
Ahmad Fauzan
Kupanggil engkau ‘Bintang’, karena namamu memang ‘Bintang’. Kupanggil engkau ‘Bintang’, karena engkau paling suka mengamati bintang. Kupanggil engkau ‘Bintang’ karena engkau mengagumi bintang yang menjadi petunjuk arah di gelapnya langit malam. Maka kupanggil engkau ‘Bintang’.
Bintang, engkau menghilang. Dan langitku jadi gelap. Aku kehilangan arah tanpamu, Bintang. Seperti nelayan yang tersesat saat tidak mendapat petunjuk bintang.
Jauza Nur Nazmi
Kau panggil aku ‘Bintang’, padahal...
Ahmad Fauzan
Kupanggil engkau ‘Bintang’, karena namamu memang ‘Bintang’. Itu alasan pertama.
Kamu masih ingat ketika kita pertama kali bertemu? Saat itu kami --- aku bersama anggota tim Garuda FC serta pengurus dan official beserta beberapa suporter fanatik sedang antri masuk ke ruang keberangkatan, Bandara Soekarno-Hatta. Tiba-tiba seorang cewek berjilbab menghampiri.
“Eh, ini Mas Deddy, kan?” katanya sambil menunjuk seorang teman yang berada di depan. “Mas Harun? Mas Tio? Dari Garuda FC, kan?”
Kami saling pandang dan melempar senyum. Seperti diabsen saja. Pasti penggemar bola liga dalam negeri, nih! Nggak nyangka! Di bandara ibukota yang notabene-nya bandara internasional bakal ditegur fans juga. Biasanya orang-orang di sini cuek. Terlalu sering didatangi selebriti mungkin. Jadi, selebriti tanggung kayak kami nggak laku. Daripada mengidolakan selebriti penuh keringat seperti kami, para pemain bola, mending memuja artis sinetron, penyanyi, atau model yang jelas lebih modis dan wangi. Atau kalaupun mengidolakan pemain bola, pastilah pemain bola tingkat dunia yang daya tariknya mengglobal. Bukan pemain bola lokal seperti kami.
Terbukti, hampir sejam kami menunggu di depan loket sebuah perusahaan penerbangan domestik, tidak ada yang menyapa. Baru sekarang, setelah kami sudah bersiap masuk ruang keberangkatan ada yang mengenali. Cewek remaja pula.
“Yang ini Mas Fauzan, kan?” Cewek itu beralih kepadaku. “Gimana pertandingannya kemarin? Garuda FC menang?
Aku tersenyum. Kami berada di sini memang dalam rangka pertandingan tandang melawan tim ibukota. Kemarin lusa pertandingannya. Sambil menggeleng, kujawab. “Kami kalah satu nol.”
“Yah ...!” Wajah manis cewek remaja itu tersaput kecewa. “Padahal, saya mendukung Garuda FC, lho. Meski tim ibukota bagus karena banyak pemain bintangnya, tapi saya selalu mensupport lawannya. Apalagi kalau lawannya tim dari daerah. Maklum, sentimen sesama orang daerah! Salah satu tim favorit saya, ya Garuda FC. Karena Garuda FC...”
“Maaf ya, Adik Manis ... kami harus buru-buru masuk! Selain pesawat kami akan segera berangkat, orang yang ngantri di belakang sudah tidak sabar mau masuk juga.” Bang Usman --- manajer tim memotong cerocos cewek penuh semangat itu.
“Oh, ya ... sayang sekali. Maaf!” Sumringah di wajahnya meredup. Dia melambai dan menjauh. “Selamat jalan!”
“Senang berjumpa denganmu, Adik Manis!” Sambung-menyambung, sahut-menyahut, kami memberi salam perpisahan.
“Sayang kita sudah mau berangkat. Padahal, keliatannya dia cocok tuh buat Fauzan,” cetus Bang Harun --- kiper andalan tim kami.
“Iya. Dari penampilan, tidak kentara sebagai penggemar bola. Alim begitu ...”
“Tapi yang begitu itu ... seleranya Fauzan.”
Aku hanya nyengir mendengarnya. Semakin cengengesan ketika yang lain ikut berkomentar. Susah-susah gampang emang, jadi anggota paling muda dalam tim. Susahnya ... ya karena selalu jadi bahan ledekan dan godaan. Terutama bila menyangkut fans cewek yang masih remaja. Pasti ujung-ujungnya, aku yang diledekin. Terlebih setelah aku putus hubungan dengan Anik --- cewekku, sekitar tiga bulan lalu. Setiap ada fans cewek, pasti dijodohin denganku. Katanya sih, supaya aku lebih semangat main. Padahal, sebelum atau sesudah putus, perasaan semangat mainku tidak berkurang atau bertambah. Sama saja, karena sejak dulu aku memang suka main bola.
Seperempat jam menunggu di ruang keberangkatan, ada pengumuman pesawat yang akan membawa kami kembali ke kota asal delay. Hampir bersamaan pula, cewek tadi muncul, memasuki ruang keberangkatan. Tampak dia bersama rombongan. Ada sekitar delapan remaja sebaya, tiga cowok dan lima cewek, serta dua ibu-ibu dan dua bapak-bapak.
“Waduh ... kayaknya kalau memang jodoh nggak bakal kemana, Zan,” ujar Mas Tio sambil menggamit lenganku.
Melihat kami masih bergerombol, cewek itu meninggalkan rombongannya. Setelah pamit pada seorang temannya, dia menghampiri kami.
“Alhamdulillah ... masih bisa ketemu lagi!”
“Pasti Adik yang berdoa agar pesawat kami delay, ya?” Bang Usman menggoda.
Dia tersipu. “Maaf, bila doa saya dikabulkan! Soalnya, saya pengen minta foto. Boleh saya ambil fotonya, ya? Saya sampai bela-belain pinjam hape teman yang ada kameranya. Hape saya sendiri nggak pake kamera, benar-benar tidak up to date.”
“Yang mau difoto siapa? Kami semua atau Fauzan saja?” Lagi-lagi Bang Harun menggoda.
“Ya, semualah...! Masak cuma satu orang saja. Kan, rugi.” Dia cemberut.
“Boleh saja. Tapi harus kenalkan dulu, namanya siapa, dari mana mau ke mana, berangkat sama siapa, dan lain-lain.” Mas Deddy ikutan menodong.
Dia pun memperkenalkan dirinya. Namanya Jauza Nur Nazmi --- panggilannya Ami. Masih kelas II SMU. Dia bersama rombongan berangkat ke Jakarta dalam rangka mengikuti Lomba Astronomi untuk pelajar Se-Indonesia yang diadakan Depdiknas. Kenyataan ini membuatku kagum. Ternyata Ami termasuk remaja berprestasi, walaupun dia sendiri mengaku tidak terlalu jago dibandingkan teman-temannya yang lain.
“Ilmu astronomi mereka jauh lebih baik. Hanya saja, mereka tidak terlalu pintar bicara. Jadinya, saya yang kebetulan suka ngeliatin bintang dan membandingkannnya dengan yang ada di buku, tapi lebih pintar ngomong diajak juga sebagai juru bicara,” tuturnya jujur.
Ketika ditanya tentang hasil lomba, terus terang Ami mengakui kekalahan mereka. Katanya, bagaimanapun kurangnya fasilitas belajar membuat pelajar di daerah tertinggal beberapa langkah daripada rekan-rekannya di Pulau Jawa.
Asyik juga ngobrol dengan cewek pintar seperti Ami. Bahkan ketika topik beralih ke sepakbola, dia juga nyambung. Dia tidak cuma hapal pemain bola dunia yang berwajah ganteng, tapi juga mengerti sedikit masalah teknik, sistem dan peraturan, serta pengetahuan lainnya tentang sepakbola. Saking asyiknya ngobrol, sampai tak sadar, diam-diam satu persatu teman satu tim mengundurkan diri.
Tinggal aku dan Ami yang tenggelam dalam obrolan, sampai akhirnya ada pengumuman bahwa pesawat yang akan membawa kami siap untuk berangkat. Untungnya, sebelum berpisah, aku masih sempat minta nomor hape Ami supaya bisa melanjutkan obrolan kapan saja.
Cewek itu adalah engkau. Maka kupanggil engkau ‘Bintang’, karena namamu Jauza Nur Nazmi yang artinya ‘Bintang Cahaya Bintang’. Kupanggil engkau ‘Bintang’, karena engkau paling suka mengamati bintang. Kupanggil engkau ‘Bintang’ karena engkau mengagumi bintang yang menjadi petunjuk arah di gelapnya langit malam. Maka kupanggil engkau ‘Bintang’.
***
Jauza Nur Nazmi
KAU panggil aku ‘Bintang’, padahal sebenarnya engkaulah yang bintang. ‘Bintang Lapangan Hijau’, begitu istilah yang sering dipakai para wartawan olahraga. Maka, engkaupun kusebut ‘Bintang’.
Tak pernah kulupa saat pertama bertemu denganmu. Ketika itu kami baru saja turun dari bis Damri yang membawa kami ke bandara. Di antara antrian orang yang memasuki ruang tunggu keberangkatan, aku menangkap raut wajah yang rasanya tidak asing. Cowok bermata tajam, berhidung mancung, dan berkulit gelap. Pandanganku beralih ke belakangnya, raut wajah lainnya juga rasanya kukenal. Cowok berwajah lonjong, berhidung lancip, berambut lurus. Kemudian ada lagi cowok bertubuh mungil, berambut cepak. Di antara mereka ada bule berdarah latin, bertubuh jangkung dan berambut gondrong. Astaga... aku terkesiap ketika menyadarinya. Mereka kan para pemain Garuda FC --- tim sepakbola favoritku? Bodohnya aku, tidak membaca kaos yang mereka kenakan! Ada tulisan besar ‘We Love Garuda’.
Aku baru ingat, dua hari lalu kan mereka dijadwalkan bertanding dengan tim asal ibukota.
“Eh ... itu kan pemain Garuda FC ...?” ujarku setengah surprise kepada teman-temanku.
“Garuda apa?”
“Oh ... begitu, ya?”
Mereka sama sekali tidak terlihat antusias. Sama cueknya dengan orang-orang di sekitar bandara. Rombongan besar dengan perlengkapan sebanyak itu sama sekali tidak menarik perhatian. Ah, mereka bukan penggemar bola rupanya. Atau tidak tertarik dengan liga sepakbola lokal. Beda denganku.
Khawatir kehilangan, tergesa kuhampiri mereka. Kusapa satu persatu. Termasuk di antaranya engkau --- Ahmad Fauzan, pemain idolaku. Engkau paling kusuka karena merupakan pemain termuda dalam tim. Usiamu hanya terpaut dua tahun di atasku. Yang jelas kamu juga ganteng. Dan permainanmu --- tidak kalah dengan para seniormu.
Sayang, waktu itu kalian sudah antri mau masuk ruang keberangkatan. Sementara kami, ngambil tiket saja belum. Aku kecewa juga, karena hanya sebentar bisa bertemu. Tapi aku juga senang, karena tanpa disangka bisa bertemu para pemain bola idolaku. Lima tahun lagi belum tentu terjadi. Makanya, dalam hati, aku berdoa semoga bisa bertemu lagi.
Ternyata doaku dikabulkan. Karena satu dan lain hal, pesawat yang kalian tumpangi delay. Makanya, ketika aku dan rombongan masuk ke ruang keberangkatan, kalian masih di sana. Kesempatan itupun tidak mau kusia-siakan. Bela-belain pinjam hape kameranya Indah, supaya bila merekam pertemuan ini. Untungnya, kalian ramah-ramah. Walau ya ... teman-temanmu suka usil menggoda! Terutama ketika aku ngobrol denganmu, kita ditinggal berduaan.
Aku sih seneng, aja. Kapan lagi bisa ngobrol dengan pemain bola idola. Apalagi banyak pengamat sepakbola dalam negeri meramalkan, kamu bakal jadi bintang lapangan hijau masa depan.
Aku cerita dari mana dan akan kemana aku dan rombongan. Ketika kubilang, kami baru mengikuti lomba astronomi, kamu agak surprise. Aku jujur mengatakan, kecintaanku pada astronomi bermula dari ketidaksengajaan. Karena kamarku di loteng yang memiliki balkon, kalo lagi suntuk, malam-malam aku sering ke balkon.
Iseng-iseng memandangi langit yang telah gelap hanya berhiaskan bulan dan gemintang. Kagum dengan banyaknya jumlah bintang dengan berbagai bentuk, akhirnya aku suka mengamati lebih jauh.
Hasil pengamatanku kubandingkan dengan berbagai buku astronomi yang bisa kutemui di perpustakaan atau toko buku. Aku bahkan membeli teleskop, meskipun yang masih sangat sederhana, untuk memuaskan pengamatanku. Semakin aku memperhatikan, semakin aku menyukai bintang.
Kemudian aku balik tanya tentang mengapa engkau suka main bola. Kau mengatakan, mulanya tidak menyangka, mimpinya bermain bola secara profesional bisa terwujud. Pasalnya, kamu mengaku, berasal dari sepakbola kampung. Mainnya biasa di lapangan rumput sederhana, yang kalau hujan becek dan kalau panas kering dan keras.
Namun engkau beruntung ketika pertandingan antar kampung yang kau perkuat saat masih SMP ditonton seorang mantan pemain nasional yang beralih profesi sebagai pelatih. Dia diajakmu bergabung ke dalam klub semi profesional. Karena permainanmu terus meningkat, akhirnya malah dipercaya memperkuat tim kebanggaan daerahmu sampai sekarang. Bahkan kau sudah pula menjadi anggota tim nasional junior, walau statusnya masih pemain cadangan.
Lalu kita bicara tentang sepakbola. Sangat mengasyikkan ngobrol denganmu. Kita nyambung karena punya kegemaran yang sama. Makanya, ketika pesawat kalian sudah siap berangkat, ada rasa tak rela melepasmu. Untung kita sempat tukar nomor hape.
Tiga malam setelah pertemuan, hapeku menerima SMS.
“Ami, setelah bertemu denganmu, hampir setiap malam, aku juga ngeliatin bintang. Kamu benar, semakin dilihat, bintang semakin mempesona. Eh, nama kamu juga berarti bintang bersinar, kan? Pantas sangat mencintai bintang. Jadi, mulai sekarang, kupanggil engkau ‘Bintang’.”
“Iya. Sampai-sampai, aku juga menyukai bintang lapangan. He ... 3 x. Bukankah lebih pantas engkau yang kupanggil ‘Bintang’?” Balasan kukirim.
“Sayang, aku belum menjadi bintang lapangan.”
“Sudah. Walau masih bintang kecil. Bila terus diasah, aku yakin suatu hari bintangmu akan semakin terang. Bagiku, engkau adalah ‘Bintang’.”
“Terimakasih, Bintang ... Amin ...!”
Dan komunikasi kita terus berlanjut. Kadang melalui SMS. Kalo mau cerita panjang lebar melalui e-mail. Bahkan sesekali langsung telepon. Biasanya, menjelang bertanding, engkau menghubungi. Katamu, pengen mendengar suaraku untuk memberi semangat. Duh ... senangnya ...
***
Ahmad Fauzan
BINTANG, engkau menghilang. Dan langitku jadi gelap. Aku kehilangan arah tanpamu, Bintang. Seperti nelayan yang tersesat saat tidak mendapat petunjuk bintang.
Engkau tak dapat lagi kuhubungi. Baik lewat hape ataupun e-mail. Semua tak terjawab. Sia-sia.
Kuhela nafas untuk kesekian kalinya. Kuremas rambut agak gemas.
Kemungkinan ini sudah kuketahui. Tapi tetap saja mengecewakan. Kemungkinan ini sudah kuantisipasi. Tapi tetap saja merasa kehilangan. Kemungkinan ini sudah kupersiapkan. Tapi tetap saja terasa menyakitkan.
Dan segala memory tentangmu selalu kuputar kembali. Teringat hubungan kita yang makin erat setelah pertemuan pertama meski hanya melalui hape atau e-mail. Frekuensi semakin meningkat, bila menjelang pertandingan. Suaramu yang renyah dan canda ringanmu mampu meredakan ketegangan menjelang bertanding melawan tim yang lebih diunggulkan. Selain itu kau bisa memberi motivasi sehingga semangat jadi berlipat. Usai ngobrol denganmu, energi seakan terisi penuh.
Usai pertandingan pun aku menghubungimu. Terutama bila tim kami harus menelan kekalahan pahit. Meski kekalahan bukan hal asing bagiku, tapi tetap saja sulit untuk menghadapinya. Penyesalan seakan menjadi beban berat yang menyesakkan dada. Seandainya waktu bisa diulang, rasanya ingin melakukannya lebih baik lagi.
Biasanya, engkau, Bintang, dengan sabar mendengar keluh-kesahku. Setelah aku puas menumpahkan segala kekecewaan, kau membasuhnya dengan kata-kata penuh hiburan. Kadang pula kamu menyelinginya dengan guyon, sehingga perlahan beban itu terangkat.
Bila menang, biasanya engkau yang menghubungi, mengucapkan selamat. Selain menyampaikan pujian, kamu juga mengkritik penampilan kami --- khususnya aku.
Bila tak ada pertandingan, biasanya kita membicarakan bintang. Membandingkan hamparan langit dengan lukisan gemintang yang tampak. Di langitmu, di langitku. Langit yang sama meski berjarak ribuan kilometer.
Atau sering juga kita bertukar lagu tentang bintang. Kau nyanyikan lagi Sheila On Seven, “Kupetik bintang ... untuk kau simpan ...” Lalu kubalas dengan lagu Padi, “Tetaplah menjadi bintang di langit... “. Atau puisi yang bercerita tentang bintang, tentang keindahannya, tentang kemisteriusannya. Sama dengan hubungan kita yang indah, tapi misterius. Sampai suatu ketika, kita kembali bertemu.
Kebetulan kompetisi sedang libur, jeda setengah putaran. Kusempatkan berkunjung ke kotamu. Aku ingin menatap ‘Bintang’ku.
Kau menyambutku dengan baik. Ramah. Tapi entah mengapa, aku merasa telah kehilangan ‘Bintang’ku yang pernah ada. Mungkinkah karena saat menemuiku kamu selalu temani seorang sahabatmu. Namanya Adinda. Sebenarnya tak mengapa, karena ketika itu akupun ditemani Anwar--- sepupu teman satu timku yang kebetulan tinggal di kotamu. Di rumahnyalah aku numpang tinggal sementara.
Tapi Adinda, cewek berjilbab lebar itu seakan membentang jarak di antara kita. Sebenarnya, aku juga sudah mengenalnya lewat ceritamu. Katamu, dia memberimu pencerahan. Namun tak kukira dia seakan menjadi tembok gaib dalam kebersamaan kita.
Kekhawatirkan coba kutekan sampai menjelang pulang. Saat itulah aku mendengar percakapan kalian. Kudengar Adinda setengah memarahimu. Agaknya, dia merasa jengkel padamu.
“Kamu main api, Mi. Kamu bisa terbakar nanti!” Suara Adinda memendam kesal. “Kamu harus mengakhirinya bila tidak ingin terlanjur hanyut.”
“Aku tahu.” Kamu tergugu. Suaramu terdengar tak berdaya. “Maafkan aku!”
“Jangan minta maaf padaku, karena bukan padaku kamu bersalah! Kamu pasti tahu itu.”
Kudengar kau menghela nafas. Panjang dan berat. “Aku akan melupakannya, Din. Setelah ini. Percayalah! Meskipun aku mencintai ‘Bintang’ itu, tapi aku lebih mencintai Sang Pencipta Bintang --- Pencipta Segala Bintang.”
Setelah itu ‘Bintang’ku menghilang. Meski perlu waktu, akhirnya aku mengerti mengapa.
***
Jauza Nur Nazmi
BINTANG yang sengaja kuhilangkan.
Terpaku kutatap sosok penuh keringat yang sedang diwawancara reporter di tengah hiruk pikuk pesta kemenangan para suporter.
“Kemenangan ini saya persembahkan untuk seluruh pendukung kami. Terutama juga untuk keluarga, dan tak lupa untuk ‘Bintang’ku. Meski engkau menghilang, namun sungguh engkau menjadi bintang di langitku yang gelap. Aku mengerti alasanmu menghilang, sama seperti alasanku untuk mencarimu. Insyaallah ...”
Aku tertegun. Bintang yang sengaja kuhilangkan. Tapi hanya Tuhan yang tahu, sesungguhnya ‘Bintang’ itu tak pernah benar-benar hilang dari langitku.
*** Banjarmasin, 13 Juni 2008 (Telah dimuat di Tabloid Kerbek)
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
