SANDYARAKSA (Trial) (014) Pondok Sandya

2
2
Deskripsi

Timun Mas memulai perburuan raksasa pertamanya bersama Manik Angkeran!

Pondok Sandya

 

Munmun duduk bersila dengan mata terpejam di tengah padang rumput yang bergetar. Tangan gadis berusia lima belas tahun itu sejak tadi mengatup kuat di depan dada. Rambut pendeknya bergoyang-goyang, berputar pelan mengikuti arah aliran energi yang berpusar mengelilinginya. Energi yang perlahan-lahan ditarik oleh Munmun ke dalam tubuh. Semakin lama aura Munmun semakin meningkat. Rerumputan yang bergetar hebat tiba-tiba mulai terpotong-potong, terbang mengitari Munmun. Potongan-potongan rumput itu kemudan terurai menjadi serpihan-serpihan cahaya kehijauan yang terserap ke dalam tubuh Munmun. 

Munmun segera mengarahkan energi alam itu ke tangan. Saat membuka mata, Munmun mengangkat tangan kanan. Telapak tangan kanannya itu memancarkan warna hijau muda yang terang. Lalu gadis berambut pendek itu berteriak, “Haaaa!” sambil memukul tanah. Pancaran hijau muda mengalir pada tanah di depan Munmun. Dari aliran cahaya hijau muda itu muncul sulur-sulur yang menembus tanah lalu masuk lagi ke dalam tanah lalu muncul kembali, seperti gerombolan ikan-ikan yang melompat di air. Kumpulan sulur itu semakin lama semakin besar dan tebal. Sulur terus memanjang mengarah pada bongkahan batu sebesar badan kerbau berjarak sepuluh langkah dari Munmun. 

Begitu menyentuh bongkahan batu besar, sulur-sulur mengitarinya, mengikat batu itu. Lalu batu itu mulai bergetar atau lebih tepatnya, tanah di bawah batu itu berguncang kuat. Otot lengan kanan Munmun menegang. “Heyaaaaa!” Munmun melompat berdiri mengangkat kepalan tangan kanan ke langit. Nafasnya memburu dengan peluh membasahi wajahnya yang tersenyum puas. Bongkahan batu besar itu telah terangkat tinggi oleh sulur-sulur hijau yang tebal.

Munmun menoleh ke kanan sambil menyeringai. “Lihat Guru! Aku berhasil mengangkatnya hingga dua kali tinggi tubuhku!”

Manik tidak terkesan. Pria itu hanya mengelus-elus janggutnya sambil mengamati sulur-sulur yang diciptakan Munmun.

Munmun yang kesal datang mendekat. Sambil menunjuk-nunjuk hasil latihannya barusan, Munmun mengulangi lagi perkataannya, “Lihat itu guru. Aku bisa melakukannya sampai seperti itu. Aku sudah siap un- Aaaah! Kenapa Guru memukul kepalaku lagi?“

“Kenapa kau melompat?” tanya Manik dengan nada menekan.

Munmun segera mengalihkan pandangan dari Manik ke arah bongkahan batu tadi, berusaha mencari sedikit kebanggaan yang tersisa. Namun, kepala naga di ujung tongkat gurunya menghadang pandangan Munmun. Munmun menelan ludah. Dengan menggerakkan tongkatnya, Manik menarik kembali pandangan Munmun. Gadis itu tentu tidak mau menatap Manik di saat seperti ini. Dia hanya menunduk sambil sesekali mengintip untuk bersiap merespon gurunya.

“Kenapa kau melompat saat melalukannya?”

“Rasanya lebih mudah kalau sambil menggerakkan tubuhku,” kata Munmun pelan.

“Apa kau lupa tujuan latihan ini?”

“Tidak Guru.”

“Benar kau ingat?”

“Ya. Aku ingat,” kata Munmun mengerutkan alis. “Ini latihan khusus … untuk meningkatkan kekuatan sulurku.”

“Jadi?”

“Jadi … hmmm kalau tidak salah … aku hanya boleh menggunakan gerakan tangan.”

“Sedikit gerakan tangan,” Manik mengoreksi. Manik kemudian memijit pangkal hidungnya. “Lalu kenapa kau berteriak? Aku sudah memberitahumu untuk tidak berteriak. Itu akan memberi tahu posisi dan niatan seranganmu.”

“Bagaimana mungkin aku tidak berteriak. Itu teriakan refleks. Coba saja Guru melaku-” 

Kepala naga kayu segera mendarat keras di batok kepala Munmun. Gadis itu mengaduh kesakitan dengan wajah masam ke arah Manik.

“Apa salahnya berteriak?” protes Munmun sambil mengambil langkah mundur. “Toh sulur itu tidak akan cukup. Aku tetap akan muncul ke hadapan musuhku untuk melakukan serangan penghabisan kan?”

“Itu bukan alasan untuk gegabah.”

“Kiai Guru mengatakan bahwa Guru Manik yang akan mengajariku jurus terasi api. Kapan Guru akan mengajarkannya?”

Manik menggeleng-gelengkan kepalanya. Terasi api? Yang Benar saja. Ia tidak habis pikir apa sebenarnya yang diajarkan Kiai Guru sampai anak ini memberi nama jurus seperti itu. “Aku tidak pernah mengatakan akan mengajarimu jurus itu.”

“Apa?” Munmun menyalak. “Lalu untuk apa semua latihan ini?”

“Kau bahkan belum menguasai jurus pertama ini sepenuhnya,” kata Manik saat menancapkan ekor tongkat naga ke tanah dan seketika terdengar bunyi gedebum. 

Munmun menoleh ke arah asal suara itu dan mendapati bongkahan batu besar tadi telah jatuh ke tanah dan sulur-sulur buatannya telah hancur. Munmun justru semakin kesal karena Manik menunjukkan perbedaan kemampuan mereka. “Aku tahu jurus pertamaku belum sempurna Guru, tapi aku sudah melatih jurus ini dan jurus kedua selama berminggu-minggu. Aku sudah semakin kuat, hanya saja Guru tidak memperhatikannya karena Guru terlalu sering pergi.”

Munmun ada benarnya. Gadis itu telah mengalami kemajuan yang cukup pesat. Hanya saja dia belum mengerti potensi dari kekuatannya sendiri dan jadi tergesa-gesa karena dijanjikan jurus baru oleh Kiai Guru. Manik menghela nafas. “Tetap saja. Itu bukan alasan untuk langsung melompati langkah dan mempelajari jurus yang berbahaya.”

“Lalu bagaimana aku bisa menghabisi raksasa tanpa jurus pamungkas itu?”

Tiba-tiba kepulan asap hitam meledak dari jendela dapur pondok. Darmi keluar dari dapur yang penuh asap sambil terbatuk-batuk. Wajahnya yang cantik dan kulit putihnya tertutup abu hitam legam. Gadis yang lahir lebih dulu dari Munmun dan Manik itu terus terbatuk-batuk sambil mengucek matanya yang merah perih.

Munmun berlari menuju Darmi dengan panik. “Mbok Darmi!” 

Manik tersenyum lebar. Lalu saat dia sadar bahwa asap itu berarti hari ini juga tidak akan ada makanan layak makan, senyumnya menipis. Konyol sekali, pikirnya. Dia kemudian berjalan santai, ikut menghampiri Darmi yang terbatuk-batuk sesak nafas.

Sepasang kakek nenek duduk berdampingan di kursi di depan gubuk mereka. Keduanya tersenyum tenang menyaksikan kekacauan pagi itu. Nenek Pratiwi berkata lembut, “Gunung Sandya sekarang jadi heboh ya, Kiai Guru?”

Kiai Guru tertawa renyah “Kabut baru saja memudar dan gadis batu itu sudah memenuhi gunung ini dengan asap hitam.”

“Asapnya semakin banyak,” kata Nenek Pratiwi. “Sepertinya dia benar-benar akan menutupi seluruh Gunung Sandya hahaha.”

“Sebaiknya kau mulai mengajarinya,” Kata Kiai Guru.

“Darmi mengatakan bahwa dia ingin melakukannya sendiri dan memaksaku untuk istirahat saja.”

“Dia belum mampu melakukannya.”

“Tapi aku juga tidak akan bisa mengajarinya kalau tidak dia sendiri yang memintaku. Ucapanku tidak akan didengar olehnya.”

“Aku tahu itu, tapi kau tetap harus mengambil alih.”

“Haruskah segera?” tanya Nenek Pratiwi lembut.

“Sekarang. Dapur kita terbakar.”

***

Kedua telapak tangan Munmun terbuka menghadap ke potongan rerumputan, daun-daunan, dan ranting. Keringatnya bercucuran deras saat dia memfokuskan energi yang ia kumpulkan untuk mengurai bahan-bahan alami itu menjadi serpihan-serpihan bercahaya hijau. Dihisapnya ke telapak tangan lalu ia mengatupkan kedua telapak tangannya itu. Munmun memejamkan mata dengan alis tertekuk keras. Dia sedang berusaha membayangkan bentuk yang hendak ia buat. Kemudian Munmun merentangan tangan dan pada ruang di antara telapak tangannya muncul cahaya hijau muda terang yang semakin memanjang seiring rentangan tangan gadis berambut pendek itu. Munmun berhasil membuatnya, sebuah tongkat kayu sederhana. Munmun mengambil tongkat kayu berwarna coklat itu dan segera berlari menuju pohon di dekatnya. Dia memukul pohon itu dengan tongkat buatannya. Terdengar bunyi gemertak yang keras saat tongkat buatan Munmun beradu dengan batang pohon. Tongkat Munmun patah dan patahannya terpental jauh berputar-putar mengarah pada Manik. “Awas Guru!” teriak Munmun.

Manik dengan tenang menangkap patahan tongkat Munmun dengan tangan kiri. Dia kemudian memperhatikan dengan seksama tongkat yang baru saja dibuat oleh muridnya itu. Walau sebagian besar tongkat ini sudah sesuai dari segi kekuatan dan bentuk, terlihat juga dengan jelas terdapat warna-warna kehijauan yang tersebar di patahan tongkat kayu berwarna kecoklatan itu. Entah penguraian Munmun yang kurang atau gadis itu memang belum bisa membuatnya secara merata. Yang jelas tongkat buatan itu jelas sangat ringkih, tidak lebih kuat dari patahan dahan yang jatuh sembarang dari pohon. Walaupun begitu dengan hasil pembuatan seperti ini seharusnya saat dipukulkan oleh Munmun tadi tongkat ini sudah hancur berkeping-keping. “Jadi itu alasanmu berlari.”

“Ti-tidak aku tidak berlari … aku hanya berjalan cepat,” kata Munmun membuang muka. Tongkat patah yang ia bawa ia buang juga ke arah tumpukan tongkat gagal lainnya. Tumpukan yang sudah menggunung setinggi pinggang orang dewasa.

“Kau tidak mampu membuat tongkat yang cukup kuat secara merata. Lalu kau mengalirkan energi kanuragan pada tongkat itu untuk memperkuatnya. Namun, kau sendiri tidak mampu mempertahankan pelapisan pada benda di luar tubuhnya dalam waktu lama.”

“Mau bagaimana lagi aku tidak paham bagaimana cara membuat tongkat yang kuat. Lihat ini,” kata Munmun sambil memperagakan kembali prosesnya. Setelah selesai merentangkan tangan dan memegang tongkatnya. Tongkat itu segera melengkung lembek. “Lihat kan. Tidak ada keras-kerasnya sama sekali.”

“Hahahahha.”

“Ah! Kenapa Guru malah menertawaiku?” protes Munmun dengan tongkat lembek yang tidak henti-hentinya ia goyangkan. 

Manik malah jadi tertawa terbahak-bahak.

“Aduh apanya yang lucu sih? Aku benar-benar tidak mengerti Guru. Aku juga tidak mengerti jurus kedua ini. Suruh aku buat sulur saja. Buat yang banyak juga tidak masalah.”

Manik berdeham menenangkan diri. “Bukankah kau sendiri yang meminta untuk mengganti pelajaran?”

“Habisnya aku bosan membuat sulur.”

“Jadi maumu sebenarnya apa?” kata Manik sambil menggetok pelan kepala Munmun. “Ini sebabnya tongkat buatanmu tidak bisa menjadi kuat. Ketetapan hatimu tidak cukup teguh saat menciptakannya.”

Munmun mengusap-usap kepalanya yang tidak sakit. “Tapi aku benar-benar tidak paham Guru.”

“Apa yang kau tidak pahami?”

“Ya itu … ehmmmm … tidak tahu,” kata Munmun polos. “Aaah!” Tongkat naga Manik baru saja memacu Munmun berpikir dengan ketokan yang sedikit lebih keras di kepala. “Kan aku tidak paham bagaimana aku bisa tahu yang aku tidak paham!”

“Benar-benar murid yang merepotkan,” kata Manik terang-terangan di depan Munmun. “Jadi apa yang kau pahami dari jurus ini?”

“Yang bisa aku lakukan itu ya misalnya menumbuhkan duri-duri runcing di tanah. Tapi ukurannya pendek. Kalau aku panjangkan lagi duri itu juga akan melentur dan ujung-ujungnya malah menjadi sulur lagi.”

“Hmmm jadi begitu ya,” kata Manik mengelus janggutnya. “Bila hanya sejauh itu yang kau bisa, sepertinya kau benar-benar tidak paham.”

Terdengar seperti hinaan, tapi dikatakan dengan begitu datar. Munmun hanya mengembungkan pipi menanggapi ucapan gurunya barusan. Tangannya pun berubah menjadi posisi bersedekap.

“Dengar Munmun. Simak baik-baik penjelasan yang akan aku berikan,” kata Manik menunggu Munmun memperhatikan. “Jurus pertama dan kedua pada dasarnya sama. Itu dimulai dengan proses menguraikan bahan alam untuk memperoleh energi. Kau sudah melakukannya dengan baik karena terbiasa.”

“Ya aku juga senang melakukannya di luar latihan karena membuatku bersemangat,” kata Munmun antusias. 

Manik mengangguk-angguk mengerti maksud perkataan Munmun barusan. Menyerap energi alam memang pada dasarnya akan meningkatkan kebugaran. “Lalu pada tahap berikutnya,” kata Manik melanjutkan. “Bahan yang terurai dibentuk kembali dengan energi yang telah kita kumpulkan di tubuh. Jurus pertama-“

“Jurus sulur!” seru Munmun.

“Jurus sulur membentuknya kembali menjadi bentuk yang paling mudah dan paling alamiah dari energi dan material tersebut. Kita hanya perlu mengatur ke arah mana pertumbuhan sulur tersebut dengan mengalirkan energi. Kau juga sudah berhasil melakukannya dengan cukup baik, bisa dibilang kau berbakat di bagian ini.”

“Oh sudah jelas itu hehehe-Aduh!”

Tongkat naga telah membungkam tawa congkak Munmun dan menarik kembali perhatiannya. “Masalahnya muncul ketika kau mencoba melakukan jurus kedua-”

“Jurus jarum!” seru Munmun

“Dengar!” teriak Manik dengan mata melotot. 

Munmun langsung menunduk ciut dengan bibir manyun-manyun.

Manik menghela nafas kasar sebelum mengulang kembali perkataannya, “Masalahnya adalah kau melakukan penciptaan pada jurus kedua dengan menggunakan cara pada jurus pertama.”

“Maksud Guru?”

Manik segera mencontohkan dengan mengurai tongkat-tongkat buatan Munmun. Munmun merasakan aliran energi yang dahsyat melintas di sekitarnya mengarah pada Guru yang berdiri di depannya. Manik merentangkan telapak tangan yang bercahaya ke samping. Seketika itu juga di sisi kirinya muncul sulur-sulur besar yang merambat liar. Berbarengan dengan itu di sisi kanan muncul tongkat-tongkat tajam yang berdiri tegak dengan rapi.

“Bila jurus pertama adalah bentukan dari energi yang mengalir. Jurus kedua adalah bentukan dari energi yang terkristal. Jurus kedua butuh kontrol energi yang lebih presisi dan kontrolmu sangat buruk! Apa kau mengerti sekarang?”

“Mengerti Guru,” kata Munmun lemas.

“Latihan cukup sampai di sini dulu. Amati dan pelajari semua tanaman di gunung ini agar kau lebih memahami bentuk apa yang perlu kau ciptakan.”

“Semuanya?” kata Munmun tak percaya.

“Sebanyak-banyaknya,” kata Manik dingin.

“Bukankah itu agak berlebihan Manik,” kata Kiai Guru yang tumben-tumbennya mendatangi mereka saat latihan. Biasanya petapa gunung yang sudah renta ini hanya memperhatikan dari jauh. 

“Itu akan menjadi wawasan yang berguna baginya Kiai Guru,” kata Manik penuh hormat. 

“Hmmm … ya ada benarnya,” kata Kiai Guru tenang. “Meski begitu, gadis kecil ini hanya akan menjadi kebingungan dengan lingkup sebesar itu.”

“Tolong aku Kiai Guru,” kata Munmun memelas.

“Pelajarilah bentuk bambu Nak,” kata Kiai Guru.

“Bambu?” kata Munmun heran.

“Kiai Guru, itu seharusnya dipikirkan sendiri olehnya,” protes Manik tetap tetap dengan penuh hormat.

“Oh tenang saja Manik,” kata Kiai Guru. “Dia tetap perlu memutar otak untuk memahami hal sederhana itu.”

Munmun mulai berbicara sendiri. “Kenapa Bambu? Ah kalau diingat-ingat bungkusan kedua pemberian Kiai Guru juga tumbuh menjadi bambu ya … tapi kenapa bambu?” 

“Lihat kan Manik,” kata Kiai Guru lagi sebelum tertawa kecil dan pergi meninggalkan mereka.

Manik mengamati Munmun yang tampak berpikir keras. “Kau sudah mengerti tugasmu kan, Munmun? Pelajarilah bentuk bambu, itu akan sangat berguna untukmu.”

“Baik. Aku mengerti Guru,” kata Munmun bersemangat. Manik baru saja akan beranjak saat Munmun mengeluarkan pertanyaan lain. “Guru akan pergi lagi?”

“Ya,” kata Manik melanjutkan langkahnya. Munmun mengekor di belakang. 

“Ada raksasa yang muncul? Di mana?”

“Kali ini tidak. Ada yang harus kutemui di daerah asalku.”

“Oh ya? Siapa itu?”

“Dia adalah muridku yang lainnya.”

“Apa! Guru ternyata punya murid lain?” teriak Munmun histeris. “Benar-benar keterlaluan. Kukira aku murid Guru Manik satu-satunya!”

“Aku tidak pernah mengatakan yang seperti itu,” kata Manik malas.

“Apa guru akan mengajaknya ke Pondok Sandya? Apa dia lebih hebat dariku? Siapa yang akan menang kalau aku beradu dengannya?”

“Itu pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting. Kalau pun dia ke sini. Kalian akan menjadi rekan bukannya lawan.”

“Aku tidak sudi bekerjasama dengannya!” Sadar bahwa gurunya tidak membalas dan malah berjalan semakin cepat, Munmun mengeluarkan jurus terakhir. “Mbok Darmii! Guru Manik akan pergi jauh!”

“Apa yang kau lakukan Munmun!” kata Manik memelototi bocah itu. Gawat aku harus segera pergi sebelum dia-

Tidak lama berselang Darmi sudah keluar dari dapur. Walau kumal, kecantikan wajah Darmi masih tampak melalui senyum lebar yang ia torehkan. Darmi melangkah mantap mendekati Manik dengan senyum yang penuh ketetapan. Di balik Darmi, Munmun menyeringai tidak kalah lebar. Darmi menyerahkan bungkusan bekal yang ia buat pada Manik. Dengan tambahan senyum dia berkata, “Harus habis. Tidak baik menyia-nyiakan makanan.”

Manik menelan ludah berat. “Ba-baik.”

Darmi mengatupkan tangan di depan dada, lalu dengan lemah lembut dia berkata, “Dumugya Rahayu Manik.”

“Dumugya ‘Rahayu’ Guru,” kata Munmun dengan menahan tawa.

“Dumugya Rahayu,” balas Manik dengan tenang.

***

Manik menyeka keringat di dahinya. Mendaki gunung dengan membawa beban berat memang bukanlah hal yang mudah. Gentong kayu besar yang terikat dengan kain di punggungnya sedikit berguncang dalam selang waktu tertentu. Manik tampak tidak terganggu dengan guncangan itu dan melangkah dengan perlahan tapi tepat. Menginjakkan kaki dengan mantap mendaki kaki Gunung Sandya yang asri.

Begitu tiba di pondok, dia kebetulan bertemu Darmi. Gadis itu tampak sibuk menjemur pakaian. Mulutnya tampak bergumam cepat. Walau tidak terdengar oleh Manik, dari raut wajah masam itu dia tahu bahwa Darmi sedang mengeluh. Manik berdeham pelan menandakan kedatangannya. Lirikan mata Darmi segera mengarah pada Manik. 

“Ah, selamat datang Manik!” salam Darmi dengan senyum simpul.

Cepat sekali ekspresinya berubah, pikir Manik saat membalas salam Darmi dengan tangan terkatup di dada. Dia lanjut melangkah masuk ke area tengah pondok. Meninggalkan Darmi pada pekerjaan dan keluhannya sendiri. Akan tetapi, Darmi ternyata mengikuti di belakang Manik. 

“Tidak biasanya kau membawa sesuatu pulang. Ini apa?” Gentong itu berguncang lagi tepat saat Darmi bertanya. Itu hanyalah kebetulan karena bagi Manik guncangan itu sesuai dengan tempo yang sama sejak tadi. Tetap saja Darmi jadi kaget dan semakin penasaran. “Jawablah Manik. Kau membawa apa di dalam gentong ini?”

“Ini untuk Munmun,” jawab Manik sekenanya.

“Iya, tapi ini apa? Kau belum menjawabnya.”

“Karena kau tidak perlu tahu.”

“Ayolah beritahu. Memangnya ini benda berbahaya?” Darmi mendekatkan tangan pada tutup gentong, hendak mengintip.

“Jangan disentuh!” teriak Manik dengan menoleh ke belakang.

Terlambat. Darmi sudah mengangkat tutup gentong itu. Mata Darmi yang melotot kaget beradu dengan mata melotot milik Manik. Lalu Darmi mengendus bau amis yang dahsyat menusuk hidungnya. Dia segera mundur menjauh sambil menutup hidung. Melepaskan tutup gentong sembarangan. Dia bahkan belum sempat melihat isinya karena terhalau bau yang luar biasa tajam.

“Apa itu sebenarnya?” suara Darmi tersamar dibalik dekapan tangannya. Dia hendak muntah.

“Sudah kuperingatkan,” kata Manik kesal.

Tidak lagi mual, Darmi malah semakin jengkel. “Ah ya sudah lah aku tidak ingin tahu lagi.” Dia berbalik pada pekerjaannya dengan tambahan keluhan dan omelan yang diucapkan keras-keras agar di dengar jelas oleh Manik yang pergi menjauh. 

Manik meletakkan gentong itu di depan gudang lalu menuju dapur untuk mencuci tangan. Sejak tadi dia sudah melihat Munmun yang berlatih di padang ilalang. Namun ia baru menyadari betapa giatnya Munmun berlatih setelah memperhatikan dengan saksama pagar di sekitar tempat Munmun berlatih. Tiang-tiang bambu setinggi Manik tertancap kuat membentuk pagar panjang mengarah menjauhi pondok. Di ujung pagar itu Munmun mengayun-ayunkan tongkat bambu yang baru saja dibuatnya. Munmun berlatih menggunakan tongkat itu dalam pola-pola serangan yang lebar, seperti berlatih dengan membayangkan pertarungan melawan musuh yang besar. Di akhir serangannya dia memukulkan tongkat bambunya pada batang pohon. Tongkatnya bergetar tapi tidak patah. Dipukulkan sampai belasan kali sebelum Munmun mengusap-usap tongkat itu dengan senyum penuh kebanggaan. Lalu dia berjalan tenang ke ujung pagar dan bersusah payah menancapkan tongkat tersebut. Munmun kembali berdiri menghadap ilalang. Dia menutup mata dan menarik nafas. Ilalang mulai bergetar cepat.

“Cukup Munmun!” teriak Manik dari kejauhan.

Ilalang berhenti bergetar saat konsentrasi Munmun buyar oleh seruan itu. Dia menoleh dan mendapati Gurunya menghampiri. Munmun pun berlari menghampiri Manik dengan bersemangat. “Guru, apa Guru melihat yang barusan?”

“Ya, kau sudah berlatih keras.”

“Hehehe.” Munmun berkacak pinggang yang langsung disambut ketokan tongkat naga di kepala.

Manik menunjuk batu besar yang biasa Munmun angkat. Bongkahan batu besar itu ada di dekat pondok, berlawanan dari tempat mereka berdiri. “Coba bawa batu itu ke sini.” Begitu Munmun berlari menuju batu itu, Manik menghentikannya. “Berhenti. Mau kemana Munmun?”

Munmun mengerutkan alis. “Guru bilang bawa batu itu ke sini, kan? Apa aku salah dengar?”

“Siapa yang bilang kau boleh ke sana.”

“Eh? Tidak boleh ke sana?” Munmun tampak sangat bingung. “Lalu bagaimana caraku mendorongnya kemari?”

“Bila kau perhatikan baik-baik. Perintahnya adalah bawa batu itu ke sini,” kata Manik berjalan memutari Munmun. “Seperti dugaanku, hal pertama yang akan kau pikirkan adalah untuk mendorongnya. Maka dari itu kali ini kau tidak boleh mendekati batu itu. Tarik dari sini.”

“Tapi-“

“Lakukan,” perintah Manik.

Munmun mengatupkan tangan. Dalam waktu sebentar saja energi telah terkumpul di telapak tangannya. Munmun merentangkan tangan dengan jari mekar ke arah bongkahan batu itu. Dari tanah di sisi luar kedua kaki Munmun, sulur-sulur merambat cepat menuju batu. Ketika sulur menyentuh batu, Munmun langsung mengepalkan kedua telapak tangannya. Sulur-sulur buatan Munmun melilit erat bongkahan batu itu dari dua arah, persis seperti kedua tangan Munmun yang mengepal. Batu itu mulai bergeser, menjauhi Munmun. “Aaah!” Munmun berteriak kesal. 

“Fokus,” kata Manik penuh penekanan.

Munmun mengeratkan lagi kepalan tangannya. Ia mulai menarik kepalan tangan itu ke arah dada. Bagaikan perpanjangan tangan Munmun, sulur-sulur buatan Munmun ikut melengkung ke arah luar. Batu itu mulai bergeser mendekati Munmun. Sedikit demi sedikit bongkahan batu besar itu terseret di tanah, meninggalkan bekas lebar yang mencolok. Lalu Munmun mulai berjalan mundur bahkan sampai melewati Manik yang berdiri di belakangnya. Manik memberi jalan dan mengamati muridnya bersusah payah. Belum sampai setengah dari jarak yang ia pikir harus ia capai, Munmun merebahkan diri di tanah. Dia benar-benar kelelahan. “Kenapa? Kenapa bisa begini Guru? Ini lebih sulit dari perkiraanku.”

“Tentu saja,” kata Manik santai. “Kau tidak pernah berlatih menggunakan sulurmu untuk menarik. Lagi pula kau menariknya dengan cara yang salah atau lebih tepatnya cara yang tidak cocok denganmu. Hmmm … ternyata memang masih banyak yang masih perlu kau latih untuk jurus sulur.”

Munmun membangkitkan diri, Duduk bersila merajuk. Dengan kesal dia berkata, “Kan Guru yang menyuruhku berlatih membuat tongkat bambu.”

“Tapi kau juga melatih jurus sulur selama aku pergi, benar kan?”

“Iya sih.”

“Kalau kau sadar sudah mahir mengeluarkan sulur, seharusnya kau melatih variasi hal yang bisa kau lakukan dengan sulurmu. Dan terbukti kau bahkan tidak bisa menggunakannya untuk menarik. Walau perkembangan kekuatan sulurmu cukup mengejutkanku.”

“Hehehe tentu saja aku kan memang berbakat main sulur.”

Manik mengetok kepala Munmun sebelum melanjutkan penilaiannya. “Sekarang coba tunjukkan lagi tongkat bambu buatanmu.”

“Baik Guru!” Munmun bangkit berdiri dan memejamkan mata.

Manik menarik-narik janggutnya. Dia memperhatikan Munmun dengan seksama. Padahal proses menarik energi ini adalah dasar. Dia bisa melakukannya dengan cepat saat hendak membuat sulur, tapi dia jadi lambat dan perlu menutup mata saat akan membuat tongkat bambu. Hmmm … apakah karena belum terbiasa? atau karena dia sudah mulai membayangkan tongkat yang hendak ia buat sejak awal dan membiarkan proses penarikan energi dan penguraian terjadi secara refleks? 

Munmun merentangkan tangan dan membuat tongkat bambu yang panjang. Begitu jadi, ia menggenggamnya dengan kedua tangan. Sambil tersenyum lebar Munmun menjejalkan tongkat itu ke wajah Gurunya.

“Turunkan. Itu tidak sopan.”

“Bukankah Guru ingin melihatnya?”

“Aku justru akan kesulitan melihatnya kalau kau memegang seperti itu.” Manik merampas tongkat itu dari Munmun dengan agak kesal. Setelah mengamatinya Manik berkata, “Hmmm … tingkatkan lagi.”

“Itu saja?” protes Munmun. “Tidak ada petunjuk lain? Apa yang harus ditingkatkan?”

“Kalau kau terus meminta jawaban, kau tidak akan pernah menggunakan isi kepalamu ini.” Manik mengetok kepala Munmun dengan tongkat naga. “Kiai Guru sudah pernah mengajarkanmu jurus penginderaan iya kan?” kata Manik tiba-tiba.

“Ya, tapi hanya tingkat dasar.”

“Coba gunakan.”

Munmun menarik nafas panjang yang dalam. Walaupun tidak diharuskan dalam teknik ini, dia tetap mengatup tangannya di depan dada. Untuk apa sih Guru Manik menyuruhku menggunakan penginderaan di sini. Kan tidak akan ada yang bisa dideteksi di gunung yang tenang nan damai ini. Munmun mengalirkan energi lebih pada mata dan telinganya. Tiba-tiba Munmun melotot diiringi keringat dingin. Dia menoleh ke sekitar dengan panik. “Guru ini tidak mungkin! Apakah Guru sudah menyadari kedatangannya sejak awal? Ada satu di dekat sini! Pondok Sandya diserang raksasa!”

“Tenanglah. Rasakan baik-baik dari arah mana datangnya dentuman itu.”

Munmun menarik nafas dalam sekali lagi. Dia memutar pandangannya, menyisir seluruh penjuru Pondok Sandya. Lalu dia menarik kembali pandangannya pada satu titik. Dahinya berkerut hebat. Munmun memfokuskan penglihatan dan pendengarannya.

BUM BUM BUM

Munmun menunjuk ke arah gudang dengan tangan yang kaku.”Di-di sana! Raksasa itu bersembunyi di dalam gudang kita. Bagaimana mungkin dia bi-tidak tunggu dulu … bukan di dalam gudang. Suaranya berasal dari gentong itu. Gentong apa itu? Sejak kapan ada di sana? A-apa ada raksasa sekecil itu? Guru kita harus bersiap!”

Manik diam-diam tersenyum sementara Munmun masih terfokus pada Gentong tersebut. Muridnya itu telah mengumpulkan energi kembali. Saat Munmun hendak mengeluarkan sulurnya, Manik memegang tangan Munmun.

“Guru lepaskan. Serahkan saja padaku. Aku pasti bisa mengatasinya.”

“Sudah cukup. Kalau kau mengatasinya sekarang, apa yang akan aku gunakan untuk latihanmu?”

“Apa maksud Guru?”

“Aku yang membawanya ke sini.”

“Guru yang raksasa itu ke sini?”

“Itu bukan raksasa.”

“Lalu sebenarnya apa yang ada di dalam sana?”

“Jantung raksasa,” kata Manik datar.

“Jantung raksasa? Kenapa Guru membawa hal seperti itu ke pondok!” seru Munmun penuh rasa jijik. Dia mengambil satu langkah mundur dari Gurunya.

“Aku juga tidak ingin menggunakan cara ini. Tapi Kiai Guru mengatakan bahwa penginderaanmu kurang tajam, jadi aku tidak punya banyak pilihan untuk bisa melatih hal tersebut selain dengan menggunakan inti raksasa.”

“Tapi-“

“Sudah. Kita bahas urusan ini dan protesmu nanti. Ada tempat yang harus kudatangi.”

“Apa?” teriak Munmun. “Guru baru sampai dan akan pergi lagi?”

“Ya.”

“Jadi aku sekarang harus berlatih penginderaan dengan benda menjijikan itu?”

“Sudah kubilang itu nanti. Kau tidak dengar?”

“Berarti aku melanjutkan latihan jurus jarum?”

“Tidak. Sudahi latihanmu dan bersiaplah. Kau ikut denganku.”

“Eh!” kata Munmun terbengong-bengong. “Aku ikut?” seru Munmun girang. “Aku akhirnya diajak pergi!” Dia melompat-lompat penuh antusias menuju gubuknya. Beberapa saat kemudian dia keluar dengan tampilan baru. Kain coklat gelap yang sejak awal ia kenakan seperti laki-laki; terbelah dua di tengah, dikencangkan dengan sebuah sabuk merah tua yang diikat menjuntai ke samping. Kemben hitam penutup dadanya kini terlapisi lagi oleh kebaya polos berlengan panjang warna kuning. Walau bagian atas sudah tertutup kuning, tapi bagian pinggang Munmun masih menampilkan kemben hitamnya. Tidak seperti kebaya pada umumnya yang bagian badannya panjang sampai melebihi pinggul, kebaya Munmun panjangnya tidak melebihi pinggang. Kebaya itu terpotong di atas pinggang Munmun, setara tulang rusuk paling bawah gadis itu. Munmun berkacak pinggang, mengadu sekaligus memadu warna kuning lengan panjang kebayanya dengan warna hitam di pinggangnya. “Bagus kan Guru?” Munmun tersenyum bangga.

“Apakah seperti itu kebaya di tempat asalmu?” tanya Manik.

“Tidak,” kata Munmun bersemangat. “Aku meminta ibuku membuat yang sedikit berbeda agar serasi dengan potongan rambut pendekku.” 

Manik menyipit tidak mengerti. “Asal sopan dan nyaman, terserah kau saja.”

“Ah, sudah kuduga Guru tidak akan mengerti!”

Mendengar ribut-ribut Munmun, Darmi keluar dari dapur. “Ada apa ini?” kata Darmi.

“Lihat Mbok Darmi,” kata Munmun menunjukkan penampilannya.

“Wah baju barumu cocok sekali Munmun.”

“Iya kan hehehe.” Munmun kembali tersenyum bangga.

“Kalian akan jalan-jalan ke pasar ya? Atau ada festival? Aku boleh ikut?” tanya Darmi bertubi-tubi.

“Tidak,” kata Manik datar.

Darmi kemudian menatap Munmun dengan haru bercampur khawatir, sementara anak gadis yang ditatapnya masih senyum-senyum sendiri antusias. “Jadi akhirnya kau akan mengajak Munmun untuk berkelana?”

“Ya, aku dapat penglihatan lagi.”

“Tunggulah sebentar, masakanku sudah hampir selesai,” kata Darmi.

Manik menatap Darmi. “Ini bukan perjalanan yang bagus dilakukan dengan perut penuh, terutama untuk Munmun.”

Mendengar kata masakan, Munmun yang tadinya cengar-cengir langsung kecut. “Y-ya. Aku juga tidak lapar kok. Tadi aku sudah banyak makan pisang.” Munmun kabur meninggalkan Darmi dan Gurunya.

Biasanya Darmi tidak akan menerima alasan apapun dari mereka berdua untuk menghindari masakan buatannya. Namun kali ini dia menerimanya begitu saja, seolah dia paham betul apa yang dimaksud Manik. Sambil mengangguk-angguk dia berkata, “Kau akan memanggil dia ya?”

***

Munmun mengekor di belakang Manik yang berjalan dengan tenang. Gurunya tidak berkata apa-apa lagi semenjak meninggalkan Pondok Sandya. Hanya suara jangkrik bersaut-sautan yang di dengar Munmun sejak tadi. Munmun tidak menyangka perjalanannya akan sesepi ini dan dia sudah mulai tidak tahan. “Guru kita akan ke mana? Guru belum memberitahuku.”

“Kita akan ke barat jauh.”

“Sejauh apa?”

“Lebih jauh dari yang bisa kau bayangkan.”

“Memangnya Guru tahu sejauh apa jauh yang aku bayangkan?”

“Perjalanan paling jauh yang pernah kau tempuh adalah dari rumahmu ke puncak Gunung Sandya kan? Paling-paling kau membayangkan perjalanan ini hanya beberapa kali lipat dari itu.”

“Ba-bagaimana Guru tahu? Apa Guru bisa membaca pikiran?”

“Tidak perlu membaca pikiranmu untuk tahu hal itu.”

“Jadi Guru memang bisa?”

“Simpanlah ucapan dan tenagamu. Ini adalah perjalanan yang panjang.”

“Justru karena perjalanannya panjang aku mengisi waktu agar tidak bosan,” kata Munmun memasang wajah sebal yang tentunya tidak dilihat oleh Gurunya di depan.

“Tidak perlu terlalu memusingkan diri untuk mengisi waktu dalam perjalanan ini.”

“Guru bicara apa sih aku tidak mengerti,” kata Munmun menggaruk-garuk pusar. “Omong-omong Guru masih belum memberitahuku sejauh apa perjalanan ini?”

“Hmmm … kira-kira empat puluh lima hari berjalan kaki,” kata Manik santai.

“Oh, em-Apa! Empat puluh lima hari?” Munmun histeris. “Perjalanan macam apa ini? Apa kita melakukan perjalanan ke barat mencari kitab sakti?”

“Ini bukan perjalanan semacam itu.”

“Sial. Kalau tahu begitu lebih baik aku bawa saja bekal Mbok Darmi tadi. Setidaknya rasa tidak enak masakannya akan cukup menghibur kalau bosan.”

“Ini juga bukan perjalanan yang baik dilakukan dengan perut penuh,” kata Manik.

“Kalau makanan Mbok Darmi sih malah mengosongkan seluruh isi perut,” kata Munmun disambung tawa renyah. Yang tidak disangka-sangka Manik ikut tertawa bersama Munmun. “Wah wah parah sekali, Guru ikut tertawa, parah, benar-benar parah. Aku akan laporkan pada Mbok Darmi.”

Manik berdeham cepat. “Aku tidak akan mengajakmu lagi kalau kau melapor.”

“Curang!”

“Sudah. Nikmati saja pemandangan indah gunung ini.”

“Aku sudah cukup lama di sini untuk mengelilingi gunung ini berkali-kali saat Guru pergi,” kata Munmun malas.

“Suatu saat kau akan merindukan hal-hal seperti ini.”

“Bicaranya benar-benar seperti orang tua,” kata Munmun pelan.

Manik melirik ke belakang “Kau bilang apa?”

Munmun memasang senyum polos. “Tidak bilang apa-apa.”

“Jadi kita akan ke mana Guru?”

“Barat jauh.”

“Iya, tapi di mana itu tepatnya.”

“Kau tidak akan tahu tempatnya. Aku pun tidak tahu.”

“Heh? Guru juga tidak tahu? Lalu atas dasar apa perjalanan ini Guru?”

“Aku belum mengatakan tentang penglihatanku padamu?”

“Penglihatan apa? Guru tidak pernah membahasnya sama sekali.”

“Kapan-kapan saja.”

Munmun mengerang keras. “Kenapa begitu?”

“Itu akan memakan waktu lama untuk menjelaskannya.”

“Bukankah perjalanan ini perjalanan jauh yang akan memakan waktu lama? Kita punya cukup banyak waktu, Guru.”

“Kau memang kurang menyimak. Aku tidak mengatakan perjalanan ini akan lama.”

“Bagaimana mungkin empat puluh lima hari itu tidak lama. Belum bertemu raksasa aku bisa mati bosan lebih dulu.”

“Kalau kau cepat bosan. Pulang saja sana.”

“Eh, tidak bosan kok. Sama sekali tidak. Wah lihat pohon itu indah sekali, cabangnya banyak.” Munmun menunjuk-nunjuk tidak jelas. Sesekali dia bersiul-siul memanggil burung yang malah pergi menjauhinya. Gurunya benar-benar mengabaikannya untuk beberapa saat, sampai mereka melewati sebuah sungai kecil.

“Timun Mas,” panggil Manik saat ia sudah menyebrang lebih dulu. “Kenapa kau tidak berpamitan dengan ibumu?”

“Bukankah kita sedang buru-buru?” tanya Munmun.

“Tidak begitu terburu-buru sampai tidak sempat berpamitan. Kita bisa mampir dulu kalau kau mau.”

“Tidak perlu. Aku tidak ingin Ibu jadi cemas lagi. Toh aku berniat kembali dengan selamat,” kata Munmun mantap.

“Tentu saja kau akan kembali dengan selamat, ada aku di sini yang menjagamu, Nak.”

“Aku sudah berlatih selama berbulan-bulan dan aku bukan anak kecil lagi!”

“Tapi kau memang masih anak kecil. Kalau bisa, aku tidak ingin melibatkanmu,” kata Manik menekankan.

“Aku sudah siap!” balas Munmun teguh.

“Benarkah? Apa kau tidak merasa tegang Munmun?”

“Kenapa Guru terus bertanya hal-hal seperti ini sih?”

“Kau memang sudah mengatakan setuju untuk bergabung dengan Perburuan Raksasa. Tapi aku tahu pengalamanmu yang sebelumnya pasti menyisakan bekas luka yang tidak menyenangkan dalam benakmu.”

“Ya … tentu saja,” kata Munmun pelan. “Itu … sebenarnya sangat mengerikan. Tapi apa Guru lupa? Justru karena itu aku ingin bergabung. Lagipula, saat berhasil mengalahkannya aku juga merasa lega. Aku merasakan kelegaan yang luar biasa saat aku berhasil menghapus rasa khawatir dari wajah ibuku.”

“Bukankah kau gagal menghabisi raksasa hijau?”

“Ah, Guru jangan diingatkan bagian itu! Aku jadi waswas lagi!”

Manik tertawa puas melihat tingkah Munmun. Dia lalu memperlambat langkah dan menepuk lembut kepala Munmun. “Tenang saja kau masih punya banyak waktu sebelum Raksasa Hijau kembali.”

“Maka dari itu Guru seharusnya mengajarkan aku jurus terasi api.”

“Sudah kubilang itu jurus yang berbahaya.”

“Justru karena berbahaya itu jadi jurus pamungkas kan? Itulah jurus penghabisannya.”

“Hmmm … ya, kau memang benar untuk itu.”

“Kalau begitu ajarkan dong!”

“Tidak. Tetap saja itu masih terlalu berbahaya untukmu,” kata Manik sebelum berjalan lebih cepat di depan Munmun. “Lagipula dengan terasi api pemberian Kiai Guru pun kau gagal menghabisinya.”

“Ya itu kan … karena dia memang licik. Kiai Guru saja tidak menyangka dia bisa kabur dengan cara seperti itu.”

“Bukan licik namanya, dia memang lebih tangguh dari yang kita perkirakan. Berhati-hatilah saat berhadapan lagi dengannya.”

“Berhati-hati pun tidak ada gunanya kalau aku tidak bisa menghabisinya kan? Tolonglah Guru ajarkan aku jurus terasi api.”

“Dengar Munmun,” kata Manik menghentikan langkahnya. 

Munmun hampir menabraknya dari belakang karena tidak memperhatikan. 

“Aku akan mengajarkanmu bila kau memang siap. Jadi daripada terus merengek, lebih baik kau terus melatih diri hingga kau siap. Bahkan, kalau kau bersungguh-sungguh, jurus pertamamu itulah yang akan menjadi jurus pamungkasmu.”

Munmun mendengarkan kata-kata tegas gurunya. Dia melihat punggung gurunya dan merasakan jurang perbedaan yang sangat besar dan dalam antara kemampuannya dengan kemampuan gurunya. Walaupun gurunya memang agak keras dalam mendidiknya, Munmun tahu gurunya telah mempertimbangkan berbagai hal untuk dirinya. Bahkan sampai membawa pulang jantung raksasa untuk melatih kekurangannya dalam penginderaan. Bila gurunya mengatakan dia belum siap untuk jurus terasi api, mungkin memang dia masih jauh dari kata mampu untuk berlatih jurus tersebut. “Baik Guru aku mengerti,” kata Munmun bersungguh-sungguh.

“Bagus kalau kau sudah mengerti,” kata Manik merentangkan tangan kiri. “Mundurlah.”

Munmun yang hendak melangkah ke sebelah kiri Manik lalu kembali mundur meski tidak paham. Belum sempat gadis itu bertanya mengapa mereka berhenti, Manik menancapkan tongkat naganya ke tanah. Seperti biasa tongkat itu tetap berdiri tegak setelah dilepas oleh Manik. Tangan kanan Manik merentang ke arah tanah lapang di depannya. Pepohonan di sekitar mulai menggoyangkan daunnya. Munmun merasakan aliran angin yang dahsyat sesaat kemudian. Aliran energi yang besar berpusar ke arah yang ditentukan gurunya. Lalu tiba-tiba Manik mengeluarkan satu seruan lantang, “Bhoga!” Tanah bergemuruh seperti gempa. Manik tetap berdiri dengan tenang dalam guncangan tanah itu. Bahkan tongkat naga yang ditancapkannya barusan tetap tegak berdiri sementara Munmun perlu melebarkan pijakannya untuk menjaga keseimbangan. Muncul lubang di tengah tanah lapang tersebut. Lubang itu seolah-olah menghisap tanah-tanah di sekitarnya dan semakin lama semakin besar. Yang awalnya hanya sebesar kepalan tangan berubah menjadi lubang sebesar lingkar pohon jati tua. Dari lubang itu muncul energi yang besar berbentuk tali yang panjang dengan tebal sebesar lubang itu sendiri. Energi itu sangat panjang dan meliuk melingkari Munmun dan Manik. Ujung energi yang pertama keluar mengarah pada Manik dan berhenti dalam jarak tujuh langkah darinya. Perlahan-lahan tali energi yang panjang itu mewujud. Sisik-sisik mulai muncul di sepanjang tubuhnya. Kepalanya mewujud dengan lebih cepat di hadapan Manik. Gigi-gigi tajam yang tersembunyi di balik kulit bersisiknya. Mata Tajam yang ganas. Tanduk keras yang melengkung ke atas. Rambut surainya yang bergerak tertiup angin, melambai bergelombang dari ujung kepala hingga ujung ekor. Naga itu mendengus berat kepada Manik yang tetap tenang. Di belakangnya Munmun telah jatuh terduduk dengan mulut menganga.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya SANDYARAKSA (Trial) (015) Taring
1
0
Manik dan Munmun sampai di suatu desa dengan danau yang sangat indah
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan