Part 3 ( PENDAKI DATANG BULAN ) UNCUT

4
0
Deskripsi

Benar, malam itu akhirnya semua rombongan tetap melakukan pendakian meskipun bisa dikatakan, jika rombongan tersebut sudah menjadi incaran dan akan sulit sepertinya untuk mereka bisa kembali pulang.

Waktu itu,.seolah-olah menjadi langkah awal menuju kematian

PART 3

Mendengar hal itu, kami yang sebelumnya berjalan pelan waktu itu seketika sedikit mempercepat langkah kaki kami, karena akupun tidak bisa memungkiri jika malam itu akupun juga mendengar suara gemuruh dari langit yang menandakan jika tidak lama lagi sepertinya akan turun hujan. 


Dan singkat cerita, akhirnya kamipun kembali berkumpul lengkap ber 6 di tempat yang tidak jauh dari Pos pendaftaran. Di situ, sebelum memulai pendakian tentu saja kami melakukan breefing serta persiapan yang memang semuanya diarahkan dan dipimpin oleh Lukman.


“kenalno jenengku Lukman, aku iki koncone Septian teko cilik, aku yo wes bolak – balik munggah gunung iki. Wingi pas ndek omah,  Septian wes cerito titik pekoro awakmu kabeh. Terus mari Septian mikir – mikir kabeh, akhir Septian nunjuk aku dadi pemimpin munggah gunung saiki. Soal e selain aku seng paling berpengalaman ambek gunung iki, koyok e yo diantara awak e dewe kabeh iki aku seng paling tuek umur e,, , ,heheheheh,,,,pie,,ono seng keberatan nggak?”
("Perkenalkan namaku Lukman, aku ini temen Septian dari kecil dan aku sudah beberapa kali mendaki gunung ini. Kemarin waktu di rumah Septian sudah sedikit menceritakan tentang siapa kalian semua dan setelah mempertimbangkan semuanya, akhirnya Septian memutuskan menujukku sebagai pemimpin pendakian kali ini. Karena selain disini aku yang paling berpengalaman dengan gunung ini, sepertinya diantara kalian, aku yang paling tua deh umurnya. Heheheh, bagaimana ada yang keberatan ?") Terang Lukman memulai pembicaraan.


Mendengar hal itu, aku, Bagas, Susan, Septian dan Niko hanya diam mengangguk menandakan, jika waktu itu kami setuju dengan keputusan Lukman yang akan memimpin perjalanan kami.
“oke wes lek ngono. Dadi ngene, jarene Septian awakmu kabeh wes tau munggah gunung, tapi durung ono seng tau munggah gunung iki. Hhmmmmm tenang ae,,gunung iki gak ono bedone ambek gunung – gunung seng liane kok. Malah gunung iki gak terlalu duwur lek dibandingne ambek gunung – gunung liane. Tapi yo ojo salah, lek awak e dewe durung tau mendaki nang gunung iki terus mekso mendaki opo maneh pas bengi. Wes iso dipastikan bakal tersesat.....soal e kenopo? Jalur ndek gunung iki gak koyo jalur ndek gunung – gunung liane. Jalur ndek gunung iki sek di kebak i ambek suket liar terus mbingungne wong munggah gunung. Makane mengko selama munggah gunung jarak e awak e dewe ojo sampek adoh – adohan. Lek kesel yo kudu ngomong, lek dipekso mengko malah ngerepotne”
("Okelah kalau begitu. Jadi begini, kata Septian, kalian semua sudah pernah mendaki gunung, tapi belum ada yang pernah mendaki ke gunung ini. Hmmm tenang saja, gunung ini gak berbeda dengan gunung – gunung  yang lain kok, malahan bisa dikatakan gunung ini tidak terlalu tinggi dibandingkan gunung – gunung yang lain. Tapi jangan salah, jika kalian belum pernah mendaki kegunung ini lalu kalian memaksa mendaki apalagi dimalam hari. Sudah bisa dipastikan kalian akan tersesat karena kenapa, jalur digunung ini tidak seperti jalur digunung – gunung  yang lain. Jalur di gunung ini masih dipenuhi rumput liar dan membingungkan. Untuk itu, nanti selama kita mendaki jangan sampai terlalu jauh jarak antara kita ya. Kalau lelah harus bilang, gak usah malu. Jangan sekali kali memaksakan pendakian kalau fisik memang sudah tidak mampu, kalau dipaksakan nanti malah merepotkan") ucap Lukman memperjelas. 


“ lek aku kudu nguyuh pie?”
("Kalau aku kebelet kencing gimana ?") Sahut Niko dengan wajah polosnya.


“yo awak e dewe mandek kabeh Nik, , awak e dewe ndelok awakmu nguyuh. Ngono ae kok repot”
("Ya kita berhenti semua Nik, kita lihatin kamu kencing. Gitu aja kok repot") jawab Septian sambil sedikit tertawa mendengar perkataan Niko yang terkadang memang mengundang gelak tawa.


“ ah seng genah Sep, mengko lek Intan melok  ndelok pie.?. Kan durung wayah e”
("Ah yang bener kamu Sep, nanti kalau Intan ikut lihat gimana ? Kan dia belum waktunya") sahut Niko yang kembali semakin mencairkan suasana.


“wes wes,,,awake dewe santai ae munggah gunung seng saiki. Seng jelas awak e dewe manut ambek mas Lukman ae, koyoke mas Lukman pancen lebih faham masalah pendakian timbang awak e dewe”
("Sudah sudah, kita buat santai saja pendakian kali ini ya. Yang jelas kita nurut aja sama mas Lukman ini, sepertinya dia memang lebih faham tentang dunia pendakian deh daripada kita") imbuh Bagas jelas.


“eh mbak – mbak iki gak ono seng sek haid kan?”
("Eh mbak mbak ini gak sedang haid kan ya? ") Ucap Lukman tiba tiba dengan pandangannya yang seketika mengarah kearahku dan kearah Susan yang waktu itu sebelumnya hanya diam memperhatikan. 


Mendengar pertanyaan itu, aku yang sebelumnya tenang, malam itu seketika gugup dan langsung menoleh kearah Susan yang ternyata dia sedikit terkejut dengan pertanyaan yang telah didengarnya. 

Dan untungnya, belum sampai aku menjawab pertanyaan tersebut, Susan yang sebelumnya hanya diam, Waktu itu seketika berbicara dengan penuh keyakinan.


“enggak man,,aman kok,,,,yo lek pas haid mosok iyo wani munggah gunung,,,heheh iyo kan Tan?”
("Enggak mas, aman lah, kalau kita lagi Haid, mana mungkin kita berani naik Gunung. hehehe, iya kan tan")ucap Susan jelas sembari sedikit mengedipkan matanya kearahku seraya memberi tanda jika aku harus mengiyakan apa yang waktu itu dia katakan.


Mengetahui hal itu, akupun sedikit terkejut dengan tanda yang diberikan oleh Susan dan secara cepat aku seketika menjawab dengan sedikit tersenyum karena pada dasarnya aku memang kurang ahli jika diajak untuk bersandiwara.


“hehehe, iyo mas”  
("Hehehe, Iya mas" ) ucapku singkat sambil tersenyum kearah Lukman, yang waktu itu sedang menatap kearah wajahku dengan tatapan yang terlihat seperti orang keheranan.


“waduh koyok e Lukman curiga iki, lek nguasi aku kok aneh ngono se.”
("Waduh,sepertinya Lukman curiga denganku deh, tatapan matanya kok aneh banget sih.") fikirku dalam hati dengan aku yang terus menenangkan diri karena aku takut jika waktu itu, Lukman mengetahui jika aku sedang tidak berkata apa yang telah terjadi sebenarnya.


Namun syukurnya, disitu lagi – lagi  Niko memecahkan suasana yang akhirnya aku bisa lepas dari tatapan mata Lukman yang memang cukup mencurigakan.


“ehemm,,,ehem,,,, ono lanang ngganteng ae ngguya ngguyu,,,wayah e nang aku,,awakmu jahat setengah mati.” 
("Ehem, ehem, giliran ada cowok cakep aja, kamu senyam senyum. Giliran sama aku kamu jahatnya setengah mati") Ucap Niko Keras.
Yo gak e ngono Nik, aku kan mek,,,,
("Ya bukannya gitu Nik, aku kan cuma..") jawabku.
“halah wes wes,,,,rungokno mas Lukman mari lek ngomong disek opo o se Nik. Awakmu iki ngomel ae”
("Halah sudah sudah, dengerin mas Lukman selesai ngomong dulu napa Nik. Kamu ini ngomel mulu") sahut Susan menengahi.


“yo wes tak terusne yo” 
("Oke aku lanjut ya") ucap Lukman Menambahkan.
“iyo mas monggo” 
("Iya mas silahkan") jawab Bagas singkat sembari menggeleng – nggelengkan  kepalanya seolah merasa kesal dengan tingkah Niko yang terkadang juga cukup merepotkan.


“sak arek nggowo lonceng yo, iki lonceng e wes tak siapno, mengko lonceng e di taleni ndek tas ransel e dewe – dewe. Lonceng iki digae tondo lek awak e dewe sek lengkap..heheheheh”
("Tiap orang nanti bawa Lonceng ya, ini aku sudah siapkan loncengnya, nanti loncengnya kalian ikat ditas punggung kalian masing masing. Lonceng ini berguna buat tanda jika kalian masih ada hehehe") Imbuh Lukman sambil mulai memberikan beberapa Lonceng kepada Septian yang kemudian, lonceng tersebut dibagikan kepadaku dan teman teman lainnya.


Hingga akhirnya, setelah semua penjelasan dari Lukman telah selesai. Kamipun merapatkan barisan dan mulai berkumpul sembari berdoa dengan harapan agar pendakian kami waktu itu bisa berjalan dengan tidak adanya satupun halangan yang menghadang. 

Dan Setelah berdoa selesai dilakukan kamipun bersiap memulai pendakian dengan perasaan yang bisa dikatakan sedikit lebih tenang.


“Niko awakmu paling mburi yo, ben aku seng ndek ngarep. Liane ben ndek tengah. Urutane Aku, Septian, Susan, Bagas, Intan, terus awakmu. Oke,,,santai ae mlakune gak usah kesusu. Lek kesusu malah cepet kesel. “
("Niko kamu paling belakang ya, biar aku yang di depan. Nanti, yang lainnya biar ditengah. Urutannya, Aku, Septian, Susan Bagas, Intan dan kamu. Oke, santai saja kita jalan santai tidak usah terburu buru. Kalau buru buru nanti malah cepat lelah") ucap Lukman dengan mulai melangkahkan kaki meninggalkan pos pendaftaran dan menuju kearah jalur pendakian.


Masih sangat teringat jelas di kepalaku, malam itu sekitar pukul 20.00 wib, kami mengawali pendakian kami yang tanpa disangka – sangka , pendakian tersebut memberikan sebuah pengalaman yang tentu saja tidak akan pernah bisa aku lupakan selama lamanya.


Di awal pendakian, semuanya memang nampak biasa saja suara jangkrik yang terus saja berbunyi  seolah menemani sekaligus menandakan jika malam itu aku sudah masuk jauh didalam hutan.

 Dan tidak berhenti di situ saja, selain keadaan yang sangat gelap gulita jalur gunung tersebut ternyata bisa dikatakan cukup sulit sesuai apa yang sudah dikatakan oleh Lukman ketika masih berada di pos pendaftaran.


Gunung ini, memiliki jalur yang mempunyai banyak cabang jalan. Meski nanti ujung – ujungnya tetaplah sama. Namun perlu kalian tau,  pemilihan jalur yang tepat  akan sangat membantu kita dalam mempersingkat waktu pendakian mengingat, cabang – cabang  jalur di gunung tersebut sepertinya hanya berputar putar dan bisa malah memperlambat jika kita tidak benar dalam memutuskan jalur yang akan kita gunakan. 

Tapi asal kalian tau, memilih jalur yang tepat ternyata bukan sebuah perkara yang mudah. Hal itu bisa dikatakan lumrah karena selain jalur yang kurang jelas, waktu pendakianku memang kulakukan diwaktu malam.


Tanaman di sepanjang jalur tersebut memang benar – benar  cukup tinggi dan menghalangi hingga sesekali  Lukmanpun terlihat memotongi rumput tinggi yang tumbuh menghalangi. 

Hal itu ternyata sudah membuktikan  bukan sebuah pilihan yang salah jika waktu itu Septian mengajak orang berpengalaman seperti Lukman berada dirombongan kami.

 Karena setelah melihat jalur pendakian, kemungkinan tersesat rasanya sudah mencapai 85% jika kita tidak mengajak Lukman mengingat tidak ada satupun dari kami yang pernah mendaki kegunung ini.


“eh man, iki dalan e akeh cabang e yo tibak e”
(Eh man, ini jalannya banyak yang bercabang ya ternyata) ucap Septian menanyakan.
“he e Sep, bener. Sakjane mengko ujung e yo podo kok, tapi lek sampek salah milih dalan, seng ono awak e dewe malah munyer – munyer gak teko – teko. Makane awak e dewe kudu tetep konsentrasi. Opo maneh lek bengi – bengi ngene”
(Iya betul sep. Sebenarnya nanti ujungnya tetap sama kok, tapi kalau kita sampai salah milih jalan. yang ada kita malah muter – muter terus gak sampai – sampai. Makanya itu, kita harus benar – benar konsetrasi. Apalagi malam – malam gini) jawab Lukman sambil terlihat membenarkan posisi headlamp yang waktu itu memang terpasang rapi dikepalanya.
“Mas Lukman wes ping piro mrene mas? 
("Mas Lukman sudah berapa kali kesini ?”) Tanya Bagas menambahkan.
“Sering se mas heheheh, kesurupan ndek kene yo tau”
("Sering sih mas hehehe, kesurupan di sinipun aku juga pernah") terang Lukman yang waktu itu sontak membuat keadaan yang sebelumnya cair, seketika menjadi hening.
"Hah kesurupan !." Sahutku kaget.
“iyo, gunung iki sek wingit lo, dadi kudu ati – ati temenan terus ambek njogo sikap yo. Jarene akeh wong seng mrene gak mek kate munggah gunung, tapi nggolek ilmu utowo nggolek liane koyo keris, pusaka lan sak pinunggalane. Terus yo gak mandek ndek kono ae, konon Jarene lek munggah gunung terus jumlah e ganjil mengko mesti ono pendaki lio seng nglengkapi.”
("Iya, gunung ini masih wingit loh, jadi harus benar - benar  hati hati dan jaga sikap ya. katanya, banyak orang yang kesini tidak untuk mendaki, tapi mencari ilmu atau mencari sesuatu seperti keris, pusaka atau semacamnya. Dan tidak berhenti disitu saja, konon katanya, jika mendaki dalam jumlah yang Ganjil, nanti ada pendaki lain yang melengkapi") terang Lukman jelas.


“waduh,,,samean kok gak certio kaet maeng se mas,,,,kan lek sampean cerito kaet maeng pas ndek pos pendaftaran aku iso gak melok, tak ngenteni ndek isor ae”
("Waduh, kamu kok gak cerita diawal tadi sih mas, waktu kita masih dipos pendaftaran. Kan, kalau kamu cerita, aku bisa gak ikut, biar ku tungguin kalian dibawah saja") sahut Niko.
“heheheh tenang ae, kabeh aman kok pokok awak e dewe yo sopan. Ngomong – ngomong pemandangan ndek gunung iki lo yo uapik banget. Roso kesel kebayar lunas wes pasti. “
("Hehehe tenang saja, semuanya baik - baik  saja kok asalkan kalian sopan. Ngomong - ngomong , pemandangan di gunung ini indah banget loh. Pasti rasa lelah kalian terbayar lunas deh") imbuh Lukman menjelaskan.


“jarene iki dinone kurang apik yo, makane aku nggak nguasi ono pendaki liyo seng munggah utowo mudun. Ndek pos pendaftaran yo suepi maeng ndek pos pendaftaran”
("Katanya ini hari kurang baik ya, pantesan dari tadi aku gak lihat ada pendaki lain yang naik atau turun. Di pos pendaftaran tadi suasananya juga sepi") terang Bagas.
“ndek gunung iki pancen jarang wong seng munggah bengi, kecuali wong e wes bener – bener paham ambek jalur e. paling iku sing nggarahi lek bengi dadi sepi. Lagian kan guduk malam minggu utowo dino libur, dadi yo sepi wes. . . . .”
("Digunung ini jarang yang mendaki malam hari kecuali dia sudah benar – benar  faham dengan jalur pendakiannya. Mungkin itulah yang membuat keadaan malam hari selalu sepi. Lagian ini kan bukan malam minggu atau hari libur, jadi ya sepi deh") ucap Lukman menambahkan sembari terus melangkahkan kakinya berjalan pelan.


Namun anehnya, belum selesai aku mendengarkan obrolan teman – temanku  tersebut perasaanku yang sebelumnya tenang  waktu itu perlahan berubah menjadi tidak enak entah kenapa. Jantung yang berdetak kencang ditambah rasa gelisah yang tiba – tiba datang sepertinya sudah menjadi tanda jika waktu itu aku memang sedang dalam keadaan tidak baik - baik  saja.


“Nik, perasaanku kok moro – moro aneh yo?” 
("Nik, perasaanku kok tiba – tiba  aneh ya rasanya?") ucapku.
“Aneh piye sih maksudmu?” 
("Aneh gimana sih maksudnya") sahut Niko yang malam itu berjalan tepat dibelakangku.
“aku rasane kok koyok ono seng nguasi terus ya”
("Aku rasanya seperti ada yang merhatiin deh ") jawabku karena malam itu, aku merasa seperti ada orang yang sedang memperhatikan.
“halah, ono ae awakmu iki, wes fokuso mlaku ae ojo mikir seng aneh – aneh ” ("Halah, ada – ada  saja kamu ini. Sudah, fokus jalan saja, jangan mikir aneh – aneh ") ucap Niko  jelas.


Hingga akhirnya, masih beberapa langkah aku berjalan malam itu pandanganku tiba – tiba  teralihkan dengan rumput yang terletak tidak jauh dari jalur pendakianku, waktu itu terlihat tiba – tiba  bergerak gerak dengan sendirinya.


"Sreekkkk, sreeeekkk"


Mengetahui hal itu, perasaankupun seketika terkejut bukan main ditambah saat itu angin yang sebelumnya berhembus pelan, waktu itu tiba – tiba  berhembus dengan kencang menerpa tubuhku dari arah samping dan belakang. 

Di situ, Lukman yang sebelumnya hanya diam selama pendakian, tiba – tiba  berhenti dan menoleh kearahku dan kearah semua teman –temanku  yang waktu itu berjalan tepat di belakangnya.


“ono opo mas kok mandek?” 
("Ada apa mas, kok berhenti." ) Tanya Septian jelas karena waktu itu dia sepertinya hampir menabrak tubuh Lukman.


“koyok e onok seng aneh” 
("Sepertinya ada yang aneh.") Ucap Lukman tiba – tiba  dengan matanya yang terlihat menoleh ke kanan dan ke kiri yang akupun tau, waktu itu disebelah kanan dan kiri kami tidak ada apapun selain hanya rerumputan yang menjulang tinggi.


“iyo kok koyok e ono seng ngetutne awak e dewe yo”
("Iya kok sepertinya ada yang ngikutin kita ya")sahut Susan tiba – tiba.
“loh,,,awakmu yo ngeroso San? Aku malah wes kaet maeng keroso koyo ono seng nguasi aku terus”
("Loh, kamu juga ngrasa ya san, aku malah sudah dari tadi seperti ada yang merhatiin")  imbuhku karena waktu itu ternyata tidak hanya aku yang merasakan semua itu.


Mendengar hal itu, Lukman tiba – tiba menatap kearahku sejenak dengan tatapan anehnya kemudian diapun mengajak kami untuk berhenti sejenak.
“awak e dewe mandek dilluk ya,,tak pastekno disek sopo ngerti memang onok rombongan pendaki lione sing gak adoh tekan awak e dewe ndek mburi”
("Kita berhenti sebentar ya, biar kupastikan dulu, siapa tau memang ada rombongan pendaki lain yang tidak jauh ada dibelakang kita") terang Lukman sambil terlihat meletakkan tas punggungnya di atas tanah.


Di situ, karena pimpinan rombongan mengajak untuk beistirahat, akhirnya kami semuapun satu persatu mulai meletakkan barang bawaan kami meskipun saat itu kami belum merasakan lelah sama sekali.


saiki awak e dewe meneng disek ae rek yo, dirungokne disek ono rombongan lio opo enggak, lek pancen onok yo mending di enteni wae, munggah bareng – bareng ben tambah rame”
("Sekarang kita diam dulu ya teman teman, kita dengarkan ada rombongan lain apa enggak, kalau memang ada mending kita tunggu saja, kita naik bareng, biar semakin ramai") ucap Lukman jelas.
Tapi sayangnya, malam itu setelah kami diam hingga sekitar 20 menit lamanya, kami tidak sekalipun mendengar suara rombongan pendaki lain yang terdengar mendekat. 

Malam itu, yang terdengar hanyalah suara angin yang sesekali menerpa ditambah suara burung dan jangkrik yang terdengar semakin lama semakin keras saja seolah olah juga memperingatkan jika pendakian kami waktu itu memang tidak seharusnya kami lakukan.


"Dinone seng gak penak iki mas, mangkane aku maeng ngajak samean, soal e aku wes kroso lek munggah bengi iki bakal akeh gangguan” 
(ini mungkin karena harinya yang memang sedang gak baik mas, aku sudah merasa kok kalau kita naik malam ini pasti banyak gangguan)" Ucap Septian serius dengan dia yang terlihat membenarkan posisi sepatunya.
"Masio galengan tahun, lek awak e gak nganggu sakjane yo gakpopo sep”
( meskipun galengan tahun, kalau kita gak ganggu seharusnya aman – aman saja Sep) jawab lukman singkat.
"Galengan tahun iki opo se genah e aku kok gak paham blas ( galengan tahun ini apa sih sebenarnya, aku kok tidak faham sama sekali)" sahut Niko keras yang memang saat itu posisi dia duduk lumayan jauh dari posisi Lukman dan septian yang waktu itu menerangkan.


"lek jare wong jowo, galengan tahun iku dino gak apik lek digae lapo – lapo. Lek teknis ngitung e aku kurang paham pokok sak eruhku, lek Galengan tahun iku dino gak apik,,, hubungane mbek balak, musibah lan sak pinunggalane. La dino iki maeng iku pas Galengan tahun lek jare wong tuwek. Mangkane sakjane gak oleh metu – metu. Lek ncen pancet metu yo kudu ati – ati.” 
(Kalau dalam penanggalan atau kalender Jawa, Galengan tahun itu adalah hari yang tidak baik. Kalau bagaimana cara perhitungan dalam menentukan galengan tahun tersebut, aku masih kurang faham. Yang jelas setahuku, Kalau galengan tahun adalah hari yang kurang baik yang berhubungan dengan Balak, Musibah dan sebagainya. Nah, hari ini kata orang tua adalah pas Galengan tahun. Makanya seharusnya kita tidak dianjurkan untuk bepergian atau melakukan hal yang besar. Kalau memang harus tetap keluar, ya dengan catatan harus hati hati)." Terang Septian jelas.


"Bener mas, insyallah kabeh aman aman wae pokok kudu tetep ngati ngati ( benar mas, Insyallah, semuanya akan aman aman saja asal tetap hati hati)." imbuh Lukman menambahkan sembari memberikan tanda bahwa semuanya sepertinya akan tetap dalam keadaan baik - baik  saja.


Dan puncaknya setelah obrolan kami waktu itu, tiba – tiba  Bagas yang sebelumnya hanya diam mendengarkan tiba – tiba  mengejutkan kami semua dengan suaranya.


"heh heh. sek sek. koyok e ono abane kloneng mlaku koyok gowek e awak e. sek rungokno krungu ta gak rek. (heh. heh, sebentar. sepertinya ada suara lonceng yang sama seperti yang kita bawa, coba deh dengarkan, kalian dengar apa gak)" ucap bagas mengagetkan seraya memberi tanda jika dia sedang mendengarkan sesuatu.


"Loh, iyo e aku yo krungu” 
( loh, iya, aku juga denger) sahutku karena saat itu, aku juga mendengarkan suara lonceng yang sedang Bagas dengarkan.
Dan tidak hanya itu, suara lonceng tersebut sepertinya kudengarkan semakin mendekat dan lebih dekat lagi.


"Klining, klining, klining, klining "


Mendengar hal itu, akupun seketika terkejut bukan main dengan tanganku yang tidak terasa sudah memegangi tangan Niko yang memang saat itu, dia berada paling dekat denganku.

Tapi anehnya, bukannya mendapat dukungan, malam itu Lukman dan teman – teman  yang lain malah tidak mengaku mendengar suara tersebut. Suara tersebut, sepertinya hanya terdengar olehku dan Bagas.


"Suoro opo maneh, kumat arek iki ngelindur e” 
(suara apa lagi, tuh kan kambuh lagi ngelindurnya)" ucap Niko jelas sambil mengatakan jika dia tidak mendengar suara lonceng yang sudah aku dengarkan tersebut.
"Intan gak nglindur Nik, aku yo krungu e.” 
(Intan tidak ngelantur Nik, soalnya aku juga denger e). Terang Bagas menguatkan, jika malam itu aku benar - benar  mendengar suara Lonceng berbunyi perlahan.


"Wes cukup, ayo lanjut wae, rausah direken yo, iku guduk suarane kloneng e arek munggah.” 
(sudah sudah, cukup. Ayo kita lanjut saja, gak usah dihiraukan ya. Itu bukan suara lonceng rombongan pendaki lain)." Sahut Lukman tiba – tiba  dengan dia yang terlihat berdiri dan mulai mengangkat tas punggungnya.


Dan tidak hanya itu, malam itu Lukman juga mengarahkan untuk kita agar merubah posisi pendakian. Hal itu dilakukan, karena sepertinya mulai khawatir dengan pendakian yang kami lakukan.


"Septian, kowe ning ngarep yo, aku tak ning mburi dewe wae. Mlaku alon alon ae lek bingung mbengok o. Mas bagas tulung samean ewangi lampune yo mas cek jelas jalur e.”
(Septian, kamu sekarang jalan diidepan ya, biar aku yang berada dipaling belakang saja. Nanti jalannya pelan pelan saja, kalau kamu bingung, kamu bisa teriak saja, biar aku bisa bantu dari belakang. Oh iya, mas Bagas, tolong bantuin Septian dengan lampumu ya biar semakin jelas jalur pendakiannya.)" Terang Lukman dengan dia yang mulai berjalan kebarisan paling belakang tepat dibelakang Niko.


Kini, posisi pendakian kami akhirnya sudah berubah. Lukman yang sebelumnya berada dibarisan paling depan, malam itu berganti menjadi di paling belakang dengan alasan mungkin Lukman ingin agar rombongan kita benar - benar  bisa aman. 

Dan singkat cerita, akhirnya malam itu kamipun melanjutkan pendakian dengan sesekali aku yang masih mendengarkan suara lonceng yang terdengar perlahan ditambah dengan perasaan yang memang kurang nyaman karena masih merasa diawasi oleh sesuatu dari arah samping dan belakang.


"Maeng wes dungo a mbak, kok rupane kabeh iki ono hubungane mbek samean.” 
(Tadi kamu sudah berdoa apa belum mbak, kok sepertinya semua ini ada hubungannya denganmu)." Bisik Lukman kepadaku karena waktu itu, kini dia berada dibelakangku.
Mendengar hal itu, Niko yang sepertinya juga mendengar apa yang Lukman katakan kepadaku, waktu itu diapun tiba – tiba  menjawab dengan jawaban yang kurang mengenakkan.


"Loh, maksudmu pie bro. Kok koyok e gak penak”
(loh, maksudnya gimana mas, kok kedengaranya kurang enak)." Sahut Niko keras.
Karena mendengar suara Niko yang terdengar sedikit kencang, akhirnya rombonganpun kembali berhenti dan pandanganpun seketika mengarah kearah Niko dan Lukman yang memang berada dibarisan belakang.


"Ono opo maneh se Nik, wes to, rasah rame ae”
(Apalagi sih Nik, sudah dong, jangan ribut terus)". Ucap Septian keras.


Mendengar hal itu, suasana pendakian pun tiba – tiba kembali hening seketika dan menjadi kurang mengenakkan ditambah, kini Niko juga terlihat semakin tidak nyaman dengan keberadaan Lukman yang ada di dalam rombongan.


Dan dengan tetap keadaan seperti itu, akhirnya kamipun melanjutkan pendakian dengan waktu yang sudah semakin malam saja. 

Langkah kaki yang sebelumnya berjalan dengan penuh semangat, waktu itu perlahan mulai semakin pelan dengan sendirinya. 

Dan tidak berhenti di situ saja, suara gemuruh yang kian keras ditambah angin malam yang semakin kencang, sudah menjadi sebuah tanda jika sepertinya dimalam itu akan turun hujan yang cukup deras. Dan singkat cerita setelah berjalan cukup lama, akupun mulai merasakan tenagaku sudah semakin berkurang saja.


"Sek adoh ta iki mas ?” 
(Masih jauh ta ini mas ?) Tanyaku karena malam itu, aku tiba – tiba sudah merasa kelelahan.


"Opo'o tan, wes kesel ta” 
(Kenapa tan, kamu sudah capek ta ?)" Sahut Niko sambil berjalan cepat mendekatiku.


"Iyo e, kok dungaren yo Nik, aku sek mlaku diluk wes kesel. Biasae gak tau aku ngroso kesel koyok ngene. Awakmu yo eroh dewe se.” 
(Iya e Nik, kok tumben ya aku sudah kelelahan. Padahal kan kita masih jalan belum terlalu lama. Biasanya aku gak pernah kelelahan seperti ini loh)" Jawabku jelas.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya PART 4 "PENDAKI DATANG BULAN" UNCUT
5
0
Benar, dengan adanya Lukman didalam rombongan ini, bisa dikatakan sangat membantu proses Pendakian, meskipun sprtinya, Lukmanlah yang pertama kali merasa jika rombongannya sedang dalam bahaya.Part 4 Perjalanan menuju kematian .   
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan