HARI SAKRAL KARYAWAN

0
0
Deskripsi

Jika kalian bertanya tentang hari dimana dada digoncang, hati diglisir-glisir dan jantung diporak-porandakan, maka tanggal gajian pertama adalah salah satunya, setelah hari pernikahan. Duh, sopan amat sinopsisnya. 

 

Satu demi satu hari Bena bekerja seperti biasa. Tapi kali ini dengan mata yang berbinar-binar menunggu jam istirahat untuk pergi ke ATM mengecek saldo rekening. Mau bertanya pada teman tetangga meja apakah gaji sudah masuk, tapi malu. Namun soro mata, raut muka, dan gestur tubuhnya tidak bisa disembunyikan. Bena sangat payah untuk berpura-pura. 

Jam makan siang tiba. Bena masih memendam rasa untuk mengecek saldo rekeningnya. Bayangannya sudah kemana-mana. Dapat gaji pertama nih, Bos. Hendak dibelikan handphone agar bisa diinstal Mbanking. Handphonenya sekarang tidak cukup memori untuk menginstal aplikasi mobile banking. Toh, duitnya juga belum ada, pikirnya. Akhirnya ia urungkan niatnya untuk mengecek saldo dari gaji pertamanya meskipun penasarannya sudah membuncah dikepala dan hatinya. Sudah konak seperti kambing birahi rupanya. Namun ia urungkan dengan alasan agar semakin nikmat. Nanti saja, selepas magrib. Agar mirip orang buka puasa.

Padahal, nominal berapa itu sudah diberitahu sejak wawancara, saldo terakhir ia mengecek juga masih ingat. Tapi entah alasannya mengapa begitu berhasrat untuk melihat saldo di ATM secara langsung. Padahal, secara hitungan anak sekolah SD juga ketahuan. Apa itu yang disebut angan-angan yang berlebihan? Bodo amatlah, seperti cinta dan rindu, rasa karena menunggu sesuatu yang ditunggu-tunggu juga sulit untuk dirumus. 

Magrib tiba, Bena langsung pulang. Tidak seperti biasanya yang menunggu macet-macetan. 

“Ada urusan!” jawabnya.

Sampai di ATM terdekat ia berhenti. Mengantri dengan tertib. Ada sepuluh antrian di sana. Satu antrian terasa sangat lama oleh Bena. Maklum, prasangka para penunggu memang begitu. Padahal, dunia tetap saja begitu adanya, manusia saja yang menyangka dengan persepsi egois sehingga dunia disangka cepat, lambat, baik, baruk. 

Satu persatu orang antri itu silih berganti masuk di pintu ATM bank yang sudah tutup. Bena berdiri khusyuk menunggu gilirannya. Hingga sampai pada akhirnya gilirannya ia memasuki ruang ATM. Sekotak ATM itu terasa seperti panggung perayaan tujuh belasan 10 tahun yang lalu. Dipanggung itu Bena demam panggung bukan kepalang. Hatinya bersegup bukan buatan. Tangannya dingin lemas bukan main-main. Pengalaman pentas pertama di panggung yang dihadiri para pejabat RW itu sangat membekas untuk Bena hingga akhirnya ia merasa bahwa bakatnya adalah bermain musik. 

Rasa itu kembali menyeruak untuk kesekian kalinya. Sesuatu yang pertama memang tidak selamanya, tapi itu sulit untuk dilupa. Begitu katanya. Rasa itu kembali diingat jagad kini saat memegang pintu ATM. Ia sentuh besi gagang pintu yang bertuliskan ‘TARIK’ itu. Dingin bukan main AC didalamnya. Jantung pun Bena berdegup keras dan nyaris mau lepas. Lututnya lemas, kakinya perlahan melangkah masuk ruang ATM satu meter persegi itu. Ruangan kecil ber AC itu dingin sedingin-dinginnya. Sialan! Ternyata mengambil gaji pertama itu tak kalah menegangkan! Namun, bagaimanapun, ini harus dituntaskan. Seperti pentas pertama kala itu. 

Ia pungut dompet dari saku celana kain bekas ayahnya yang ia sesuaikan ukurannya. Ada bekas aus karena dompet disaku kanannya. Ia masukkan kartu kedalam mesinnya, ia masukan PIN yang kadang ia lupa karena saking jarang digunakan. Namun kali ini ia mendadak lancar. Agaknya memang seperti itu cara tubuh menyimpan memori. Sesuatu yang terikat dengan emosi baik senang atau sedih akan lebih mudah diingat. Jadi jelas permasalahan mengapa perkuliahan matematika sulit diingat Bena. Dilihatnya saldo rekeningnya Dua Juta Lima Ratus Lima Puluh Lima Ribu Seratus Tiga Puluh Enam Rupiah, ia terharu. Berkaca-kaca matanya melihat saldo yang bertambah karena lelah jerih payah satu bulan pertama di ibukota ini. 

Ingin sekali ia berkata pada orang tuanya “Ibu pengin beli apa?” 

Rasa hangat di hati itu terakumulasi dan bergerak naik. Di mata membuatnya sembab, di tenggorokan membuatnya sulit menelan. Karena menahan air mata yang semakin menggenang. Tuhan, begitu indahnya buah dari kesabaran. Mungkin gaji itu tak seperti orang-orang dan para pemuda lain seumuran Bena yang sudah membeli mobil, rumah, bahkan satu milyar pertama. Bukan, bukan. Jauh dari itu kawan. Jika yang Bena dapatkan dibandingkan dengan teman-teman kuliah seangkatanya, itu tak kan berarti apa-apa. TEman teman Bena bekerja di perusahaan bergengsi bergaji tinggi. Sebenarnya pun Bena merasa malu, rendah diri, juga berkecil hati saat ditanya orang tuanya berapa gajinya. Bena pun tahu bahwa orang tuanya juga merasa kasihan. Tapi setidaknya itu usaha Bena untuk mandiri. Hatinya terharu melihat saldonya bertambah. Kerek! Kreek! Kreek! kreek!

Ahh.. Lega rasanya hati Bena. Bunyi kretek-kretek mesin ATM memang salah satu lagu paling merdu dan ditunggu-tunggu. Satunya lagi notifikasi uang masuk m-banking. Bayangkan sobat, kenikmatan yang dirasakan Bena. Orkestra paling megah adalah komposisi antara menunggu gaji pertama, menahan hasrat ingin tahu, disambung bunyi paling merdu dari mesin yang diidolakan semua manusia, diakhiri dengan memungut lembaran dengan aroma paling harum menurut manusia terutama kaum wanita. Bisa dikira-kira bukan seperti apa lega yang dirasa Bena? 

Bunyi ATM dari gaji pertama yang sudah ditunggu berbulan-bulan, ditambah menahan hasrat penasaran hingga petang menjelang, disempurnakan dengan menunggu antrian panjang dan menyebalkan. Memang ternyata nikmat itu bukan perkara seberapa banyak yang kita dapat, namun seberapa peka kita akan sebuah nikmat.

            Uang impian sudah didompet. Selama perjalanan pulang ia pegang berkali-kali dompet disakunya itu sambil menyetir motor, menuju kos-kosan yang harganya 1/5 gaji yang ia terima. Gaji tadi ia ambil semua, karena alokasi belanja pun sudah tergambar dibenaknya. 1/5 untuk kos-kosan, 1/10 lagi untuk bensin sehari-hari, 1/10 lagi untuk disedekahkan, 1/5 untuk makan pagi atau malam. Karena urusan perut ini Bena sudah cukup terlatih, setiap pagi ia tanya perutnya apakah dia lapar atau tidak, jika lapar ya ia sempatkan sarapan, lalu jatah makan siang di kantor ia makan agak sore agar malamnya tidak lapar. Kalau tidak ya sekalian makan siang lalu alokasi anggaran pagi digunakan untuk malam hari. Jika ada sisa katering karyawan yang tidak dimakan, maka itu dianggap bonus dari Tuhan. Kesadaran hemat itu ia ciptakan saat berkuliah dulu. Uang kiriman orang tua yang pas-pasan itu nyatanya selalu tersisa dan yang secara nilai bisa ia gunakan untuk membeli baju baru setiap bulan. Meskipun tidak dilakukan juga. Urusan pembagian keuangan seperti ini ia gunakan untuk mengatasi agar ia bersedekah dikala sulit dan dikala lapang. Saat itu ia bingung bagaimana caranya agar tetap bersedekah tanpa mempertimbangkan keuangannya. Saat tidak punya uang, ia sangat berat untuk mengeluarkan uang untuk bersedekah. Dan saat punya uang yang lebih, ia sayang untuk bersedekah. Ia berusaha mengalahkan persepsinya sendiri saat pengelolaan uang. Karena nyatanya memang perkara uang sangat riskan dirasuki setan. Punya uang seratus ribu ia sedekah 10 ribu, saat punya uang 1 juta ia juga masih bersedekah 10 ribu. Secara kuantitas itu sama. Tapi secara rasio itu sangat egois. Dan jika diteruskan maka akan menuju pada kaya harta yang pelit. Karena itulah ia menggunakan prinsip rasio penghasilan. Berapapun yang ia punya, perhitungannya menggunakan pola yang sama. Oh ya, sisa 2/5 gaji itu akan ia belikan handphone baru untuk ibunya. 

Setelah keluar dari ATM tadi Bena bertanya pada ibunya sambil duduk dimotor yang masih distandar.

“Ibu pengin beli apa?”

Beberapa detik kemudian ibunya menjawab.

“Sebenarnya ibu pengin beli handphone, yang ini sudah sering rusak.”

“Ya sudah besok Bena belikan.”

Perjalanan pulang malam ini sepertinya menjadi night riding paling menyenangkan untuk karyawan baru seperti Bena. Tapi tentu itu juga akan tidak lebih berharga jika Bena tidak pernah mengalami mengemis pekerjaan di warung-warung makan dan tempat cuci kendaraan. Malah akan biasa saja jika bena sudah sering mendapat uang yang lebih dari ini. Dan justru akan semakin tidak terasa bahkan tidak dihargai jika uang kiriman bulanan dari orang tuanya lebih banyak dari ini. Dan akan dikatakan ‘Alah segitu aja’ jika Bena adalah orang kaya bermental manja.

Hiruk pikuk pengapnya ibukota yang penuh polusi dan keterburu-buruan malam ini seperti senyap. Ramainya para pengendara motor tampak seperti tarian rampak yang saling bersahutan. Bunyi klakson mobil pejabat dan para orang kaya angkuh minim empati itu terdengar seperti burung-burung yang bersiul pagi hari. Kelap-kelip lampu bus dan lampu jalanan seperti lampu sorot pertunjukkan Teater Ramayana. Cengar-cengir saja ia sepanjang perjalanan. Andai saja ada orang yang memperhatikan pastilah orang itu menyangka Bena sedang gila atau minimal agak laen. Bagaimana tidak, ditengah jam sibuk penuh desak yang saling ingin mendahului Bena seperti santai bahkan menikmatinya. Dimulai dari mengantri yang sebenarnya tadi menyebalkan karena banyak diserobot orang tapi Bena memilih menjadi yang terakhir. Karena ia tahu lebih dulu dan mendahului dengan tamak hanya akan mengganggu dan terganggu. Sama sekali tidak nyaman. Sehingga membiarkan orang lain mendahului itu justru mendukung kekhusukan saat mengambil uang nanti.

Kilometer demi kilometer ramainya kota Jakarta Bena tempuh dengan motor setengah baya menjelang senja warisan orang tua. Motor yang shockbreaker sudah keras itu terasa empuk kini. Footstep yang sudah miring terasa tegap. Memang ajaib manusia itu. Raut mukanya begitu bahagia ditengah raut masam para pekerja yang masih berlalu lalang. Saat sampai disebuah perempatan jalan layang, Bena melihat ada tenda angkringan. Seketika ia langsung teringat suasana saat masih dikampus dulu, Bena memutuskan untuk mampir sejenak sekedar makan nasi kucing, tempe goreng, dan es teh manis. Ya, anggap saja self reward kerja satu bulan. Berhenti ia dipinggir jalan, diparkirnya motor yang lebih tampak seperti pengangkut rumput dipegunungan itu. Bena turun menuju tikar yang terhampar ditepi jalan setelah mengambil beberapa makanan dan memesan es teh. Tidak lama setelahnya, es teh datang. Disentuhnya gagang gelas itu, terasa sejuk. Disentuhkan bibir atasnya pada ujung bibir gelas menyentuh es teh yang masih utuh,  semrenyess.. Diseruputnya sedikit demi sedikit dengan bibirnya.. slurpp slurp.. Dinginnya es teh malam itu menyeruak menuju rahang dan perlahan merambat ke atas ke arah ubun-ubun. semakin mendinginkan suasana malam diantara orang-orang yang gersang melaju kencang. 

Ck! Ah.. Alhamdulillah.. Satu tegukan itu terasa sejuk ditenggorokan.

Ckk! Ahhh… Masya Allah.. Begini ternyata rasanya gajian.

Ckkk! Ahhh! Subhanallah! Hampir saja Bena meneriakan Takbir!

Dibukanya handphonenya karena sepertinya ada pesan masuk beberapa menit yang lalu. Ia rogoh handphonenya dari saku kiri celana kain abu-abu. Ternyata pesan ibu. Ia buka segera tanpa ba-bi-bu!

“Sudah jangan beli handphone dulu, ibu gampang nanti saja, gaji pertama buat kamu saja dulu. Kamu sudah keseringan prihatin. Sekali-kali kamu beli apa yang kamu pengin.” Tulis ibunya di pesan itu. 

Nyess. Rasa dingin mengguyur pelan-pelan ulu hatinya . Siapa yang tidak haru, begitulah naluriah seorang ibu. Selalu mengalah padahal dia pun perlu.

        Ibu yang terlalu baik. Tak pernah memarahi, meski tak pernah membanggakan anaknya didepan orang-orang, Ibunya juga tak pernah membandingkan atau bahkan menuntut dirinya dengan prestastasi teman-temannya. Perkara tidak pernah dibanggakan juga Bena mawas diri karena memang tidak ada perestasi yang ia punya. Jadi ya sah-sah saja. Namun Bena sekali menyesal karena membuat ibunya menangis. Saat itu karena saat persiapan ospek Bena seperti tidak peduli, padahal ia nanti disana sendirian. Tidak ada orang tua yang membantu mengurus dan membantu. Ibu Bena berpikir agar Bena menyiapkan yang dibutuhkan dirumah, tapi Bena ogah-ogahann. Ibunya yang sangat khawatir itu akhirnya menitikkan air mata. Bena yang mengira urusan persiapan ospek adalah hal biasa dan tidak perlu direpotkan tapi ternyata membuat ibunya menangis. Sejak saat itu Bena berusaha bagaimanapun caranya untuk membuat ibunya bahagia, atau minimal, tenang.

            Es teh, nasi kucing, gorengan, sate telur puyuh perlahan ia nikmati. Suap demi suap, kunyah demi kunyah coba ia rasakan perlahan dari gaji pertama barusan. Sedikit demi sedikit ia nikmati. Astagaaaa! Mustikanikmat betul rupanya!! Ternyata benar bahwa semakin melambat akan semakin terasa nikmat! Dan ini berlaku dibanyak hal. Berbagai urusan hidup akan semakin nikmat saat semakin lambat. Keterburu-buruan hanya membuat kita melewatkan banyak kenikmatan level supernano yang padahal disitu banyak warna-warna rasa nikmat fisik dan batin tak terkira dan tak terduga. Ck! Ahh!

            Yang barusan adalah sruputan terakhir es teh Banu yang menyegarkan jiwa raganya itu. Suasana Jakarta masih ramai lalu lalang kendaraan berserabutan. Bau asap knalpot Bus Kota tak lolos uji emisi karbon juga masih berontak sembar-sembur seperti kepulan asa rakyat jelata yang terabaikan. Disalahkan keadaan karena cara hidup yang dibawah standar minimal para aktivis lingkungan hidup. Cara hidup rakyat jelata yang dijadikan objek penelitian kamu intelektual. Dijadikan alasan para calon pejabat yang mengharap dukungan, dijadikan pasar oleh para pengusaha penimbun keuntungan. Rumit memang jika diterangkan. Untung saja Bena saat ini sedang bahagia-bahagianya. Merayakan kemenangan keprihatinan selama sebulan dalam kesunyian di tengah keramaian kota metropolitan. Bena seperti membuktikan bahwa kenikmatan ada dimana saja bahkan mungkin dalam neraka, andai saja manusia bisa asyik dengan nikmat dari Tuhannya.

            Akhirnya pukul 10 malam ia sampai di kos-kosan yang sangat sederhana itu. ia gantungkan Tas kumalnya di belakang pintu bersama baju ganti yang masih belum bau. Kaki dan wajah kemudian ia cuci. Masih dengan wajah merona karena kebahagiaan gaji pertama. Ia pejamkan mata dengan bibir menyungging senyuman tulus. Terimakasih Tuhan, akhirnya aku merasakan deg-degan saat pertama mengambil uang gajian. Kemudian ia lemaskan otot wajahnya, lalu lehernya, kemudian tangannya, juga kakinya. Ia bawa pikirannya pada gerak nafasnya. Ia tinggal menetap disana untuk berterimakasih pada dirinya, nabinya, dan Tuhannya. Terimakasih Tuhan, atas hidup seharian tadi. Kini aku serahkan lagi kesadaranku padamu.

            

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya KEMBANG TUJUH SUMUR DAN MANUSIA SUSAH DIATUR
0
0
Langsung saja! tidak sempat untuk basa-basinya. Lagi sibuk benerin sanyo tetangga!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan