornya di kampus. Semua pesona dan perhatian Mahesa tak bisa kuabaikan begitu saja. Hingga pada suatu sore yang mendung, saat kami beriringan keluar dari gedung kantor, dia menyatakan perasaannya.Hana nggak lagi dekat dengan seseorang, kan? Meski pertanyaan itu diungkapkan dengan tenang, tapi aku bisa merasakan kegugupan pada nada suaranya.Nggak, Kak. Kenapa memangnya?Gini. Dua bulan lagi, mungkin aku dipindahtugaskan, nggak lagi di kota ini tapi di daerah, sekaligus diangkat jadi kepala cabang di sana.Wah, selamat, ya, Kak. Di daerah mana?Kayu Agung.Oh.Hana mau nggak, tinggal di Kayu Agung? Dia bertanya setelah kami sama-sama terdiam selama beberapa waktu.Tinggal di Kayu Agung? Maksudnya ikut pindah tugas? Memangnya CS juga ada yang dipindahkan ke sana?Mahesa tertawa kecil sembari mengusap-usap belakang kepalanya.Bukan. Duh, gimana ya, ngomongnya. Maksudnya kalau ikut bersamaku ke Kayu Agung, Hana mau nggak?Kami sudah sampai di parkiran dan dia membukakan pintu mobil untukku. Masih terbayang jelas sorot matanya yang hangat saat pandangan kami bertemu. Namun, entah mengapa saat itu aku sulit memahami arah pembicaraannya.Ikut Kak Hesa?Dia mengangguk.Nanti setelah resmi diangkat dan pindah ke Kayu Agung, aku berniat untuk bertemu orang tuamu.Selama beberapa detik aku terpana dan mulai meraba-raba maksud perkataannya. Apakah itu artinya .... Ah, aku terlalu takut untuk memikirkannya.Mahesa masih berada di pintu mobil yang terbuka, tak kunjung melepaskan tatapannya dariku.Kalau nggak keberatan, aku ingin melamarmu ... jadi istriku.Suaranya tenang dan pelan, tapi sanggup menciptakan gempa maha dahsyat di dalam dadaku. Sungguh tak pernah kusangka Mahesa akan melamarku padahal tak ada pembicaraan apa-apa sebelumnya. Bahkan aku juga tak tahu kalau ternyata dia juga menyukaiku.Hei, kok bengong? Dia menjentikkan jarinya di depan wajahku sambil tertawa kecil. Suara tawanya bagai harmoni indah yang melenakan dan membuatku sesaat seperti tidak menjejak di bumi.Kok, bisa?Dari banyak pilihanan kata yang bisa diucapkan, entah mengapa hanya itu yang terlintas di benakku.Kok, bisa, Mahesa tiba-tiba saja melamarku jadi istrinya. Ini terlalu mendadak. Terlalu mengejutkan sekaligus terlalu indah kalau benar-benar kenyataan. Rasanya aku ingin mencubit pipiku, memastikan kalau semua ini hanya mimpi, tapi tak kulakukan. Ini nyata! Benar-benar nyata! Bahkan aku bisa merasakan semilir angin yang berembus dari Pohon Akasia-- yang menguarkan harum aroma parfumnya-- membelai kulitku.Ya, bisa lah. Memangnya Hana nggak sadar, ya?Sadar apa? tanyaku masih seperti tersihir dengannya.Kalau aku serius denganmu.Sungguh aku tak mampu berkata-kata, selain mencoba menyelami apa yang ada di dalam hatinya lewat sorot matanya yang sedari tadi menatapku dengan intens. Tak ayal, suaraku kian tersangkut di tenggorokan, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun juga.Oh, Tuhan, kalau ini hanya mimpi, aku selamanya tak ingin terjaga.BAB 14Aku seperti terhisap olah pusaran masa lalu yang menelan kesadaranku tanpa ampun, hingga akhirnya tersadar, saat Orion menyenggol lenganku dengan sikunya.Mbak Rumi kenapa? gumamnya tepat di telingaku.Ha?Diajak ngobrol sama Mbak Ambar, nggak nyahut-nyahut.Eh? Aku menoleh ke arah Mbak Ambar di seberang meja yang baru saja tersenyum padaku.Sorry, gimana Mbak? Aku tertawa canggung, merasa sangat sungkan karena sempat tidak fokus padanya.Ini, kan tadi ada beberapa poin yang harus diperbaiki sesuai permintaan Mbak Gita. Ada juga permintaan yang nggak ada pada kontrak kerjasama, jadi mau nggak mau, harga juga menyesuaikan ya, Mbak Rumi. Nantikan saya kirim rinciannya.Oh, ya. Siap. Nanti saya bikin lagi kontrak kerjasama yang baru.Dari sudut mata, kulihat Gita sudah mengakhiri pembicaraannya di telepon, dan kembali ke tempatnya semula. Dia tersenyum lebar, tapi senyuman itu tak mampu mengikis kekesalan yang membayang di wajahnya.Sorry, jadi pada menunggu lama. Perempuan itu kembali duduk dan menaruh ponsel di meja.Oh, ya nggak apa-apa, Mbak Gita. Mbak Ambar memberinya sejenis senyum simpatik yang profesional.Mahesa tadi bilang, dia terjebak macet.Sisi devil-ku tanpa malu bersorak dalam hati. Syukurlah, semoga saja Mahesa batal datang ke sini. Toh, acara cicip-cicip juga sudah selesai, dan Gita sudah memborong semua kritikannya pada Mbak Ambar.Tapi, bentar lagi mungkin dia sampai, kok.Semangatku yang semula mulai bangkit, mendadak menciut kembali.Satu hal yang aku harapkan, semoga bisa kuat saat bertemu dengan Mahesa lagi dan mampu bersikap wajar dan tak mengundang kecurigaan siapa pun.Sembari menunggu Mahesa, aku mencoba berkonsentrasi pada obrolan Gita yang masih membahas tentang menu yang dirasanya kurang sesuai dengan seleranya tadi. Caranya bicara tertata, runut tapi tegas. Meski suaranya lembut, tapi entah mengapa aku merasakan aura mendominasi yang cukup kuat. Dia jelas seorang Alpha Female.Aku mulai membayangkan jenis relationship seperti apa yang terjalin antara dia dan Mahesa. Sebagai sesama Alpha mereka mungkin sangat cocok dan saling support satu sama lain, atau justru sebaliknya?Aku mengembuskan napas gusar, merasa kesal sendiri mengapa terus memikirkan hal-hal yang sudah tidak ada lagi hubungannya denganku. Mahesa sudah bukan siapa-siapaku lagi. Dia sudah bertemu perempuan yang tepat untuk melengkapi hidupnya.Seharusnya aku tak lagi menengok ke belakang, karena hidup terus berlanjut ke depan. Aku harus menjemput kebahagiaanku sendiri tanpa bayang-bayang Mahesa lagi. Namun, nyatanya tidak sesederhana itu.Saat pandanganku tertumbuk pada mobil hitam yang baru saja memasuki halaman samping, dan melihat sosok tinggi berkacamata turun dari sana, debaran di jantungku tiba-tiba tak lagi beraturan. Apa pun yang dipakainya, Mahesa tetap memesona seperti biasa.Well, akhirnya Mahesa datang, ucap Gita lega dan langsung bangkit menyambut calon suaminya itu.Akan tetapi Mahesa tak sendiri. Ada sosok lain yang juga turun dari mobil. Jantungku seperti berhenti berdetak, saat dia berjalan di samping Mahesa. Perempuan paruh baya yang sangat kukenali itu, tak lain dan tak bukan adalah Ibu Cahya Ningtyas, mantan mama mertuaku yang terhormat.Detik itu juga aku berharap bumi terbelah dan menelan tubuhku, agar tak perlu bertemu dengan perempuan itu.Sayang, maaf, ya, Mama bikin Mahesa jadi terlambat datang ke sini. Perempuan itu langsung mendekap Gita dengan hangat.Kok, Mama nggak bilang-bilang, kalau bakal datang. Ya, ampun aku tadi sempat salah paham sama Mahesa. Gita tertawa dengan nada merajukMama pengen kasih kejutan.Aku masih terpaku di kursi, tak mampu bergerak melihat pemandangan keakraban yang mereka tampilkan. Rupanya Mama Ning belum menyadari kehadiranku. Hanya saja, anaknya sudah. Terbukti Mahesa tampak terkejut saat matanya bertemu denganku.Aku buru-buru mengalihkan tatapan. Tak ingin dia tahu betapa berkecamuknya hatiku saat ini. Tanpa sadar tanganku gemetar, membayangkan bagaimana reaksi Mama Ning, saat melihat mantan menantu yang sangat dibencinya itu ada di sini, sedang mendampingi calon menantu barunya yang sempurna mempersiapkan pernikahannya.Sebotol air mineral yang tiba-tiba saja disodorkan Orion membuatku, terkejut.Minum, gih! Muka Mbak pucat kayak orang dehidrasi gitu.Lelaki itu menatapku dalam-dalam. Entah apa yang dia pikirkan, tapi sorot matanya tampak simpati.Aku menerimanya tanpa protes dan buru-buru memalingkan wajah ke samping saat meminumnya, untuk menyamarkan wajahku dari pandangan Mahesa dan ibunya.Setelah melepas pelukan, Gita mengenalkan Mama Ning kepada kami semua. Bermula dari Mbak Ambar dan asistennya, lalu ke aku dan Orion.Sudah kuduga, perempuan itu seperti melihat hantu saat kami bersalaman. Mungkin dia benar-benar tidak menyangka akan bertemu denganku di sini.Harumi, ucapku lirih sambil memaksakan seulas senyum terpatri di bibirku. Tanganku berkeringat dalam genggaman perempuan itu. Matanya yang tajam seakan-akan menembus langsung ke dalam dadaku.Hanya dengan ditatap begitu saja aku seperti langsung digebuk ke dasar bumi. Begitu kuat aura seorang Mama Ning menggerus mentalku hingga berada ke titik terendah.Mahesa yang berdiri tak jauh dari ibunya itu, hanya memandangiku dengan wajah tak berdaya.So, jadi tadi aku udah mencicipi semua menu, dan udah ngasih masukan apa yang mesti ditambah atau kurangin. Mama sama Mahesa bisa cobain juga, siapa tahu punya pendapat berbeda.Ajakan Gita membuat perempuan itu tersadar dan segera memalingkan wajahnya dariku dengan cara yang entah mengapa membuatku seperti ditampar kenyataan.Mama sih percaya banget sama kamu, Sayang. Ini pernikahan kalian, kalian yang memutuskan baiknya gimana. Mama ngikut aja, katanya dengan nada yang terdengar seperti sengaja dibuat seriang dan seantusias mungkin. Masih sempat tertangkap olehku, dia menoleh sekilas padaku sambil tersenyum sinis.Tanpa sadar aku meraba dadaku yang seakan-akan berdenyut nyeri. Bagai air bah, semua ucapan dan perlakuan Mama Ning yang menyakitkan di masa lalu, seperti mengepungku dari berbagai penjuru. Sesak. Sesak sekali rasanya.Silakan, Pak, Bu, dicicipi. Mbak Ambar mengiringi Mahesa dan mamanya ke meja berisi menu makanan.Selama beberapa waktu aku masih mencoba bertahan di kursiku, tanpa menoleh sedikit pun pada Mahesa yang duduk di seberang meja. Tak lupa aku berusaha menampilkan ekspresi wajar, meski rasanya susah sekali. Tanganku masih gemetar, keringat dingin terasa mengalir di tengkuk.Mbak baik-baik, aja? bisik Orion, seraya mendorong kotak tisu ke hadapanku. Mukanya pucat, tapi berkeringat, gitu.Makasih ..   Aku mengambil selembar tisu dan langsung mengelap dahiku. Aku, hanya sedikit nggak enak badan.Ya, udah. Kita balik aja kalau gitu.Tidak mungkin aku pamit sekarang, di saat Mahesa dan ibunya baru saja sampai. Bukankah terlihat sangat tidak profesional, menelantarkan pekerjaan di tengah jalan, karena tidak bisa me-manage masalah personal?Ya, nggak mungkinlah. Kelarin semuanya dulu baru kita balik.Mbak yakin? Suaranya terdengar sangsi.Aku mengangguk lemah. Aku nggak apa-apa, kok.Orion memindai wajahku selama beberapa waktu, sebelum akhirnya mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.Cobain, deh! katanya seraya memberikan sepotong Dark Chocolate padaku.Orion memang perhatian pada siapa saja. Namun, kali ini aku sedang tidak ingin memakan apa pun. Kerongkonganku terasa sangat susah menelan sekarang.Thank's. Aku hanya mengambilnya tanpa selera, tanpa berniat untuk membukanya.Memusatkan perhatian pada Gita yang duduk di antara Mahesa dan ibunya bukan perkara mudah. Mau tak mau aku mesti melihat mereka bertiga. Meski mati-matian, berusaha untuk tidak memandang Mahesa dan Mama Ning, tapi aku tahu mereka berdua diam-diam mengamatiku.Waktu berjalan terasa sangat lambat, tapi aku terus berupaya agar bisa fokus mencatat dan menanggapi permintaan Gita yang disampaikannya pada Mbak Ambar. Baru satu jam kemudian, aku bisa bernapas lega, saat akhirnya dia siap-siap untuk pamitan.Gita menyalami kami semua sambil memamerkan senyum cantiknya yang sempurna. Bisa kurasakan erat genggamannya di tanganku, saat giliran Mahesa menyalami kami semua.Pesanku belum dibalas, gumamnya.Aku tersentak, dan buru-buru melepaskan tanganku. Bagaimana bisa dia nekat mencoba berkomunikasi secara personal denganku, sementara ada Mama dan calon istrinya di sini.Sialnya, saat memalingkan wajah dari lelaki itu, pandanganku justru tertumbuk pada Mama Ning yang tengah mengawasi kami berdua.Oh, ya kalian nunggu di mobil dulu, ya. Mama mau ke toilet dulu bentar.Oke. Yuk, Sayang. Gita segera mengakhiri obrolannya dengan Mbak Ambar, dan langsung merangkul lengan Mahesa.Aku berjalan ke arah Orion yang berdiri di dekat pot bunga besar, pura-pura sibuk mengaduk-aduk isi tasku, tak ingin melihat kemesraan pasangan itu.Kita langsung balik juga, Mbak? tanya Orion, yang sepertinya dari tadi mengawasiku. Raut wajahnya datar saja, tapi sekilas aku melihat sorot khawatir di matanya.Detak tumit sepatu Mama Ning yang mendekat ke arah kami, membuatku tiba-tiba terserang rasa panik.Bisa kita bicara bentar?Aku tersentak, saat langkahnya berhenti persis di sebelahku.Rasanya berat sekali untuk menoleh, dan menatap langsung padanya. Sudah tiga tahun berlalu, tapi aku masih belum berhasil melepaskan diri dari bayang-bayang menakutkan perempuan itu.BAB 15Sambil terus mensugesti diri, aku menoleh pada perempuan itu. Kami sama-sama manusia, sama-sama makan nasi, mengapa aku harus takut padanya?Ada yang bisa saya bantu, Bu? Aku bertanya sopan dengan sikap profesional, seakan kami dua orang asing yang tidak pernah saling kenal. Aku juga memanggilnya dengan Ibu, bukan Mama seperti saat masih menjadi menantunya.Namun, sayangnya saat kami bertatapan, pertahananku langsung goyah. Seperti menantang matahari, sungguh aku tak sanggup menatap matanya. Dia begitu kuat, begitu mengintimidasi. Alhasil, aku akhirnya tertunduk juga. Kalah.Bisa kita bicara berdua saja? Dari nada suaranya yang dingin, aku segera sadar bahwa dia tidak ingin Orion juga berada di sini.Aku menoleh pada Orion yang tengah menatap kami penasaran, lalu memberinya kode agar meninggalkanku berdua saja dengan Mama Ning.Awalnya lelaki itu tampak agak keberatan, tapi akhirnya dia beranjak juga seraya berkata lirih, Kalau Mbak butuh apa-apa, aku ada di depan situ.Saya tidak menyangka kalau ketemu kamu di sini, ucapnya tanpa basa-basi, setelah Orion menjauh.Kok bisa kamu yang menangani perrnikahan anak saya? lanjutnya dengan nada tak suka.Jawaban apa yang harus kuberi? Kalau bisa menerawang masa depan, tentu aku tidak pernah mau menjadi orang yang akan menangani pernikahan mantan suamiku.  Mbak Gita yang memilih kami. Saya juga tidak tahu kalau pengantin prianya adalah Mahesa, cicitku lemah. Ya, Tuhan aku benci merasa tak berdaya seperti ini di hadapan Mama Ning.Sekarang kamu sudah tahu, terus apa kamu bisa bersikap profesional? Saya tidak mau kamu justru mengacaukan semuanya.Seharusnya aku tidak perlu terkejut mendengar tudingan tajam itu, karena dulu sudah kenyang oleh semua cemoohan dan kata-kata tidak mengenakkan darinya. Namun, setelah kami sudah tidak terikat hubungan apa-apa lagi, tetap saja aku tidak menyangka dia masih sesinis itu padaku.Kenapa saya harus mengacaukannya? WeSto adalah WO profesional, nggak mungkin saya mencemarkan nama baik tempat kerja saya sendiri, ucapku sakit hati.Baguslah kalau begitu. Saya hanya mau mengingatkan, karena apa pun bisa terjadi. Tiap orang bisa gelap mata dan melakukan apa saja, hanya demi kepentingannya sendiri. Kamu tentu belum lupa apa yang sudah ayahmu perbuat dulu.Tentu saja saya tidak lupa.  Ibu nggak perlu mengingatkannya lagi. Sebagai anak, saya sudah menebus semua kesalahan ayah saya. Apa semua belum cukup? ucapku letih. Mengorek-ngorek luka masa lalu, benar-benar menguras energiku.Kamu pikir itu cukup? Reputasi keluarga kami tercoreng karena kotoran yang dilempar ayahmu ke wajah suamiku! desisnya geram.Aku menelan ludah yang terasa pahit. Tak dapat menyangkal apa yang diucapkan Mama Ning. Tindakan ayahku dulu memang sangat keterlaluan. Menjaminkan nama besar keluarga Mahesa saat meminjam uang pada rentenir, lalu menghilang karena tak mampu membayar.Apa lagi yang harus saya lakukan, agar bisa menebus semuanya? Aku berusaha keras agar tidak menangis di hadapan perempuan itu.Menjauhlah, sejauh-jauhnya dari Mahesa. Terserah kamu bagaimana caranya agar bukan kamu yang menangani acara pernikahannya. Ganti sama siapa, kek. Karena, selama masih kamu yang menanganinya, besar kemungkinan kamu menggodanya dan mengacaukan pernikahannya!Kenapa saya harus menggodanya? Kami sudah selesai dan saya sudah melupakan semuanya. Suaraku bergetar menahan rasa pedih di hati.Saya tidak buta. Saya bisa lihat kalau kamu masih mencintainya.Jangan terlalu cepat menyimpulkan, Bu. Bagi Ibu, anak Ibu mungkin yang paling sempurna, tapi bagi saya setelah kami berpisah, saya tidak lagi menengok ke belakang. Lagi pula saya sudah punya kekasih. Mengumpulkan sisa-sisa harga diri yang berserak, aku mencoba membalas tatapannya.Oh, ya? Syukurlah kalau masih ada yang mau sama kamu. Apa dia juga sudah tahu kelakuan ayahmu? Bibirnya menyunggingkan senyum meremehkan yang benar-benar membuatku muak.Aku sudah tak tahan lagi. Rasanya sudah sangat keterlaluan, kalau dia menghina dan mencampuri urusan pribadiku sedemikian rupa, padahal dia bukan lagi mertuaku.Itu bukan urusan Ibu. Tidak usah repot-repot untuk mengetahuinya. Aku mengepalkan kedua tangan menahan geram.Saya juga tidak tertarik mengetahuinya. Saya hanya memastikan, kamu tidak lagi mendekati anak saya. Ingat itu baik-baik!Dia menyapukan tatapannya yang tajam padaku, sebelum akhirnya melengos pergi tanpa pamit. Aku menyeka sudut mataku yang tiba-tiba basah. Rasanya sakit sekali dihina dan diremehkan seperti ini, seperti menggarami luka lamaku yang susah payah kusembuhkan.Untung saja, tak ada seorang pun di sini. Mbak Ambar dan dua asistennya tadi sedang di parkiran, mengobrol dengan Gita dan Mahesa, sedang Orion tak terlihat sama sekali.Bagaimana bisa dia berpikir kalau aku akan menggoda anaknya? Aku sangat tahu diri. Kalau bukan Mahesa yang dulu melamarku, sedikit pun tak pernah terbersit dalam pikiranku untuk menjadi istrinya. Bahkan  berkhayal punya suami seperti dia pun, aku tak berani. Seperti yang kubilang, dia jauh dari jangkauan, tak tergapai kecuali dia yang merendahkan diri untuk membawaku berada di sisinya.Titik-titik air mata yang kuseka, tak kunjung mengering. Justru semakin lama, semakin membanjiri pipi, sehingga aku kerepotan sendiri dibuatnya. Ya, Tuhan. Aku sudah lama tak menangis. Air mataku sudah lama kubendung rapat, karena pahitnya hidup yang harus dijalani. Namun, kehadiran satu persatu orang di masa lalu yang ingin kulupakan, seperti membobol habis semua pertahananku.Berlembar-lembar tisu tak berhasil mengelap air mata yang bercucuran. Aku memutuskan ke kamar mandi dan menuntaskan tangisanku di sana, sebelum akhirnya membasuh muka.Salah satu hal yang tak kusukai dari wajahku adalah, warna kemerahan di hidung yang tak mudah hilang  kalau sudah menangis. Tak hanya hidung, mata pun juga memerah dan sedikit bengkak. Aku mengeluarkan sun glasses, dan memakainya. Lebih baik begini, daripada mata merahku mengundang kecurigaan orang-orang.Astaga! Kamu ngapain di sini?Aku refleks memukul bahu Orion karena sangat terkejut saat membuka pintu kamar mandi, mendapatinya berdiri tepat di depan pintu.Oh, ternyata benar Mbak Rumi di dalam. Kupikir Mbak ninggalin aku, pulang duluan.Ya, nggak mungkin lah. Kan mobil di depan, kamu juga tadi lagi di depan.Meski memakai kaca mata hitam, tapi aku tetap berusaha menghindar dari tatapannya.Kita ... langsung pulang? Entah mengapa nada bicaranya terdengar sangat hati-hati.Ya iyalah, mau ngapain lagi di sini?Aku berjalan mendahuluinya, sambil berharap Mama Ning dan Mahesa sudah pergi dari sini. Namun harapanku tak terkabul. Saat sampai di parkiran ternyata mereka masih di sana, menunggui Gita yang masih sibuk mengobrol dengan Mbak Ambar.Mau tidak mau, aku kembali harus berbasa-basi pada mereka saat pamitan. Dari balik kaca mata hitam ini, bisa kulihat betapa sinisnya tatapan Mama Ning padaku.  Mahesa yang berdiri di sebelahnya, masih seperti dulu, tampak tak berdaya kalau sudah berada di dekat ibunya. Akan tetapi aku tahu, dia sedang mengamatiku.Mbak Gita, Mbak Ambar, kami duluan, ya? Mari, Bu, Mas, ucapku, sembari mengangguk sopan pada Mahesa dan Mama Ning.Oh, iya, Mbak Rumi. Nanti saya kirim rincian terbaru ke email, ya, balas Mbak Ambar tersenyum ramah.Oke, Mbak. Yuk, kami balik, ya! Aku berupaya terdengar riang saat berpamitan pada mereka.Biar aku yang bawa, Mbak, tawar Orion saat kami sampai di depan mobil.Tanpa banyak protes, aku menyerahkan kunci padanya. Menyetir dalam suasana hati tak menentu seperti ini bukanlah pilihan bijak.Sekuat apa pun aku mengenyahkan pembicaraan dengan Mama Ning tadi, tapi tak berhasil. Kata-katanya yang menyakitkan itu berdengung terus di telingaku bagai sekawaban lebah. Mataku kembali memanas, tapi aku tak boleh menangis di hadapan siapa pun saat ini.Getaran ponsel di dalam tas sedikit mengalihkan perhatianku. Aku mengambilnya dan mendesah sedih saat membaca pesan dari Mahesa.Han, tadi Mama sempat ngobrol, ya?Pesan baru menyusul tak lama kemudian.Apa pun yang dikatakan Mama, tolong jangan diambil hati. Aku ingin bicara langsung sama kamu. Kapan kamu ada waktu?Tidak ada pernah lagi ada waktu untukmu, Mahesa. Pandanganku kabur karena air mata yang menggenang tiba-tiba.Tanpa pikir panjang aku langsung memblokir nomornya dari kontakku.Ah, andai saja memblokir perasaan bisa segampang memblokir nomor ponsel, pasti aku tak akan senelangsa ini.-tbc-              .                                                                                  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan