
Setiap manusia memiliki takdir yang berbeda, masalah yang berbeda dan bahagia dengan cara yang berbeda. Tidak peduli pandangan berbeda dari berbagai pasang mata tak sama.
🌧️
Aku tak pernah tau, akan dilahirkan saat air langit turun dengan iramanya yang tak beraturan. Mungkin jika aku dapat mengingat pertama kali keluar dari rahim Ibu, yang terdengar jelas pertama kali ialah suara menggelagar guntur. Dan ternyata, semua dugaan konyol itu benar. Ayah pernah cerita, dulu saat lahir aku tidak lekas menangis dan membuat Ibuku bingung. Namun selang beberapa menit tangisku pecah, terkejut akan suara guntur di luar sana. Aku juga ingat alasan Ayah menceritakan itu padaku, tentang apa yang ku benci hingga akhirnya kusukai.
Sejak kecil setiap kali aku mendengar suara guntur, kedua tanganku otomatis menutup telinga. Saat guntur menggelagar aku bisa refleks berteriak dan lari memeluk Ayah jika di rumah. Ya, dulu satu-satunya ketakutan yang dapat ku ekspresikan hanya saat mendengar suara guntur. Namun anehnya, aku justru menyukai hujan dan kilatan petir dilangit mendung. Hingga sampai satu hari mungkin kebiasaanku itu mengganggu Ayah, ia mulai mengenalkanku bagaimana aku harus berteman dengan hujan.
“Bukannya Lila sudah suka sama hujan, Yah.”
“Kamu baru mengenal namanya, dan belum menjadi teman.” Ucap Ayah lembut.
Suasana halte bus sedang sepi, hanya ada Aku dan Ayah yang berteduh sore itu. Cuaca bulan Januari begitu kentara, mendung pekat menutupi atap kota. Bahkan saking kerasnya suara deras hujan, bunyi klakson kemacetan yang selalu mejadi irama kota sedikit teredam. Kedua tangan Ayah mulai terlentang ke depan, menadahkan telapak lebar itu menangkap setiap tetes air hujan.
“Ikuti Ayah,” pintanya. Aku yang semula menatap bingung mulai ikut merentangkan kedua tangan ke depan. Hanya sebentar, karena saat suara guntur menggelegar Aku refleks memeluk Ayah.
“Kata hujan, jangan takut.” Ucap Ayah membuatku mendongkak bingung. Ayah tersenyum seraya memposisikan diri berjongkok dan memelukku dari belakang. Setelahnya kedua tangan besar itu menuntun tanganku terlentang ke depan.
Aku terdiam, merasakan setiap tetes air langit yang jatuh berulang mengenai telapak tangan. Kepalaku sejenak menoleh, menilik Ayah yang ternyata sudah memejamkan mata. Seakan mengisyaratkaku untuk melakukan hal yang sama. Dan entah didetik berapa mataku ikut terpejam, mencoba merasakan hal istimewa apa yang harus kuketahui dari hujan.
“Lila belum pernah hujan-hujanan kan?” bisik Ayah membuatku kembali menoleh dan membuka mata.
Kepalaku otomatis menggeleng. “Lila kan takut gledek. Ibu juga bilang, bisa sakit kalau hujan-hujanan.”
“Yaah... percuma dong Ayah kasih nama Halila.” Keluhnya dengan sendu.
“Kenapa?”
“Karena kamu bagian dari hujan, Halila Raihanun. Menurut kamu, bagaimana aroma hujan?” aku terdiam, memikirkan kata apa yang cocok untuk menggambarkan aroma hujan. Memikirkan pula bagaimana pula tetes-tetes air yang begitu banyak ini jatuh dari langit dan membasahi jalanan? Bagaimana bisa burung-burung dan serangga terbang tidak ada yang ikut jatuh saat rombongan air itu jatuh? Dan memikirkan apakah di atas sana terdapat sungai sehingga air berjatuhan?
“Menurutmu, bagaimana aroma hujan?” suara lain menyentak pendengaranku. Fokusku teralih pada sosok lelaki bertubuh tinggi dan cukup berisi duduk di sebelahku. Tanpa sadar penumpang bis kota ini cukup penuh sesak, terbukti jajaran kursi belakang yang ku tempati hampir terisi penuh. Tak khayal juga mengingat menjelang petang diguyur hujan membuat beberapa pekerja mungkin memilih angkot atau bus untuk pulang.
“Bagaimana kabar kakakmu?” tanyanya kembali mengintrupsi.
Aku tersenyum, mencoba seramah mungkin. “Alhamdulillah, baik.” Jangan berharap ia menanyakan kabar tentangmu, halila. Gerutuku dalam hati.
Dia hanya mengangguk dan tersenyum sesaat. Aku pun enggan menciptakan obrolan baru, cukup duduk berdekatan seperti ini saja. Aku belum siap untuk interaksi lebih.
Suasana bis kota semakin penuh saja dan suara deru hujan semakin keras di luar sana. Perjalanan menuju rumah kurasa masih sekitar 20 menitan lagi, terlebih dengan keadaan hujan dan macetnya kota mungkin saja bisa lebih. Aku sedikit mencebik, sungkan dengan suasana gaduh nan ramai ini.
Terkadang aku bertanya-tanya, mengapa orang-orang begitu berisik? Atau bisakah sebelum berbicara mereka mengatur intonasi suara mereka demi kebaikan pendengaran orang lain? Ah, sudahlah. Tak ada yang membuat mereka peduli tentangku.
Namun semua kekesalanku beralih saat dia dengan entah bagaimana memasangkan headset pada telingan kiriku. Bahkan tanpa melihatku atau menjelaskan maksud dari semua ini. Setelahnya lelaki itu hanya mengangkat ponselnya setinggi dada dan menekan tombol pemutar musik di sana. Mataku yang belum berkedip menatapnya pun melihat ia begitu santai dengan memejamkan mata dan telinga kanan yang tersumbat headset. Ya, bisa ku bilang ini pertama kalinya kami mendengarkan lagu yang sama.
Aku tersenyum, meski masih terasa bingung motif seperti apa yang sedang dia ciptakan dalam menjalin kedekatan ini. Mataku kembali beralih pada jendela bis yang berembun. Apa ini keberuntungan saat hujan? nikmati saja Halila.
....
🎶🎶🎶
Jendela berembun, kamu ada
Tak berkedip mata berbisik
Isyaratkan rindu yang dalam kepadamu
Aku tenggelam bersama hujan
‘Kan berlabuh di tepi ruang tak berujung
🎶🎶🎶
....
Bis berhenti tepat pada halte dekat perkampungan tempat tinggal kami. Aku hanya menyikut lengan kanannya untuk membuatnya membuka mata dan menunjuk arah luar menggunakan dagu. Kurasa ia juga mengerti, tangannya mulai melepas headset dari telinga dan aku pun secara otomatis melakukan hal yang sama.
“Terimakasih,” ucapku yang hanya dibalas anggukan. Kami pun sama-sama melangkah turun.
Tak kusangka di halte, Edwin sudah menunggu dan melambaikan tangan kearahku. Bocah 5 tahun itu mengenakan jaket hangat dengan beralaskan sepatu boot hujan yang baru pertama kali kulihat.
“Mbak Lila.” Sapanya bersemangat. Aku juga tak dapat menyembunyikan rasa gemas untuk segera memeluk dan mencubit pipi tembamnya. Sampai adikku ini memekik dan memukul punggungku dengan kesal.
“Ini payung buat mbak Lila, Edwin bawa payung sendiri.” ucapnya dengan memberikan satu payung lipat kepadaku.
“Assalamu’alaikum, Edwin.” Aduh, aku sampai lupa keberadaannya.
“Waalaikumsalam, temennya mas Galih.” Kulihat dia hanya terkekeh pelan menanggapi balasan Edwin, karena setelahnya lelaki itu langsung berjalan terlebih dulu menerjang hujan.
Aku teringat payung yang kupegang, kurasa ia lebih membutuhkannya. Dengan cepat kakiku berlari menyusul lalu menghentikanya. “Bang Harun pakai ini saja,” kataku sembari meraih tangan kanannya dan memberikan payung lipatku. Wajahnya sesaat terlihat bingung, aku hanya tersenyum sebelum beralih menggapai payung yang Edwin pegang.
“Ayo Edwin, kita pulang.” Pintaku langsung diangguki bocah itu.
🌱🌱🌱
“La.” Panggil Indah, teman sebangkuku. “Berisik tau nggak sih.” Aku mengernyit dan menatap Indah yang berwajah begitu kesal.
“Ndah, gue cuman ngelamun loh.” Kataku lirih tak lupa dengan senyum penyejuk hati.
“Ngelamunnya elo itu berisik, La. Tuh jari gerak-gerak. Kaki juga nggak bisa anteng banget jadi bocah.” Jelasnya berakhir omelan.
Aku menatap jari tangan kanan yang memegang bolpoin, baru tersadar pula aku sedari tadi mengetuk-ketukkan bolpoin itu berulang kali. Kakiku di bawah sana juga mungkin sedikit memberikan goncangan pada meja kami sehingga Indah mengomel.
“Sorry,” cengirku dan gadis berkucir kuda itu hanya memutar bola mata.
Aku tak lantas kembali bersikap seolah sibuk mengerjakan tugas atau memperhatikan soal-soal penuh angka di white board kelas.
Suasana kelas begitu sunyi, penghuninya nampak tenang siang ini. Bu Agustin selaku guru mata pelajaran Fisika pun undur diri empat puluh lima menit lebih awal dari jam berakhirnya pelajaran. Teman-teman kelasku juga sebagian begitu serius mengerjakan dan sebagian lagi memilih untuk tidur siang di bangku masing-masing, walau ada juga sih yang lebih memilih langsung cabut dan bolos di luar.
Limabelas menit pertama kulalui dengan berfikir corat-coret asal pada buku dan hanya menemukan dua jawaban dari total tujuh soal. Lima menit setelahnya aku hanya melamun entah apa yang kepalaku fikirkan, sampai teguran Indah tadi menyadarkan. Hujan di luar seakan memikat mataku minta diperhatikan. Punggungku otomatis tersandar santai pada kursi. Fokusku kembali teralih oleh lagu hujan dan bulir-bulir air langit itu yang membekaskan dirinya pada jendela kelas.
.........................
“Ini apa, Yah?”
“Jas hujan buat Halila,” Jawab Ayah dengan memamerkan senyumnya.
Tangannya juga sibuk membuka bungkus jas hujan lalu memasangkan benda berbahan plastik tersebut pada tubuhku. “Sekarang kamu bisa hujan-hujanan tanpa khawatir Ibu marah atau kamu sakit,” lanjutnya menjelaskan.
Layaknya seorang anak yang diberi hadiah oleh orangtuanya aku tersenyum, rasanya benar-benar bahagia mengingat Ayah sangat memperhatikanku. Hari ini kami pulang tidak dengan bus atau kendaraan umum lainnya. Ayah sudah bersiap dengan payung warna biru tua andalannya dan aku sudah berlari kegirangan menembus hujan. Kedua tanganku terlentang dan tubuhku berputar, menari di tengah jalan pulang yang sepi. Hanya ada Aku, Ayah dan hujan menjelang senja.
“Ayah,”
“Iya.”
“Kata Ayah, air hujan itu dari uap air laut kan? Apa rasanya asin juga?” pertanyaanku lagi-lagi membuat suara kekehan itu mengalun merdu dari mulutnya.
“Apa Lila baru aja minum air hujan? gimana rasanya?” responnya balik dengan gurauan.
“Ayah...” rengekku. “Aku nggak mi-num,” gumamku sambil berlalu kembali mendahului Ayah.
...............................
“Halila.” Suara Indah untuk kesekian kalinya menyentakku. Aku langsung menatapnya bingung. “Apa?”
“Pulang.”
“Tugas lo, udah?” tanyaku penasaran.
“Kurang dikit. Besok pagi aja ngumpulinnya.” Jelasnya singkat.
Kuamati gadis dengan rambut lurus tergerai itu sudah bersiap menenteng tasnya. Akupun otomatis membereskan barang-barang sebelum tersenyum dan menggandengnya keluar kelas.
Kami berjalan beriringan menyusuri koridor lantai 2 yang ternyata sudah cukup ramai dilalui murid lain, mengingat ini menujukkan pulang sekolah. Kami hanya berjalan, tanpa selingan obrolan atau celetukan canda apapun itu.
Hari ini memang teman sebangkuku itu sedikit pendiam. Tapi Indah selalu bilang...
“Kalau gue diem dan nggak terlalu respon omongan lo, sorry. Gue kadang males ngomong atau lagi badmood aja. Dan saat itu lo boleh cari temen ngobrol lain.”
Ya, inilah Indah. Indah Alamandini. Seorang siswi terpandang di SMA Bintara Bekasi Selatan. Cantik, pintar, berprestasi dan menjadi Duta Puteri Bintara tahun ini. Temanku satu ini memang cuek, sebelas-duabelas lah sama kepribadianku. Mungkin karena sifat dan karakter kita yang mirip ini membuat kita cocok berteman dari awal kelas 10.
Sebagian orang bisa memandang Indah sebagai remaja yang beruntung, istimewa dan sempurna. Sebenarnya ia masih seperti remaja lainnya, disela kesibukannya sebagai model, ia selalu menyeretku dan mengajakku keluar sebagai bentuk pelampiasan rasa kesalnya. Ia mungkin terlihat kalem, tapi siapa sangka ia adalah anak yang mudah tertekan acapkali orangtuanya terlalu menuntut. Terakhir kali Indah sempat ‘misuh-misuh’ menceritakan niatan Ayahnya yang ingin maju menduduki kursi Dewan dan namanya juga ikut disorot oleh media.
“Lo bawa payung?” tanyanya setelah kami menginjakkan kaki di lantai bawah dan menyadari bahwa hujan belumlah reda.
Aku menggeleng. “Lo belum dijemput?” Indah menggeleng, menatapku sejenak sebelum kembali menatap rinai hujan.
Hujan yang turun memang tidak begitu deras atau sampai memainkan suara khasnya yang memekakkan telinga. Hanya hujan tenang seperti biasa dengan intensitas jatuhnya air yang tidak terlalu sering ataupun tidak pula renggang. Kulihat beberapa murid lain lebih memilih menerjang hujan untuk sampai ke halte seberang. Mereka berlari dengan tas diangkat setinggi kepala diperalat layaknya payung. Tatapanku jatuh ke bawah, dimana sepasang sepatu putih yang kukenakan masih nampak bersih tak bernoda. Begitu pula dengan milik Indah. Ya, kami memang sepakat memakai sepatu sama yang baru kami beli seminggu yang lalu.
“Ndah, lo gabut nggak?” tanyaku dan Indah sentak menoleh.
Tak lama senyumnya terukir. “Banget. Pengen main.” Balasnya dengan tatapan seakan memintaku untuk berbuat sesuatu.
Aku lantas mengeluarkan ponsel beserta wadah waterproofnya. Melangkah mendahuluinya tanpa ragu akan air hujan yang masih sama intensitasnya. Lalu tubuhku memutar menatapnya dengan berjalan mundur. Memberikan isyarat pada Indah untuk ikut melangkah. “Oke. Let’s play the game.”
Tak peduli dengan tatapan dari pak satpam atau murid lain, kami kompak berlarian kecil dan melompat dibawah hujan. Sengaja menciptakan kecipak dari genangan air keruh sampai membekaskan noda di sepatu putih. Aku dan Indah hanya gadis remaja yang terlalu kaget beranjak dewasa. Sifat-sifat kami yang masih kekanakan tak akan bisa terlepas begitu saja. Kami sama-sama tau, setiap manusia memiliki takdir yang berbeda, masalah yang berbeda dan bahagia dengan cara yang berbeda. Dan kami juga tidak peduli pandangan berbeda dari berbagai pasang mata tak sama.
🌱🌱🌱
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
