
"Aku enggak mau nikah kalo belum dapat suami setajir Mas Juna dan semanis Mas Ervin memperlakukan Mbak Luna." - Vanilla Attanaya Raharja.
"Lebih baik melajang seumur hidup, karena menikah dan berkeluarga itu butuh biaya yang besar selain tanggung jawab sampai akhir hayat." Stevan Boselli.
***
Vanilla yang sejak lahir sudah hidup berkecukupan dan tidak kekurangan satupun di hidupnya, ternyata hatinya justru tertambat pada Stevan yang tidak memiliki keinginan untuk menikah dan berasal keluarga sederhana...
Prolog
Vanilla Atanaya Raharja POV
Ketika banyak wanita seumuran denganku sedang pusing untuk mencari pasangan, namun tidak denganku. Aku lebih memilih untuk menghabiskan akhir usia kepala duaku dengan banyak berlibur, bermain dan tentunya menjelajahi tempat tempat baru yang belum pernah aku kunjungi.
Sebagai seorang yang lahir di dunia ini tidak sendirian alias kembar, walau kami bukanlah kembar identik karena kami berasal dari dua sel telur berbeda dan lahir dari hasil proses bayi tabung, tentu saja aku cukup dekat dengan Caramel Atanaya Raharja yang biasa aku panggil Mel.
Seperti malam ini ketika Caramel menemaniku di kamarku setelah kami maraton menonton drama Korea.
"Mel?"
"Hmm"
"Ada enggak ya, laki laki yang kaya di Drakor gitu buat kita?"
"Enggak tau Van, umur saja kita sudah 29 tahun, status belum kawin."
"Emang Lo masih perawan Mel?" Godaku pada kembaranku ini
"Masih lah, senakal nakalnya gue, gue enggak akan begituan sebelum nikah."
"Bakalan beda cerita kalo napsu sudah bicara," kataku sambil membuka kuaci yang ada di meja.
"Napsu pun masih bisa kita kendalikan. Gini ya Van, Lo bayangin aja, sudah kita di jamah jamah gitu apalagi sampai bunting tapi belum di nikahin? Ruginya sampai ke tulang rusuk. Amit amit, jangan sampai deh lempar tai ke muka Mama sama Papa."
"Nakal boleh bego jangan," kataku sambil menaik turunkan alisku.
"Good. Lo jadi mau liburan sambil kerja sendirian besok?"
"Iya. Habis Lo sekarang jadi anak kantoran, kagak bisa gue ajak seneng seneng."
"Ya gue kan harus mikir masa depan. Emang Lo?"
Aku hanya terkekeh, aku akui, aku belum memiliki tabungan masa depan baik itu rumah atau apartemen. Karena semua penghasilanku habis aku gunakan untuk berlibur dan hidup sesukaku. Karena bagiku masa muda tidak terulang dua kali sehingga aku harus benar benar puas menikmatinya. Jangan sampai timbul rasa menyesal ketika hari tua kelak karena belum pernah pergi ke sana ke sini sesuai keinginanku.
"Buat apa sih banyak duit tapi enggak pernah bisa menikmatinya?"
"Buat apa juga kerja keras main sana sini, tapi enggak punya simpanan masa depan."
"Makanya cita cita gue cari suami yang setajir Mas Juna dan memperlakukan istri semanis Mas Ervin ke Mbak Luna."
"Bener kata Mas Adam, Lo kalo mengkhayal ketinggian, nanti kalo jatuh sakitnya enggak ketulungan."
Aku hanya terkekeh di dekat Caramel.
"Ya gimana ya Mel, cita cita itu harus setinggi langit kan."
"Mana ada laki laki sesempurna itu. Oke, mas Juna tajir melintir tapi enggak romantis ke Mbak Nada. Mas Ervin memang suami dan papa able banget, tapi juga enggak setajir Mas Juna. Suka bingung gue gimana ceritanya gue punya kembaran modelan Lo gini, pinter, cantik tapi sayang otak Lo konslet."
"Gue aja enggak tau bakalan nikah apa enggak nantinya. Gue enggak bisa ninggalin Papa sama Mama. Mereka itu hidup matinya gue banget Mel. Lo aja kalo mau nikah, gue jagain mama sama papa."
Aku melihat Mel menghela nafas pasrah. Kemudian ia bangkit berdiri.
"Kalo Lo nikah, gue kasih rumah seisinya plus mobil buat Lo."
"Gue enggak minat."
"Gue berharap di setiap keminggatan Lo termasuk yang besok ini, Lo ketemu jodoh," kata Caramel sambil berjalan keluar kamarku
***
Stevan Boselli
Lahir dari keluarga sederhana menjadikanku pria yang penuh perjuangan untuk memperbaiki taraf kehidupan keluargaku. Bahkan aku rela menekuni beberapa pekerjaan di hidupku. Mulai dari guru bahasa Indonesia, personal trainer, hingga tour guide semua itu aku lakukan tanpa mengeluh karena aku tau mengeluh tidak membuatku menjadi kaya.
"Van..."
"Ya Madre*," (*Madre : bahasa Italia yang berarti ibu)
"Kapan kamu akan menikah?"
"Kapan kapan."
Aku melihat Madre tertawa di sampingku
"Van, usia kamu sudah tiga puluh tahun."
"Masih muda," sahutku singkat pada Madre.
"Kamu sebaiknya mulai mencari pasangan. Karena Madre juga sudah pingin punya cucu."
"Madre, mana ada perempuan yang mau hidup susah jaman sekarang? Bahkan aku berencana untuk tidak menikah."
"Kenapa?"
"Karena menikah dan berkeluarga itu butuh biaya yang besar selain tanggung jawab sampai akhir hayat."
***
Bab Satu
Vanilla Atanaya Raharja POV
Tidak seperti biasanya ketika aku Travelling aku hanya akan jalan jalan menghabiskan uang dan pulang dengan saldo minimal di ATM serta oleh oleh untuk semua keluargaku.
Kali ini aku di terima bekerja di salah satu perusahaan consulting di Roma, Italia. Walau masih kontrak, setidaknya aku bisa jalan jalan ke sana ke mari selagi aku di Eropa. Sebagai seorang wanita yang mandiri dan berasal dari keluarga yang cukup mapan, aku bersyukur karena Papa dan Mamaku tidak mewajibkan aku serta Caramel untuk memberikan jatah bulanan kepada mereka. Setiap kami memberikan uang, yang ada akan selalu di tolak, justru kami masih sering menerima jatah dari mereka karena kami masih tanggung jawab mereka.
Ketika aku sedang membereskan koper yang akan aku bawa, handphoneku berbunyi tanda ada notifikasi dari WhatsApp. Aku tersenyum melihatnya, ternyata notifikasi dari keluarga besar Papa.
Adam : Van, Lo beneran bakal tinggal di Italia ?
Vanilla : iya
Adam : sepi dong hidup gue tanpa Lo
Vanilla : buruan kawin
Adam : kawin sudah, nikah belum
Vanilla : lambemu mas😩
Nada : Van, kalo disana sering sering ke Positano, si Salma kangen ketemu Lo katanya
Juna : gue juga kangen Alano, kangen Eric juga ini enggak pulang pulang dari Austria
Caramel : Inget Van, cari jodoh
Vanilla: enggak ada yang buang jodoh jadi susah nyarinya, terus gue pungut dari mana?
Kaluna : Lo terlalu tinggi sih kriterianya. Mau deketin sudah keder duluan.
Ervin : kalo nyari yang kaya gue, enggak bakalan ada Van. Gue limited edition.
Vanilla : gue kira kalian bakalan kasih kata kata perpisahan yang manis, taunya cuma ngehina mulu
Ruben : bedain mana ngehina mana jujur.
Aku menutup Handphoneku dan segera aku selesaikan packinganku.
Setelah selesai aku turun ke bawah dan aku temukan Papa baru saja selesai sholat Jum'at di masjid.
"Hallo Pa..."
"Hallo Van, sudah selesai packing ?"
"Sudah Pa, mama mana?"
"Lagi keluar sama teman teman gerejanya."
"Oh," jawabku singkat.
Aku dan Caramel adalah anak yang lahir dari sepasang orang tua yang memiliki keyakinan berbeda. Papaku adalah seorang muslim, sedangkan Mamaku adalah seorang Nasrani. Aku mengikuti keyakinan Mama sedangkan Caramel mengikuti keyakinan Papa. Karena semua perbedaan itu, aku semakin bisa menghargai perbedaan dan hidup berdampingan dalam harmonis meskipun kami berbeda kitab.
Karena itu semua, aku berkeinginan mencari pasangan yang seiman. Aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama dengan orang tuaku.
"Van," panggil Papa padaku.
"Ya Pa."
"Sini, papa mau ngomong sebentar."
Aku mendekat ke papa yang kini duduk di sofa putih depan televisi.
"Ada apa Pa?" Tanyaku setelah aku duduk di sebelah Papa.
"Vanilla kan sudah besar, sekarang Vanilla mau kerja jauh dari keluarga. Vanilla harus jaga kehormatan diri Vanilla dan keluarga ya?"
"Iya Pa."
Segila, edan dan nakalnya diriku, aku memang memiliki prinsip tidak akan berhubungan badan selain dengan suamiku kelak. Karena aku tidak mau memulai sesuatu dengan cara yang salah. Kalo bisa di ambil secara halal, kenapa juga harus di ambil secara haram.
"Vanilla jaga kesehatan, sering sering hubungin Mama dan Papa. Kalo enggak betah, telepon Papa, nanti papa Nyusul kesana jemput kamu."
"Iya Papa, papa kan sudah tau Vanilla gimana."
"Sama satu lagi. Kalo kamu merasa menemukan Jodohmu, segera bawa pulang ke sini, ajak dia melamar kamu. Usia kamu sudah 29 tahun."
Aku hanya bisa tersenyum dan menganggukkan kepalaku. Tanpa aku sadari air mataku menetes di pipi. Bagaimanapun, papa adalah salah satu ayah terbaik di dunia versiku. Papaku sering konyol, membuat kami tertawa bahkan dulu Papa berharap memiliki menantu atlet bulutangkis yang sayangnya harapan tinggal harapan karena kedua putrinya tidak ada yang mendapatkan atlet bulutangkis.
"Van, kamu tinggal di rumah kita saja di sana ya?"
Aku kaget mendengar kata kata Papa. Rumah? Sejak kapan Papa punya rumah di Italia.
"Sejak kapan Papa punya rumah di Italia?"
"Sejak kamu mau pindah kesana. Papa minta tolong sama Suaminya Salma buat urusin pembelian rumah buat kamu."
"Pa, kenapa papa sampai begini. Vanilla saja belum pernah bisa kasih papa apapun sampai mau kepala tiga."
Kini air mataku sudah jatuh di pipi. Tidak aku sangka semua akan semelow ini hanya karena kami akan tinggal berjauhan.
"Kasih papa senyum bahagia. Itu sudah cukup buat Papa. Bagaimanapun Papa sama Mama dulu mau punya anak kalian sampai IVF* ke Amerika. Jadi kalo kalian bahagia itu sudah cukup untuk Mama dan Papa."
(*IVF adalah istilah untuk bayi yang didapatkan dari proses pembuahan sel telur oleh sel sperma di laboratorium alias in vitro fertilization (IVF). Pembuahan itu bertujuan menciptakan embrio-embrio calon bayi)
"Papa sehat sehat ya selama Van pergi, cuma dua tahun kok Pa"
"Iya. Ya sudah, ayo kita makan sudah siang."
Mengingat kami hidup dalam perbedaan, di rumah kami aturan yang kami makan adalah makanan halal. Bahkan Mama dan aku tidak pernah makan makanan yang di larang kepercayaan yang di anut papa di rumah. Sungguh, hidup dalam perbedaan yang begitu indah ini telah membuatku menjadi pribadi yang berfikiran terbuka terlepas dari anggapan orang di luar sana tentang keluargaku.
***
Pagi ini aku menatap rumah yang aku tinggali sejak lahir dengan tatapan ingin menangis, karena aku akan meninggalkan rumah dua tahun lamanya.
"Lo kan cuma mau jalan jalan Van sambil kerja. Enggak usah segitu meweknya."
"Gue ajakin lo buat ikutan, Lo enggak mau,"
Kataku pada kembaran tidak identikku
"Lo di sana main sambil kerja atau kerja sambil main, pokoknya pulang Lo harus bawa tabungan masa depan. Bukan oleh oleh foto Travelling Lo."
"Gitu amat Lo jadi kembaran."
"Maunya gue gimana Van?"
"Tau ah, bodo mau masuk ke dalam aja."
"Pundungan amat sih Lo jadi cewek."
"Biarin," kataku sambil berjalan memasuki rumah.
***
Stevan Boselli
Mulai hari ini aku mendapatkan pekerjaan baru sebagai guru les bahasa Indonesia untuk seorang anak billionaire yang tinggal di Positano berusia 3 tahun. Walau dia sudah terhitung lancar berbahasa bahasa negara ibunya, namun menurut sang ibu, agar sang putra memiliki teman berbicara bahasa Indonesia selain dengan Padre dan Bundanya.
Ketika aku melihat Alano Otello Alexander, kesan pertamaku adalah dia anak yang manis, ceria dan tentunya sudah sultan dari lahir. Info yang aku terima dia lahir dari pasangan kalangan atas.
Sungguh percampuran darah Asia dan Eropa yang sangat pas di wajahnya.
"Hai Stevan," sapa ibu Alano padaku
"Hai, panggil Evan saja," kataku sambil membalas jabat tangannya
"Okay. Saya Salma dan ini putra saya, Alano. Alano kasih salam sama uncle."
"Hai uncle."
"Hai Al. Sudah siap kita mau belajar?"
Alano hanya menganggukkan kepalanya kemudian ia berlari menuju meja belajarnya.
"Van, fokus saya, kamu ajak main dia saja dengan berbahasa Indonesia dalam percakapan kalian. Karena dia suka ngambek kalo dia bicara bahasa Indonesia dan tidak ada yang paham maksudnya."
"Okay."
"Kalo gitu saya tinggal ya."
Aku hanya menganggukkan kepalaku. Sungguh tipe istri jutawan yang jauh dari kata sombong dan berpenampilan mewah. Padahal suaminya sanggup memakaikan barang branded di tubuh moleknya.
Setelah Salma meninggalkan kamar Alano, kini tugasku di mulai. Semoga saja, anak ini benar benar manis dalam berperilaku.
***
Bab Dua
Vanilla Atanaya Raharja POV
Malam ini aku memeluk Papa, Mama dan saudara kembarku erat erat sebelum aku memasuki pesawat. Ya, kini aku akan meninggalkan tanah air tercinta selama dua tahun kedepan untuk tinggal di Italia. Walau aku masih bisa pulang jika libur Natal atau mungkin keluargaku yang datang mengunjungiku, tetap saja aku merasa berat harus berpisah dengan mereka.
Aku masih ingat pesan Papaku untuk menjaga diriku baik baik karena aku tinggal di negri orang yang jauh dari keluarga. Walau di sana masih ada teman dekat sepupuku beserta suami dan anaknya.
Di dalam penerbangan first class ini aku rebahkan tubuhku dan sebisa mungkin aku tidur. Perjalanan yang cukup panjang dari Jakarta ke Roma selama 16 jam aku lalui sendiri hingga akhirnya aku telah sampai di Bandara Internasional Leonardo Da Vinci.
Setelah sampai di sana aku telah di jemput oleh kak Salma, teman Mbak Nada. Ia datang bersama suaminya. Aku tersenyum dan memeluknya. Karena aku dan dirinya cukup dekat ketika ia masih tinggal di Jogja. Ia sering datang ke rumah Pakdhe dan Budhe.
"Welcome to Roma," kata kak Salma sambil memelukku.
"Iya kak, semoga aku betah ya disini?"
"Pasti betah lah, siapa tau dapat jodoh sekalian," kata Kak Salma kepadaku.
Aku juga bersalaman dengan suaminya, tidak lama setelahnya ia mengajakku untuk masuk ke mobil dan mengantarkanku ke apartemen yang sudah di siapkan oleh Papa di Roma.
Pertama kali aku melihat apartemen yang di siapkan Papa untukku aku sedikit mengernyitkan kening. Apa tidak ada yang lebih modern dari ini semua. Bagaimana kalo apartemen ini horror. Ah benar-benar Papaku ini istimewa.
"Kak, nggak ada yang lebih muda gitu bangunannya?" Tanyaku kepada kak Salma.
Dia hanya tertawa di sampingku.
"Ini salah satu apartemen terbaik di sini."
"Hah?" Hanya itu yang sanggup keluar dari mulutku.
"Iya, sudah ayo kita masuk."
Buseet.....
Andai aku orang yang tidak punya sopan santun, pasti aku memintanya untuk tinggal bersamaku karena aku cukup takut untuk tinggal di bangunan tua seorang diri. Walau aku hoby Travelling, aku biasanya akan menghabiskan waktu istirahatku di hotel dan aku pastikan hotel tersebut cukup ramai bukan sepi pengunjung.
Aku membuka pintu apartemen itu, dan cukup terkejut dengan isinya ketika aku menatap sekeliling yang ada di dalamnya.
Oh my God...
Apakah atap itu kuat menahan diriku. Pikiranku benar benar kacau, bukannya bahagia. Mungkin ini ketakutan tidak beralasan yang ada di diriku ketika aku memasuki apartemen ini.
"Van, kamar Lo ada di atas. Gue sama Tom pulang ya?"
Aku hanya bisa nyengir dan menganggukkan kepalaku. Kini aku harus memutar otak, bagaimanapun caranya aku akan mencoba tinggal sendiri di rumah ini, namun jika aku gagal, aku lebih memilih untuk mencari teman yang bisa berbagi rumah bersama.
Sepeninggal Kak Salma dan sang suami, aku langsung masuk ke kamar mandi dan membersihkan diriku. Selesai aku mandi, aku menatap kasurku yang begitu minimalis berbeda dengan yang aku tempati sejak lahir.
Kini aku segera merebahkan diriku dan aku mencoba menutup mataku karena jet lag yang menyerangku.
***
Sudah tiga hari aku ada di Roma dan hari ini aku mulai mempersiapkan diriku untuk mulai bekerja esok hari. Walau kantor tempatku bekerja adalah kantor internasional yang menggunakan bahasa Inggris tetapi aku yakin tetap saja bahasa Itali yang akan mereka gunakan untuk kesehariannya. Pelan pelan aku harus belajar kehidupan mereka dan bahasa yang mereka gunakan setiap hari. Lagipula aku tidak mungkin akan makan gudeg kaleng yang aku bawa dari Jogja sebagai makananku setiap hari karena stok yang terbatas.
Kini hari pertamaku memasuki kantor dan aku cukup nyaman dengan mereka yang mengajak aku mengobrol dengan bahasa Inggris karena bahasa Itali yang aku kuasai sungguh minim. Bahkan aku bisa berbaur dengan baik. Tidak aku sangka jika di sini mereka cukup menyenangkan bahkan malam ini kami akan pergi ke klub malam bersama. Tenang, aku bukan orang yang alim sekali, sesekali aku masih bermain di dunia malam, terkadang bahkan kembaranku pun ikut bersamaku.
Dengan mini dress warna hitam, kali ini aku keluar dari apartemen dan segera menuju club' tempat aku dan teman temanku janjian untuk bertemu. Setelah sampai di sana kami langsung masuk. Mengingat aku sendirian di negri orang maka aku membatasi jumlah konsumsi alkohol yang masuk ke tubuhku. Aku tidak mau berakhir di perkosa atau one night stand dengan laki laki yang tidak aku kenal. Bahaya kalo sampai itu terjadi di kehidupanku. Karena aku tidak memiliki keinginan untuk memiliki anak sejauh ini, ya anggap saja aku childfree.
Malam ini Berta membisikkan kepadaku bahwa ada satu laki laki kenalannya di club' ini yang ingin berkenalan denganku. Nama laki laki itu Allesandro. Aku mencoba berkenalan dengannya namun entah kenapa aku menjadi bodoh dengan meminum minuman pemberiannya yang membuatku sedikit pusing. Oh lupa, itu semua aku lakukan karena menjaga kesopanan. Kini Allesandro berusaha mengajakku menaiki taxi. Entah dirinya mengajakku kemana yang jelas ini bukan menuju apartemenku. Dengan sedikit kewarasan yang masih ada di diriku dan kekuatan yang sebenarnya tidak terlalu kuat karena aku sudah sempoyongan, aku mencoba memberontak terhadap pelukan Allesandro.
Ya Tuhan,
Tolong selamatkan aku malam ini, aku benar benar hanya bisa berharap kepadamu.
Aku berdoa dan terus berharap di dalam hati, namun fisikku tetap melawan Allesandro bahkan aku berteriak bercampur tangisan, hingga tak ku sangka Tuhan mengirimkan malaikat penolongku kali ini.
Aku melihat laki laki yang tiba tiba memukul Allesandro dan kini menarikku ke dalam pelukannya.
Ya Tuhan,
Semoga saja aku tidak keluar dari kandang singa dan masuk ke kandang harimau.
Aku tidak tau apa yang mereka bicarakan karena mereka berbicara tidak menggunakan bahasa Inggris. Yang jelas kepalaku semakin pusing kali ini. Laki laki ini masih menghajar Allesandro. Aku berusaha melepaskan diriku dari dirinya dan mencoba menjauh dari ini semua namun sia sia karena aku hanya sanggup bersandar di dekat tembok sambil menatap dua orang yang sedang saling pukul.
Entah kenapa aku menangis dan menggumamkan kata kata yang aku yakin hanya aku yang memahaminya.
"Mama, Papa, Van mau pulang. Van takut di sini," kataku sambil terisak.
"Rumah kamu dimana?"
Apa aku tidak salah dengar, aku yakin mendengar suara orang berbicara denganku menggunakan bahasa Indonesia. Dengan perasaan sedikit takut aku menoleh dan aku melihat sosok laki laki yang tadi menolongku sedang menatapku dalam dalam, sedangkan Allesandro sudah lenyap entah kemana.
"Me?" Tanyaku
"Yes, you."
"Kamu bisa bahasa Indonesia?" Tanyaku pada laki laki itu.
Ia hanya terkekeh dan menganggukkan kepalanya.
Aku menyebutkan alamatku dan dia mengantarku dengan motornya. Beberapa kali kami berhenti karena aku merasa pusing. Entah minuman apa yang Allesandro berikan kepadaku. Bahkan aku belum berkenalan dengan laki laki ini. Laki laki yang telah menjadi malaikat penolongku malam ini. Tanpa dirinya, aku yakin aku sudah kehilangan mahkotaku dan tentunya aku mendapatkan pelecehan seksual.
Aku baru menyadari satu hal, jika dia lumayan tampan. Nggak kalah tampan dari Mas Ervin, suami mbak Luna. Walau aku tak tau, apakah saldo rekeningnya hampir sama dengan mas Juna, suami Mbak Nada.
Halah Van, dia saat kaya gini Lo masih bisa bisanya mengagumi ciptaan Tuhan.
Aku mengeluh dalam hati karena menyadari kebodohanku. Bagaimana bisa aku berfikir terlalu jauh, dia menolongku saja dan mengantarkanku sampai di apartemen aku sudah bersyukur.
"Nama kamu siapa?" Tanyaku lemah ketika kami berhenti di pinggir jalan. Aku sudah tidak kuat untuk duduk di motor.
"Stevan. Panggil saja Evan." Katanya dengan suara berat.
"Aku Vanilla, panggil saja Van. Thank you for your help."
Dan rasanya aku sudah tidak kuat menahan mataku agar terbuka lagi. Entah apa yang aku rasakan yang jelas kini rasa kantuk telah membawaku ke alam mimpi.
***
Bab Tiga
Stevan Boselli POV
Perempuan yang bernama Van ini benar benar menyusahkan saja. Sudah di tolong kenapa juga harus memakai acara pingsan. Kini mau tidak mau aku harus menelepon temanku, Mario dan memintanya menemuiku di pinggir jalan. Walau Mario banyak bertanya siapa wanita seksi berkulit eksotis yang sedang pingsan ini, aku tidak menjawabnya karena memang aku tidak tau siapa dirinya. Akhirnya aku membawa Vanilla ke apartemen Mario. Tidak mungkin aku membawanya pulang karena pasti ibuku akan banyak bertanya yang tidak tidak.
Ketika sampai di apartemen Mario aku harus menggendong Vanilla. Ck...aku yakin beratnya di atas setengah kwintal. Entah berapa banyak dosis obat tidur yang di masukkan ke dalam minuman atau makanan yang di konsumsi Vanilla karena ia tertidur dengan pulasnya.
Setelah sampai di depan pintu Apartemen Mario, ia membukakan pintu dan mempersilahkan aku masuk. Tanpa banyak menunggu, aku langsung masuk dan menuju ke kamar tamu. Pelan pelan aku rebahkan Vanilla di sana dan aku tutupi tubuhnya dengan bed cover.
"Chi è lui?*" Tanya Mario kepadaku (*dia siapa?)
"Vanilla," jawabku singkat bersamaan dengan aku merebahkan diriku di sofa apartemen Mario setelah menidurkan Vanilla di kamar.
"vaniglia? dov'è il cioccolato*," kata Mario sambil tertawa kecil. (*Vanilla, dimana cokelat?)
Aku hanya menghela nafas dan harus memaklumi perbedaan penyebutan nama Vanilla yang di lakukan Mario.
Mario?
Mantan teman sekolahku dan merupakan salah satu anak orang kaya, sayangnya otaknya tidak begitu encer yang membuatnya hanya pandai membuang buang uang dan bersenang-senang saja. Aku cukup dekat dengannya walau kami berbeda "kasta".
Aku kini lebih memilih memasuki kamar satunya yang merupakan kamar utama Mario. Apartemen ini merupakan tempatku biasa menginap secara gratis bila sedang malas untuk pulang karena di tagih untuk menikah oleh ibuku. Ibuku benar benar tidak paham, jika di jaman saat ini friends with benefits lebih baik daripada kehidupan pernikahan. Buat apa hidup terikat dengan satu orang yang membuat kita wajib menafkahinya hingga akhir hayat.
Oh no....
Menghidupi diri sendiri dan keluarga saja membuatku tidak sempat memikirkan love life, bagiamana bisa aku punya pasangan dan menikah.
Malam ini aku mencoba tidur di kamar ini dengan suara ocehan Mario yang mengikutiku tidur di sampingku. Aku anggap ocehannya adalah alunan lagu pengantar tidur yang tidak menarik sama sekali.
🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋
"Aaaahhhhh....." Suara teriakan wanita membuatku membuka mata pagi ini.
Ketika aku menoleh kesamping, sisi ranjang yang di tiduri Mario sudah kosong. Segera aku bangkit menuju kamar di sebelah kamar ini. Ketika aku sampai di sana. Aku sudah melihat pemandangan Mario yang menghindari lemparan barang-barang dari arah dalam kamar.
"Kurang ajar, laki laki edan, setan alas," kata kata yang aku dengar dari bibir vanilla sambil beberapa barang melayang menuju ke arah Mario.
"Crazy woman. Stop it!" Kini Mario sudah mulai kehilangan kesabarannya.
"Berhenti Vanilla!" Kataku tegas yang membuat Vanilla menoleh kepadaku dan nafasnya memburu.
"Apa yang kamu lakukan padaku semalam? Kenapa aku bangun dia sudah ada di dalam kamar ini bahkan di atas tubuhku?" Tanya Vanilla berapi api.
Aku melihat kebingungan di wajah Mario karena ia tidak memahami apa yang Vanilla dan aku bicarakan.
"Mario, per favore, vai prima, ti spiego dopo.*" Kataku sambil menoleh kepada Mario dan Mario menganggukkan kepalanya. Kini Mario memilih keluar dari apartemennya dan entah ia akan pergi kemana. (*Mario, tolong kamu pergi dulu, nanti akan aku jelaskan.)
Setelah Mario keluar dari Pintu apartemen, Vanilla mulai mendudukkan dirinya di tepi ranjang dan memegangi kepalanya.
"Stupid. Stupido. Goblok," umpat Vanilla pada dirinya sendiri dengan suara terisak.
"What happened?"
"Harusnya aku yang tanya apa yang terjadi sampai temanmu sudah membuka kaosnya dan hampir memperkosaku."
Aku membelalakkan mataku mendengar penuturan Vanilla. Aku tau Mario pria yang memiliki gairah sex sehat bahkan ia termasuk orang yang sering melakukan one night stand dengan para wanita yang ia temui di club malam.
"Sorry, tapi aku benar-benar tidak tau apa yang terjadi. Semalam dia tidur satu kamar bersamaku. Aku tidak tau kalo dia bisa pindah ke kamar ini tanpa sepengetahuanku."
Aku melihat Vanilla mengangkat wajahnya dan kini ia bangun dari posisi duduknya dan berjalan mendekatiku.
Oh shitt..
Benar-benar tipe wanita yang menggairahkan. Pantas saja Mario sampai berniat untuk menidurinya. Kini Vanilla tampak begitu seksi dengan mini dress hitamnya, kulit eksotisnya dan tentunya rambut khas orang bangun tidurnya.
"Apapun yang terjadi kali ini aku memaafkan temanmu karena kamu telah menolongku. Sekarang aku mau pulang. Terima kasih atas bantuannya."
Setelah mengatakan itu, aku melihat Vanilla berjalan menuju pintu keluar apartemen. Aku hanya bisa menghela nafas melihat ia keluar dari apartemen ini. Semoga saja ia akan baik baik saja setelah hari ini.
***
Vanilla Atanaya Raharja POV
Sudah dua hari berlalu sejak kejadian Alesandro yang akan melakukan tindakan kurang ajar kepadaku namun rasanya aku masih menaruh amarah kepada Berta, teman kantorku yang mengenalkan aku kepadanya. Apa Berta pikir aku adalah orang yang dengan senang hati melakukan one night stand dengan orang yang baru aku kenal. Gila saja, aku masih memiliki harga diri untuk melakukan itu. Kalopun aku sampai menyerahkan mahkotaku, aku pastikan karena aku mencintai laki laki itu dan aku akan hidup bersamanya hingga maut memisahkan.
Sejak kejadian pagi hari ketika aku menemukan teman Stevan ada di atas tubuhku aku merasa memiliki trauma. Hingga akhirnya aku harus pergi ke rumah sakit hari ini untuk bertemu psikolog. Aku harus menceritakan masalahku kepada orang yang tepat dan bisa membantuku mencari solusinya.
Shittt...
Ini sama saja keluar dari kandang macan namun masuk ke kandang singa. Entahlah betul atau tidak perumpamaan itu yang jelas kurang lebih seperti itu.
Kali ini aku tidak mungkin menceritakan ini kepada Caramel apalagi keluargaku. Mungkin satu satunya cara yang bisa aku lakukan adalah meminta tolong kepada kak Salma untuk mencarikan teman agar tinggal satu apartemen denganku. Namun setelah aku pikir ulang itu adalah ide gila yang tetap saja aku harus menceritakan alasanku kenapa aku butuh teman untuk tinggal di apartemen bersamaku.
Aku hanya menghela nafas dan mencoba berfikir bagaimana caranya. Hingga akhirnya aku terpikirkan untuk baby sitting Alano saja selama weekend ini. Aku yakin dengan kehadiran Alano yang lucu dan menggemaskan sanggup mengobati rinduku kepada Eric, Galen dan Edelweis.
Akhirnya aku mencoba menghubungi kak Salma dan teleponku padanya langsung di angkat di deringan ke dua.
"Hai Van," sapa kak Salma ramah.
"Hai kak, lagi sibuk nggak?" Tanyaku padanya.
"Nggak sih, kenapa?"
Kini aku harus memikirkan cara terbaik untuk meminjam Alano pada Kak Salma.
"Kak, aku kan kangen sama Eric dan si kembar. Boleh nggak aku baby sitting Alano?" Tanyaku dengan sedikit takut takut.
"Serius Lo mau baby sitting anak gue?"
"Iya, itupun kalo boleh."
"Wait, gue tanya Alano dulu. Dia mau nggak main sama Lo."
"Okay," jawabku pada kak Salma dan aku harus menunggu selama satu menit hingga akhirnya kak Salma kembali ke pembicaraan kami.
"Halo Van," sapa kak Salma.
"Gimana kak?"
"Alano mau, tapi dia bilang dia pengen juga main sama guru lesnya yang tinggal di Roma. Jadi besok biar guru les nya mampir ke apartemen Lo apa nggak masalah?"
"No problem."
"Okay kalo gitu biar besok pagi gue antar Alano ke apartemen Lo ya?"
"Makasih kak," kataku pada Kak Salma.
"Sama-sama."
Untung saja dulu sejak Alano bayi aku sering main dengannya apalagi kalo Om Wisnu dan Mas Juna meminjam Alano dari orang tuanya. Kini setidaknya selain aku sudah terbiasa merawat anak kecil, aku juga bisa meminta Alano menemaniku syukur syukur ketika berjalan bersamanya aku pantas menjadi ibunya agar pria seperti Allesandro dan teman Stevan tidak berani menggangguku lagi.
Malam ini aku mempersiapkan diriku menyambut Alano dengan membeli camilan dan makanan untuk kami nikmati selama kami di rumah. Dengan Alano aku bisa menonton Spongebob, Dora the Explorer atau yang lainnya. Setelah merasa bahwa persiapan amunisi perut kami besok sudah cukup, aku akhrinya pergi tidur dan tidak lupa pintu depan, kamar bahkan jendela aku kunci, plus tongkat baseball yang aku taruh di sisi sebelah ranjang untuk berjaga jaga andai ada orang yang berniat buruk kepadaku.
***
Pagi hari aku sudah membersihkan apartemenku dan mandi. Kini aku tinggal menunggu Alano datang ke tempatku. Belum ada satu jam aku duduk bersantai, bel pintu depan sudah berbunyi dan ketika aku lihat memang kak Salma dan Alano ada di depan pintu. Cepat cepat aku membuka pintunya dan aku sambut keponakan yang tidak memiliki hubungan darah namun sudah seperti keluarga ini.
"Hai Al," sapaku sambil berjongkok.
"Hai Aunty Van," sapanya balik.
"Van, Lo pakai bahasa Indonesia aja sama dia. Soalnya dia biar makin lancar bahasa emaknya."
"Emang mau tinggal di Indonesia lagi?" Tanyaku pada Kak Salma.
"Gue mah muter ngikutin laki. Tapi Alano nih sudah kangen sama Edel. Tiap hari minta video call."
"Wow...Alano pinter juga kak milih cewek sedari piyik."
Kak Salma hanya tertawa tidak lama kemudian ia pamit dari apartemenku. Kini aku mengajak Alano masuk k dalam.
"Al, kamu ganteng banget. Aunty Van foto ya?"
Alano hanya menganggukkan kepalanya dan segera aku memfotonya dan aku kirim ke grup gesrek keluargaku.
Vanilla : pacarnya Edel ada di apartemen gue. Ganteng ya, pinter Mbak Nada milih calon mantu dan besan. *Sending picture*
Caramel : oh my God...benar benar pas takaran adonan Alano ya😘
Adam : asyik.... Di jamin makin kaya dong kalo kita besanan sama keluarga Sasmita + Alexander.
Ervin : saingan Eric makin ganteng aja nih 😂
Juna : bukan calon mantu gue, tapi calon suami ke dua si Sampah. Dia sudah di indent sama si sampah sejak masih embrio.
Adam : lo tolak Alano Jun buat jadi kandidat mantu?
Juna : iya Mas.
Adam : wah pelanggaran Lo Jun. Jaman sekarang nggak ada kaya instant Jun, kalo kaya gitu lo harus curiga itu skema Ponzi. Makanya lo harus realistis biar masa depan Edel terjamin pilihlah Alano jadi mantu.
Nada : sorry gue sama laki gue sudah satu suara buat nolak Alano jadi mantu.
Vanilla : tell me why?
Nada : pakai nanya lagi😏 gue kan sudah tau borok borok emaknya. Nggak deh... Nggak... Alano sudah jadi Abang buat Edel sama Galen. Nggak ada itu cinta-cintaan.
Caramel : jangan sampai Edel nyanyi Cinta tak direstuinya Nella kharisma
Vanilla : Lo bener bener ya Mel nggak ada lagu lain apa selain aliran campursari sama dangdut koplo.
Caramel : biarin, mau segaul apapun keluar masuk club malam tetep aja kalo sampai di kost yang di puter lagunya Pakdhe Didi kempot.
Setelah membaca balasan dari Caramel, aku tutup handphoneku dan aku fokus pada Alano hingga akhirnya bel pintu apartemenku di bunyikan oleh orang lagi.
"Siapa ya Al?"
"Temenku."
"Yakin?"
"Iya."
"Ya sudah aunty buka dulu pintunya."
Akhirnya aku buka pintu itu dan aku terpaku melihat sosok yang ada di hadapanku. Sosok laki laki yang pernah menolongku tapi juga pernah membuatku hampir di perkosa oleh temannya kini terlihat sangat tampan dengan kemeja putih dan celana panjangnya.
Oh shitt...
Sadarkan aku Tuhan untuk tidak jatuh hati kepadanya.
"Stevan?"
"Vanilla?"
Desis kami berdua bersamaan hingga akhirnya kami sama sama menapaki dunia nyata ketika mendengar suara Alano.
"Uncle Evan," kata Alano dengan riangnya dan langsung memeluk Stevan.
Kini aku hanya bisa melihat interaksi mereka berdua di hadapanku yang terlihat akrab dan sungguh layaknya ayah dan anak. Stevan begitu luwes bergaul dengan Alano. Kenapa melihat mereka berdua seperti ini membuatku tersenyum sendiri.
***
Bab Empat
Stevan Boselli POV
Rasanya jantungku baru saja berhenti berdetak sepersekian detik karena kini Vanilla ada di depan mataku. Aku tidak menyangka bahwa Aunty Alano yang di maksud Nyonya Alexander a.k.a Salma Sasmita adalah Vanilla. Pantas saja Mario begitu berkeinginan memperkosanya. Vanilla adalah gambaran wanita eksotis yang banyak di idamkan kaum lelaki.
Akhirnya setelah Alano menghampiri Vanilla, ia mempersilahkan aku memasuki apartemen miliknya yang cukup lumayan nyaman walau tidak terlalu berkonsep modern.
"Aunty Van," panggil Alano pada Vanilla.
"Ya Al, kenapa?"
"Pergi ke Zoo yuk."
Aku hanya bisa menghela nafasku. Alano ini tipikal anak yang suka mencampurkan bahasa Inggris bercampur bahasa Indonesia. Entah bagaimana cara berkomunikasinya di rumah.
"Tante nggak nyetir di sini Al. Kalo mau pakai transportasi umum gimana?"
Sebagai laki-laki yang baik mau tidak mau aku menawarkan kepada mereka berdua.
"Pakai motor aku saja gimana?"
"Motor?" Ulang Vanilla dengan polosnya.
"Iya."
"No. Itu nggak savety. Kita bawa Alano. Lecet dikit bisa-bisa gue habis sama emaknya."
"Ya sudah kita naik taxi saja. Gimana?"
"Okay." Jawab Vanila dan Alano bersama-sama, setelah itu mereka berpelukan dengan riangnya. Bagi Alano mungkin karena ia akan di ajak jalan-jalan, sedangkan bagi Vanilla mungkin karena ia akan mendapatkan tiket plus akomodasi gratis jalan-jalan saat Weekend kali ini.
Ini sama saja gaji pertemuan kali ini akan habis untuk mentraktir Alano dan Vanilla.
"Aku ganti baju sebentar."
"Iya."
Setengah jam kemudian kami bertiga turun ke bawah untuk menaiki taxi dan menuju ke Bioparco Di Roma. Alano lah yang memilih untuk ke tempat ini sehingga aku dan Vanilla mau tidak mau menyetujuinya.
Setelah sampai di sana aku membeli tiket untuk kami bertiga.
"Sudah pernah ke tempat ini?" Tanyaku pada Vanilla
"Belum, ini yang pertama kali."
"Good," jawabku singkat setelah itu kami berjalan memasuki tempat ini.
Aku melihat wajah shock vanilla ketika melihat anak tangga yang cukup banyak ini.
"Alamak, nggak ada lift?" Tanya Vanilla dengan polosnya.
Aku dan Alano hanya tertawa yang membuat Vanilla memandang kami berdua dengan tatapan nyureng.
"Nggak ada. Come on let's go," kataku pada Vanilla sambil mendahuluinya berjalan. Kini Alano langsung menggeret tangan Vanilla agar mengikutiku menaiki anak tangga.
Sepanjang siang hari hingga hampir sore ini aku dan Vanilla menemani Alano menikmati indahnya masa kecilnya. Aku melihat Vanilla cukup telaten dan sabar menghadapi Alano yang berusia pertengahan 3 tahunan. Sepertinya ia tidak merasa kerepotan untuk menjaga anak seperti Alano yang rasa ingin tahunya cukup tinggi daripada anak seusianya.
"Al, aunty lapar, kita makan yuk?"
"Okay," jawab Alano yang sepertinya sudah terlihat kelelahan hari ini.
"Makan di rumah saja biar hemat."
"Astaga. Pelit amat jadi orang. Tenang aja gantian aku yang bayarin."
"Okay," jawabku singkat.
Lebih baik apa adanya saja, daripada sok pahlawan tapi yang di rekeningku kurang untuk membayar itu lebih akan membuat malu nantinya. Kini kami bertiga berjalan keluar dari Bioparco Di Roma dan mencari restoran yang tidak jauh dari sana. Kami masuk dan memesan makanan. Aku memandang kedua orang di hadapanku ini yang sepertinya santai saja melahap makanan dengan harga yang tidak bisa di bilang murah ini. Sebagai orang yang memiliki sopan santun, tentu saja aku tidak akan memesan makanan melebihi harga makanan yang di pesan oleh Vanilla.
Selesai makan kami kembali ke apartemen Vanilla. Ia langsung memandikan Alano dan kini kami duduk di depan televisi untuk menonton Spongebob Squarepants.
"Nggak ada yang lebih bagus buat di tonton?" Tanyaku ketika melihat mereka berdua fokus menonton TV.
"Banyak pelajaran kehidupan dalam Spongebob Squarepants."
"What?" Pekikku tidak percaya dengan kata-kata absurd yang keluar dari bibir vanilla.
"Ketika kamu kecil banyaklah bermain, bersenang-senang seperti Patrick star. Masa remaja dan dewasa hidup layaknya Spongebob Squarepants yang penuh semangat dan pekerja keras, pas tua andai bisa jangan seperti Squidward yang hoby marah-marah."
"Gitu?"
"Iya."
"Terus kamu di fase mana?"
"Nggak semuanya. Karena aku bekerja tapi uang yang aku hasilkan aku habiskan untuk bersenang senang."
Fix, aku yakin Vanilla mungkin tidak pernah merasakan kebingungan karena besok tidak ada yang bisa ia makan di rumah atau mungkin tagihan air beserta listrik yang melambai-lambai untuk segera di bayar. Walau mungkin bukan anak billionaire seperti Alano tapi Vanilla pasti lahir dari orang tua yang berkecukupan. Sungguh tipe wanita yang tidak pernah bisa di ajak hidup sederhana.
"Van," panggil Vanilla padaku.
"Hmm."
"Tolong pindahin Alano buat tidur di kamar aku dong," kata Vanilla sambil menatapku dengan pandangan polosnya.
"Okay."
Tanpa banyak berbicara aku bangkit dari sofa dan mengendong Alano untuk pindah ke kamar Vanilla. Selesai memindahkan Alano, aku meminta ijin kepada Vanilla untuk menumpang mandi di rumahnya karena rasa gerah yang aku rasakan seharian ini. Apalagi aku menggunakan kemeja bukannya kaos.
***
Vanilla Atanaya Raharja POV
Siapa sangka Stevan cukup menyenangkan sebagai teman namun sayangnya ia termasuk pria yang tidak terlalu suka membuang buang uang seperti aku hanya untuk sebuah kesenangan dan menghibur diri. Cukup bermain bersama Alano dan dirinya aku melihatnya sebagai pria yang hemat. Satu hal yang pasti saldo rekeningnya mungkin tidak sebanyak Mas Juna, suami Mbak Nada. Tapi siapa sangka ketika ia keluar dari kamar mandi, aku bisa terpana pada bentuk tubuhnya yang mampu membuatku terpaku lama hanya untuk menikmatinya. Astaga, mungkinkah aku sudah melecehkan laki-laki yang pernah menolongku ini hanya karena terpaku pada bentuk tubuhnya yang sempurna.
"Van," panggil Stevan padaku.
Bukannya menjawabnya aku justru mengangkat tanganku untuk menyentuh tubuh bagian depannya yang ternyata sekekar dan sebugar ini.
Ya Tuhan,
Bagaimana bisa seorang guru bahasa Indonesia memiliki tubuh seperti ini. Aku yakin jika menjadi muridnya akan sulit untuk berkonsentrasi pada pelajaran yang sedang di bawakannya.
Kepalaku mendongak karena tangan Stevan ia taruh di daguku untuk membuatku mendongak menatapnya. Kini mataku dan matanya beradu. Oh Tuhan, matanya begitu indah, wajahnya lembut sekali. Aku merasa gugup kali ini, namun akhirnya aku hanya sanggup menutup mataku ketika aku merasakan Stevan mendaratkan bibirnya di bibirku. Rasa dingin yang bercampur dengan mint masih sanggup aku rasakan ketika ia mulai melumat bibirku dan kini kedua tanganku sudah aku taruh di kedua pinggangnya yang ramping ini. Entah berapa lama kami berciuman hingga akhirnya aku menggigit bibir bawahnya yang membuatnya membuka bibirnya dan aku meneroboskan lidahku ke dalam mulutnya. Aku mendengar Stevan menggeram sebelum akhirnya ciuman itu di ambil alih olehnya.
Ciuman panjang ini semakin terasa nikmat bagiku dan aku enggan untuk melepaskannya ketika merasakan remasan pelan di payudaraku yang berukuran medium ini.
"Bunda," suara teriakan dari arah kamar membuatku melepaskan ciuman ini dan segera mundur untuk memutar badan dan berjalan menuju kamar.
Segera aku buka pintu kamar dan terlihat Alano telah berlinangan air mata. Aku segera memeluk dan menggendongnya. Tidak lama aku berusaha membuat Alano tenang, Stevan masuk ke dalam dan segera membantuku untuk menenangkan Alano.
"Thank you Van," kataku pada Stevan ketika Alano sudah tenang dan kini sedang duduk di ruang makan menyantap ice cream.
"Thanks for what?" Tanyanya padaku.
"Karena bantuin jagain Alano."
"Oh, aku kira buat ciuman panas kita tadi," katanya dengan santai.
Asem....
Kini aku yakin wajah dan leherku sudah semerah kepiting rebus karena saking malunya membahas masalah ini yang seharusnya cukup kami mengetahui tanpa di bahas kembali dalam sebuah obrolan.
Aku melihat Stevan tertawa cekikikan di depanku. Entah apakah ada yang lucu baginya. Aku tidak bertanya apapun hanya menatapnya hingga ia berhenti tertawa dan melanjutkan kata katanya.
"Van, kamu itu polos atau bagaimana? Ciuman hal yang lumrah, bahkan aku menganut sistem Friends with benefits tapi tidak untuk menikah."
Rasanya ingin menangis tersedu-sedu mendengar penjelasannya. Friends with benefits hanya menguntungkan bagi kaum pria menurutku, tidak untuk kaum wanita. Mungkin aku salah karena mau ia cium dengan sukarela, tapi keuntungannya aku menjadi tau seperti apa yang ia inginkan dalam sebuah hubungan yang ternyata bertolak belakang dengan apa yang aku inginkan. Impian untuk menghabiskan sisa hidup dengan orang yang aku cintai dan mencintaiku jauh dari harapan. Atau inikah cobaan yang harus aku lalui untuk bisa membuatnya merubah cara pandang tentang sebuah hubungan. Mungkin dengan do'a serta usaha, suatu hari nanti ia akan berubah.
***
Bab Lima
Stevan Boselli POV
Sejak dua bulan yang lalu aku sudah tidak bertemu dengan Vanilla lagi. Lebih tepatnya sejak pulang dari apartemen miliknya. Mungkin ia menganggap diriku sebagai laki-laki bajingan yang hanya mau enak saja tanpa berfikir ke depan. Tapi aku tidak menyalahkannya jika berfikiran seperti itu. Dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan ini karena harus menghidupi ibu dan diriku sendiri tentunya menikah sangat jauh dari bayangan.
Beberapa kali aku di tawari untuk menjadi model majalah dewasa bahkan bintang film porno namun masih aku tolak. Aku masih nyaman dengan pekerjaan guru, personal trainer dan tour guide ini. Walau aku ini miskin, pantang bagiku menjual diri.
Kini setelah dua bulan tidak bertemu, aku tidak sengaja melihat Vanilla berjalan dengan seorang laki-laki tampan, bule dan aku yakin jika ia model terkenal. Bahkan mereka terlihat mengobrol dengan santainya sambil berjalan di pinggir jalan. Mereka tampak tertawa terbahak bahak di pinggir jalan. Karena aku bukan siapa-siapa bagi Vanilla, maka aku terus melajukan motorku untuk membelah jalan di kota Roma ini.
Ketika aku sampai di sebuah mansion mewah, aku segera turun di sana. Saat memasuki rumah, Alano langsung lari ke arahku dan memelukku.
"Uncle Evan," kata Alano sambil memelukku.
"Hai. Bagaimana kabarnya?" Tanyaku padanya dengan bahasa Indonesia. Karena toh, pekerjaanku adalah "melancarkan" bahasa Alano dari pihak ibunya.
"Baik. Di dalam Bunda lagi ngobrol sama Tante Nada."
Aku hanya menganggukkan kepala dan kini setelah Alano mengurai pelukannya, aku mengikutinya masuk ke dalam. Okay, pemandangan yang aku temui ini adalah pemandangan ala istri para laki-laki sukses, kaya dan mapan. Ada dua wanita di sana. Satu ibu Alano dan satunya seorang wanita seumurannya yang berkulit eksotis dengan penampilan yang bak super model.
"Hai, Evan," sapa Nyonya Alexander ramah padaku.
"Hai, nyonya Salma," aku memanggilnya dengan sebutan nama karena ia lebih suka di panggil dengan namanya daripada nama belakang suaminya.
"Panggil Salma saja, jangan pakai embel-embel Nyonya," katanya dengan wajah kesal.
"Okay, seterusnya akan saya panggil dengan nama Salma," kataku sambil tersenyum.
"Btw, kenalin, ini sahabat aku, Nada. Nad, kenalin ini guru lesnya Alano. Namanya Stevan."
Kemudian wanita itu bangkit berdiri dan menyalamiku.
"Nada."
"Stevan."
Kata kami sambil bersalaman. Setelah itu aku menuju ke ruang tengah sedangkan Salma dan Nada mengobrol tidak jauh dari kami. Seperti biasa aku mengajari Alano bahasa Indonesia, namun telingaku masih mencuri curi dengar pembicaraan dua wanita kalangan atas itu.
"Vanilla lama nggak ke sini, Nad. Bahkan gue sempet mikir dia sudah punya gandengan kali."
"Kalo kata Mbak Luna sama Mas Ervin sih dia masih jomblo. Katanya ibarat bunga, dia sudah layu sebelum berkembang," kata Nada sambil tertawa cekikikan.
"Kira-kira siapa ya yang beruntung di taksir Vanilla?"
"Mana gue tau, dia nggak cerita sama gue. Mungkin cerita sama Mas Ervin dan Mbak Luna, kan mbak Luna sudah semingguan stay di Roma. Nungguin mas Ervin yang lagi nyambut gawe di Milan."
"Beruntung ya Mbak Luna dapat Mas Ervin. Sudah ganteng, model terkenal berbonus setia."
"Jangan kufur nikmat Lo, Sal. Lo nggak kalah beruntungnya dapat Om Tom. Sudah ganteng, tajir melintir dan setianya nggak perlu di ragukan lagi."
"Lo mau balik jam berapa?"
"Nunggu Vanilla jemput. Soalnya dia bilang tadi lagi keluar sama Mas Ervin beliin titipan mbak Luna."
"Mbak Luna di mana?"
"Dia nunggu di apartemen sama Eric."
Setelah pembicaraan ngalor ngidul mereka tidak membahas Vanilla lagi, aku fokuskan perhatianku pada Alano hingga akhirnya satu jam kemudian, Vanila masuk ke mansion ini seorang diri. Ia menggunakan sweater panjang putih dan celana jeans. Vanilla tampak eksotis dan kulitnya mirip dengan Nada.
"Kak, kak Salma..." Suara teriakannya sanggup aku dengar.
Hingga akhirnya Vanilla melihat diriku. Mata kami saling beradu pandang. Entah kenapa aku melihat kesedihan di dalam sorot matanya yang coba ia sembunyikan di balik senyum cerianya.
"Van, sini Lo. Kita ada di belakang," suara Salma membuat kontak mataku dan Vanilla terputus. Tanpa banyak menunggu, Vanilla segera menghampiri Salma dan Nada.
Aku harap aku menemukan waktu untuk berbicara berdua dengannya, namun sepertinya Vanilla sengaja menjauh dariku.
"We need to talk," kataku ketika Vanilla menuju ke arah kamar mandi.
Aku melihat Vanilla menatapku dengan tatapan malas.
"Nggak ada yang perlu kita bicarakan Van. Ciuman itu nggak berarti apa-apa. Itu hal yang normal."
"Terus kenapa kamu menghindari aku selama dua bulan?"
"Menghindar?" Tanya Vanilla heran.
"Iya. Aku coba hubungi handphone kamu nggak bisa."
Aku melihat Vanilla tertawa.
"Aku ganti nomer, Van. Kayanya aku lupa kasih tau kamu ya?"
Aku hanya menghela nafas dan menatap Vanilla dengan pandangan malas.
"Iya, kamu nggak ngasih tau."
"Tapi buat apa juga aku kasih tau ya kan? Kita nggak ada hubungan apa-apa selain kamu pernah nyelamatin nyawa aku dan guru les Alano."
Entah kenapa aku merasa vanilla mencoba menjaga jarak di antara kami.
"Ciee...ternyata oh ternyata ini to Van, orangnya?" Kata Nada dengan mata berbinar bak ia baru saja mendapatkan lotre milyaran.
"Apaan sih Mbak, tunggu bentar gue mau pipis," kata Vanilla dengan kesal dan segera masuk ke kamar mandi.
Sepeninggal Vanilla, Nada mendekatiku dan mengamati diriku dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Good. Perbaikan keturunan, pintar juga milihnya, si sableng," gumam Nada setelah beberapa saat.
"What?"
"Oh, sorry nggak maksud Van. Btw, Lo kenal sepupu gue sudah lama?"
"Vanilla maksudnya?"
"Iyalah, siapa lagi."
"Sudah dua bulanan yang lalu."
Aku melihat Nada tampak berfikir hingga akhirnya ia berbicara kembali.
"Besok lo ada jadwal nggak?"
"Kenapa memangnya?"
"Kita mau liburan keluarga. Ikut yuk, keluarga kita asyik orangnya."
Aku merasa belum pantas untuk masuk ke keluarga Vanilla apalagi aku tidak memiliki keinginan untuk berhubungan serius dengannya hingga melangkah ke jenjang pernikahan.
"Maaf, tapi saya tidak mau mengganggu liburan kalian."
"Ya enggak dong, justru Lo nemenin Vanilla. Kan Mas Ervin sama Mbak Luna. Gue sama Juna. Ayo lah ikutan. Nanti biar kita jemput, gimana?"
"Boleh lah, besok saya ikut. Ini kartu nama saya. Nanti anda kirim saja ke nomer itu, dimana kita akan janjian." Kataku sambil membuka dompet dan mengulurkan kartu namaku.
"Okay. Wajib datang ya."
Aku hanya menganggukkan kepala dan segera berlalu dari hadapan Nada.
****
Vanilla Attanaya Raharja POV
Kamprett....
Bagaimana bisa Stevan ada di sini kali ini bersamaku. Aku sudah mencoba untuk tidak menggubrisnya sejak dua bulan yang lalu. Bahkan sampai aku mengganti nomor handphoneku. Sejak aku berfikir keras tentang pandangan Stevan yang memilih Friends with benefits, aku lebih baik mundur dan tidak menginvestasikan hatiku padanya. Gila aja kali, sudah di pegang-pegang ujungnya enggak di nikahin. Lebih baik pergi saja sebelum rasa ini menyebar terlalu dalam dan jadi penyakit hati kronis karena harapan tidak sesuai dengan kenyataan.
Kali ini aku dan keluargaku yang terdiri dari kedua sepupuku bersama suami mereka menuju ke Santa Marinella Beach yang berada di Roma. Ini adalah liburan tipis-tipis ala kami karena tanpa perencanaan yang matang.
"Wah, akhirnya aku bisa berbikini ria lagi, Jun," kata Mbak Nada pada Mas Juna dengan ceria.
"Puasin, puasin, mumpung Galen sama Edel nggak ikut," kata Mas Juna tanpa ada manis-manisnya.
Sedangkan sepupuku yang lain, Mbak Luna sedang sibuk menerangkan kepada Eric selama perjalanan ini apa saja yang di lihat. Sungguh melihat keluarga Mbak Luna dan Mas Ervin ini selalu sukses membuatku baper. Baiklah, Mas Ervin tidak sekaya mas Juna, tapi cara dia memperlakukan Mbak Luna dan Eric sungguh mencerminkan sosok suami dan ayah idaman.
"Kamu kenapa senyum gitu?" Tanya Stevan padaku.
"Nggak pa-pa. Cuma happy saja lihat rumah tangga sepupuku berjalan harmonis dan bahagia."
Aku menjawab itu tanpa menoleh kepada Stevan yang duduk di sampingku. Setelah aku menjawab itu, tidak sepatah katapun yang keluar dari bibir pink miliknya hingga akhirnya kami tiba di Santa Marinella Beach. Segera saja Mbak Nada dan Mbak Luna berganti bikini, bahkan suami mereka pun turut menuju kamar mandi pria. Sedangkan aku di sini menjaga Eric.
"Kalo kamu mau ganti pakaian, aku jagain Eric," kata Stevan dengan halus dan nada pengertian terdengar dari suaranya.
"Nanti saja nunggu Mbak Luna dan Mbak Nada selesai. Kamu duluan aja."
"Aku temenin kamu dulu."
Duh....
Gimana nggak baper jadi perempuan kalo di perlakukan manis seperti ini. Lama-lama aku bisa diabetes saking kebanyakan menelan hal manis.
Setelah hampir 15 menit berlalu, akhirnya Mbak Nada dan Mbak Luna keluar sudah berbikini ria. Aku menatap Stevan, apakah ia akan tergoda dengan body yahud kedua sepupuku ini, namun sepertinya ia tidak tergoda, padahal andai aku pria, pasti aku sudah tergoda dengan body sexy mbak Nada dan wajah imut mbak Luna.
"Daebak, gue yakin Mas Juna nggak akan berpaling dari Lo, Mbak. Body Lo yahud sebagai emak dua anak," kataku memuji Mbak Nada.
"Dia malahan bosen lihat gue keseringan olahraga hanya biar body nggak melar kemana-mana. Noh, Mbak Luna yang beruntung banget. Mas Ervin menerima apa adanya walau saingannya banyak."
Aku melihat Mbak Luna tertawa di dekat Mas Ervin.
"Gue miskin nanti, Nad kalo ninggalin Luna. Semua aset kan atas nama Luna. Gue cuma numpang," kata Mas Ervin santai yang mendapatkan pukulan di lengannya dari sang istri.
"Prett, miskin, Mas? Tu rumah GrandMa di Austria, New York mau buat siapa kalo bukan buat Lo?"
"Nggak ngarepin begituan Gue. Sudah yuk kita kesana. Biar gantian Vanilla sama Stevan mau ganti baju."
Kini setelah mereka semua pergi membawa Eric hanya tinggal aku dan Stevan di sini. Aku langsung bergegas meninggalkannya untuk masuk ke kamar ganti wanita.
Ketika aku keluar dari sana, di depan pintu aku sudah melihat Stevan menungguku. Aku bahkan harus menelan ludah ketika melihat tubuhnya yang sempat membuatku khilaf dua bulan lalu.
Oh my God....
Ini nggak adil...
Kenapa dia makin tambah hot dalam dua bulan sedangkan aku semakin burik saja.
Tanpa aku sadari, Stevan sudah ada di depanku dan ia memegang pipiku. Di tatap laki-laki hot seintim ini kenapa aku jadi salting? Alamak, tolong anak gadismu ini.
Aku hanya sanggup menutup mataku ketika merasakan Stevan mendaratkan bibirnya ke bibirku. Reflek aku pegang pinggangnya yang ramping dan terpahat sempurna ini. Ya Tuhan, mungkinkan ciumannya yang aku rindukan dua bulan ini hingga membuatku uring-uringan setiap aku sendirian di apartemen. Setelah beberapa menit akhirnya Stevan melepaskan ciumannya dan ia masih membelai pipiku.
"Kamu cantik walau nggak pakai bikini."
Duh....
Kenapa aku jadi malu sendiri ini, rasanya pengen ngumpet di balik meja, sayangnya di sini nggak ada meja.
"Please, kamu selalu bilang sama aku tentang apa yang kamu rasain, jangan ngilang-ngilang lagi kaya kemarin, Van," kata Stevan sambil memelukku erat.
Alamak, aku sampai bisa mendengar detak jantungnya yang berdetak lebih cepat saat ia memelukku. Mungkinkah rasa yang aku rasakan kepadanya dulu tidak bertepuk sebelah tangan? Namun apakah aku bisa menerima prinsip friends with benefits yang di anutnya?
"Van, kita nggak bisa kaya gini. Tujuan kita beda," kataku pada Stevan setelah ia melepas pelukannya.
"Kita jalani dulu saja Van. Sambil kita saling mengenal," jawab Stevan dengan menempatkan tangannya di pinggangku.
"Mau sampai kapan?"
"Aku nggak bisa janji, tapi nggak ada salahnya kita coba," aku melihat kegamangan di wajah Stevan ketika ia mengatakan semua ini.
Aku hanya tersenyum tipis dan aku tatap Stevan dalam-dalam.
"Stevan, aku orang yang nggak suka coba-coba aplagi dalam urusan hubungan. Kalo memang dari awal tujuan kita belum jelas. Lebih baik tidak usah di mulai. Ini hati bukan undian Chiki. Tiap gagal ada tulisan silahkan coba lagi."
Setelah mengatakan itu semua, aku tinggalkan Stevan sendirian di belakang. Bodo amat, apakah ia paham maksudku atau tidak. Lebih baik hidup yang pasti-pasti saja. Jangan pernah menginvestasikan milik kita pada hal yang belum pasti imbal baliknya. Itulah pesan Mama dulu kepadaku dan selalu aku ingat sampai sekarang.
****
Bab Enam
Vanilla Attanaya Raharja POV
Aku meninggalkan Stevan untuk bergabung bersama para sepupuku dan suami mereka. Siapa sangka ketika aku sampai di dekat mereka, Mas Ervin mengenalkanku kepada temannya yang menurutku cukuplah dipandang sebagai obat cuci mata, namun tidak untuk dimiliki
Namanya Robin, pekerjaannya model usianya tidak jauh berbeda denganku. Saat aku sedang ngobrol bersamanya, tiba-tiba aku mendengar suara orang berdeham yang membuatku berhenti mengobrol dengannya. Kami berdua menoleh dan menemukan Stevan berdiri di sana.
Shitt....
Kenapa badan milik Stevan yang notabennya bukan model bahkan lebih menggairahkan daripada badan milik Robin? Kini aku hanya bisa menelan ludah ketika Stevan datang mendekati kami berdua dan berkenalan dengan Robin.
Untung saja Stevan mengenalkan dirinya sebagai temanku.
"Ya, memang teman, Vanilla, emang Lo mau diakuin jadi apa? Pacar? Istri? Khayalan tingkat tinggi," keluhku dalam hati.
Aku bersama para sepupuku juga tetap bergaul, bahkan kini Mas Ervin, Mas Juna, Stevan dan Robin sedang bermain Voli pantai. Robin berpasangan dengan Mas Ervin, sedangkan Stevan berpasangan dengan Mas Juna. Kami para wanita menunggu jalannya pertandingan di pinggir pantai.
"Kira-kira gue mau pegang Robin atau Stevan ya?" Kata Mbak Nada pelan namun aku masih bisa mendengarnya.
"Pegang Mas Juna aja."
"Kalo pegang dia mah setiap hari. Lo milih yang mana, Van?" Tanyanya lagi.
"Milih apanya?"
"Yang mau Lo bawa pulang buat dijadiin suami, pe'ak," omel Mbak Nada yang membuat Mbak Luna tertawa. Bahkan Eric sampai menoleh menatap kami bertiga. Ia sedang sibuk bermain pasir pantai disini.
"Nggak dua-duanya," jawabku jujur dan apa adanya.
"Kok gitu, Van? Kayanya Stevan lagi PDKT sama Lo, kan?" kini Mbak Luna mulai ikut nimbrung di pembicaraan absurd tanpa tujuan ini.
"Gue nggak bisa sama dia."
Seketika Mbak Luna dan Mbak Nada langsung menoleh untuk menatapku tapi mereka tidak berkata sepatah katapun. Entah kenapa aku justru tertawa melihat mereka seperti ini, sayangnya yang paham tawaku akan tau jika aku sedang tertawa getir.
"Kenapa nggak bisa? Dia bukan suami atau pacar orang, kan?" Kini Mbak Nada mulai maju tak gentar membombardir diriku dengan pertanyaan ingin tahunya.
"Ya nggak bisa aja. Gue sama dia itu berbeda arah dan tujuan. Dia maunya kita begini, gue maunya kita begitu."
"Maksud Lo gimana sih? Gue gagal paham."
"Intinya dia mau kita jadi friends with benefits, tapi gue nggak mau. Hati kecil gue menolak untuk itu."
"Jalani aja dulu, siapa tau dia berubah pandangan," kini Mbak Luna terlihat mencoba memberi semangat agar aku mau membuka lembaran baru dengan Stevan.
Aku tertawa getir. "Mbak, gue dalam kapasitas yang nggak mau merubah seseorang. Daripada gue buang waktu untuk berjuang dan belum tentu hasilnya, lebih baik nggak usah sekalian."
Aku melihat Mbak Nada menghela nafasnya.
"Lo kira, gue sama Mbak Luna yang sudah nikah dan punya buntut ini nggak berjuang setelah di ijab qobul di depan penghulu? Lo salah, Van. Kita justru berjuang lebih keras agar bisa menjaga komitmen dan tentunya bagaimana sebuah pernikahan jangan sampai berakhir di meja pengadilan agama."
"Mbak Nada, please, ini beda perkara. Pokoknya gue sama Stevan itu adalah topik kadaluarsa yang nggak perlu di bahas apalagi di perpanjang. Intinya kita cuma teman tanpa ada hal-hal istimewa di dalamnya."
"Ya, sudah kalo gitu, berarti Robin deh buat Lo. Tenang aja, Van. Dia dari keluarga baik-baik kok. Pergaulannya juga nggak seseram yang lainnya. Seiman sama Lo."
"Noh, Lo dengerin Mbak Luna."
Aku hanya menganggukkan kepalaku. Dan sepanjang hari itu kami bermain di pantai bahkan berfoto bersama-sama. Selama masa itu juga aku semakin kenal dengan Robin dan bertukar nomer telepon juga. Hanya satu yang aku sesalkan, kenapa Stevan tidak pergi-pergi dari sisiku seolah ia sedang mengawasi tidak tandukku bersama Robin. Aku akan berusaha cuek padanya, toh dia bukan pacarku dan aku juga bukan pacarnya. Kami hanya dua orang yang pernah saling kenal, dekat dan ternyata memiliki tujuan yang berbeda dalam hubungan ini. Untuk itu aku juga akan menjaga jarak dengannya. Aku tidak mau menginvestasikan hati serta perasaanku kepada laki-laki yang hanya akan menganggapku seperti tisu. Ia akan mendatangiku ketika membutuhkanku dan kemudian ia membuangku begitu saja setelah tidak ada gunanya baginya. Intinya aku menolak diperlakukan seperti itu olehnya.
***
Kali ini aku mengantarkan Mbak Nada, Mbak Luna beserta suami-suami mereka plus Eric ke Bandara Leonardo Da Vinci yang berada di Roma. Mereka berencana untuk pulang sekarang. Entah kenapa aku merasa sedih ketika para keluargaku akan pulang. Akhirnya kini aku merasakan kembali kesunyian hidup ini, apalagi saudara kembarku juga tidak ada disini.
"Van, Lo jaga diri baik-baik ya disini? Kita tinggal pulang dulu," kata Ms Ervin sambil membelai sisi samping kepalaku.
"Iya Mas, Mbak. Kalian hati-hati ya? Kalo sudah sampai kabarin. Please juga jangan nyebar gosip yang enggak-enggak apalagi tentang Stevan."
Aku melihat Mas Juna menggigit bibir bawahnya, sepetinya ia sedang berusaha menahan tawanya.
"Mas, Lo kenapa ketawa?" Tanyaku pada Mas Juna dan kini ia mengangkat pandangannya untuk melihatku sekilas.
"Lo telat kasih taunya, kemarin setelah kita pulang dari pantai, Nada cerita kalo kita semua habis liburan bareng Lo sama Stevan ke Mama Gendis."
Satu detik...
Dua detik...
Tiga detik...
Aku hanya bisa diam terpaku dan mulutku sedikit terbuka. Rasanya duniaku sedang terserang gempa dahsyat yang menimbulkan tsunami di dalam diriku.
Oh my God...
Bagaimana bisa Mbak Nada bercerita kepada Budhe Gendis. Kalo budhe Gendhis tau, minimal nanti Budhe Kartika dan Budhe Liz juga akan tau, ujungnya sudah jelas jika Papa dan Mama akan tau juga.
"Gosip oh gosip, semakin digosok makin sip," kataku dalam hati sambil mengasihani diri sendiri.
Setelah mereka masuk kedalam, aku segera pulang menuju ke apartemen milikku. Karena aku ingat jika aku belum berbelanja bulanan, maka aku meminta kepada sang supir taksi untuk mengantarkan aku menuju ke salah satu supermarket yang ada di Roma ini.
Selama aku disini, aku sudah bisa mencukupi kebutuhan pribadiku dari gajiku sendiri, sehingga uang dari Papa dan Mama belum pernah aku sentuh sama sekali selama aku tinggal jauh dari mereka. Aku berencana mengumpulkan uang tersebut dan aku ingin memberikan kado untuk mereka sekedar kado liburan ke Afrika entah di Afrika Selatan, Kenya atau Mesir, mungkin.
Aku terus berbelanja dengan memilih barang-barang yang sedang didiskon, persetan dengan merek jika fungsi dan kegunaannya sama. Bagiku barang diskon tidak selalu buruk untuk dicoba. Maklum saja, anak rantau gitu lho.
Aku melihat seorang wanita yang sedikit kesulitan mengambil barang di rak atas dan aku berinisiatif membantunya. Wanita ini terlihat sederhana, berumur dan sepertinya seorang diri datang ke tempat ini.
"Grazie," ucapnya kepadaku setelah aku selesai membantunya mengambil barang. (*Terimakasih)
"Prego. C'è qualcosa che posso aiutare di nuovo?*" Kataku kepadanya. (*sama-sama. Ada yang bisa saya bantu lagi?)
"No. Grazie. Mi dispiace prima*," katanya lalu berlalu dari hadapanku sambil mendorong troli belanjaannya. (*Tidak. Terimakasih. Saya permisi dahulu.)
Aku lalu melanjutkan semua aktivitasku kembali hingga akhirnya mataku tidak sengaja menangkap sesosok laki-laki yang tidak asing bagiku. Ya, dia yang ingin aku hindari dan aku tidak ingin lagi bertemu dengannya. Dialah, Stevan Boselli. Kini ia tidak sendiri, namun sedang bersama wanita cantik berambut pirang dan cukup seksi menurutku.
Aku rasa saat ini otakku sedang konslet. Bagaimana bisa aku masih selalu jatuh hati pada dirinya terlebih penampilannya yang sebenarnya tidak selalu menggunakan merek-merek mahal. Kini aku melihatnya hanya menggunakan kaos polo Ralph Lauren warna biru Dongker dan celana hitam panjang. Kakinya hanya dibalut sepatu hitam. Dia berpenampilan seperti itu saja hatiku sudah jedag jedug nggak jelas.
Baru aku mau berjalan untuk meninggalkannya, ternyata aku mendengar suara wanita memintaku membantunya. Wanita yang sama dengan yang tadi kemudian aku segera menghampirinya dan membantunya, namun ketika aku memutar tubuhku setelah selesai membantunya di depan tubuhku sudah berdiri Stevan yang sedang menatapku dengan tatapan yang sulit untuk aku artikan.
Merasa bahwa tidak ada yang perlu kami bicarakan berdua aku segera menyingkir dari hadapannya tanpa perlu saling menyapa. Baru aku melangkahkan dua langkah kakiku untuk menjauhinya, kini ia sudah mencekal pergelangan tangan Kananku.
"Kenapa kamu menghindar dari aku sejak kita di pantai kemarin?"
Ini laki-laki bego' atau gimana sih? sudah jelas tujuan kami berbeda, kenapa juga harus dipersulit.
"Aku nggak menghindari kamu, cuma rasanya nggak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Aku harap kamu bahagia dengan hidup kamu yang sekarang. Permisi."
Setelah mengatakan itu, Stevan melepaskan tanganku dan segera aku menuju ke kasir untuk membayar semua barang belanjaanku. Aku sebenarnya tidak menyukai drama percintaan yang sok jual mahal, tapi kenapa Tuhan mengirimkan aku perasaaan gila ini dan apesnya lagi laki-laki itu adalah Stevan.
***
Sudah satu bulan aku tidak bertemu dengan Stevan dan tentunya ia tidak lagi pernah menelepon diriku. Hubunganku dengan Robin sebatas teman berbalas pesan di aplikasi, tidak lebih dari itu semua. Aku sudah terlalu trauma untuk mencoba membuka hati, aku takut ia tidak berbeda jauh dengan Stevan.
Hari-hari dikantor juga cukup baik. Namun aku rasanya rindu travelling. Mungkin pergi jalan-jalan ke Negera di dekat Italia ini bisa membuatku sedikit merasa senang dan menambah pengalaman. Aku segera menganggarkan biaya dan akan mulai menabung untuk travelling. Bagaimanapun caranya dalam waktu 5 bulan aku harus bisa menabung biaya hotel dan akomodasi. Tidak perlu lama-lama tiga hari dua malam saja cukup. Toh, aku sudah bekerja dan tidak bisa libur terlalu lama.
Efek dari omongan Mbak Nada kepada Tante Gendis baru aku rasakan kali ini, karena Mama dan Papa semakin gencar meneleponku dan menanyakan apakah aku sudah memiliki tambatan hati. Mereka takut aku akan tinggal seatap dengan laki-laki yang bukan suamiku, kemudian aku melakukan sex bebas dan berujung dengan hamil diluar nikah. Walau sebenarnya jangankan di Eropa, di negara Timur saja sudah banyak orang yang tinggal seatap tanpa ikatan pernikahan. Cek saja, kost-kost bebas di kota-kota besar, aku yakin banyak yang tinggal bersama pacar mereka tanpa persetujuan dari keluarganya. Sedangkan aku, jangankan tinggal seatap, pacaran saja tidak, kenapa juga Papa dan Mama harus pusing tujuh keliling memikirkan aku. Satu pemahaman muncul di benakku. Itu semua karena aku sudah berusia 29 tahun dan mereka sudah merasa bahwa aku sudah layak menikah dan membangun keluarga kecilku sendiri. Jangankan mau membangun keluarga, bangun pagi saja jika tidak menyetel alarm pasti aku kesiangan.
***
Bab Tujuh
Stevan Boselli POV
Sudah lima bulan aku tidak pernah bertemu dengan Vanilla sejak ia melihatku jalan bersama Patrizia. Aku akan mencoba menghargai keputusannya untuk tidak memiliki hubungan denganku. Aku juga akan mencoba menjalani hubunganku dengan Pat, panggilan dari Patrizia. Walau sebenarnya Pat lebih cantik daripada Vanilla, namun entah kenapa aku justru merasakan kenyamanan ketika bersama Vanilla. Mungkin karena Vanilla termasuk wanita yang menyukai anak-anak sama sepertiku tapi kami tidak cocok untuk berhubungan karena ia menginginkan sebuah komitmen yang aku sendiri tidak bisa memberikannya. Sedangkan Pat? Ia memiliki prinsip sama denganku. Memilih untuk menjalani hubungan sebatas friends with benefits.
Aku mengenal Pat sudah lebih dari satu tahun lalu ketika berada di Gym. Ia adalah salah satu anak orang kaya, namun dirinya tidak pernah bercerita kepadaku siapa orang tuanya. Karena menurutnya ayahnya adalah seorang bastard yang meninggalkan ibunya ketika mengetahui ibunya hamil dirinya. Kemewahan hidup yang dimilikinya kini adalah hadiah dari sang ayah namun tidak pernah ia temui seumur hidupnya. Terkadang aku merasa beruntung walau terlahir miskin, karena aku tidak tau drama hidup orang kaya ternyata sememusingkan ini.
"Grazie, sei fantastica*," kata Pat padaku ketika kami baru saja berhubungan badan.
(*Terimakasih, kamu luar biasa)
Aku hanya tersenyum kemudian bangkit berdiri dari ranjang kamar apartemennya. Andai Pat tau apa yang ada dipikiranku dan imajinasiku ketika kami berhubungan badan. Tentu saja ia langsung akan menamparku, karena dibenakku dan khayalanku dihiasi oleh Vanilla. Perempuan yang sudah antipati padaku.
Aku melihat Pat menatapku dengan tatapan bernapsu. Dia terlihat begitu menggairahkan, mungkin hatiku bukan untuknya, namun tubuhku tidak bisa berbohong jika ia tergoda. Apapun yang kami lakukan ini adalah secara konsensual. Sehingga apapun yang terjadi pada dirinya kedepan bukan menjadi tanggung jawabku.
Aku melihat Pat bangkit dan berjalan ke arahku yang baru saja selesai memakai pakaian untuk segera pulang.
"Faresti meglio a restare qui*," katanya sambil bergelayut manja. (*sebaiknya kamu menginap saja disini)
Aku hanya menggelengkan kepalaku dan segera aku keluar dari apartemen milik Pat. Ketika sudah sampai dibawah, segera aku melajukan motor menuju apartemenku sendiri. Memang sejak aku bisa menghasilkan uang, aku sudah memilih untuk tinggal sendiri sampai saat ini.
Saat aku sampai di apartemen, tiba-tiba aku mendapatkan telepon dari Alano.
"Pronto*," sapaku pada Alano. (*Seperti hallo ketika kita mengangkat telepon)
Tanpa berbasa basi, Alano langsung nerocos padaku.
"Uncle Evan, besok kita libur ya?" Katanya dengan ceria.
"Memang kamu mau kemana?" Tanyaku ramah padanya. Terdengar dari suaranya Alano sepertinya sedang bahagia.
"Bali," jawabnya singkat.
Aku hanya menghela nafas mendengar satu kata tersebut keluar dari bibir Alano. Bali? Salah satu pulau dimana aku berkeinginan untuk berlibur dan menghabiskan waktu disana.
"Wow, sama siapa, Al?"
"Padre dan Bunda. Auntie Van nggak ikut, uncle. Dia disini sendiri."
Entah kenapa mendengar Alano menyebut nama Vanilla aku merasakan kerinduan padanya. Sayangnya aku tidak memiliki alasan apapun untuk bertemu dengannya.
"Oh," kataku singkat, karena aku tidak tau harus merespon apa.
Beberapa saat aku mengobrol dengan Alano, telepon itu di ambil oleh Salma. Aku mengobrol apa saja dengannya tapi aku berusaha untuk tidak menyinggung soal Vanilla sama sekali dalam obrolan kami.
***
Pagi ini aku menatap foto di Instagram milik Salma. Foto ketika mereka semua berlibur ke Bali. Aku menghela nafas, kenapa ada hidup orang kaya yang seenak ini? Ia tidak perlu berfikir membayar cicilan rumah, angsuran kartu kredit atau pusing bagaimana masa tuanya kelak. Sedangkan aku yang sudah banting tulang seperti ini sampai lupa untuk liburan saja hidup masih begini-begini saja.
Daripada aku semakin berfikir yang tidak-tidak, aku tutup sosmed dan aku segera keluar dari apartemen untuk menuju ke gym. Ketika sampai disana aku langsung melakukan aktivitas rutinku. Selesai mengolah tubuh dan bekerja sebagai personal trainer, aku langsung melakukan pekerjaanku yang lain.
Aku segera menuju ke salah satu tempat dimana aku harus mengajar bahasa Indonesia. Sepulang dari sana, aku segera menuju ke apartemen kembali. Seperti layaknya lajang pada umumnya, aku memasak makananku sendiri. Hmm, hidup sudah hampir 31 tahun tapi tetap sunyi seperti ini? Sungguh benar-benar membosankan. Namun jika aku menikah, penghasilanku belum mencukupi untuk menghidupi seorang istri apalagi anak.
Satu-satunya yang terlintas di pikiranku saat ini adalah Vanilla. Mendekati natal dan jauh dari keluarga bukanlah sesuatu yang menyenangkan dan mudah untuk dilalui.
Tanpa banyak berfikir, aku segera menuju apartemen Vanilla. Semoga saja ia masih tinggal di sana. Ketika aku sampai di depan pintu apartemennya aku segera mengetuknya dan tidak lama kemudian pintu itu dibuka, namun bukan oleh Vanilla.
Kali ini laki-laki yang dulu aku temui ketika.kami di pantai ada disana.
"Robin, who's coming?" Suara Vanilla dengan sedikit berteriak terdengar dari arah dalam apartemen.
Mungkinkah aku mengambil keputusan yang salah untuk datang ke tempat ini setelah 5 bulan kami tidak berhubungan sama sekali.
"Stevan," jawab Robin dengan suara sedikit keras agar Vanilka mendengarnya.
Aku harus bereaksi seperti apa? Sok akrab atau mending ngacir saja karena takut mengganggu mereka. Aku melihat Robin berpenampilan santai, aku yakin ia masih memiliki darah Negro ditubuhnya. Ya tentu saja, wanita sangat menyukai milik mereka yang terkenal besar dan panjang. Untuk hal ini, Vanilla tidak salah pilih.
"Stevan," aku angkat pandanganku ketika mendengar Vanilla memanggilku dari belakang badan Robin.
Kemudian ia mengajakku masuk ke dalam. Ketika aku masuk ke sana, sepertinya mereka baru saja berperang di dapur, karena dapur ini begitu porak poranda.
"Van, sorry kalo berantakan. Pas kamu datang, kita baru selesai masak. Duduk, Van, kita makan bertiga."
Aku hanya menganggukkan kepala dan duduk, sedangkan Robin duduk di hadapanku.
"Long time no see," kata Robin mencoba mengobrol denganku.
Aku tau jika Robin bukan orang Italia dan tentunya bukan orang Indonesia. Sehingga aku seharusnya menjawabnya dengan bahasa Inggris.
"Yes, I'm busy. how are you?"
"I'm fine. I just took a leave from my work and visited Vanilla."
O...o...
Mungkinkah kini mereka sudah berpacaran?
"Are you dating with Vanilla?"
Robin hanya nyengir dan bersamaan dengan ia nyengir Vanilla tegas menjawab.
"No! Robin sama aku itu teman, seperti aku sama kamu."
Vanilla terlalu bersemangat menjawabnya membuatku merasa berbunga-bunga. Mungkinkah ia memiliki perasaan seperti yang aku rasakan padanya. Namun Robin yang tidak paham apa yang dikatakan Vanilla memilih diam dan meminum minumannya yang ada di meja makan.
Kini aku melihat Vanilla mulai menaruh piring-piring di meja makan dan segera kami makan dengan makanan yang aku tidak tau ini masakan apa?
"Ini apa, Van?" Tanyaku padanya.
"Tteokbokki, Korean food. Cobain deh, aku lagi pingin bikin ini gara-gara semalam nonton Drakor."
Aku mencoba memakannya dan rasanya cukup enak di makan. Bahkan pertama kalinya aku memakan makanan Korea selain kimchi. Aku tidak tau kenapa Vanilla bisa sesantai dan seramah ini kepadaku setelah pertemuan terakhir kami 5 bulan lalu tidak begitu baik.
Setelah makan aku dan Robin menuju ruang tamu untuk bermain PS. Aku tidak tau jika vanilla memiliki PS di apartemennya atau mungkin Robin yang membawanya kemari. Namun ketika aku melihat Vanilla sibuk membersihkan segalanya seorang diri, aku meminta ijin kepada Robin untuk kebelakang sebentar. Ketika aku kebelakang, aku langsung membantu Vanilla yang terlihat sedang membersihkan meja dapur. Piring dan gelas yang kami gunakan untuk makan belum dicuci. Segera saja aku mencucinya.
"Van, kamu di depan aja sama Robin," kata Vanilla setelah beberapa saat aku mencuci piring. Ketika aku menoleh, terlihat ia sudah selesai membersihkan dapur.
"Aku bantuin nggak pa-pa."
"Makasih," kata Vanilla kemudian ia meninggalkan aku sendirian di dapur. Secepatnya aku selesaikan pekerjaanku dan ketika aku sampai didepan lagi, Vanilla sedang bermain PS dengan Robin.
Aku baru tau jika Vanilla cukup ahli dalam bermain PS. Kemungkinan besar PS ini miliknya. Bahkan Robin saja sampai berteriak ketika ia kalah. Aku mencoba menahan tawaku ketika Vanilla berteriak kegirangan atas kemenangannya. Beberapa saat kemudian telepon Robin berdering dan ia segera pamit dari apartemen Vanilla. Sepertinya benar kata Vanilla jika mereka tidak memiliki hubungan spesial.
Berada di dalam apartemen berdua saja dengan Vanilla rasanya aku merindukan kehangatan kami yang dulu ketika ada Alano bersama kami.
"Kamu nggak pulang ke Indonesia, Van?" Tanyaku pada Vanilla.
"Nggak. Aku ingin ke Vatikan natal ini."
Pantas saja ia tidak pulang, ternyata ia ingin mengunjungi negara kecil yang berada didalam kota Roma ini. Satu fakta aku dapatkan lagi, jika Vanilla menganut kepercayaan yang sama denganku.
"Sama siapa?"
"Sendiri."
"Daripada natal kamu sendirian, kamu bisa gabung sama aku dan Madre."
"Nggak usah. Itu momment sama keluarga. Nggak enak kalo aku gabung."
Memang Vanilla sedikit berbeda dengan wanita yang sering aku temui disini. Ia termasuk wanita yang mudah berperasaan, kalo dari bahasa gaul yang aku pelajari istilah mudah baperan sangat cocok untuk disematkan kepada Vanilla.
"Okay, kalo kamu memang ingin menghabiskan waktu sendirian di hari Natal. Aku nggak bisa maksa kamu."
Aku melihat Vanilla tersenyum. Ia terlihat manis dengan senyumnya. Beberapa saat kami terdiam hingga Akhirnya Vanilla memecah keheningan yang ada diantara kami berdua.
"Van, tumben kamu kesini. Ada apa?"
Ya Tuhan,
Pertanyaan yang aku harap tidak akan di tanyakan oleh Vanilla namun ia justru bertanya padaku. Aku memutar otakku, jawaban apa yang harus aku berikan kepadanya?
"Beberapa hari lalu Alano telepon, dia bilang mau liburan di Bali. Terus dia juga bilang kalo Aunty Van disini sendirian. Aku pikir kalo natal jauh dari keluarga itu pasti cukup berat juga untuk dijalani. Makanya aku ke sini terus nawarin itu tadi sama kamu."
"Ya berat tapi lumayan nggak beban juga daripada dapat pertanyaan mana pasangannya tiap kumpul sama keluarga besar Mama pas natal."
"Kamu masih cukup muda untuk melangkah ke jenjang pernikahan," kataku pada Vanilla.
Bukannya menjawab ia justru tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala.
"Mungkin disini usia yang sudah 30 tahun bulan depan itu tergolong muda, tapi kalo di negara aku, biasanya wanita usia 30 minimal sudah menikah. Untung saja jaman sekarang sudah ada Undang-undang TPKS."
"TPKS?" Tanyaku dengan sedikit heran.
"Iya. Belum lama disahkan. Jadi itu bisa melindungi para wanita salah satunya dari pemaksaan perkawinan juga."
"Sudah ada dasar hukumnya, terus kenapa nggak pulang?"
Aku melihat Vanilla nyengir di depanku.
"Kamu kenapa nyengir gitu?" Tanyaku lagi padanya.
"Aku mau liburan akhir tahun ke Suriname."
Satu detik....
Dua detik....
Tiga detik....
Aku hanya diam memandang Vanilla.
"Iya, aku pingin kesana."
"Berapa lama?" Tanyaku datar.
"Kurang lebih seminggu."
Sepertinya memang wanita ini adalah tipikal petualang yang berbeda dengan diriku. Ia lebih suka menghamburkan uangnya untuk kegiatan yang hanya memberikan kesenangan sesaat tanpa berfikir bagaimana masa depannya kelak. Sedangkan aku adalah seorang workaholic sejati yang untuk mengeluarkan uang saja jika tidak penting sekali sedikit tidak ikhlas.
Apakah aku harus sadar sekarang jika aku dan Vanilla memang sangatlah berbeda. Kami memang tidak akan pernah bisa bersama.
***
Ini cast #SteVanilla versi saya 😊 kalian bebas mau berimajinasi seperti apa
Vanilla Atanaya Raharja
Stevan Boselli versi saya
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
