Suami Bayaran Prolog - Part 1-7

11
1
Deskripsi

Berisi Prolog dan Bab 1-7

Kaluna Maharani Atmaji Putri.

Perempuan berusia 33 tahun yang sukses, mandiri dan tahu apa yang dia mau, hingga keluarganya 'memaksanya' untuk segera menikah karena sang adik yang sudah tidak sabar ingin segera menikahi pacarnya, namun keluarganya tidak mengijinkannya dilangkahi oleh sang adik. Dalam kebingungannya, dibantu sahabatnya, Kaluna melakukan ide gilanya untuk mencari suami instan dan pilihannya jatuh kepada seorang gigolo muda berusia 27 tahun bernama Ervin Aditya....

Prolog

Kaluna Maharani Atmaji Putri POV

"Kamu tidak boleh menikah jika Mbakmu belum menikah duluan," kata Papa sambil berdiri dan menunjuk ke arah Ruben.

"Pa, realistis dong Pa, Mbak Luna punya pacar saja enggak, masa Papa maksain Mbak Luna nikah lebih dulu daripada Ruben," Aku melihat Ruben tidak mau kalah berargumen dengan Papa malam ini di ruang keluarga.

"Terserah, kalo kamu mau menikahi Tiara dengan restu Papa dan keluarga kita, maka kamu harus bersabar sampai Mbak mu menikah duluan," terang Papa dan aku lihat Papa berdiri meninggalkan ruang keluarga kami yang cukup besar ini.

Aku melihat Ruben yang sama emosinya dengan papa ikutan berdiri dan meninggalkan rumah dengan mengendarai mobilnya keluar dari halaman rumah Papa dan Mama malam ini.

Aku yang sedari tadi duduk diam dan hanya menjadi penonton tiba tiba merasa bersalah walau aku tidak tau kesalahanku dimana, apa yang salah dengan seorang wanita lajang yang hidup tanpa pasangan berumur 33 tahun, mandiri dan sukses dalam kariernya seperti aku ini. Aku yang sedang hanyut dalam pikiranku ini, tiba tiba merasakan punggungku diusap dengan halus naik turun oleh Mama, dan ketika aku tolehkan wajahku, aku melihat wajah Mama yang sudah berlinang air mata. Oh Mama, kenapa melihatmu seperti ini membuat aku tidak tega, apakah aku ini beban untuk kalian semua?

Melihat apa yang terjadi malam ini, entah bagaimana pun caranya, Aku Kaluna Maharani Atmaji Putri bertekad akan menikah dalam waktu sesingkat singkatnya, tidak peduli siapa calon suamiku, asalkan dia mau menikahiku. Aku akan menerimanya, persetan dengan Bibit, bebet dan bobotnya asal keluargaku bahagia.

Ervin Aditya POV

Malam ini kutemukan diriku kembali dalam keadaan yang sesungguhnya membuat diriku jijik sendiri karena melakoni pekerjaan diluar apa yang aku inginkan dan aku cita-citakan selama ini. Pekerjaan yang penuh dengan kebejatan, dosa dan hanya dijadikan pelampiasan nafsu para wanita yang kesepian atau tidak puas dengan suaminya. Sudah hampir 3 tahun ini sejak ibuku menjadi pasien cuci darah seminggu 2 kali aku harus merelakan tubuhku di jamah oleh para wanita yang biasa ku sebut sugar mommy hanya untuk biaya rumah sakit, dan kehidupan kami sekeluarga karena penghasilanku sebagai seorang fotografer dan kadang kadang seorang model ini tidak mencukupi.

"Ini bayaran kamu, makasih ya, aku puas sekali sama kamu sayang. Kapan kapan kalo suami aku dinas luar kota lagi, aku hubungi kamu, okay," kata Ayu, wanita yang malam ini menyewaku sebagai pemuas napsunya sedang meletakkan uang 5 juta rupiah di atas bed hotel yang malam ini dia sewa, setelah itu kulihat dia pergi meninggalkan kamar ini.

Sejujurnya aku ingin berhenti dari pekerjaan yang aku tau beresiko ini, bukan cuma resiko dosa besar yang kutanggung, tapi bila sampai suami mereka tau, habislah aku. Belum lagi sejak namaku naik daun di kalangan sugar mommy, makin jauh aku dari harapan akan memiliki pasangan baik-baik, karena kata orang pasangan adalah cerminan diri kita.

***

Part 1


Kaluna Maharani Atmaji Putri POV

Sejak kejadian semalam kehidupanku yang biasanya baik-baik saja, tenang, dan bagikan air sungai yang mengalir menjadi tiba tiba dilanda banjir. Bagaimana bisa Papa menginginkan diriku menikah lebih dulu daripada Ruben, secara aku saja tidak memiliki pacar, boro-boro pacar, gebetan saja tidak punya. Sejak usiaku memasuki kepala tiga, Keinginan menikah sudah aku buang jauh-jauh dari isi kepala. Hidupku hanya fokus mengurusi wedding organizer dan cafe. Memang aku tidak pernah terjun langsung di perusahaan keluarga karena sejak Ruben lulus kuliah, Ruben-lah yang meneruskan, dan aku lebih memilih untuk menjadi pemegang saham pasif disana.

Ketika semalam pulang dari rumah orangtuaku pukul 22:00 WIB, aku langsung menelepon sahabatku, Hilda dan memutuskan untuk bertemu besok siang di cafe. Cafeku memang biasanya dipakai oleh para Mahasiswa untuk mengerjakan tugas, ngobrol, ataupun kumpul bersama teman temannya. Aku sengaja membuat cafe dengan gaya minimalis. Harga makanan dan minuman yang disedikan di sini pun cukup ramah dikantong anak kost.

"Hai Lun, sorry Gue telat soalnya habis shopping di Paris, terus nyalon dulu di New York," aku yang sudah hafal dengan kehaluan sahabatku sejak TK ini hanya menatapnya yang sedang berjalan kearahku, ia langsung menarik kursi di depanku.
“Ada apa nih tumbenan ngajak ketemu gue, pasti lo takut ya gue balik ke Jakarta besok pagi tanpa pamit ke lo lagi,” sambung Hilda sambil meminum minumanku yang sudah ada di meja.

"Gue lebih takut nggak dapet calon suami dalam waktu deket ini daripada lo tinggal balik ke Jakarta," kataku sambil memalingkan wajah untuk menatap jalan di depan cafe yang ckup rame saat ini.

Bukannya jawaban yang aku dapatkan, justru tawa Hilda yang lepas tanpa beban memenuhi cafeku siang ini, yang untungnya sedikit lebih sepi karena masih jam perkuliahan.

"Ngapain lo ketawa, lo kira ini lucu?"

"Tenang aja kali, Lun, lo datang pada orang yang sangat tepat," kata Hilda setelah tawanya hilang.

"Lo punya solusi apa?" tanyaku langsung membetulkan posisi duduk untuk menghadap Hilda.

"Jaman sekarang, Lun, apa sih yang nggak bisa dibeli pakai duit, kan lo punya duit, lo belilah suami," kata kata Hilda terdengar enteng di telingaku. Bedebah memang wanita sosialita satu ini.

"Gue sudah nyari di shopee, tokped, semuanya ga ada yang jual suami, Oneng," kataku gemas.
"Lo yakin nggak masalah kalo ngeluarin duit buat beli suami?" Hilda mulai bertanya dengan serius yang aku jawab dengan, "hmm" saja.

"Okay, kalo gitu gue akan bantu cari, sebutin kriterianya, lo mau yang kaya apa, misal kaya kim soo hyun, rain, atau mungkin cha eun woo?"

"Gue nggak punya kriteria, selagi dia mau nikahin gue paling enggak dalam jangka waktu satu tahun dari kita nikah, gue akan kasih dia apa yang dia mau dari gue, habis itu kita bisa cerai."

“Okay, kalo gitu gue pakai standar gue aja deh milihinnya buat lo, yang pasti gue jamin nggak akan bikin lo malu."

"Asal lo dapet aja, bantuin gue beneran, awas lo," ancamku padanya.

"Iye, udah buruan lo kasih gue makan, dari pagi gue belum makan," kata Hilda tidak sabaran.

***

Dua hari setelah pertemuanku dengan Hilda, tiba-tiba di pagi hari itu Hilda meneleponku. Yang membuat aku harus mengangkat handphone walau mata ini masih ingin tertutup.

"Lun, gue beneran sudah dapat nih suami buat lo," kata Hilda, yang sukses membuat aku langsung terduduk dan membuka mata sempurna.

"Serius lo, Hil?"

"Iya, gue serius, gue janjian sama dia siang ini jam 2, lo buruan pagi ini cari penerbangan ke Jakarta, kita ketemu dia bareng bareng," Kata Hilda, yang langsung menutup teleponnya pagi ini.

Setelah telepon Hilda ditutup, aku langsung mencari tiket pesawat dan mendapatkan penerbangan pukul 09:00 WIB. Masih sisa 3 jam sebelum keberangkatan, secepatnya aku bersiap siap dan membatalkan semua agendanya hari ini.

-Jakarta-

Pukul 12.00 WIB aku sudah di dalam mobil Hilda, dan kami bersama sama menuju ke sebuah Mall untuk bertemu dengan calon suamiku. 

"Lo beneran, sudah dapet calon suami buat gue hanya dalam waktu 2 hari."

"Iyalah dapat, hari gini siapa sih yang menolak dapet duit banyak apalagi dikota besar macam jakarta ini."

"Lo kenal dia dari mana?"

"Oh, dia itu langganan temen-temen arisan sosialita gue gitu kalo lagi kesepian dan butuh belaian," Jawab Hilda enteng.

"What?" aku berteriak kencang di dalam mobil, yang sukses membuat Hilda mengerem mendadak. Untung dibelakang kami sepi, kalo rame entah kejadian apa yang akan terjadi.

"Lo kenapa sih Lun, bikin gue kaget aja! pakai teriak segala," Hilda sudah sewot melihat ekspresiku yang masih shock dengan informasi yang di berikannya.

"Gimana gue nggak shock, lo cariin gue suami yang jelas-jelas sudah nggak perjaka dan lebih parahnya lagi dia gigolo," kataku yang sudah tidak bisa mengerem lagi kalimat dimulutnya.

"Hallo... Lun, hari gini gitu, Lun. Lo yakin akan dapet perjaka, anak SMA saja sudah banyak yang nggak perjaka sekarang, Lun. Lagian ya, terlalu kasar kalo lo nyebut dia gitu, sebut dong sugar baby gitu, rada lebih enak di telinga, Lun dan tenang aja, dia itu cakep, tinggi, gagah, badannya Lun, six pack, roti sobek Lun. Gue jamin lo nggak akan nyesel nikahin dia."

Aku memincingkan mata.

"Darimana lo tau kalo badannya bagus? Lo pernah pakai dia, ya?"

“Sembarangan aja lo kalo ngomong, gini gini gue ini sudah terpuaskan oleh suami, ngapain buang duit cuma buat silaturahmi kelamin doang.”

Aku masih menatap Hilda yang menyetir di sampingku sambil menunggu penjelasan lebih soal "calon suami"-ku.

"Okay, gue lanjutin penjelasan gue. Namanya Ervin, umurnya 27 tahun, profesi fotografer dan model, menurut temen-temen gue yang pernah pakai dia, Ervin ini orangnya sweet banget, mengerti plus peka sama wanita dan katanya perkasa," kata Hilda dengan menaik turunkan alisnya sambil menatap diriku.

"Busettt, lo cariin gue suami berondong? dan apa itu tadi, perkasa? Oh iya, gue nggak butuh keperkasaan dia dihidup gue, gue cuma perlu dia nikahin gue secara sah agama dan negara."

“Tujuan gue ngajakin lo ketemu dia itu buat bikin kesepakatan, berapa bayaran dia dari lo selama jadi suami kontrak lo itu.”

"Dia sudah tau tentang rencana kita?"

"Sudah, gue sudah terangin di awal, dan dia okay-okay aja, kata dia selagi lo nggak keberatan dengan keadaan dia, dia bisa nerima lo apa adanya."

***

Ervin Aditya POV

Kemarin siang aku mendapatkan telepon dari seseorang yang mengaku bernama Hilda, dia mengatakan mendapatkan nomerku dari Ayu, wanita yang belum lama ini aku puaskan di ranjang hingga mendapatkan banyak sekali klimaks. Aku memahami, biasanya orang meneleponku ke nomer handphoneku yang ini karena mereka mau menggunakan jasaku, sehingga aku paham sekali siapa mereka, tapi ada yang berbeda dari apa yang Hilda inginkan dariku, Hilda bilang bahwa dia sedang mencarikan suami untuk sahabatnya. Aku langsung tertawa dan Hilda menggeram diujung sana dari apa yang aku dengar di telepon yang menandakan bahwa dia tidak main-main dengan ucapannya. Dari yang disampaikan oleh Hilda temannya ini seorang pengusaha muda yang cukup sukses, dan tentunya wanita baik baik, dia hanya butuh aku menikahinya secara agama dan negara lalu dia akan membayarku. 
Aku tau kalo aku adalah laki-laki bayaran, tapi entah kenapa hatiku merasakan sesak ketika ada wanita yang menawarkan padaku untuk menjadi suaminya, bukankah wanita baik-baik akan mencari pria baik-baik untuk dinikahi bukan seorang bajingan sepertiku ini, yang maaf-maaf saja hidupku pas-pasan, keluargaku bukan dari keluarga kaya raya, bahkan aku adalah anak yang lahir tanpa seorang ayah, yang aku tau ayahku adalah orang asing, sehingga itu menjadi point plusku karena aku berwajah lebih dominan bule daripada mirip orang asli negara ini.

Siang ini aku janjian dengan Hilda untuk bertemu di sebuah Mall, ketika dia mengirimkan bosan WhatsApp kepadaku bahwa dia ada di salah satu restoran di mall tersebut aku segera menuju ke sana. Setelah mencari cari, akhirnya aku temukan Hilda dan "calon istri" yang sedang asyik dengan makanan yang sedang di santapnya. Aku melihat Hilda melambaikan tangan kanannya ke atas, bermaksud memberitahukanku posisinya dan agar aku segera menuju kesana.

"Hai, Ervin ya, kenalin gue Hilda Amalia dan ini sahabat Gue, Kaluna," kata Hilda ketika aku sampai dimejanya dan langsung sapaan ramah yang aku dapat darinya sambil berjabat tangan dengan mereka berdua. Setelah itu mereka mempersilahkan aku duduk dan aku berhadapan dengan Kaluna, yang katanya cukup dipanggil Luna saja. 
Kesan pertama aku melihat Luna adalah dia belum bisa ku sebut "sugar mommy" karena dari wajahnya yang awet muda dengan wajah khas wanita indonesia, eksotis, memiliki tinggi kurang lebih 168 cm, penampilannya pun cukup sederhana jauh dari kata glamor, beda dengan sahabatnya Hilda yang dari penampilannya orang sudah tau kalo dia dari kaum sosialita kelas atas. Hari ini aku melihat Luna jauh dari kata menor, hanya lip blam menghiasi bibirnya, tanpa make up, dan penampilannya hanya di balut kaos dan celana jeans panjang. Sungguh tidak terlihat bahwa ia adalah seorang pengusaha sukses. Cukup melihatnya keseluruhan dan menatap matanya beberapa detik ini, aku tau dia wanita baik-baik dan aku bersyukur tawaran itu jatuh kepadaku untuk menjadi suaminya walau ini pura-pura, aku tidak akan menolaknya.

"Kira-kira lo okay nggak sama yang gue terangin barusan Vin?" Kata-kata Luna membuatku tersadar ternyata aku sudah melamun cukup lama.

"Hmm... gimana?" Kataku yang membuat Luna memperhatikanku lebih dalam tapi dia mau mengulangi penjelasannya dengan sabar.

"Seperti yang dibilang Hilda kemarin sama lo, gue butuh suami dan Hilda bilang lo setuju, nah karena lo setuju, gue akan kasih rincian pembayaran yang bisa lo terima ketika menikah dengan gue, gue akan hitung bayaran setiap bulan sebesar 50 juta, jadi karena kontrak nikah kita selama setaun, gue akan kasih lo 600 juta. Pembayaran diawal sebagai DP gue akan bayar 50% nya dulu, setelah lo tanda tangani perjanjian kita ini. Gimana, lo setuju?" Melihatku yang masih diam saja Luna menambahkan.

"Kalo menurut lo 50 juta sebulan masih kurang gue bisa tambahin kok, lo mau berapa?"

"Nggak, gue setuju aja, asal lo juga setuju sama syarat gue?"

"Emang lo punya syarat apaan?"

"Sebelum gue nikahin lo, biar terasa ini bukan rekayasa, gue akan ajak lo ke keluarga gue buat dikenalin dan minta restu dari mereka. Untuk mahar pernikahan nanti gue mau, gue yang akan kasih itu ke lo. Gimana, lo setuju?"

Aku melihat Luna menganggukkan kepalanya, dan dia menyodorkan kertas HVS rangkap dua yang ketika aku baca isinya adalah klausa-klausa tentang kesepakatan yang dia inginkan dariku, lebih dari apapun aku tidak keberatan dengan satupun point di sana, bahkan yg lebih menggelikan lagi tertulis No Sex. Aku tersenyum, selama ini orang membayarku untuk sex, dan sekarang justru aku mendapatkan uang sebanyak ini tanpa aku perlu sex. Aku menandatanganinya, dan memberikan kepadanya lagi.

"Oh iya, gue lupa, selama lo jadi suami gue, gue cuma berharap lo bisa vakum dulu dari pekerjaan lo dan tetap setia dengan komitmen pernikahan ini. Karena gue pengen jaga nama baik gue, keluarga dan terlebih lagi nama baik lo dimata semua orang."

Oh Tuhan, wanita sebaik ini yang akan jadi istriku nanti? Aku hanya tersenyum dan mengatakan, "okay, nggak masalah."

"Gue nggak punya banyak waktu, kalo lo nggak keberatan lo bisa ajak gue ke keluarga lo secepatnya."

"Okay kalo gitu sekarang saja gue ajak lo ketemu keluarga gue, biar gak kelamaan."

Aku berdiri dari dudukku di ikuti Luna, serta Hilda yang kemudian membayar tagihan makan mereka, setelah itu kami keluar dari mall tersebut menuju parkiran basemen.

Kaluna Maharani Atmaji Putri POV

Aku berjalan keluar dari Mall bersama Hilda dan Ervin. Aku akui, Aku sedikit gugup awalnya ketika akan bertemu dengannya. Ternyata semua tidak terbukti karena Ervin sangat santai dan sama sekali tidak terlihat bahwa Ervin seorang bajingan, berengsek, atau laki laki yang memiliki pergaulan tidak benar. Aku bisa melihat wajahnya yang dominan memiliki raut wajah orang barat, dengan alis tebal, dan mata birunya yang hmm... Kalo bukan karena aku tau siapa dia, mungkin aku akan klepek-klepek.

Secara fisik, aku akui Hilda memang memiliki selera yang diatas rata rata. Karena aku yakin ketika aku berjalan bersama Ervin yang tingginya aku yakin diatas 180 cm, mungkin 185 centimeter tepatnya, badannya terbentuk sempurna hasil kerja keras dari gym selama bertahun tahun ini, orang sudah pasti melirikku dan akan berkata bahwa aku tidak pantas bersanding dengannya. Baru aku sadari pantas saja dia digemari oleh para sugar mommy yang mencari kenikmatan diluar rumah, lha wong bentuknya saja seperti ini, aku yang bukan sugar mommy saja bisa kepincut kalo nggak hati-hati jaga mata dan hati.

Diparkiran aku berpisah dari Hilda dan menuju mobil Ervin, aku menuju ke subuah Honda Jazz abu-abu dan aku masuk setelah Ervin membukakanku pintu. Kalo dipikir pikir ini merupakan salah satu sikap termanis dari laki laki yang pernah aku terima.

Ya Tuhan... Aku sereceh ini ternyata.

Selama perjalanan kami sejujurnya awalnya aku merasa canggung, bagaimana mungkin pertama kali bertemu dengannya, langsung diajak bertemu keluarganya, dan akan dikanalkan sebagai calon isterinya pula. oh My God, demi warga bikini bottom yang masih mandi walau mereka tinggal di dalam air, aku sangat gugup dan bingung harus seperti apa nantinya menghadapinya hingga aku dengar Ervin berdeham sebelum berbicara .

"Kalo enggak keberatan, mulai sekarang jangan panggil lo gue ya, panggil aku kamu biar lebih enak di denger dan alami."

"Oh, iya. Okay," kataku sambil tersenyum

"Kamu juga bisa panggil aku pakai mas, abang, sayang, babe, honey atau apapun terserah kamu."

"Kalo manggil berengsek juga boleh?"

Aduh, mulutku memang nggak bisa di kontrol. Terlalu lama bersama Hilda membuatku menjadi orang yang juga ceplas ceplos terkadang.

Justru tawa Ervin yang aku dengar memenuhi mobilnya sebelum akhirnya dia berkata, "Ya, kalo aku memang semenyebalkan itu, aku enggak masalah kamu panggil apa aja, toh itu panggilan sayang kamu ke aku."

Busettt... Aku yang mendengarkan kata kata ajaib Ervin hanya bisa menganga tidak percaya, laki laki yang sedang duduk disebelahku ini ternyata tipikal santai, tidak mudah tersinggung apalagi marah ternyata. Benar benar tipe emak emak berdaster.

"Btw, dirumah kamu ada siapa aja?"

"Cuma ada ibu, adek dan keponakanku s
aja, ayahku sudah meninggal 5 tahun yang lalu "

"Aku kaya gini aja gak papa?" Tanyaku sambil menunjuk penampilan diriku. Ervin hanya tersenyum dan mengusap kepalaku pelan dengan menggunakan tangan kirinya.

"Sudah lebih dari cukup. Kamu tenang saja, ibuku oranganya santai kok. Enggak akan protes kamu pakai apa aja selagi tidak sebugil waktu kamu dilahirkan ke dunia."

Oh, aku sadari kata kata Ervin barusan tergolong rada rada menjerumus ternyata.

Setelah perjalanan selama satu jam, kami sekarang ada di sebuah kawasan perumahan. Rumah yang aku masuki halamannya ini tergolong sederhana daripada rumah kedua orang tuaku, tapi cukup bersih dan terawat kalo dari apa yang kulihat. Aku masih menganalisis apa yang ada dihadapanku ini. Ketika aku dengar Ervin mengucapkan salam dan keluarlah seorang perempuan dengan wajah khas Indonesia, membawa seorang bayi laki laki berusia kisaran 6 bulan dan membalas salam Ervin. Tidak lama aku lihat ia menjabat tangan Ervin dan mencium punggung tangan Ervin .

"Lho mas Ervin tumben mampir kesini, eh ternyata mas Ervin bawa pacarnya ya, yuk Mbak, masuk jangan diluar aja ."

Kata perempuan tadi dan aku hanya bisa tersenyum sambil melangkahkan kakiku memasuki teras rumah tersebut. Di teras Ervin menungguku untuk masuk bersama. Ervin meletakkan telapak tangannya di punggungku agar aku melangkahkan kaki memasuki rumahnya dan dia melepaskanya ketika aku sudah duduk di kursi ruang tamu rumahnya. Di ruang tamu tersebut, aku bisa melihat foto keluarga Ervin .

"Kamu duduk sini dulu ya, aku kebelakang nyari ibu dulu."

Aku hanya mengangguk dan dengan itu aku sukses ditinggal sendirian di ruangan ini.

Sekitar lima menit aku sendirian datanglah perempuan tadi yang membawa anaknya. Ia membawakan minuman dan memperkenalkan diri, bahwa ia bernama Rinjani, aku bisa memanggilnya Jani.

"Wah, nama kamu seperti nama gunung ya?" tanyaku basa basi pada Jani.

"Iya, memang dulu almarhum ayah sangat suka mendaki. Maka dari itu ketika saya lahir, nama yang tercetus adalah nama salah satu gunung yang indah di Indonesia itu mbak. Btw, mbak pacarnya mas Ervin ya?"

Belum sempat aku menjawab pertanyaan Jani, tiba tiba sudah ada yang mewakili untuk menjawab.

"Bukan pacar Jani, tapi Luna itu calon istriku."

"AH!! .... SERIUS MAS?"

Aku kaget dan untung telingaku tidak budeg setelah mendengar Jani berteriak di dalam rumahnya ini.

"Iya, serius, mas bakalan nikahin dia secepatnya, ini mas ke sini mau ngenalin ibu sama kamu ke Luna," Kata Ervin yang tangannya masih setia pada pegangan kursi roda ibunya.

Seketika sadar, aku lalu berdiri dari tempat dudukku dan berjalan untuk menyalami ibu Ervin

"Assalamualaikum bu, perkenalkan saya Kaluna, panggil saja Luna, calon isterinya Ervin."

"Wa'alaikum salam, saya Farida, ibunya Ervin, Ayo nak duduk lagi di sana," kata ibu Ervin mempersilahkan kembali duduk di kursi ruang tamu.

"Maaf ya, ibu duduk disini aja, soalnya ibu lemes, baru besok jadwal ibu untuk HD lagi."

Ketika mendengar itu, aku kaget, ibunya Ervin cuci darah, kira kira apa penyakitnya ibunya berhubungan dengan gagal ginjal pikirku

"Nak Luna, rumahnya dimana?"

"Saya asli Jogja dan tinggal disana bu."

"Orang tua masih lengkap?"

"Alhamdulillah masih bu."

"Kamu sudah tau pekerjaan Ervin nak Luna ?"

Tiba tiba dudukku menjadi tegak dan tanpa aku sadari kini aku menjadi sedikit lebih waspada mendengar pertanyaan ibu

"Sudah bu, Ervin model dan fotografer, kebetulan saya kenal Ervin ketika Ervin ngeJob di salah satu acara pernikahan yang kebetulan memakai WO saya sebagai penyelenggaranya."

Entah dari mana datangnya semua kata kata ajaib yang jelas jelas ngawur bin bohong alias ngapusi ini. Tapi aku temukan Ervin dan ibu tersenyum dengan jawabanku ini.


Part 2

Kaluna Maharani Atmaji Putri POV

Malam ini setelah makan malam dengan keluarga Ervin, kami semua berkumpul di ruang keluarga dan menonton tv bersama. Di sana aku bisa melihat interaksi Ervin dengan Ranu, entah kenapa aku tidak bisa melepaskan tatapanku dari ke dua mahluk ciptaan Tuhan yang sungguh indah itu.

"Sabar Mbak, bentar lagi Mbak Luna bakal nimang anak mbak sendiri sama Mas Ervin," seketika aku kaget mendengar suara itu di telingaku.

Aku hanya tersenyum. "Aku belum kepikiran sampai sana," Jawabku jujur.

"Kenapa belum Mbak? aku lihat mas Ervin itu Papa able banget lho Mbak, Mbak enggak usah takut kalo mas Ervin akan selingkuh, sepanjang hidup aku, baru sekali ini mas Ervin bawa cewek pulang ke rumah langsung di kenalin jadi calon istri pula dan aku lihat perlakuan dia ke Mbak itu so sweet banget."

"Apanya yang so sweet?"

"Lha itu tadi Mbak Luna mau ke mobil ambil laptop aja di anterin, Mbak Luna di tantangin ibu masak aja, Mas Ervin bantuin kan, padahal aku tau lho Mbak, Mbak Luna gak terlalu akrab ama spatula apalagi urusan goreng-goreng, goreng telur aja bentuknya udh sehancur muka aku kan," tutur Jani jujur yang membuat wajahku memerah bukan karena marah tapi malu karena kejadian sehabis maghrib itu terngiang kembali.

Ketika aku ke lantai satu setelah mandi, ibu memintaku untuk memasak karena Jani sedang repot mengurus Ranu dan belum sempat memasak untuk makan malam. Aku yang sedari kecil tidak pernah tau menahu soal urusan dapur, menjadi shock, mangap-mangap seperti ikan kekurangan air, bingung mau mengatakan apa.

Andai aku jujur jika diriku tidak menguasai urusan dapur terutama masak memasak bisa-bisa aku langsung dicoret dari daftar calon mantu dan aku sudah tidak punya waktu lagi untuk mencari pengganti Ervin saat ini. 


Akhirnya aku hanya mengangguk dan berjalan menuju dapur, satu satunya yang  masih bisa aku masak mungkin hanya menggoreng telur. Dengan keterbatasan kemampuanku, aku mencoba menggoreng dan bukannya menjadi telur mata sapi, yang sekarang jadi adalah telur gosong dengan mata sapi sudah meleleh tidak bulat di tengah.

"Nasib-nasib, gini amat sih pengen punya suami doang, perjuangannya melelahkan," desisku di dapur tetapi tidak sengaja di dengar oleh Ervin yang sedang mengambil air minum.

"Perlu bantuan nggak, Lun?"

Mendengar suara Ervin, badanku menjadi menegang, pelan-pelan aku membalikkan badan dan terlihat Ervin sedang mengalungkan celemek memasak bergambar Doraemon warna biru di badannya yang tegap sempurna.

"Eee...nggak usah kayanya. Aku bisa sendiri," jawabku yakin.

"Tapi dari apa yang aku lihat dimata kamu, kamu itu saat ini memang belum bisa masak. Sini aku bantuin, kamu motong motong sayuran yang buat sop aja," kata Ervin yang langsung mengambil alih dapur.

Aku membuka kulkas, dan mencari bahan bahan yang biasa digunakan untuk membuat sop. Setelah mengeluarkannya, aku bergegas memotongnya, tapi tanpa aku minta Ervin sudah membantuku.

"Kamu kalo ada kesulitan dan perlu bantuan bisa bilang sama aku, sebisa mungkin nanti aku bantu," kata Ervin sambil mengupas kentang.

Aku hanya tersenyum memamerkan deretan gigi yang rapi, putih sambil berucap, "kalo urusan dapur aku nyerah, karena aku masuk dapur bisa di hitung pakai jari. Paling cuma ambil minum sama makan doang."

"Kamu tinggal bareng orangtua?"

"Sejak lima tahun yang lalu aku sudah nggak tinggal bareng mereka walau kami satu kota, tepatnya sejak aku beli rumah sendiri. Kamu tinggal disini bareng ibu dan Jani?" Tanyaku sambil menatap Ervin yang sibuk memotong kentang.

"Enggak, Lun. Aku tinggal di apartemen. Sesekali saja aku balik ke sini buat nengokin ibu, Jani dan Ranu."

"Ngomong-ngomong, tadi aku nggak sengaja denger pembicaraan kamu sama ibu, aku tau ini bukan kapasitas aku untuk bicara sebenarnya cuma aku pengen bantu kamu dan ibu."

"Kamu denger semua?"  tanya Ervin dengan mata yang saat ini fokus padaku.

Aku menganggukkan kepalanya."Iya, maaf kalo aku mendengar semuanya. Aku pengen bantu kamu soal biaya HD ibu. Aku harap kamu bisa terima itu, bagaimanapun aku calon istri kamu dan aku minta kamu berhenti dari pekerjaan kamu selama kita menikah. Itu pasti akan membuat kamu kehilangan penghasilan."

"Kamu nggak perlu sampai segitunya Lun. Aku tau kamu punya banyak uang tapi aku masih bisa biayain ibu," Kata Ervin yang terdengar seperti tersinggung di telingaku.

"Vin, maaf kalo kamu tersinggung atas apa yang aku bilang barusan. Bagaimanapun juga ketika kita menikah, ibu adalah orang tuaku juga, sebagai anaknya kita wajib memberikan yang terbaik bagi orang tua kita selagi kita masih mampu," mendengar kata kataku barusan, akhirnya Ervin menyetujui keinginanku.

***

Malam hari ketika aku sudah berbaring di ranjang yang berada di kamar Ervin tiba-tiba Handphoneku bergetar dan tertera pesan WhatsApp dari Hilda, mau tidak mau aku membacanya.

Hilda : Gmn rasanya ketemu camer?

Luna : Kepo lo?

Hilda : Pastilah, gue sudah nggak sabar pengen ghibah virtual sama lo dari tadi sore malah.

Luna : Gue barusan tidur dikamar Ervin. Gue nginep dirumah ibunya malam ini.

Hilda : katanya NO SEX, taunya ketemu sekali langsung ngamar berdua di rumah emaknya pula.

Luna : susah emang kalo ngomong sama emak-emak yang otaknya mesum kaya lo gini.

Hilda : gue bukannya mesum, kan nggak ada salahnya test drive dulu sama Ervin. Biar Lo tau gimana rasanya nyaman apa enggak.

Luna : lo kira gue mau beli mobil?

Hilda : bukan beli mobil, cuma beli suami.

Luna : sekali lagi Lo nyebut-nyebut soal rahasia kita ini, gue gampar pakai sandal.

Setelah membalas pesan WhatsApp dan hanya dibaca oleh Hilda tanpa membalasnya lagi, aku akhirnya berusaha untuk tidur dikamar di Ervin ini yang sejujurnya sulit untuk dilakukan karena kasur ini beraroma Ervin dimana mana. Siksaan yang cukup berat bagiku karena aromanya yang cukup menggoda iman.

***

Pagi hari di rumah Ervin sudah begitu ramai dengan tangisan Ranu dan teriakan suara Jani dibawah, bahkan aku mendengar Ervin ikut menenangkan Ranu yang menangis. Usut punya usut ternyata Ranu mengamuk karena belum mau dimandikan dan sekarang Jani kesulitan memakaikan baju setelah sukses memaksa Ranu untuk mandi. Aku turun dari kamar, menuju lantai satu.

"Eh Lun, kamu sarapan dulu, kita mau ke apartemen aku buat ambil berkas berkas pengurusan numpang nikahnya."

Aku hanya menatap Ervin dengan pandangan tidak percaya, yang ngebet nikah kan aku, tetapi justru Ervin yang semangat 45 mengurus semua. Padahal aku berbicara kepada Mama dan Papa saja belum.

"Vin, kalo kamu anterin aku ke bandara saja gimana? aku kudu balik sekarang. Weekend ini aku ada event wedding di 2 gedung dan aku harus awasi jalannya acara."

"Oh okay, tapi kamu makan dulu terus mandi ya?"

Aku hanya menganggukkan kepala dan segera menuju meja makan, lanjut naik lagi ke lantai dua dan mandi. Pukul 09.00 WIB aku sudah rapi dengan baju yang kemarin aku gunakan. Ketika turun dari lantai atas, aku melihat Ervin sedang duduk di ruang tengah dengan kaki kanan ia tekuk dan sandarkan ke paha kirinya. Ervin dengan kaos dan celana skinny jeans hitamnya, terlihat kontras dengan kulit putihnya. Aku hanya berhenti di tengah tangga memperhatikan Ervin, entah sudah berapa lama aku berdiam diri di sini, hingga Ervin akhirnya sadar dan menoleh kepadaku. Senyuman Ervin pagi ini yang secerah matahari pagi sanggup membuatku salah tingkah sendiri.

"Sudah puas belum ngelihatin aku?"

Aku merutuki kebodohannya dalam hati.

"Siapa juga yang ngelihatin kamu? GR banget. Cuma lagi lihatin rumah kok sepi pada kemana?"

"Oh, Jani sama Ranu sedang antar ibu HD, tadi mereka niatnya nunggu kamu turun tapi keburu nanti antriannya makin banyak dan lama jadi aku suruh langsung berangkat aja. Kamu sudah siap?"

"Sudah, yuk berangkat sekarang aja soalnya penerbanganku 3 jam lagi," Kataku sambil berjalan menuruni tangga langsung menuju pintu utama rumah melewati Ervin yang juga mengikutinya dibelakang.

Saat hampir sampai di mobil, Ervin memanggil yang membuat aku menoleh dan berhenti berjalan. Aku kira ada apa, ternyata Ervin hanya berjalan disebelahku, meletakkan telapak tangan kanannya di punggungku, sambil membukakan pintu mobil untukku dengan tangan kirinya.

"Hmm, benar kata Hilda, kalo Ervin itu so sweet banget ternyata," kataku dalam hati.

Disepanjang perjalanan aku memberikan informasi tentang rencanaku berkaitan dengan pernikahan yang akan mereka berdua lakukan. Aku menginginkan pernikahan secara sederhana saja yang dihadiri keluarga dan teman dekat. Ervin sempat tersenyum, karena jika dipikir aku ini berprofesi sebagai seorang Wedding organizer, namun kenapa untuk hari bahagianya justru aku ingin yang sederhana saja.

Kata kataku yang mengatakan, "buat apa buang duit banyak-banyak, cuma untuk pernikahan yang akan diakhiri dalam jangka waktu satu tahun kedepan," sanggup membuat Ervin diam seribu bahasa setelahnya, hingga kami sampai di bandara dan Ervin langsung tancap gas meninggalkanku karena aku menolak diantar sampai kedalam.

***

Part 3

Kaluna Maharani Atmaji Putra POV

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tidak terasa sudah 1 bulan ini aku dan Ervin menjalin hubungan bisnis diluar kewajaran. Kalo bisnis menghasilkan uang sebagai keuntungan, maka bisnis yang aku jalani bersama Ervin menghasilkan senyum bahagia di keluarga kami berdua.

"Akhirnya sold out juga lo mbak bentar lagi, gagal jadi perawan tua."

Kata-kata Ruben membuatku menghela napas bagai kuda, tanpa mempedulikan ocehan Ruben disebelahku yang sedang asyik ngemil brownies. Aku masih fokus pada laptop untuk mengecek pengajuan Gaji karyawan WO dan cafe dari bagian HRD. Setelah menyelesaikan tugas ini aku menutup laptop dan memandang Ruben.

"Ben, lo itu kaya pohon pisang, tau nggak?"

Ruben mengangkat kedua alisnya tanpa berbicara karena mulutnya penuh dengan brownies.

Aku tatap Ruben sambil bersedekap lalu aku melanjutkan kata kataku "Punya jantung tapi enggak punya hati. Kalo ngomong remnya blong, hati-hati itu mulut lo, nanti tabrakan sama sandal. Lama-lama sebelas dua belas lo sama Adam."

"Mbak, jangan gampang marahlah ya, lo kaya enggak kenal gue aja. Gue kan cuma bercanda," kata Ruben masih dengan senyum menghiasi wajahnya. "Masih enggak nyangka gue, calon kakak ipar gue, umurnya lebih muda daripada gue. hahaha," suara tawa Ruben memenuhi ruang makan rumahku.

Aku seketika mengingat kejadian semalam ketika Ervin datang bersama keluarganya melamar di rumah orangtuaku. Semua keluargaku bahkan sampai pakdhe dan bude yang tinggal di Jepang rela jauh jauh datang ke Jogja hanya untuk mengikuti prosesi lamaran yang akan dilanjutkan dengan acara pernikahan 1 bulan lagi karena Ruben sudah tidak sabar ingin menikahi pacarnya yang sudah dipacari 8 tahun. Pacaran rasa KPR rumah kalo kataku karena saking lamanya.

Lima puluh persen keluargaku yang hadir semalam menitikan air mata, karena akhirnya yang mereka takutkan bahwa aku tidak memiliki jodoh di dunia itu tidak benar adanya. Ternyata aku hanya lahir terlalu cepat daripada jodohku.

"Aduh Lun, kamu pinter banget milih jodoh, udah ganteng, sopan, keluarganya juga sayang sama kamu lho kalo dilihat lihat," salah satu contoh pujian sopan yang datang padaku semalam dari Tante Liz, adik Mamanya.

"Kalopun harus jadi perawan tua dulu, asal jodohnya kaya mas Ervin, aku siap lahir batin mbak," komentar laknat dari adik sepupuku, bernama Olivia yang tidak tau diri, sudah datang bareng pacarnya, masih saja bisa memperhatikan Ervin.

"Mbak, lo yakin bakalan nikah di KUA doang? Tanpa resepsi ?" Suara Ruben membuatku tersadar dari lamunan.

"Iya, maunya gue gitu tapi Mama kekeh buat adain resepsi walau enggak langsung pas hari H juga."

"Gue setuju sama Mama, ini kan acara mantu pertama Mama dan Papa. Jadi mereka mau undang semua orang."

"Buat apa sih buang-buang duit, mending duitnya di taruh di pasar saham aja, bisa jadi cuan daripada cuma di habisin buat hal kaya gini."

Aku berusaha beralasan selogis mungkin karena tidak mungkin aku mengatakan hal yang sebenarnya pada Ruben, bisa habis aku kalo Ruben tau yang sebenarnya.

"Susah emang kalo ngobrol sama orang pelit. Udah ah gue mau balik, sampai ketemu d RUPS* besok hari Senin."


(*RUPS: Rapat Umum Pemegang Saham)

***

Ervin Aditya POV

Weekend ini aku habiskan bersama keluargaku di kota Gudeg. Selain karena acara lamaran, aku juga berniat mengajak keluargaku untuk menikmati liburan singkat. Ya walau hanya keliling Malioboro, keraton, taman sari dan beberapa tempat populer untuk wisata di jogja. Aku beruntung dipilih oleh Luna sebagai calon suaminya. Aku bisa merasakan Luna sangat tulus kepada keluargaku terutama ibu dan Jani. Hanya saja kejadian tadi siang ketika Luna menemani kami jalan jalan membuatku sedikit marah karena Tanteku sedikit merendahkan ibu di depan Luna. Aku tidak masalah ketika orang menghina aku anak haram atau apapun itu tapi tidak dengan ibuku, yang aku tau bagaimana perjuangannya membesarkanku sebelum akhirnya bertemu dan menikah dengan Rahadian, ayah kandung Jani yang dengan sukarela menerimaku tanpa mengungkit masa lalu ibuku.

"Vin, kamu beruntung ya walau kamu anak haram tapi kamu bisa dapat calon istri yang sukses, dari keluarga terpandang, kaya lagi. Enggak sia sia itu wajah bule kamu itu," kata tante Anita yang aku ajak ke acara ini karena ibu yang meminta.

Seketika kami yang sedang dalam acara makan siang di salah satu restoran keluarga berhenti menikmati hidangan masing masing. Aku melihat ibu diam seribu bahasa bahkan menundukkan wajahnya. Sedangkan Luna menatap Tante Anita dengan tatapan yang sulit aku artikan.

Andai saja tante Anita itu laki laki ingin aku hajar rasanya detik ini juga. Ketika emosiku sudah hampir meledak mendengar kata kata tante Anita, aku merasakan tanganku disentuh kemudian digenggam dengan lembut, namun semakin lama genggaman itu semakin kuat aku rasakan. Aku melirik Luna yang duduk di sebelah kiriku, dan Luna menoleh kepadaku, mengirimkan sebuah senyum termanisnya lalu menghadap depan lagi, lebih tepatnya memfokuskan tatapannya kepada tante Anita.

"Maaf Tante, bukan Ervin yang beruntung mendapatkan saya, tapi saya yang beruntung mendapatkan Ervin karena Ervin adalah laki laki baik yang menyayangi keluarganya terlebih ibunya. Dan satu hal lagi Tante, saya harap Tante lebih bijak dalam bertutur kata. Karena kata kata Tante barusan bisa melukai orang lain."

Kami semua yang di meja ini langsung memfokuskan pandangan pada Luna. Luna yang ditatap hanya cuek saja, fokusnya masih kepada tante Anita.

"Saya harap mulai saat ini Tante berhenti menghina calon suami saya dengan sebutan anak haram."

Luna mulai berdiri dari kursinya dan berjalan meninggalkan kami semua yang masih terdiam akibat kejadian barusan. Ketika menyadari Luna melangkahkan kakinya keluar dari restoran bergaya castil tersebut, aku mengikutinya. 
Luna menghentikan langkah di depan mobilnya. Aku melihat Luna mengusap pipinya dan sedikit terisak. Aku tidak menyangka justru Luna lah yang tersakiti oleh kata kata Tante Anita yang sudah sejak dulu terkenal memiliki kata kata setajam silet itu.

Aku berjalan mendekatinya, mencoba memanggil namanya. Luna yang tidak menyadari kehadiranku, tampak kaget sebelum membalikkan badannya menghadapku.

"Kamu ngapain ikut ke sini? Kamu di dalam aja, sebentar lagi aku masuk."

Luna gila kalo menyuruhku untuk pergi meninggalkannya dalam situasi seperti ini. Aku adalah penyebab ia terluka, andai dia tidak mengenalku, mungkin dia tidak akan terluka oleh kata kata tanteku sendiri. Aku tidak menjawab pertanyaan Luna, aku hanya berjalan mendekatinya dan memeluknya. Aku tau Luna kaget dengan aksiku ini karena aku merasakankan kakunya badan Luna dalam pelukanku.

"Makasih ya, karena kamu mau terima aku apa adanya," gumamku pelan di dekat telinganya.

Hanya anggukan kepala Luna dan sedikit isakannya yang menjadi jawabannya.

***

Kaluna Mahrani Atmaji Putri POV

Hari ini sebagai calon mantu yang baik dan semoga menjadi calon mantu idaman, aku menemani Ervin dan keluarganya keliling Jogja. Pagi hari aku sudah menjemputnya di Guest House milik Eyang Astuti, sepupu Eyangku. Aku sengaja menginapkan mereka disana karena aku merasa fasilitas disana sangat lengkap, dengan rumah bergaya tradisional modern, fasilitas lengkap bahkan kolam renang pun ada. Ketika sampai disana aku di sambut oleh Ibu yang berjalan pelan menghampiriku dan memelukku. Kemudian ibu menuntunku ke teras samping, mengajakku ngobrol berdua, ternyata Ervin masih tidur karena semalam baru pulang dari Raminten dini hari. Kami duduk di kursi taman sambil memandang ikan-ikan koi di dalam kolam yang berwarna indah itu.

"Nak," panggil ibu padaku.

"Ya, bu?"

Aku melihat ibu menatapku dalam, sambil tersenyum, tangannya menyentuh tanganku lembut.

"Ibu titip Ervin sama kamu ya? Tolong jangan tinggalkan Ervin sendiri, karena waktu ibu untuk menemani Ervin sudah tidak lama lagi."

Aku berusaha tertawa kecil, untuk mencairkan keadaan yang berasa kaku ini.

"Ibu nggak boleh bilang gitu, ibu bakalan lihat Ervin punya anak, bakalan main sama cucu-cucu ibu. Lagian ibu ini kebalik kalo bilang Luna jangan ninggalin Ervin, harusnya Ervin yang dikasih tau."

Ibu ikut tertawa kecil disebelahku. Pandangannya kini jatuh pada ikan-ikan koi di depan kami duduk.

"Ervin sudah ibu kasih tau semalam."

"Terus Ervin jawab apa Bu?"

"Ervin bilang, mungkin kamu yang akan ninggalin dia kalo tau Ervin anak yang lahir tanpa seorang ayah."

"Hanya 3 hal yang bisa membuat saya meninggalkan Ervin Bu."

Ibu menatapku, seakan ingin tau apa yang bisa membuatku meninggalkan anaknya yang ganteng itu.

"Kalo Ervin tidak bertanggung jawab, selingkuh dan KDRT sama saya, ya maaf-maaf saja Bu, saya nggak perlu mikir beribu kali untuk ninggalin Ervin."

Aku sengaja menyebutkan kriteria suami idaman dalam arti sebenarnya yang aku harapkan dalam sebuah pernikahan versiku, tapi aku tidak memiliki hak untuk meminta itu dari Ervin. Aku ini siapanya Ervin? Hubunganku dengannya juga hanya dilandasi kontrak selama satu tahun kedepan. Mengharapkan memiliki rumah tangga layaknya orang normal pada umumnya jelas bagai punguk merindukan bulan.

Tidak lama kemudian, Jani datang bersama Ranu dan suaminya yang bernama Bayu. Aku baru tau kalo Bayu bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan dan Jani sementara tidak bisa mengikuti suaminya karena menjaga ibunya. Kami ngobrol bersama di halaman samping rumah ini hingga akhirnya Ervin datang dan tiba-tiba memeluk leherku dari belakang. Mau tau rasanya?  Rasanya merinding, asli aku salting, bahkan wajahku jadi merah ketika Ervin mencium rambut di kepalaku.

"Wangi, kamu habis keramas ya?" Komentarnya, aku hanya tersenyum sambil mengangguk. Bibirku sudah kelu duluan merasakan sentuhannya di tubuhku.

"Mas, belum halal, jaga sikap," protes Jani pada Ervin, tapi Ervin tidak menggubrisnya.

"Sirik aja jadi orang, kaya nggak tau aja semalem kamu ngapain sama Bayu di meja dapur."

Mau tidak mau pikiranku traveling mendengar ucapan Ervin. Sial, si Ervin pagi pagi sudah bikin moodku jungkir balik. Pikiranku jadi kotor perlu di sapu kalo perlu dipel.

"Kita udah halal, mas Ervin belum. Sabar sebulan doang," kata Jani.

Karena tidak mau berlama lama membahas adegan yang seharusnya tidak menjadi konsumsi publik ini, aku mengajak semuanya untuk segera berangkat.

"Yuk, kita berangkat aja, nanti keburu siang, aplagi harus jemput tante Anita di hotel juga."

Tantenya Ervin yang satu ini memang titisan Bu Tejo utuh, tanpa kurang sedikitpun. Sejak awal bertemu dengannya semalam aku kurang nyaman, aku yakin bukan cuma aku orang yang kurang nyaman berada di dekatnya.

Mana sok gaya lagi tidak mau menginap di sini, minta d hotel, mau tidak mau Ervin harus menyewakan kamar untuknya dan suaminya. Kadang aku tidak tega melihat interaksi Ervin di keluarga besarnya. Ervin seperti tidak di anggap keberadaannya, bahkan seperti di sepelekan. Aku bisa melihat luka itu di matanya.

Kami pergi dengan dua mobil, aku sengaja meminjamkan Ervin satu mobilku yang tidak terpakai di rumah. Sebuah Range Rover hitam. Ibu, Ranu, Bayu dan Jani mengendarai range rover itu, sedangkan aku dan Ervin di mobilku yang satunya, sebuah Audi R8 2021 berwarna samoa oranye.


Ketika kami sampai di hotel, ternyata hanya tante Anita saja yang akan ikut, sedangkan suaminya tidak ikut karena akan bertemu teman sekolahnya yang kebetulan tinggal di Jogja. Aku bisa melihat bola mata tante Anita yang mau copot dari matanya ketika melihat mobilku. Sedangkan beberapa wanita yang melihat Ervin tadi di loby sudah memberikan tatapan mendamba karena Ervin terus menggandengku padahal asli, aku tidak minta di gandeng. Aku bisa berjalan sendiri dan aku jamin aku tidak akan nyasar di sini.

Aku kira hanya ketika di loby tadi tatapan itu akan menghakimiku, ternyata dimanapun aku dan Ervin pergi, tatapan sebagian besar wanita akan mengarah kepada kami, aku tidak GR, aku
Cukup tau dan mengerti arti tatapan tatapan ini, dan mulai sekarang aku harus berlatih untuk terbiasa menjadi bahan ghibahan orang yang tidak aku kenal, siapa tau kalo lulus bisa jadi artiskan.

Ketika menjelang siang, Tante anita sudah merengek minta makan, sebenarnya aku dan Ervin ingin mengunjungi mangut lele Mbah Margono, tapi tante anita minta diajak makan di salah satu restoran dengan gaya bangunan unik di jogja, berbentuk castil. Akhirnya dengan persetujuan ibu, aku menyuruh Ervin melajukan mobilku ke arah jalan godean, dan Bayu mengintili kami dibelakang.

"Asli deh, Tante kamu itu pengen banget aku remet."

Ervin tertawa mendengar ocehanku. "Lebih bagus lagi kalo kamu bisa wakilin aku ngelakuin itu."

"Kamu nggak keberatan aku gituin dia?"

"Enggak, tenang aja, aku malah bakalan bilang terimakasih kalo kamu bisa."

Merasa sudah mendapatkan persetujuan untuk menjalankan apapun yang aku mau ke Tante Anita kalo tante Anita berani-berani "nyenggol "aku atau orang orang terdekat aku yang aku sayang. Aku tidak akan tinggal diam, jangan salah, Kaluna Maharani Atmadji Putri itu bukan perempuan lemah yang nggak punya taring. Aku ini wanita yang di lengkapi cakar bahkan racun yang bisa membunuh jika itu diperlukan.

Makan siang itu awalnya berjalan normal hingga tante Anita mulai membuka mulutnya yang seperti tidak pernah di doakan. Kata-kata yang keluar dari mulutnya terasa menghina bagi ibu dan Ervin, tidak bisa aku terima. Dia salah kalo aku hanya akan diam saja menerima itu semua. Saat ini baik Ervin, ibu ataupun Jani beserta keluarganya sudah aku anggap keluargaku sendiri, bagiku ada yang menghina mereka sama dengan menghinaku.

Aku balas kata-katanya. Agar dia sadar tidak semua orang bisa diam saja mendengar ocehannya. Karena aku tidak bisa menahan bendungan air mataku yang sebentar lagi jebol, akhirnya aku bangkit dari kursiku dan keluar menuju parkiran.

Diparkiran aku mulai terisak, tapi aku mencoba menahan semuanya, aku membayangkan bagaimana ibu dan Ervin hidup dengan hinaan sedemikian rupa dari keluarganya sendiri. Bagiku keluarga adalah tempat dimana aku bisa mencari penguatan bukan seperti tante Anita, keluarga kok malah menghancurkan. Pengen aku remet remet sampai jadi perkedel terus aku jual di rumah makan Padang.

"Lun.. Luna," aku mendengar Ervin memanggilku.

"Kamu ngapain ikut ke sini? Kamu di dalam saja, sebentar lagi aku masuk."

Ervin tidak menjawab, dia berjalan mendekatiku dan memelukku. Pelukan yang ringan tapi entah kenapa aku masih belum bisa santai dengan segala sentuhannya yang mengenai tubuhku, yang ada ketika Ervin menyentuh bagian tubuhku aku akan menjadi tegang. Aku justru makin terisak ketika mendenger Ervin berbisik di dekat telingaku "Makasih ya, karena kamu mau terima aku apa adanya."

Aku hanya mampu menganggukkan kepalaku. Ya Tuhan, aku tidak menyangka seorang Ervin Aditya menyimpan luka itu sendiri dan berusaha kuat di depan ibunya.

Aku adalah orang yang mengurai pelukan itu lebih dulu sambil berucap, "kalo kamu sakit, aku juga sakit."

Ervin hanya tersenyum sambil membelai samping kepalaku.

"Buat kedepannya aku enggak akan diam saja kalo Tante Anita kaya gini lagi, bahkan orang lain."

"Iya, sekali lagi makasih ya Lun, yuk ... kita masuk lagi, peperangan belum berakhir."

***

Part 4


Ervin Aditya POV

Walau aku bukan orang kaya, dan pernikahanku dengan Luna didasari atas pernikahan kontrak, aku merasa tetap berkewajiban memberikan apa yang sepatutnya diberikan kepada wanita yang akan menikah dari calon suaminya. Aku berusaha memberikan yang terbaik kepada Luna semampuku. Aku mengajaknya belanja Senin siang ini ke Ambarukmo plaza. Pernikahan kami hanya kurang 2 minggu lagi dan berbeda denganku yang terlihat sibuk tidak jelas serta was-was menuju hari H, aku melihat calon istriku ini sangat santai, bahkan masih terlihat sibuk dengan pekerjaannya. Seolah rencana pernikahan kami hanya sebuah mimpi baginya atau aku yang terlalu bersemangat?

"Lun, kamu mau isi seserahannya apa saja? Kamu pilih sendiri saja, aku nggak mau milihin, nanti nggak sesuai sama selera kamu dan malah nggak kamu pakai."

"Memang harus ya, Vin? aku rasa nggak perlu sih, soalnya aku lagi nggak pengen belanja."

"Lun, aku tau kalo aku saat ini belum mampu beliin kamu barang branded seperti apa yang dipakai Hilda, tapi aku pengen pernikahan kita selayaknya orang pada umumnya."

Bukannya marah Luna malah tertawa, sepertinya aku akan menikahi wanita yang kurang waras, "apa kamu bilang? Barang branded kaya yang dipakai Hilda?"

"Enggak deh, Vin. Aku nggak mau kamu kasih seserahan yang isinya style-nya Hilda."

"Tapi itu kewajiban aku. Kamu paham kan maksudku?"

Salah satu sifat jelek Luna yang mulai aku tau sekarang adalah tipikal orang yang memggampangkan segala urusan diluar urusan bisnisnya.

"Aku paham, mengerti dan memahami tapi apa harus mengeluarkan uang sebanyak ini cuma untuk beli barang yang kita sudah punya dan hanya untuk dipamerin ke orang yang hadir diacara nikahan kita?"

Aku melihat Luna bersedekap sambil menatapku.

"Serendah rendahnya aku, aku akan berusaha menjaga harga diri kamu di depan keluarga kamu, Lun. Aku mau memperlakukan kamu selayaknya calon istri."

Aku melihat Luna menghela nafas.

"Okay, Vin. Aku mau kamu beliin tapi nggak usah di sini, kita cari yang murah-murah saja."

Akhirnya Luna mengajakku ke sebuah rumah di daerah dekat jogja tronik, aku melihat rumah ini seperti pabrik sepatu.

"Vin, sandal seserahan buat di sini aja, aku sudah langganan di sini, harganya murah kualitasnya bagus."

"Kamu sering bikin di sini?"

"Iya lumayan sering sih, soalnya dulu di ajakin Nada, kan Nada kakinya gede tu, jadi susah cari ukuran sepatu perempuan merek lokal, akhirnya kadang dia bikin disini atau beli di luar negri."

"Oh, okay nggak pa-pa. Yang penting besok kamu pakai setelahnya."

Aku hanya mengeluarkan uang sebesar 150 ribu untuk sepasang sepatu. Begitu murah untuk ukuran seorang wanita sesukses Luna. Kemudian Luna mengajakku ke deretan toko di jalan Solo. Di sini berjejer toko kain dikiri dan kanan jalan. Luna mengajakku memilih kain untuk seserahan. Dan ketika aku menyadari kalo Luna akan mengajakku pulang, aku bertanya padanya.

"Lun, disini ada butik emas?"

"Ada, di deket Lippo Mall, kenapa Vin?"

"Kita mampir ke sana sebentar ya?"

"Okay," kata Luna lalu dia memberi arahan padaku kemana aku harus mengambil jalan. Karena kami mengambil jalan tikus.

Aku memarkirkan mobil Luna di area parkir butik emas, kemudian kami berjalan ke depan dan menuju seorang wanita yang merupakan pegawai butik emas.

"Selamat siang," sapa wanita itu ketika kami telah duduk di hadapannya.

"Siang Mbak, saya mau beli LM untuk mahar pernikahan, Mbak."

"Oh, baik bapak kalo untuk mahar, ada bagusnya kalo bapak memilih seri batik. Karena limited edition dan tentunya jarang dimiliki orang-orang. Nanti kalo mau dijadikan kalung ada bazel yang bisa bapak beli di sini," kata pegawai itu menerangkan. Luna di sebelahku masih setia mendengarkan pegawai butik emas di depan kami.

"Gimana Lun, sama bazelnya nggak?" Tanyaku pada Luna.

"LM-nya aja, Vin. Kebetulan aku nggak suka pakai perhiasan gede-gede."

Aku menganggukkan kepalaku.

"Mbak, saya ambil yang 10 gram 3 biji ya, Mbak? Seri Truntum kalo ada."

"Stock tersedia, Bapak. Mau di bayar menggunakan kartu, transfer atau cash?"

"Gesek debet bisa, Mbak?"

"Bisa, Pak."

Akhirnya aku membelikan Luna sebagai mahar pernikahan kami adalah 3 buah Logam mulia seri batik Truntum karena makna yang terkandung dari motif tersebut.

Truntum adalah lambang kesetiaan. Cinta yang tulus tanpa syarat, abadi semakin lama semakin subur dan berkembang. Karena itu aku memilihnya, walau aku tidak yakin Luna sendiri tau dan paham makna yang terkandung didalamnya.


"Lun, kamu tau nggak kenapa aku milih seri batik Truntum?"

"Nggak Vin, aku taunya LM ya LM 24 karat gitu doang," kata Luna sambil tertawa di dekatku. Si Mbak pegawai butik emas ikut tersenyum.

"Ibu harus bersyukur punya calon suami seperti bapak ini. Jarang ada suami yang seperti ini."

Luna tersenyum dikursinya. Kemudian aku mengeluarkan kartu Debetku dan menyerahkannya kepada pegawai butik emas untuk membayar LM tersebut.

Setelah keluar dari butik emas, aku mengajak Luna makan di Raminten. Setiap ke Jogja, aku tidak pernah melewatkan waktuku untuk menikmati hidangan dari Raminten. Walau makanannya biasa saja, namun suasana membuatku selalu rindu untuk datang kesini  lagi dan lagi, walau hanya sekedar bersantai.

"Lun, kira-kira masih ada yang belum di beli nggak?" Tanyaku pada Luna.

"Sudah cukup lah, Vin. Toh sebagian kita beli online saja. Nanti aku kasih kamu tagihan buat bayarnya."

"Okay."

Aku memahami keinginan Luna. Menikahi wanita yang super sibuk itu berbeda dengan wanita yang hanya pintar menghamburkan uang. Baginya waktu adalah uang, sehingga waktuku dengan Luna pun tidak sebanyak orang-orang dengan pasangannya.

"Habis ini kamu bisa anterin aku ke bandara, Lun?" Tanyaku padanya, karena aku tidak mau mengganggu jadwalnya

"Bandara mana dulu?" Tanya nya padaku.

"Adisucipto, Lun."

"Okay, bisa kalo itu. Nggak terlalu jauh dari sini."

"Thank you."

Kemudian kami melanjutkan makan siang kami. Aku baru menyadari kalo Luna itu cantik, manis dan tidak terlalu banyak gaya. Hidupnya biasa saja walau kenyataannya dia bisa hidup luar biasa daripada orang-orang disekitarnya dengan apa yang ia miliki saat ini.

Selesai makan, aku langsung menuntun Luna di mana aku memarkirkan mobil Luna. Aku melajukan mobil Luna menuju bandara ketika sampai di Bandara aku berpamitan pada Luna.

"Lun, sampai ketemu 2 minggu lagi di acara nikahan kita. Aku pamit ya. Jaga diri baik-baik."

"Okay, Vin kamu juga. Titip salam buat ibu dan Jani, ya?"

"Iya, nanti aku sampaikan ke mereka. Bye."

"Bye."

Setelahnya aku meninggalkannya masuk dan Luna tancap gas untuk kembali ke kantor WO-nya.

***

Part 5

Author POV

Pagi yang indah dengan kicauan suara burung di atap rumah orang tua Luna menambah semarak kehangatan keluarga Luna. Semua keluarga besarnya berkumpul untuk menghadiri ijab qobul pernikahan Luna dan Ervin. Akhirnya orang tua Luna mengalah untuk tidak mengadakan pesta. Hanya akan ada acara makan-makan saja di rumah setelah pulang dari KUA.

Rumor bahwa Luna hamil duluan sempat menyeruak di bahasan keluarga karena Luna tidak mau mengadakan pesta yang lazimnya dilakukan oleh keluarganya. Apalagi ini Luna anak perempuan pertama yang seharusnya orangtuanya melakukan syukuran besar besaran mengingat orangtuanya bukan orang sembarangan di dunia bisnis.

Pukul 08.00 WIB keluarga Ervin telah tiba di rumah orangtua Luna sambil membawa seserahan yang 2 minggu lalu mereka beli bersama. Setelahnya mereka berencana untuk berangkat bersama menuju ke KUA.

"Ketiban durian runtuh lo Lun, dapet suami kaya Ervin."

Luna melirik Hilda yang menatap Ervin seakan Ervin adalah es buah ketika siang hari di bulan puasa.

"Iler lo di lap dulu itu. Inget buntut lo sudah 2," sambar Luna pedas kepada Hilda sambil mengelap mulut Hilda menggunakan tisu kering yang ada ditangannya.

"Cie....Cemburu lo, gue muji Ervin?"

"Nggak Hil, toh tanpa lo, gue mana bisa diposisi sekarang."

Hilda tersenyum manis didepan Luna,
"Gue cuma berdoa semoga rumah tangga Lo langgeng sampai maut memisahkan, Lun."

"Gue nggak tau mesti aminin do'a lo atau nggak. Kan, lo tau sendiri gimana?"

Hilda tertawa di sebelah Luna.

"Bener juga Lo. Ya sudah, yuk buruan ke depan kita sudah pada mau berangkat ke KUA."

***

Luna duduk semobil dengan Ervin di range Rover hitam milik Luna. Ervin melirik Luna yang tampak santai, padahal Ervin sudah panas dingin sejak semalam, ia takut jika dirinya tidak bisa mengucapkan ijab qobul dengan lancar.

"Lun, kamu nggak takut gitu kita mau nikah?" Tanya Ervin sambil menatap Luna yang sedang fokus memainkan game di handphonenya.

"Nggak Vin, ngapain takut. Wong kita cuma mau nikah, bukan mau maju ke medan perang."

Ervin melirik Luna, kalo biasanya perempuan lebih senewen menghadapi hal hal penting dihidupnya, Luna tidak sama sekali. Bahkan Luna masih bisa main game dan mengunyah permen karet.

Ervin menghembuskan nafasnya dengan kasar hingga Luna pun meliriknya.

"Nggak usah stress, dibawa santai aja okay?" kata Luna sambil menepuk nepuk bahu berotot milik Ervin.

Ketika sampai di KUA Luna turun bersama Ervin. Mereka masih menunggu antrian kapan giliran mereka untuk melangsungkan ijab qobul. Ketika sampai giliran mereka Ervin pun menjabat tangan ayah kandung Luna untuk mengucapkan ijab qobul. Ketika kata "sah" terucap dari para hadirin, kini Kaluna Maharani Atmaji Putri resmi menjadi Nyonya Ervin Aditya. Walau itu hanya untuk 1 tahun ke depan.

***

Kaluna Maharani Atmaji Putri POV

Wow.... Siapa sangka 5 menit yang lalu statusku berubah dari seorang lajang menjadi seorang istri. Istri dari Ervin Aditya yang usainya 6 tahun lebih muda dariku dan merupakan suami bayaranku.

Selama aku mengenal Ervin, banyak hal yang aku tau tentang dirinya, selain ia tipe laki-laki bertanggung jawab kepada keluarga, ia juga merupakan sosok calon suami yang penuh pengertian tanpa banyak menuntut apapun. Entah itu murni dirinya atau karena memang dia hanya menjalankan tugasnya sebagai suami bayaranku, sehingga ia tidak bisa memperlihatkan sifat aslinya padaku. Mau bagaimanapun hubunganku dengan Ervin, ini adalah sebuah hubungan yang dilandasi bisnis bukan cinta layaknya rumah tangga orang-orang pada umumnya.

Selesai ijab qobul, aku mencium tangan Ervin dan Ervin menciumku dikening. Sungguh adegan yang romantis jika saja itu dilakukan oleh pasangan sungguhan bukan pasangan jadi jadian seperti kami.

"Lun, mulai sekarang aku akan berusaha melakukan yang terbaik buat kamu."


Apa coba maksud kata kata Ervin ketika kami dalam perjalanan pulang di mobil. Hal terbaik yang aku harapkan dari Ervin adalah semoga rencanaku 1 tahun ke depan lancar dan kami akan berpisah secara baik baik tanpa adanya konflik.

Karena tidak mungkin aku membalas kata katanya, aku hanya memberikan senyuman manis kepadanya. Dan ya Tuhan, Ervin membalas senyumanku dengan senyumannya yang manis. Bisa diabetes aku kalo setiap hari mendapatkan senyuman itu darinya.

Range Rover hitamku memasuki halaman Rumah orang tuaku yang begitu luas dan asri ini. Di sana aku melihat keluargaku yang tidak ikut ke KUA sudah berkumpul seluruhnya. Pastilah ada sepupuku yang laknat seperti Olivia, namun juga ada sepupuku yang masih waras seperti Nada yang kali ini hadir bersama kedua kembar siamnya, Deva dan Salma. Hanya Robert, sahabatnya yang tidak ikut hadir kali ini. Aku heran kepada mereka berempat yang kemana mana selalu bersama sejak masih SMP, bahkan Nada dan Deva sudah bersahabat sejak masih SD. Dengan Robert yang tidak hadir kali ini saja mereka sudah bersama sama sejak SMA kelas satu.

"Mbak Luna selamat ya, akhirnya sudah sah sekarang," kata Nada yang memelukku erat ketika aku memasuki rumah.

Disusul ucapan selamat dari para keluarga yang hadir di sana. Semua keluargaku dan keluarga Ervin berkumpul menikmati acara makan siang di halaman rumah orangtuaku yang super luas ini.

Pukul 14:00 WIB acara tasyakuran ini selesai dan tamu undangan satu persatu meninggalkan rumah orangtuaku. Kini tibalah aku hanya bersama Ervin. Mau tidak mau aku mengajak Ervin ke kamarku. Tidak mungkin aku pisah kamar dengan Ervin ketika kami ada di rumah orangtuaku karena mereka akan curiga dan semua akan terbongkar.

"Vin, sementara kita tinggal di sini ya? soalnya Mama mau sebelum 40 hari kita nikah, kita belum boleh balik ke rumahku," kataku sambil mencoba menghapus make-up diwajah.

"Iya enggak pa-pa. Dimanapun aku ngikut kamu, maunya tinggal dimana."

Aku memberikan senyuman sebelum akhirnya aku bangkit dari meja rias dan menuju ke kamar mandi kamarku meninggalkan Ervin seorang diri yang sedang sibuk membongkar kopernya.

Di dalam kamar mandi aku menghembuskan nafasku. Mulai sekarang, akan ada pemain baru dalam drama kehidupanku. Aku hanya berharap semoga aku dan Ervin bisa saling menjaga profesionalitas dalam hubungan kami. Walau aku tidak bisa yakin 100% karena Ervin betul betul menunjukkan sikap suami idaman tak tercela sejak kami menikah tadi pagi.

Part 6

Ervin Aditya POV

Hari ini aku melangkahkan kakiku memasuki rumah keluarga Luna kembali. Sejujurnya aku merasa minder dan tidak pantas bersanding dengan Luna. Apalagi menjadi suami Luna serta menantu di keluarga ini. Lebih parahnya lagi, sampai 40 hari ke depan aku akan tinggal dengan Luna sekamar di rumah keluarganya yang besar, megah dan mewah dengan gaya Mediterania ini.


Sebagai laki laki yang lahir dengan gairah sex yang sangat sehat dan normal, aku tidak bisa menjamin bahwa diriku sanggup untuk tidak menyentuh istriku. Kalopun aku menyentuhnya itu sudah halal, tapi karena sepucuk perjanjian bangsat yang aku tanda tangani dengannya itu menjadi hal yang haram di lakukan.

Sejak bertemu dan berkenalan dengan Luna, aku sudah merasakan hal yang berbeda dengannya. Aku sangat menyukai Luna yang sangat minim menggunakan make up, selalu tampil apa adanya. Tidak pernah memamerkan apa yang dia miliki. Bahkan sikap cuek dan tidak pedulinya padaku adalah hal yang sanggup aku kesampingkan selama aku mengenal Luna. Dan malam ini aku akan mulai sekamar dengannya. Dikamarnya. Aku berharap Tuhan memberiku cukup iman agar tidak membangkitkan napsuku pada isteriku sendiri.

Sejak Luna keluar dari kamar mandi dan hanya menggunakan pakaian santai tanpa make up, rasanya aku ingin menidurinya. Perasaan seperti ini baru sekali aku dapatkan di hidupku. Hanya padanya aku merasakan hasrat ini. Walau aku bukan perjaka dan aku sudah terjerumus ke lembah hitam, tapi seakan Tuhan begitu baik kepadaku dengan mengirimkan Luna sebagai malaikat penolongku. Sehingga bagiku, Luna adalah wanita terbaik, tercantik, sempurna dan persetan dengan usia kami yang selisih 6 tahun. Karena umur hanya soal angka bagiku.

Bayangkan saja sejak aku mengenal dirinya aku menjadi "perjaka" kembali yang hanya memuaskan diriku dikamar mandi sendiri sambil membayangkan Luna, sedangkan yang malam ini di hadapanku ada Luna dalam versi nyata, real, dan bisa disentuh bukan hanya di angan anganku sedang tampil santai menggenakan tank top dan hotpants.

"Vin, kamu enggak mandi dulu?" tanya Luna yang menyadarkan diriku dari membayangkan hal yang tidak tidak tentangnya.

“Mandi, Lun,” kataku sambil beranjak ke kamar mandi kamar Luna. Dan untuk pertama kalinya aku melihat kamar mandi semewah ini dengan mata kepalaku sendiri bukan hanya gambar dari mbah google.


Sehingga aku harus menanyakan pada diriku sendiri, sebenarnya perempuan seperti apa yang aku nikahi ini, bahkan aku masih takjub dengan apa yang dimiliki Luna dan keluarganya. Kamar mandi super mewah, rumah sebesar istana, uang yang tidak berseri mungkin karena Luna saja membayarku sebulan 50 juta dengan enteng tanpa berfikir panjang.

Aku berusaha menetralkan diriku di dalam kamar mandi. Aku berendam di bathtub dengan air dingin, agar dedek mau tidur kembali setelah tadi ia bangun karena melihat Luna keluar dari kamar mandi.

Setelah hampir satu jam aku keluar dari kamar mandi dan menemukan Luna sudah tewas di atas tempat tidurnya. Aku duduk di tepi tempat tidur, memandang Luna dalam keadaan Luna yang sebenar benarnya. Dan aku menemukan fakta bahwa Luna termasuk orang yang tidur dengan mulut sedikit terbuka plus bonus sungai yang mengalir lancar dari mulutnya. Aku tersenyum melihatnya, aku belai kepalanya.

Lun, aku janji sama kamu kalo aku akan berusaha menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab buat kamu.

Aku mencium kening Luna, dan tanpa sadar setitik air mata memutuskan untuk keluar dari kelopak mataku. Aku sudah berusaha menahannya sejak acara ijab qobul tadi pagi dan aku berhasil, namun malam ini aku tidak mau menahannya. Air mata atas rasa syukur aku telah memilikinya. Memiliki istri yang menerimaku apa adanya, walau aku menikahinya karena dia membayarku tapi aku tidak mau memikirkan itu. Tugasku adalah menjadi suami yang baik untuk Luna, dan untuknya aku akan berusaha memberikan kewajibanku walau Luna tidak memintanya.

Aku beranjak dari tepi ranjang, berjalan ke sisi sebelah ranjang yang kosong, aku baringkan tubuhku di sana. Dan aku memiringkan tubuhku menghadap Luna. Aku memeluknya. Aku sandarkan kepalaku di punggung Luna, karena Luna tidur dalam posisi miring ke kanan dan air mataku masih setia menemani malamku ketika aku mulai beranjak memejamkan mataku. Bersamanya aku merasa dunia begitu tentram dan damai, seakan aku tidak ingin bangun lagi jika ini hanya sebuah mimpi.

Part 7

Kaluna Maharani Atmaji Putri POV

Aku terbangun dari tidurku karena HIP, alias hasrat ingin pipis yang tidak bisa lagi aku bendung. Ketika aku bangkit dari ranjang, aku menemukan Ervin sedang melakukan ibadah sepertiga malamnya. Aku memandangnya dalam diam, bahkan aku melupakan HIP sementaraku. Aku yakin mataku yang minus 2 ini benar benar melihat Ervin menitikan air matanya ketika ia beribadah.

Oh Tuhan, aku ingin memeluknya, aku ingin dia membagi rasa sakit yang ia rasakan denganku. Aku tau ia berusaha tampil kuat menghadapi hidupnya yang keras dan tidak mudah. Bahkan pekerjaan haram yang ia lakukan itu hanya untuk membiayai pengobatan ibunya.

Hasrat ingin pipisku memutuskan kembali hadir sebelum Ervin menyelesaikan ibadahnya, aku buru-buru masuk ke kamar mandi untuk menuntaskannya. Ketika aku keluar, aku sudah menemukan Ervin sedang melipat sajadahnya dan duduk di ranjang. Aku bingung harus membuka obrolan apa dengannya. Karena aku tidak terbiasa dengan kehadiran orang lain di kamarku apalagi itu lawan jenis.

"Eh Vin, udah selesai ibadahnya?"

Aku melihat Ervin tersenyum kepadaku sambil menganggukkan kepalanya, "sudah Lun, kamu juga mau ibadah?"

Deg!!!

Jantungku berhenti sepersekian detik mendengar pertanyaannya. Karena yang wajib saja aku masih bolong bolong melakukannya, walau aku berkeinginan memperbaiki ibadahku setiap hari, tapi sepertiga malam masih jarang aku lakukan karena setan di dalam diriku masih begitu kuat aku rasakan dominasinya untuk mengajakku menggambar peta setiap malam daripada mengucap puji dan syukur atas semua nikmat yang Tuhan berikan di hidupku.

"Enggak, tadi kebelet pipis", jawabku singkat sambil menuju ke ranjangku lagi.

"Oh..."

Hanya jawaban "oh" yang aku dapatkan dari Ervin. Sungguh sia sia basa basiku padanya barusan.

“Vin…," aku memanggilnya, dan ia menolehkan wajahnya kepadaku. Dan demi Tuhan, wajahnya sebening ubin masjid malam ini.

"Ya?"

“Nanti kalo mau ibadah, ajakin aku ya.”

Aku melihat perubahan raut muka Ervin, seperti shock atau kaget yang terlihat di sana ketika mendengar kata kataku barusan.

Kemudian dia merubah posisi duduknya untuk duduk lebih dekat denganku. Kini dia duduk di sebelahku dan menatap wajahku dalam. Rasanya aku ingin mengubur wajahku di dalam bantal saja saking malunya di tatap Ervin seperti ini.

“Lun,” kata Ervin sambil mengambil tangan kiriku dengan tangan kanannya, kemudian menaruhnya di atas paha nya yang kencamg dan berotot itu.

Aku mendongakkan wajahku, menatap wajah Ervin yang masih fokus pada wajahku, lebih tepatnya adalah mataku.

“Sekarang aku imam kamu, insyaallah aku akan ajak dan ingatkan kamu terus tentang ibadah Lun. Kita akan lakuin ini bersama sama. Kita perbaiki diri kita bersama.”

Aku masih belum bisa berkata kata atas ucapan Ervin barusan. Bibirku rasanya kelu sekali.

“Aku selalu bersyukur ke Tuhan karena ngirim kamu buat aku. Aku enggak tau gimana jadinya aku kalo enggak pernah kenal sama kamu,” katanya sambil tertawa getir dan pandangannya kini memandang smart TV yang ada di kamarku ini.  

Aku mengubah posisiku, kini aku duduk menghadapnya, dan Ervin pun kini menatapku kembali. Aku menarik tangan kiriku dari genggaman tangan kanan Ervin, kemudian aku angkat kedua tanganku, kini kedua telapak tanganku berada di kedua belah pipi mulus Ervin yang putih, bersih dan bebas dari jerawat apalagi komedo ini.

Aku tatap dalam dalam mata Ervin 
“Vin, apapun yang kamu rasakan, kamu bisa bagi sama aku, biar beban kamu sedikit berkurang.” kataku pada Ervin yang masih menatapku.

Ervin masih diam di depanku, tidak mengeluarkan sepatah katapun dari bibirnya yang pink itu.

“Kalo kamu sakit, aku juga bisa rasain Vin, walau kamu enggak pernah cerita, tapi aku tau.”

Aku mengatakan itu sungguh sungguh dari dalam hatiku setelah kejadian lunch bersama keluarga Ervin dulu setelah acara lamaranku dengannya.

Tidak ada jawaban dari Ervin, yang aku rasakan kini hanya aroma mint segar yang menyapu indera penciumanku, sedangkan bibirku kini telah menempel dengan bibir Ervin yang hangat, kenyal dan pink yang begitu pas jatuhnya di bibirku. Seakan bibir Ervin memang tercipta hanya untuk bibirku.

Oh Tuhan, aku tidak tau jika rasa bibir Ervin senikmat ini, aku merasakan Ervin membuka mulutnya sedikit dan mengulum bibir bawahku. Aku memejamkan mataku untuk merasakan pemberian Ervin padaku. Tanpa sadar aku membuka mulutku, memberikan akses pada bibir Ervin untuk meneruskan aksinya. Ervin menciumku lembut .

Entah bagaimana aku merasakan ciuman itu adalah ungkapan rasa hatinya padaku. Tanpa aku sadari kini kedua tanganku sudah berada di dalam genggaman tangan Ervin. Dia meremas kedua tanganku tidak terlalu kuat, namun aku merasakan kini kami adalah dua yang menjadi satu. Aku merasakan ada air yang membasahi pipiku. Ketika air itu jatuh ke bibirku, rasa asin yang aku rasakan adalah sebuah jawaban bahwa Ervin menitikan air matanya ketika menciumku.

Akhirnya aku adalah orang yang memutuskan ciuman itu lebih dulu, karena aku merasa kehabisan oksigen, dan bila aku nekad untuk terus menciumnya, aku menakutkan ada perasaan lain di diriku yang muncul untuk memilikinya sepenuhnya.

“Asin,” kataku setelah aku membuka mataku bersama dengan Ervin yang juga membuka matanya.

Ervin tertawa di depanku. Kemudian aku merasakan kedua ibu jarinya mengusap pipiku. Membebaskan pipiku dari sisa air matanya yang masih ada di sana.

“Kalo manis ya gula, Lun,” katanya padaku.

Setelah tawa Ervin reda, kami kembali ke posisi tidur kami masing masing. Kami tidur saling berhadapan dengan tangan Ervin yang memegang tanganku, seakan Ervin tidak akan melepaskan diriku untuk selamanya. Padahal kenyataannya kami akan berpisah setahun lagi.

***

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Suami Bayaran
Selanjutnya Suami Bayaran Part 8-15
8
2
Sebaiknya baca Part Prolog - Part 7 terlebih dahulu. Berisi Part 8 - 15Kaluna Maharani Atmaji Putri.Perempuan berusia 33 tahun yang sukses, mandiri dan tau apa yang dia mau, hingga keluarganya 'memaksanya' untuk segera menikah karena sang adik yang sudah memaksa menikahi pacarnya, namun keluarganya tidak mengijinkannya dilangkahi oleh sang adik. Dalam kebingungannya, dibantu Sahabatnya, Kaluna melakukan ide gilanya untuk mencari suami instan dan pilihannya jatuh kepada seorang gigolo muda berusia 27 tahun bernama Ervin Aditya.Bagaimana kehidupan Kaluna dan Ervin setelah mereka memutuskan menikah? Apakah Kaluna memilih bertahan atau menyerah ketika keluarganya mengetahui masa lalu sang suami?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan