Dijodohkan dengan Gadun Part 1 Free

23
0
Deskripsi

Deinara Sastroariyo (Deinara) tidak pernah memilki keinginan untuk menikah karena rasa traumanya pada pernikahan kedua orangtuanya yang gagal di tengah jalan. Namun siapa sangka jika pilihannya itu telah membuat Papanya (Heru Sastroariyo) memiliki ketakutan karena di usia 32 tahun, Deinara masih betah menjomblo. Demi membuat Deinara memiliki pasangan, akhirnya Heru mengajukan persyaratan bisnis yang sedikit nyleneh kepada Andika Kusumajati (Dika) yang tidak lain adalah calon rekan bisnisnya. Ia...

1. Masa kecilku yang tak seindah bayangan

Deinara Sastroariyo POV 

Ting....

Pintu lift terbuka dan kedua rekan kerjaku yang sedang menunggu lift bersama denganku langsung masuk ke dalam lift sambil menggeret diriku yang sedang membalas pesan dari Papa. Sepanjang kami menuju ke kantor kami yang ada di lantai delapan gedung ini, mereka tidak henti-hentinya bergosip. Aku memilih menjadi pendengar yang baik. Ya, beginilah kehidupan para jongos corporate terlebih kaum wanita. Jam istirahat adalah waktunya untuk bergosip.

"Lo tahu enggak, si Amara gosipnya punya Gadun," bisik Momon alias Monica pelan kepadaku dan Tari ketika lift mulai meluncur untuk naik ke lantai delapan.

Aku menghela napas panjang. Sumpah, kehidupan kantor ini sudah tidak jauh berbeda dengan kehidupan kompleks tempat tinggal Papa dan Tante Wiwin. Selalu saja ada gosip yang muncul silih berganti. Sebagai orang yang tidak mau menjadi bahan gosip, aku memilih ikut bergaul namun tidak banyak berkomentar. Sekedar cukup tahu aja tentang udpate berita terbaru. Aku yakin Momon mengetahui hal ini dari ratu gosip kantor kami yang kebetulan meja kerjanya tidak jauh dari meja Momon berada.

"Pantesan sekarang ke kantor udah enggak naik ojek lagi. Naiknya mobil," kata Tari mulai menanggapinya kata-kata Momon.

Bagiku tidak ada yang aneh dengan orang yang ingin menaikkan standar kehidupannya. Lagipula dengan gaji pokok sekitar 5 juta rupiah sebulan dan belum menikah, mungkin saja Amara masih bisa memiliki kredit kepemilikan kendaraan.

Aku berdeham dan mencoba berkomentar secara bijak. "Ya wajar aja lah punya mobil. Gaji kita pokok tanpa lembur aja udah 5 jutaan, belum ditambah uang makan, uang transportasi, sama uang lembur."

"Kalo mobilnya harga 200 sampai 300 jutaan juga gue enggak akan heran, Dei. Ini mobilnya Amara yang harganya hampir tembus satu milyar. Logika lo pakai lah, Dei jadi perempuan. Kalo lo yang bawa mobil semahal itu, nah gue percaya. Secara lo 'kan anak orang kaya. Kerja cuma sebagai bentuk aktualisasi diri. Lha kalo dese? Patut dipertanyakan lah, kecuali dia buka warung terus jualan apem anget ke gadun-gadun setelah pulang kerja."

Aku langsung terdiam. Aku tidak akan mau menanggapi semua ini. Terlebih jika sudah membawa nama orangtua atau keluarga. Bagiku setiap membicarakan tentang keluarga, pasti yang terbayang di dalam benakku adalah kehancuran kehidupan Mama yang menjadi porak poranda beberapa tahun sebelum meninggal dunia.

Aku yang lahir sebagai anak pertama dari Heru Sastroariyo tentu saja akan dianggap banyak orang memiliki kehidupan yang bergelimang harta sejak lahir ke dunia, padahal tidak sama sekali. Papa dan Mamaku menikah tanpa restu Oma dan Opa yang membuat mereka hidup dalam kesederhanaan. Semua awalnya baik-baik  saja hingga akhirnya berubah ketika Mama menjadi korban tabrak lari. Kondisi Mama yang mengharuskan mendapatkan perawatan intensif sedangkan Papa tidak memiliki biaya membuat Papa akhirnya mendatangi Oma dan Opa untuk meminta bantuan. Syarat mereka untuk mau membantu adalah Papa harus menceraikan Mama. Demi apapun, saat aku berusia 5 tahun dan aku mendengar semua itu, aku belum paham apa itu cerai?

Dengan bantuan Oma dan Opa, akhirnya Mamaku sembuh, tapi aku kehilangan figur Papa. Papa tidak pernah ikut pulang kembali ke rumah sejak Mama diperbolehkan pulang dari rumah sakit hari itu. Aku masih bisa mengingat kejadian itu dengan jelas di dalam kepalaku. Sejak saat itu, hidupku hanya aku jalani dengan Mama yang tidak pernah menjadi sosok yang sama lagi. Mama menjadi orang yang pendiam hingga akhirnya Mama sering sakit-sakitan karena selalu memendam apa yang ia rasakan seorang diri tanpa berniat membaginya denganku.

Tepat di usiaku ke sepuluh tahun, Mama akhirnya meninggalkan diriku untuk selama-lamanya. Itu adalah kado terburuk di hidupku. Ulang tahunku adalah hari di mana Mamaku meninggal dunia. Namun di hari itu juga, aku bertemu dengan Papa kembali. Papa yang sudah memiliki penampilan berbeda dengan Papaku yang dulu. Papa pulang ke rumah dengan mobil dan penampilan mewahnya. Papa ikut mengantarkan Mama ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Aku kira kami akan tinggal bersama di rumah sederhana tempat aku lahir di Jogja ini, tapi tidak. Papa  justru membawaku untuk tinggal di Jakarta. Banyak pertanyaan yang aku tanyakan kepada Papa. Namun Papa hanya mengatakan bahwa sebentar lagi aku memiliki keluarga baru sehingga aku tidak perlu bersedih lagi. Sungguh, kala itu aku mencoba menerimanya tetapi sulit sekali. Bagaimana bisa Papa langsung memberikan keluarga baru dikala aku baru saja kehilangan Mama untuk selama-lamanya di hidupku?

Keluarga baru? Ya, akhirnya aku sadar jika Papa meninggalkan diriku dan almarhumah Mama untuk menikahi seorang wanita muda, cantik dan terlihat bahwa ia berasal dari kalangan atas yang sama seperti Papa. Memang, Papa dan Mamaku bertemu di kampus mereka ketika sama-sama menjadi mahasiswa baru. Mereka saling jatuh cinta dan kemudian menikah. Cukup klise memang, laki-laki dari kalangan atas mau menikahi wanita dari kalangan biasa meskipun harus menerima konsekuensibahwa ia dibuang oleh keluarganya. Seharusnya semua happy ending, tapi justru sad ending. Pada akhirnya Papa tetap memilih pergi meninggalkan Mama dan terlebih aku anaknya yang masih membutuhkan kasih sayang darinya dulu. Tumbuh tanpa kehadiran Papa selama beberapa tahun, nyatanya sanggup membuatku menjadi wanita yang kuat, tegar dan tidak manja.

Aku menarik napas dalam-dalam dan pelan-pelan aku embuskan perlahan. Aku berusaha membuat hatiku menjadi lebih ringan setelah terasa sesak karena mengingat hal itu lagi. Terlebih aku masih bisa mengingat dengan jelas kala pertama kali aku melihat Devan yang merupakan anak Papa dengan Tante Wiwin di rumah mereka yang besar dan mewah.

Jika banyak orang berpikir bahwa ibu tiri itu jahat, mungkin tidak selalu seperti itu. Tante Wiwin dan Devan menyambut diriku dengan begitu hangat kala itu. Sayangnya aku yang sudah mulai memahami semuanya sudah terlanjur membuat benteng di hatiku. Tidak peduli seberapa kuat Tante Wiwin berusaha sejak aku berusia 10 tahun hingga aku berusia 32 tahun ini untuk menjadi ibu sambung yang baik, aku tetap tidak bisa memanggilnya Mama. Aku hanya menerimanya sebagai istri baru Papa, tidak lebih daripada hal itu. Terlebih saat aku mengetahui kenyataan bahwa Tante Wiwin sudah menyukai Papa sejak mereka masih duduk di bangku SMP.

Bertahun-tahun aku bertahan tinggal di rumah Papa dah Tante Wiwin hingga akhirnya ketika aku lulus SMA, aku memilih untuk keluar dari rumah itu. Tidak peduli penolakan keras Papa pada pilihanku ini, namun aku tetap melakukan apa yang aku mau. Aku memilih kembali pulang ke rumah almarhumah Mamaku yang selama ini dijaga oleh saudara Mama. Aku tinggal di sana selama hampir lima tahun hingga akhirnya aku menyelesaikan kuliahku.

Jangan berpikir bahwa aku mendapatkan subsidi apalagi bantuan pendidikan dari Papa. Tidak sama sekali. Papa tidak memberikan aku bantuan dengan harapan bahwa aku akan segera kembali ke rumah. Sayang beribu sayang, Papa nyatanya tidak pernah mengenal aku dengan baik. Aku adalah anak yang teguh atas pendirianku. Aku memilih bekerja part time di dua tempat sekaligus hingga akhirnya aku pun menjual beberapa perhiasan peninggalan ibu untuk membiayai KKN hingga biaya wisudaku. Memang di akhir-akhir semester masa kuliahku, aku sudah tidak bisa bekerja part ime lagi. Aku memiliki prioritas untuk segera lulus dan bisa bekerja dengan layak sesuai ilmu yang aku pelajari.

Saat aku akan diwisuda, barulah Papa bersama keluarga barunya datang. Sejujurnya aku cukup terharu kala itu. Aku kira jika aku akan menjalani wisuda ini sendirian tanpa memiliki momment foto bersama keluarga. Hanya foto dengan bingkai foto Mamaku saja yang aku bayangkan sebelumnya, tapi ternyata Tuhan cukup baik pada diriku kala itu. Tuhan membuat Papa dan keluarganya mau menghadiri acara wisudaku.

Sepertinya hidupku memang tidak tercipta untuk merasakan kebahagiaan dalam jangka waktu yang lama. Apalagi saat Papa memintaku untuk pulang ke rumah dan terjun di perusahaannya. Aku dengan tegas menolaknya. Aku kira Papa akan marah kepadaku, tapi ternyata Papa bisa menerima semua itu dengan baik. Ia hanya memintaku untuk sering-sering datang ke rumah. Terlebih Devan sudah akan menempuh pendidikannya di luar negri. Karena hal itu juga, aku membalas pesan Papa siang ini yang ingin mengajakku bertemu besok malam di sebuah restoran mewah yang ada di daerah Pantai Indah Kapuk (PIK). Sejujurnya aku sudah membayangkan jarak yang harus aku tempuh untuk menuju ke sana. Jangan berpikir bahwa aku membawa mobil. Dengan keputusanku untuk hidup mandiri, sampai detik ini, aku ke mana-mana masih menggunakan motor. Aku memilih menginvestasikan sebagian besar gajiku untuk mempersiapkan masa tuaku. Karena aku sadar tidak akan ada yang bisa aku andalkan selain diriku sendiri.

Suara pintu lift yang terbuka membuatku kembali menapaki realitas. Aku langsung melangkahkan kakiku untuk keluar dari dalam lift dan menuju ke bilik kerjaku.

Aku kira obrolan soal Amara akan berakhir begitu saja, ternyata tidak karena Momon dan Tari masih sibuk berghibah. Tentu saja aku mendengarnya karena kami masih satu divisi di divisi Keuangan.

"Gue yakin gadunnya Amara pasti laki-laki yang perutnya buncit, tua, berewokan dan bau tanah."

Plak....

Aku menoleh saat mendengar Tari sudah menggampar lengan Momon.

"Lo masih kurang spesifik. Pasti sudah punya cucu juga. Enggak mungkin sih laki-laki muda mau sama dia."

"Gue makin penasaran. Yuk lah, kita ikutin dia ke club besok malam." Momon kembali bersemangat kali ini.

Aku menghela napas panjang. Rasanya minggu ini setelah menyelesaikan rekap piutang akhir bulan, aku memilih untuk menghabiskan waktu di kamar kost-ku saja bersama Dambon, kura-kura jenis Ambon batok yang menjadi kado terakhir dari Mama pada saat ulang tahunku yang ke 9 tahun.

"Gue enggak bisa ikut."

"Ngapain lo enggak mau ikut kita beredar? Lumayan tahu cari laki-laki buat dijadikan calon suami."

Aku tersenyum kecil saat mendengar perkataan Momon.

"Pakai nanya lagi. Gue 'kan memang enggak pingin nikah, jadi ngapain gue punya pasangan?"

"Dei, lo itu butuh teman hidup. Ingat ya, masa tua sendirian itu enggak enak. Apalagi tanpa suami dan anak. Tante gue aja nyesel dulu kenapa dia memilih sendirian setelah pacarnya meninggal dunia. Dia memilih enggak nikah sampai sekarang udah jadi lansia. Masa tuanya? Di habisin di rumah sama kucing-kucing kesayangannya."

"Tenang aja. Gue bisa adopsi anak nanti kalo gue memang sudah siap menjadi orangtua."

"Mending mulai dari sekarang aja. Umur lo sudah 32 tahun."

Aku tersenyum dan aku tatap Momon dan Tari secara bergantian. Dengan tenang aku menjawab, "Gue belum selesai dengan apa yang ingin gue capai. Masih banyak hal yang harus gue lakukan sekarang dan gue enggak mau kalo gue sampai adopsi, tapi gue masih sibuk sama diri gue sendiri."

Setelah mengatakan itu, aku memilih untuk kembali menekuni pekerjaanku. Jika tidak menyudahi obrolan ini, bisa-bisa yang ada sampai jam kerja berakhir tidak akan ada henti-hentinya kami ngerumpi.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Dijodohkan dengan Gadun Part 2 (Gratis)
14
2
Sebaiknya baca part 1 terlebih dahulu (Gratis)Berisi Part 2 Deinara Sastroariyo (Deinara) tidak pernah memilki keinginan untuk menikah karena rasa traumanya pada pernikahan kedua orangtuanya yang gagal di tengah jalan. Namun siapa sangka jika pilihannya itu telah membuat Papanya (Heru Sastroariyo) memiliki ketakutan karena di usia 32 tahun, Deinara masih betah menjomblo. Demi membuat Deinara memiliki pasangan, akhirnya Heru mengajukan persyaratan bisnis yang sedikit nyleneh kepada Andika Kusumajati (Dika) yang tidak lain adalah calon rekan bisnisnya. Ia meminta Dika untuk menikah dengan Deinara secepatnya.  Apakah Deinara akan menyetujui semua perjodohan ini ketika ia tahu bahwa laki-laki yang dijodohkan dengannya adalah Gadun rekan kerjanya di kantor? Terlebih bagi Deinara laki-laki seperti Andika Kusumajati adalah salah satu tipe laki-laki yang harus ia hindari seumur hidupnya. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan