
Chiara Kirana jatuh cinta pada Januari Prakasa, laki-laki matang berusia 20 tahun lebih tua, yang ternyata merupakan mantan pacar sekaligus cinta pertama sang Ibunda, Mia Karina.
Chiara memergoki keduanya sedang asyik bermesraan. Karena ternyata sang ibu masih memendam perasaan pada cinta pertamanya.
Chiara memilih keluar dari rumah lalu pindah ke kota Jakarta, memulai kehidupan baru tanpa keluarga. Karir Chiara melejit berkat kegigihannya menggapai target penjualan spare part mobil. Sampai akhirnya...
Part 1. Memergoki
"For God's sake, what the hell are you doing?" Chiara memekik marah.
Perempuan berbibir seksi yang mengenakan setelan blazer itu tak mampu berkata lebih. Kakinya seolah-olah tidak mampu lagi menapak setelah melihat apa yang terpampang jelas di depan mata.
"Cia, kenapa kamu udah balik?" Wanita yang tadinya sudah larut dalam cumbuan itu, mendadak sibuk membenahi pakaian.
Laki-laki yang sedang menindih, hanya tersenyum simpul. Namun, masih dalam posisi di atas tubuh wanitanya.
"Keluar, Berengsek!" Chiara menunjuk kepada lelaki yang masih bertelanjang dada itu.
"Cia, sopanlah sedikit! Dia ini calon suami Mami kamu."
"Ap-apa? Calon ... suami? Janu, apa maksudnya?" Chiara seakan-akan tidak percaya pada apa yang baru saja didengar.
"Janu? Wait, kamu kenal sama pacarnya Mami?" Mia Karina mengernyit heran, menatap ke arah putri dan kekasihnya bergantian.
Chiara kehilangan semua kalimat yang hendak diteriakkan. Bagaimana bisa laki-laki yang bernama Januari Prakasa itu ada di kamar sang Mami? Dan mereka adalah sepasang kekasih?
Chiara menggeleng cepat, berkali-kali. "Ini cuma mimpi buruk, Cia. Ayo, bangun!" desisnya, perih.
Namun, lelehan air mata menyadarkan ia bahwa ini semua nyata. Laki-laki yang belakangan ini selalu memeluk sembari memagut bibir sensual miliknya itu tak lebih dari pengkhianat.
"Pras, kamu kenal sama Cia, Sayang?"
Darah. Chiara merasa hatinya sudah dipenuhi oleh darah. Patah karena tak mungkin bersaing dengan mamanya sendiri.
"Pras! Jawab aku!" Mia memekik marah.
Dengan santainya, Januari beranjak dari tubuh Mia. Januari menyandarkan punggung pada headboard ranjang, menatap tajam ke arah Chiara. Kilat licik muncul sepintas, lalu berganti ketika menatap ke arah Mia dengan senyum memikat.
"Baby, kita sudah terlalu lama menyembunyikan hubungan ini, kan? Apa aku harus membatalkan rencana pernikahan kita, hm?"
"No, Sayang. Jangan tinggalkan aku. Please," rengek Mia dengan nada manja.
"Jadi kamu pilih aku atau dia?" Januari menunjuk ke arah Chiara yang terduduk lemas di depan pintu kamar.
Mia disergap rasa bimbang. Chiara adalah anak gadisnya semata wayang. Namun, Januari Prakasa adalah lelaki yang pertama kali menikmati tubuh dan memiliki hati Mia, sejak mereka masih duduk di bangku SMA.
Letupan cinta dan nafsu membuatnya tak mampu menahan gejolak ketika mereka kembali dipertemukan kembali. Ajang reuni adalah kuncinya. Januari menyadari kalau tubuh yang menjadi candunya dahulu itu masih sama. Terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Sejak ayah Chiara meninggal, Mia memang semakin getol merawat diri. Banyak duda bahkan pria beristri yang datang menawarkan diri. Namun, Mia memang mengunci hati. Karena hanya Freddy, ayah Chiara, yang mau menerima semua kekurangan Mia di masa lalu.
Reuni itu membuat getar-getar cinta di antara Januari dan Mia kembali meraja. Sejak saat itu, mereka selalu membuat janji kencan yang berakhir dengan beradu desah di kamar hotel.
Tadi, Mia beralasan kurang enak badan, sehingga Januari langsung datang ke rumah. Bahkan lelaki itu memakai taksi agar segera tiba di rumah wanitanya. Sial, ketika mereka baru pemanasan, keduanya dipergoki oleh Chiara.
"Aku beri kamu tiga hari untuk berpikir." Januari mendengkus sebelum akhirnya turun dari ranjang. Dipungutnya kemeja dan celana kerja yang terserak di lantai.
Tanpa berniat untuk memakainya, Januari melewati Chiara. Gilanya, Januari malah menjilat bibirnya seolah-olah mengingatkan Chiara akan kebiasaan mereka berdua sehabis berciuman.
'Bangsat!' Chiara memaki dalam hati. Tangannya mengepal, tetapi tak punya tenaga untuk melampiaskan.
"Sayang, tunggu." Mia yang baru sadar dari lamunan langsung tergesa-gesa.
"Mi, please. Pakai baju!" Chiara berbisik lirih.
Namun, Mia yang tampak panik mengabaikan bisikan putrinya. Lingerie yang dikenakan sang Mami tampak masih berantakan. Tak hanya itu, bekas merah di leher sang Mami pun tercetak jelas di beberapa tempat.
Chiara berusaha keras untuk bangkit lalu menyeret langkah ke kamarnya. Hanya satu hal yang ingin ia lakukan, menghapus semua kenangan bersama Januari.
**
"Ada hubungan apa kamu dengan Pras?" Mia bertanya dengan nada dingin.
Chiara yang baru saja duduk dan hendak sarapan, mendadak kehilangan selera makan. Ia hendak bangkit, tetapi tangannya malah dicekal oleh Mia.
"Jawab Mami, Cia!"
Walau enggan, terpaksa Chiara kembali duduk. "Hanya sebagai atasan dan bawahan, Mi."
"Jadi ... kamu itu sekretaris pribadinya Pras?" Mia memekik keras.
Chiara mengangguk lemah. Ya, Januari Prakasa adalah CEO di kantor tempat Chiara bekerja. Lelaki tampan yang mampu membuatnya terbius pesona. Awalnya Chiara hanya kagum karena sesibuk apa pun, Januari selalu punya waktu untuk menjelaskan hal-hal yang tidak dipahami oleh pegawai baru sepertinya.
Mia mengigit bibir. Mendadak muncul ingatan ketika sedang asyik melenguh di atas ranjang bersama Januari, ada panggilan masuk yang langsung ditanggapi oleh lelakinya itu.
"Kamu ... Kirana yang selalu dipuji oleh Pras?" Mia berusaha memastikan ulang.
Chiara mengangguk lemah. Di kantor, Kirana adalah nama panggilannya. Januari yang pertama kali mengucapkan panggilan itu dan diikuti oleh seluruh pekerja di kantor.
Mia tak percaya kalau sekretaris pribadi yang selama ini membuat cemburu tak lain adalah putri semata wayangnya sendiri.
"Makanlah." Mia menghela napas panjang. "Mami gak mau kamu sakit."
"Maaf, Mi. Cia gak lapar. Cia ke kantor dulu, ya." Chiara langsung beranjak.
Padahal hatinya hancur lebur, tetapi Chiara memutuskan untuk bersikap profesional. Terlebih karena hari ini ada rapat penting yang harus dihadiri oleh seluruh divisi.
Sebelum masuk mobil, Chiara memastikan penampilannya sudah sempurna seperti biasa. Setelan blazer juga celana panjang berwarna magenta itu tampak manis dipadu dengan high heels berwarna senada. Rambut panjang kecoklatan miliknya diikat ala ponytail.
Ketika Chiara baru tiba di area parkir, Januari pun tampak baru turun dari mobil. Jantung Chiara seperti ingin melompat dari tempatnya. Biar bagaimanapun, pesona lelaki itu tak mungkin sirna dalam satu malam.
Terlebih ketika Chiara mengingat otot pejal milik Januari yang terpampang jelas saat melewatinya semalam.
Chiara menggeleng cepat, memilih untuk segera masuk ke ruangan kerja dari pintu yang berbeda. Untung saja, walau berstatus sebagai sekretaris pribadi, tetapi Chiara punya ruangan sendiri.
"Mbak, dipanggil Bapak ke ruangan."
Chiara ingin kabur, tetapi itu adalah hal yang mustahil. Dalam hati ia merutuk, menyesal karena tidak membolos saja agar bisa puas menangis seharian di rumah.
Sembari mengangguk sopan, Chiara melangkah ke ruangan Januari. Padahal baru kemarin, mereka saling memagut lembut di dalam ruangan itu.
'Shit, Cia! Jangan bodoh! Bajingan itu sebentar lagi bakalan jadi pengganti Papimu!'
Chiara mengetuk pintu lalu masuk sebelum dipersilakan. Seolah-olah sudah mempersiapkan diri, Januari langsung mendekap tubuh Chiara lalu menekannya ke arah dinding.
"Kirana, aku merindukan aroma napasmu."
Belum sempat Chiara berpikir, bibir Januari sudah memagut lembut. Seperti biasa. Chiara merasa tungkai kakinya mendadak lemas, ingin berteriak tetapi tak mampu.
Ternyata, ia sudah sedalam itu mencandu ciuman dari seorang Januari Prakasa, kekasih Chiara sekaligus calon suami maminya sendiri.
'Aku tak akan mengalah. Aku yang akan memenangkan hati kamu, Janu. Kamu milikku, bukan Mami!'
***
Part 2 Dua Perempuan Cantik
"Chiara Kirana, mau jadi pacarku?" Januari menekuk lutut lalu mengulurkan kotak perhiasan berwarna merah beludru.
Chiara sama sekali tidak menduga kalau lelaki yang diam-diam ia kagumi akan memberi kejutan semanis itu.
"Cantik, come on. Aku malu jadi tontonan pengunjung lain." Januari berbisik.
Chiara langsung menolehkan kepala. Benar, beberapa pasang mata sedang menjadikan mereka berdua sebagai bahan tontonan gratis dadakan. Separuh malu, ia menganggukkan kepala.
Januari bangkit lalu membuka kotak perhiasan itu. Chiara terharu ketika gelang emas putih itu dipakaikan oleh sang kekasih di lengannya.
"Pak Janu, ini bagus banget," bisik Chiara, terharu.
Mereka berpelukan sebentar lalu Januari menghapus air mata yang melelehi pipi ranum Chiara.
"Ayo, duduk. Dan ingat, cukup Janu, Cantik. Tanpa Bapak, oke?"
Chiara tersenyum malu-malu. Detak jantungnya sudah tak karuan. Mimpi-mimpi yang selalu menghiasi malamnya sekarang menjadi nyata. Lelaki tampan bernama Januari Prakasa itu memintanya untuk mengikrarkan diri sebagai kekasih.
'Ah, dunia, aku adalah perempuan yang sangat beruntung!' Chiara memekik dalam hati.
Candle light dinner yang ternyata sudah dipersiapkan itu membuat kaki Chiara lemas. Tidak pernah ada seorang lelaki pun yang bersikap seperti Januari.
"Kenapa, Cantik? Kamu gak suka gelangnya, hm?" Januari mengusap lembut pipi Chiara.
"Suka, Pak eh Janu. Mas Janu." Bahkan mengucapkan sebutan itu saja, sesuatu dalam diri Chiara seperti terbakar.
Lelaki di hadapan Chiara itu digilai banyak staf dan perempuan cantik di luaran sana. Kemarin, Chiara menganggap dirinya tak mungkin bisa menarik perhatian seorang Januari Prakasa. Ternyata salah, panah asmara justru menancap di hati sang CEO.
Enam bulan setelah menjadi sekretaris pribadi Januari, status mereka berganti menjadi sepasang kekasih. Satu hal, Januari meminta Chiara agar merahasiakan jalinan cinta mereka. Gadis yang sedang terpanah asmara itu tidak berpikir panjang dan langsung menyanggupi saja.
Sejak mereka berubah status, sering kali Januari mencuri ciuman ketika mereka berada di ruang kerja atau di tempat-tempat tertentu. Ciuman itu menjadi candu yang merantai hati Chiara. Karena Januari adalah pacar sekaligus cinta pertama sang sekretaris pribadi.
Hati Chiara seolah-olah terselimuti kabut asmara. Perbedaan usia di antara mereka tidak menjadi masalah. Dua puluh tahun hanyalah angka tak berarti, bagi mereka yang sedang terbakar gairah.
"Aku mencintai kamu, Karina." Januari berbisik, serak. Tatapannya masih menyiratkan hasrat yang membara.
Mendadak, kesadaran Chiara kembali. Tangannya langsung mendorong tubuh Januari menjauh. Dihapusnya kasar jejak basah yang masih melekat di bibir.
"Kau memang lelaki berengsek, Januari Prakasa! Masih sempat kau menciumku dan mengucapkan kata cinta? Apa kau semudah itu kau lupa, kemarin hendak bercinta dengan ibuku sendiri, hah?" Chiara mengamuk seperti orang kesurupan.
"Hei, chil, Cantik. It just like dark joke. I don't love her."
Chiara ingin menerjang lelaki yang sedang mencoba meluluhkan hati dengan tatapan memuja itu. Namun, tatapan penuh cinta itu membuatnya bimbang.
"Benar kamu gak cinta sama Mami aku?" Chiara mencoba mencari kejujuran di mata sang kekasih.
Januari merasa mendapat angin segar langsung mendekat. "Hanya kamu cintaku, Cantik. Memangnya kalau kamu adalah putri Mia, salahkah perasaan cinta kita?"
Mendadak, Chiara merasa hidup tak adil. Sekian banyak lelaki, kenapa Mami harus merebut kekasihnya? Toh, selama ini, Chiara sudah bersikap baik dan menjadi anak penurut.
Jemari Januari kembali menjelajah bibir ranum milik Chiara. "Aku bisa gila kalau tak mencium bibir ini. Kau adalah candu, Kirana."
Lagi. Semua terulang seolah-olah tidak pernah ada badai yang memporak-porandakan hati. Dengan mudahnya Chiara luluh.
Jemari Januari sudah menjelajahi kancing kemeja yang dikenakan di balik blazer Chiara. Tangan itu dengan kurang ajarnya mulai menyentuh sesuatu yang tabu. Chiara mengerang merdu.
Tepat ketika bibir Januari hendak menikmati keindahan tubuh kekasihnya, pintu mendadak dibuka.
"Bajingan! Apa yang kau lakukan pada putriku?"
Chiara langsung berbalik badan. Gairahnya langsung padam begitu saja. Skor mereka imbang. Satu sama. Terburu-buru jemari lentik Chiara mengancingkan kembali kemeja yang sudah berantakan itu.
"Tega sekali kalian! Kau, Pras, bukannya aku masih punya waktu untuk memberi jawaban? Kenapa kau malah mencumbu calon anak tirimu sendiri?" Mia berkacak pinggang.
Kepala Januari Prakasa pening. Dua kali berturut-turut gairahnya padam. Padahal sedikit lagi tujuannya hampir tercapai. Membuat Chiara takluk sepenuhnya di bawah jebakan gairah.
"Untuk apa Mami ke sini?" Chiara mendesis marah.
"Oh, sekarang kau hendak merebut lelaki ini dari Mami, hm? Apa kau sudah lupa, berapa selisih usia kalian? Dia layak jadi papamu, bukan kekasih, Chiara Kirana!"
Januari hanya diam. Lelaki itu menikmati pertengkaran di antara dua perempuan cantik yang sudah mengisi hati dan hari suramnya. Tak hanya itu, otak jahat Januari pun sudah membayangkan bagaimana dunia terasa indah jika bisa memiliki keduanya di atas ranjang lalu melenguh panjang secara bersamaan.
'Sial. Mendadak aku ingin sekali bercinta dengan keduanya!' Januari merutuk.
"Mas Janu, bilang ke Mami, kalau kamu baru saja mengucapkan cinta ke aku!" Chiara merengek dengan nada manja.
Otak kotor Januari meronta. Tak kuat melihat bagaimana cara gadisnya merajuk. Bibir ranum yang masih menyisakan rasa hangat dan manis itu membuatnya enggan berpaling.
Chiara belum pernah disentuh oleh laki-laki. Hal itu membuatnya kembali teringat dengan masa indah saat menjadi kekasih Mia dahulu. Darahnya bergejolak. Ingin mengulang kembali, tetapi tidak dengan Mia, melainkan Chiara.
"Pras! Kenapa kamu malah diam? Ayo, siapa di antara kami yang kamu pilih?"
'Kalau bisa memiliki kalian berdua, kenapa harus repot memilih?!' umpat Januari dalam hati.
Namun, tentu saja Januari tak mungkin melontarkan ucapan itu. Karena masih ada tujuan yang hendak dicapai sejak mendekati Mia.
"Kirana, tolong kembali ke ruangan kamu. Saya harus menjelaskan tentang hubungan kita ke Mami. Oke?" Januari mengelus lembut pipi Chiara.
Mia melotot melihat bagaimana cara Januari mengelus dan menatap pada Chiara. Hati Mia terbakar cemburu, tetapi bukanlah hal baik jika mengamuk dan menerjang putrinya sendiri.
"Tapi, Mas, kita--"
"Ssh, sebentar saja. Oke?" Januari mengusap bibir Chiara.
Otak kotor milik Januari sudah tak mampu memberi perintah pada sesuatu di bawah sana. Dalam pikiran lelaki itu, hanya mencari bagaimana cara menyelesaikan semua saat ini juga.
"Oke." Chiara merasa di atas angin. Karena di hadapan Mami, Januari tak sungkan berlaku intim.
Chiara melangkah keluar dengan dada membusung. Percaya diri maksimal kalau setelah ini maminya yang akan kalah.
Sayangnya, Januari malah langsung menerkam Mia ketika pintu ruangan sudah dikunci.
"Kenapa kau lama sekali? Hampir saja aku termakan sandiwara dan lupa akan janji kita." Januari mengomel.
Mia tak mampu menjawab karena Januari sudah mendesak sedemikian rupa. Wanita itu bahkan harus mengigit bibir kuat-kuat, agar desahannya tak membongkar rahasia.
"Kau memang yang terbaik, Mia Karina." Januari melenguh panjang.
Untung saja, Januari tak salah menyebutkan nama di puncak kepuasan itu. Karena sedari tadi, otaknya hanya menyajikan imajinasi wajah cantik Chiara saja.
***
Part 3. Patah Hati
Chiara meresapi perihnya dikhianati. Januari yang berjanji akan mempertahankan hubungan mereka, justru kembali ingkar.
Melihat bercak merah di leher Mia, Chiara sudah dapat menyimpulkan hal apa yang sudah terjadi setelah Januari memintanya keluar dari ruangan itu.
"Kenapa mencintai harus sesakit ini, Tuhan? Bukan hanya Janu, tapi juga Mami. Tega sekali." Chiara meremas jemari.
Di lantai atas gedung, Chiara menangis tergugu. Kepalanya penuh dengan segala hal yang tumpang tindih.
Biasanya, di tempat ini, Januari dan Chiara sering mencuri kesempatan untuk saling melepaskan rindu. Hanya sekadar memeluk dan memagut. Namun, bagi Chiara semuanya terlalu indah sekaligus menyakitkan.
"Jahat banget kamu, Janu. Selama ini kamu melambungkan aku setinggi langit. Sekarang, kamu hempaskan aku sampai hancur." Chiara meratap.
Chiara tak peduli dengan penampilan yang pasti sudah jauh dari kata sempurna. Selama ini, ia selalu menganggap penampilan di atas segalanya. Terlebih sejak menjadi kekasih Januari.
"Aku memang bodoh dan buta karena cintamu, Janu. Bahkan aku sama sekali tidak tau apa pun tentang kamu." Chiara masih terus mengoceh sendiri.
Ponsel di hand bag yang diletakkan sembarangan itu mendadak berdering. Chiara hanya menoleh sebentar, lalu tersenyum perih.
"Tidak ada yang akan mencari kalau pun aku tak pulang malam ini. Mungkin Mami dan Janu sedang asyik mengadu desah."
Chiara muak ketika membayangkan kembali adegan Mia dan Januari yang sudah hendak terbang ke bulan. Gadis itu merasa seperti pecundang yang berkali-kali jatuh dalam lubang kebodohan sama.
"Aku mencintai kamu, Januari Berengsek!" Chiara berteriak dalam kondisi pipi basah akan air mata yang membanjir. "Tapi kamu juga laki-laki yang akan jadi Papi aku. Apa kau tak punya otak, hah?"
Siapa pun yang ada di sana, pasti akan terenyuh melihat bagaimana hancurnya hati Chiara. Gadis itu luruh, bersimpuh sembari menangis.
***
"Terima kasih, Sayang. Kau masih sama seperti dulu." Januari mengecup bahu Mia yang basah karena keringat.
Entah sudah berapa kali mereka melakukan hal terlarang itu. Bagi Januari yang penting bisa melampiaskan hasrat. Karena lelaki itu sadar, saat ini belum ada kesempatan untuk memiliki ibu dan anak secara bersamaan.
Sayangnya, sejak tadi, yang dibayangkan oleh Januari adalah Chiara yang mengerang dan bergerak liar di bawah kepungan hasrat mereka.
'Sial. Aku malah lebih bersemangat untuk menguasai mereka berdua.' Otak kotor Januari semakin mengompori.
"Sayang, mikirin apa?" Jemari lentik Mia menjelajahi paha Januari.
Januari reflek menangkap jemari itu. "Aku mencintai kamu."
Bagi Mia, tak ada yang lebih indah selain bisa membuat Januari takluk sepenuhnya. Mia rela melakukan segala cara agar lelaki yang selalu membuatnya menggila itu tetap memuja.
"Pras, kau masih sama tangguhnya seperti dulu. Hanya kau yang bisa mengimbangi permainan kita." Mia berucap manja.
Mia masih ingat semua kelakuan buruknya setelah menikah. Setiap kali melayani suami sah, dalam ingatannya hanya ada malam panas penuh gairah bersama Januari Prakasa. Jika tidak membayangkan hal itu, Mia kurang berselera pada suaminya sendiri.
Secara fisik dan stamina, Januari memang unggul. Berbeda dengan suami Mia yang kurang pandai dalam hal masalah ranjang. Kadang hanya sekadar pemenuhan kebutuhan biologis semata saja.
"Aku tau."
"Kapan kita merealisasikan rencana pernikahan, Sayang? Kita butuh restu, kan?" Jemari Mia mulai bergerilya lagi.
Januari menangkap jemari yang mulai merayap itu. "Ibu? Aku gak mau beliau tau. Sudah cukup dulu beliau mencoba memisahkan kita dan berhasil."
Binar mata Mia meredup. Kejadian di masa lalu mendadak memenuhi ingatan. Tanpa bisa dicegah, tangis Mia pecah. Tubuhnya bergetar.
"Cantik, hei, kamu ... No, jangan kayak gini." Januari merengkuh tubuh polos itu.
Mia terisak-isak di pelukan Januari. "Ak-aku masih ingat ketika Ibu kamu mendorongku, Pras. Aku sampai harus ...." Mia menggigit bibirnya.
Satu rahasia yang disimpannya rapat-rapat dari Januari. Karena Ibu kekasihnya itu mengancam akan melenyapkan nyawa Mia jika berani membuka mulut.
"Maaf, ya. Kamu harus menjalani kehidupan tanpa aku." Januari bersungguh-sungguh ketika mengucapkannya.
Mia juga adalah cinta pertama bagi Januari. Walau sebelumnya banyak perempuan yang menarik hati, tetapi cuma Mia yang membuat laki-laki itu bertekuk lutut. Cinta masa muda yang rumit bagi keduanya.
"Kamu gak apa-apa kalau kita sembunyikan kebahagiaan ini dari dunia, Mia?"
Mia meragu. 'Bagaimana jika Cia tidak berhenti dan tetap menggoda Pras? Atau bisa saja Pras yang getol mengejar anakku.'
"Aku cuma takut kamu pergi seperti dulu, Pras." Mia sengaja menunjukkan sisi lemah yang dahulu bisa membuat Januari iba.
Benar saja. Januari menghela napas panjang. "Kau adalah segalanya, sejak dulu. Keadaan yang sama sekali tidak berpihak ke kita."
Mia mengangguk. Selama ini, tak ada kabar yang pasti mengenai siapa istri Januari. Bahkan dari teman-teman sekolah pun, tidak ada yang pernah diundang ke acara pernikahan lelaki bertubuh tinggi itu.
Hanya saja, Mia tak berani terlalu jauh bertanya. Bagi Mia, ikrar cinta di antara mereka saja, sudah lebih dari cukup.
Mia menggeliat, tetapi Januari tetap mempertahankan posisi mereka. Keduanya langsung bertatapan.
"Jangan berpikir yang aneh-aneh. Aku masih tetap Prasmu yang dulu." Januari mengecup kening Mia.
Mia mengangguk. Semua hal manis ini lebih dari cukup. Tak hanya itu, Januari pun royal padanya. Sejak mereka kembali bersama, lelaki itu selalu rutin mengirim uang untuk Mia merawat tubuh.
"Kita pulang sekarang?" Mia bertanya sembari menatap manja.
"Beri aku satu kepuasan lagi, Cantik."
Di saat sang Mama sedang sibuk mendesah dan meneriakkan nama Januari Prakasa, Chiara justru sudah tiba di sebuah jembatan.
Menjelang malam, daerah itu tergolong sepi karena merupakan jalan pintas. Hanya beberapa pengemudi saja yang akan melintas untuk menghindari kemacetan.
Chiara merasa hidupnya tak lagi berarti. Karena setelah kepergian Papa, tak ada lagi yang sungguh-sungguh mencintainya sebesar itu.
Chiara masih menangis tergugu di dalam mobil. Entah kenapa sedari keluar dari kantor tadi, hanya jembatan ini yang ada di ingatannya.
Chiara turun dari mobil, lalu melangkah tergesa ke arah jembatan. Kondisi jembatan bahkan seperti sedang bersahabat, karena beberapa lampu tampak tak menyala.
Chiara membuka high heels yang dikenakan, lalu mencampakkan benda itu sembarangan. Chiara mulai memanjat pagar pembatas jembatan, tekadnya sudah benar-benar bulat. Mata yang bengkak karena menangis membuat pandangannya agak memburam.
Chiara tersenyum getir. "Selamat tinggal semuanya. Aku lelah dengan semua kepalsuan ini."
Chiara sudah berdiri di atas tembok pembatas jembatan dan hendak melompat.
"Hei! Berhenti! Jangan gila! Apa kaupikir dengan bunuh diri semua masalah akan selesai, hah?!"
Chiara berbalik badan dan mendapati seorang laki-laki bertubuh tinggi besar sedang sibuk mengatur napas. Tiba-tiba pandangan mata Chiara berkabut lalu tubuhnya limbung.
Laki-laki yang hendak memuntahkan semua emosi, mendadak panik karena tubuh Chiara reflek jatuh dalam pelukannya.
"Astaga, sekarang apa lagi?"
*
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
