Spark With Love - 2

6
0
Deskripsi

Ada yang bilang cinta itu buta, kan?

Seperti Mahesa Herlambang yang mencintai Aldiansyah tulus apa adanya tanpa memikirkan jarak usia yang terlampau jauh. Terpaut dua puluh tujuh tahun tidak menyurutkan tekad Esa untuk mengajak Aldi pergi kejenjang pelaminan dan membangun bahtra rumah tangga bersama.

Desa Suka Mekar adalah desa yang berada diplosok dengan minimnya fasilitas kebutuhan warga. Di desa hanya ada satu puskesmas kecil dengan alat medis ala kadarnya, tiga masjid, satu sekolah dasar dan satu pasar yang masing-masing jaraknya berjauhan. Meski begitu, akses jalan ke desa Suka Mekar sudah beraspal karena kebanyakan kaum muda merantau ke kota untuk bersekolah dan sudah dialiri listrik meski sering terjadi pemadaman secara tiba-tiba.

Sebagian besar warga sekitar seorang petani dan peternak sapi sebagai mata pencaharian utama. Maka tak heran jika penduduknya jauh dari kata kemewahan meski mempunyai kebun belasan hektar atau puluhan hewan ternak. Secara keseluruhan rumah warga masih dari anyaman bambu dan berlantaikan papan. Khusus untuk dapur dan kamar mandi biasanya masih berlantaikan tanah. Dan perlu diketahui jika beberapa kamar mandi warga dibangun hanya setengah badan saja tanpa atap. Jadi orang-orang bisa melihat siapa yang mandi atau melakukan aktivitas di dalam jika tak sengaja melintas.

Hanya orang terpandang di desa seperti juragan tanah, jurangan sapi atau pekerja PNS saja yang mempunyai rumah full tembok dan lantai berkramik. Seperti warga sekitar, Esa menerapkan hidup sederhana dengan tinggal di rumah kecil yang hanya ada ruang tamu, ruang keluarga, dua kamar, dapur dan satu kamar mandi. Meski beranyaman bambu rumah milik Esa terlihat sangat kokoh dengan kayu jati sebagai pondasi dan berlantaikan kramik putih bersih. Dia tidak ingin menunjukan bahwa dirinya dan Aldi orang berada agar warga sekitar tidak segan untuk berdekatan dengan mereka berdua

"Sayang kamu masih lama di dalemnya?"

"Sebentar lagi, Mas."

Panggilan alam yang dirasakan Esa membuatnya berdiri dengan gelisah. Risiko mempunyai satu kamar mandi jadi harus menunggu giliran untuk memakainya.

CKLEK

Pintu kamar mandi terbuka lalu menampakan sosok Aldi dengan rambut basah dan wajah segar ciri khas orang yang baru saja selesai mandi. Hanya bagian pinggang yang tertutupi oleh handuk sedangkan dada dan perut buncitnya terlihat jelas tidak tertutupi apapun.

"Glukk..." Esa meneguk ludah melihat pemandangan indah di depannya. Dia menunduk dan tiba-tiba menggigit gemas puting kecoklatan Aldi hingga si empunya mendesah sakit.

"Akhh! Sakit, Mas!" Aldi mendorong kepala yang lebih muda lalu menyilangkan kedua tangan untuk menutupi dadanya.

"Gemes! Kalau engga kebelet berak udah Mas terkam kamu, Yang."

"Ada-ada aja, sok atuh masuk dari pada cepirit di celana." Aldi menyingkir dan mempersilahkan Esa menyelesaikan urusannya di dalam kamar mandi.

Aldi berjalan tertatih menuju kamarnya dengan tangan kanan menyangga perut dan tangan kiri menyangga pinggang. "Huuhh... Baru lima bulan tapi kalian udah berat banget, Nak."

Aldi melihat pantulan dirinya di depan kaca yang memperlihatkan bentuk tubuhnya. Dia menganalisis dirinya sendiri mulai dari rambut yang mulai beruban, wajah yang dipenuhi kerutan plus flek hitam, kulit mengendor dan perut besar yang mulai dihiasi streck mak akibat peregangan pesat ulah ketiga janin di dalamnya. Berbanding terbalik dengan Esa yang masih muda, segar, tampan, wajah bersih dengan sedikit brewok, tubuh tinggi tegap, perut sixpack dan tangan sedikit berorot.

Kadang dirinya merasa insecure jika berdekatan atau bersebelahan dengan Esa di tempat umum. Untungnya warga desa sangat baik dan tidak menyinggung atau mempermasalahkan jarak umur mereka yang sangat jauh terbentang. Sebelum Esa datang Aldi menarik kaos tipis warna putih di dalam lemari lalu menghela nafas karena semua kaos yang dia punya hanya menutupi setengah dari perutnya. Tanpa memakai celana dalam Aldi langsung memakai celana training panjang dan membiarkan setengah dari perutnya terlihat.

Dengan hati-hati Aldi duduk dipinggiran ranjang dengan kaki terbuka lebar untuk ruang perut besarnya. "Jadi kepikiran sama Pak Bambang yang hamil kembar lima gimana susahnya, ya?"

Pak Bambang yang dimaksud adalah suami dari pak Rt di desa yang umurnya lima tahun di bawah Aldi yakni empat puluh lima tahun. Pak Bambang sudah dikaruniai tiga anak, Reza (10 tahun), Rizky (7 tahun), Riska (11 bulan) dan hasil kebobolan Roni sang suami yang langsung menghasil lima janin telah masuk bulan kesembilan. Salah satu alasan Aldi tidak digunjing karena kebiasaan warga desa yang tidak menerapkan sistem keluarga berencana. Sehingga banyak pria atau wanita hamil diusia yang tidak bisa dibilang muda lagi.

"Hayoh, kamu lagi mikiran apa?" Esa datang dengan segelas susu di tangan lalu memberikannya kepada Aldi.

"Makasih, Mas," Aldi menerima lalu meneguk perlahan susu kehamilannya.

Esa mendudukan diri di lantai yang menghadap langsung ke perut besar Aldi yang menyembul keluar. Menempelkan pipi di depan perut untuk merasakan pergerakan calon anaknya seraya mengusapnya melingkar.

"Kamu belum jawab pertanyaan Mas tadi ngomong-ngomong," Aldi yang hendak menunduk untuk menaruh gelas ditahan oleh Esa lalu merebut gelas kosong tersebut dan menyimpannya di bawah ranjang.

"Cuma kepikiran sama pak Bambang aja, Mas, "

Esa mendengus lalu mendongak menatap Aldi dengan tatapan kesal. "Ngapain mikirin pak Bambang? Mending mikirin aku yang jelas-jelas suamimu."

"Dasar bocah, gitu aja cemburu!" Aldi menyentil jidat seksi sang suami sampai menggaduh kesakitan.

"Aduh! Kok disentil, sih, yang?"

"Dengerin dulu makanya! Pak Bambang, kan, lagi hamil kembar lima dan udah masuk bulannya, tuh,"

"iya, terus,"

"Apa engga berat, ya? Aku aja yang kembar tiga berat banget padahal baru lima bulan. Terlebih pak Bambang harus ngurus suami, tiga anak sama pekerjaan rumah sendirian. Dan lagi si Riska juga masih kecil plus masih nyusu full asi."

"iya juga yaa... Yaudah kalo si kembar tiga udah lahir kita langsung bikinin mereka adik sekaligus lima, gimana?" tanya Esa enteng dan langsung dihadiahi tempelengan di balakang kepalanya. "ADUHH!"

"Sembarangan kalo ngomong! Kamu pikir hamil itu gampang apa?" Aldi juga tidak berniat menambah momongan lagi mengingat usianya NO sudah tua.

"Maaf, sih, Yang." Esa mengusap kepalanya yang sakit. Tapi soal ucapannya barusan dia tidak main-main untuk kembali menghamili Aldi setelah nifasnya selesai. Aku mau kamu hamil terus, Yang.

"Gimana kalo entar sore kita main ke rumah pak Rt? Sekalian aku mau ngomongin sesuatu di sana,"

"Ngomongin apa?"

"Ada, deh. Urusan para bapak-bapak!"

"Iya, deh, yang mau jadi bapak. Tapi hayuk aja aku mah."

***
 


Ketika sudah jam dua belas siang, Roni tidak perlu mencari-cari di mana keberadaan orang yang telah melahirkan tiga orang anak untuknya itu. Karena Bambang sudah pasti ada di dalam kamar mereka sedang menyusui sambil mengeloni putri kecil mereka untuk segara tidur siang. Seperti dugaannya, Roni dapat melihat Bambang berbaring menyamping dengan perut luar biasa besar sambil manyusui anak ketiganya, Riska.

"Udah tidur?" tanya Roni pelan seraya mendudukan pantatnya di ujung ranjang secara perlahan agar tidak menimbulkan decitan. Melihat kaki bengkak sang suami Roni berinisiatif memijit perlahan seraya menunggu anaknya benar-benar terlelap.

Keadaan rumah sedang sepi karena tiga puluh menit yang lalu Bambang menyuruh anak pertamanya membawa main si anak tengah bermain di luar. Karena jika ada kedua abangnya si bayi sebelas bulan itu tidak akan tidur soalnya berisik dan selalu diganggu abang-abangnya hingga menangis.

"Keluar," Tanpa suara Bambang mengintrupsikan untuk pergi keluar dan mengkode Roni untuk membantunya bangkit.

"Huuhh... Aduh pelan-pelan, Pak!"

Bambang jalan setengah membungkuk dengan kedua tangan menahan perut kelewatan besarnya bersama Roni yang membantu. Roni menyelipkan tangan kiri disela ketiak dan tangan kanan ikut membantu menahan bobot perut Bambang yang sudah sangat condong ke bawah. Sebelum mendudukkan Bambang di kursi Roni terlebih dahulu menata bantal untuk mengganjal punggung suaminya agar duduk dengan nyaman.

"Ahhh... Huhhh... Perjuangan banget jalan segitu juga,"

Bambang mengatur nafas teratur dengan tangan mengusap perut besarnya yang hanya terhalang oleh sarung. Sejak kandungannya menginjak angka enam bulan Bambang sudah memakai sarung, daster atau kain samping sebagai pakaiannya. Karena semua celana, kaos, jaket dan celana dalam yang dia punya sudah tidak muat menampung perut besarnya.

"Perut kamu udah ke bawah banget sampe ngilu Bapak liatnya," Roni duduk di sebelah Bambang dan ikut mengusapi perut besar suaminya itu.

"Namanya juga udah bulannya, Pak. Ya pasti udah condong ke bawah apalagi di dalam perut aku isinya ada lima bayi."

Sarung yang diikat melingkari dada Bambang lepas sehingga dada berisi plus perut besar dengan kulit tipis yang dipenuhi streck mak dan urat hijau keunguan terpangpang jelas di hadapan Roni. Bahkan Bambang tidak perlu susah payah menutupi kemaluannya karena sudah tertutupi oleh perut super besar miliknya.

Meski setiap hari melihat, Roni tetap menatap takjut perut besar Bambang yang menampung lima benihnya yang siap dilahirkan kapan saja. Kehamilan Bambang sudah menginjak sembilan bulan lebih seminggu dan Roni selalu bingung mengapa bayinya bisa bertahan selama itu alih-alih terlahir secara prematur.

"Aduh! Aww!" Bambang tak kuasa menahan jeritan saat kelima janin di dalam perutnya bergerak lincah secara bersamaan hingga terlihat gelombang-gelombang tonjolan di atas dipermukaan kulit perut tipisnya.

"Hey! Anak-anak Bapak, geraknya pelan-pelan aja kesian lho ini Ayah mu kesakian," Roni pindah duduk di lantai lalu mengusap dua tonjolan tinggi yang dia kira siku atau lutut salah satu bayinya.

"Aduh, Pak, jangan diajak ngobrol! Mereka malah semakin aktif geraknya sssttt..." Kalo sudah seperti ini Bambang ingin menangis keras-keras saja rasanya. Pasalnya jika mereka bergerak aktif organ dalam dan tulang rusuknya lah yang jadi korban tendangan mereka. Dan kalian harus tahu rasanya sungguh sangat sakit dan ngilu.

Roni juga bingung sekaligus khawatir karena pergerakan lincah bayi-bayinya. Yang bisa dia lakukan hanya mengusap lalu menciumi perut punuh streck mak Bambang dan menyuruhnya bersabar. Roni bangkit mengambilkan air minum untuk Bambang setelah bayi di dalam perutnya sudah anteng.

"Anakmu nih, Pak, seneng banget kayanya bikin aku kesiksa begini," Bambang sedikit menegakan punggungnya lalu menerima uluran air yang di bawa Roni.

"Maafin Bapak, ya, Yah? Setelah si kembar lima lahir Bapak bakalan lebih hati-hati kalo maen biar engga kecolongan lagi." ujar Roni yang sudah kembali duduk bersimbuh di depan perut Bambang. Tapi engga janji.

"Iya, kita harus main aman kedepannya biar engga kebobolan. Aku udah engga sanggup lagi buat hamil apalagi kita udah punya anak delapan, Pak."

"Heumm, oh iya, Yah. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu,"

"Apa?"

"Usia kandunganmu udah tua, aku juga engga tega liat kamu kesakitan terus. Apa kita engga ngambil operasi caesar aja?"

Iya! Walaupun dia suka perut besar Bambang tapi sebagai suami Roni juga tidak tega melihatnya. Kehamilan kembar lima diusia kepala empat memang berat dan risikonya sangat tinggi. Dia tidak mau Bambang kenapa-napa dengan melahirkan normal meski dia sangat ingin.

"Aku mau lahiran normal aja, Pak. Insya Allah aku kuat buat lahirin mereka ke dunia dengan selamat." Bambang semakin melebarkan kakinya lalu sedikit menunduk untuk mengecup kening suaminya. "Makasih udah khawatirin aku,"

"Tapi aku khawatir mereka masih betah tinggal di dalem perut kamu, Yah." Dan memang sejauh ini Bambang belum merasakan kontraksi atau keluar flek sebagai tanda-tanda kelahirannya. Tapi aku juga seneng denger jawaban kamu yang mau lahiran normal, Yah.

"Kalo udah waktunya mah pasti brojol sendiri, Pak." Bambang sudah menyandarkan kembali punggungnya. Tapi Roni sedikit salah fokus melihat posisi duduk Bambang dengan kaki mengangkang lebar.

"Euhh Pakhh ngapainhh akhh..."

"Aku pengen gapapa, kan? Sekalian induksi alami biar mereka cepet lahir." tanya Roni seraya memaju mundurkan tangannya pada kejatanan Bambang yang sudah mengacung.

"Engga ada posisi yang nyaman, Pak. Susah kehalang perut besarkuhh..." Bambang memejamkan mata menahan hasratnya untuk tidak mendesah.

"Kalo kamu mau Bapak punya ide buat gaya yang sekiranya bikin kamu nyaman, gimana?" tawar Roni dengan rudal panjang di dalam celananya yang sudah mengacung tinggi.

"Hmmhhhh... Aku mau."

 

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Spark With Love
Selanjutnya Spark With Love - 3
11
0
Ada yang bilang cinta itu buta, kan?Seperti Mahesa Herlambang yang mencintai Aldiansyah tulus apa adanya tanpa memikirkan jarak usia yang terlampau jauh. Terpaut dua puluh tujuh tahun tidak menyurutkan tekad Esa untuk mengajak Aldi pergi kejenjang pelaminan dan membangun bahtra rumah tangga bersama.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan