
Tentang Ratna yang menemui keraguan sebelum pernikahannya dengan Bayu.
***
Karya ini gratis, tapi boleh kok kalau kalian mau memberi tip. Aku ikhlas. π
Sosok tamunya malam ini memang bukan orang asing bagi Ratna, tetapi tetap saja kedatangannya tak terduga. "Ngapain ke sini?" tanya Ratna sambil mengamati pria di hadapannya, sekaligus calon suaminya itu.
Ya, seharusnya Bayu sudah tidak boleh menemuinya. Mereka akan menikah dua minggu lagi dan, menurut tradisi orang Jawa, sudah saatnya mereka dipingit. Bahkan Fifi, teman sekontrakan Ratna, sampai mewanti-wanti agar Bayu pulang sebelum satu jam.
"Laper, habis futsal," jawab Bayu sambil membuat gerakan mengelus perut. Tas olahraga tersandang di bahu. "Pengin makan Indomie."
"Kontrakanku bukan warmindo," kata Ratna sambil berkacak pinggang.
"Memang. Tapi, Indomie jadi lebih enak kalau kamu yang masakin. Soalnya, kamu kan masaknya pakai cinta.β
Iiih, masak mie kan pakai panci. Bayu apa-apaan sih? Datang pada jam setengah sembilan malam, melancarkan rayuan maut, hanya untuk meminta dimasakkan mie instan. Namun, sungguh sulit untuk menahan senyum setelah mendengar gombalan dari mulut lelaki itu. Memang calon suami Ratna ini raja gombal nomor wahid.
Ratna berbalik dan segera menuju dapur. Bayu mengekor di belakang.
βMau rasa apa? Kari Ayam? Soto Spesial?β tanya Ratna sambil melihat-lihat isi rak plastik tempat menyimpan bahan pangan. Di sana tersedia beberapa bungkus Indomie berbagai rasa. Meskipun Ratna gemar memasak, mie instan memang masih menjadi pilihan teratas dari daftar menu makanan saat mager melanda.
Bayu duduk kursi makan yang menghadap sebuah meja kecil. "Soto aja.β
Ratna mengambil panci dan merebus air. Gerakannya cekatan. Menyeduh mie, memecahkan telur, mengiris daun bawang dan cabe rawit. Semuanya tidak ada yang luput dari pengamatan Bayu.
"Barang-barangmu udah siap semua?β tanya Bayu. βBesok aku antar ke terminal ya?"
Esok hari, Ratna akan pulang ke Purworejo, kampung halamannya. Sebab pernikahan mereka akan diselenggarakan di kediaman orangtua Ratna. Sedangkan, Bayu masih harus menunggu kedatangan keluarganya dari Jakarta, pada H-2. Tanpa sadar, Bayu tersenyum. Begini, ya, rasanya mau nikah. Seperti mimpi. Mimpi yang teramat indah.
Wangi soto khas mie instan menguar ke seluruh dapur. Ratna memindahkan mie berkuah yang masih panas itu ke mangkuk dan menyajikannya di depan Bayu. "Aku dijemput Bapak, kok. Kata Ibu, aku nggak boleh naik kendaraan umum sendirian. Menjaga keselamatan. Kamu tahu sendiri kan kalau Ibu percaya hal-hal semacam itu. Besok pagi-pagi banget, Bapak berangkat dari Purworejo," terang Ratna sambil duduk di kursi di sebelah Bayu.
Bayu manggut-manggut. Untuk kali ini, dia setuju dengan pendapat calon ibu mertuanya. Keselamatan calon pengantin memang harus diutamakan. Bayu menggulung mie dengan garpu dan mulai menyantap makanan itu. "Na, ini bukan mie rasa soto ya?"
"Soto, kok." Ratna sangat yakin dia tidak salah mengambil bungkus mie.
"Masa sih? Rasanya beda." Bayu menyeruput kuah hangat dari mangkuk. "Iya, ini bukan rasa soto. Ini mah Indomie rasa cinta sejati."
Allahuakbar. Ratna kontan mencubit lengan Bayu, meskipun pipinya bersemu merah. Apa setelah menikah nanti, dia akan digombali seperti ini setiap hari? "Gombal terus," sergahnya pura-pura kesal.
Bayu terkekeh lalu dengan cepat menghabiskan mie. Ia mendorong mangkuk yang sudah kosong dan Ratna menyodorkan segelas air putih. Bayu meneguknya lalu mengucapkan terima kasih. "Aku masih nggak percaya kita bakal nikah," ujarnya.
"Masih ada waktu dua minggu sebelum akad. Aku atau kamu masih bisa berubah pikiran, lho," ucap Ratna tanpa bermaksud menakut-nakuti.
"Na, kamu jangan ngomong yang aneh-aneh."
Raut wajah Ratna berubah serius. Gadis itu menunduk, tatapannya menekuri tangan yang bertaut di atas meja.
"Pernah nggak sih, Bay, kamu merasa takut dengan masa depan? Maksudku, kita sekarang sedang kasmaran, mikirnya yang romantis-romantis doang. Tapi, pernikahan itu kan isinya nggak cuma yang indah-indah aja. Pasti ada nangis-nangisnya, capek-capeknya, marah-marahnya. Sekarang kita masih pacaran, mau kentut aja jaim, sedangkan saat sudah tinggal seatap, kita udah nggak bisa nyembunyiin apa-apa lagi."
"Sebenarnya kamu takut apa?"
βAku takut kamuββ
"Selingkuh?" potong Bayu.
Ratna diam, membenarkan dalam hati. Bagaimanapun juga, dia pernah menjadi pihak ketiga dalam hubungan Bayu dan Ayu. Mungkin di masa depan, dia akan mendapat balasannya. Bagaimana jika ada orang ketiga dalam rumah tangganya kelak?
"Na, dengerin aku." Bayu meraih sebelah tangan Ratna dan menggenggamnya. "Marry me. Ikat aku dengan komitmen di hadapan Tuhan, so I will not stray. Aku nggak mau main-main dengan janji pernikahan."
Ratna mengangkat wajah dan menatap mata Bayu. Wajar jika ia mendadak diliputi ketakutan. Konon katanya, semua calon pengantin merasa luar biasa resah saat semakin mendekati hari H. Bagaimana jika pilihan mereka salah? Sebab pernikahan bukan sesuatu yang bisa di-undo begitu saja.
"Kenapa kamu yakin untuk menikah sama aku, Bay?" tanya Ratna pelan.
"Karena aku cinta kamu. Udah level bucin ini," jawab Bayu mantap.
"Tapiβ¦"
"Aku tahu nikah nggak bisa cuma modal cinta, tapi cinta itu sendiri merupakan modal yang bagus. Suami yang mencintai istrinya tidak akan melakukan hal yang menyakiti perasaan istrinya. Dan begitulah aku," janji Bayu. Cukuplah Ayu yang dulu disakitinya. Ratna akan dia bahagiakan sepenuh hati. "Apa pun yang menanti kita setelah akad, kita jalani bareng-bareng. Sama-sama belajar, sama-sama mengingatkan. Aku ingin kita saling support untuk jadi the best version of us."
Pelan-pelan senyum kembali terukir di bibir Ratna. Mengapa ia selalu membiarkan ketakutan membuatnya ragu? Institusi pernikahan harus dimasuki dengan langkah mantap dan yakin. Dia harus yakin bahwa dirinya dan Bayu bisa membuat pernikahan ini bekerja dengan baik. Toh, mereka sudah membicarakan banyak hal sebelum ini. Di mana mereka akan tinggal, bagaimana mereka akan mengatur keuangan, aturan bergaul seperti apa yang akan ditetapkan dalam rumah tangga mereka. Tidak ada alasan untuk ragu pada Bayu. Kepercayaan juga merupakan pondasi penting pernikahan.
"So sweet banget calon suamiku ini," pujinya. "Bakal kangen sama kamu nih, selama dua minggu nggak ketemu."
"Aku juga. Pasti bakal kangen banget sama kamu. Kangen Vitamin C dari kamu."
"Kamu nggak usah modus, ya. Ada Fifi, lho."
"Sekali aja, ya," pinta Bayu, tatapannya otomatis tertuju pada bibir merah muda Ratna. "Buat bekal menjalani dua minggu jauh dari kamu."
Ratna bergeming. Kepala Bayu semakin dekat dengan kepalanya. Sedikit lagi, bibir mereka akan bersentuhan.
βEh, eh, eh! Stop!" Tiba-tiba suara Fifi terdengar melengking di area dapur. "Bayu, kamu nggak boleh cium Ratna. Tunggu sampai ijab kabul. Ratna udah masuk masa pingitan!β
Ratna hendak menoleh ke arah Fifi, tetapi Bayu menahan kepalanya. Tentu saja Bayu tidak menggubris larangan Fifi. Dia sama sekali tidak gentar dan tetap mencondongkan tubuh untuk mencium bibir calon istrinya.
Mata Ratna membelalak untuk sesaat. Namun, kemudian, dia memejam. Bayu-nya memang seperti ini. Bibir Ratna merekah, menyambut bibir kekasihnya.
Ciuman mereka malam itu terasa persis seperti Indomie Soto Spesial. Hangat, lezat, dan istimewa.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi π₯°
