
Tahun 1328, Jayanegara, raja kerajaan Majapahit, dibunuh oleh dokter pribadinya, Tanca. Si pembunuh lalu langsung dihukum mati oleh Gajah Mada, patih kerajaan.
Berdasarkan urutan pewaris tahta, seharusnya Gayatri lah yang menduduki takhta kerajaan. Akan tetapi, ternyata Tribhuwana Tunggadewi yang naik takhta mewakili sang ibunda.
Sampai sekarang, peristiwa pembunuhan Jayanegara masih diselimuti misteri
Keputren yang megah terasa bagai neraka bagi kedua putri mendiang prabu Kertarajasa Jayawardhana. Berkali-kali mereka menatap tak sabar ke pintu gerbang. Ketika akhirnya Gayatri tiba, keduanya langsung menyambut dengan penuh antisipasi.
"Ibunda!" seru Rajadewi penuh harap, "berhasilkah melunakkan hati Prabu Jayanegara?"
Hanya wajah murung Gayatri yang menjadi jawaban.
Rajadewi mulai menangis , sementara Tribhuwana mendecak kesal.
"Sabar, anak-anakku," ujar Gayatri, "Ibu masih berusaha. Jangan putus asa, ya."
"Sampai kapan kami harus terpenjara begini, Ibu?" keluh Tribhuwana.
"Sabar, Nak," hibur Gayatri, "Ibu masih akan terus berupaya."
Tanpa berkata, Rajadewi meninggalkan kakak dan ibunya.
Tangan Tribhuwana mengepal. "Apa yang Prabu Jayanegara katakan, Ibu?" tanyanya.
Gayatri menggeleng. "Sudahlah, Nak, kembalilah ke kamarmu," ujarnya, tak sampai hati mengungkapkan percakapan dengan Jayanegara beberapa saat lalu.
***
"Maaf, Ibunda Ratu," ujar Jayanegara, "aku tak akan melepaskan mereka. Terlalu banyak orang yang ingin menggulingkanku, dan aku tak ingin kedua saudariku mereka peralat."
"Tapi, Jayanegara," tukas Gayatri, "mereka tidak ingin menjadi penguasa kerajaan ini, apalagi memaksamu turun takhta!"
"Mereka mungkin tidak, Ibu," sahut Jayanegara, "tapi suami mereka, siapa yang tahu?"
"Siapa yang akan menikah dengan mereka jika kamu mengurung mereka seperti ini?" keluh Gayatri perlahan.
"Memang itu tujuanku, Ibunda!"
"Tidak adakah cara lain, Jayanegara?"
Jayanegara menarik nafas panjang. "Ada," jawabnya, "tapi aku tak yakin Ibunda berkenan memenuhinya."
"Katakan saja apa yang menjadi syaratmu, Jayanegara," sahut Gayatri dengan mata berbinar, "aku akan usahakan sekuat tenaga untuk memenuhinya."
"Mereka berdua menjadi istriku."
"Jayanegara!" bentak Gayatri, "sudah sedemikian rendahkah kelakuanmu? Meskipun berbeda ibu, ayah kalian bertiga sama, Prabu Kertajasa Jayawardana! Tidak cukupkah kamu menggemari wanita, hingga adik-adik tirimu pun hendak kamu nikahi?"
Jayanegara mengangkat bahu. "Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk mengamankan posisiku, Ibunda."
"Seandainya Ibunda Indreswari masih hidup, beliau pun akan menentang niatmu itu," gumam Gayatri perlahan.
"Tidak perlu bawa-bawa ibu kandungku, Ibunda!" sergah Jayanegara, "Ibunda tahu, kan, bahwa justru karena Ibunda Indreswarilah maka penduduk Majapahit tidak suka aku menjadi raja! Hanya karena ibuku orang Svarnadwipa, mereka selalu berusaha menggulingkanku! Tidakkah Ibunda melihat itu semua? Masih perlukah Ibunda bertanya-tanya mengapa aku begitu khawatir, hingga tega memenjarakan kedua putri Ibunda, bahkan berniat menikahi mereka?"
"Baiklah, Jayanegara," sahut Gayatri dengan gigi terkatup, "Ibu undur diri dulu. Semoga Anda berkenan memikirkan kembali keadaan kedua putriku dan bisa mengajukan usul lain yang lebih pantas." Tanpa menunggu tanggapan putra tirinya, Gayatri pun keluar dari ruangan.
***
Gajah Mada bergegas menuju taman istana, tempat Gayatri biasa berada tiap sore. Dugaannya benar. Segera beliau mendekat, lalu menjura di hadapan Ibunda Ratu.
"Salam, Ibunda Ratu, keperluan mendesak apa yang membuatmu memanggilku kemari?" tanya Gajah Mada dengan penuh hormat.
Otot wajah Gayatri mengeras.
"Memanggilmu? Siapa yang memberitahumu bahwa aku memanggilmu?" tanyanya kemudian.
Muka Gajah Mada merah padam. "Maafkan kelancanganku mengganggu waktumu, Ibunda Ratu. Izinkan saya undur diri untuk mengajari Ra Tanca sopan santun. Jabatan Dharmaputra tidak membuatnya berhak mempermainkan seorang Patih, apalagi memalsukan titah Ibunda Ratu!"
"Ra Tanca yang memberitahumu?" Gayatri menahan kepergian sang Patih.
"Benar, Ibunda Ratu."
Gayatri menarik napas panjang. "Benar, aku memanggilmu."
"Oh," seru Gajah Mada, keheranan.
Gayatri tersenyum. "Aku tahu kamu berseteru dengan Ra Tanca. Namun, untuk kali ini, cobalah menahan marahmu sejenak."
"Maafkan ketergesaanku mengambil kesimpulan, Ibunda Ratu. Apa yang hendak Anda titahkan kepadaku?"
Sekali lagi Gayatri menarik napas panjang, merasakan beban kalimat yang hendak dia ucapkan.
"Bagaimana jika aku memberitahumu bahwa ada orang yang hendak membunuh Baginda Raja?"
Kini ganti otot Gajah Mada yang menegang. "Ibunda Ratu, itu adalah tuduhan serius. Siapa orang tersebut? Aku harus segera menangkap dan menghukumnya!"
Gayatri berdiam kembali, berbagai pikiran berkelebat.
"Gajah Mada, pergilah ke kamar Jayanegara. Jalankan kewajibanmu."
"Baik ...!" ucap Gajah Mada.
"Dan tolong, untuk satu kali ini, tepikan dulu kebencianmu dengan Ra Tanca, dan penuhi keinginan beliau," Gayatri memotong ucapan sang Patih. "Hormati beliau sebagai salah satu orang kepercayaan mendiang Raden Wijaya."
"Baik, Ibunda Ratu! Saya pamit undur diri!" jawab Gajah Mada seraya meninggalkan Gayatri di taman istana.
***
Gajah Mada berjalan tergesa menuju kediaman Prabu Jayanegara. Audiensi singkat dengan Ibu Suri Gayatri membuat Gajah Mada resah. Terlepas dari sepak terjang sang Prabu yang tak berkenan di hati, Gajah Mada sudah bersumpah setia untuk melindungi beliau.
Sesampai di kamar Prabu Jayanegara, Gajah Mada mendapati sang Prabu sedang berbaring tertelungkup di tempat tidur dengan darah mengalir dari punggung beliau. Ra Tanca tampak membungkuk memperhatikan punggung beliau dengan sebilah pisau
"Buang pisaumu Ra Tanca!" bentak Gajah Mada sembari menghunus keris.
"Tenang, Gajah Mada, biarkan Ra Tanca bekerja mengobati bisul yang sudah beberapa hari ini menyiksaku." sergah Jayanegara.
Menyadari jabatan Ra Tanca sebagai Tabib Istana, Gajah Mada memahami situasi yang ada di hadapan. Namun demikian, sang Patih tetap penuh antisipasi. Percakapan dengan Ibu Suri masih meresahkannya.
"Kau baru muncul, Gajah Mada? Aku sudah lama menanti kedatanganmu." gumam Ra Tanca sambil tetap menangani bisul sang Raja.
Komentar Ra Tanca tersebut membuat baik sang Raja maupun patihnya bingung.
"Ada keperluan apa kau mencariku?" tanya Gajah Mada.
"Untuk apa kau menanti Gajah Mada di sini?" tanya Jayanegara.
Ra Tanca menghentikan aktivitasnya, lalu tersenyum dan sedikit menganggukkan kepala kepada Gajah Mada.
Kemudian, dengan satu gerakan cepat, Ra Tanca mendorong dan menekan pundak Jayanegara hingga beliau tertekan ke tempat tidur, lalu menancapkan belati di tangan ke punggung kiri sang Prabu dan segera menariknya kembali. Keahlian Ra Tanca di bidang kedokteran membuat dia paham titik mana yang harus dia tikam agar pisau menembus tepat ke jantung.
Mata Prabu Jayanegara terbelalak. Beliau berusaha berteriak, namun paru-paru sang Raja yang sudah berlubang membuatnya tidak dapat bersuara. Hanya darah segar yang memancar keluar dari mulut Jayanegara.
"Ra Tanca!" teriak Gajah Mada terkejut. Tubuh berotot sang Patih bagai terbang, mencengkeram leher Ra Tanca.
"Apa yang kau lakukan! Siapa yang menyuruhmu membunuh Raja! Dengan siapa kamu bersekongkol!" bentak Gajah Mada.
"Gajah Mada, aku sudah melakukan kejahatan fatal. Tolong bunuh saja aku agar hukum tetap ditegakkan dan tugasmu melindungi sang Prabu sempurna," ucap Ra Tanca susah payah di tengah cekikan Patih Daha tersebut.
Tiba-tiba Gajah Mada paham atas apa yang sedang terjadi.
"Maafkan aku, Ra Tanca," ucap Gajah Mada perlahan, seraya menusuk dada lelaki di hadapannya, "terima kasih atas pengorbananmu."
Ra Tanca sedikit terbelalak, namun tidak berontak. Perlahan senyum mengembang di wajah beliau. Anggota terakhir Dharmaputra pun gugur tak lama kemudian.
***
"Ibunda Ratu, ada kabar buruk dari istana. Prabu Jayanegara tewas dibunuh oleh Ra Tanca," lapor seorang dayang.
"Terbunuh?" tanya Gayatri, "lalu bagaimana dengan Ra Tanca?"
"Gajah Mada sudah menghukum mati Ra Tanca, Ibunda Ratu," jawab si dayang.
Aliran air meleleh dari kedua sudut mata Gayatri yang terpejam. Dalam hati dia melayangkan doa bagi mendiang putra tirinya dan bagi Ra Tanca.
Gayatri pernah menyaksikan Jayakatwang membunuh sang ayahanda, Prabu Kertanegara, serta menyiksa kedua saudarinya, Prajnaparamitha dan Narendra Duhita. Namun, semua kengerian tersebut tidak ada apa-apanya dibandingkan perasaan berdosa yang melandanya sekarang. Hanya satu yang bisa dia lakukan untuk menebusnya. Dia akan mengabdikan sisa hidupnya di dalam biara, memohon ampun serta mendoakan keselamatan semua yang masih hidup. Percakapannya dengan Ra Tanca beberapa hari lalu masih teringat jelas.
***
"Salam, Ibunda," sapa Ra Tanca. Wajah sang Dharmaputra tampak merah padam.
"Salam, Ra Tanca," sapa Gayatri. "Ada apa gerangan? Agaknya sesuatu mengganggu pikiranmu."
"Saya mohon pamit, Ibunda."
"Pamit? Kamu hendak ke mana?"
Beberapa saat Ra Tanca terdiam. "Tadi pagi, istri saya bercerita bahwa Prabu Jayanegara mencoba mendekati dirinya," ujar Ra Tanca kemudian, "kita semua sudah paham akan kegemaran Sang Prabu. Namun, kali ini saya sudah tidak bisa tinggal diam. Harga diri saya terlecehkan!"
"Lalu apa yang hendak kamu lakukan? Memarahi Jayanegara? Atau membunuh beliau? Kamu sadar, kan, bahwa itu hanya membawamu kepada kematian?"
Ra Tanca mengangguk. "Itulah sebabnya saya pamit, Ibunda."
Gayatri menarik nafas panjang. "Apakah ada yang menyaksikan peristiwa yang diceritakan istrimu?"
"Tidak ada, Ibunda.
"Apakah istrimu ternoda?"
"Tidak juga, Ibunda."
"Sudahlah, Ra Tanca," sahut Gayatri, "kami semua dan negara ini masih membutuhkanmu. Pulanglah saja, bersyukurlah bahwa istrimu masih selamat. Jagalah dia baik-baik!" Gayatri terdiam sejenak. "Sama seperti aku menjaga Tribhuwana dan Rajadewi."
"Apa maksud Ibunda?" tanya Ra Tanca, "apa yang terjadi dengan mereka?"
Gayatri menjelaskan percakapannya dengan Sang Prabu.
"Jayanegara memang benar-benar haus wanita dan kekuasaan," gumam Ra Tanca, "jika tak ada Gajah Mada, negara ini pasti sudah hancur."
Untuk beberapa saat, keduanya terdiam.
"Jayanegara harus mati," ucap Ra Tanca, "karena hanya itu yang bisa menyelamatkan dan membebaskan Tuan Putri Tribhuwana dan Tuan Putri Rajadewi."
Gayatri membuka mulut, hendak kembali berusaha menahan Ra Tanca.
"Sudahlah, Ibunda Ratu," potong Ra tanca, "Anda tidak perlu tahu detailnya. Saya yang akan atur semua. Pada saatnya nanti, saya akan meminta Gajah Mada menghadap Ibunda Ratu. Saya mohon, bujuklah Gajah Mada agar bersedia meluluskan apa pun permintaan saya. Setelah itu, perintahkan beliau untuk menemui Prabu Jayanegara di ruang pribadi sang raja ," jelas Ra Tanca.
"Meluluskan permintaanmu? Apa itu?”
"Sekali lagi, maafkan, saya, Ibunda Ratu, saya tidak bisa mengungkapkannya saat ini. Namun, yakinlah, permintaan tersebut adalah yang terbaik bagi kita semua, dan bagi Majapahit."
Gayatri dapat melihat rahang Ra Tanca mengeras.
"Ra Tanca ...!"
"Maafkan saya, Ibunda Ratu ...!” seru Ra Tanca sembari berlutut dan menunduk, memohon kesediaan Gayatri.
"Jika Ibunda Ratu tidak setuju dengan saya, silakan Ibunda melaporkan saya kepada baginda raja atas tuduhan makar," lanjut Ra Tanca. "Namun, saya sangat berharap Ibunda Ratu mengizinkan saya berbuat sesuatu bagi negara ini untuk terakhir kali!"
"Bangunlah, Ra Tanca," ujar Gayatri, suaranya bergetar. "Baiklah, saya tidak akan mencecarmu lagi. Aku hanya akan mengingatkanmu untuk terakhir kali bahwa rencanamu itu melanggar hukum. Sekarang, tinggalkan saya sendiri!”
"Baiklah, Ibunda Ratu. Terima kasih atas saran dan kebijaksanaan Ibunda. Saya mohon diri," jawab Ra Tanca seraya undur diri dari hadapan Gayatri.
Gayatri hanya diam.
"Ra Tanca," panggil Gayatri, sesaat sebelum anggota terakhir Dharmaputra tersebut menghilang dari pandangan.
"Saya, Ibunda."
"Terima kasih," ujar Gayatri singkat.
"Terima kasih, kembali, Ibunda. Tetaplah menebarkan kebijakan Ibunda bagi kami semua."
Ra Tanca mengangguk hormat, lalu berjalan pergi.
***
Di ruang meditasi, Gayatri bersemadi bersama para biksuni. Berkali-kali beliau mengirim ucapan terima kasih kepada Ra Tanca.
***
Abu Dhabi, 15 Februari 2020
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
