Strawberry (1)

11
0
Deskripsi

(25+) Harap Bijak dalam memilih bacaan.

 

Hinata memilih menjauh dari Tokyo, kembali ke kampung halamannya.

Di Konoha, Hinata berharap ia tidak akan pernah bertemu dengan psiko yang telah berhasil membuatnya trauma mendalam 5 tahun lalu.

Strawberry © Laverna

Naruto © Masashi Kishimoto

Warning: Drama, Typo, Psycho

 

Hinata berusaha melepaskan tangan yang mencengkeram lehernya, matanya tertutup karena pasokan udara yang semakin menipis, kakinya menendang-nendang lemah.

Sedangkan pelaku yang mengcekiknya tidak bereaksi apapun, seakan menunggu nyawa gadis berambut gelap itu meninggalkan tubuhnya.

Kedua tangannya dengan lemah memukul tangan besar itu, apakah dia akan mati seperti ini?

Hinata berusaha membuka matanya, melihat pelaku yang ingin membunuhnya.

Tapi mata abu-abunya tidak dapat mendapatkan petunjuk apapun, karena pria tinggi itu menggunakan topi, posisinya yang lebih tinggi membuat Hinata hanya melihat bagian atas topi hitam yang digunakan pria itu.

Air mata Hinata menetes sedari tadi, penyesalan ia rasakan, seandainya ia menerima tawaran teman-temannya untuk mengantarnya, maka ia tidak perlu terjebak dengan psiko di depannya.

“K-kami-sama,” bisik Hinata pilu, dan kegelapan sudah menjemputnya.

.

.

.

.

.

Hinata bangun dari mimpi buruknya, mimpi buruk yang selalu menghantuinya selama 5 tahun ini, membuatnya menjadi pribadi lebih tertutup.

Hinata mengambil air minum yang selalu ia sediakan di atas nakas samping kasurnya, meminumnya dengan perlahan.

Berusaha mengenyahkan masa kelam, di mana ia terpuruk setelah kejadian itu.

Hinata masih mengingat dengan jelas, saat itu ia dan teman-teman sesama perawatnya baru saja kembali dari pesta yang di adakan Saara.

Pesta Saara selesai pukul 10 malam, karena Hinata mengira saat itu masih cukup pagi, sehingga ia menolak tawaran teman-temannya dan memilih pulang seorang diri.

Siapa sangka, di tengah perjalanan, setelah ia turun dari shinkansen, ada seorang pria berperawakan tinggi kekar yang mengikutinya.

Hinata mengira orang tersebut memiliki tujuan yang sama dengannya, yaitu ke Shinjuku, keadaan sekitar pun masih ramai, sehingga Hinata tidak menaruh curiga sedikitpun.

Tapi, setelah ia melewati gang gelap, saat itulah orang tersebut menyeretnya, menyumpal mulutnya dengan sapu tangan, kedua tangannya di cengkeram, dan matanya di tutup bando kain berwarna gelap.

Tubuhnya menggigil, apalagi ketika pria itu berhasil membenturkan punggungnya ke dinding, mengangkatnya dengan cara mengcekiknya.

Kedua tangannya sudah lepas dari cengkeraman menyakitkan maniak itu, dan berusaha memukul tangan yang semakin keras mengcekiknya.

Kesadarannya menghilang, dan Hinata belum siap menghadap Kami-sama.

Doa Hinata terkabul, ia tidak mati di tangan psiko itu, ia terbangun dalam keadaan lemah di ranjang rumah sakit tempatnya bekerja, dengan berbagai luka fisik di sekujur tubuhnya.

Saara menceritakan bahwa ia sudah tidak sadarkan diri selama 2 hari.

Hinata di temukan tak sadarkan diri di motel sekitar gang sempit itu, salah satu pegawai motel melaporkan polisi ketika mendapati Hinata dengan berbagai luka sayatan di sepanjang tubuhnya, sehingga teman-teman Hinata bisa menemukan keberadaan Hinata yang tidak masuk kerja esok harinya.

Psiko itu berhasil menyentuhnya, bahkan mengukir gambar buah stroberi di bagian punggung kirinya.

Tidak ada saksi dan cctv, karena motel kecil tersebut memang tidak memasang cctv, sedangkan pegawai yang melayani pria itu mengaku tidak dapat melihat rupa sang pelaku karena masker dan kaca mata hitam yang digunakannya, belum lagi topi dan hoodie yang digunakan pria itu semakin menyamarkan penampilannya.

Satu-satunya yang pegawai itu ingat adalah cincin perak yang digunakan pria itu. Hinata pun enggan berurusan dengan psiko itu lagi.

Setelah kejadian itu, Hinata memilih meninggalkan Tokyo, dan kembali ke kampung halamannya—Konoha.

Hinata tidak memiliki alasan untuk tetap menetap di Tokyo dimana ia bisa saja bertemu dengan psiko itu kembali.

Hinata sudah 5 tahun menetap di Konoha, menyewa apartemen dekat rumah sakit tempatnya bekerja. Hanya perlu berjalan 10 menit.

Perjuangannya untuk bangkit dari keterpurukannya bukanlah main-main, ia rutin selama 3 tahun belakangan mengunjungi psikiater, apalagi pekerjaannya sebagai perawat mengharuskannya menemui banyak orang.

Walaupun dirinya tidak seaktif dulu saat masa-masa awal bekerja sebagai perawat, setidaknya ia sudah tidak menggigil ketakutan ketika bertemu dengan pasien pria bertubuh tinggi besar.

Hinata turun dari kasurnya, dan berjalan ke kamar mandi untuk bersiap-siap berangkat kerja.

Hidup seorang diri, membuat Hinata tidak bisa bermalas-malasan, jika tidak maka ia akan di pecat dan mati kelaparan.

Selesai membersihkan dirinya, Hinata mulai bersiap-siap berangkat ke rumah sakit.

Rumah sakit tempatnya bekerja saat ini tidak sebesar di Tokyo, tapi Hinata mendapatkan ketenangan karena ia mengenal beberapa orang-orang yang bekerja di sana sejak ia kecil.

Hinata membuka pintu apartemennya, dan mendapatkan sekotak hadiah—untuk sekian kalinya.

Hinata menunduk, mengambil kotak hadiah itu, dan membuka isinya.

Stroberi. Buah yang selalu berhasil mengingatkannya akan traumanya.

Walaupun ia sudah tidak setakut sebelumnya dengan buah stroberi, tapi Hinata masih enggan untuk berhubungan dengan apapun yang mengingatkannya dengan kejadian 5 tahun yang lalu.

Hinata kemudian membawa kotak hadiah itu bersamanya, sesekali ia akan tersenyum tipis menyapa beberapa orang yang di kenalnya.

Sesampainya di lantai bawah, Hinata langsung saja membuang kotak berisikan stroberi itu ke tempat sampah organik—untuk kesekian kalinya.

Hinata kembali melangkah, dengan meneteng bag berisikan pakaian perawatnya, Hinata berjalan dengan tenang.

Udara pagi hari—Hinata menutup mata dan menghirup dengan seksama segarnya udara pagi.

Beberapa langkah, ia bertemu dengan Rock Lee, seorang guru olahraga yang sedang lari pagi.

Ohayo Hinata-san,” sapa Lee semangat. Hinata tersenyum tipis dan mengangguk kemudian melanjutkan langkahnya.

Lee merupakan salah satu penghuni apartemen yang sama dengannya, bahkan mereka berada di lantai yang sama.

Hinata tidak pernah berusaha untuk mencari teman di tempat tinggalnya, ia sudah dikenal sebagai sosok yang tertutup dan acuh.

Hinata tidak masalah dengan hal itu, ia hanya berusaha untuk tidak menjalin hubungan apapun dengan orang lain—bahkan walaupun sekedar hanya untuk pertemanan, ia berusaha melindungi dirinya dari orang-orang yang tidak akrab dengannya.

Lee pun sudah terbiasa dengan sikap acuh salah satu tetangga kamarnya, pria bertubuh ramping itu kemudian melanjutkan lari paginya dengan semangat, dan menyapa beberapa orang yang di kenalnya.

Hinata melanjutkan langkahnya, mata abu-abunya melihat salah satu tetangga kamarnya—lagi.

Seorang pria pengangguran yang hobi berseliweran. Pria tampan yang jauh lebih acuh dari pada dirinya, setidaknya Hinata masih memikirkan mencari uang untuk tetap bertahan hidup.

Tapi pria misterius bernama Sasuke Uchiha itu bahkan sehari-hari tidak melakukan apapun, ia hanya akan duduk diam di manapun, atau Hinata akan mendapati pria itu duduk di salah satu minimarket dan memandang orang-orang yang berlalu lalang.

Sasuke Uchiha baru saja menempati apartemen yang sama dengannya sebulan yang lalu. Pria tinggi itu menempati kamar tepat di sebelah kiri kamar Lee.

Pria itu mengaku pengangguran kepada Lee dan beberapa penghuni lainnya dan sedang mencari pekerjaan.

Tapi dari yang Hinata lihat, Sasuke Uchiha tidak pernah berusaha untuk mencari pekerjaan, dia sibuk duduk di taman atau merokok di tangga darurat menuju lantai bawah apartemen mereka.

Hinata berjalan melewati Sasuke begitu saja, tidak berusaha untuk menyapa ataupun basa-basi, dan pria itu sama acuhnya dengan dirinya.

Rumah sakit tempatnya bekerja telah terlihat, Hinata menunggu lampu merah berubah warna.

Hinata mempercepat langkahnya, setibanya ia kemudian menuju ke ruang ganti untuk memakai pakaian perawatnya.

Hinata memasuki ruang perawat setelah mengganti pakaiannya, ia duduk di sisi Sakura—salah satu perawat seumuran dengannya, perempuan berambut merah muda itu cukup kaget dengan kedatangannya yang tiba-tiba.

“Kudengar salah satu tetanggamu di rawat,” ucap Sakura.

“Siapa?” tanya Hinata, well jujur saja di lantai tempatnya tinggal ia cukup memiliki banyak tetangga.

“Pria yang bekerja sebagai pemadam kebakaran, ia mengalami luka ringan tapi harus tetap di pantau,” cerita Sakura, Hinata mengangguk tidak tertarik, Naruto dan Lee adalah dua tetangga yang ingin ia hindari—oh satu lagi Kiba Inuzuka.

Kepribadian ketiganya sangat tidak cocok dengan Hinata.

Seakan ketika ia cukup lama berbincang dengan tiga manusia aktif itu, energinya seakan terserap habis.

“Shizune-sensei meminta kau yang merawatnya,” ucap Sakura kembali, Hinata kembali mengangguk.

Sakura dan Shion merupakan dua orang yang akrab dengannya di rumah sakit, walaupun Sakura cukup cerewet tapi perempuan itu tahu menempati dirinya—dan Hinata mensyukuri kepekaan Sakura.

Shion merupakan orang terakhir yang tiba, mereka kemudian berdiri dan melihat jadwal masing-masing.

Hari ini, Hinata harus memantau kondisi Naruto Uzumaki, nyonya Tsunade dan tuan Sarutobi.

Karena Naruto Uzumaki sudah di tangani sebelumnya, maka Hinata akan mengunjungi ruang rawat nyonya Tsunade dan tuan Sarutobi.

Hinata memasuki ruang rawat nyonya Tsunade, seorang janda—cukup kaya raya yang mengalami kecelakaan seminggu yang lalu.

Hanya ada satu orang yang senantiasa menemani nyonya Tsunade, seorang gadis berambut pirang bernama Ino Yamanaka.

Yang juga merupakan tetangga barunya. Gadis berperawakan tinggi langsing itu baru saja menempati kamar tepat di sebelah kanan kamarnya dua hari yang lalu.

“Hei,” sapa Ino ramah, Hinata tersenyum tipis dan mengangguk.

Hinata memulai memeriksa nyonya Tsunade, dan bertanya beberapa hal pada Ino yang selalu ada di sisi wanita berusia 50 tahun itu.

Nyonya Tsunade masih belum sadar—ia koma, kekurangan darah dan benturan keras yang di alaminya membuat nyonya Tsunade mengalami cedera otak traumatik.

Setelah memeriksa denyutan dan lain sebagainya, Hinata mulai menulis pada catatan yang di bawanya.

“Hasil lab nyonya Tsunade akan keluar paling lambat besok sore,” Hinata memberikan informasi, Ino mengangguk paham.

Arigato Hinata,” balas Ino, Hinata kembali tersenyum tipis dan mulai meninggalkan ruangan nyonya Tsunade.

Ia akan ke ruangan tuan Sarutobi ketika Shizune-sensei memanggilnya.

Hinata berjalan cepat, ia memberikan catatan medis nyonya Tsunade kapada Shion, kemudian mengikuti Shizune-sensei yang terlihat panik.

Hinata melambatkan langkahnya, di atas brankar dorong ia cukup mengenal pria yang berbaring dengan darah di mana-mana, bahkan darahnya sudah jatuh mengotori lantai.

Hinata menggeleng, kemudian membantu mendorong tempat tidur stretcher itu ke ruang operasi.

Keadaan Kiba Inuzuka sudah sangat memprihatinkan, kakinya kanannya sudah hampir putus, entah apa yang terjadi sehingga pria penyuka anjing itu bisa mengalami hal demikian.

.

.

.

.

.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Aku tulis dulu, sebelum idenya menguap, wkwk

sampai jumpa, aku akan hiatus, hingga waktu yang tak ditentukan, aku sudah pamit di wp, tapi aku lupa pamit di karyakarsa, :(

jadiii, byee semuaaa

hadiah karena aku akan hiatus.

semoga, kalau aku kembali nanti, aku bisa konsisten untup update.

mohon doanya teman-teman, moga aku bisa menyelesaikan tanggung jawab aku sebagai mahasiswa.

Salam hangat, Laverna.

strawberry dr someone.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Strawberry (2)
5
5
(25+) Harap Bijak dalam memilih bacaan. Hinata memilih meninggalkan Tokyo dan kembali ke kampung halamannya.Di Konoha, Hinata berharap dapat hidup dengan tenang dan tidak akan pernah bertemu dengan psiko
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan