#DeFabian Part 1-18 (Free)

4
0
Deskripsi


Setelah 15 tahun bersamanya, dan tiba tiba aku harus kehilangan dia, aku seperti kapal yang sedang oleng. Mencoba bertahan dan mewarnai hidupku kembali tanpanya sungguh perjuangan yang tidak mudah. Ketika aku sudah menemukan ketenangan hidup, kenapa justru ada pengganggu yang tidak lain adalah boss ku sendiri. Seorang berondong yang usianya hampir 4 tahun di bawahku, dengan segala keanehan perilakunya.
 -Adeeva Abriana Utama.- 

*** 

Muda, Tampan, Pintar, berbonus Kaya. Itulah aku. Dengan kesempurnaan...

PART 1

"Sekuat apapun engkau berjuang, jika dia bukan untukmu, maka dia tidak akan pernah  menjadi milikmu."

- Adeeva Abriana Utama -

Adeeva Abriana Utama POV

Pagi ini aku melangkahkan kakiku memasuki sebuah ballroom hotel berbintang 5 di pulau Bali. Ketika aku memasukinya semua pandangan orang-orang mengarah kepadaku. Ya, aku seharusnya menjadi ratu dua hari satu malam untuk pernikahanku dengan Lionel Ananta, laki-laki yang telah aku pacari selama 15 tahun lamanya. Bahkan unpaid leave selama 2 bulan telah disetujui oleh Manager HRD pusat Kawindra Group di Jakarta. Untuk mempersiapkan pernikahanku dengan Lionel ini, aku bahkan telah memilih semuanya termasuk pesta yang akhirnya kini menjadi pesta yang justru aku hadiri sebagai tamunya, bukan pengantinnya, miris atau tragis sepertinya beda tipis untuk hidupku saat ini. Aku tidak pernah menyangka bahwa hidupku akan jungkir balik sedasyat ini hanya dalam hitungan hari. Aku beruntung memiliki tiga sahabat yang selalu ada untukku. Ada Salma, Nada dan Robert. Sayangnya kali ini Robert yang berprofesi sebagai dokter kandungan yang berpraktek di kota Jogja sedang ada 

"Kasian ya si Deva, sudah nemenin dari 0 malah di tinggal selingkuh sama sodara sendiri pula."

"Kalo gue jadi Deva sudah gue santet ini pasangan laknat."

"Bisa-bisanya Lionel tega ke Deva, padahal Deva sempurna banget BBB* nya." (*bibit bebet bobot)

"Mas Galih beneran bagus didik anak, bisa berlapang dada kaya Deva gini, semoga saja Deva dapat pengganti yang lebih."

Berbagai suara di sebalah kanan dan kiriku sudah masuk ke telingaku dan di teruskan ke dalam hatiku lalu dialirkan melalui saluran air mataku. Ingin aku bertahan tanpa menangis sedikitpun tapi susah, aku tak sanggup. Cobaan ini terlalu berat untukku.

Demi pernikahan impianku dengan Lionel aku telah menabung bersamanya sejak kami berusia 20 tahun hingga kami
hampir mampu mewujudkan impian kami bersama, tapi ternyata jodoh itu rahasia Ilahi. Manusia boleh berencana, namun tetap Tuhan menjadi penentu utamanya.

Dua minggu lalu saudara sepupu mamaku. Tante Esti datang ke rumahku sambil menangis memohon mohon agar aku memutuskan Lionel karena Lionel menghamili anaknya yang bernama Sekar. Aku tidak langsung percaya. Aku tanyakan pada Lionel waktu itu.

"Babe, apa benar kalo kamu menghamili Sekar?" tanyaku waktu itu ketika aku bertemu dengannya di salah satu cafe di Jogja. Aku sudah lelah mendengar kabar itu dan kini aku membutuhkan kepastian darinya.

Lionel tidak menjawab, ia hanya tertunduk lesu di hadapanku, bahkan kopinya pun tidak ia sentuh dari tadi. Kini pikiranku semakin kacau dan amburadul. Aku berharap Tuhan memberikan aku kekuatan serta ketegaran untuk menghadapi ini semua. 

"Sayang, apapun yang aku jelaskan nanti, aku harap kamu tidak akan meninggalkan aku, karena aku enggak bisa hidup tanpa kamu."

Aku memandangnya dalam tanpa mengatakan apapun. Aku berusaha mencari menyelami setiap perkataannya namun sayangnya aku tidak bisa tenggelam begitu saja hanya dengan buaian kata-kata manisnya.

"Pernikahan kita kurang dari dua minggu lagi. Undangan sudah di sebar dan aku tetap mau menikahi kamu. Kamu pacar aku selama 15 tahun, sejak kita kelas 1 SMP dan aku cuma mau nikah sama kamu. Apapun akan aku lakukan supaya kita tetep bisa nikah."

"Kamu belum jawab pertanyaan aku. Apa kamu menghamili Sekar?" Aku masih terus menuntut kepada Lionel agar jujur kepadaku.

Lionel menarik nafas dalam dalam  seolah seluruh oksigen di cafe ini masih kurang baginya.

"Itu semua kesalahanku Dev, karena aku tidak bisa mengontrol konsumsi alkohol ketika aku meeting di Singapore."

1 pisau tertancap di hatiku kali ini atas kalimat yang Lionel kemukakan.

"Aku bertemu Sekar di loby hotel, entah bagaimana caranya aku bisa bersama dia malam itu. Kami tidur bersama secara tidak sengaja."

Pisau ke 2 menancap dengan amat sangat tepat di pusat jantungku atas pengakuannya.

"Lionel, kamu tau kan, kalo hanya tidur itu tidak akan membuat Sekar hamil? kamu pasti silaturahmi kelamin dengan dia hingga dia bisa hamil."

"Dev, apapun itu, semuanya kesalahan, kalo itu anakku, aku akan bertanggung jawab, tapi aku tetep akan nikahi kamu bukan Sekar."

"Tapi aku enggak bisa nikah sama kamu."

"Dev, demi keluarga kita semua yang sudah mengharapkan kita menikah sejak kita kuliah di Jerman bersama. Aku enggak mau mengecewakan mereka."

"Kamu sudah mengecewakan mereka, terlebih aku Lionel, bahkan kamu tidak bisa menahannya padahal kamu sudah bisa menahan 15 tahun dengan kita berpacaran secara sehat." Sekuat tenaga aku berusaha kuat dan tegar di hadapan Lionel. Pantang bagiku untuk terlihat lemah apalagi rapuh di hadapannya. 

"Dev, kamu enggak ingat perjuangan kita selama ini?"

"Sekuat apapun aku berjuang, kalo kamu bukan untukku, kamu tetap tidak akan pernah menjadi milikku, Lionel. Dan sekarang sudah terbukti."

Tiba tiba suara Nada dari arah samping ballroom memanggilku dari mengingat kejadian itu.

"Dev, sini buruan!"

Aku berjalan menghampirinya, "ada apaan?"

"Gawat, si Lionel nggak mau nikahin Sekar kalo lo juga enggak punya pendamping. Dia tetep maunya nikahin lo bukan Sekar."

Rasanya mataku ingin copot dari tempatnya.

"Serius lo?"

"Serius gue, lo tau kan mantan pacar lo itu gimana?"

Aku tau maksud Nada, mantan pacarku itu terkenal nekad dan keras kepala, hanya padaku saja dia 'jinak' dan mau menuruti apapun kemauanku, dia akan ikuti dan turuti. Lionel adalah Bucin sejatiku selama 15 tahun ini.

"Terus sekarang gimana?" Tanyaku panik sambil memegangi lengan Nada. "Kasian si Sekar kalo enggak jadi nikah, Nad."

"Bentar gue telepon Salma, dia masih di hotelnya, siapa tau dia punya solusi." kata Nada yang langsung mengambil handphonenya dari dalam tasnya.

Semoga saja sahabatku yang satu itu memiliki solusi atas permasalahan yang kami hadapi saat ini. 

***

PART 2

"Koleksi, Seleksi, Resepsi. Itulah urutan mencari istri."

- Fabian Alaric Kawindra -

🦋🦋🦋

Fabian POV

Pagi ini aku membuka mataku. Semilir angin pantai membelai wajahku. Ini adalah liburanku sebelum aku memulai kewajibanku pada keluargaku sebagai bentuk pengabdian anak tunggal. Sejak meninggalnya Papa 3 bulan lalu, aku terus terusan di paksa oleh Mama untuk menggantikan posisi Papa di perusahaan. Terkadang aku sangat malas, ingin aku memulai segala sesuatunya sendiri dari 0. Namun sepertinya aku memang di takdirkan untuk meneruskan segala bentuk usaha yang dimiliki keluarga sejak 4 generasi lalu.

Mungkin bersenang senang dengan beberapa wanita tidak ada salahnya selama di Bali ini. Oleh karena itu, pagi ini aku sudah berdandan super ganteng dengan dandanan tak tercela dan aku yakin wanita manapun tidak akan bisa menolak pesona yang aku miliki.

Seperti pagi ini aku melihat seorang wanita cantik, cukup tinggi dan berbadan langsing mondar mandir sendiri di depan loby hotel sambil sibuk menelepon seseorang. Wajahnya tampak kebingungan, dandanannya mengisyaratkan dia akan menghadiri sebuah acara. Mungkin sebuah pesta. Aku mendekatinya. Dan wow... Ketika aku dekat dengannya aroma parfum bacarat menyapu indra penciumanku. Dari wajahnya aku tau dia wanita yang berasal dari kalangan atas bukan wanita biasa . Aku berdeham di dekatnya. Kemudian dia berhenti dan menatapku. Sebagai pria sejati, dengan basa basi sebelum berkenalan dan menambah jumlah koleksi teman wanitaku, aku menawarinya bantuan.

"Ada yang bisa gue bantu? Gue lihat dari tadi lo sepertinya sedang kebingungan."

Wanita ini menatapku dengan penuh penilaian. Aku sedikit tersinggung ketika dia menatapku dari atas sampai bawah kemudian kembali menatap mataku. Wow... Aku ini pria yang menarik, akui sajalah tidak perlu menilaiku sampai seperti itu.

"Lo serius bisa bantu gue?"

"Iya lah serius. Lo butuh bantuan apa?"

"Gue butuh laki-laki buat gandengan."

"Gandeng gue aja, gue free kok."

"Serius lo? Gue butuh gandengan selama 2 hari."

"Jangankan 2 hari, selama apapun lo butuh bakalan gue bantu."

Tanpa aba-aba, wanita ini langsung menggeret tanganku menuju sebuah SUV Lexus mewah berwarna hitam dan melajukan mobilnya sambil menelepon seseorang.

Aku ingin menanyakan tujuannya, tapi terpotong oleh suaranya.

"Halo Nad, gue udah bawa solusi masalah kita. Tapi gue butuh waktu buat dandanin dia dulu. 1 jam waktu buat gue ke sana. Jagain Deva jangan sampai nekad."

"...."

"Tenang, lo percayain lah sama gue. Kapan sih gue mengecewakan dalam hal kaya gini?"

"...."

"Bye."

Apa maksudnya perempuan disebelahku ini. Apakah aku akan jadi korban perdagangan manusia? Wah, salah sasaran bila itu betul. Tapi sebagai pria yang masih menjunjung sopan santun aku mencoba menanyakannya.

"Sadar enggak sih dari tadi kita belum kenalan?"

Perempuan disebelahku tertawa dan tawanya manis sekali.

"Oh iya, sorry gue lupa soalnya saking paniknya tadi. Untung lo dateng jadi solusi kemumedan gue."

Aku ikutan tertawa disebelahnya. Setelah tawaku reda aku memperkenalkan diri, "Nama gue Fabian, lo?"

"Nama gue Salma," katanya sambil tersenyum dan tanpa aku sadari SUV ini sudah berhenti di sebuah rumah mewah.

"Ayo turun."

Aku masih bergeming dan diam di tempat, sepertinya Salma sadar artinya.

"Lo tenang aja, gue bukan orang jahat, kalo lo bantuin gue sekarang, lo sudah menyelamatkan masa depan orang lain bahkan sebelum dia lahir ke dunia."

"Lo enggak nyuruh gue nikahin perempuan hamil kan?"

"Hahaha, ya enggaklah, gue nggak punya banyak waktu, nanti gue terangin sambil jalan, sekarang gue butuh lo ganti baju dengan baju di dalam yang lebih pantes buat acara ini."

Aku pun mengikutinya turun dan masuk ke rumah mewah itu. Kali ini aku menuruti keinginannya untuk mendandaniku sesuai keinginannya. Entah kenapa aku mencoba mempercayai Salma kali ini. Semoga saja feelingku benar.

Setelah aku berganti dengan pakaian formal, Salma melajukan mobilnya ke arah sebuah hotel bintang lima di tepi pantai daerah seminyak.

Beberapa saat kemudian aku tiba disana. Salma langsung berlarian dengan gaun putihnya menuju ke arah lift, aku mengikutinya. Aku melihat dia menelepon seseorang.

"Nad, gue udah di depan lift. Buruan, gue tunggu depan kamar Deva di atas, bawa Deva ke atas. Gue otw sekarang."

"...."

" Iya, bye."

3 menit berikutnya aku sudah di depan kamar hotel menanti seseorang. Aku yang selama ini berpendapat kalo pencarian jodoh itu dengan urutan koleksi, seleksi dan resepsi harus membuang jauh jauh anggapan itu sesuai apa yang Salma ceritakan. Kenyataannya yang sudah menyebar undangan, acara pernikahannya kurang dua Minggu saja bisa batal karena sang pria ketauan selingkuh, entah apapun sebabnya, seberengsek berengseknya aku menjadi laki laki, aku tidak akan melakukan itu apalagi jika undangan atas namaku dan namanya sudah tersebar. Lebih gilanya lagi si pria edan itu tidak mau menikahi selingkuhannya jika si mantan calon istrinya tidak memiliki pasangan yang dibawa ke depan keluarga besarnya. Karena si pria tau jika si wanita ini tidak pernah mengenalkan pria lain pada keluarga besarnya jika tidak memiliki hubungan lebih dari sekedar teman.

"Sal," Seru seseorang yang berlarian ke arah kami.

Wanita ini cukup tinggi. Aku yang tingginya 181 cm saja ketika dia mengenakan high hells nya yang tidak terlalu tinggi hanya sekitar 3cm itu bisa memiliki tinggi yang sejajar. Kemungkinan besar profesinya adalah model. Dengan tingginya yang menjulang, bodynya yang seperti gitar spanyol, kulit eksotisnya, idaman sekali bagi laki-laki. Laki-laki itu mikir apa? Punya yang seperti ini kok bisa selingkuh. Dasar manusia kufur nikmat.

Karena terfokus pada mahluk indah nan eksotis ini, aku tidak memperhatikan jika dia bersama seorang wanita kecil , muda yang aku yakin umurnya saja pasti belum genap 20 tahun. Mungkin malah masih SMA atau SMP.

"Nad, Buruan buka pintunya. Kita obrolin di dalam."

Oh, jadi ini perempuan yang bernama "Nad-Nad" yang dari tadi  di telepon oleh Salma.

Si "Nad" kemudian membuka pintu dan kami berempat masuk ke dalam. Kami memasuki hotel dengan tipe kamar suite room. Salma menarikku untuk duduk di sofa panjang berwarna coklat, sedangkan si Nad dan perempuan kecil itu duduk disebelah Salma.

"Oh iya Nad, kenalin dulu ini Fabian."

Aku memperkenalkan diriku kepada dua wanita itu dan aku baru tau jika nama kedua orang itu Nada dan Deva. setelah lebih dekat seperti ini, aku baru menyadari jika Deva imut pakai banget. Ah, kenapa aku jadi memperhatikan si bocah. Bukan tipeku, walau aku berwajah cukup baby face tapi aku tidak bermain dengan anak kecil. Bisa dikutuk Tuhan dan dijebloskan ke nereka jahanam kalo aku nge-date bareng anak-anak.

"Oh ya Fabian, tolong bantuin kita ya, pura pura jadi calon suaminya," Nada melirik ke samping ke arah Deva.

Aku kaget bukan main, "Hah! yang bener aja, dia masih anak-anak. Lo yakin?"

Bukannya jawaban yang aku dapat, tapi tawa super lepas Salma yang memenuhi ruangan ini.

"Eh Sal, darimana lo dapet oppa-oppa korea yang kaya idol tapi mulutnya asal jeplak begini?" kata si Deva emosi.

"Di loby hotel tempat gue nginap Dev, dia yang nawarin diri. Hahaha," Salma masih tertawa dan sepertinya belum akan berhenti dalam waktu dekat.

Aku mulai melirik si bocah yang sudah berdiri dari sofa dan menuju arah ranjangnya yang jauh ada di depan. Sepertinya dia tidak terima dengan kata kataku yang mengatakan dia "anak-anak."

"Fabian, gue minta maaf kalo gue ngerepotin lo, cuma lo satu satunya harapan gue sama Salma saat ini buat bisa gandeng Deva masuk lagi ke ballroom hotel di bawah. Dan Deva bukan anak-anak, umurnya sudah 28 tahun 3 bulan lalu."

Satu detik...

Dua detik...

Tiga detik...

Aku hanya bisa melongo, lidahku kelu, setelah itu hanya kata, "Hah?" Yang mampu aku ucapkan.

"Iya, beneran lagi, si Deva bukan anak anak, emang salah mukanya aja itu yang di formalin, makanya awet muda kaya ABG, aslinya mah sudah mau kepala 3 dia bentar lagi,"Kata Salma santai disebelahku.

Aku menatap Deva yang sedang menatapku. Oh oh oh... Tatapannya seperti anak kecil tanpa dosa. Terima kasih Tuhan, aku tidak akan di buang ke nereka jahanam kalo aku nge-date dengannya.

"Temen gue yang diselingkuhi dan ditnggal nikah sama pacar 15 tahunnya itu ya Deva," Salma kembali menimpali, memperjelas situasi kali ini.

***

PART 3

"Ketika engkau sanggup mencintai, jangan lupa untuk belajar patah hati."

- Adeeva Abriana Utama -

🦋🦋🦋🦋

Deva POV

Ide gila apa yang ada dikepala para sahabatku itu. Bisa bisanya mereka memintaku untuk menggandeng laki-laki asing yang aku temui bahkan belum ada 1 jam yang lalu. Lebih parahnya lagi aku harus berakting bahagia untuk pernikahan Lionel dan Sekar hari ini. Ngadi-adi pakai banget mereka. Mana ada perempuan yang bisa secepat kilat dapat pengganti pacarnya selama 15 tahun yang ia cintai dengan sepenuh hati, tapi kesalahanku juga kenapa aku sanggup mencintai tapi tidak mempersiapkan diri untuk patah hati. Seharusnya aku tidak menginvestasikan cintaku 100% pada Lionel, kalo tiba-tiba seperti saat ini. Woww... Hatiku porak poranda bagai pantai setelah arus tsunami menerjang. Kalo bukan karena kedua sahabatku yang setiap malam menemaniku bisa aku pastikan namaku saat ini sudah terukir di atas batu nisan kuburan. Karena satu-satunya sahabat laki-lakiku sibuk di rumah sakit dan itu memang lebih banyak manfaatnya daripada menemaniku yang sedang patah hati.

"Dev, gandeng tangan gue lah biar makin meyakinkan," kata Fabian menggodaku dengan alis di naik turunkan. Lihat wajahnya saja ingin aku kruwek-kruwek, cakar-cakar.

Aku mengembuskan nafas dan aku gandeng lengannya. Fabian tersenyum penuh kemenangan sambil keluar dari lift.

Ketika aku sampai di depan ballroom dengan Fabian, Tante Esti sudah menungguku di depan pintu.

"Dev, Deva," panggilnya lemah.

Aku menghentikan langkahku dan menoleh padanya. Fabian juga melakukan hal yang sama.

"Eh Tante, kok Tante di sini? bukannya acaranya sudah mau dimulai?"

"Dev, tolong bujuk Lionel untuk mau melangsungkan acara ini. Kamu harapan Tante satu satunya."

Rasanya aku ingin marah, meledak. Kenapa harus selalu aku? tidak adakah yang mengerti perasaanku selain 3 sahabatku, yang 2 diantaranya sedang menuju ke ballroom itu dengan gaun indahnya. Tante Esti ini juga tidak tau terimakasih. Aku kurang apa sebagai sodara jauhnya? Calon suami yang minta ia putuskan demi anaknya yang khilaf bareng calon suamiku aku kasih, membujuk Lionel agar mau bertanggung jawab juga sudah aku lakukan, pesta pernikahan yang aku persiapkan untuk diriku menjadi pesta untuk anaknya aku relakan, semua uang yang sudah aku keluarkan untuk biaya resepsi, MUA, bahkan hotel yang di tempatinya aku yang bayar dulu dari dana tabunganku dan Lionel. Walau Mamaku tidak ikhlas dan meminta ganti rugi atas nominal yang aku keluarkan, aku tidak mau memusingkannya, dikembalikan Alhamdulillah, tidak juga sudah aku ikhlaskan. Karena aku tau, bukan uang yang sedikit mengadakan acara pernikahan di Bali.

"Bukannya sudah Tante. Apa mesti saya seret Lionel ke depan penghulu?"

"Apapun caranya Dev, sekarang Lionel ada di kamar pengantin, tolong kamu ke sana."

Ampun, drama king banget si Lionel, bikin susah hidup orang saja. Seharusnya aku mengikuti saran orang tua dan kakakku untuk tidak hadir, tapi sebagai orang yang mau membalas dendam kepada sakit hati yang ditimbukan oleh pasangan yang tega kepadaku ini, aku harus hadir, menegakkan kepalaku dan berkata kepada dunia bahwa aku baik baik saja. Tanpanya hidupku akan terus berlanjut. Sakit hati karena mereka akan menjadi sebuah kenangan pahit yang akan aku simpan di dasar lautan hatiku.

Aku segera menuju kamar pengantin bersama Fabian dan Tante Esti. Aku ketuk pintunya dan wajah tampan Lionel muncul, seketika senyumannya merekah dan menarik tanganku untuk masuk ke dalam.

Dia memelukku erat, rasanya tulang tulangku mau remuk. Aku berusaha menahan air mataku. Bagaimanapun selama ini Lionel jarang membuat kesalahan tapi sekalinya membuat kesalahan kok jadi fatal begini?

"Lio, sudah lepaskan aku, tulangku mau remuk," kataku pelan.

Tidak lama Lionel melepaskan pelukannya. Ia menatapku lalu aku memberikan senyuman padanya.

"Lio, kamu harus menikahi Sekar. Jangan mempermalukan diri sendiri dan keluarga. Ingat pepatah Jawa, witing tresno jalaran seko kulino. Aku yakin kamu akan bisa mencintai Sekar seiring waktu karena terbiasa bersama."

Tanpa menunggu jawabannya, aku keluar dari kamar itu. Ternyata Fabian masih menunggku di dekat pintu.

"Lo nggak pa-pa?"

"Nggak pa-pa, gue masih utuh," sambil berjalan meninggalkannya.

Aku turun lagi ke ballroom dan Fabian berjalan di sebelahku. Aku menemukan Salma duduk disebelah Nada. Dan mereka tidak hanya berdua. Aku melihat wajah Om Tom, rekan bisnis alm. papinya Salma turut hadir.

"Hei," kataku sambil mulai duduk di kursi sebelah Nada di ikuti Fabian.

"Kemana aja lo?"

"Ke kamar Lionel. Semoga aja gue berhasil bujuk dia buat nikahin Sekar."

"Sabar ya Dev, Om yakin kalo kamu bakal dapat gantinya. Memang berat tapi tenang aja kenalan Om banyak. Kamu nyari pacar yang kaya apa nanti Om kenalin,"  Kata Om Tom yang duduk di paling pojok dekat Salma.

"Jangan mau Dev, yang ada bakalan dapet yang lebih berengsek dari Lionel," Salma menimpali sambil mulai membuka permen dan memasukkan ke mulutnya.

Aku berusaha tersenyum, "makasih ya Om, enggak perlu sih sebenernya. Soalnya Deva mau menjalani kehidupan ini sendiri dulu.  Mau menikmati masa masa jomblo."

"Akhirnya gue punya temen juga, tenang Dev, dunia jomblo itu penuh warna. Apalagi jomblo berduit kaya kita."

Aku hanya melirik Salma yang tanpa dosa tetap bangga dengan kata katanya.

Pucuk si cinta ulam pun tiba. Lionel masuk ke ruangan ini dengan berjalan bersama orang tuanya.

"Hmm, gue masih nggak nyangka kalo Lionel batal nikah sama lo, Dev. Padahal kalian cocok banget, mana pacarannya udah kaya KPR rumah," kata Nada di sebelahku lirih tapi ternyata masih bisa di dengar Fabian disebelahku.

"Kan nggak selalu yang cocok itu jodoh Nad. Siapa tau Deva jodoh gue, Iya nggak?"

Kami semua yang duduk sederet dikursi menengok dan memandang Fabian.

"Kalian kenapa lihatin gue gitu?"

"Nggak, nggak pa-pa," kata Salma dan langsung menghadap depan karena ijab qobul akan segera dilangsungkan.

Kini kami semua diam mengikuti acara sakral ini. Aku berusaha kuat dan mengatakan kepada diriku sendiri di dalam hati jika ini memang keputusan terbaik. Walau sakit, tapi ini hanya sementara. Suatu saat aku pasti kuat dan bisa berdiri dengan tegak menghadapi kehidupanku tanpa Lionel di dalamnya.  

***

PART 4

"Jika aku tidak bisa menjadi pemeran utama, ijinkan aku menjadi pemeran pendukung untuk kisahmu."

  - Fabian Alaric Kawindra -

🦋🦋🦋

Fabian POV

Setelah acara ijab Qobul di langsungkan, para tamu dipersilahkan menikmati hidangan yang tersedia. Sebagai pasangan yang baik walau pura-pura, aku tetap mesra bersama Deva. Bahkan banyak orang yang percaya bahwa Deva secepat itu move on dari mantan pacarnya yang brengsek itu. Kami berjalan bersama, bahkan tangan Deva menggandeng lenganku, senyum bahagia selalu terpampang di wajahnya. Yang seketika akan menjadi tatapan membunuh kepadaku ketika tidak ada orang lain di sekitar kami. Untuk meyakinkan orang-orang, aku memperlakukan Deva bak wanita paling spesial di hidupku. Aku mengelus tangannya yang memeluk lengan kiriku dengan tangan kananku. Curi-curi kesempatan sedikit tidak ada masalahkan? Apalagi Deva imut banget kalo lagi marah dan luar biasa cantik ketika memaparkan senyum palsunya di hadapan para tamu undangan.

"Dev, Deva," panggil sebuah suara dibelakang kami. Aku dan Deva langsung berhenti berjalan dan membalikkan tubuh.

Aku bertatap muka dengan beberapa wanita paruh baya yang cantik dengan dandanan elegan.

"Eh tante Mia, Tante Tari sama tante Asma ya," tanya Deva lanjut menyalami mereka. Aku pun melakukan hal yang sama. Pokoknya berperan jadi calon anggota keluarga yang baik. Biar dapet restu, siapa tau kan?

Ketiga tante itu memberikan senyuman termanisnya padaku dan Deva.

"Ini siapa, Dev? kok nggak dikenalin," tanya tante Mia pada Deva.

"Ini Fabian, Tante," terang Deva.

"Pacar kamu?"

Aku dan Deva saling tatap. Aku tidak akan memberikan jawaban, aku masih sayang pada nyawaku saja, karena kalo aku menjawab dan tidak sesuai dengan keinginan Deva bisa di bantai aku olehnya setelah ini. Semoga saja ada orang yang menyelamatkan kami untuk menjelaskan apapun tentang situasi ini, karena sepertinya Deva juga sedang tidak berkeinginan menjawab pertanyaan itu.

Sepertinya Tuhan mendengar segala doaku, ketika aku mendengar langkah kaki mendekat.

"Pasangan baru, kemana mana barengan mulu. Gue sama Nada di lupain."

"Hai, Sal," sapaku pada Salma yang membantu kami memperjelas semuanya. Nggak nyangka jago drama juga si Salma ternyata.

"Salma, jadi ini pacar barunya Deva?"

"Iya Tante, gantengkan kaya oppa-oppa Korea?"

Ketiga Tante Deva itu menganggukkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan Salma.

"Deva, kamu pinter banget. Jangan mau kalah dari Lionel sama Sekar," Tante Asma mengatakan itu sambil matanya menatapku dari atas sampai bawah. Menilaiku, apakah aku pantas bersanding dengan keponakannya.

Aku hanya memberikan senyuman manis sebagai jawabannya. Gini-gini, aku ini pewaris tunggal Kawindra Group. Keluargaku masuk daftar salah satu orang berpunya di negeri ini, menurut salah satu majalah bisnis.

Segala sesuatu yang menempel pada tubuhku dan hidupku adalah yang terbaik. Untung saja Salma memberikanku salah satu setelan favoritku. Yaitu Armani untuk dikenakan kali ini saat menemani Deva.

Aku menoleh ke Deva yang sepertinya enggan untuk berkomentar. Sepertinya saat ini sebagai pemeran pendukung, aku harus menyelamatkan Deva dari situasi yang membuatnya tidak nyaman.

"Permisi Tante, saya dan Deva duluan ke sana, mau ambil makan dulu."

"Oh, iya-iya. Silahkan," kata Tante Tari mempersilahkan kami.

"Titip ponakan Tante ya Fabian, jangan dinakalin," kata Tante Mia menggoda yang diikuti tawa kami semua.

Aku dan Deva melangkahkan kaki ke bufe dan mengambil makan. Setelah itu aku menuntun Deva kesebuah meja bundar untuk duduk dan menikmati makanan. Ketika aku sudah memakan separo makanan dipiringku, aku melirik piring Deva yang sama sekali belum dimakan isinya.

"Kenapa nggak dimakan? Lo sakit?" tanyaku pada Deva yang masih menundukkan wajah.

"Siapa yang nggak sakit kalo hadir dipernikahan mantan calon suami sendiri. Dipesta yang lo siapin buat diri lo, tapi justru orang lain yang jadi mempelai wanita gantiin Lo."

Aku memgembuskan nafas, tidak tau harus menjawab apa. Walau aku laki-laki, aku mengerti perasaan sakit yang Deva alami. Jangankan perempuan, laki-laki kalo di tinggal kawin secepat itu oleh mantannya juga sakit, apalagi ini sudah nyebar undangan, gagal pula pernikahannya karena calon suami menghamili wanita lain yang lebih apesnya masih ada hubungan keluarga dengan calon mempelai wanita. 

"Dev, hidup itu berjalan maju bukan mundur. Penyesalan itu datang diakhir, kalo di awal namanya pendaftaran."

Deva mengangkat kepalanya, kini matanya menatapku yang duduk di sampingnya. Aku genggam tangan kirinya yang ada di pangkuannya dengan tangan kananku, aku angkat tangan kirinya, aku taruh diatas meja, genggaman tanganku tidak aku lepaskan dari tangan Deva.

"Dev, dengerin gue baik-baik. Dunia nggak akan kiamat hanya karena kita patah hati. Lo cantik, lo bisa dapat yang lebih baik daripada Lionel."

"Makasih, tapi gue nggak yakin bisa," Kata Deva sambil tersenyum getir.

"Sesekali lo coba keluar dari kehidupan nyaman lo. Lo cobain hal baru. Misal kaya one night stand gitu sama gue kalo lo mau."

Tukk....

"Auuuu....sakit tau Dev!"

Aku merasakan kepalaku dihantam dengan sebuah benda yang tidak lain adalah sendok. Di susul tatapan membunuh dari wajah Deva saat ini. Tangan kanan Deva masih siaga memegang sendok sambil meremas remasnya dengan penuh emosi yang tertahan.

"Masih mending lo nggak gue hajar Fabian.  Cuma gue getok pakai sendok. Lain kali kalo mulut lo nggak ada filternya lagi, gue pastiin gue akan vermak wajah lo."

"Sadis banget sih lo, Dev. Gue cuma bercanda kali."

"Nggak lucu tau bercandaan lo," katanya sambil geleng-geleng kepala pelan.

"Maaf, Dev."

Deva hanya diam tidak menjawab lagi. Kemudian ia berdiri dan meninggalkanku sendiri di meja ini.

"Dev, Dev, tungguin gue dong."

"Ogah, sana pergi kelaut aja," katanya sambil terus berjalan meninggalkanku sendirian.

***

PART 5

"Banyak hal yang kadang diluar dugaan apalagi perkiraan. Anggap saja itu sebagai Kejutan."

- Adeeva Abriana Utama -

🦋🦋🦋

Deva POV

"Dev, buruan turun, yuk? udah di tunggu Salma di bawah."

"Males jalan gue, Nad. Mau di sini aja," kataku masih sambil tiduran di kasur memeluk bantal.

"Jauh-jauh ke Bali, masa cuma mau bikin peta dibantal. Buruan, yuk, ah."

"Males gue, capek."

"Ini kita pergi ngilangin capek, Dev. Lagian kalo lo disini sendirian, gue takut Lionel datengin lo."

"Tapi gue beneran males."

"Lo tau sendiri Salma gimana orangnya, daripada lo di seret sama dia, lebih baik lo ikut gue sekarang."

Aku bangkit dari ranjang, berjalan ke kamar mandi, mematut penampilanku yang tidak terlalu tercela untuk seorang wanita yang barusan patah hati dan berniat bunuh diri.

Mau aku sedandan apapun dibanding ke dua Sahabatku, wajahku adalah yang paling tidak pantas di make up dengan model dewasa. Alhasil dari dulu hanya cream pagi dan cream malam yang menjadi skincare rutinku.

"Gue mau gini aja," kataku malas.

"Terserah, yang penting lo ikut."

Berdua bersama Nada, aku turun ke loby dan mataku membelalak ketika aku lihat Salma tidak hanya seorang diri. Ada seorang laki laki bersamanya. Seorang laki laki memakai hoodie hitam dengan celana pendek, penampilannya santai. Aku yakin usianya bahkan belum ada seperempat abad.

Tiba-tiba, aku mencekal lengan kiri Nada dan menyuruhnya berhenti berjalan ketika aku menyadari siapa laki laki itu."

"Nad...Nad...Nad, itu kenapa si Fabian ikutan nongol?" Tanyaku ketika kami barusan  keluar dari lift.

Nada mengembuskan nafasnya, "Mana gue tau, mending lo tanya Salma atau langsung ke Fabian aja. Udah yuk buruan keburu malam."

Setelah kami semua bertemu kami menuju ke parkiran. Aku berjalan di belakang Salma dan Nada. Fabian berjalan di sebelahku. Asli kalo kaya gini orang yang memandang kami akan mengira kalo aku sama Fabian itu saudara, sedangkan dua sahabatku adalah kakaknya.

Tiba-tiba aku merasa tangan Fabian mencekalku dan terpaksa aku menghentikan langkah kakiku. Aku menghadap Fabian, aku melihat Fabian memaparkan senyum manisnya yang aku yakin kalo dilihat cewek-cewek ABG mereka bisa terkena diabetes karena saking manisnya senyum Fabian, sayangnya setiap dia tersenyum, bukannya perasaan dag dig dug duerr di hatiku, melainkan perasaan ingin menjadikan Fabian samsak yang timbul di diriku. Sungguh kenaehan yang nyata.

"Ada apa lagi sih?"

"Lo ikut mobil gue aja ya?" Kata Fabian yang masih belum melepaskan genggamannya dipergelangan tanganku.

"Ngapain? mobil Salma kan SUV, jadi cukup buat kita semua."

"Gue sudah bilang sama Salma kalo lo ikut sama gue."

"Sebentar- sebentar," Aku melepaskan genggaman tangan Fabian di pergelangan tanganku, kemudian aku berlari kecil menuju Salma dan Nada meninggalkan Fabian seorang diri. Setelah aku sampai di dekat mereka aku langsung menyemprot Salma.

"Sal, lo ngomong apa sama Fabian? kok dia ngajakin gue semobil? Emang mobil lo nggak cukup?"

"Bukan nggak cukup, Dev, cuma kayanya si Fabian mesti pura-pura jadi pasangan yang baik kan buat lo. Dan apa yang dilakuin pasangan pas mereka di Bali menurut lo?"

"Liburan," jawabku sekenanya.

"Kencan romantis berdua, lebih tepatnya, quality time biar makin mesra."

"Hah! Gue nggak mau, kenal Fabian juga baru tadi pagi. Lagian kita cuma pasangan jadi jadian buatan lo sama Nada."

Salma hanya memaparkan senyum tercantiknya. Memang di banding kami bertiga, Salma itu yang paling cantik. Bahkan hanya dengan tersenyum, ia bisa membuat laki-laki bertekuk lutut di hadapannya. Bukan hanya laki laki, bahkan kakek-kakek bangkotan yang sudah bau tanah saja bisa langsung jatuh hati padanya.

Tanpa aku sadari, Fabian sudah ada di sebelahku, menarikku menjauhi Salma dan Nada.

"Bi, gue titip Deva, ya?" kata Salma sedikit berteriak ketika aku sudah cukup jauh darinya bersama Fabian yang terus menggeretku mendekati mobilnya.

Akhirnya Fabian berhenti melangkah ketika kami sudah sampai di dekat sebuah mobil sport. Aku biasa saja melihatnya, kalo di kira aku bakalan percaya dengan umurnya yang masih muda dan mobilnya sebagus ini dengan hasil kerja kerasnya, dia salah besar. Aku lebih percaya kalo dia adalah boy toy alias laki-laki simpanan Tante-Tante. Tante-tante yang kesepian dan butuh belaian dedek gemes macam si Fabian ini.

"Mobil lo mana?" Tanyaku padanya.

"Ini," katanya menunjuk McLaren 570 S 2021 warna hijau di depanku.

Aku tertawa mendengarnya.

"Lo kalo lagi berkhayal jangan ketinggian, sakit kalo jatuh nantinya."

Fabian menatapku dengan kening berkerut.
Tidak lama kemudian, ia membuka pintu mobil itu. Kini giliranku yang shock menatapnya. Fabian kemudian masuk ke mobilnya, aku masih menatapnya dengan ketidakpercayaan.

"Nggak usah udik gitu ngelihat mobil McLaren gue. Bisa pingsan lo kalo lihat Bugatti Veyron sama chiron gue dirumah."

Kenapa setiap aku bisa mengejek bahkan menghina Fabian, Fabian selalu bisa membalasnya bahkan terkadang lebih telak. Aku masih menatapnya dengan ketidak percayaan.

"Buruan masuk, gue udah di tunggu sugar mommy gue di pantai Seminyak."

Aku akhirnya menuruti keinginan Fabian karena aku penasaran dengan Sugar mommy yang begitu baik, bahkan sampai memberikan sebuah mobil sport kepada boy toy-nya, seperti apa wajahnya. Aku penasaran dan aku harus melihatnya.

"Iya-iya, gue masuk," kataku melangkah masuk ke kursi penumpang di sebelah Fabian.

Kemudian Fabian tancap gas meninggalkan parkiran menuju pantai Seminyak yang tidak terlalu jauh dari hotel tempatku menginap.

***

 

PART 6

"Yang terlihat oleh mata, terkadang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada."

- Fabian Alaric Kawindra -

🦋🦋🦋

Fabian POV

Mimpi apa aku semalam hingga bertemu dan berkenalan dengan perempuan yang otaknya mikir negatif melulu seprti Deva. Yang saat ini sedang duduk dimobilku dengan bibir yang dimonyongkan, aku yakin aku bisa mengucir bibir Deva itu dengan karet gelang. Tapi sayangnya aku tidak akan tega menyakiti perempuan seimut Deva, aku tidak mungkin juga menambah rasa sakit hatinya akibat kejadian gagal nikahnya.

Saat ini Deva menggunakan hotpants jeans, dengan atasan yang memperlihatkan lengannya, sungguh penampilan Deva laksana anak SMA yang mau kencan bareng gebetan. Padahal Deva sudah berumur 28 tahun lebih.

"Dev, Lo nanti mau nggak gue kenalin sama sugar mommy gue?" Tanyaku di tengah perjalanan kami menuju Pantai Seminyak.

"Nggak mau, nanti lo jadi gembel kalo gue kenalan sama sugar mommy lo."

Aku tertawa mendengarnya. Entah kenapa sejak awal bertemu denganku Deva sama sekali jauh dari kata ramah. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan para wanita yang selama ini aku kenal, yang memaparkan senyum dengan segala bentuk tipu daya muslihatnya agar terlihat sempurna dan aku akan tertarik padanya. Berharap mereka akan menjadi satu satunya wanita yang akan aku ajak berhubungan serius hingga jenjang pernikahan. Padahal aku sama sekali belum memikirkan pernikahan apalagi usiaku 25 tahun saja belum genap. Selain usia aku lebih merasa bahwa aku belum menemukan orang yang tepat sehingga aku masih mengoleksi saja sampai sekarang belum di tahap seleksi. Hubunganku dengan para wanita tidak lebih dari Friends with benefits.

"Ya sudah lo tunggu gue dimeja yang jauh dari sugar mommy gue ya? Lo pesen aja apa yang lo mau, nanti gue yang bayarin."

"Nggak usah sok kaya kalo lo aja mesti jual diri buat hidup mewah. Duit gue masih lebih dari cukup kalo cuma buat makan, apalagi traktir lo."

"Okay, kalo gitu lo yang traktir gue ya nanti pas makan malam, nanti gue yang pilih restorannya. Itu restoran favorit gue kalo di Bali."

Deva hanya menatapku. Entah kenapa aku suka sekali menggodanya. Laksana anak kecil yang memiliki mainan baru aku sangat amat tidak mau lepas darinya. Aku selalu ingin dekat dekat dengannya, tapi sepertinya itu hanya terjadi padaku karena Deva melihatku saja seperti melihat virus covid-19, sebisa mungkin menghindari dan berada sejauh mungkin dariku semampunya.

Tidak menyangka kejadian pagi tadi yang aku awalnya ingin berkenalan dengan Salma, eh malah aku berakhir pada Deva. Padahal mereka bertiga sama sama memiliki daya pikat masing-masing, tapi entah kenapa sepertinya hatiku tertambat pada Deva.

"Lo ngapain ketawa, ada yang lucu?" tanya Deva padaku.

"Nggak pa-pa, selagi ketawa masih gratis, kan," kataku sambil menaik turunkan alisku.

Setelah itu Deva tidak lagi berkomentar apapun padaku. Memilih diam menikmati perjalanan kami. Hingga akhirnya kami sampai di  salah satu restoran tepi pantai Seminyak yang cocok untuk menikmati sunset.

"Dev, lo beneran nggak mau ikut gue? gue cuma bentar."

"Lo budeg apa gimana, sih? udah gue kasih tau kalo gue nggak mau, masih nanya lagi."

Wah, aku kaget mendengar jawaban Deva, baru sekali ini ada orang sejutek itu padaku. Selama ini orang selalu menghormatiku entah karena keluargaku atau karena memang aku yang selalu berusaha menghormati orang lain terlebih dahulu sebelum mereka menghormatiku, tapi perempuan yang satu ini memang beda.

Aku hanya geleng-geleng kepala.

"Ya sudah, lo tunggu sini ya? gue ke sana dulu."

Kemudian aku menyuruh Deva duduk di salah satu sofa warna-warni itu dan aku meninggalkannya untuk bertemu dengan Mbok Kadek. Salah satu orang yang dipercaya memegang bidang usaha keluarga Kawindra di Bali.

"Mbok, Sudah lama?"

"Belum pak, mari silahkan duduk."

Kemudian aku duduk di hadapannya. Mbok Kadek memberikan beberapa berkas yang harus aku tanda tangani.

"Kenapa nggak ke kantor saja pak buat tanda tangan berkasnya?"

"Nggak. Soalnya saya sibuk selama di sini," kataku sambil tertawa.

Sekitar 1 jam aku meninggalkan Deva untuk mengurus urusanku dengan Mbok Kadek, aku kembali ke meja Deva setelah mengantarkan mbok Kadek ke parkiran.

Aku sengaja mengantarkan Mbok Kadek karena aku penasaran dengan reaksi Deva ketika melihatku berjalan dengan Mbok Kadek. Yang aku akui memiliki kecantikan khas wanita Bali. Usianya pun sudah pertengahan 30 tahunan. Jadi pas untuk memerankan peran sugar mommy.

"Sorry, lama."

"Gak pa-pa. Itu tadi sugar mommy lo?"

"Iya, kenapa? cantik, kan."

Aku melihat Deva menganggukkan kepalanya sebagai tanda persetujuan.

"Kok dia mau ya punya boy toy kaya lo gini," Kata Deva sambil menatapku dari atas sampai bawah.

"Lo nggak katarak kan, Dev?  lo nggak lihat  apa gimana tampang sama penampilan gue?"

"Nggak, cuma minus 1 aja mata gue."

Karena jengkel aku minum minuman yang ada di meja, yang aku tau itu minuman Deva.

"Eh, itu punya gue, kenapa lo minum?" Kata Deva sewot.

"Haus," kataku singkat kemudian menyeret Deva keluar dari tempat itu.

"Bi, Bi, sunset-nya belum kelar, makanan  Gue belum habis."

Masih sambil menyeretnya dan berjalan menuju parkiran aku berkata padanya. "Kan lo mau traktir gue makan malam tadi, ya kita buruan menuju ke restoran favorit gue."

"Iya-iya gue traktir," kata Deva.

Aku tersenyum mendengarnya. Tunggu Dev, kejutan hari ini buat lo belum berakhir.

***

PART 7

"Kalo traktir orang, sebaiknya lo yang pilih tempat dan menunya."

- Adeeva Abriana Utama-

🦋🦋🦋

Deva POV

Aku di seret lagi oleh Fabian keluar dari restoran ini ketika aku sedang asyik asyiknya menikmati sunset. Fabian mengajakku ke parkiran dan tancap gas dari tempat ini, aku menyadari jika kini  perjalananku dan Fabian menuju daerah Nusa Dua.

"Kita kok ke arah Nusa dua ya?" Tanyaku padanya ketika Fabian fokus menyetir mobil sport hijaunya.

"Iya, restorannya ada di daerah sana."

Setelah itu aku diam. Tidak berminat basa basi padanya. Tapi Fabian sepertinya memang tipikal orang yang suka berbasa basi bila itu denganku, entah dengan orang lain bagaimana, karena aku tidak mengenalnya.

"Dev, lo kok diem aja sih, sakit gigi?"

"Nggak, cuma lagi mikir doang."

"Mikir apa?" Tanyanya padaku.

Asli si Fabian ini kepo pakai banget sih jadi cowok. Enggak ada keren-kerennya menurutku.

"Bukan urusan lo," Pungkasku karena aku malas berbasa basi dengannya.

"Lo kok kalo sama gue jutek banget sih, Dev, gue salah apa sih di jutekin mulu?"

Nah, pertanyaan ini membuatku bingung menjawabnya. Aku saja tidak tau alasanku jutek padanya. Padahal Fabian sudah cukup berbaik hati karena mau menjadi pasangan bohonganku untuk hari ini dan besok sore. Karena resepsi pernikahan Lionel dan Sekar adalah besok sore pukul 16.00 WITA.

"Gue nggak tau juga, lihat muka lo, gue pengen jadiin lo samsak terus."

Fabian tertawa mendengar jawaban jujurku.

"Apa gue mesti oplas nih? biar hasrat jutek lo hilang tiap lihat gue?"

"Emang lo ada budget? oplas mahal kali."

"Kalo ada gimana, kira kira tampang siapa yang pas buat gue?"

Dia masih terus mencoba mencari cari bahan obrolan denganku. Padahal aku sudah malas sekali menjawab setiap pertanyaan yang keluar dari bibir pinknya.

"Siapa aja boleh, asal bahannya pakai plastik kresek. Hitung-hitung ngurangin sampah plastik di bumi kan."

Fabian melirikku dengan tatapan jengkelnya. Aku menahan diri untuk tidak tertawa. Aku sedang menang di atas Fabian kali ini. Dan aku bahagia karena dia akhirnya diam, tidak berkata kata lagi sepanjang perjalanan hingga akhirnya kami tiba di sebuah restoran.

"Kita mau makan di sini?" Tanyaku padanya.

"Iya, yuk, masuk didalam bagus," kata Fabian sambil tersenyum ramah dan hangat padaku.

Aku heran pada Fabian, aku kan sudah jutek padanya, kata kataku kasar lagi tapi entah kenapa dia selalu santai padaku, tidak pernah memperlihatkan kemarahannya atau kebenciannya padaku atas tindakanku selama ini padanya. Dan itu justru kadang membuatku lebih ingin menjadikannya samsak kemarahanku.

Aku dan Fabian memasuki restoran itu. Dan aku langsung menarik tangannya untuk berhenti.

"Tunggu, tunggu."

"Ada apa lagi sih, Dev? jangan bilang dompet lo ketinggalan ?"

"Bukan, bukan itu, Bi," Kataku padanya

"So?"

"Lo lihat penampilan gue sama lo nggak sekarang?"

"Kenapa memangnya?"

"Penampilan kita sekarang nggak pantes masuk tempat beginian," kataku mencoba menerangkan kepada Fabian tapi Sepertinya ia menolak mengerti.

"Gue nggak peduli apa kata orang selagi kita bayar dan gue lebih peduli sama cacing di perut gue yang lagi pada demo."

Kemudian Fabian menyeretku lagi memasuki restoran ini dan aku baru tau ternyata Fabian telah melakukan reservasi atas namanya untuk 2 orang malam ini.

Kami diantar untuk memasuki restoran lebih dalam. Dan wow, aku takjub dengan pemandangan yang ada disini. Baru kali ini aku ke restoran ini, padahal aku sudah cukup sering ke Bali. Bahkan Papa dan Mama memiliki sebuah villa di Bali. Lebih tepatnya ada di Ubud yang sering kami kunjungi bila sedang liburan keluarga. Namun bila hanya liburan dengan teman temanku, aku lebih memilih untuk menginap dihotel.

"Bagus banget sih, Bi, tempatnya," kataku masih takjub memperhatikan ikan-ikan yang berenang kesana kemari.

Entah sedang memiliki keberuntungan atau bagaimana, restoran kali ini cukup sepi sehingga suasana kali ini berasa seperti candle light dinner.

Fabian hanya menatapku sambil tersenyum, tidak lama kemudian seorang waiters menghampiri kami dan memberikan daftar menu. Aku masih ingin melihat ikan-ikan, sehingga bagian memilih menu aku serahkan pada Fabian.

"Dev, lo mau makan apa?"

"Apa aja terserah lo, gue ngikut aja."

Fabian menganggukkan kepalanya kemudian ia memilih menu untuk kami berdua. Dan tidak lama setelahnya waiters tersebut meninggalkan kami lagi.

"Gimana, lo suka tempatnya?"

Aku tersenyum dan menganggukkan kepala.

"Gue kira tempat kaya gini cuma ada di Maldives atau Dubai."

Fabian tertawa pelan di hadapanku, "nggak perlu jauh-jauh lagi, restoran ini juga masuk salah satu restoran terbaik di dunia. Jadi nggak perlu diragukan kualitasnya."

Beberapa saat kemudian di tengah obrolan ngalor ngidulku dengan Fabian yang tidak jelas juntrungannya ini, datanglah menu yang di pesan Fabian untuk kami berdua.

Aku menatapnya takjub. Bukan karena aku tidak pernah makan makanan mahal, bukan, bukan itu. Tapi aku sedang berfikir berapa banyak uang yang harus aku gelontorkan hanya untuk makanan yang aku yakin setelah aku sampai di hotel kembali perutku sudah lapar dan minta di isi kembali.

"Yuk, Dev, buruan kita santap makanannya," kata Fabian sambil memaparkan senyum termanisnya padaku.

Aku yakin Fabian sedang tertawa bahagia di dalam hatinya, karena berhasil mengerjaiku. Mungkin bagi Salma yang hidupnya lebih banyak dibanjiri uang daripada darah sejak lahir, makan di tempat seperti ini tidak menjadi persoalan baginya, tapi tidak bagiku. Bagiku selagi itu halal, murah dan mengenyangkan saja sudah cukup. Tidak harus mahal. Bahkan tempat makan favoritku saja hanya di cafe 3 ceret alias angkringan.

"Iya, Bi, buruan di makan makanannya," kataku pada Fabian, kemudian aku sendiri berusaha menikmati makanan yang ada di mejaku ini.

Pelajaran hidup kali ini sungguh aku bayar mahal, seharusnya jika aku mau mentraktir seseorang, sebaiknya aku yang memilih menu dan tempatnya. Agar tidak berakhir seperti malam ini. Aku terpaksa mengeluarkan kartu kredit untuk membayar tagihan makanan dan minuman kami berdua. Padahal aku dan sahabat sahabatku adalah tipe orang yang jarang sekali mengeluarkan kartu kredit kami walau kami memilikinya. Kami lebih memilih menggunakan kartu debet karena kami mau hidup sesuai kemampuan kami saja. Hidup bagi kami bukan untuk gaya gayaan saja apalagi mengejar gengsi.

***


PART 8

"Aku tidak memilih milih apapun, kecuali apa yang akan masuk kedalam perutku."

- Fabian Alaric Kawindra -

🦋🦋🦋

Fabian POV

Malam ini aku puas mengerjai Deva habis habisan. Apalagi ketika Deva selesai membayar tagihan makanan kami. Sebenarnya aku sudah melakukan reservasi sejak aku balik ke hotel setelah menemaninya untuk menjadi pasangan jadi jadian. Aku ingin menghiburnya dengan melihat pemandangan yang indah berbonus makanan enak dan asli, aku sama sekali tidak berniat untuk makan gratisan ketika bersama dengan Deva. Aku yang berniat mentraktir Deva makan, bukan sebaliknya, tapi entah kenapa pada akhirnya semua rencana berubah.

Tadi ketika makan aku menatap Deva dalam diam hingga Deva yang aku tatap pun tidak sadar karena fokus pada makanannya. Aku baru sadar, dengan Deva, aku tidak memberi tahukan jati diriku yang sebenarnya kepadanya. Deva hanya mengetahui nama depanku saja. Bahkan Deva tidak tahu kalo keluargaku salah satu konglomerat, bahkan masuk jajaran salah satu orang berpunya di negri ini versi majalah bisnis. Aku pun juga tidak mengetahui siapa Deva selain Deva adalah wanita yang ditinggal calon suaminya dengan menikahi wanita lain, memiliki dua sahabat yang sangat mencintainya. Sudah , sekedar itu saja yang aku tau tentangnya. Dan aku merasa cukup nyaman dengan tidak memberitahu Deva apapun tentang diriku.

"Bi, nanti kalo ada nasi Jinggo atau semacamnya berhenti ya," Kata Deva padaku.

"Kenapa, lo masih lapar?" Tanyaku sambil masih fokus menyetir.

"Iyalah, makan segitu cuma kaya camilan aja buat gue."

Aku tertawa mendengarnya. Aku suka wanita yang jujur dan tidak jaim di depanku. Bahkan aku sangat menyukai wanita yang tau cara menikmati rezeki dari Tuhan, salah satunya rezeki makanan yang harus di makan. Aku merasa tidak menyesal jika uang yang aku keluarkan untuk membayar sebuah makanan di hargai dengan memakan habis makanan itu.

"Wah, tandon perut lo gede juga ya, Dev kapasitasnya."

"Jangan salah, diantara kita bertiga, gue yang paling banyak makan dan ngemilnya."

"Tapi kok malah paling mungil sendiri ya?" Kataku pada Deva.

Aku melihat Deva menghembuskan nafasnya pasrah, "itu mah sudah takdir kali."

Kemudian kami sama sama diam. Tidak lama kemudian aku mendengar Deva  histeris di sebelahku.

"Bi, Bi, Bi, Stop! ada nasi Jinggo di situ," kata Deva antusias.

Aku kemudian mengerem mobilku mendadak. "Haduh Dev, bisa enggak sih kalo enggak dadakan kasih instruksinya."

"Maaf, soalnya lo kenceng sih nyetirnya, udah kaya orang ikut balap liar."

"Ya sudah, bentar gue cari parkiran dulu,"
Aku kemudian memutar mobilku kembali ke arah lokasi pedagang nasi Jinggo yang disebutkan Deva.

Setelah mendapatkan tempat parkir, aku kemudian keluar bersama Deva menuju pedagang nasi Jinggo tersebut.

Aku melihat Deva begitu antusias, sedangkan aku sudah kenyang dengan makananku tadi. Dan kalo pun aku lapar, aku masih berfikir apakah aku harus menyantapnya, karena aku mempertanyakan kebersihannya selama proses pembuatan, belum lagi bahan bahan yang digunakan apakah organik atau tidak.  Dan yang terpenting adalah rasanya. Apakah bisa di terima oleh perutku yang cukup sensitif kalo soal makanan ini.

Deva mengambil 3 bungkus nasi Jinggo dan memesan minuman. Deva pun menawarkannya padaku.

"Bi, lo mau nggak? tenang aja gue yang traktir lagi."

Aku berusaha tersenyum padanya, "nggak, gue masih kenyang, gue temenin makan aja, ya?"

"Okay, kalo minum mau? Soalnya gue nggak mau minuman gue, lo embat kaya tadi."

"Nggak, nggak usah. Gue enggak haus."

Kemudian aku menemani Deva makan nasi jinggonya di temani segelas teh panas.

Setiap sendok nasi jinggo yang masuk ke mulut Deva, aku selalu menelan ludah setelahnya. Bukan karena aku ingin makan nasi jinggonya. Aku hanya berharap perut Deva dapat mentoleransi rasa pedasnya saja. Apalagi ini sudah malam hari.

"Ini enak lho, Bi, lo nggak mau cobain?" Tanya Deva di sela-sela sesi makannya.

"Gue sudah tau rasanya."

Kemudian Deva melanjutkan makannya. Setelahnya ia minum teh dan sebagai laki-laki yang baik sebelum kami pulang, aku membayar makanan Deva.

"Ngapain lo bayarin gue?"

"Nggak pa-pa. Gantian aja, tadi lo sudah traktir gue."

"Tenang gue ikhlas kok, lain kali nggak usah bayarin gue, duitnya lo pakai aja buat ditabung, biar lo cepet pensiun jadi sugar baby," Katanya sambil tertawa di sampingku.

Dianggap berengsek, nakal atau bahkan player sudah biasa aku terima tapi di anggap sebagai boy toy dan sugar baby, wow... Baru kali ini aku menerimanya. Dan itu datang dari Deva. Yang diam-diam aku berharap bisa lebih dari sekedar teman dengannya.

***

PART 9

"Jangan pernah menyepelekan orang lain, karena lo nggak pernah tau kemampuan mereka yang sebenarnya."

- Adeeva Abriana Utama -

🦋🦋🦋

Deva POV

Semalam Fabian mengantarku ke hotel sudah lewat tengah malam. Selepas makan malam jilid dua, Fabian mengajakku jalan-jalan menikmati pulau Bali dimalam hari. Walau aku capek mendengarkan Fabian ngoceh, setidaknya lumayanlah daripada mendengarkan Nada yang bertelepon mesra ria dengan tikus got satu itu. Siapa lagi kalo bukan pacarnya, si Aldi. Entah kenapa aku dan Salma tidak menyukai pacar Nada sejak awal dikenalkan dulu.

Suara deringan handphone membangunkanku dari tidur indahku. Saat aku melirikkan mataku nama Salma muncul disana, segera aku mengangkatnya.

"Hallo Sal, ada apa sih pagi-pagi ganggu orang tidur?"

"Bangun, Dev, kita mau nonton sunrise di Sanur."

"Nada aja masih merem disebelah gue ini. Lo sendiri aja lah, gue sama Nada nggak ikutan. Bye," Kataku memutuskan telepon.

Saat aku melihat Jam dihandphone waktu masih menunjukkan pukul 04.00 WITA. Asli si Salma ngajakin ribut. Aku melanjutkan tidurku, baru aku memejamkan mataku, giliran pintu kamar hotelku diketuk oleh seseorang.

Siapapun di depan, kalo ini tidak menyangkut hidup dan mati seseorang, harus siap menerima bogem mentah dariku.

Ketika aku membuka pintu wajah Fabian sudah muncul didepanku, dengan tangan
Bersedekap, dan berjaket hitam dan dalaman kaos putih. Ganteng, mirip oppa-oppa korea menurutku, jika saja aku tidak tau sifatnya seharian kemarin, cerewet sekali, tidak ada cool-coolnya jadi cowok.

"Ngapain sih lo di depan kamar gue pagi-pagi gini?"

Tanpa memberikan jawaban, Fabian langsung menyeretku lagi keluar dari kamar menuju lift dan langsung membawaku pergi dari sana .

"Lo mau nyulik gue?"

Fabian masih tidak mau menjawabku. Aku yang menguasai ilmu bela diripun akhirnya menunjukkan diriku yang sebenarnya ketika kami berada di dalam lift.

Aku menggulingkan Fabian dengan ilmu bela diri jiu-jitsu brazil yang aku kuasai. Ilmu bela diri ini adalah salah satu ilmu bela diri yang mematikan di dunia, bahkan bisa digunakan untuk menggulingkan lawan yang berukuran lebih besar daripada kita.

Tanpa menunggu lama, Fabian sudah jatuh dibawahku. Aku melihat wajah shock dan ketakutannya melihat diriku saat ini.

" Dev, Dev, Dev. Stop it!"

"Lo nyulik gue?" Aku mengulangi pertanyaanku pada Fabian.

"Enggak, gue cuma mau ajak lo nonton sunrise doang."

Belum sempat aku menjawab pintu lift terbuka di depanku, akhirnya aku menyingkir dari dekat badan Fabian dan berjalan keluar dari lift. Fabian mengikutiku dibelakang.

"Nggak nyangka gue. Kecil-kecil Lo bakat juga jadi bodyguard," gumam Fabian di belakangku.

"Gue kebetulan nguasain beberapa ilmu bela diri. Kalo lo memang sudah niat buat pindah kerumah masa depan, gue bisa bantu. Secepatnya."

"Jadi lo nggak bohong, pas lo bilang pengen jadiin gue samsak?"

"Kalo dari yang terlihat sekarang kira-kira gimana?" Tanyaku pada Fabian.

Fabian tidak menjawab kemudian dia  menggeretku lagi keluar dari loby menuju parkiran hotel dan masuk ke mobilnya.

"Kita mau kemana?" Tanyaku ketika Fabian sudah melajukan mobilnya keluar dari hotel.

"Sanur Beach."

"Ya sudah gue mau merem, kalo sudah sampai bangunin dan jangan berani macem-macem kalo masih sayang sama nyawa lo."

Fabian hanya melirikku sambil tersenyum pasrah. Aku yakin dia tidak menyangka wanita yang terlihat lemah sepertiku, kecil, mungil, sanggup menggulingkan dirinya.
Mungkin aku telah menunjukkan diriku yang sebenarnya di depan Fabian. Karena jarang aku menunjukkan kemampuanku kecuali dalam pertandingan, latihan atau keadaan darurat saja.

"Dev, Dev. Bangun, kita sudah sampai."

Aku mendengar Fabian membangunkan diriku. Pelan-pelan aku mengerjapkan kedua mataku. Ternyata aku sudah sampai di Sanur pagi ini.

Kemudian aku dan fabian keluar dari mobil. Kami berjalan berdua beriringan di pantai Sanur yang mulai menampakkan keindahannya pagi ini.

Kami duduk bersebelahan sambil menatap sunrise didepan kami. Aku merasakan Fabian sedang memperhatikanku bahkan menatapku. Tapi aku sedang tidak mau menatapnya balik. Aku takut aku akan jadi fans-nya bila aku terus terusan melihat dirinya.

"Sorry, gue nggak maksud nyelakain lo tadi pagi," kataku mengingat kejadian tadi pagi di lift.

Fabian tersenyum, kemudian aku merasakan kini tatapannya lurus ke depan fokus pada sunrise yang ada di depan kami berdua.

"Gue yang minta maaf, gue yang salah karena nggak ngejawab pas lo tanya. Nyeret lo kemana mana dari kemarin. Bahkan gue nggak nyangka kalo lo menguasai ilmu bela diri juga ternyata."

Aku tersenyum disebelahnya, "jangan pernah nyepelein gue atau orang lain. Karena lo nggak pernah tau kemampuan mereka yang sebenarnya."

Kemudian kami sama-sama terdiam, tidak ada yang bersuara cukup lama hingga Fabian memecah keheningan diantara kami berdua.

"Oh, iya, Dev, nanti sore lo jadi, kan, gandeng gue di resepsi Lionel sama Sekar?"

Aku mengembuskan nafas, "jadi, Bi, kalo bukan lo siapa lagi yang mau gue gandeng nanti?"

"Okay lah kalo gitu, gue bakalan dandan yang ganteng biar lo nggak malu dateng sama gue."

Aku tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Buatku Fabian lebih bersemangat daripada diriku. Padahal aku, kalo tidak karena sudah janji pada ketiga sahabatku untuk datang, aku lebih memilih untuk nonton TV sambil ngemil dikamar hotel. Atau mungkin aku akan mengintili Robert yang sedang menghadiri seminar kedokteran di luar negri.

***

PART 10

"Kalo hadir diacara mantan, pastiin gandengan kalian lebih segalanya dari dia."

- Adeeva Abriana Utama -

🦋🦋🦋

Deva POV

Sore ini aku menunggu Fabian menjemputku di loby. Karena acara pernikahan Sekar dan Lionel memang diadakan di hotel tempatku menginap. Kedua sahabatku masih sibuk mematut dirinya di kamarku karena mereka bilang mau tampil sempurna tanpa cela. Sedangkan Robert sejak tadi sudah bolak balik mengirimi pesan WhatsApp kepadaku menanyakan bagaimana keadaanku saat ini. 

Pukul 15.00 WITA aku melihat Fabian memasuki loby. Penampilannya laksana  anak kuliahan, karena aku mengatakan padanya bila hari ini tema pestanya memang santai, bukan pesta resmi.

Fabian hanya menggunakan kemeja lengan panjang, dengan celana panjang warna gelap dan sepatu putih. Oh oh... Penampilannya sudah seperti oppa-oppa korea. Untuk urusan ini aku kagum dengan Salma, karena pintar mencarikan mana laki-laki yang tidak akan membuatku malu jika Aku gandeng ke acara Lionel dan Sekar.

"Hai, Dev, sudah siap?"

Aku menganggukkan kepalaku, kemudian aku berdiri dari sofa tempatku duduk. Kini aku berdiri didepan Fabian. Walau tidak setinggi Om Tom, untuk ukuran orang Indonesia Fabian cukup tinggi, karena aku saja hanya sepundaknya.

"Yuk, jalan," kata Fabian sambil matanya melirik tanganku .

Aku mengembuskan nafasku kasar, aku tau maksud Fabian. Dia sengaja menyuruhku untuk melingkarkan tanganku di lengannya. Kemudian aku lakukan itu agar semua orang percaya bahwa aku dan Fabian adalah pasangan sungguhan yang sedang di mabuk asmara. Tidak lama kami berjalan akhirnya kami sampai di tempat acara resepsi pernikahan Lionel dan Sekar.

Konsep pernikahan yang bertema putih itu cukup indah untukku, sesuai ekspektasiku. Ya tentu saja ekspektasiku karena aku yang memilih semuanya sesuai dengan keinginanku dulu, tapi ternyata aku hanya bisa gigit jari karena orang lain mengantikan posisiku di sana sebagai pengantin dan aku hanya datang sebagai tamu undangan.

"Dev, Deva," Sebuah suara yang aku kenal mendekat dari arah belakang.

Aku kemudian membalikkan badan dan menyapa "Hai, Nad, Hai, Sal," Kataku malas.

"Dev, ingat kata gue ya, lo harus sombong pas gandeng Fabian," Kata Salma sambil menunjuk diriku dengan jari telunjuknya.

Aku mengembuskan nafas, "sombong gimana? masa gandeng Fabian aja harus sombong?"

"Jangan nunduk, pamer senyum sumringah, pokoknya lo nikmatin aja acaranya," kata Nada menimpali.

Aku hanya mengangguk dan menuruti semua perintah kedua sahabatku.

Saat ini aku duduk di sebelah Fabian, menikmati jalannya acara, aku semeja dengan kedua sahabatku. Semua keluargaku menjadikanku tranding topic di acara ini, karena aku menggandeng laki-laki ganteng, muda dan tentunya penampilannya cukup keren. Apalagi beberapa keluarga ada yang melihat Fabian tadi dengan mobil sport hijaunya ketika di parkiran. Dan itu sungguh nilai plus bagiku, tidak menjadi istri Lionel tapi aku mendapatkan ganti laki-laki yang masih muda, tampan dan kaya, walau dia pasangan jadi jadian dan lelaki simpanan tante-tante, aku tidak peduli. Setelah acara ini selesai toh aku sudah tidak perlu lagi bertemu dengan Fabian lagi. Hidup kami akan berjalan normal seperti sebelum kami berkenalan.

Ketika acara hampir selesai Lionel memberi kode kepadaku untuk berfoto dengannya, dengan bangga aku gandeng Fabian untuk berdiri dari kursi dimana kami duduk.

"Bi, it's show time," kataku.

Fabian menggangguk dan berdiri dari kursinya, aku menggandengnya mesra dengan melingkarkan tanganku di lengan kirinya dan ketika sampai di depan Lionel serta Sekar aku sengaja bergelayutan manja kepada Fabian. Dan hebatnya Fabian cepat tanggap dan mengerti maksudku. Inginku tertawa melihat wajah Lionel dan Sekar yang shock melihatku dan Fabian. Aku melirikkan mataku kemeja dimana aku dan Fabian tadi duduk, kedua sahabatku menganggukkan kepalanya tanda persetujuan dan pujian atas aktingku yang mengesankan. Mungkin aku bisa ikut casting setelah ini, karena Lionel dan orang-orang saja percaya kalo aku dan Fabian pasangan sungguhan.

"Selamat ya, semoga kalian bahagia," kataku sambil menyalami pasangan Laknat kemudian diikuti Fabian melakukan hal yang sama.

"Oh iya, lo belum kenalin dia siapa, Mbak Dev?" Tanya Sekar manis kepadaku.

"Oh, kenalin gue Fabian, pacar barunya Deva."

Dan kedua wajah didepanku dan Fabian ini melongo sepersekian detik mendengar penuturan Fabian barusan.

"Sebenernya gue pengen ngajakin Deva nikah tapi sayangnya, Deva belum mau, apalagi baru kenalkan. Dia masih sedikit takut pas udah nyebar undangan, gue nya malah enak-enak sama perempuan lain. Padahal sih sebejat bejatnya gue, gue nggak mungkin begitu ke dia."

Anjir...
Si Fabian improvisasinya keren banget sih, tanpa dikode, tanpa aku harus ngasih petunjuk padanya. Dan aku yakin itu semua nembus dijantung Lionel dan Sekar . Bahkan mungkin kalo mereka tidak siap mental, mereka bisa pingsan atau lari terbirit-birit dari hadapanku dan Fabian saat ini.

Setelah basa basi dan Foto dengan pasangan laknat, aku dan Fabian kembali ke meja. Setelahnya aku sengaja pamit lebih cepat daripada sahabat sahabatku yang sepertinya masih menikmati acara ini. Terutama Salma yang masih menikmati pemandangan sunset nya dan makanan yang terhidang.

"Lo duluan aja, gue masih mau lihat sunset," kata Salma padaku

Ketika Fabian mengantarku ke kamar dan berhenti di depan pintu kamar. Aku sengaja berdiri di hadapannya dan menatapnya. Aku tatap wajah dan mata Fabian yang kini ada di hadapanku. Wajah tampan tak berdosa layaknya anak anak itu sungguh bisa membuatku gerogi saat ini.

"Fabian... Makasih ya, atas bantuan lo selama dua hari ini."

Fabian tersenyum di hadapanku, "iya, Dev sama-sama."

"Makasih buat semuanya dan kita enggak perlu ketemu lagi setelah ini," Kataku pada Fabian dan Fabian sedikit shock dengan penuturan ku tapi dia berusaha bersikap tenang.

Fabian menganggukkan kepalanya di depanku, aaku tau kini tatapannya fokus kepada diriku lebih tepatnya mataku. Aku merasakan badanku sedikit merinding di tatap seperti itu oleh Fabian.

"Dev, gue yang makasih. Tapi andai kita ketemu lagi suatu saat nanti, gue akan pastiin kalo gue enggak mau kita pisah lagi."

Bola mataku hampir jatuh dari tempatnya saking shocknya mendengar kata kata Fabian barusan.

Aku berusaha menetralkan keadaan dengan tertawa, "Indonesia luas, Bi. Gue yakin yang tinggal sekota aja belum tentu ketemu apalagi kita. Ya udah sekali lagi makasih ya. Bye Fabian."

"Bye, Deva, jaga diri lo baik baik ya."

Aku tersenyum sebagai jawaban atas ucapan Fabian barusan padaku.

Dan dengan itu aku membuka pintu kamarku. Kemudian masuk dan meninggalkan Fabian di depan kamar hotelku.

Saat ini semua pertunjukan sudah selesai. Aku tidak perlu lagi bersandiwara dan aku pergi kemar mandi kamar hotelku, menghidupkan shower dan menangis sejadi jadinya di bawah guyuran airnya.

Kini hidupku yang sebenarnya telah kembali di buka dengan bab baru. Dan aku akan berusaha menikmati hidupku di Bali hingga unpaid leave ku selesai 1,5 bulan lagi. Sedangkan kedua sahabatku besok pagi sidah kembali ke Jogja.

***

PART 11

"Tanpanya hidupku tak lagi berwarna."

- Fabian Alaric Kawindra -

🦋🦋🦋

Fabian POV

Aku yang baru saja merasakan hidupku penuh warna warni selama dua hari ini harus gigit jari dan meraskan semua kembali ke warna semula, abu-abu. Sejak Deva mengucapkan kata-kata perpisahan padaku, hatiku hancur. Seperti anak kecil yang memiliki mainan baru dan mainan itu  hilang begitu saja, itulah yang aku rasakan saat ini. Jika saja pantas aku akan menangis sejadi jadinya seperti anak kecil yang meminta mainan dan baru akan diam setelah dibelikan. Masalahnya Deva bukan barang dan bukan pula mainan sehingga tidak mungkin memaksakan keinginanku padanya. Lagipula aku masih sayang pada nyawaku. Aku tidak mau babak belur di hajar oleh Deva yang aku tau bahwa di balik tubuh mungilnya terdapat kemampuan bela diri yang mumpuni.

Pagi ini adalah hari pertamaku memasuki dunia baru. Dunia kerja lebih tepatnya. Dan saat ini semua direksi baru saja berkumpul dan menyambut kehadiranku sebagai CEO yang baru, menggantikan almarhum Papaku yang meninggal 3 bulan lalu. Aku memasuki ruangan lama papaku yang telah direnovasi sesuai dengan keinginanku

Satu kata ketika aku memasuki ruangan itu. Sempurna. Sesuai ekspektasiku, tapi sesempurna apapun itu, kini terasa pincang karena aku tidak bersamanya.

Biasanya aku akan mendengarnya menghinaku, mengata ngataiku, bahkan memancing emosiku. Tapi kini yang ada di hidupku hanya mereka yang sedang mencari muka padaku, memuji, mengagung agungkan diriku dan aku muak dengan apa yang aku temui. Aku ingin bersamanya, bersama dia yang apa adanya, yang tidak takut mengutarakan isi hatinya, bahkan bersama dirinya aku tidak perlu mengeluarkan uang, karena Deva adalah sugar mommy yang sering mentraktirku. Menganggapku seorang laki-laki simpanan yang tidak memiliki penghasilan selain dari menjual diri.

Aku berharap aku bisa bertemu dengannya kembali. Kenapa aku tidak meneleponnya? Karena aku tidak memiliki nomernya.
Semalam aku bertanya kepada Salma dan ia tidak mau memberikan kepadaku karena Deva tidak mengijinkannya.

Tok....

Tok....

Tok....

"Masuk," kataku memperasilahkan.

"Permisi pak, bapak ada jadwal lunch dengan Mr. Thomas Alexander sekarang Untuk Lokasi sudah saya share ke handphone bapak."

"Okay," kataku yang masih fokus pada berkas laporan penjualan divisi dealer mobil dan motor.

Setelah sekretarisku berlalu meninggalkanku, aku menutup berkasku dan mengambil kunci mobilku. Hari ini aku di temani si putih, Buggati chiron kesayanganku.

Andai Deva perempuan yang mengukur segalanya dari uang, maka aku bisa pastikan saat ini aku telah bersamanya, namun sayangnya dia tidak silau dengan apa yang aku miliki, bahkan menuduhku sebagai laki-laki simpanan. Bukannya sakit hati, aku justru menikmati ketika Deva menuduhku yang bukan bukan.

Aku memasuki salah satu restoran hotel bintang 5 di Jakarta. Dan betapa kagetnya aku ketika yang aku temui disini adalah Om Tom. Paman Salma yang kemarin juga hadir di acara pernikahan mantan calon suami Deva yang laknat itu.

"Mr. Thomas Alexander?" Tanyaku ketika aku sudah sampai di depan meja.

"Yes," Dan membelalaklah mata kami berdua.

"Fabian."

"Om Tom."

Kata kami bersamaan dan kemudian kami tertawa. Hingga akhirnya Om Tom mempersilahkan aku duduk di hadapannya.

"Om nggak nyangka kamu CEO Kawindra Group yang baru," kata Om Tom sambil geleng-geleng kepala.

Aku tertawa di depannya, "Terus Om ngiranya aku apa? Simpanan tante-tante kaya yang di bilang Deva?"

Aku mendengar Om Tom tertawa semakin lepas, "kamu tau dari mana kalo Deva cerita ke Om?"

Aku menghembuskan nafas pasrah, "aku tau aja, soalnya Om kelihatannya akrab sama Deva."

"Nggak cuma sama Deva, Om juga akrab sama Salma, Robert dan Nada. Tapi paling deket ya ke Salma sih."

Sebuah ide brilian muncul di kepalaku.

"Om, kan handphone aku hilang kemarin di Bali, bisa Om kasih nomer handphone Deva lagi? soalnya aku lost contacts sama dia."

"Oh, boleh."

Kemudian Om Tom meberikan padaku nomer telpon Deva yang sejak kemarin membuatku pusing tujuh keliling karena gagal mendapatkannya.

"Makasih, Om," kataku setelah selesai menyimpan nomer telepon Deva.

"Sama sama. Om cuma pesen satu hal sama kamu. Jangan pernah sakiti Deva seperti apa yang Lionel lakukan, karena Om nggak bisa bayangin Deva di keadaan seperti itu lagi."

"Keadaan seperti apa maksud Om?" Tanyaku bingung.

Aku melihat Om Tom mengembuskan nafasnya pasrah dan seperti menahan sebuah rasa entah apa itu tapi bukan rasa cinta dari apa yang aku lihat di matanya.

"Hari itu, setelah Lionel mengakui jika dia tidur dengan Sekar, sampai di rumah Deva langsung mengunci kamar. Dan ketika pintu kamarnya dibuka, Deva sudah dalam keadaan tidak sadar dengan racun serangga di tangannya. Keadaannya sempat kritis, bahkan Om sempat mau membunuh Lionel kalo bukan karena Salma yang mencegah Om melakukan itu."

Bola mataku sudah selebar piring makan, shock mendengar penuturan Om Tom. Apakah itu nyata? Deva sampai berniat bunuh diri hanya karena laki laki bajingan seperti Lionel?

Ternyata kamu bisa bodoh juga Dev.

"Maka dari itu, Om harap kamu jangan ganggu Deva dulu, biarkan Deva menikmati unpaid leavenya."

Aku hanya menganggukkan kepalaku sebagai tanda mengerti atas perintah Om Tom.

Setelahnya kami membicarakan urusan bisnis yang ternyata sudah terjalin cukup lama dengan perusahaan Om Tom di Eropa.

Aku melupakan bahasan Deva, karena jika aku membahasnya terus terusan, keinginanku untuk menemuinya semakin besar.

Aku hanya berharap saat ini Deva baik  baik saja dan tidak berniat mengakhiri hidupnya hanya karena masalah cinta nnggak jelas. 

***

PART 12

"Punya keluarga dan teman yang baik itu juga rezeki yang patut disyukuri."

- Adeeva Abriana Utama -

🦋🦋🦋

Deva POV

Pagi ini aku mengantarkan Nada dan Salma ke Bandara Ngurah Rai. Dan setelahnya aku akan menuju Ubud untuk tinggal disana, di villa milik Mama dan Papa yang ada di Bali.

"Dev, lo beneran nggak pa-pa gue tinggal sama Salma balik duluan?" Tanya Nada yang kini duduk di sebelahku ketika aku menyetir.

"Nggak pa-pa, gue sudah biasa tinggal sendiri, kan."

"Lo bilang nggak pa-pa terakhir kali, tau tau gue sudah di telepon rumah sakit kalo lo kritis kemarin," kata si Salma sudah nyamber kaya petasan.

"Gue janji nggak akan lakuin hal bodoh lagi. Lagian gue sadar kalo gue pulang duluan lo berdua hidupnya enggak akan rame."

"Nah, tu lo sadar, hidup gue tanpa lo itu kaya kuburan," kekeh Salma di kursi penumpang belakang.

"Lo nggak usah turun, Dev. Gue sama Salma langsungan aja."

"Okay, hati-hati ya, kalo sudah sampai rumah kabarin gue."

"Okay, da-da, Dev."

"Dha, Salma, Dha,  Nada," balasku ketika kedua sahabatku turun dari mobil SUV milik Salma yang aku pinjam selama di bali ini.

Kemudian aku melajukan mobilku menuju kawasan ubud.

***

Setelah perjalanan dengan mampir kesana kesini, aku akhirnya tiba di villa orang tuaku yang bergaya atap jineng khas Bali ini. Villa yang sudah 10 tahun dimiliki oleh orang tuaku dan hanya dipakai ketika mereka ingin berlibur.

Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam dan Bli Made, sang penjaga rumah menyambutku.

"Selamat siang, Mbak Deva, lama nggak mampir?"

"Siang, Bli, ini mampir lama aku nanti, sampai satu setengah bulan disini."

"Waduh, sudah nggak kerja mbak?"

"Masih, Bli, cuma ambil unpaid leave aja sih 2 bulan. Oh iya, kamarku udah dirapiin, kan, Bli?"

"Sudah, Mbak, tinggal naik aja."

"Okay, Bli."

"Selamat istirahat ya, Mbak, saya pamit pulang dulu, kalo ada apa-apa telepon saya saja."

"Oh iya, Bli, makasih. Hati-hati ya, Bli."

Setelah Bli Made keluar dari villa, aku melangkahkan kakiku ke kamarku di villa ini yang berada di lantai 2 sudut belakang. Di villa ini aku kebagian memiliki kamar loteng, karena ketiga kakakku sudah memilih lebih dahulu kamar mana saja yang ingin mereka tempati. Ngenesnya, aku sebagai bontot hanya bisa pasrah dan mengalah.

Kamarku masih sama seperti terakhir aku memakainya satu tahun lalu. Aku menarik koperku, kemudian aku melesatkan diriku ke kamar mandi untuk sekedar bersih-bersih. Setelahnya aku merebahkan diriku dikasur dan secepat kilat dunia mimpi telah mengambil alih alam sadarku.

***

Suara deringan telepon membangunkanku dari tidur dan Nama Salma muncul di sana.

Oh, mereka sudah sampai dirumah dengan selamat.

Aku mengangkat telepon Salma karena tadi aku yang meminta mereka mengabariku jika sudah sampai.

"Hallo, Sal?"

"Hallo, Dev, sorry gue lagi ngabarin. Tadi sampai rumah langsung tepar. Lo baik-baik aja, kan?"

"Baik, gue juga baru bangun tidur."

"Btw, Dev, si Fabian minta nomer lo. Lo yakin nggak mau kasih ke dia?"

"Yakin, gue nggak mau berhubungan lagi sama dia."

"Tapi kan ngasih nomer enggak selalu terus bakalan jadi pacar, Dev."

"Pokoknya enggak! Kalo lo sampai ngasih nomer gue ke Fabian, habis lo sama gue Sal."

"Iye-iye. Ya sudah, sono lo berburu cowok,  okay? soalnya gue kasian kalo lo nanti jadi perawan tua."

"Kaya lo nggak aja."

Kemudian aku dan Salma tertawa karena saat ini kami senasib, sama-sama single dan tidak punya pasangan. Bedanya kalo Salma melakukan itu karena tidak ingin menikah, sedangkan aku ditinggal menikah oleh mantan calon suamiku dengan saudaraku sendiri.

Selesai Salma menutup telepon, aku membuka grup Telegram yang berisi anak anak sekantor cabang JatSel alias Jateng selatan. Aku memang jarang aktif sejak aku mengambil unpaid leave, bahkan aku memaksa admin grup untuk mengeluarkanku sementara dari grup WA, dan skype kantor. Karena aku memang tidak ingin diganggu. Mengingat apa yang terjadi padaku teman temanku memakluminya tanpa banyak bertanya. Hanya satu grup ditelegram yang masih aku ikuti karena grup ini tidak membahas pekerjaan tapi lebih fokus pada skandal alias desas desus pergosipan dikantor. Oh iya, aku bukan orang yang baik-baik amat dikantor karena aku juga penikmat gosip sebagai pendengar, agar aku tidak kuper dan kudet bila ada sesuatu yang terjadi di kantorku. Dan grup ini juga salah satu sarana sosialisasi bersama teman-teman kantorku.

Isi grup Telegram

Sinta : gosip hangat bro... Sis....

Adi   : heran gue, radar lo kalo beginian tajem bener.

Sinta : ini sih mendekati kenyataan bukan gosip lagi.

Agnes : memang ada berita apa mbokdhe sinta?

Sinta. : Kita punya CEO baru cuy. Gosip gosipnya masih muda gitu, ganteng lagi. Gue dengar kabar ini dari anak pusat.

Clara  : tanpa foto, tanpa nama, tetap hoax.

Tora   : gue idem sama Clara.

Clara : btw, si imut apa kabar? masa dibaca aja nih chatt kita, di kira koran kali ya?

Si imut adalah panggilan sayang Clara padaku bila ada maunya.

Deva : kalo muji-muji gue itu pasti ada maunya kan lo?

Clara : tau aja lo, Dev🤣

Deva : mau apaan?

Clara  : tolong paketin gue bule tajir satu, yang masih muda, single, dan niat kawin. gue udah dikejar kawin sama emak gue.

Deva  :  fuck!

Clara : 🤣🤣🤣

Selain Nada , Robert dan Salma aku juga memiliki kehidupan sosialku yang lain terutama di kantor. Aku sengaja memang tidak mau bekerja di perusahaan Papa karena aku ingin orang mengenalku lewat potensi dan kerja kerasku ,bukan karena aku anak papaku , Galih Utama yang seorang pengusaha pertambangan dan alat-alat berat.

Deva : ya sudah, gue nggak akan buka telegram sampai gue selesai jalani unpaid leave.

Sinta : seserius itu, Dev lo nggak akan komunikasi sama kita-kita?

Deva : komunikasi nggak harus ghibah virtual disini, oneng.

Sinta : terserah lo yang penting pas balik, beliin gue 1 set bikini.

Deva : gampang, nggak usah nunggu gue, nanti gue order di shopee.

Sinta : enggak mau, Dev, gue mau keluaran dari 69slam.

Aku tidak membalas lagi. Sebagian teman temanku dikantor tau latar belakangku jadi kadang mereka ingin "memanfaatkan" diriku bila aku tidak pandai-pandai bergaul. Terserahlah, aku tidak terlalu dekat dengan Sinta, yang matanya selalu hijau jika melihat uang, apalagi cowok tajir.

Aku berharap aktivitasku mulai besok pagi berjalan lancar tanpa hambatan yang berarti. Di sini, di Ubud Bali, aku mencari ketenangan hati dari segala suara, desas desus dan tentunya gosip batalnya pernikahanku dengan Lionel dan aku bertekad akan mampu melaluinya.

***

PART 13

"Jika ada 1001 jalan menuju ke Roma, maka ada 1001 jalan menuju ke Deva."

- Fabian Alaric Kawindra -

🦋🦋🦋

Fabian POV

Tidak terasa sudah satu bulan aku menjalani rutinitasku sebagai CEO Kawindra Group dan selama itu pula wajah Deva terus menghiasi pikiranku. Setiap bangun tidur, mau makan, mandi, kerja, bahkan ketika aku akan menutup mataku setiap malam bayangan wajah Deva tidak mau pergi dari sisiku.

Aku memang sudah memiliki nomer teleponnya namun hingga saat ini aku masih menjalankan janjiku kepada Om Tom untuk tidak mengganggu Deva hingga unpaid leavenya selesai. Setidaknya aku tau jika Deva berdomisili di Jogja dan demi dirinya aku akan memindahkan kantorku kesana agar peluangku bertemu dengannya lebih besar jika tinggal satu kota. Demi melancarkan rencanaku, aku harus menyusun strategi agar ini terlihat rasional dan alasan kepindahanku ke jogja bisa diterima oleh para jajaran direksi serta management di Kawindra Group.

Dan akhirnya apa yang aku tunggu-tunggu bisa di realisasikan sebentar lagi. Ketika metting 3 hari lalu, jajaran direksi menyepakati untuk memperluas jaringan bisnis kami di Jateng-DIY maka dengan senang hati aku menawarkan diriku untuk memantau langsung segala urusan di pengembangan proyek bisnis tersebut. Untuk makin mendekatkan jalanku pada Deva, satu satunya cara adalah  menghubungi Salma. Salma memang cukup ramah, baik dan informatif, namun bila aku sudah menyinggung soal Deva, maka Salma akan bungkam seribu bahasa atau mengalihkan pembicaraan. Aku rasa mungkin jika aku bertemu dengan Salma, setidaknya ada sedikit informasi tentang Deva yang bisa aku dapat darinya. Dengan alasan itu, kini aku mengajaknya bertemu disalah satu cafe yang tepat ada di perempatan Tugu Jogja. Sebuah cafe yang memiliki pemandangan indah Tugu jogja apalagi jika sore dan malam hari.

"Hai, Bi, sudah lama nunggunya?" Aku melihat Salma menyapaku sambil mulai menarik kursi di hadapanku dan duduk dengan manis di sana.

Sebagai laki-laki normal memang Salma cantik, bahkan lebih cantik dan proporsional daripada Deva yang bertubuh mungil , namun entah bagaimana hatiku tetap memilih Deva. Deva adalah perempuan yang tidak memandang diriku dari apa yang aku miliki sejak awal bertemu. Bahkan perempuan pertama yang menuduhku macam-macam namun aku menikmati segala tuduhannya sebagai sebuah lelucon. Mungkin otakku sudah konslet karena Deva .

"Hai, belum sih, baru ngabisin 1 gelas minuman sambil buka kerjaan aja. Gimana kabarnya?" tanyaku sambil mulai menutup laptop Apple MacBook Pro-ku.

"Baik, Lo sendiri gimana?"

"Masih pusing cari informasi tentang Deva, habis lo pelit bagi info sih, Sal," kataku sambil tertawa.

Salma ikutan tertawa di depanku.

"Mending lo cari cewek lain aja deh, temen gue yang satu itu nggak minat kenalan apalagi deket-deket sama lo."

Aku tertawa mendengarnya, baru pertama kali ada perempuan menolakku. Padahal sejak aku memasuki cafe ini, tatapan para wanita hampir seluruhnya menatapku dengan penuh minat. Mungkin itulah alasan kenapa aku semakin tertarik kepada Deva, karena Deva tidak tertarik kepada diriku dan segala bentuk pesonaku. Anggaplah aku ini kepedean, namun aku tidak peduli karena sudah PD saja Deva masih antipati padaku, apalagi jika aku menjadi orang yang minder.

"Maunya gitu, tapi nggak tau kenapa yang gue kangenin Deva mulu."

"Lo kira gue bakalan percaya?" Salma tertawa sambil menyedekapkan tangannya didepan dada.

Aku menganggukkan kepalaku, karena aku memang bersungguh sungguh dengan apa yang aku katakan.

"Tapi gue nggak percaya. Soalnya buaya kaya lo ini, bertebaran dimana-mana. Sedangkan temen gue itu ibaratnya sudah kaya tulang kena osteoporosis. Rapuh."

"Tapi gue serius, Sal."

"Terserah lo, gue pulang duluan deh, takut kalo kelamaan deket lo gue bisa bocor lagi mulutnya."

"Yah, kok gitu?"

"Sudah ya, Fabian. Bye," Salma beranjak dari kursi didepanku dan berlalu pergi begitu saja.

Satu satunya harapanku hanya Om Tom, sayangnya kalo aku terlalu banyak bertanya, dia akan curiga. Alhasil usahaku kali ini mentok lagi, tidak ada hasil sama sekali.

Aku menghembuskan nafasku, semoga saja dikota kecil yang kata orang begitu indah ini, aku bisa bertemu dengannya dan jika aku bertemu dengannya, maka aku tidak akan membiarkan Deva pergi lagi dariku. Tidak peduli jika ia ingin kabur dariku. Namun aku tetap akan mengejarnya.

***

Pagi ini aku mulai memasuki kantor cabang Kawindra Group yang ada di salah satu kompleks perkantoran daerah ringroad. Untuk sementara aku masih tinggal di hotel milikku karena aku belum memutuskan untuk tinggal dimana. Dan kali ini si Hitam, Bugatti Veyron menemaniku membelah jalanan ring road yang cukup macet di pagi hari.

Siapa bilang kalo jogja bebas macet? ya mungkin bebas macet jika bukan jam berangkat atau pulang kerja dan sekolah. Namun pagi ini, aku sudah berjibaku dengan seluruh warga jogja untuk memulai aktivitasku. Dan selama itu pula Deva tidak pernah pergi dari pikiranku.

Aku memasuki kawasan kantor Kawindra Group dan menghentikan mobilku di tempat parkir VIP. Dan kini tatapan orang-orang disekitarku menatapku, bukan hanya aku namun si hitam Bugatti Veyron pun mencuri perhatian mereka. Karena hari ini adalah hari pertamaku memasuki kantor cabang ini, maka aku memakai setelan Armani.

Ketika aku memasuki loby, aku sudah di sambut jajaran pimpinan dan staf yang bekerja disini. Aku tidak perlu memasang kuping lebar-lebar karena suara-suara kecil di samping kanan kiriku masih sanggup aku dengar.

"Wuih,Ganteng banget CEO kita."

"CEO ku, semangatku."

"Makin semangat kerja ni tiap hari."

"Statusnya masih available enggak ya, kalo yang begini."

"Gue naksir mobilnya daripada orangnya."

Dan masih banyak lagi suara suara di belakangku yang masih bisa aku dengar selain itu.

"Selamat pagi, Pak Fabian."

"Pagi," Kataku ramah sambil memaparkan senyum manisku.

"Saya Anton, AM * jateng selatan, ini ibu Rosa staff  HRD cabang jogja, ...." (*AM : area manager)

Masih banyak lagi yang diperkenalkan padaku dan aku yakin mereka mulai tidak nyaman jika bekerja ditunggu oleh atasannya. Apalagi ini CEO-nya. Aku cukup tau kehidupan kantor cabang yang adem tentrem dan jarang lembur, namun ketika pimpinan mereka ada, maka jam pulang kantor melebihi jam seharusnya akan menjadi agenda rutin setiap harinya.

"Bisa antarkan saya keruang kerja saya?"

"Baik Pak, saya antar," kemudian Anton jalan didepanku menuju Lift dan memencet tombol untuk menuju kelantai 4.

Karena ini dicabang, maka luas ruanganku tidak akan seluas ketika di kantor pusat. Dan ketika Anton membukakan pintu ruanganku. Bagiku cukup lumayan nyaman ruangan ini.

"Ini ruangan Bapak selama di Jogja, bila Bapak merasa ada yang kurang atau tidak membuat Bapak nyaman, Bapak bisa sampaikan kepada Ibu Dewi. Beliau yang akan menjadi sekretaris bapak selama bapak di Jogja." Terang Anton padaku.

Aku melihat seorang wanita cantik berumur pertengahan 30an yang sedang hamil sekitar 7 bulan.

Haduh ....
Bagaimana mungkin aku akan meminta bantuan untuk lembur jika itu diperlukan pada seorang wanita hamil? Jelas saja, aku tidak akan tega melakukannya.

Kesialan pertamaku adalah tidak bisa mengajak sekretarisku kerja keras dan berarti pekerjaanku akan semakin berat.

Apes....

Satu kata untukku saat ini.

***

PART 14

"Seseneng senegnya menikmati libur, kalo kelamaan bosen juga."

- Adeeva Abriana Utama -

🦋🦋🦋

Deva POV

2 Minggu lagi unpaid leave yang aku ambil akan segera berakhir. Dan sepertinya aku sudah cukup menikmati keindahan pulau Dewata ini. Di samping itu pekerjaanku di luar Kawindra Group juga sudah menumpuk banyak.

Berbeda dengan Nada yang memilih fokus pada 1 pekerjaan dan hanya memiliki hoby memasak, aku adalah tipe ornag yang tidak bisa menginvestasikan diriku hanya ke dalam satu lubang. Oleh karena itu, aku membaginya kebanyak tempat entah itu soal pekerjaan, apalagi hoby.

Aku memilih bekerja di Kawindra Grup dengan malamar jabatan yang bias- biasa saja walau aku lulusan luar negri. Bukan tanpa sebab aku melakukannya, aku tidak mau hidupku hanya aku habiskan di belakang meja dan menghabiskan sisa hidupku lebih banyak menatap monitor Komputer daripada menatap dunia luar yang begitu indah.

Hari ini aku memutuskan pulang ke Jogja, karena aku rindu suasana kantorku, kopi joss, nasi goreng kambing, gudeg mercon, dan segala sesuatunya yang berbau jogja termasuk kamar tidurku dirumah.

Handphoneku bergetar, ketika aku lihat ada pesan dari Mbak Dewi padaku. Aku tersenyum melihat namanya di layar HP-ku. Jika bukan karena Mbak Dewi, tentu saja aku tidak bisa mengambil unpaid leave karena tidak ada yang mau menggantikan pekerjaaku selain dirinya.

Mbak Dewi : Nduk, Kangen

Deva             : i miss you too bumil 😘

Mbak Dewi : kapan balik?

Deva            : tumben nanyain itu Mbak, ada apa?

Mbak Dewi : gue udah nggak sanggup dobel job, Dev. Perut gue juga sudah segede gym ball gini.

Biasanya mbak Dewi adalah orang yang paling jarang mengeluh, jadi jika mbak Dewi mengeluh, pasti ada sesuatu yang begitu berat.

Deva             : 2 minggu lagi, Mbak. Sabar ya.

Mbak Dewi : Ya Tuhan, Kok masih lama, gue nggak sanggup, pengen buruan gantian cuti.

Deva            : Sabar, Mbak, bentar lagi gue yang gantiin kerjaan lo kok buat cuti 3 bulan.

Mbak Dewi. : Lo buruan masuk deh, biar lo ketemu sama KaBoss yang baru.

KaBoss adalah singkatan dari Kawindra Boss. Sebutan itu muncul dari ratu Gosip di Kantor pusat, sehingga anak anak cabang hanya ikutan memanggil pimpian Kawindra Group sebagai Kaboss.

Deva        : Memang kaboss kenapa? toh nggak ngantor di tempat kita. Santai aja kali mbak, paling dia dateng cuma sidak atau meeting bentar habis itu balik.

Itulah enaknya kerja di cabang, tidak di kantor pusat karena para pimpinan yang tinggi jabatannya tidak berada bersama kita. Tidak masalah gaji kecil, asal nyaman, daripada gaji besar tapi hidup di bawah tekanan, mana enak cuy...

Mbak Dewi : sembarangan lo kalo ngomong, dia sekarang ngantor di Jogja.

Duarr....duar....duar....

Bagai disambar petir ketika aku mendengar Kaboss pindah ke Jogja, kalo kaboss pindah ke Jogja otomatis akan sering lembur, jam pulang kerja ngaret, ditambah lagi istirahat on time.

Huaaaa....hidupku tidak setentram dulu.

Deva             :  HAH!😱

Mbak Dewi : iya, makanya buruan balik, kita kekurangan personil buat kejar laporan akhir bulan.

Deva           : Minta HRD nambah karyawan lah.

Dan dengan begitu berakhir sudah chatt  dengan Mbak Dewi dan aku bergegas menuju ke Bandara Ngurah Rai.

***

Aku langkahkan kakiku keluar dari Yogyakarta internasional airport dan aku sudah menemukan sobatku menungguku dengan super cantik dan sangarnya di sana.

"Salma," Aku meneriakkan namanya .

Salma yang mendengar namanya dipanggil menoleh dan ketika melihatku berlari kecil ke arahnya ia tersenyum lebar.

"Gue kangen sama lo," kata Salma ketika berhasil memelukku.

"Gue juga kangen," kataku masih tetap memeluk Salma erat.

Setelah kami melepas pelukan, Salma membawaku menuju Ferarri miliknya.

"Dev," Salma memanggilku ketika kami sudah didalam mobil.

"Hmm."

"Fabian kemarin di Jogja."

"Hah!" Seketika aku kaget dan berteriak di sebelah Salma.

"Iya, dia masih nyariin lo," Salma kini sibuk memanuver mobilnya keluar dari parkiran Bandara.

"Please, gue nggak mau ada urusan sama dia, gue mau menikmati hidup gue," kataku sambil mulai menutup mataku.

"Tapi dia kelihatannya tulus sama lo."

"Ketulusan itu apa sih? gue yang sudah tulus dan berjuang 15 tahun aja ternyata ya kaya gini hasilnya, apalagi yang cuma kenal 2 hari. Udah ah, gue mau tidur, nanti bangunin kalo sudah sampai rumah."

Salma mengembuskan nafasnya pasrah di belakang kemudi Ferarrinya.

***

Sisa dua minggu cutiku banyak aku gunakan untuk bersenang senang dengan ketiga sobatku, Robert, Nada dan Salma. Selain mengurus laporan keuangan bisnis yang aku jalani bersama ketiga kakakku, yaitu rent carguest house dan sebuah toko oleh-oleh khas Jogja. Aku harus menyelesaikan laporan rugi labanya, karena kakakku yang pertama memintanya untuk bahan pertimbangan pembukaan cabang toko oleh-oleh.

Selama dua minggu aku mengerjakan semua pekerjaanku yang terbengkalai di luar pekerjaan sebagai karyawan Kawindra Group. Dan untungnya hanya membutuhkan 10 hari untuk menyelesaikan semua pekerjaanku.

Aku menghabiskan 3 hari terakhir cutiku untuk mengikuti pengajian diberbagai masjid. Setiap mendengar ceramah para ustadz, aku menjadi manusia yang penuh  syukur atas semua karunia Tuhan di hidupku.

Tuhan tidak mungkin mengambil sesuatu, tanpa menggantinya dengan yang lebih baik.

Kalimat itu sudah terpaku di kepalaku sejak aku mendengarnya ketika aku mengikuti pengajian di masjid.

Dan besok pagi, aku akan kembali menapaki kehidupan lamaku, namun dengan wajah yang baru. Karena kini Adeeva Abriana Utama telah lahir kembali sebagai pribadi yang baru. Pribadi yang lebih tangguh setelah pengkhianat Lionel dan Sekar kepadaku.

***

PART 15

"Bertemu denganmu adalah suatu keberuntungan yang selalu aku harapkan."

- Fabian Alaric Kawindra -

🦋🦋🦋

Fabian POV

Setelah weekend gabutku kemarin yang aku isi dengan mengecek laporan akhir bulan, pagi ini sejujurnya mataku masih sedikit pedih karena terlalu lama menatap layar laptop.

Ketika aku sampai di parkiran kantor dan seperti biasa aku di temani oleh Buggati Veyron hitamku, mataku menangkap sebuah pemandangan tidak biasa karena salah satu karyawan disini masuk area parkir basemen ini menggunakan Mini Cooper warna biru.

Aku tersenyum membayangkan karyawan itu, bagaimana bisa ia memiliki sebuah mini cooper jika gaji karyawan dicabang saja tidak pernah melebihi karyawan di pusat. Mungkin karyawan itu sudah kaya dari sebelum ia bekerja di sini. Karena mobil yang ia pakai adalah tipe Mini 5- Door dengan harga termurahnya saja 845 juta, Dan tipe termahalnya tembus di angka 1 milyar.

Ketika aku fokus pada mobil itu, tiba-tiba sosok orang yang mirip dengan wanita yang selalu menghiasi pikiranku keluar dari mobil itu dengan rambut di urai dan membawa name tag ditangannya.
Aku harus mengucek mata dengan kedua tangan berkali kali. Apakah aku sedang bermimpi atau aku justru sedang berhalusinasi?

Apakah betul itu Deva? tapi jika Deva bekerja di sini, aku tidak pernah melihatnya selama 1 bulan kamarin ataukah Deva karyawan baru di sini? Cepat-cepat aku turun dari Buggati dan berlari mengejarnya, namun nihil, aku sudah tidak menemukan Deva dimana pun itu. Dengan berat hati aku menuju lift khusus pimpinan untuk menuju ruang kerjaku.

Untuk saat ini Deva harus aku singkirkan dari dalam benakku karena aku harus memfokuskan diriku pada data closing kemarin dan menganalisanya untuk menentukan rencana bisnis kedepannya.

***

Aku langsung masuk ke ruanganku. Aku memang terbiasa berangkat pagi bahkan sebagian besar karyawan disini belum datang, namun boss-nya malah sudah datang duluan. Benar-benar sesuatu yang tidak patut di contoh.

Aku langsung membuka laptopku dan memfokuskan diriku pada setumpuk pekerjaanku hingga akhirnya hampir tiba jam makan siang.

Aku biasanya hanya menitip membeli makanan kepada Dewi, sekertaris plus asistenku selama aku berkantor di Jogja, karena aku malas keluar kantor jika itu tidak penting sekali.

Tokk....

Tokk ...

Tokk ....

"Masuk "

"Permisi, Pak, sebentar lagi jam istirahat, bapak mau nitip makan saya atau keluar sendiri?"

"Kamu hari ini rencana mau beli makan apa Wi?"

"Nasi Padang Pak, bapak mau nitip?"

"Ya sudah nggak pa-pa, nasi rendang aja, Wi, tapi belinya ditempat yang higienis ya?"

Aku melihat Dewi mendengus setiap aku selalu bilang kepadanya untuk menitip membeli makanan, namun aku selalu berpesan untuk mencari tempat yang higienis dan bersih. Dan sesebal sebalnya Dewi, ia akan tetap melayaniku sesuai dengan standarku. Tapi aku harus putar otak jika sebentar lagi Dewi akan mengambil cuti melahirkan.

"Baik, Pak."

Dan dengan itu, berlalu lah Dewi dari hadapanku dan pintu ruangan kantorku tertutup kembali.

***

Aku menatap laporan rugi laba bulan lalu yang saat ini sudah masuk ke emailku. Dan sepertinya aku harus melakukan meeting dengan jajaran accounting di cabang Jateng selatan ini karena nilai profit yang dicapai dibawah standar, belum lagi cost-cost yang cukup tinggi. Aku harus mengevaluasinya kembali dengan mereka semua.

Untuk membuat janji meeting besok pagi aku menghubungi line Dewi, agar ia menginfokan tentang jadwal meeting tersebut ke jajaran accounting. Aku meminta Dewi membuatkan jadwal meeting pukul 09.00 WIB dan tidak boleh ada yang telat. Karena aku sangat tidak menyukai orang yang tidak tepat waktu, apalagi itu urusan pekerjaan. Coba bayangkan saja jika ia telat sehari 10 menit dalam waktu enam hari berturut turut, jika hari kerja misalnya  6 hari, maka ia sudah telat 60 menit. Itu sangat tidak profesional sekali, waktu 60 menit alias 1 jam itu begitu berharga untuk bekerja dan ia membuang buang waktu itu hanya karena ketidak disiplinannya.

Karyawan seperti itu harus diberikan SP bukan cuma SP satu, namun bisa langsung SP3 sekaligus.

***

PART 16

"Kerja keras bagai kuda, demi loyalitas tanpa batas."

- Adeeva Abriana Utama -

🦋🦋🦋

Deva POV

Hari pertama kerja, harapanku adalah bisa pulang dengan on time, tepat waktu, pukul 17.00 WIB cus, cabut, lungo, minggat dari kantor. Tapi kenyataannya kini aku terkurung dimeja kerjaku dengan analisa data laporan rugi laba tahun lalu, ditambah dengan analisa laporan bulan berjalan, bahkan evaluasi cost-cost alias biaya semua akun.

Gebleg banget kaboss baru, kenapa juga laporan Rugi laba tahun lalu dia minta di analisis? seperti hidup dimasa depan tapi mengungkit ungkit masa lalu. Kalo seperti ini kapan maju.

Kepalaku yang 2 bulan santai tiba-tiba langsung digas, berakhir dengan migrain malam ini. Buruknya aku masih dikantor bersama Clara, Sinta dan Tora hingga pukul 20.00 WIB.

"Guys, notol dulu, yuk," kata Clara pada aku dan Tora.

Notol adalah bahasa Clara yang berarti makan dan kini sudah seperti bahasa harian bagi kami di kantor.

"Tanggung nih, kerjaan gue belum selesai, besok pagi kita meeting sama kaboss," kataku sambil menatap akun-akun berkepala 2 alias piutang.

"Kalo kerjaan kita selesai, Kawindra Group bangkrut, Dev," Tora sudah mulai menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi kerjanya.

"Bener juga lo, gue doain bangkrut aja kali ya? biar dapat pesangon gue," Kataku sambil terkekeh.

"Lo enak, anak sultan, kagak usah kerja juga hidup lo terjamin sampai tua."

Nguiiinnggg.....

Bug.....

Aku melempar stabilo ke meja Sinta.

"Diem lo lambe," kataku memperingatkan Sinta.

"Ya sudah, yuk, buruan turun dulu, pecel lele depan sudah rada sepi juga," ajak Clara kepada kami dan kami ikut ke bawah.

***

Aku melirik jam dinding di belakang kubikel dan sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Ketiga temanku sudah mengibarkan bendera putihnya pada pukul 22.00 WIB, namun aku tetap mau menyelesaikan apa yang menjadi tanggung jawabku dan kini semua baru selesai di hampir tengah malam.

Aku membereskan semua yang ada di mejaku dan kemudian aku menjinjing tasku untuk turun ke bawah. Dibawah aku masih melihat sebuah mobil sport terparkir disana.

Tiba-tiba aku teringat pada cowok nyebelin yang membuatku ingin mementung kepalanya setiap aku mengingatnya. Dia pernah bilang jika aku melihat Buggati chiron dan Buggati Veyronnya maka aku akan pingsan, yang benar saja? aku tidak seudik itu hanya dengan melihat hal yang sebenernya sudah lumrah dilingkungan aku di besarkan. Hanya saja memang aku ingin hidup tanpa embel-embel nama besar orang tuaku. Untungnya aku memiliki orang tua yang membebaskan anaknya memilih apapun di hidupnya. Seperti kakakku yang pertama lebih memilih menjadi dokter spesialis jantung, kakak keduaku yang kembar memilih untuk menjadi pilot dan terpaksa kakakku yang satu lagi terjun meneruskan bisnis Papa, walau Papa masih berkecimpung disana, tapi kakakku telah dipersiapkan untuk menggantikan posisinya kelak.

Tiba-tiba HP-ku berdering dan nama "istanaku" muncul di sana. Tanda telepon itu dilakukan dari rumah almarhumah Eyang Putri. Aku segera mengangkatnya.

"Hallo."

"Hallo, Non Deva, kok belum pulang?"

"Bentar ya, Mbok, ini baru mau masuk ke mobil. Aku lembur tadi."

"Ya sudah, Mbok Yah tunggu. Hati-hati dijalan."

"Ya, Mbok."

Panggilan itu datang dari asisten rumah tangga almarhumah Eyang putri yang sudah bekerja di keluargaku selama lebih dari 35 tahun. Walau aku harus menyewa jasa bersih-bersih beberapa minggu sekali karena tidak mungkin Mbok Yah akan sanggup membersihkan dengan benar seluruh rumah Eyang yang segede lapangan itu dengan usianya yang sudah lanjut.

Setengah jam kemudian aku telah sampai di rumahku yang berada didaerah jalan Palagan Tentara Pelajar. Buru-buru aku keluar dari mobil dan menuju kamarku di lantai dua, kemudian mandi dengan air hangat. Selesai itu aku harus mengecek kembali email dari admin toko oleh-oleh, tentang laporan penjualan harian. Aku baru bisa merasakan kantuk menyerangku ketika pukul 2 dini hari.

***

Tok.....

Tok.....

Tok......

"Non, non Deva bangun, berangkat kerja atau libur, Non?"

Suara ketukan pintu dan suara Mbok Yah di luar kamarku membuatku mengerjapkan mataku pagi ini.

"Masih ngantuk, Mbok, ini jam berapa?"

"Jam delapan, Non."

Seketika mataku melebar selebar piring makan.

Mampus....
Gue telat !!
Meeting gue jam 9 pula.

Tanpa menunggu nyawaku terkumpul setelah jalan-jalan dialam mimpi semalam, aku menuju kamar mandi dan mempersiapkan diriku secepat yang aku mampu. Setengah jam kemudian aku sudah turun dari kamarku, menuju garasi mobil.

Aku memasuki mini Cooper biru dan pagi ini aku harus berjibaku dengan warga jogja untuk dapat sampai di kantor sebelum pukul 09.00 WIB.

Bagai sudah jatuh masih tertimpa tangga, sudah bangun telat, pagi-pagi macet di ring road andai saja aku punya pintu ajaib maka aku tidak akan telat pagi ini. Dan sesuai dugaan kali ini aku telat 15 menit karena aku baru tiba pukul 09.15 WIB.

Aku berlarian secepat yang aku bisa menuju ruang meeting.

Tokk.....

Tok.....

Tokk.....

Aku mengetuk pintu dan tanpa ada yang menjawab atau membukakan pintu, aku masuk ke ruang meeting kantorku.

Ketika aku sudah sampai didalam, aku tutup pintu ruang meeting kembali. Aku masih berdiri di tempatku, belum beranjak untuk duduk.

"Permisi, maaf saya telat," Kataku sambil menundukkan wajah karena takut dan malu kepada kaboss.

"Kenapa kamu bisa telat?" Tanyanya tegas, yang bisa membuatku bergidik dan merinding ditempatku berdiri.

Aku mengangkat wajahku dan ketika aku menghadap kedepan untuk menatap orang yang mengajakku berbicara, tiba-tiba aku serasa dihujani petir pagi ini.

Duarr.....duar...duar.....

Laki-laki yang sedang berdiri di dekat papan tulis itu membalikkan dirinya bersamaan dengan aku mengangkat wajahku.

Ya Tuhan....
Dosa apa yang aku perbuat hingga aku bertemu dengan dirinya disini dan diruangan meeting yang hanya ada aku, Clara, Sinta, Tora, Mbak Dewi dan Dia, setan alas yang selalu berusaha aku hindari ini.

"Deva...."

"Fabian ...."

Gumam kami bersamaan yang membuat peserta meeting yang lain memandang kami penuh tanya namun tetap bungkam.

Kini mataku dan matanya sama-sama terfokus satu sama lain. Aku sudah tidak sanggup berdiri dengan tegak saking shocknya, tubuhku sudah terhuyung kebelakang dan menabrak pintu dibelakangku.

Aku masih tidak bisa bereaksi apa-apa. Suasana berubah menjadi seperti di kuburan, suara Fabian yang dari luar tadi aku dengar cukup mendominasi dan banyak berbicara ini itu tentang bahasan meeting pagi ini, sekarang hilang sudah. Ia diam seribu bahasa di tempatnya. Memandang diriku dengan tatapan yang aku sendiri tidak bisa mengartikannya.

Ketika aku menyadari Fabian berjalan mendekat ke arahku, reflek aku membuka pintu ruang metting itu dan menutupnya dengan keras, aku berlari secepat mungkin meninggalkan Fabian menuju ke toilet wanita kantorku. Aku melesatkam diriku di depan wastafel, aku basuh wajahku, berharap semua ini hanya mimpi karena jam tidurku yang kurang. Namun ketika aku membuka pintu toilet wanita dan aku menemukan Fabian telah menungguku di luar sambil menyedekapkan tangannya, akhirnya aku sadar jika ini bukan mimpi, tapi kenyataan yang menamparku kalo Fabian sekantor denganku dan lebih parahnya aku baru menyadari pula jika Kaboss alias Kawindra boss adalah Fabian. Orang yang aku harap tidak akan pernah bertemu lagi dengannya, kini harus aku hadapi lagi.

Ya Tuhan.....
Aku merasa duniaku gonjang ganjing, karena Fabian tidak pernah membuat hidupku tenang sepanjang aku mengenalnya.

***

PART 17

"Jodoh itu di kejar, bukan di tunggu."

- Fabian Alaric Kawindra -

🦋🦋🦋

Fabian POV

Selama aku hidup hampir seperempat abad ini. Aku termasuk orang yang tidak percaya bahwa jodoh akan datang sendiri. Aku selalu yakin jika jodoh harus selalu di kejar, kalo perlu diburu hingga kita mendapatkannya. Dan inilah yang terjadi padaku saat ini. Saat ini akulah pemburu Deva dan Deva adalah buruanku. Ketika dia hadir di depan mataku dan diruang meeting kantor, maka aku tidak akan melepaskannya.

Persetan dengan tatapan para karyawan accounting yang akan menggunjingkan hubunganku dan Deva. Toh, di depan keluarganya yang hadir di pernikahan Lionel dan Sekar, aku dan Deva adalah pasangan walau itu hanya jadi jadian. Yang penting Aku pasangannya, terserah Deva menganggap diriku sebagai apa, bagiku Deva pacarku. Karena aku tidak pernah mau memutuskan hubunganku dengannya walau itu hanya bohongan.

Aku mengejar Deva yang berlari menuju toilet wanita. Sial! Aku tidak mungkin masuk kesana. Oleh karena itu aku menunggunya di luar pintu toilet, cukup lama aku menunggu, hingga akhirnya pintu itu terbuka dan kini wanita yang menghiasi pikiranku sedang berdiri dengan mata membelalak didepan diriku. Aku maju mendekatinya dan aku peluk Deva sebelum dirinya bisa menolak diriku.

"Akhirnya gue ketemu sama lo lagi. Gue sudah nyari lo ke mana-mana, taunya Lo sekantor sama gue,l" kataku masih sambil memeluk Deva.

Deva masih diam mematung tidak memberikan respon apapun padaku. Hingga akhirnya aku mengurai pelukanku pada Deva dan wajah Deva masih terlihat shock, campur kaget, tapi sorot matanya seolah olah ingin membunuhku.

"No...no...no.... Di sini lo nggak bisa gulingin gue. Gue boss lo."

Aku mengutarakan ketakutanku padanya, namun Deva hanya menoleh kearah kiri dan memamerkan senyumnya. Aku mengikuti arah pandang Deva. Dan aku terpaksa mengumpat.

Oh shitt!!!

Bagaimana bisa di jam kerja, para karyawan Kantor justru mengintip aku dan Deva. Apa pekerjaan mereka sudah selesai semua? Aku yakin sebentar lagi aku dan Deva akan menjadi tranding topic dikomunitas gosip Kawindra Group.

"Kalian ngapain disini? Balik ke tempat kalian masing-masing."

Dan akhirnya aku mengirim mereka semua untuk pergi dari hadapanku tapi tiba-tiba aku harus menarik lengan Deva.

"Lo di sini aja, urusan kita belum selesai."

Enak saja Deva mau kabur lagi dariku. Dia tidak tau apa, aku sudah kalang kabut mencarinya kemana mana.

"Kerjaan saya juga belum selesai, Pak."

Oh, Deva sedang memasang "mode" sebagai karyawan dan pimpinan. Okay, aku akan meladeninya karena ini justru keuntungan bagiku. Karena dia tidak akan memanggilku "lo-gue".

aku membungkukkan badanku agar sejajar dengan wajahnya yang terlihat begitu innocent dan tidak pantas di miliki oleh wanita berusia 28 tahun lebih.

"Kerjaan kamu meeting sama saya dan anak anak accounting. Kamu harus presentasi atas hasil kinerja kamu."

Setelahnya aku berlalu mendahului Deva. Aku menyunggingkan senyumku. Akhirnya, apa yang aku harapakan terwujud. Memang kerja keras tidak pernah mengkhianati hasil.

Ceklek....

Aku membuka pintu ruang meeting dan dengam terpaksa "arisan" di ruang meeting dibubarkan sementara berikut gosip hangat yang sedang beredar, tidak lama setelah aku masuk Deva ikut memasuki ruangan meeting.

Hari ini Deva mengenakan blazer kotak-kotak dan rambut di gerai. Oh Tuhan, keimutannya membuatku ingin menjadikannya milikku.

"Okay, saya butuh presentasi tentang laporan analisis rugi laba tahun lalu, karena saya mau membandingkan pencapaian semester satu tahun ini dengan tahun lalu."

Aku melihat Deva berdiri dan mencari sambung USB yang akan ia sambungkan ke laptopnya. Setelah Laptopnya terhubung ke proyektor, kini Deva memulai presentasinya.

"Selamat siang, pertama tama saya meminta maaf karena saya telat pagi ini dan meeting menjadi terkendala karena kesalahan saya. Dan saat ini saya, Adeeva Abriana, selaku accounting jateng selatan akan mempresentasikan analisis laporan rugi laba tahun 2020."

Aku memperhatikan Deva yang sepertinya berusaha sekuat tenaga untuk tidak salting di bawah tatapanku kali ini. Sejujurnya aku sendiri juga berusaha fokus mati matian pada pekerjaanku, padahal yang aku inginkan adalah menanyakan keadaannya selama ini. Bagaimana ia menjalani hidupnya? Siapa tau dia khilaf lagi sampai meminum racun serangga dan pestisida mungkin.

"Pencapaian semester satu dari bulan januari hingga Juni 2020 untuk laporan R/L Masih menunjukkan profit, hanya saja cost cost beberapa post memang terjadi perubahan-perubahan seperti untuk biaya operasional yang sedikit membengkak di divisi perhotelan karena biaya bensin marketing yang samakin besar, untuk piutang ada beberapa tagihan dari Kawindra Group keluar yang belum dibayarkan hingga sekarang. Karena perusahaan yang kita tagih tersebut sudah dinyatakan pailit, diakhir tahun atas tagihan tersebut kami memasukkan ke pengurang profit bulan Desember, sehingga tahun ini sudah tidak masuk hitungan kembali."

Deva terus mempresentasikan tentang pekerjaannya dan aku juga sudah menangkap apa yang aku inginkan.

"Okay, untuk hari ini cukup. Terima kasih atas loyalitas kalian kepada perusahaan. Sekian, selamat bekerja kembali."

Biasanya aku akan keluar lebih dulu, namun tidak kali ini, ketika satu persatu karyawanku meninggalkan ruang meeting , aku sengaja menunggu Deva yang terakhir keluar karena membereskan sisa presentasinya.

"Dev."

"Hmm."

"Kalo diajakin ngomong liat muka orangnya dong."

"Takut khilaf saya, Pak."

"Saya nggak nolak kok kalo kamu mau khilaf ke saya."

Kini Deva mengangkat wajahnya.

"Yakin nggak nolak kalo saya jadiin samsak?"

Belum sempat aku membalas Deva sudah ngacir duluan dari hadapanku.

***

PART 18

"Gaji itu nomer 2, kenyamanan saat kerja itu nomer 1."

- Adeeva Abriana Utama -

🦋🦋🦋

Deva POV

Andai aku bisa, saat ini aku pasti sudah mendaftarkan diriku dan pindah ke bikini bottom. Hidup bersama Spongebob, Patrick dan Squidward masih lebih baik daripada hidup di bawah satu atap selama minimal 8 jam sehari pada hari kerja, lima hari dalam seminggu bersama Fabian.

Fabian, laki-laki yang selama ini aku anggap sebagai seorang boy toy, yang sudah pernah membuatku bokek hanya karena sebuah candle light dinner, kini muncul di hadapanku, sebagai bossku, lebih tepatnya CEO perusahaan tempatku bekerja.

Jika Fabian adalah CEO ku berarti dialah anak tunggal almarhum Ferdian Kawindra yang merupakan salah satu konglomerat dan namanya sudah langganan masuk dalam jajaran orang orang tajir melintir di daftar majalah bisnis selama bertahun-tahun ini. Itu menjelaskan mobil sport hijau yang Fabian gunakan di Bali dulu. Dan pantas saja restoran favoritnya harga makanannya bisa membuatku sesak nafas.

Aku berjalan keluar ruang meeting dan menuju kubikelku. Dan sesuai dengan apa yang aku pikirkan, kini teman-teman satu divisiku sedang menatapku dengan tatapan penuh tanya serta menyelidik. Tidak perlu jadi peramal untuk tau apa yang mereka inginkan dariku. Yang jelas mereka menginginkan penjelasan masuk akal atas apa yang tadi Fabian lakukan kepadaku.

Oh shitt !!!

Makan siang hari ini aku harus ngacir jauh dari kantorku, secepat otakku bisa berfikir dan tanganku bisa bereaksi, kali ini jariku telah menekan panggilan cepat di nomer 1 yang aku setel sebagai panggilan cepat ke Nada.

Tutt......

Tuttt.....

Tutt....

"Ya, Dev, ada apa?"

"Lunch hari ini kita ke amplaz aja ya, Nad? Gue jemput lo."

"Tumbenan lo ngajakin gue? pasti ada sesuatu."

"Nanti juga lo tau sendiri. Gue jemput ya, jam 12 lo sudah di loby kantor ya? Biar nggak kelamaan."

"Iya, bayarin ya?"

"Yang gajinya gede siapa? yang minta gratisan siapa?"

Aku mendengar Nada tertawa dengan laknatnya ditelepon kali ini. Aku hanya bisa pasrah mendengarnya.

"Ya sudah, gue lanjut kerja dulu. Nanti kita ke pempek Ny. Kamto aja ya?"

"Okay, kemana aja gue ikut, kan, gratisan. Bye, Dev."

"Bye, Nad."

Kemudian aku mematikan teleponku. Dan kembali fokus kepekerjaanku untuk menjurnal atas transaksi transaksi hari kemarin. Ingin aku abaikan getaran HP-ku yang terus bergetar diatas meja kerjaku. Ketika aku melirik grup Telegram kantorku itu, isinya sudah heboh mengabsen diriku untuk memberikan konfirmasi atas hubunganku dengan Fabian. Namun sayangnya aku memang tidak berniat memberi penjelasan apapun kepada mereka semua.

Ketika jam sudah menunjukkan pukul 11:50 WIB, aku turun ke parkiran mobil kantor, dan aku harus lari secepat kaki pendekku ini mampu, karena aku mendengar Fabian memanggilku dari belakang. Setelah berhasil mendudukkan diriku dibelakang kemudi mini Cooper, aku langsung tancap gas ke kantor Nada.

Pukul 12.10 WIB aku sudah berhasil mengangkut Nada ke dalam mobilku dan aku melajukan mobilku ke arah jalan Laksda Adisucipto menuju Ambarukmo plaza.

Setelah berhasil memarkir mobil aku dan Nada menuju lantai atas untuk langsung makan pempek. Tidak ada lirik kanan kiri untuk sekedar shopping atau cuci mata. Setelah kami memesan pempek, aku memperhatikan Nada yang sedang menatapku dalam seakan ia menunggu penjelasan dariku.

"Nad, gue sekantor sama Fabian."

Bbuurr.....

Nada telah menyemburkan minuman yang sedang ia minum ke arahku. Kamprett memang si Nada.

"Nad, lo bukan mbah dukun yang perlu sampai sembur-sembur air dari mulut. Nggak ngefek tau ke gue."

"Sorry, Dev. Lo serius?"

Aku hanya menganggukkan kepalaku.

"Lebih parahnya lagi, Fabian itu atasan gue, dan CEO Kawindra Group yang baru."

"Hah?! Lo kalo bercanda kira-kira lah, Dev."

"Lo nggak lihat muka gue serius gini?" Aku menunjuk wajahku dengan jari telunjuk.

"Kok bisa sih, Fabian jadi CEO KG yang baru?"

"Ya bisalah, dia anaknya Ferdian Kawindra. Anak tunggalnya lagi."

Aku mengembuskan nafasku pasrah.

"Nad, gue mau resign aja."

"Kenapa harus resign?"

"Gue nggak merasa nyaman lagi di sana."

"Dimana mana rasa kerja ikut orang itu sama, Deva. Sudah lo nikmatin aja yang ada sekarang. Lagian cari kerja susah, gaji lo di sana sudah lumayan, mana lo juga sudah kartap*." (*Karyawan tetap )

"Buat gue gaji nomer dua, kenyamanan saat kerja itu yang nomer 1."

"Terserah lo, Dev, gue cuma mau Lo jalani aja, lagian lo kan masih butuh Fabian buat diajak ke acara keluarga Mama Lo, empat bulanan Sekar."

Aku hanya bisa mengangguk Lo, jika aku mengingat telepon dari Sekar seminggu yang lalu untuk hadir di acara syukuran empat bulanan sekar yang di adakan di semarang dua minggu lagi, rasanya aku ingin kabur dari kehidupan ini , kenapa juga Lionel harus menikah dengan anak sepupu Mama. Aku tau Sekar menyuruhku mengajak Fabian karena permintaan Lionel, karena Lionel curiga jika aku dan Fabian hanya pasangan jadi jadian bukan nyata dan itulah kenyataannya.

"Gue nggak mau datang."

Akhirnya pempek yang ditunggu tunggu telah datang, kami menikmati pempek sambil membicarakan hal ini. Maklum jam istirahat mepet dan kami harus sampai kantor pukul 13.00 WIB.

"Lo harus datang demi harga diri lo. Kalo perlu lo tenteng Fabian kemana pun lo jalan. Jangan lupa kalo ditanya Fabian kerjaannya apa? jawab CEO Kawindra Group dengan sombong. Biar mereka shock."

"Lo kalo mau buat orang jantungan pinter banget, Nad, apalagi hal-hal beginian. Tapi gue nggak mau urusan sama Fabian lagi."

"Lo mau atau nggak tetep cuma Fabian, kan, dia yang dikenalin di Bali sebagai pacar lo."

"Sudahlah pikir besok aja, gue sudah kenyang, yuk pulang?"

"Pempek gue belum habis."

"Nanti lo go-food aja, gue buru-buru, nanti telat lagi gue ke kantor."

Aku menyeret Nada untuk berdiri dan jalan menuju parkiran mobil. Sepanjang perjalanan mengantarkan Nada ke kantornya aku memilih diam karena Nada sibuk bertelepon ria dengan Raka, boss-nya. Sedangkan aku, selain sibuk memanuver mobilku dipadatnya jalan raya, aku juga sambil berfikir tentang pengajuan pengunduran diri. Karena aku merasa tidak nyaman berada didekat Fabian. Tapi kerja di KG atau tidak, pada kenyataannya aku tetap membutuhkan Fabian untuk menjadi pasangan bohonganku ditasyakuran kehamialn Sekar 2 minggu lagi.

Nasib ... Nasib....Gini amat sih apesnya sejak gue gagal nikah....

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
#Defabian
Selanjutnya #DeFabian Part 19-52 (Tamat)
7
0
Sebaiknya baca Part 1-18 terlebih dahulu (Free)Setelah 15 tahun bersamanya, dan tiba tiba aku harus kehilangan dia, aku seperti kapal yang sedang oleng. Mencoba bertahan dan mewarnai hidupku kembali tanpanya sungguh perjuangan yang tidak mudah. Ketika aku sudah menemukan ketenangan hidup, kenapa justru ada pengganggu yang tidak lain adalah boss ku sendiri. Seorang berondong yang usianya hampir 4 tahun di bawahku, dengan segala keanehan perilakunya.  -Adeeva Abriana Utama.- *** Muda, Tampan, Pintar, berbonus Kaya. Itulah aku. Dengan kesempurnaan hidup itu aku tidak pernah menemukan penolakan, apalagi kegagalan. Tapi ketika hatiku tertambat padanya, aku sadar, dialah orangnya. Semua yang aku miliki tidak ada artinya. Luka yang ada di hati juga matanya sangat jelas terlihat. Deva, ijinkan aku menjadi pelangimu, ijinkan aku mewarnai hari harimu.  - Fabian Alaric Kawindra -
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan