Strawberry (10)

9
12
Deskripsi

(25+) Harap Bijak dalam memilih bacaan.

Hinata memilih meninggalkan Tokyo dan kembali ke kampung halamannya.

Di Konoha, Hinata berharap dapat hidup tenang dan tidak pernah bertemu dengan psiko yang telah membuatnya trauma 5 tahun yang lalu

Strawberry © Laverna

Naruto © Masashi Kishimoto

Warning: Drama, Typo, Psycho

 

Hinata memasuki apartemennya sesuai perintah Sasuke, pria itu berjalan di belakangnya dan mulai menunjukkan berbagai kamera pengawas yang telah ia pasang.

“Dari mana kau tahu cara memasangnya?” tanya Hinata memerhatikan kamera kecil di atas tivi yang ditunjukkan Sasuke.

“Sangat mudah untuk jenius sepertiku,” jawab Sasuke cuek, kemudian berjalan ke arah dapur, Hinata melongo mendengarkan ucapan Sasuke tadi.

Pria itu ... belum 24 jam mereka berusaha saling percaya dan bekerja sama, tapi sudah banyak sifat lain yang pria itu tunjukkan padanya.

Hinata mengekor di belakang, Sasuke berjalan ke arah vas bunga yang menghadap ke arah jendela.

“Ada dua kamera yang aku pasang di dapur ini, satu menghadap ke pantry, dan satunya menghadap ke ruang tengah,” ucap Sasuke sambil menunjuk  pajangan bergambar asbtrak.

“Aku sudah memasang teralis di jendelamu, kemungkinan kecil pria bertato itu bisa masuk.”

“Dengan begitu, satu-satunya akses dia untuk masuk ke kamarmu adalah pintu depan,” Sasuke menunjukkan teralis besi yang telah ia pasang, Hinata hanya menyimak sedari tadi.

Keduanya kemudian melangkah ke arah kamar Hinata, Sasuke yang membuka pintu lebih dulu sedangkan Hinata senantiasa mengekor.

“Kameranya ada di jejeran boneka itu, jangan kau ubah susunannya,” ucap Sasuke kemudian, “Gunakan sprei flat, dan periksa bawah kasurmu sebelum kau masuk lebih dalam.”

Hinata merasa dia sekarang adalah seorang anak yang sedari tadi mendengar ayahnya berbicara.

Sasuke berbalik dan melihat Hinata yang berdiri dengan wajah datarnya, “Satu-satunya ruangan yang tidak aku pasang kamera adalah kamar mandi dan toiletmu.”

“Jadi, jangan berkeliaran dengan pakaian minim,” Sasuke mengakhiri sesi penjelasannya dan memandang Hinata dengan alis terangkat.

Hinata diam, dia merasa tak perlu mengatakan apapun, semuanya sudah di urus pria itu, ia hanya perlu menjadi umpan hingga orang yang menerornya selama ini muncul, sehingga Sasuke dan teman polisinya akan menangkap peneror itu.

“Tidak ada yang ingin kau tanyakan?” tanya Sasuke kemudian, Hinata menggeleng.

“Oke, kita memiliki waktu dua hari sebelum kedatangan orang itu,” Sasuke berjalan ke arah kasur dan duduk di sisinya.

“Kemungkinan dia akan menyuruh orangnya untuk mengecek apartemenmu ini, kita akan memalsukan kepergianmu—mudah baginya menebak hal itu, dia pasti akan kembali lagi memastikannya sendiri.”

“Dia mungkin akan mencari petunjuk ke mana kau akan pergi, dan kita dengan senang hati akan memberikannya,” Sasuke tanpa beban berbaring di kasur Hinata, mata hitamnya memandang langit-langit kamar perempuan itu.

“Sedikit mempermainkannya akan membuat permainan ini lebih seru,” pria itu terkekeh, Hinata mengeryit.

“Kenapa tidak langsung menangkapnya?” tanya Hinata langsung, berapa lama waktu yang harus ia habiskan untuk bermain-main dengan kematian?!

“Kau pikir apa yang polisi lakukan selama ini heh?” Sasuke duduk dan memandang Hinata yang menatap jengkel padanya, tatapan yang akrab dengan perempuan itu akhir-akhir ini selain tatapan datarnya.

“Temanku sudah menangkap empat orang yang terduga dia, tapi zonk, keempat keparat itu hanyalah suruhannya.”

“Dia seperti belut,” guman Sasuke malas.

Drrtt drrtt drrtt

Sasuke melihat ponselnya yang berdering, kemudian melangkah ke arah pintu depan dengan Hinata yang kembali mengekor.

Sasuke membuka pintu dan mendapati Ino dan Shikamaru, keduanya kemudian masuk setelah dipersilahkan.

“Hai Hinata, perkenalkan dia Shikamaru,” Shikamaru hanya tersenyum tipis.

“Kami teman yang Sasuke maksud,” Ino mencoba tersenyum, sedangkan Sasuke melongo.

“Kalian yang A maksud?” tanya Sasuke tidak percaya, jadi selama ini Ino adalah polisi?

“Agen A,” koreksi Ino dengan senyum diplomatnya.

“Ya,” jawab Sasuke angin lalu, “Kau benar-benar pandai menyamar,” puji Sasuke.

Ino kembali tersenyum—kali ini senyum tipis.

“Sesuai arahan dari agen A, kami akan mendengarkan rencana mentah kalian lebih dulu,” ucap Shikamaru, mereka berempat kemudian melangkah ke arah dapur dan duduk melingkar di sana.

Diskusi di mulai.

.

.

.

.

.

Hinata berbaring dengan gusar di kasurnya sendiri, ia tahu bahwa Sasuke sudah menjamin ia akan aman dua malam ini, tapi tetap saja, setelah apa yang pria itu lakukan, bukankah malah membuatnya semakin terpojok?

Dia sudah mengganti sandi apartemennya sesuai arahan Shikamaru, bahkan ketiga orang itu berjanji akan berjaga untuk melihat apakah suruhan orang itu akan membobol pintunya malam ini.

Berpura-pura tidurlah Hinata.

Hinata mulai memejamkan matanya, dia sudah memeriksa semua sudut apartemennya, dan aman.

Sasuke pun mengatakan tidak ada yang aneh dari kamera pengawas.

90% ia aman.

Tapi 10% itu membuatnya kalut, apalagi dari cerita Shikamaru, tentang orang yang menerornya itu, merupakan sosok sakit jiwa.

Bahkan tidak segan mengumpankan orang-orang kepercayaannya untuk memuluskan rencananya.

Cerita Sasuke tentang orang itu masih dapat ia cerna di otaknya daripada cerita dari Shikamaru dan Ino.

Orang yang menerornya adalah korban kekerasan seksual dari ayah tirinya, bergabung dengan kelompok mafia, menjadi pengedar dan kaki tangan penjudi besar.

Dia tumbuh dengan semua pengalaman mengerikan yang menyertai di setiap langkahnya hingga ia dewasa, belajar dari lingkungannya dan mengeksekusi sesuai keinginan.

Tapi ....

Hinata membuka matanya dan memandang langit-langit kamarnya.

Sosok yang ia lihat di kereta 5 tahun yang lalu.

Tidak mencerminkan sosok tidak terawat sebagaimana cerita Shikamaru. Ia lebih percaya jika sosok itu adalah mantan anggota militer sebagaimana tebakan Sasuke sebelumnya.

Hal yang ia sesali adalah dirinya yang tidak melakukan visum, dan malah menghilang begitu saja.

Hinata menghitung dalam hati, entah untuk apa.

Hanya suara jarum jam yang kini terdengar di telinganya—saking sunyinya apartemennya saat ini.

Hinata meraih ponselnya, semua lampu sudah ia matikan sesuai perintah Shikamaru.

Kini hanya layar ponselnya satu-satunya sumber cahaya saat ini.

Drrtt drrttt

“Apa kau merindukanku?”

Suara di seberang terdengar sangat dalam, Hinata melihat nomor asing itu.

“Siapa kau?” balas Hinata kemudian. 

“Kau bisa memanggilku Thunder, seseorang yang mengagumimu selama ini.”

“Kau sakit jiwa, jangan menggangguku lagi!” balas Hinata cepat, tangannya gemetar.

Hinata bisa mendengar kekehan orang di seberang sana.

Cukup menyenangkan bermain bersamamu dan para polisi tolol itu.”

Hinata diam beberapa saat, tapi nafasnya mulai tidak beraturan.

Apa sebenarnya tujuanmu?” tanya Hinata kemudian.

Kau akan segera tahu, ngomong-ngomong kau terlihat cantik pagi tadi.”

“Satu lagi, kita akan segera bertemu.”

Bukannya menjawab pertanyaannya, sambungan tersebut langsung terputus setelah pria itu berucap demikian.

Hinata bangkit, berlari ke arah pintu, diliriknya sekilas jam di atas tivi, sudah jam 11 malam.

Dengan tangan gemetar, ia berusaha membuka pintu itu, dan ketika berhasil tanpa menunggu lama, ia keluar dan berlari ke arah unit Sasuke.

Ia akan mengetuk pintu Sasuke, ketika pintu itu terbuka sendiri, menampilkan Sasuke yang berdiri dan memandang khawatir padanya.

Pria tinggi itu kemudian menariknya masuk, dan mengunci pintu begitu saja.

Hinata merasa jika baju kaos yang digunakannya sekarang telah basah oleh keringatnya sendiri, apalagi di bagian belakang dan depan.

“Ada apa?” tanya Sasuke kemudian, Hinata bungkam, air matanya jatuh begitu saja.

Sasuke memilih diam, dan menunggu Hinata menenangkan dirinya terlebih dahulu.

Sasuke membawa Hinata ke ruang tamunya, menyuruhnya duduk nyaman di sofa, sedangkan dirinya ke dapur untuk mengambil segelas air.

Sasuke menghentikan langkahnya, mata hitamnya melihat Hinata yang berusaha mengambil nafas untuk menenangkan dirinya sendiri.

Sasuke melanjutkan langkahnya untuk menghampiri perempuan itu, dan menyerahkan segelas air.

“Minumlah, setelah itu kau bisa memberitahuku kenapa kau bisa seperti ini.”

.

.

.

.

.

Shikamaru menguap, kedua tangannya berada di belakang lehernya, sedangkan matanya memandang malas situasi apartemen Ino saat ini.

Jam tujuh pagi, dan sebagian besar penghuni apartemen sudah berangkat, ia menghirup udara sebanyak-banyaknya, jarang-jarang ia bisa menghirup udara segar di pagi hari.

Mata coklatnya memandang malas pria kurus yang diceritakan Ino.

“Ternyata dia,” gumannya malas, pria bernama Lee itu sedang lari-lari pagi.

Shikamaru kemudian melangkah ke arah bangku kayu di bawah pohon sakura yang belum mekar—duduk tenang, beberapa saat kemudian ia mulai mengeluarkan rokok dan pematik miliknya.

Sambil merokok, matanya mengamati bangunan apartemen di depannya.

Tidak ada yang mencurigakan, apartemen itu memang cocok di tempati para pemuda-pemudi yang belum memiliki pasangan, harga sewanya pun terjangkau, dan tempatnya strategis.

Dekat dari minimarket, rumah sakit, sekolah, dan stasiun kereta api.

Kalau pemiliknya mau, dia bisa merenovasi apartemen ini menjadi lebih baik lagi, dan menaikkan harga sewanya—kecuali sang pemilik memiliki bisnis lain, selain sewa apartemen ini.

Sebatang habis, Shikamaru kemudian mengeluarkan yang kedua, kembali menyulutnya sedangkan matanya tetap fokus pada bangunan kokoh di depannya.

Para penghuni lantai dua lebih senang menggunakan tangga darurat daripada lift, sehingga kebanyakan dari mereka yang menggunakan lift adalah penghuni lantai tiga hingga 10.

Para penghuni lantai tiga ke atas pun jarang terlihat, mereka pergi pagi-pagi buta dan pulang larut malam.

Kecuali Kiba dan Tenten, dan hanya beberapa penghuni lantai 3—kata Ino.

Shit!” umpat Shikamaru.

.

.

.

.

.

Lee melihat sebotol air yang sudah ia campur obat tidur yang ia siapkan.

Kedatangan pria asing yang terus mengekori Ino membuat pergerakanya terhambat untuk menghabisi perempuan itu secepat mungkin.

Bagaimana caranya?

Sial!

Lee memutuskan untuk duduk di kursi kayu depan bangunan apartemen yang di tempatinya, kursi yang akhir-akhir ini menjadi tempat faforitnya memikirkan rencana untuk memuluskan tujuannya.

Tuduhan bahwa ia yang membunuh Direktur Rumah Sakit Tokyo dua tahun yang lalu, cukup menyulitkannya selama tinggal di Tokyo, sehingga ia memilih datang ke Konoha, sebuah desa yang cukup berkembang tapi belum dikenal luas oleh masyarakat Jepang.

Pergerakannya selama di Tokyo sangat terbatas.

Ia memang seorang pembunuh bayaran, tapi ia membunuh sesuai permintaan kliennya, dan sepanjang ingatannya ia tak pernah menerima tugas untuk mengeksekusi hidup Direktur tersebut.

Bahkan karena itu, ia harus mengganti identitasnya menjadi Rock Lee, nama masa kecil yang diberikan oleh ibunya.

Nama yang tak pernah ingin ia gunakan, tapi kini ia menggunakannya untuk bersembunyi.

Ia dikenal dengan nama Thunder, cukup keren—terkesan misterius dan berbahaya.

Tapi, ia sudah tidak bisa menggunakan nama itu, Lee bahkan harus memutuskan semua komunikasinya dengan semua orang-orang yang pernah menggunakan jasanya.

Thunder diketahui mati dalam misinya.

Ia kini hidup dengan identitas baru—Rock Lee.

Lee memilih berbaring, menatap pohon sakura yang belum mekar, sesekali matanya bergulir menatap kumpulan awan.

Beberapa hari terakhir ini, Lee menyadari jika pergerakannya di awasi—entah oleh siapa.

Instingnya berkata demikian, segala kegiatannya seakan di gerakkan secara tidak langsung—begitu alami sehingga ia tidak menyadarinya hingga detik ini.

Ia melenceng dari tujuan awalnya.

Lee tersentak ketika tangannya di borgol oleh pria yang bersama Ino kemarin.

“Apa-apaan kau!” umpat Lee marah.

Dengan pandangan tajam Shikamaru mencengkram kerah baju Lee.

“Bedebah!”

Setelah mengumpati pria beralis tebal itu, Shikamaru menyeret Lee ke mobil yang di gunakannya, Ino sudah duduk tenang di balik kemudi.

“Shino dan Kankurou sudah dalam perjalanan,” informasi Ino, Shikamaru mengangguk mengerti sedangkan Lee mengumpati keduanya.

“Aku akan menuntut kalian, sialan!”

Yeah, aku menunggu,” balas Shikamaru masa bodoh.

“Aku akan berjaga selama di kantor polisi, kau bisa kembali setelah mengantar kami,” ucap Shikamaru. Ino mengangguk.

.

.

.

.

.

Berita penangkapan Lee membuat para penghuni apartemen terkejut.

Tentu saja, sosok ceria dan mudah bergaul seperti Lee ternyata adalah seorang pembunuh bayaran.

Unit Lee diperiksa oleh polisi dari Tokyo, beberapa polisi Konoha pun ikut mengamankan kediaman Lee.

Bukti dari telepon genggam jadul merek Noki, panggilan masuk dan keluar, serta alat transaksi menjadi bukti kuat jika pria itu adalah pembunuh bayaran yang menyamar.

Bahkan mereka baru mengetahui jika Lee berbohong—dia bukan seorang guru.

Hinata memandang kediaman Lee, polisi silih berganti masuk.

Apakah Lee adalah Thunder yang meneleponnya?

Tapi, suara mereka berbeda—sangat berbeda.

“Apartemen ini, diisi oleh para kriminal!” desis gadis berkaca mata di seberang, beberapa penghuni lantai atas turut melihat penggeledahan unit Lee.

“Aku benar-benar akan pindah,” sambung pria muda di sampingnya.

“Apakah pemilik apartemen tidak mencari tahu latar belakang sebelum menerima calon penghuni, mengerikan hidup satu gedung bersama pembunuh bayaran!” seorang ibu muda menyeletuk.

Hinata diam mendengarkan semuanya, keinginannya untuk pergi semakin besar, tapi ....

Bagaimana dengan rencana Sasuke, Shikamaru dan Ino?

Mereka harus menangkap peneror itu kan?!

Tapi, Lee sudah tertangkap! 

Orang bernama Thunder itu adalah Lee!

Semuanya sudah berakhir, tapi apa yang di katakan Ino sebelum ke rumah sakit membuatnya urung.

Seperti dugaan Sasuke, Lee dijadikan kambing hitam dari orang itu.

Bahkan orang itu dengan baik-nya mengungkapkan identitas asli Lee sehingga Shikamaru dan Ino bisa menangkap pria beralis tebal itu.

Tentunya dengan kasus yang berbeda, Lee di dakwa atas pembunuhan berencana beberapa pengusaha besar di Tokyo, walaupun terbukti bukan Lee yang membunuh Direktur Rumah Sakit Tokyo, tapi Lee di jerat atas banyak pembunuhan yang sudah di lakukannya.

—dan juga dugaan pembunuhan berencana kepada Ino Yamanaka, buktinya sangat kuat sehingga pria itu tidak bisa mengelak.

“Kau tidak ingin pindah?” Hinata tersentak ketika mendengar suara Naruto di sampingnya.

Ia menoleh untuk melihat Naruto, yang turut memandang lurus unit Lee yang telah di pasang garis polisi.

“Aku rasa ingin pindah secepatnya dari sini, tapi sial, apartemen ini yang dekat dari kantorku,” umpat Naruto pelan.

“Aku akan menetap beberapa waktu,” jawab Hinata, sesuai perintah Shikamaru, ia harus memberitahu semua orang yang berinteraksi dengannya jika ia akan pergi secepatnya dari apartemen ini.

Tidak terkecuali Naruto.

Hinata memandang Naruto dari samping, pria itu begitu gigih, Hinata tidak pernah merasa diperjuangkan sebegitu inginnya oleh lelaki selain Naruto.

Naruto terang-terangan mengenai isi hatinya, ia akan mengatakan apa yang dirasakannya, dan Hinata sering kali kesulitan menghadapi keterus terangan Naruto yang kadang membuat jantungnya akan meledak.

“Kalau begitu akan pergi jika kau juga pergi, kita akan bersama bukan,” goda Naruto. Hinata diam tidak menanggapi.

Hinata menghelah nafas, “Naruto jaga dirimu, setelah semua yang terjadi, bisa jadi besok aku atau dirimu yang akan menjadi korban.”

Naruto terkekeh, “Aku sudah dua kali masuk rumah sakit, dan kau baru mengatakannya sekarang?” tanya Naruto.

Hinata kembali memilih diam.

“Jujur saja, aku cemburu melihat kedekatanmu dengan Sasuke dan pria baru itu,” ujar Naruto tiba-tiba.

“Padahal aku bukan siapa-siapamu, tapi hatiku panas melihatmu dekat dengan pria lain.”

“Kau ingin mencobanya?” tanya Hinata tiba-tiba.

Naruto menoleh dengan alis terangkat, “Mencoba apa?”

“Membuatku jatuh cinta padamu,” bisik Hinata pelan, mata Naruto membulat.

“Apakah ini berarti aku sudah resmi menjadi kekasihmu?” tanya Naruto tidak percaya.

Hinata diam beberapa saat, kemudian mengangguk pelan.

Naruto menggenggam tangan Hinata, “Kau akan mencintaiku dalam seminggu ini, aku janji!”

“Hinata akan menjadi ratu! Tapi sesuai dengan isi dompetku,” Naruto terkekeh di akhir, sedangkan Hinata tersenyum tipis.

Sesuai arahan Shikamaru—kembali. Ia harus berpura-pura menjalin hubungan dengan orang lain yang bisa melindungi dirinya sendiri.

Walaupun dua kali Naruto terluka, tapi di antara semua pria yang di kenalnya, hanya Naruto yang menyukainya! Tidak ada pilihan selain pria bermata biru itu.

Shikamaru pun sudah berjanji akan berusaha melindungi seseorang yang menjadi kekasihnya, setidaknya hingga peneror itu muncul dan identitasnya di ketahui.

Kata Shikamaru, apartemen ini sudah di awasi, beberapa penghuninya pasti kaki tangan pria itu.

Kenapa bukan Sasuke? 

Karena peneror itu mengetahui siapa Sasuke, sia-sia jika ia dan Sasuke berpura-pura menjalin hubungan.

Menambah pemain baru bukan ide yang buruk—kata Shikamaru.

.

.

.

.

.

Sasuke memasukkan kedua tangannya di saku jaket yang digunakannya, ia bersandar pada tembok dengan cahaya lampu yang remang, minimarket di depannya terlihat lenggang, dan ia sedang menunggu kehadiran seseorang.

Pria bertopi dan memakai masker muncul dari minimarket itu, di tangannya ada satu botol minuman dingin.

“Foto yang kau minta,” ujar sosok itu, selain foto ia juga menyerahkan flashdisk.

Sasuke mengguman sambil memandang tiga lembar foto, dan memasukkan flashdisk ke saku jaketnya. 

“Lumayan, cukup berguna,” ujar Sasuke terkekeh.

Sosok itu mendengus, membuka topi yang digunakannya sehingga menampilkan surai merah gelapnya.

“Tolol,” desis orang itu dan kembali memakai topinya.

“Tapi kuakui rencanamu cukup berhasil, kasian sekali perempuan itu,” ujar sosok itu kemudian.

Sasuke hanya mengangkat alisnya singkat. 

Kemudian berjalan meninggalkan pria bertato itu.

Mata hijau sosok berpakaian serba gelap itu memandang lurus punggung Sasuke sebelum mendengus dan mengambil jalan yang berlawanan.

Hari ini, ia cukup sibuk.

.

.

.

.

.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Salam hangat, Laverna.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Strawberry (11)
12
9
(25+) Harap Bijak dalam memilih bacaan.Hinata memilih meninggalkan Tokyo dan kembali ke kampung halamannya.Di Konoha, Hinata berharap dapat hidup tenang dan tidak pernah bertemu dengan psiko yang telah membuatnya trauma 5 tahun yang lalu
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan