Just Go (1)

6
0
Deskripsi

(25+) Mohon Bijaksana dalam memilih bacaan.

 

Hinata dan Naruto tidak saling mencintai, tapi mereka bertekad untuk membangun rumah tangga bersama-sama.

Hinata meminta Naruto untuk menceraikannya ketika pria itu bertemu dengan seseorang yang dicintainya.

Saat itu tiba, keduanya memutuskan berpisah.

Apakah itu keputusan yang tepat untuk mereka?

Just Go © Laverna

Naruto © Masashi Kishimoto

Warning: Drama, Typo, Ooc.

 

Hinata diam, memandang kejauhan sosok yang mengisi hari-harinya sekolahnya.

Sosok inspirasi yang membuatnya semangat untuk belajar.

Toneri Otsutsuki.

Sang Juara satu umum.

Kelulusan mereka kali ini selain membawa kebahagian untuk Hinata, juga membawa kesedihan yang menyentil lubuk hatinya.

Ia akan berpisah dengan Toneri.

Hinata berhasil masuk ke Tokyo University dengan jurusan arsitektur, sedangkan sang pujaan hati, ia berhasil mendapatkan beasiswa penuh ke Harvard University dengan jurusan kedokteran.

Sesuai dengan julukannya, si Nomor Satu.

Toneri adalah wajah yang membanggakan sekolah mereka.

Banyak dari teman-teman Hinata yang kagum akan sosok Toneri, begitupun dengan Hinata.

Tapi Hinata tidak pernah berani untuk mengutarakan perasaannya, karena Hinata tahu, dia dan Toneri berada di level yang berbeda.

Hinata lebih memilih memendam perasaannya, menjadikan Toneri sebagai cinta pertama dan patah hati pertamanya.

Hinata maju, ia ingin mengucapkan selamat kepada Toneri, seperti teman sekelas mereka yang lain.

Setelah tiba gilirannya, Hinata melangkah dengan gugup, “S-selamat Toneri-kun,” ucap Hinata terbata, pipi dan telinganya memerah.

Toneri tersenyum simpul, “Ya, kau juga Hinata, selamat sudah di terima di Todai.”

Hinata mengangguk, kemudian mundur membiarkan teman lainnya memberikan selamat kepada Toneri.

Hinata memilih kembali ke bangku di mana ia duduk sebelumnya, memperhatikan Toneri dari jauh, hatinya menghangat, ia bahagia melihat Toneri yang juga bahagia.

Toneri adalah sosok yang fokus pada tujuannya, dan hal itulah yang membuat Hinata jatuh hati, selain karena fisik Toneri yang memang menawan.

Toneri tidak pernah mengalihkan pandangannya dari apapun yang dapat menganggu fokusnya, ia akan menyelesaikan apapun yang menjadi tujuannya.

“Semoga di tahun berikutnya kita bertemu kembali Toneri-kun,” bisik Hinata pelan.

*

*

*

Hinata sedang mengetik di laptopnya, ketika ayahnya masuk.

Hinata alihkan atensinya kepada sang ayah.

“Ada lamaran dari keluarga Uzumaki,” kata Hiashi langsung.

Hinata menunduk, ini sudah lamaran yang entah keberapa yang ia terima sejak dua tahun belakangan ini.

O-otousan,” bisik Hinata, Hiashi tersenyum dan mengusap rambut Hinata.

“Kushina-san tadi mampir, dan berbincang dengan ibumu, katanya Naruto ingin menikahimu,” Hiashi menatap Hinata yang masih menunduk, “Jika menurut Hinata, bukan Naruto yang ingin kamu jadikan suami, maka kamu bisa menolaknya.”

Hinata mengeratkan kedua tangannya, jujur, bahkan hingga kini ia masih menunggu Toneri, menunggu angan semu yang tak menentu.

Sudah 6 tahun berlalu, ia telah menyelesaikan pendidikannya bahkan menjadi dosen saat ini, sedangkan kabar Toneri ia tidak tahu sedikitpun.

Bagaimana jika Toneri sudah memiliki kekasih?

Bahkan bagaimana jika Toneri sudah memiliki istri dan anak?

Naruto sendiri adalah seniornya di kampus, mereka berkenalan saat masa orientasi.

Naruto mengambil jurusan Business managemnet, dan sekarang bekerja sebagai Konsultan Bisnis, di beberapa perusahaan besar.

“Apakah Otousan menyukai Naruto?” tanya Hinata kemudian, matanya melihat ayahnya.

Hiashi mengangguk, “Ibumu dan Ibu Naruto berteman dekat, dan Naruto anak yang baik dan bertanggung jawab.”

Hinata menggigit bibirnya ragu, di banding semua lamaran-lamaran yang datang sebelumnya, ia tidak mengenal baik siapapun yang datang melamarnya.

Tapi Naruto, Hinata mengenal Naruto dengan baik, dan Hinata setuju dengan pendapat ayahnya.

Tapi, Hinata akan menjadi egois jika memilih Naruto untuk menjadi suaminya ketika hatinya masih menjadi milik orang lain.

Di lain sisi, Hinata sedih dengan beberapa anggota keluarganya yang menghardik ayah dan ibunya, mengatakan dirinya terlalu di manja, dan sok jual mahal.

Padahal Hinata hanya ingin menikah dengan pujaan hatinya.

“A-aku ikut dengan keputusan Otousan dan Okasan,” ucap Hinata pada akhirnya, salah satu alasan ia menerima lamaran Naruto, karena Hanabi adiknya pun ingin menikah tapi tidak ingin melangkahinya.

Hiashi tersenyum, kemudian memeluk Hinata erat.

Otousan bangga padamu.”

*

*

*

Hinata telah selesai membersihkan dirinya, ia menunggu Naruto di kasur mereka.

Hinata berusaha menenangkan detak jantungnya, ketika Naruto mendekat dan duduk di sebelahnya.

“A-ada yang ingin aku katakan Senpai,” ujar Hinata dengan suara bergetar saking gugupnya.

Naruto tersenyum, “Aku suamimu sekarang Hinata, bukan seniormu,” balas Naruto.

Hinata tersenyum canggung, “G-gomen.”

“N-Naruto,” panggil Hinata, ia mengambil nafas dan menghembuskannya pelan, “Jika suatu saat nanti kamu sudah tidak menginginkanku, maka katakan padaku, jangan pada keluargaku, aku ingin kita berpisah dengan baik-baik.”

Hinata lega ketika sudah mengatakan hal yang terpendam sejak tadi, “Jika senpai menemukan perempuan yang membuat senpai jatuh cinta, maka katakan padaku, jangan berselingkuh, aku akan melepaskan senpai dengan cara baik-baik.”

Karena aku pun tidak mencintai senpai bahkan hingga detik ini’

Hinata hanya berusaha untuk menebus rasa bersalahnya karena menerima Naruto, ketika hatinya masih menjadi milik orang lain.

“Hinata aku menikahimu bukan untuk berpisah,” jawab Naruto, ia cukup terkejut dengan pernyataan Hinata.

“Aku mungkin memang belum mencintaimu sekarang, tapi aku memilihmu sebagai ibu dari anak-anakku.”

Naruto menggenggam tangan Hinata yang gemetar dan dingin, “Maukah kau berusaha bersamaku?”

“Mewujudkan rumah bagi aku dan kamu, dan anak-anak kita.”

Hinata merasa hatinya menghangat, ia dan Naruto memang tidak saling mencintai saat ini, Hinata tahu jika Naruto dulunya mencintai Sakura, tapi Sakura telah menikah dengan Sasuke, sehingga membuat pria itu harus move on.

Mereka dua orang yang tidak saling mencintai, tapi mereka yakin untuk saling memilih dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

Naruto mendekat, mengikis jarak di antara mereka, tangannya menyelipkan anak rambut Hinata di belakang telinganya yang memerah.

Sedangkan Hinata hanya menunduk, jantung berdebar kencang.

“Bolehkah?” bisik Naruto, Hinata mengangguk pelan, memberi izin kepada Naruto untuk memilikinya malam ini.

“Kau sangat cantik,” Naruto tidak menampik fisik Hinata yang menawan, hal itulah yang membuatnya yakin memilih Hinata sebagai pendampingnya, selain karena kepribadian gadis itu yang baik.

A-arigatou,” balas Hinata gugup.

Naruto semakin mempersempit jarak keduanya, ia kecup sudut bibir Hinata, sedikit terkekeh mendengar degup jantungnya dan jantung Hinata yang seperti akan meledak bersama-sama.

Naruto kemudian mulai mencium Hinata lembut, di baringkannya gadis yang sebentar lagi akan menjadi wanita itu.

Tangannya dengan gemetar membuka kancing baju tidur Hinata, untuk pertama kalinya ia menyentuh seorang perempuan, dan Naruto tidak tahu jika hal itu dapat membuat jantungnya tak karuan.

Sedangkan Hinata memejamkan matanya erat, ketika baju dan celana tidur yang ia gunakan sudah ditanggalkan sang suami.

“Hinata,” panggil Naruto dengan suara berat dan serak, Hinata membuka matanya dan melihat mata biru itu.

“Bisakah kau membalas ciumanku?” tanya Naruto, Hinata menggigit bibirnya, ia tidak tahu caranya!

Tapi Hinata mengangguk saja, dan ketika Naruto kembali menciumnya, Hinata berusaha untuk membalasnya walaupun sesekali membuat Naruto berdesis entah karena apa.

“Jangan menggigit lidahku sayang, itu sakit,” Naruto duduk, memandang Hinata yang terbaring, Naruto rasa kepala dan jantungkan akan meledak saat ini juga.

Naruto kemudian beranjak untuk duduk di depan sang istri, di bukanya paha Hinata, kemudian berusaha membuka penghalang terakhir yang menutupi area sensitif sang istri.

“T-tunggu,” Hinata menahan tangan Naruto yang hendak melepas celana dalamnya, “Bisakah kita matikan lampu? A-aku malu.”

Naruto mengerjab matanya beberapa kali, kemudian mengangguk dan berjalan ke sisi kasur dan mematikan lampu utama dan hanya menyisakan lampu tidur yang temaran.

Walaupun kurang pencahayaan, tapi Naruto masih dapat melihat ekspresi Hinata yang tegang.

“Kata ibu, akan sakit untuk pertama kali, selebihnya yeah kau tahu,” bisik Naruto, kembali melanjutkan membuka celana Hinata dengan lancar, kemudian beralih ke arah bra Hinata.

Hinata mengalihkan pandangannya, terlalu malu untuk memandang Naruto, jari telunjuknya ia gigit ketika Naruto mencium pahanya, kemudian perut,hingga sampai pada dadanya.

Selain sentuhan di dadanya, Hinata juga kaget dengan sentuhan di bagian bawahnya.

“N-Naru ...” panggil Hinata patah-patah. Jari-jari Naruto semakin dalam menjelajah, membuat Hinata tanpa sadar mengangkat pinggulnya ketika orgasme-nya datang.

Dengan nafas terengah-engah, Hinata berusaha tetap sadar, sedangkan Naruto memandang takjub, apakah senikmat itu?

Apakah Hinata tidak tahu ekspresi yang ia tampilkan beberapa waktu lalu?

Selama ini, ia hanya sering melihat raut canggung Hinata, dan untuk pertama kalinya ia dapat melihat ekspresi nakal walaupun tidak di sadari sang empunya.

Naruto mendekat setelah ia melihat Hinata yang mulai bernafas dengan normal, mata birunya kembali memperhatikan wajah Hinata yang mengeryit kesakitan ketika ia berusaha mengklaim milik-nya.

Naruto menunduk, dan mencium Hinata, berusaha mengalihkan fokus Hinata, tapi remasan di punggungnya sepertinya menandakan hal tersebut belum cukup untuk mengurangi sakit yang Hinata rasakan.

Keduanya diam menahan nafas, Naruto pun diam kaku, merasakan bagaimana Hinata tidak membiarkannya bergerak sedikitpun.

Hinata menggigit bibirnya, tangannya masih memeluk punggung Naruto, kepalanya sesekali menggeleng, dan air matanya jatuh ketika rasa sakit itu tak kunjung reda.

Hiks...” Naruto panik ketika mendengar isakan Hinata, padahal dengan jarinya sebelumnya Hinata mendapatkan kenikmatan, mengapa dengan milik-nya Hinata malah kesakitan?

“J-jangan bergerak,” lirih Hinata, ia mengencangkan pelukannya, dan Naruto berdesir ketika Hinata semakin menjepitnya di bawah sana.

Mereka diam untuk beberapa waktu, Naruto tidak tahu sudah berapa menit terlewat, tapi ketika ia berusaha bergerak kembali dan membuat Hinata mendesah, Naruto tahu, inilah saatnya.

Malam itu mereka mengarungi hadiah pernikahan.

Naruto dan Hinata tidak tahu, jika melakukan hubungan intin akan semendebarkan dan senikmat ini.

Jantung keduanya seperti akan meledak, tapi mereka menyukainya.

*

*

*

Rumah tangga Naruto dan Hinata sudah berjalan selama 10 tahun.

Keduanya di karuniai dua anak cerdas yang tampan dan cantik.

Namanya Boruto Uzumaki dan Himawari Uzumaki.

Boruto berusia 9 tahun, sedangkan Himawari berusia 6 tahun.

Keluarga mereka adalah defini keluarga cemara, sebelum masalah datang.

Hinata masih berkutat dengan tesis mahasiswanya, ia akan menguji dua puluh menit lagi.

Pikirannya bercabang, salah satunya karena sikap Naruto yang berubah beberapa bulan terakhir ini.

Naruto dulu berkata, menikahinya karena tidak ingin berpisah, tapi bahkan saat ini, Hinata tahu cepat atau lambat Naruto akan menceraikannya.

Naruto belum mencintainya, sebagaimana ia yang juga belum mencintai suaminya itu.

Mereka hanya berusaha membangun rumah, tanpa pondasi yang kuat.

Dan rumah mereka, sebentar lagi akan runtuh.

Pada akhirnya, anak-anak mereka akan menjadi korban keegoisan keduanya.

Hinata memandang sendu potret Boruto dan Himawari yang menjadi wallpaper handphone-nya.

Maafkan ibu,’ lirih Hinata, bahkan Hinata tidak bisa mempertahankan rumah tangganya karena ia pun tidak yakin dengan pernikahannya sejak dulu.

Hinata melangkah ke arah ruang menguji, tapi langkahnya terhenti ketika mata abu-abunya melihat sosok yang masih mengisi hatinya hingga kini.

“Hinata-san!” panggil Ino, dosen Biologi, dan merupakan teman kampusnya walaupun berbeda jurusan.

Hinata ragu mendekat, kakinya seperti di paku, matanya memanas, setelah 16 tahun berlalu, kini ia dapat berjumpa lagi dengan Toneri.

Karena melihat Hinata yang diam terpaku, maka Ino dan Toneri yang menghampiri Hinata.

“Hinata-san, perkenalkan beliau akan menjadi dosen baru di sini Toneri Otsutsuki,” ucap Ino semangat memperkenalkan Toneri.

Sedangkan Toneri tersenyum sedari ia melihat Hinata, “Apa kabar Hinata?” tanya Toneri.

Ino memandang bingung keduanya, mereka saling mengenal?

“Toneri-kun,” lirih Hinata, dan air matanya menetes begitu saja, membuat Ino ataupun Toneri terkejut.

“A-aku terharu melihatmu kembali, setelah enam belas tahun,” ucap Hinata cepat, di akhiri dengan tawa kecil.

Toneri mengangguk mengerti, ia pun tertawa, tidak mengira bahwa akan bertemu dengan teman sekelasnya yang pendiam itu, bahkan sekarang mereka sama-sama menjadi dosen.

“Aku harus pergi sekarang, senang melihatmu kembali Toneri-kun,” ucap Hinata dan membungkuk lalu berjalan cepat, selama di perjalanan ke ruang menguji, Hinata tidak sadar jika ia tersenyum, bahkan melupakan permasalahan rumah tangganya untuk beberapa saat.

Hinata sampai di ruang menguji, dan mendapati adik iparnya Konohamaru yang sedang sibuk membaca tesisnya.

Hinata mengambil tempat duduk paling ujung, tempat di mana dosen penguji ke dua duduk.

Selagi menunggu dosen lainnya tiba, Hinata membuka handphone-nya dan membaca group whatsapp para dosen.

Ternyata kedatangan Toneri sudah diberitahukan sejak seminggu yang lalu, Hinata saja yang tidak memperhatikannya.

Selain itu, gosip jika Toneri masih single, menjadi topik hangat di group yang hanya berisikan oleh dosen perempuan.

Hinata menggeleng, terbesit rasa senang mengetahui hal tersebut.

Sidang akhir berlangsung selama satu jam lebih, Konohamaru berhasil meraih gelar magisternya.

Hinata menjadi yang terakhir keluar, setelah hanya ia dan Konohamaru di dalam ruangan, Hinata tersenyum dan mengucapkan selamat kepada Konohamaru.

Konohamaru menggaruk belakang kepalanya, “Arigato neesan, ini semua berkat bantuan neesan.”

Hinata tertawa kecil, “Ini hadiah untuk anak keduamu nanti,” ucap Hinata lembut, setelah itu ia pamit keluar.

Hinata berjalan langsung ke arah mobilnya, ia akan langsung pulang, tapi sebelum itu ia akan mampir untuk membeli ramen kesukaan keluarganya.

Hinata sampai di kedai ramen langganan keluarganya, Naruto, Boruto dan Himawari menyukai ramen buatan paman Teuchi.

Langkah Hinata terhenti ketika melihat Naruto yang makan bersama dengan Sakura, kedua terlihat nyaman akan kehadiran masing-masing. Bagaikan pasangan bahagia.

Sejak Sasuke meninggal tiga tahun yang lalu, Hinata baru kali ini melihat Sakura, karena Sakura sebelumnya memilih menyendiri ke Singapura bersama putrinya.

Hinata berbalik, ia tidak ingin mengacaukan pertemuan Naruto dan Sakura.

Hinata memilih ke CFK, memesan cemilan untuk anak-anaknya.

Hinata mengendarai mobilnya untuk kembali ke rumahnya.

Melangkah masuk dan melihat Boruto serta Himawari yang sedang melukis.

Menyadari kehadiran Hinata, Himawari kemudian berlari menghampiri ibunya sambil memperlihatkan lukisannya hari ini.

Himawari melukis keluarganya, dimana Hinata menggenggam tangan Himawari, sedangkan Boruto menggenggam tangan Naruto.

Hinata tersenyum sendu, ia menunduk dan memuji hasil karya putrinya, Himawari tertawa bahagia dan kemudian berlari dan merapikan alat lukisnya.

Sedangkan Boruto memperhatikan belanjaan ibunya.

“Burger?” tanyanya, Hinata mengangguk, Boruto melakukan hal yang sama, ia merapikan alat lukisnya juga dan membawanya ke ruang belakang.

Hinata meletakkan belanjaannya di atas meja, kemudian melangkah ke arah kamarnya untuk membersihkan diri.

Setelah selesai mandi, Hinata berjalan ke arah lemari, di bukanya dan diambilnya sebuah surat perceraian yang sudah ia siapkannya satu bulan yang lalu.

Mengambil pena, Hinata kemudian menandatangani surat tersebut.

Menyimpannya kembali, Hinata kemudian mengganti handuknya dengan terusan lengan panjang berwarna putih.

Ketika ke ruang makan, di lihatnya Naruto yang baru tiba, Naruto ternyum simpul padanya sebelum melangkah ke arah kamar mereka, sedangkan Hinata balas tersenyum kecil.

Hinata membantu Natsu—pelayan yang Naruto pekerjakan sejak dulu.

Setelah menata piring, Hinata beranjak untuk memanggil kedua anaknya.

Mereka bertiga menunggu Naruto, dan pria tinggi itu datang lima menit kemudian, dengan pakaian santai yang membuat pria berusia 38 tahun itu masih nampak menawan.

Mereka makan dengan tenang.

Setelahnya Hinata hendak membantu Natsu untuk membereskan bekas makan mereka, sebelum Naruto memanggilnya.

Hinata berjalan dengan tenang ke arah kamar keduanya, Naruto yang melihat kehadiran Hinata kemudian beranjak untuk mengunci pintu kamar mereka.

“Hinata, seperti yang kau ucapkan dulu—” Hinata mengangguk, memotong perkataan Naruto.

Ia kemudian kembali berjalan ke arah lemari dan mengeluarkan surat perceraian mereka.

Hinata tersenyum lembut, “Aku sudah menandatanganinya,” Hinata menyodorkan surat tersebut, Naruto memandang kaget, ia tidak tahu Hinata sudah mempersiapkan semuanya.

“Besok aku akan memasukkannya ke pengadilan, seperti yang aku ucapkan dulu, aku ingin berpisah dengan cara yang baik—terima kasih Naruto-kun mewujudkannya.” Hinata mengelus telapak tangan Naruto dan tersenyum lembut.

Naruto menepati janjinya—bisakah itu dikatakan sebagai sebuah janji? Intinya Naruto langsung mengatakannya padanya terlebih dahulu, tidak pada orang tuanya, Hinata tidak ingin orang tuanya terluka.

Keraguan menghinggapi Naruto, memang benar ia ingin membahas perceraiannya dengan Hinata, tapi ketika melihat bagaimana Hinata sudah jauh-jauh mempersiapkan semuanya ia merasa—tidak rela.

“A-aku...” Naruto bahkan tidak tahu apa yang harus ia ucapkan.

“Naruto-kun, kita hanya akan saling menyakiti jika tetap bertahan seperti ini, Sakura-senpai ... dia butuh Naruto-kun,” Hinata meyakinkan Naruto untuk tidak ragu.

“Boruto dan Himawari mungkin akan sedih, tapi itu hanya untuk sementara, kita hanya berpisah tempat tinggal bukan negara,” lanjut Hinata.

“Kita tidak bisa selamanya berada pada hubungan tanpa cinta seperti ini,” bisik Hinata, ia genggam kuat tangan Naruto, mengangkat kepalanya Hinata kembali tersenyum lembut.

“Teman?” tawar Hinata, Naruto memandang mata Hinata dalam.

Kemudian mengangkat tangannya dan balas menggenggam tangan Hinata, “Teman.”

Hinata tertawa kecil, “Aku akan membantu Narutu-kun untuk dekat dengan Sakura-senpai, tenang saja.”

Naruto ikut tersenyum, “Terima kasih Hinata.”

Hinata mengangguk, kemudian berdiri, hendak melangkah keluar ketika Naruto menahan tangannya.

“Bolehkah untuk terakhir kalinya?” 

Hinata memandang lurus ke arah Naruto, kemudian menggeleng, “Kita akan berpisah, tidak mungkin melakukannya,” Hinata kembali melanjutkan langkahnya, mengabaikan Naruto yang memandang sendu punggungnya.

Setelah Hinata keluar, Naruto menunduk.

Apakah yang ia lakukan sudah benar?

Apakah keputusannya melepaskan Hinata sudah benar?

Apakah perpisahan mereka sudah benar?

Naruto mungkin memang tidak mencintai Hinata, tapi ia menyukai perempuan itu.

Ia menyukai ketika Hinata tertawa, cemberut, ngambek, bahkan saat Hinata ngidam dulunya, ia pun menyukainya.

Tapi cintanya pada Sakura, seperti kata Hinata, mereka tidak bisa terus berada pada hubungan tanpa cinta seperti ini. Lagipula, Sakura membutuhkannya.

Sudah tidak ada penghalang antara cintanya untuk Sakura.

Sasuke telah pergi untuk selamanya, dan Hinata melepaskannya dengan suka rela.

Tapi, mengapa ia merasakan sakit yang menghunus jantungnya?

*

*

*

 

 

 

 

 

Salam hangat, Laverna.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Just Go (2)
2
2
(25+) Mohon Bijak dalam memilih bacaan.Hinata dan Naruto tidak saling mencintai, tapi mereka bertekad untuk membangun rumah tangga bersama-sama.Hinata meminta Naruto untuk menceraikannya ketika pria itu bertemu dengan seseorang yang dicintainya.Saat itu tiba, keduanya memutuskan untuk berpisah.Apakah itu keputusan yang tepat untuk mereka?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan