
Cinta Pertama yang tak pernah berakhir, terceritakan dalam kisah ini.
PELUKIS SATU WAJAH
POV Indah
"Good morning, Indah, come in to my officeroom now, please!" Suara Mr. David Scherpen terdengar dari loudspeaker ruang kerja kami. "Yes, Mr," jawabku, meski ia jelas tidak mendengar.
Aku memasuki ruangan Mr. Scherpen, demikian kami biasa memanggilnya. Pria berkebangsaan Belanda, Direktur NGO tempatku bekerja.
"Haloo.. are you fine, Indah?" Sapanya ramah.
"Hai, Mr. , sure, i'm fine, thanks.." jawabku sopan.
"Silakan duduk" lanjutnya sambil menunjuk kursi di depan meja kerjanya. Aku patuh.
"Indah, anda lahir di Tanjungkarang, Provinsi Lampung. That's right?"
" Ya, Mr. "
" Panggil saya "bapak", saya lebih suka disebut bapak oleh kamu" katanya sambil tertawa. Aku tersenyum.
"Baik, Pak," jawabku.
"Oke, siip, " Mr. Scherpen mengacungkan jempol dengan gayanya yang lucu.
"Selama ini kamu sudah bekerja dengan baik disini, 5 orang pimpinan yang pernah bergantian bertugas disini mengatakan hal yang sama, dan mereka benar. Saya sudah mengamati langsung dirimu, karaktermu, pekerjaanmu. Sekarang kami benar-benar butuh bantuanmu. Maukah kamu membantu?" Mr. Scherpen berbicara sangat lancar dengan aksen Belandanya.
"Jika saya bisa membantu akan saya bantu, pak. Apa itu?"
"Tolong pimpin kantor cabang di Provinsi Lampung. Kamu pasti tahu 2 hari lalu Pak Handoko sudah meninggal." Dia menatapku, wajahnya serius.
"Kenapa harus saya, pak?" Tanyaku. Ada getar terkejut pada suaraku. Jujur, aku memang terkejut.
"Karena kamu orang yang tepat. Dan bukankah sudah lama kamu tidak mengunjungi tanah kelahiranmu?" Ujar Mr. Scherpen yakin.
"Saya..." Aku gugup
"Jangan menolak" tegasnya. "Besok kamu mulai bekerja disana. Ini surat penugasannya, nona Indah Lestari." Mr. Scherpen menyodorkan map file berwarna biru.
Aku terdiam. Tak ada negosiasi. Aku ingin protes, tapi aku tahu akan percuma.
"Baik, pak. Akan saya laksanakan. Terimakasih atas kepercayaan yang diberikan." Jawabku formal.
"Terimakasih, Indah. Kami percaya padamu. Selamat jalan, kami akan merindukanmu." Mr. Scherpen tersenyum, menjabat tanganku yang terasa dingin.
Aku keluar dari ruangan Mr. Scherpen, perasaanku campur aduk.
Mestinya aku berteriak riang, tertawa gembira, atau minimal tersenyum bahagia. Siapa yang tidak senang pulang ke kampung halaman? Tapi tidak demikian denganku. Ada luka lama yang kurasa kembali robek dihatiku. Pedih, sakit. Meski tak sedalam 13 tahun lalu.
Aku membereskan meja kerja, penugasan ini terlalu mendadak. Tapi bukankah memang aku tak perlu persiapan banyak?
Nadya, sekretaris kantor menghampiriku.
"Bu, maaf, ada tiket pesawat untuk penerbangan sore ini, tapi saya belum Carikan penginapan sementara untuk ibu." Paparnya.
"Oh, gak apa apa. Nanti saya cari penginapan sendiri. Kalau gak salah disana juga ada mess, saya bisa menginap di mess kantor dulu," jawabku. Nadya tak perlu tahu aku punya rumah yang damai dan kamar yang hangat di Lampung.
" Baik, Bu. "
" Oh ya, Nadya, jangan pesan tiket pesawat, tolong pesan tiket DAMRI saja, yang berangkat malam."
"Tiket DAMRI? Gapapa, Bu?" Nadya tampak heran.
"Gapapa, saya ingin menikmati perjalanan malam," jawabku.
Aku tidak bohong. Aku memang ingin menikmati perjalanan. Meski sesungguhnya lebih tepat jika dikatakan ingin mengulur waktu perjalanan.
Setelah beres urusan administratif di kantor aku pulang ke rumah, menyiapkan tas dan memasukkan pakaian seperlunya. Tak perlu membawa banyak, pikirku. Anggap saja ini perjalanan dinas biasa, 3 atau 5 hari.
Menunggu malam, pikiranku berkecamuk. 13 tahun, inikah akhir dari pelarianku? 13 tahun aku menghindari kota kelahiranku. Tak perduli berita apa pun yang kudengar dari sana, aku tak pernah pulang. Jantungku berdebar lebih kencang. Kuhidupkan televisi untuk mengalihkan perhatian, tetap aku tak fokus. Kuraih HP, berharap ada berita menarik atau chat lucu di grup, sepi.
Terbayang rumah orangtuaku, kamarku, kakak dan adikku. Bagaimana paras mereka sekarang? Masih seperti dulu atau telah berubah dimakan usia? Tiba-tiba aku merasa rindu, rindu yang dalam sekali. Menyesakkan dada, mengalirkan bulir air mata. Aku terisak tak tertahan.
Lalu ribuan slide berkelebat di kepalaku, berkejaran menayangkan berbagai peristiwa. Sedih mengenaskan, bahagia mencengangkan, semua mendadak hadir dalam benak, memaksa untuk disaksikan setelah sekian lama tersimpan rapat di alam bawah sadar.
=OOO=
Hari pertama tahun pelajaran baru, aku masuk sekolah baru. Pagi ini rute perjalanan sekolahku berbeda dengan rute yang telah kutempuh selama 6 tahun. Ya, hari ini seragamku juga berubah. Bukan putih merah, sudah putih biru. Aku mematut diri di depan kaca, merapihkan ikatan rambutku, melepas, mengikatnya lagi, memantas-mantas penampilan. Seperti anak lain aku juga ingin tampil berkesan di hari pertama masuk sekolah.Setelah berpamitan pada ibu, aku keluar rumah. Pukul 6.30, perlu waktu 10-15 menit untuk berjalan kaki menuju sekolah. Cukup dekat.
Keluar halaman aku berpapasan dengan seorang anak lelaki, berseragam yang sama barunya denganku. Dia menatapku sekilas, memperlambat langkahnya. Aku berjalan mendahuluinya. Aku memilih jalan kampung menuju sekolah, melewati sisi perbukitan kecil, dari sini aku bisa menikmati sinar matahari pagi dan menghirup aroma tanaman semak yang tumbuh liar di sisi kanan kiri jalan. Sesekali aku menyentuhkan jemariku pada sisa embun yang menempel di dedaunan, menyentuh tumbuhan putri malu dengan ujung sepatuku, serta menikmati kicau burung gereja yang terbang dari satu pohon ke pohon lain. Anak lelaki tadi masih berjalan di belakangku. Kali ini aku sengaja memperlambat langkah, agar ia bisa mendahuluiku, aku masih ingin menikmati aktifitas jalan kakiku.
Beberapa detik kemudian dia sudah berposisi di depanku, aku mengamatinya. Posturnya tinggi, tubuhnya sedang. Berambut ikal, hidung mancung, kulit kuning, dan heeiii... bulu matanya lentik sekali. Alih-alih berjalan cepat, dia malah melakukan apa yang kulakukan tadi. Memicingkan matanya ke arah matahari, menyentuhkan jari ke tumbuhan semak, dan "Ooww!" tiba-tiba dia berteriak pelan, ujung jarinya terkena duri. Rupanya dia menyentuh semak yang berduri. Aku tersenyum, tiba-tiba dia menoleh, aku mengalihkan pandang berpura-pura tak memperhatikan. Kami terus berjalan menyebrangi jembatan yang terbuat dari batang pohon kelapa, memotong sungai kecil, 40 meter kemudian kami sampai di gerbang samping sekolah.
Suasana sudah ramai. Siswa kelas 2 dan 3 saling melepas kangen setelah hampir sebulan libur semester genap, suara mereka penuh semangat, canda tawa, teriak dan gelak mengiringi obrolan. Sementara murid kelas 1 cenderung lebih kalem, maklum anak baru, selain belum banyak kenal juga masih asing dengan gedung sekolah baru.
Bel berbunyi, guru mengumumkan melalui pengeras suara agar seluruh siswa berbaris di lapangan sekolah untuk melaksanakan upacara. Siswa baru diminta melihat kode kelas yang tertera dalam lembar daftar ulang dan berbaris sesuai kode tersebut. Aku berbaris dalam kelompok D. Aku melihat ke barisan lain, anak lelaki yang kutemui di jalan tadi berada dalam barisan kelompok A. Tampaknya dia juga tak banyak teman yang kenal, sama seperti aku. Aku berasal dari Madrasah Ibtidaiyah, temanku lebih banyak yang melanjutkan ke pondok pesantren atau Madrasah Tsanawiyah sedangkan aku memilih sekolah umum. Praktis aku sendirian di hari pertama ini. Selesai upacara kami memasuki ruang kelas yang telah ditentukan. Kegiatan hari ini masih berupa pengenalan sekolah bagi siswa baru, aku mulai kenal beberapa teman yang duduk berdekatan.
Aku pulang melalui jalan yang sama saat pergi, kali ini jalan lebih ramai, banyak kakak kelas dan siswa baru kelas lain yang lewat jalan ini juga. Beberapa kakak kelas adalah tetanggaku, kami jalan bersama. Kulihat anak lelaki tadi jalan sendirian. Setiba di depan rumahku dia berhenti melangkah.
"Hei..kamu kelas apa?" tanyanya. Aku menoleh ke belakang, tak ada orang lain. Berarti dia bertanya padaku.
"Kelas D," jawabku
"Besok bareng ya?" Katanya. Aku mengangguk.
Saat aku keluar rumah esok paginya dia sudah berdiri di jalan depan rumahku.
"Namamu siapa?" dia membuka percakapan
"Indah," jawabku
"Aku Mierza, Ammar Mierza." Dia menyebutkan namanya. Aku tersenyum. Wajahnya terlihat riang.
Kami menempuh jalan yang sama seperti kemarin.
"Indah," tiba-tiba dia berbicara setelah kami terdiam selama berjalan.
"Ya," aku menyahut.
"Aku bukan memanggilmu," katanya, terbersit seulas senyum menggoda di wajahnya.
Aku menatapnya penuh tanya.
"Aku sedang mengatakan sinar matahari dan semak di kaki bukit ini indah." Dia menjelaskan.
Jujur saja, aku agak dongkol.
"Iya, pemandangan disini memang ammar indah," aku balas menggodanya.
Kami pun tertawa bersama. Tak ada obrolan lagi hingga sampai ke sekolah.
Sejak itu kami jalan kaki bersama pergi dan pulang sekolah.
"Indah,"
Aku diam saja.
"Hei, aku bicara padamu!"
"Kukira kau sedang mengomentari pemandangan," jawabku
"Kalau begitu aku memanggilmu Indles saja ya,"
Aku menatap heran.
"Namamu kan Indah Lestari, aku panggil Indles saja, supaya bisa dibedakan kapan aku memanggilmu dan kapan aku mengomentari pemandangan," katanya.
"Terserah kamu lah," jawabku.
Dia tertawa senang, merasa usulnya diterima.
"Indles, kalau bahasa Inggris ditulis Endless , artinya tak berakhir, cocok dengan namamu, lestari" Mierza membuat analisis sendiri. "Benarkan?" Tanyanya. Aku cuma tertawa.
Sejak itu aku punya panggilan baru, "Indles". Tapi curangnya hanya Mierza yang boleh menyebut nama itu, teman yang lain tidak boleh. Mierza protes jika ada teman kami yang ikut memanggilku Indles. Menurutnya nama itu hasil penemuannya, orang lain tidak boleh menggunakan tanpa izin. Ha..ha..ha.. Aku dan teman-teman biasanya akan tertawa saat Mierza menjelaskan keberatannya. Akhirnya mereka sering menyebut nama kami "Ammar Indah" atau "Indah Ammar".
=000=
Hari-hari berlalu, persahabatan kami semakin dekat. Aku tak tahu sejak kapan tepatnya saat aku merasa sepi jika Mierza tidak ke sekolah, agak cemburu jika Mierza bergaul akrab dengan teman perempuan lain, berdebar-debar saat kami bersentuhan meski tak sengaja, merasa waktu terlalu cepat berlalu saat bersamanya. Meskipun aku tak pernah mengatakan ini kepada siapa-siapa.
Kelas 2 dan 3 kami sekelas, berangkat dan pulang sekolah bersama setiap hari, mengerjakan tugas sekolah bersama, lari pagi bersama, piknik bersama, tidak ada yang kami lewatkan tanpa lainnya ikut serta. Apalagi setelah kami tahu bahwa ayah kami ternyata berteman baik. Mereka jemaah pengajian di masjid yang sama dan sering terlibat diskusi di rumah. Kadang di rumahku, kadang di rumah Mierza.
Seperti ayahnya, Mierza sering membawakan kue-kue, permen coklat, atau buah, saat ke rumahku untuk mengerjakan PR atau sekedar menjemput untuk lari pagi. Mierza anak satu-satunya keluarga Pak El-Shiraj. Saat masuk sekolah dulu keluarga mereka baru sebulan pindah ke kota Bandarlampung, itu sebabnya Mierza belum punya teman. Bu El-Shiraj, seorang perempuan cantik berbulu mata lentik, Mierza mewarisi bulu matanya. Meski terlihat agak sombong Bu El-Shiraj cukup baik hati. Jika kami belajar bersama di rumah Mierza, Bu El-Shiraj atau Ummi sering memintaku membantunya menghidangkan makanan kecil untuk teman-teman. Beliau juga sering mengirimkan masakan untuk keluarga kami.
Suatu hari Ummi (Ibunya Mierza) mengeluarkan sekotak aksesoris dan memintaku memilih beberapa yang Kusuka.
"Saya tidak biasa pakai aksesoris, ummi," tolakku halus. Jujur, aku memang tak pernah memakai pernak pernik perhiasan kecuali anting kecil yang seingatku sudah kupakai sejak aku belum masuk SD.
"Untuk dipakai sekali-sekali, ke pesta atau kemana. Anak perempuan tambah cantik kalau pakai aksesoris," katanya.
Mierza tertawa.
"Ummi, percuma kasih dia aksesoris, dia gak pernah pakai aksesoris."
"Ya untuk sesekali kalau kondangan" kata Ummi berkeras
"Indles gak pernah kondangan, dia maunya dikondangin," lagi-lagi Mierza terbahak.
"Kamu ini, ngejek aja," kata Ummi pura-pura marah.
Setelah tak berhasil membujukku untuk memilih sendiri, akhirnya ummi memilihkan beberapa bentuk cincin dan gelang. "Ini cocok untuk jari dan tangan Indah yang kecil," katanya. Aku mengucapkan terimakasih.
Saat pamit hendak pulang, Mierza mengambil sepedanya.
"Yuk, aku antar!"
"Hah? Ngapain?" Aku bengong. Rumah kami cuma berjarak 200an meter.
"Nanti kamu dirampok orang, bawa perhiasan banyak," katanya sambil tergelak.
Aku cemberut, merasa diejek.
"Mierza, sebentar lagi Ashar," teriak ummi mengingatkan.
"Cuma sebentar, ummi," Mierza ikut berteriak.
"Aku bisa pulang sendiri," kataku.
"Di rumah yang besar itu sekarang ada anjing galaknya, kadang-kadang ikatannya dilepas," kata Mierza menakut-nakuti. Tentu saja aku tak percaya.
"Anjing itu larinya lebih cepat dari kamu, kamu gak akan bisa selamat," kata Mierza lagi.
"Biar saja," aku sok berani.
"Kalau sampai digigit kamu akan terkena rabies, aku tak mau lagi berteman denganmu," katanya
"Ammaaaar!!" suara ummi terdengar lagi
"Labbaik, ummi," jawab Mierza
Aku cepat-cepat berlari pulang.
Tak ada anjing galak di rumah besar itu. Dasar pembual, rutukku gemas.
=000=
Jam 21.00 aku tiba di pool bus. Menunjukkan tiket pada petugas, masuk, menempati kursi sesuai nomor pemesanan. Masih ada waktu 1 jam sebelum bus berangkat. Aku memilih menunggu di dalam bus sambil mengatur posisi duduk nyaman. Pikiranku kembali mengembara ke suatu sore ketika aku tanpa sengaja mendengar perdebatan Abah dan Ummi Mierza.
"Mereka masih anak-anak, bah. Cuma berteman apa salahnya." Suara Ummi Mierza terdengar kesal. Saat itu aku bermaksud mengantarkan tugas harian Mierza karena hari ini dia sakit.
"Mereka sudah akhil baligh, ummi. Bahaya kalau dibiarkan terus. Kalau keterusan saling suka bagaimana? Nanti akan lebih sakit hati lagi."
"Mereka cuma berteman,"
"Abah tidak percaya. Ammar tidak punya teman dekat lain, bahkan yang laki-laki pun tidak dekat. Kemana-mana mereka bersama."
"Abah tak suka?"
"Bukan tak suka. Tapi mencegah mereka berdua sakit hati lebih lama. Toh bagaimana pun mereka tak mungkin bisa bersama. Ammar punya jodoh sendiri."
Seperti ada yang memukul dadaku dengan keras. Sakit. Mereka sedang membicarakan aku dan Mierza.
"Abah akan mengurus proses masuk ke pesantren, begitu lulus Ammar bisa langsung berangkat." Aku masih mendengar suara Pak El-Shiraj, Abah Mierza. Tak ada suara lagi.
Aku melangkah mundur, berbalik arah dan pulang. Urung mengantarkan tugas Mierza. Ada yang sesak didadaku. Sesalkah? Apa yang kusesalkan? Sakit kah? Apa hak ku merasa sakit? Kecewakah? Untuk hal apa aku kecewa?
Semalaman aku tak bisa tidur.
Aku tak pernah menceritakan apa yang kudengar sore itu. Tapi aku pun merasa Mierza mulai berubah. Lebih banyak diam. Keriangan yang biasa ditunjukkan menguap entah kemana. Hingga tiba saat ujian sekolah, kami tak lagi belajar bersama. Mierza tidak ke rumahku, aku pun tidak ke rumahnya.
Hari terakhir ujian, seperti biasa kami pulang bersama. Meski sebulan terakhir tak banyak lagi yang kami bicarakan dalam perjalanan. Kami lebih sering berada dalam pikiran masing-masing.
"Kita lewat sana yuk!" Mierza bersuara, menunjuk ke arah jalan setapak menuju atas bukit. Aku mengikuti langkahnya. Jalan agak terjal, karena ini jalan rintisan penambang batu yang memecah batu di sisi bukit. Mierza mengulurkan tangannya, membantuku berjalan naik. Kami bergandengan sampai ke atas. Aku merasakan kedekatan yang nyaman, secara fisik dan psikis.
Entah kenapa aku ingin menangis, terngiang percakapan Abah dan Ummi Mierza beberapa minggu lalu. Sekuat tenaga kutahan air mata. Kuarahkan pandang ke segenap arah. Pemandangan kota kami terlihat indah dari sini, wilayah perbukitan disisi timur dan utara, pusat kota di sisi barat, laut dan pulau di sisi selatan. Air laut bercahaya keperakan dibawah sinar matahari, terlihat kapal barang dan perahu nelayan di kejauhan. Padang ilalang dibawah bukit seperti karpet bulu, bunga-bunganya meliuk lembut dihembus angin.
Mierza merangkul bahuku, meski terkejut aku tak mengelak. Agak lama kami berdiam. Aku sibuk menenangkan perasaanku. Ada rasa nyaman yang asing sekaligus takut, menyeruak bersamaan.
"Aku tak tahu kau akan menikah dengan siapa nanti, entah lelaki mana yang akan menjadi suami mu. Tapi aku ingin menjadi lelaki pertama yang menciummu." Mierza berkata pelan, lalu kurasakan hangat nafasnya menyentuh pipiku. Sekelebat. Aku merasa wajahku menghangat.
"Jangan marah ya," Mierza menggenggam tanganku, suaranya bergetar. Mungkin takut, mungkin malu, mungkin perasaan kami saat ini sama. Aku tak berani menatap wajahnya. Beberapa menit berlalu, kami bergenggaman tangan dalam diam. Hanya ada kesiur angin dan gemerisik ilalang di sekeliling tempat kami berdiri.
Kami turun melalui jalan di sisi lain bukit, agak memutar menuju jalan pulang. Lalu berpisah di simpang jalan menuju rumah masing-masing, Mierza tidak lewat depan rumahku.
Hari itu menjadi hari terakhir aku bertemu Mierza.
Air mataku mengalir deras. Cepat kuambil tissue. Aku tahu penumpang disebelahku memperhatikan. Aku pura-pura sibuk membuka HP.
=000=
Bus memasuki Pelabuhan Merak - Banten, langsung menuju kapal roro. Serupa air yang berkecipak di dinding bawah kapal, isi dadaku pun tak beraturan.
Tigabelas tahun lalu aku meninggalkan kota kelahiranku. Aku sengaja memilih perguruan tinggi di Jawa untuk melanjutkan kuliah. Untunglah ayah mengizinkan, alasanku cukup kuat, aku diterima di PTN ternama tanpa tes. Tekadku sudah bulat waktu itu, bahkan jika ayah tak setuju aku akan mencari beasiswa dan membiayai sendiri kuliahku. Aku ingin meninggalkan semuanya, setelah aku benar-benar merasa tak ada yang perlu kunantikan disini.
Aku mendengar sendiri suatu malam Abah Mierza bicara pada ayahku bahwa baginya menjaga keaslian keturunan itu sangat penting. Saat itu ada tetangga yang bercerita bahwa kucing anggora nya hamil dengan kucing kampung, Abah Mierza menyarankan sebaiknya anak kucing itu dibuang saja jika lahir nanti. Mungkin mereka memang sedang membicarakan masalah kucing, tapi aku merasa pembicaraan tidak hanya sekedar itu.
Rupanya ayahku menangkap maksud pembicaraan Abah Mierza malam itu. Apalagi sebelumnya beliau bertanya padaku apakah aku pernah dihubungi oleh Mierza dan kujawab "tidak". Lalu dia bercerita bahwa dalam sebulan Mierza hanya boleh mengirimkan satu buah surat dan selama ini setiap bulan surat itu ditujukan pada Abah dan Ummi nya. Dia juga mengutarakan rencana pengiriman Mierza ke Kairo setelah pendidikannya di pesantren selesai. Jika aku saja paham, tentu ayahku lebih paham maksud pembicaraannya. Saat itu aku semester pertama di kelas 3 SMA.
Bulan Februari tahun itu aku menerima paket dari nama dan alamat yang tak ku kenal. Saat ku buka isinya sebuah lukisan, tergambar wajahku sedang tersenyum dengan rambut tergerai, berlatar belakang langit diatas bukit. Secarik kertas dalam amplop bertulis:
"Indles...
Hanya butuh 10 menit memejamkan mata, lukisan ini menjadi ada.
Semoga kamu suka." AME. (kubaca: Ammar Mierza El-Shiraj)
Aku membacanya berulang-ulang. Berharap ada rangkaian kalimat lain. Tapi tak ada. Aku menelan ludah yang terasa pahit. Meski ada buncah bahagia didadaku, berbunga-bunga hatiku, menerima 14 kata yang dikirimkan Mierza tapi jauh didasar hari aku tahu, aku tak boleh berharap lebih banyak. Aku harus mencabut tunas-tunas harap setiap kali mereka tumbuh. Harus menikam berulang-ulang jika rindu itu datang. Ah, aku telah menjadi pecinta yang kejam.
=000=
Gemerlap lampu pelabuhan Bakauheni - Lampung telah terlihat. Selain ombak di bawah kapal, didadaku juga ada yang berdebur keras. Lampung, aku pulang. Ayah, ibu, Kak Indra, Ilham, aku datang. Hatiku berbisik riuh. Betapa aku benar-benar merindukan mereka selama ini, tapi keegoisanku mengalahkan rasa cinta dan sayang mereka. Maafkan aku...
Roda bus berputar cepat di jalan arteri yang sepi. Pukul 02.00 dini hari. Penumpang bus kembali terlelap dalam mimpi. Aku tetap terjaga dengan seluruh rasa yang bergelora. Mereka-reka kalimat apa yang akan kuucapkan atau ekspresi bagaimana yang akan kutampilkan sesampainya di rumah nanti.
Pukul 04.00 Bus mulai memasuki kota Bandarlampung, jembatan Tarahan, PT Bukit Asam , Pelabuhan Panjang. Kondektur bus pun mulai menyebutkan nama-nama tempat penumpang biasa turun, cara membangunkan penumpang yang cukup halus.
"Panjang ada? Sukaraja? Garuntang? Pahoman? Batiqa? Kemuning? Enggal?"
Beberapa penumpang terdengar menyahut dengan menyebutkan ulang nama tempat yang disebut kondektur tadi. Aku sendiri bingung harus menyebutkan tempat yang mana, seingatku dulu nama satelit ada, tapi kondektur tadi tidak menyebutkan.
Ketika kondektur melintas aku bertanya,
"Pak, kalau satelit Pahoman nama tempat turunnya apa ya?"
"Satelit Pahoman? Ooh.. Batiqa, mbak. Ada hotel Batiqa disana, dekat pom bensin kan?"
" O gitu.. makasih, pak."
"Sama-sama," jawabnya.
Sampai di tempat yang disebutkan aku turun. Mengamati sekeliling aku terpana. Betapa jauh berbeda kota ini sekarang. Simpang empat lampu merah masih ada, tapi diatas jalan membentang flyover. Aku menyebrang jalan, samar terbaca "Puskesmas Rawat Inap Satelit", aku di tempat yang benar. Hmmm.. aku tersenyum sendiri. Kuputuskan berjalan kaki. Sholawat tarhim sudah terdengar dari arah masjid, berarti sebentar lagi subuh, jalan tidak terlalu sepi pikirku.
Menyebrangi rel kereta api, kulihat seorang penjaga pintu perlintasan keluar dari gardu kecilnya.
"Kemana, mbak?" Sapanya. Mungkin dia heran melihat seorang perempuan berjalan sendiri di pagi buta.
"Pulang," jawabku
"Masih jauh?"
"Itu diatas," aku menunjuk kearah atas seingatku disana ada sebuah gedung sekolah.
" Oo.. bambu."
"Iya, pak. Mari,"
"Mari, mba."
Bertemu jalan menanjak aku baru paham kata "bambu" yang disebut penjaga tadi. Ada taman dengan tugu bambu disisi kiri jalan. Padahal aku tadi sempat mencari rumpun bambu di sebelah kanan jalan, di tepi sungai kecil, tempat aku biasa menunggu angkutan kota saat SMA. Rumpun bambu itu sudah tak ada.
Sepuluh menit kemudian aku sampai di depan rumah. Masih seperti dulu. Rumah sederhana bercat putih dengan teras agak lebar. Rindang pohon mangga menaungi tanaman anggrek, Simbar Menjangan, dan tanduk rusa. Pohon alpukat tak ada lagi, ibu pernah bercerita melalui telepon, pohon alpukat ditebang saat pernikahan Kak Indra. Sebagai gantinya sekarang disitu ada pohon kemuning dan jambu Jamaica. Kumasuki halaman, duduk di teras. Aku sengaja tak mengetuk pintu, menjelang subuh ayah pasti keluar untuk sholat subuh berjamaah ke musholla di gang sebelah.
Tepat adzan subuh, kudengar anak kunci diputar. Pintu terbuka, menampakkan seraut wajah lelaki tua, ayahku. Sejenak ia terkejut melihatku. Sedetik kemudian matanya berkaca-kaca.
"Ayah," aku menyalami tangan lelaki yang telah mewariskan DNAnya kepadaku, memeluk tubuh rentanya. Aku menangis tersedu-sedu.
"Masuklah," ajaknya.
Aku masuk menerobos kedalam, langsung ke kamar ibu yang tampaknya sudah mendengar suara kami tadi.
"Ya, Allah.. Indah," gumam ibuku.
Menghambur ke pelukan ibu aku semakin tersedu. Air mataku seperti sungai di musim hujan.
"Ngapo, kak? Ado apo? " Kudengar suara Om Edi, tetangga sebelah rumah.
"Si Indah balek," jawab ayah.
"Oo.. kusangko apo tadi, subuh-subuh ado suaro wong nangis."
Sosok om Edi masuk ke ruang dalam, "Indah, lah balek? Apo kabarnyo wong jawo ini?" Sapanya dengan logat palembang yang tak pernah hilang.
"Baek, Om, " jawabku. Sambil mentautkan kedua tangan kedepan dada, bersalaman dan menghormat jarak jauh. Aku tahu dia dalam keadaan berwudhu. Om Edi melakukan hal yang sama.
"Nah, lah balek budak gadis, yuk" katanya kepada ibu.
"Iyo, dek," jawab ibu.
"Ayolah, kami nak sholat dulu," pamitnya.
Inilah Bandarlampung, kota heterogen dengan masyarakat multikulturalnya. Setiap orang membawa serta identitas suku dan bahasanya, tak perlu lebur oleh budaya dan bahasa setempat. Kami hidup rukun dengan perbedaan-perbedaan yang ada.
Pagi itu cerita mengalir tiada henti, bahkan kak Indra dan istrinya sudah datang meski matahari belum tampak dilangit. Adikku Ilham terburu-buru menyiapkan sarapan pagi. "Untuk tamu istimewa" katanya. Acara sarapan pagi dihadiri anggota keluarga lengkap.
"Kamu sendirian pulang?" Tanya ayah sambil menikmati teh hangatnya.
Ini pertanyaan bersayap sebenarnya.
"Sendiri, yah." aku menjawab
"Berani?" Kali ini ibu yang bertanya
"Dulu pergi juga berani ya, ndah," kata kak Indra sambil tersenyum. Aku mengiyakan.
Berikutnya pembicaraan hanya seputar pekerjaanku, keluarga baru kak Indra , kegiatan ayah dan ibu, serta Ilham.
Sekitar jam 8 ayah memintaku istirahat setelah sebelumnya bertanya jam berapa aku harus ke kantor. "Nanti aku pulang lagi jam 10, kuantar kak Indah ke kantornya," kata Ilham. Lalu mereka berangkat ke tempat kerja masing-masing. Aku masuk ke kamarku.
Masih seperti dulu, tempat tidur, lemari kecil, meja tulis, tak berubah. Bingkai foto sejak aku SD, SMP, hingga SMA, ada juga saat wisuda sarjana (aku pernah mengirimnya atas permintaan ibu), lalu lukisan yang kuterima secara misterius dari Mierza. Entah siapa yang membingkai dan memajangnya di dinding. Mungkin ibu.
Aku beristirahat sekitar 90 menit. Tidur tanpa mimpi.
Bangun dan bersiap pergi ke kantor cabang. Sesuai janjinya, Ilham mengantarku. Kami melewati jalan di sisi bukit yang sering kulewati dulu. Banyak sekali yang berubah, jalan setapak dulu sudah menjadi jalan beraspal, perbukitan hijau separuhnya telah habis berubah menjadi lahan tambang batu yang lebih menyerupai area pengrusakan lingkungan, lapangan bola dan padang ilalang telah menjadi komplek real estate. Aku memandang ke atas bukit, tak lagi asri seperti dulu.
"Kak, tiga tahun lalu Mierza pernah datang," kata Ilham saat kami dalam perjalanan.
Aku terkejut.
" Tapi dia agak aneh. Tidak bicara apa pun. Hanya menyebut namamu."
Aku terus mendengarkan Ilham.
"Indah?" Tanya Mierza kepada ayah.
"Indah tidak ada," jawab ayah
"Menikah?" Tanyanya lagi
Ayah tidak menjawab.
Mierza duduk di kursi tamu , tak bergerak, berjam-jam. Tidak mau makan, tidak mau minum. Hanya diam.
"Indah?" Tanyanya saat bertemu Ilham.
"Indah pergi, sudah lama," jawab Ilham
"Menikah?" Ilham menggeleng.
Malam itu Mierza tidur di rumah kami, di kamarku. Ayah mencari kontak Pak El-Shiraj kesana kemari. Lima tahun setelah aku pergi keluarga El-Shiraj juga pindah ke lain kota.
Ayah berhasil menghubungi Pak El-Shiraj. Esok harinya mereka datang menjemput Mierza. Rupanya Mierza kabur pada hari ia akan dinikahkan. Sudah setahun dicari-cari keluarganya.
Tapi Mierza tidak mau pulang. Dia mengamuk, lalu lari keluar rumah, tak terkejar. Entah kemana.
Aku terdiam, lama. Tak tahu harus bagaimana menanggapi cerita Ilham.
=000=
Seluruh staf kantor sudah diberitahu tentang kedatanganku, mereka menyiapkan acara penyambutan kecil sebagai ajang perkenalan. Sebagian dari mereka sudah kukenal, beberapa ada yang pernah bertugas di kantor pusat, bahkan ada yang pernah bersamaku di Den Haag. Hari ini aku berkeliling gedung untuk melihat ruang-ruang yang lumayan banyak. Ruang pelayanan administrasi, ruang konsultasi, klinik, ruang aktifitas, ruang rekreasi, aula, ruang rapat, ruang bagian keuangan, musholla, mess, kamar tamu, dll. Ada yang menarik di setiap ruang, mereka memiliki lukisan personal yang bekerja di ruang itu. Terlihat ada yang aneh pada lukisan-lukisan itu tapi aku tak tahu entah apa.
Di ruang rekreasi beberapa staf sedang berkumpul, mereka sedang merencanakan sebuah acara bertema kesehatan yang ditujukan bagi remaja. Melihatku di depan ruang, mereka mempersilakan masuk. Ruangan ini luas sehingga aku yakin tidak mengganggu diskusi mereka jika aku berkeliling di sekitar ruangan, memperhatikan organigram, prosedur kerja, dan lukisan!
Kuamati lukisan terdekat, seorang perempuan muda. Cantik. Tawanya terlihat lepas.
"Itu Nana, Bu." Salah seorang dari mereka bersuara. Aku tersenyum. Dibawah lukisan kutemukan kata "indah"
"Ini ada tulisan Indah, namanya bukan Indah?" Gurauku
"Itu yang nulis pelukisnya, bu. Di lukisan yang lain juga ada."
"Mungkin nama pelukisnya Indah?" Tebakku.
"Pelukisnya laki-laki. Mungkin itu nama istri atau anaknya." Jelas Nana.
"Kalau ibu mau dilukis nanti kami antar, gratis kok, Bu. Cuma ganti kain kanvas dan cat saja," kata Ratri.
"Oh, begitu?" Aku tersenyum. Dalam hati aku penasaran, wajah-wajah dalam lukisan seolah kukenal.
Di ruangan yang disediakan untukku juga ada lukisan, almarhum pak Handoko dan beberapa lukisan mereka yang pernah menjadi pimpinan di kantor ini. Aku memperhatikan dengan seksama, di setiap pojok kanan bawah tertulis "indah" dengan kemiringan huruf empatpuluh lima derajat. Lagi-lagi aku menangkap kesan aneh pada setiap lukisan, namun belum kutemukan alasannya.
=000=
Esoknya aku bertanya pada Aji, wakil pimpinan, tentang pelukis yang diceritakan Nana dan Ratri.
"Dia setiap hari ada di taman Dipangga yang di depan Polda Lampung, Mbak." Jawab Aji.
Menurut Aji banyak yang datang kepadanya minta dilukis, dia menolak pembayaran uang tapi menerima kain kanvas dan cat lukis. Kadang-kadang ada yang menyelipkan uang di gulungan kain kanvas atau di kotak cat. Biasanya mereka sudah sering minta dilukis atau datang berombongan beberapa orang. Pelukis itu tak pernah bicara. Sebagian orang mengira dia bisu. Tetapi sesekali mereka juga mendengar dia menggumam menyebutkan sesuatu, menurut cerita beberapa orang ada yang pernah mendengar pelukis itu melantunkan ayat suci menjelang Dzuhur di hari Jumat.
Siang itu Aji mengantarkan aku ke Taman Dipangga wilayah Telukbetung. Aku masih ingat di tempat ini tumbuh pohon Ambon yang sangat besar, diameter batangnya entah berapa meter, sore hari taman ini ramai dikunjungi anak-anak yang bermain bersama teman dan keluarganya, tempat rekreasi yang terbuka, gratis dan cukup meriah. Disini juga ada sebuah monumen dan dipuncaknya terpatri sebuah mercusuar (lampu kapal), salah satu serpihan yang menurut sejarah terlempar dari Selat Sunda saat terjadi letusan Krakatau tahun 1883. Ketika SMA aku beberapa kali ke taman ini untuk mengikuti lomba baca puisi yang diselenggarakan oleh beberapa lembaga atau organisasi kepemudaan.
Diantara patung-patung gajah, beruang, badak, serta rumput dan pepohonan hijau, seorang lelaki sedang duduk, di depannya ada bentangan kanvas.
"Tampaknya hari ini dia belum melukis, mbak. Kanvasnya masih kosong," kata Aji.
Aku memperhatikan pria itu, punggungnya sedikit membungkuk, rambutnya ikal panjang sebahu, sebagian terikat dikuncir belakang, sebagian lagi lepas tergerai disamping telinga dan keningnya, kulitnya coklat terbakar matahari. Garis rahangnya terlihat tegas, cekung matanya dalam.
Aji menghampiri pria itu, menjelaskan bahwa aku ingin dilukis. Dia memandang Aji, lalu tersenyum. Aji memberi isyarat padaku untuk mendekat. Aku menapaki anak tangga rendah berjalan ke arah mereka, menyiapkan senyum terbaik, duduk di bangku kecil yang disediakan.
Dia hanya memandangku sekilas, memegang kuas, memilih warna dan mengaduk cat, lalu mulai melukis. Tak sedetik pun ia melihat ke arahku lagi. Terus menyapukan kuas dengan cepat, membentuk sebuah wajah yang seolah sudah sering dilihat.
Sementara aku bagai tersengat listrik ribuan volt, hidung tinggi dengan bulu mata lentik itu, bagaimana mungkin aku lupa?
Aku menatapnya tak berkedip, berharap netra menipuku. Terasa ada batu besar di dalam dadaku, menyumbat jalan nafas, menutup pita suaraku.
Tidak, mata ini tidak mengelabuiku. Pria ini memang Mierza, Ammar Mierza El-Shiraj, dagunya yang runcing, tatapan yang tajam, itu miliknya.
Tepi mataku membentuk sebuah bendungan, menahan air yang mendesak jatuh. Kini aku tahu keanehan apa yang kulihat pada lukisan-lukisan itu. Semua lukisan itu mirip, mirip wajahku.
Bendungan dimataku ambrol, tenggorokanku tercekat. Tak dapat kutahan, aku harus mengeluarkan batu besar didadaku dalam isak yang semakin lama semakin kuat. Aku tersedu-sedu.
Aji tampak terkejut, ia menepuk-nepuk bahuku yang terguncang-guncang naik turun, tak kuhiraukan. Aku ingin melepaskan seluruh rasa yang membelenggu jiwaku selama 16 tahun. Aku tidak mungkin salah, dia Mierza, lelaki yang menghuni benakku bertahun-tahun, timbul tenggelam dalam pikiranku. Di semua lukisannya ada namaku, itu bukan sebuah kebetulan.
Aku menangis sejadi-jadinya, separah apa kerusakan dan sakit di jiwanya hingga ia tak mengenali aku?
Tiba-tiba pria itu menghentikan sapuan kuas pada kanvas, menatap lama pada lukisan separuh jadi dihadapannya. Bagai terusik oleh suara tangisku ia menoleh, memandangku dengan tatapan aneh.
Beberapa detik kemudian sinar mata itu meredup, wajahnya tampak semakin kelam, kuas jatuh dari tangannya, bulir-bulir air mengalir dari matanya.
"Indah," gumamnya. Suaranya bergetar.
"Indah," dia mulai sesenggukan.
"Indles, " Dia menutup wajah dengan kedua tangannya, tersedu-sedu.
Betapa aku ingin menghambur ke arahnya, memeluk tubuh kurusnya, merapihkan kumis dan janggutnya. Tapi tubuhku lungkrah, jiwaku rasa terbelah...
Tuhan, mengapa mempertemukan kami dengan cara seperti ini?
=000=
WAJAH DALAM LUKISAN
POV Mierza
Siang terasa terik.
Setelah sholat zhuhur di masjid aku kembali ke taman. Duduk dibawah salah satu pohon rindang yang ada, seperti biasanya. Sudah dua tahun lebih aku melakukan aktifitas ini. Berada di taman ini dari jam 10 siang hingga jam 4 sore. Membawa peralatan melukis.
Awalnya aku melukis apa saja, pemandangan sekitar, pohon, laut, atau apa pun yang terlintas di benakku. Sekarang aku lebih sering melukis wajah, sejak banyak orang datang minta dilukis. Mereka umumnya para remaja, pelajar, mahasiswa, tapi banyak juga pegawai kantor yang sudah setengah baya. Dulu hanya satu dua yang minta dilukis, tapi entahlah.. mungkin berita dari mulut ke mulut menyebabkan semakin banyak orang datang minta dilukis. Apalagi aku tidak meminta bayaran atas jasaku.
Biasanya aku hanya meminta ganti kain kanvas dan cat minyak. Semakin banyak orang yang kulukis, semakin banyak stok kain dan cat ku.
Ada juga yang memberi uang secara diam-diam, diselipkan dalam gulungan kanvas atau dalam kotak cat. Tentu saja aku terima, sebab aku tak tahu harus mengembalikan uang itu ke siapa. Aku bisa melukis dan orang-orang menyukai lukisanku, bagiku sudah cukup menyenangkan. Kebutuhanku tidak banyak, hanya perlu bayar kost setiap bulan dan makan setiap hari.
Sebenarnya aku bisa mencari uang dengan cara lain, tapi tujuanku disini bukan untuk mencari uang, melainkan mencari seseorang yang kuharap suatu hari nanti bisa kutemukan. Seorang perempuan, mungkin sekarang dia sudah dewasa, sudah memiliki beberapa anak, memiliki suami yang kaya raya dan mencintainya, mungkin...
Aku sedih membayangkan kemungkinan ini, sebab jauh dalam hati aku berharap dia masih seperti dulu, gadis kecil yang riang, ramah, cerdas dan lucu. Kalaupun saat ini dia telah dewasa, aku berharap ia masih sendiri.
Hampir tiga tahun berada disini harapanku setiap hari selalu sama, melihat dia lewat atau berkunjung ke taman. Aku tahu ia pasti menyukai taman ini. Satu-satunya taman terbuka hijau di tengah kota. Tujuhbelas atau delapan belas tahun lalu aku dan dia pernah kesini, beramai-ramai dengan teman sekolah yang lain. Waktu itu kami pulang piknik dan melalui tempat ini. Mampir dan beristirahat disini. Bahkan kami sempat berdiri bergandengan tangan melingkari pohon Ambon besar di taman legendaris ini. Sekitar sepuluh atau dua belas orang kami dalam posisi mengelilingi pohon. Gembira sekali kami saat itu.
Beberapa anak berseragam putih biru menghampiriku.
"Om, temanku mau dilukis," salah seorang dari mereka berkata. Aku tersenyum dan memintanya duduk di bangku kecil yang kusediakan.
"Tapi, om, belakangnya pemandangan monumen itu ya," dia menunjuk ke arah monumen sederhana terbuat dari marmer yang terletak di tengah taman.
Aku mengangguk.
"Ada pelampung dan rambu kapal itu juga ya, om," pintanya lagi. Aku mengiyakan.
Aku mulai melukis wajah anak perempuan ini. Pikiranku terbang pada seorang anak perempuan lain yang kukenal hampir dua puluh tahun lalu. Namanya Indah. Indah Lestari. Dari segala sudut dalam pandanganku dia memang indah, dan lestari berpatroli di pikiranku, setiap hari setiap waktu. Aku tersenyum sendiri. Kugoreskan namanya di pojok kanan bawah lukisanku. Indah.
Lukisan selesai, anak itu gembira bukan main.
"Om, saya juga mau dilukis, tapi saya belum bawa kanvas dan cat, besok aja saya kesini lagi." Seorang anak lain bicara padaku, ada nada sedih dalam suaranya.
Aku menyuruhnya duduk menggantikan temannya tadi, mengeluarkan kain kanvasku dan membentangkan pada papan lukis.
"Sekarang saja," kataku padanya.
Dia tersenyum senang , "boleh, om? Beneran?" Aku mengangguk. Lalu mulai melukis.
Anak-anak ini mengingatkan pada dunia remajaku, saat aku banyak menghabiskan waktu bersama Indah. Ah, ya.. mereka pasti seusia kami dulu. Main bersama, sekolah bersama, belajar bersama. Mungkin juga jatuh cinta bersama.
"Latar belakangnya monumen juga? Masa sama?" Protes temannya yang sudah kulukis tadi.
"Ya gapapa lah. Namanya juga sejarah," sahut anak yang duduk di depanku.
"Ya sudahlah, jadi tugas sejarah kita sama?"
"Iya, kan tentang letusan Krakatau."
Aku terus melukis sambil mendengarkan celoteh mereka.
Benar, monumen di taman ini adalah monumen yang diatasnya terpatri lampu kapal atau mercusuar yang menurut cerita terlempar dari Selat Sunda karena dahsyatnya letusan gunung Krakatau pada tahun 1883.
Lukisan selesai. Anak itu tersenyum. Aku menggoreskan nama "indah" di pojok kanan bawah lukisan.
"Besok saya sama papa saya kesini, bawa kain kanvas ya, om," janjinya. Aku mengangguk.
"Makasih, oom." Mereka berpamitan. Berlalu keluar dari area taman.
Lamunanku terbang ke masa sembilan belas tahun silam.
=000=
Baru sebulan aku dan orangtuaku tinggal di kota ini. Aku belum punya teman. Tetangga di sekitar rumahku jarang yang keluar rumah untuk bersosialisasi. Hari-hari pertama kami sempat mengunjungi beberapa tetangga, tapi kebanyakan mereka tidak di rumah, sibuk dengan aktifitas pekerjaan. Karena bulan ini juga bukan liburan, anak-anak mereka pun sedang tidak ada. Akhirnya aku pun hanya berdiam di rumah, berteman Abah dan Ummi saja.
Sampai tiba hari masuk sekolah. Abah sudah mendaftarkanku ke SMP yang jaraknya tidak jauh dari rumah. Bisa jalan kaki saja, kata Ummi. Biar sehat dan banyak kawan, kata Abah. Aku menurut. Beberapa hari sebelumnya Abah sudah pernah mengajakku jalan pagi melalui jalan-jalan yang akan kulalui menuju sekolah.
Seragamku baru, putih biru. Kusandang tas ransel warna navy di punggungku. Hari masih pagi, aku berjalan santai. Tiba di depan rumah bercat putih dengan halaman luas tanpa pagar, seorang anak perempuan keluar rumah. Seperti aku seragamnya juga baru. Ia melihatku sekilas dan terus berjalan. Aku mengamatinya dari belakang. Tubuhnya kecil, rambut hitam lurus sebahu. Langkah kakinya rapat dan cepat.
Di jalan kecil disisi bukit langkahnya melambat. Ia menatap ke arah matahari, heeii.. aku tak tahu apakah memang wajahnya yang bercahaya atau itu efek cahaya matahari yang dipantulkan wajahnya? Manik matanya berkilat-kilat, rambutnya tersibak ke kanan dan ke kiri, berkilauan terkena sinar matahari. Aku memandanginya, membayangkan di punggungnya tiba-tiba tumbuh sepasang sayap. Untunglah itu tidak terjadi, aku belum siap jika harus bertemu bidadari. Hahaha...
Tangannya bergerak ke kanan dan ke kiri, menyentuh daun-daun semak di sepanjang jalan. Kaki kecilnya usil menyentuh tumbuhan perdu berdaun kecil berbunga ungu. Lalu tersenyum sendiri.
Tiba-tiba langkahnya melambat. Aku pun mendahuluinya. Terlintas di pikiranku untuk menggodanya. Aku menirukan tingkahnya tadi. Memandang kearah matahari, menyentuh semak di tepi jalan, tapi "Ooww!!" aku terkejut, ujung jariku tertusuk duri. Aku menoleh ke belakang. Dia membuang muka, masih sempat kulihat tarikan di sudut bibirnya. Mungkin dia mentertawakan aku.
Setelah menyebrangi sungai kecil lewat jembatan batang pohon kelapa, kami sampai di sekolah. Upacara, lalu masuk kelas, berkenalan dengan teman-teman baru. Ah, aku lupa untuk memperhatikan anak perempuan itu. Di kelas mana dia?
Saat pulang, aku melihatnya lagi. Jalan bersama beberapa orang kakak kelas. Otakku berpikir keras, bagaimana caranya supaya kenal mereka, agar aku tak kesepian di jalan yang ramai ini. Di jalan depan rumahnya aku menghentikan langkah.
"Hei, kamu kelas apa?" Itu pertanyaan yang terlontar dari mulutku.
Padahal aku ingin menanyakan namanya.
Dia menoleh ke belakang. Lalu : "kelas D," jawabnya.
"Besok bareng ya," pintaku agak malu. Ia mengangguk. Aku hampir melompat kegirangan. Akhirnya besok aku punya teman. Saat terpikir untuk menanyakan nama, kulihat dia sudah masuk ke rumah.
Keesokan paginya aku menunggu di jalan depan rumahnya. Saat ia keluar halaman aku langsung mengajukan pertanyaan yang semalaman mengganggu pikiranku,
"Namamu siapa?" Tanyaku.
"Indah," jawabnya. Singkat sekali, pikirku. Pasti ada lanjutannya, aku akan tahu nanti.
"Aku Mierza, Ammar Mierza," kataku tanpa ditanya. Terkesan bersemangat sekali. Dia cuma tersenyum. Hmmm.. senyumnya secerah matahari pagi.
Kami jalan bersama, melalui rute seperti kemarin. Terpikir olehku untuk menggodanya.
"Indah," kataku
"Ya," dia menyahut. Pancinganku kena.
"Aku bukan memanggilmu," aku tak tahan untuk tidak tersenyum. Dia menatapku heran, penuh tanya.
"Aku sedang mengatakan cahaya matahari dan tumbuhan semak disini terlihat indah," jelasku.
Aku melihat segurat kesal di wajahnya.
"Iya, pemandangan disini memang ammar indah," katanya.
Busyet. Dia balas menggodaku.
Akhirnya kami tertawa bersama.
Sejak saat itu kami selalu bersama-sama pergi dan pulang sekolah.
Aku memiliki nama panggilan khusus untuknya, tak seorang pun boleh memanggilnya dengan nama itu kecuali aku. Indles. Ya, Indles. Singkatan dari Indah Lestari.
=000=
Indah anak yang baik. Berpembawaan ramah dan lucu. Dia juga cerdas dan rajin. Kawannya banyak. Aku sering cemburu jika dia berdekatan dengan anak lelaki lain. Berbagai cara kulakukan agar tak ada yang berani mendekati Indah.Aku selalu bersamanya, di sekolah, belajar kelompok, piknik, dan sebagainya. Hingga mereka kerap memanggil kami "Indah Ammar" atau "Ammar Indah". Aku sih senang-senang saja.
Bagiku indah seperti bu guru kecil, siap menjawab dan menjelaskan apa pun yang aku ingin tahu. Aku suka sekali melihat gayanya menjelaskan hal-hal yang tak ku mengerti, tentang pelajaran sekolah atau hal umum lainnya, dia seperti ensiklopedia berjalan.
Sayangnya aku tak pernah berani mempertanyakan tentang perasaanku yang kian lama kian aneh kepadanya. Ya, aneh. Aku merasa kesepian dan uring-uringan jika sehari saja tidak bertemu indah.
Bukan cuma aku yang menyukai Indah, ummi juga menyukainya. Ia sering menyisihkan makanan kecil untuk Indah, memberikan setiap kali Indah ke rumah, atau memintaku mengantarkan ke rumahnya. Ummi juga sering mengantarkan masakan dan lauk pauk untuk ibunya Indah. Ummi memperlakukan Indah selayaknya anak perempuan sendiri. Mungkin karena ummi ingin memiliki anak perempuan. Sehingga aku dan Indah diperlakukan seperti kakak beradik. Apa? Kakak beradik? Tidak, aku tidak mau kakak beradik dengan Indah. Bukankah kakak beradik tidak boleh menikah? Ah... Aku jadi malu dengan pikiranku sendiri.
Suatu kali ummi memberi indah beberapa buah aksesoris berbahan titanium. Aku ingin meledek Indah, maka aku menawarkan diri mengantarnya pulang. Tapi Indah menolak. Ditambah lagi panggilan ummi mengingatkan aku bersiap-siap sholat ashar. Rencanaku pun gagal. Padahal aku ingin mengatakan pada Indah bahwa pemberian ummi itu tanda jadi lamaran untuknya. Hahahaha... Aku ingin sekali melihat ekspresinya.
Aku rasa, hari-hari paling indah yang pernah kulalui adalah hari-hari bersama Indah.
Hingga aku mendengar percakapan Abah dan Ummi di teras samping rumah. Hari itu aku berpura-pura demam dan tidak masuk sekolah. Perkiraanku Indah akan datang sore harinya ke rumah untuk mengantarkan tugas-tugas harian yang harus kukerjakan, sambil menceritakan berbagai kejadian di sekolah selama aku tidak ada. Begitulah kebiasaannya. Dan aku menikmati kesempatan ini, mendengarkan cerita Indah sambil mengerjakan tugas-tugas yang dibawanya. Tetapi sore itu aku ingin mencandainya. Setelah sholat ashar aku naik pohon belimbing (star fruit) di halaman samping, agar saat indah datang ummi akan sibuk mencari ku. Tapi ternyata aku mendapat kejutan.
"Ammar masih di kamarnya?" Tanya Abah
"Masih," jawab Ummi
"Pura-pura sakit anak itu," kata Abah. Aku terkejut. Kok Abah tahu?
" Kenapa harus pura-pura." Ummi menjawab
"Apalagi, kalau bukan malas, ya ingin dikunjungi anaknya Pak Rashid," Kata Abah. Seratus persen Abah benar, pikirku.
"Pergaulan mereka harus dibatasi, ummi. Jangan dibiarkan terus. Semakin lama akan semakin sulit dipisahkan nanti," Lanjut Abah. Aku terkejut.
Di luar pagar kulihat Indah sedang berjalan ke arah pagar depan rumah, membawa beberapa buah buku.
"Mereka masih anak-anak, Bah. Cuma berteman apa salahnya," Suara Ummi terdengar kesal.
Langkah Indah terlihat berhenti. Mungkin ia mendengar percakapan ini. Jarak dari beranda samping ke pintu pagar tidak jauh, suara ummi yang agak keras pasti tertangkap telinganya.
"Mereka sudah akhil baligh, ummi. Bahaya kalau dibiarkan terus. Kalau keterusan saling suka bagaimana? Nanti akan lebih sakit hati lagi."
"Mereka cuma berteman,"
"Abah tidak percaya. Ammar tidak punya teman dekat lain, bahkan yang laki-laki pun tidak dekat. Kemana-mana mereka bersama."
"Abah tak suka?"
"Bukan tak suka. Tapi mencegah mereka berdua sakit hati lebih lama. Toh bagaimana pun mereka tak mungkin bisa bersama. Ammar punya jodoh sendiri."
Hah? Aku terkejut.
"Abah akan mengurus proses masuk ke pesantren, begitu lulus Ammar bisa langsung berangkat." Masih kudengar suara Abah. Ummi hanya diam.
Peganganku hampir lepas. Untung aku tidak terjatuh dari pohon. Tidak mungkin aku turun sekarang, akan ketahuan aku mendengar pembicaraan Abah dan Ummi diam-diam. Lebih baik aku pura-pura tidak tahu percakapan ini. Kulihat Indah membalikkan badan, berjalan ke arah dia datang. Pulang.
Betapa aku ingin mengejarnya, mengatakan kepadanya untuk tidak memikirkan pembicaraan Abah dan Ummi. Kami akan tetap berteman, seperti hari-hari kemarin yang sudah hampir tiga tahun kami lalui. Tapi aku hanya bisa melihatnya menjauh, hingga menghilang di balik dinding rumah-rumah tetangga.
Malam itu aku tak bisa tidur, seperti malam ini. Aku gelisah. Entah apa sebabnya.
Hari-hari berikutnya kami jarang bicara, baik di jalan atau di sekolah. Beberapa teman berbisik-bisik membicarakan perubahan kami. Tapi Indah kelihatannya tak bereaksi, mungkin dia pun tak tahu sedang menjadi bahan pembicaraan. Aku berusaha bersikap tenang, tak menghiraukan mereka. Indah tak pernah lagi ke rumahku, aku juga segan mendatanginya. Seperti aku, Indah juga pasti sedih.
Suara sholawat dari masjid menyadarkanku, waktu sudah menjelang subuh, aku belum tidur. Bangkit dari tempat tidur menuju kamar mandi, aku thaharah langsung berwudhu, bersiap sholat subuh.
=000=
Pulang sholat subuh berjamaah aku mampir ke warung kecil penjual sarapan, membeli sebungkus nasi uduk dan beberapa potong gorengan untuk kunikmati di rumah kost.
Sambil menikmati sarapan, pikiranku kembali mengembara.
Hari terakhir ujian sekolah, aku mengajak Indah naik ke atas bukit kecil yang biasa kami lewati. Meski sering kesini beramai-ramai, tapi baru kali ini kami kesana berdua saja. Aku agak gugup saat mengulurkan tangan untuk membantunya naik. Tanganku gemetar memegang tangannya, mungkin dia merasakan tanganku yang basah berkeringat, tapi dia diam saja.
Angin berhembus semilir di siang yang cukup terik. Kami berdiri diatas puncak bukit. Bergandengan tangan. Banyak yang ingin kukatakan padanya, tapi lidahku terasa kaku. Aku memandang kejauhan, ke deret perbukitan di sebelah timur. Awan-awan putih berarak diatas gunung-gunung yang lebih tinggi. Kata Indah itu adalah daerah tangkapan hujan menurut ilmu geografi. Kami masih berdiam diri.
Sesuatu dalam diriku mendorong untuk merengkuh bahunya, meski pada detik yang sama aku teringat percakapan Abah dan Ummi.
"Aku tak tahu kau akan menikah dengan siapa nanti, entah lelaki mana yang akan menjadi suami mu. Tapi aku ingin menjadi lelaki pertama yang menciummu." Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku, lalu mengecup pipinya sekilas. Sungguh, getaran didadaku serupa gempa dengan kekuatan 5 skala Richter, meski cuma aku sendiri yang merasakannya.
Pipi Indah memerah. Aku takut ia marah. Cepat kugenggam tangannya, "jangan marah ya," ujarku pelan. Segala rasa bercampur baur dalam diriku, takut, malu, senang, sedih. Sebenarnya aku ingin mengatakan satu kalimat lagi, tapi aku takut akan menjadi beban baginya di hari-hari esok saat aku tak bisa bersamanya lagi.
Kami bergandengan menuruni bukit. Berpisah di simpang jalan dekat rumah.
Itulah hari terakhirku bersama Indah.
Sehari setelah ujian Abah mengantarku ke pesantren di Jawa Timur. Langsung masuk asrama. Aku memulai kebiasaan dan kehidupan baruku disana. Tanpa Indah.
Kegiatan pesantren cukup menyita waktu, namun aku selalu punya waktu untuk mengingat Indah, melamunkan dirinya sejenak dalam setiap aktifitas ku. Aku tak bisa menghubunginya. Kami hanya diizinkan menulis surat kepada keluarga sebulan sekali, itu pun melalui pak ustadz. Maka surat-surat setiap bulan hanya kukirim kepada Abah dan Ummi.
Tahun ketiga di pesantren, pak kyai mengumumkan para santri yang bisa melanjutkan pendidikan ke Kairo, Mesir. Namaku salah satu yang disebutkan. Aku senang sebab aku bisa melanjutkan pendidikan ke salah satu perguruan tinggi terkemuka di dunia, tapi aku juga sedih karena berarti aku tak punya kesempatan untuk pulang dan bertemu Indah.
Tiba-tiba Ahmad Khalid, teman curhatku, mengusulkan sebuah gagasan. Aku bisa menulis surat atas namanya, dikirim ke alamat rumahnya di Madura, didalamnya selipkan surat atas nama Indah beralamat Kota Bandarlampung, kakaknya pasti paham katanya. Orangtua Khalid wafat 3 bulan lalu, kesempatan menulis surat bulan ini ia berikan padaku. Meski takut berbohong, usul Khalid akhirnya kuterima. Bersama surat kumasukkan gulungan kecil lukisan yang kubuat secara sembunyi-sembunyi. Kami tak boleh membuat lukisan manusia, apalagi lain jenis. Untuk menyamarkan gulungan lukisan Khalid membeli sebuah kaos di koperasi pesantren sehingga bisa mengirimkan ke kakaknya dalam bentuk paket. Upaya kami berhasil, minggu berikutnya Khalid menerima kabar dari kakaknya bahwa "pesanan" sudah dikirim.
Akhir tahun itu aku berangkat ke Kairo, melanjutkan pendidikanku. Terpisah dari Indah semakin jauh. Namun dihatiku ia semakin lekat. Empat tahun berikutnya aku kembali menyibukkan diri dengan kegiatan perkuliahan, tugas-tugas hafalan, kajian-kajian ilmiah, dan sebagainya. Hingga kembali ke tanah air.
Abah dan Ummi tidak tinggal di Bandarlampung lagi, tapi sudah pindah ke Kota Hujan, Bogor. Maka selesai masa pendidikan di Kairo aku pulang ke Bogor. Seperti dugaanku, Abah sudah menyiapkan calon istri untukku. Meski sangat berat menerima, aku tak berani menolak. Apalagi perjodohan sudah dilakukan sejak kami masih kecil. Aku tahu ummi pernah memergokiku menangis malam-malam, tapi ummi tak mengatakan apa pun.
Entah mendapat kekuatan darimana tiba-tiba aku menjadi nekad. Aku melarikan diri dua jam menjelang akad nikah. Meminjam pakaian petugas katering dan menyelusup keluar, tanpa membawa apa pun kecuali kartu identitas, ATM, dan sedikit uang di saku. Aku menyebrangi selat Sunda, kembali ke Lampung. Setahun aku bersembunyi dalam sebuah kamar kost di gang sempit di Telukbetung. Mengubah penampilanku, agar terkesan kumuh dan tak terurus.
Setelah kurasa pencarian keluargaku mengendur, aku mengunjungi rumah Indah. Berlagak seperti orang depresi. Tapi Indah tidak ada. Keluarganya tak memberi penjelasan, hanya mengatakan Indah pergi, sudah lama. Aku tidur di kamar Indah. Aku melihat barang-barangnya tersimpan rapi, buku-bukunya berdebu, berarti indah sudah lama tidak menempati kamar ini. Lukisan yang kukirim 7 tahun lalu terpajang di dinding. Aku tersenyum, ingat sahabatku, Ahmad Khalid.
Ternyata ayah Indah mengontak Abah, esoknya Abah datang menjemputku. Aku mengamuk, membuat semua orang kebingungan, lalu lari secepatnya. Kembali bersembunyi. Aku semakin menajamkan penyamaran identitas ku dengan berpura-pura sakit jiwa.
Setiap hari aku duduk di taman Dipangga, melukis. Keahlian yang tak pernah diketahui orangtuaku. Aku mengasah nya saat di Jawa Timur dulu, disela-sela kegiatan tahfidz dan belajar.
=000=
Aku mengemas alat-alat lukis, membawanya ke Taman. Aku belum tidur sejak semalam, tapi kantukku juga tak datang. Seperti ada yang mengingatkanku untuk tetap terjaga.
Taman masih sepi, matahari hangat menyentuh dedaunan. Angin berhembus tenang. Langit biru cerah. Aku membentangkan kanvas ke papan lukis. Satu dua dedaunan terbang tertiup angin.
Aku berjalan pelan mengelilingi taman, olahraga ringan. Mencermati relief yang terpahat pada monumen mercusuar. Sebuah relief yang mencoba menceritakan kepanikan orang-orang saat musibah itu datang, letusan Krakatau.
Baru saja aku kembali duduk, Aji, seorang pemuda yang sering membawa temannya untuk dilukis, menghampiriku. Menjelaskan bahwa ada teman baru yang ingin dilukis. Aku tersenyum mengiyakan.
Perempuan itu duduk di bangku kecil yang kusediakan. Aku melihatnya sekilas, kutaksir umurnya menjelang tigapuluh. Mungkin duapuluh tujuh atau duapuluh delapan. Tidak terlalu cantik. Melihat cara Aji memperlakukannya, mungkin ia orang yang cukup penting dan dihormati.
Aku mengaduk cat dan mulai melukis. Wajah Indah melintas lagi, aku membayangkan wajah remajanya saat dewasa. Aku yakin ia tak banyak berubah, setidaknya itulah keinginanku. Indah yang kecil, lincah, cerdas, dan menarik. Aku tenggelam dalam khayalku.
Terdengar suara tangis, makin lama makin keras, dari arah perempuan di depanku. Aku ragu sejenak, mungkinkah hanya pendengaranku? Kualihkan pandangan dari kanvas kepadanya. Ia menatapku, wajahnya berurai air mata. Sedu sedannya begitu pilu. Aku merasa kepalaku seperti dipukul bertubi-tubi, pandanganku nanar. Aku gemetar, kuas ditanganku lepas.
Wajah itu, wajah yang ribuan malam kurindu, kukhayalkan setiap waktu, tersemat dalam setiap lukisanku. Bagaimana mungkin aku tidak mengenalinya?
"Indah," suaraku tercekat di kerongkongan.
"Indah," aku mengulang nama itu, memastikan.
Tangisnya tak berhenti. Tatap matanya menelanjangi aku. Perempuan ini, aku melihat ribuan derita tersimpan di manik matanya, jatuh bersama butiran air yang semakin deras luruh dipipinya.
"Indles.." aku tak dapat menahan tangisku. Kututup wajahku. Tak kuat hatiku melihat air matanya berderai-derai karena aku.
Aku ingin memeluknya, menenangkan dalam dekapan, menghapus air matanya. Namun seluruh sendiku rasa terlepas...
Pertemuan ini terlalu tiba-tiba.
=000=
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
