#ArjuNada Part 1-20 Gratis

10
2
Deskripsi

Sebagai perempuan modern yang sukses dalam karier, dijodohkan adalah sesuatu yang sangat konyol dalam hidupku. Tapi ketika aku mulai mengenalnya apakah aku sanggup untuk mengubah semuanya, termasuk pandangan hidupnya tentang hubungan dan pernikahan?

- Sharenada Raharja -

***

Kata orang menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kalo nasibku memang harus menikah dengannya apakah harus aku terima? 
padahal aku tidak memiliki  kemampuan untuk mencintainya, dia yang sempurna tak kurang satu apapun sebagai istri idaman.

- Arjuna Harvito Widiatmaja -

#ARJUNADA PART 1

Sharenada Raharja POV

Siang ini kakiku berlarian secepat yang aku bisa dengan memakai high heels setinggi 5 cm menyusuri lorong sebuah rumah sakit di Jogja menuju ruangan the ultimate value setelah aku meninggalkan ruangan rapat kantor pukul 10.00 WIB, karena Lulu sekretarisku menginformasikan bahwa Eyang terkena serangan jantung dan sedang dilarikan ke rumah sakit. Ketika sampai di depan kamar tersebut, aku membuka pintu ruangan itu dan di dalam terlihat Mama dengan keadaan mata sembab, yang aku tau karena efek tangisannya. Ada Papa yang setia disisinya sambil memeluk Mama, ada kakakku, Adam yang sedang berdiri sambil bersedekap memandang Eyang yang sudah berbaring menggunakan segala macam alat yang tidak aku tau fungsinya.

"Ma, gimana keadaan Eyang sekarang?" Tanyaku sambil berjalan mendekati kedua orangtuaku dan menyalaminya

"Kata dokter kondisinya sudah stabil, Nad tapi nggak boleh banyak pikiran atau masalah yang membuat Eyang tertekan."

"Memang Eyang punya masalah apa, Ma? kok sampai kaya gini?"

"Mungkin karena Mama kemarin menentang keinginan Eyang buat jodohin kamu sama Juna. Jadinya Eyang sedih, kepikiran, karena dia sudah janji sama bude Ningrum, buat jodohin kamu sama cucunya kalo kalian sudah dewasa."

Deg...
Aku merasa kini justru jantungku yang berhenti sepersekian detik mendengar kata kata Mama. Apa mama bilang, "dijodohin" yang bener aja, sudah tahun 2021 kok masih mau menganut jaman Siti Nurbaya aja si Eyang. Mamaku memang hebat, sudah berani menentang keinginan Eyang, tapi kalo ujungnya Eyang seperti ini, aku yakin Mama pasti menyesali keputusannya. Sedangkan aku? Aku sudah memiliki kekasih bernama Aldi yang aku pacari sejak 2 tahun yang lalu.

"'Kan semua juga tau kalo aku sudah punya pacar Ma, ya aku nggak bisa kalo harus sama Juna. Lagian aku nggak kenal sama dia."

"Tapi Nad, sekarang yang terpenting itu kesehatan Eyang, bukan apa yang kamu mau," Adam menatapku dengan tatapan elangnya itu.

"Ya kalo gitu, lo aja kali, Dam yang nikah sama si Juna, gue mah ogah," kataku setelah itu aku meninggalkan ruangan ini karena aku yakin aku akan meledak bila terlalu lama berada di sini.

Dalam keadaan siaga satu seperti ini, satu satunya yang terlintas dikepalaku adalah segera menemui Aldi untuk memaksanya segera melamar dan menikahiku. Terserah Aldi siap tidak siap, hanya itu bukti kesungguhan Aldi dalam menjalin hubungan denganku. Toh usia kami yang sudah 28 tahun bisa dikatakan cukup matang untuk berumah tangga.

Karena aku tau Aldi sedang pulang ke Jogja, aku lajukan mobilku menuju rumahnya di daerah Godean. Ketika sampai di depan perumahan rumah Aldi, aku langkahkan kaki memasuki halaman rumahnya dan karena ingin memberi kejutan pada Aldi, aku membuka pintu rumah itu dengan kunci yang pernah Aldi berikan padaku. Kondisi rumah ketika aku memasukinya sangat sepi, tapi aku tau Aldi ada dirumah karena mobilnya ada di Garasi.

Ketika aku semakin masuk ke ruangan tengah, sayup-sayup aku mendengar suara desahan, erangan, rintihan dan itu suara wanita. Aku mencari sumber suara itu dan aku temukan sebuah kamar di pojokan dekat dapur. Pelan-pelan aku coba membuka pintu kamar itu dan hari ini mataku ternodai dengan adegan doggy-style di atas ranjang antara Aldi dan seorang wanita yang aku kaget setelah aku perhatikan lebih teliti ia adalah sekretaris Aldi di kantor.

Ya Tuhan,
aku tak mampu berkata kata, aku hanya bisa melongo, hingga Aldi menyadari kehadiranku. Kakiku terpaku, aku merasa saat ini aku merasa jadi patung.

"Nada?" Mata Aldi sudah selebar piring ketika menyadari keberadaanku. Aku masih diam ketika melihat Aldi turun dari kasur dan mencoba memakai pakaiannya. Aku yang tersadar atas semua kejadian ini segera berlari meninggalkan rumah Aldi secepat yang aku bisa. Sayup-sayup aku mendengar Aldi memanggil manggil namaku namun aku terus mengabaikannya.

Aku lajukan toyota prius biruku sekencang mungkin meninggalkan daerah jalan Godean yang aku tau tidak akan bisa sangat kencang karena ramai. Entah kenapa, aku wanita yang jarang sekali menangis bisa menangis kali ini. Tumpah ruah sudah semua tangisanku di mobil siang ini.

Dari semua kejadian kali ini, yang aku syukuri hanya satu, aku masih bisa mempertahankan kehormatanku selama aku berhubungan dengan Aldi. Melihat kejadian kali ini seolah aku merasa jika Eyang yang tidak pernah menyetujui hubunganku dengan Aldi adalah sebuah petunjuk bila Aldi memang bukan orang yang baik dan itu terbukti dengan adegan 21 tahun keatas yang aku tonton tadi.

***

Arjuna Harvito Widiatmaja POV

Hari ini Eyang memaksaku untuk mengunjunginya di rumah keluarga. Satu hal yang aku tau tentang Eyang adalah pasti ada sesuatu yang Eyang inginkan dariku. Karena aku mengetahui sifat Eyang ini, aku memutuskan untuk tidak pernah menemuinya bila itu bukan hari raya idul Fitri. Tapi asistenku sejak siang sudah bolak balik mengkonfirmasi bila ini sangat penting dan menyangkut hidup dan mati seseorang. Okay, memang kadang Eyang suka melebih lebihkan sesuatu. Tapi Dimas tidak akan berhenti menerorku di telepon atau memasuki ruanganku bila aku tidak segera menuruti keinginan Eyang.

Pukul 17.00 WIB sengaja aku meninggalkan kantor tepat waktu, karena harus menuju ke rumah Eyang di daerah sekitar Wijilan. Setelah perjalanan hampir satu jam dari kantorku karena macet jam pulang kerja, aku memasuki halaman rumah Eyang yang begitu rapi dan asri.

"Den Juna sudah datang. Monggo, Den Monggo, sudah ditunggu sama Ndoro."

"Ya Mbok, saya ke dalam dulu, ya."

Memasuki rumah Eyang yang bergaya tradisional modern ini membuatku teringat masa kecil yang sering aku habiskan ditempat ini jika Papa ada urusan diluar kota atau luar negri. Aku ucapkan salam ketika aku melihat Eyang yang dibalas dengan senyumannya yang sangat mencerminkan senyum seorang Ningrat. Eyang yang memakai kebaya, jarik dan rambut di sanggul masih menampakkan keanggunannya di usia
75 tahunan. Ketika aku mulai duduk, Eyang tanpa basa basi langsung menembakkan rudalnya kepadaku. Karena Eyang cukup tau aku tipikal orang yang tidak suka berbasa basi

"Jun, kamu sudah punya calon belum?"

"Calon apa Eyang?" Tanyaku balik sambil tertawa karena aku sudah menduga duga ujung dari pembicaraan absurd ini.

"Calon istri."

Aku yang tidak ada keinginan untuk menikah atau terikat dalam suatu hubungan jelas sekali tidak memiliki calon dan aku tau maksud Eyang ini apa.

"Kayanya lebih baik Eyang cariin istri dulu buat Papa, biar Papa nggak kesepian. Juna masih fokus sama kerjaan dan nggak ada waktu buat urusin istri."

"Oh ya, kamu bilang nggak ada waktu? Tapi Eyang tau kamu baru balik dari Semeru 'kan minggu lalu? Apa kamu nggak bosen naik turun gunung? ingat Juna umurmu sudah hampir kepala tiga."

Aduh...
si Eyang tau dari mana pula kalo aku barusan mendaki lagi? Mendaki adalah sebuah hoby yang sudah aku geluti sejak SMA karena aku merasa gunung adalah tempat yang tepat untuk melepas penatku selama ini.

"Baru 28 tahun lebih sedikit Eyang."

"Terserah, karena Eyang tau kamu itu paling seneng ngapelin monyet gunung, makanya Eyang carikan kamu jodoh dari bangsa manusia bukan primata."

Aku tertawa mendengarnya.

"Emang eyang mau jodohin aku sama siapa? Emang dia mau sama laki-laki modelan aku gini?"

"Sama Nada. Sharenada Raharja."

Aku kaget mendengar namanya. Sharenada Raharja. Nama perempuan yang sering disebut-sebut oleh teman temanku ketika SMA dulu. Anak sekolah sebelah yang dulu katanya berbody tinggi semampai bak super model, berkulit eksotis, ramah dan pintar. Sempurna, beda dengan aku yang seperti ini adanya.

"Pokoknya Juna nggak mau, terserah Eyang mau gimana, biar dia buat Papa aja. Papa 'kan awet muda juga. Mukanya mirip Chuando Tan begitu. Orang nggak akan percaya kalo Papa sudah 55 tahunan."

Setelah menolak dengan mentah-mentah usul Eyang itu, aku keluar dari rumah Eyang dan pulang menuju Temanggung, karena aku memang lebih memilih untuk tinggal di sana. Disebuah kota kecil di kaki gunung Sindoro dan Sumbing yang masih asri dan sejuk.

***

#ARJUNADA PART 2

Sharenada Raharja POV

Tiga hari sudah kondisi Eyang stabil tapi tidak ada perbaikan dan sudah tiga hari pula Aldi menerorku tanpa henti. Di hari pertama Aldi menelepoku tanpa henti dan hingga datang ke rumah. Hari kedua Aldi lebih gila lagi menerorku hingga sampai ke kantor serta juga ketiga sahabatku. Robert, Deva dan Salma pun tidak luput dari terornya hingga akhirnya kami semua memBlokir kontak Handphone Aldi secara berjamaah. Di hari ketiga ini saat aku sampai di depan gerbang rumah aku mememukan Aldi sudah berdiri di sana sehingga aku melajukan mobil meninggalkan rumah lagi. Setelah aku ingat-ingat kembali ternyata aku belum mengatakan kata putus padanya, sehingga aku memutar kemudiku kembali masuk ke jalan menuju rumah. Aldi masih berdiri di depan mobilnya, aku buka pintu mobilku dan menghampiri Aldi. Aldi yang melihatku datang langsung menghampiri.

"Hai, Nad." sapa Aldi padaku yang aku jawab hanya dengan senyuman dan anggukan.

"Tolong kamu jangan usik hidup aku atau orang disekitar aku lagi. Karena sejak aku melihat langsung kelakuan kamu kemarin, aku anggap kita sudah selesai. Terimakasih untuk semuanya, Di. Semoga kamu berbahagia."

Setelah memberikan bom atom kepadanya tanpa memberikan kesempatan untuk menyetujui atau menolak keputusanku tentang kandasnya hubungan ini, aku berlalu meninggalkannya menuju Guest House milik Eyang di daerah Jalan Monjali. Karena aku merasa malam ini aku butuh beristirahat di sini. Menenangkan pikiran yang carut marut sebelum besok pagi menggantikan tugas Adam menjaga Eyang Putri di rumah sakit.

Pagi hari setelah aku sarapan dan pamit kepada pak Manto, penjaga guest house milik Eyang, aku lajukan mobil menuju ke daerah ring road. Segera setelah memarkirkan mobil, aku menaiki lift menuju kamar Eyang. Disana aku melihat Adam sedang sarapan.

"Hai, Nyet. Sorry ya, telat ke sini." kataku kepada Adam sambil tersenyum. Aku memang tidak memanggil  Adam dengan Sebutan Mas, Abang atau kakak, mungkin karena jarak umur kami yang hanya 18 bulan. Aku memanggil dirinya dengan panggilan Monyet, seperti cara sahabatnya yang bernama Shara memanggilnya. Uniknya Adam tidak pernah marah ketika dipanggil monyet oleh orang-orang terdekatnya. Karena ia juga jomblo karatan, terkadang ketika kami jalan bersama pun orang akan mengira kalo kami saudara kembar tidak identik atau bahkan sepasang kekasih.

"Nggak pa-pa, Lo udah makan belum? kalo belum, nih gue barusan beli makan di restoran bawah."

"Sudah, Nyet. Lo habisin aja makanannya."

Setelah Adam menghabiskan makanannya, aku mengajaknya berbicara empat mata di sofa.

"Ada apa, Nad? Muka lo kaya habis dikejar debt colector gitu."

"Nyet, gue putus sama Aldi."

Adam hanya menatapku tanpa memberikan komentarnya sedikitpun. Cukup lama Adam terdiam.

"Kok lo diem aja sih, Nyet?"

"Berarti apa yang dibilang sama Wanda bener dong. Aldi selingkuh."

"Hah? Kok Wanda tau Aldi selingkuh?"

"Waktu itu gue 'kan meeting ke Bali sama tinjau beberapa aset keluarga kita disana. Terus kebetulan hotelnya Wanda sama gue beda karena dia ngajak suami sama anaknya sekalian liburan gitu katanya. Ternyata pas di loby Wanda lihat Aldi pelukan dan ciuman gitu. Awalnya dikira itu lo makanya dia pengen nyamperin, tapi pas dilihat makin deket ternyata bukan, ya dia nggak jadi nyapa. Akhirnya pas selesai meeting Wanda cerita ke gue soal itu."

"Monyetttt ... kok lo tega nggak cerita ke gue soal itu!" Kataku yang sudah mulai gemas dengan kakakku yang menyimpan ini seroang diri.

"Emang lo bakalan percaya? Paling juga enggak. Lo kan *bulol ke Aldi. Sekarang kalo lo sudah tau tabiat asli mantan pacar lo ini, sebaiknya coba deh lo terima aja perjodohan lo sama si Juna."

*Bulol : bucin tolol

"Diterima gimana sih, Nyet, kenal juga kagak, belum pasti juga dia mau sama gue. Lagian kenapa juga nggak lo aja yang dijodohin? lo kan pria kesepian kaya lagunya Sheila on seven."

Mendengar perkataanku Adam hanya mendengus bagai kuda tanpa berkomentar lebih jauh.

"Sudah ah, gue mau pulang. Lo jagain Eyang yang bener, jangan galau, malu sama umur."

Selama menunggu Eyang aku buka laptop dan menyelesaikan beberapa pekerjaanku. Sejak kejadian itu, aku berusaha menyibukkan diriku dengan pekerjaan dan bagusnya justru banyak pekerjaan yang selesai sebelum deadline. Bahkan Lulu sampai takjub karena aku kerja keras bagai kuda dan semangat 45. Dengan umurku yang sekarang, merasa galau, menangis dan jatuh hingga dasar jurang merasakan perasaan patah hati itu terlalu drama karena suka tidak suka, mau tidak mau, sakit ataupun tidak, dunia tetap akan berputar, yang sudah terjadi hanya akan menjadi kenangan dan yang terpenting adalah bagaimana menjalani hari esok dengan lebih baik dan menjadikan ini semua sebagai pelajaran hidup.

Ketika pintu kamar Eyang diketuk, aku baru sadar jika kini sudah masuk jam besuk di hari Minggu. Aku membukakan pintu dan menemukan wanita seusia Eyang berdiri di depan pintu bersama dengan seorang laki-laki dengan wajah tampan, berkulit putih, berbadan bagus yang mungkin tampak muda untuk seusianya. Bisa aku katakan dia ganteng, berwibawa dan memiliki senyum yang menawan. Pasti istrinya begitu beruntung memiliki suami setampan ini.

"Maaf, apa benar ini kamar Astuti?"

"Iya benar, mari masuk, Bu, Pak."

Setelah di dalam beliau mengenalkan dirinya dan anaknya. Aku baru tau ini yang namanya Eyang Ningrum dan Pak Wisnuaji, Papanya Juna.

Eyang Ningrum langsung mendekati ranjang Eyang sedangkan laki-laki itu menyerahkan parsel buah dan sekotak roti yang aku tau itu roti favorit Eyang putri.

"Wis, mana Juna? Kok lama sekali cari parkiran, jangan-jangan dia kabur."

"Coba aku telepon dulu ya, Bu."

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Setelah pembicaraanku dengan Adam tadi, aku sempat penasaran dengan wujud rupa si Juna ini. Semoga saja good looking kalo nggak kasian sekali nama itu disematkan kepada orang yang tidak tepat. Mungkin Arjuna akan menangis tersedu-sedu jika namanya dipinjam oleh orang yang tidak tepat.

Tidak ada pembicaraan yang terjadi di ruangan ini, yang terdengar adalah suara Eyang Ningrum sedang terisak dan Pak Wisnuaji yang sedang sibuk menelepon. Hingga hampir 10 menit kemudian muncullah sesosok lelaki yang mungkin seumuran denganku, tinggi kisaran 187 centimeter, memakai kaos hitam polos, di luarnya ia menggunakan kemeja flanel kotak kotak, celana jeans panjang sobek sobek di bagian lututnya. Tampangnya aku yakin tidak murni 100% keturunan Jawa, Seperti ada percampuran darah luar.  Sangat berbeda sekali dengan Aldi yang termasuk lelaki pesolek atau metroseksual. Secara keseluruhan bisa kubilang lelaki ini adalah lelaki idaman sahabatku, Adeeva Abriana Utama, alias si sampah.

***

Arjuna Harvito Widiatmaja POV

Pagi tadi aku sudah diseret oleh Papa untuk ke Jogja. Bayangkan betapa niatnya Papaku ini karena pukul 6 pagi sudah sampai di Temanggung hanya untuk menjemputku ke Jogja. Sesuatu yang menurutku sangat buang-buang waktu, bensin dan tenaga. Mau tidak mau aku harus ikut dengannya. Sampai di jogja pukul 8 pagi aku langsung melesatkan diriku di kamar dan mandi. pukul 09:00 WIB, Papa sudah mengajakku menjemput Eyang dirumahnya. Ketika aku bertanya kenapa minggu pagi ini Papa repot-repot menjemputku ke rumah, jawabannya, "ketemu calon besan" sangat membuatku ingin pergi. Kenapa bukan Papa saja yang dicarikan istri setelah 27 tahun lebih menduda dan hidup mandiri? Bukankah Papa lebih membutuhkan belaian kasih sayang daripada diriku?

Dengan berat hati aku melangkahkan kaki memasuki lorong rumah sakit dan menuju ke kamar Eyang Astuti. Aku tarik nafas dalam-dalam sebelum pelan-pelan mengembuskannya dan bersiap memasuki ruangan itu.

Ceklek.....

Pertama kali setelah aku membuka pintu itu yang terlihat oleh mataku adalah sosok wanita menggunakan dress pendek di atas lutut warna hitam, tinggi, berkulit eksotis, dan memiliki body yang akan membuat suaminya kelak betah berada di ranjang.

"Juna, kenalin ini Nada, calon istri kamu."

Suara Eyang sukses membuatku dan Nada langsung melotot dan saling memperhatikan satu sama lain dari atas sampai bawah.

Oh, aku tidak perlu diperhatikan olehnya sampai seperti ini. Toh aku sadar diri, melihat penampilanku yang jauh dari standartnya, tidak mungkin dia akan mau mendampingiku, apalagi aku ajak jalan-jalan ke gunung. Pasti ribet bersama perempuan model seperti ini. Yang bakalan banyak mengeluh karena capek, kotor, panas, ada lintah, ada ular, nyari kamar mandi nggak dapet. Sudah pasti perempuan seperti Nada tidak akan mau menjalani semua itu.

Aku melihat Nada mengulurkan tangannya, sebagai bentuk sopan santun aku juga mengulurkan tanganku untuk menyalaminya. Setelah itu Nada mempersilahkan aku duduk di sofa. Aku memilih duduk di hadapannya. Tidak lama aku duduk, Eyang dan Papa datang menghampiri kami, mereka duduk di sebelahku. Saat ini aku duduk diapit oleh Eyang dan Papa.

"Nada, apakah Eyang Astuti sudah menyampikan semuanya ke kamu?" 

Aku melihat Nada hanya tersenyum, bingung mungkin mau menjawab apa pada Eyangku ini.

"Eyang pribadi belum membicarakannya dengan saya, tetapi melihat Eyang kondisinya seperti saat ini, sebagai seorang cucu saya tidak punya pilihan lain selain menuruti keinginannya dan membahagiakan Eyang selagi Tuhan masih memberikan kesempatan."

Aku kaget mendengar jawaban Nada. Aku melihat Nada menundukkan kepalanya tidak berani menatap kami bertiga. Karena  aku merasa perlu membicarakan semua ini dengannya, aku meminta ijin kepada Eyang untuk membawa Nada keluar sebentar dan menitipkan Eyang Astuti pada Eyang putri dan Papa.

***

Saat ini aku dan Nada ada di salah satu restoran di dalam rumah sakit. Aku sengaja mengajaknya kesini.

"Nad, Lo mau minum sama makan apa? Gue pesenin."

"Samain aja sama yang Lo pesan."

Akhirnya aku memesankan menu nasi gudeg ayam suwir dan teh panas untuknya. Setelah pesanan kami datang aku mengajaknya makan dulu sebelum mengajaknya berbicara. Karena bagiku membicarakan hal-hal berat dan penting itu lebih baik dalam keadaan kenyang.

"Nad, lo serius sama apa yang Lo bilang tadi di atas?"

"Iya, gue serius."

Aku menghela nafas mendengar jawaban Nada.

"Pernikahan bukan mainan, Nad dan itu akan mengikat seseorang seumur hidup. Pernikahan yang diawali dengan cinta saja banyak yang berakhir dengan perpisahan apalagi kita yang nggak ada rasa sama sekali. Itu terlalu berat buat dijalani."

"Gue nggak peduli, seenggaknya Eyang gue bahagia. Lagian gue sudah dapat karma karena nggak dengerin nasehat Eyang."

"Gue nggak yakin bisa, Nad. Gue nggak mau terikat, gue nggak bisa jadi suami yang baik. Gue adalah orang yang mencintai kebebasan di atas segalanya."

"Selagi itu bukan sex bebas dan narkoba gue tutup mata sama kelakuan lo."

"Gue juga nggak segila itu, Nad. Lo nggak tau gue sama sekali dan begitupula gue. Di samping itu gue yakin, lo nggak akan bisa ikutin gaya hidup gue, Nad. Dari apa yang gue lihat lo itu adalah tipe perempuan yang bakal jadi Thropy wife."

"Maksud lo apa?"

Kali ini aku melihat Nada langsung emosi setelah mendengar kata-kata Thropy wife yang barusan keluar dari mulutku.

"Dengar dan camkan baik-baik di kepala lo Jun. Gue ini perempuan mandiri dengan pekerjaan bergaji delapan digit setiap bulan. Gue nggak perlu sokongan dana dari orang lain untuk memenuhi kehidupan gue atau gaya hidup gue. Dan gue yakin lo pun nggak tau gaya hidup yang gue jalani selama ini seperti apa. Jangan melihat orang hanya dari cover luarnya aja!"

Setelah menumpahkan segala bentuk kejengkelannya kepadaku, akhirnya Nada meninggalkanku sendiri seorang diri di dalam cafe tersebut. Kini baru aku baru aku sadari jika aku sudah menyakiti hati Nada di pertemuan pertama kami hari ini.

***

#ARJUNADA PART 3

Sharenada Raharja POV

Jum'at sore ini aku sengaja mengajak kedua sahabatku untuk bertemu dan mendiskusikan hal yang sudah membuat mereka mati penasaran seminggu ini. Aku mengajak mereka bertemu di salah satu cafe pinggir sawah di daerah pinggiran jogja. Hanya Robert yang tidak aku ajak karena dirinya memiliki jadwal yang begitu padat di rumah sakit.

"Sorry, gue telat gara-gara si Fabian gila nggak ngebolehin gue pulang duluan sebelum nemenin dia ngeMall nyari kado buat rekan bisnisnya yang mau ulang tahun."

"Gue rasa si degem naksir kali sama lo. Sudah embat aja, daripada keburu ditikung sama orang. Lagian Fabian ganteng gitu kaya oppa-oppa korea," Kata Salma sambil memakan spaghettinya.

"Nggak banget deh sama laki-laki model kaya gitu, yang ke kantor saja selalu pakai setelan Armani, sepatu Hugo Boss kalo nggak Berluti. Mobil saja egois bener cuma bisa dipakai dua orang doang. Lebih gila lagi tadi dia bawa Buggati chiron. Gimana cewek-cewek di kantor kagak mau histeris?"

Aku hanya tersenyum, siapa sih yang tidak tau Berluti, jika kaum wanita memuja Hermes, maka kaum laki laki mencintai Berluti.

"Termasuk lo ya, Dev," kataku sambil tertawa. Karena aku tau Deva paling tidak suka sesuatu yang terlalu menghambur hamburkan uang apalagi seorang laki-laki yang lebih pesolek daripada dirinya yang mati matian mempertahankan image metroseksualnya.

Walau di antara kami berempat Deva yang suka sok berlagak menjadi orang yang "matre" dan semuanya ia ukur dengan logika, tapi sejatinya ia hanya bercanda. Aku cukup tau kelulusan Deva seperti apa. Jika ia tidak tulus, mana mungkin ia bisa menemani Lionel sejak 0 hingga sukses walau akhirnya ia hanya menjaga jodoh orang lain selama 15 tahun.

"Idih Najis, laki-laki kaya gitu diajakin makan di angkringan juga pasti nggak akan mau. Bukannya bangga gandengnya malah bikin malu."

Aku dan Salma tertawa. Ya, sejak Deva dipaksa menjadi sekretaris plus asisten pribadi bossnya yang bernama Fabian Alaric Kawindra itu, hidupnya betul-betul berubah. Deva yang seorang accounting menjadi sekretaris? awal mendengarnya aku tertawa tapi Deva sudah bisa melewati 4 bulan ini dengan baik.

"Udah deh nggak usah bahas dia, bikin emosi jiwa aja adanya. Btw, gue nungguin cerita lo Nad soal Aldi."

Aku memperhatikan Salma dan Deva menungguku untuk bercerita dan akupun memutar kembali memori satu minggu ini yang seperti sebuah film. Hingga akhirnya aku selesai bercerita dan mmembuka sesi tanya jawab karena aku melihat banyak sekali pertanyaan di atas kepala kedua sahabatku ini.

"Jadi lo mau di jodohin sama si Juna itu? Tapi kan dia bilang nggak bisa sama lo, Nad mana pakai ngatain lo cocoknya jadi Thropy wife pula," Kata Deva yang lebih dulu nerocos daripada Salma .

"Nama lengkapnya siapa, Nad?" Tanya Salma sambil mencoba meraih handphonenya.

"Namanya Arjuna Harvito Widiatmaja." kataku sambil mengembuskan nafas panjang dan memalingkan wajah menatap sunset yang indah sore ini dari pinggir sawah. Beberapa menit kemudian aku mendengar Salma sudah histeris.

"Hah? Beneran ini calon lo, Nad?" Salma menyodorkan handphone kepadaku dan aku lihat foto Juna di sana.

Aku hanya menjawab singkat ,"iya."

"Buset dah, Nad. Habis lo buang batu kali, lo dapet batu berlian gini. Amal apa lo, Nad sampai dijodohin sama yang begini. Gue juga mau ngikutin, biar dapet yang begini."

"Emang Juna kelebihannya apa sampai lo begitu?" Tanya Deva sambil bertopang dagu menghadap ke Salma.

"Muda, tampan dan mapan. Bonusnya dia masih keturunan ningrat, samalah sama Nada ada huruf R-nya di depan nama, jackpotnya badannya bikin ngiler."

"Lo gila ya, Sal? darimana lo tau badannya bagus? kaya lo pernah lihat aja dalamnya."

Deva menunjuk Salma sambil geleng-geleng dan hanya dijawab Salma dengan memperlihatkan handphonenya lagi.

"Woww... Ini sih bukan lagi six pack tapi eight pack, Nad. Sudah kali ini mah gue setuju. Kawinin aja, Nad. Restu Gue sama Salma sudah lo dapet. Buat Robert dia idem aja sama kita berdua, keluarga juga sudah tinggal seret ke KUA doang."

***

Arjuna Harvito Widiatmaja POV

Gila, gila, gila... rasanya beberapa hari ini aku ingin memuntahkan semua amarahku tapi tidak tau kepada siapa, karena Eyang menyuruhku untuk segera mengajak Nada jalan setelah itu melamarnya. Aku yang pacaran saja tidak pernah, lalu bagaimana jika tiba-tiba harus melamar wanita. Nada pula wanita itu, yang beberapa hari lalu aku buat marah karena ucapanku.

"Dim, gimana caranya minta maaf sama cewek?" Bukannya menjawab Dimas justru tersedak makanannya. Aku segera menepuk nepuk punggungnya dan memberikan segelas air yang ada dimeja makan.

"Maaf Pak, Bapak mau minta maaf sama siapa?"

"Cewek."

Dimas benar-benar kaget, itu terlihat dari ekspresi matanya yang melotot ke arahku.

"Nggak usah gitu juga lihatin saya. Saya dijodohin sama cewek cucunya teman Eyang."

"Tinggal datengin saja rumahnya terus minta maaf. Nggak usah pakai bunga bungaan kecuali itu bunga deposito sama bunga bank."

"Saya serius Dimas."

"Saya juga serius, Pak. Bapak tinggal datangin rumahnya. Toh bapak jadi bisa menilai sendiri 'kan gimana keadaan rumah calon mertua, lingkungan tinggalnya, syukur-syukur Bapak bisa cari-cari informasi tentang calon bapak ini orangnya seperti apa."

Aku hanya menatap Dimas, mencari kejahilan dimatanya tapi yang aku dapat adalah bentuk kesungguhan Dimas.

"Sudah buruan telpon, Pak. Keburu malem."

"Chatt aja, ya?"

"Terserah Bapak lah," kata Dimas lalu melanjutkan makannya.

Aku mengambil handphone di kamar dan segera aku chatt Nada.

Arjuna : sore menjelang malam, Nad. Ini gue Juna. Bisa nggak kita ketemuan?

Nada : malam, buat apa ketemu?

Arjuna : buat minta maaf soal kemarin. Sama disuruh sama Eyang ngajak lo jalan ke luar.

Nada : punya refrensi tempat ngopi yang anti-mainstream nggak? kalo mau boleh deh ketemuan.

Arjuna : serius lo mau ngopi di tempat anti mainstream? Tapi segala yang bagus itu perlu perjuangan, memang lo sanggup?

Nada : suka remehin gue banget. Sanggup lah, gue jabanin tantangan lo.

Arjuna : ya sudah lo bawa jaket yang tebal, pakai baju bukan yang kurang bahan, gue jemput nanti jam tujuh malem di rumah.

Nada : okay.

"Gimana pak?" Tanya Dimas kepo.

"Saya siap-siap dulu, kamu disini aja nggak usah pulang, saya mau jemput Nada."

"Siap pak tapi kalo isi kulkas tandas semua jangan ngomel, ya."

"Habisin aja kalo kamu mau."

"Makasih Bapak boss yang ganteng, tajir, berduit dan tidak pelit."

***

#ARJUNADA PART 4

Sharenada Raharja POV

Rasanya aku ingin mementung kepala Salma karena dia adalah orang yang menyebabkan diriku harus bersiap siap malam ini karena Juna akan mengajakku ngopi ditempat "anti mainstream" versinya. Bagaimana bisa saat aku mampir ke SPBU untuk sekedar pipis Salma membuka chattku dan membalas chatt Juna. Demi Tuhan, aku shock membaca chatt Juna padaku, apa yang akan dipikirkan Juna tentangku?

Pukul 19.00 WIB Juna sudah sampai di rumah dan aku melihat mobil Land Rover  Discovery tahun 2021nya sudah nangkring di luar pagar rumah.

Aku penasaran apa pekerjaan Juna hingga bisa membeli mobil itu? Tidak cuma itu, dari penampilannya Juna itu jauh dari kata mewah bahkan cenderung apa adanya. Karena malam ini aku hanya melihatnya memakai kaos dan celana training panjang. Sumpah, nggak ada keren-kerennya jadi cowok berbanding terbalik dengan mobilnya.

"Nad, udah siap?" Tanyanya ketika aku sampai di ruang tamu.

"Sudah, gini saja 'kan?"

"Iya, udah cukup begitu aja." ucapnya sambil tersenyum dan aku baru sadar ternyata benar kata Salma kalo Juna itu ganteng. Lebih tepatnya tampan berpadu dengan manis. Lesung pipinya yang samar-samar terlihat di balik jambangnya membuatnya terlihat Maco. Lama-lama bisa aku sandingkan ia dengan Nick Bateman.

"Om, Tante, Mas Adam, Juna ijin keluar dulu sama Nada dan pasti pulangnya larut banget. Bisa dini hari juga karena sekarang sudah jam 7 malam."

"Nggak usah pulang aja sekalian, biar besok pagi langsung gue seret ke KUA, 'kan Eyang bakal bahagia lahir batin kalo kalian nikah."

Aku lemparkan bantal sofa ke arah Adam.

"Sudah, Jun. Yuk, buruan kalo kelamaan nanti ketularan jadi jones kaya si Adam," kataku sambil berjalan mendahului Juna setelah mencium dan memeluk Mama dan Papa untuk berpamitan.

"Percaya sama yang sudah mau kawin, jangan lupa pelangkah gue Harley Davidson lho, ya. Restu gue mahal harganya." Aku mendengar Adam mengodaku sambil tertawa cekikikan.

"Jun, kita mau ke mana?" Aku bertanya pada Juna ketika aku sadari mobil Juna menuju ke arah pantai Gunung Kidul.

"Ngopi di tempat anti mainstream, Nad."

Aku hanya bisa mengangguk. Asli, awas aja si Salma kalo sampai Juna melakukan hal yang tidak tidak kepadaku. Jelek-jelek begini aku masih gadis. Setelah perjalanan sekitar dua jam, sampailah aku dan Juna di pinggiran jalan yang masih berbatu, gelap dan jauh dari rumah penduduk. Tapi aku yakin ini di tepi pantai karena aku masih bisa mendengar debur suara ombak pantai selatan. Sejujurnya saat ini pikiranku sudah tidak lurus, aku sudah takut Juna akan memperkosa lalu nmembunuhku dengan menjatuhkan diriku ke pantai. Malah bisa juga si Juna bakalan memutilasiku kali ini dan aku pastikan tidak akan ada saksi yang melihat bahkan bulu kudukku saja sudah berdiri saat ini.

"Nggak usah mikir yang nggak-nggak. Buruan bantuin gue bawa tendanya dan pakai ini," kata Juna sambil menyerahkan jaket Gunung berwarna pink kepadaku.

Aku hanya menurutinya saja. Juna memakaikan headlamp nya padaku setelah ia menggunakannya juga. Aku melihat Juna mengendong tas Gunung ukuran 80 L di punggungnya.

Sumpah, walau ini malam dan sepi, aku bisa melihat Juna terlihat santai saja. Tidak merasa keberatan menggendong tas gunungnya yang aku tau itu cukup berat karena ada isi logistik, air dan peralatan memasak.

"Kamu jalan di depan aku pelan-pelan saja. Oh iya, ganti pakai sepatu gunung ini sandal kamu, biar nyaman jalannya."

Juna menyerahkan sepatu Gunung yang heranku kenapa bisa ukurannya pas dan ini masih baru. Punya siapa ini sepatunya? Tidak mungkin Juna tau ukuranku, secara aku saja tidak pernah ngobrol dengannya sejak kejadian di cafe rumah sakit itu.

Selama hampir satu jam aku berjalan melewati pinggiran tebing pantai, kebun penduduk, beberapa kali melewati kandang sapi yang aku heran apa pemiliknya tidak takut sapi sapi itu hilang di taruh di tengah kebun ketela seperti itu di pinggir tebing pula.

"Nad, kamu kalo capek bilang. Kita bisa istirahat dulu."

"Nggak kok Jun, tenang saja, aku masih kuat, insyaallah."

"Itu nanti belok kanan terus tunggu aku duluan yang turun. Biiar kamu aku bantuin soalnya itu tinggi banget."

Setelah sampai memang aku tengok ke bawah dan cukup lumayan tinggi juga.  Akhirnya aku membiarkan Juna turun lebih dulu. Setelah Juna membantuku turun aku merasakan angin pantai begitu terasa hingga membawa butiran pasir menerpa wajahku. Untungnya malam ini air laut sedang tidak pasang. Aku melihat Juna mendirikan tenda gunungnya berwarna merah dengan begitu cekatan.

Laki-laki seperti Juna ini mungkin sudah stock langka di habitatku. Muda, tampan, rendah hati, memiliki jiwa "laki banget." Pantas saja followers-nya banyak cewek-cewek ABG yang baru merasakan menikmati keindahan negri +62 tercinta ini. Lagian cewek mana yang nggak baper dapat perlakuan kaya gini dari Juna. Di ajak ngopi di pinggir pantai cuma berdua, okay aku ulangi lagi. CUMA BERDUA ... BERDUAAA ... dan pantai ini aku yakin belum terbuka untuk umum karena sulitnya medan yang kami tempuh tadi.

"Nad, kamu masuk aja dulu ke tenda, aku mau bikin api unggunnya."

"Kamu perlu bantuan nggak, Jun?" Tanyaku dari dalam tenda.

"Kalo kamu nggak keberatan aku minta kamu siapin gelas, piring sama keluarin logistik. Katanya kamu mau ngopi di tempat anti mainstream."

Ya Tuhan...aing kudu ottoke* menghadapi laki laki seperti Juna ini.

*Ottoke adalah ekspresi jika sedang dalam masalah atau situasi yang terjadi di luar harapan. Kosakata ini sama artinya dengan ungkapan, 'apa yang harus dilakukan nih atau 'gimana ini'.

"Okay, aku keluarin. Kamu mau dimasakin apa? sini aku masakin."

"Emang kamu bisa masak?"

"Bisalah, bahkan aku itu lebih jago soal urusan dapur daripada urusan merias diri."

"Baguslah kalo gitu, aku kira kamu jago urusan ranjang."

Bug ....

"ARJUNA!" 

Aku lemparkan roti tawar seplastik penuh sambil berteriak dari dalam tenda. Juna hanya tertawa lepas di luar dan entah bagaimana baru aku sadari ternyata "lo gue" bisa berubah menjadi "aku kamu." Sejak kapan panggilan itu berubah, aku saja tidak mengingatnya dan menyadarinya.

***

Arjuna Harvito Widiatmaja POV

Malam ini entah bagaimana aku bisa akur dengan Nada tanpa membahas masalah kemarin. Satu yang harus aku tarik dari kata-kataku dulu jika Nada tidak akan bisa mengikuti gaya hidupku. Ternyata aku salah besar.

Nada adalah tipikal perempuan yang tidak terlalu banyak mengeluh. Bukan perempuan yang menjaga gengsi, apalagi memanfaatkan laki-laki yang dekat dengan dirinya. Kenapa aku bilang seperti itu?
Tadi ketika dalam perjalanan ke pantai, aku mengajaknya membeli logistik, aku menanyakan apa yang Nada ingin makan, kita bisa beli sekarang dan aku bermaksud melajukan mobilku ke salah satu Mall yang menyedikan bahan makanan tapi Nada menolaknya dan memilih membeli bahan makanan di kios belakang pasar kranggan. Aku baru sadar ternyata Nada berbelanja sayur mayur lengkap dengan bumbu bumbunya dan malam ini aku bertindak sebagai asisten Nada di pinggir pantai ini, memasak dengan alat seadanya menggunakan nasting, kompor gunung, dan terpaksa kami memasak di dalam tenda karena diluar angin sangat kencang.

"Nih, sudah jadi supnya, tapi aku lupa beli beras."

"Emang mau makan dobel karbo kamu malam-malam begini, Nad? 'kan supnya udah ada kentangnya. Nggak takut gendut kamu?"

"Naik sekilo dua kilo bukan dosa, Jun."

"Jadi nggak takut?"

"Nggak, btw, ini jaket sama sepatu punya siapa kok masih baru dan ukurannya pas di aku?"

"Oh, aku ambil tadi stock di toko. Aku kira-kira saja ukuran sepatunya. Dengan tinggi kamu yang sekarang, kemungkinan besar kaki kamu juga panjang jadi aku ambilin ukuran 40"

"Oh, makasih ya. Btw, nonton bintang di luar, yuk mumpung di pantai. Ini pengalaman pertama aku camping di pinggir pantai. Kalo Deva, Robert sama Salma tau bisa-bisa bakalan ngintilin ikut ke sini mereka."

"Kamu kapok?"

"Ya pastinya nggaklah, pengen ke sini lagi tapi blm tau jalannya, makanya pulang besok pagi kalo sudah cukup terang ya? aku pengen hafalin jalan."

"Iyalah, masa sekarang mau balik. Rugi. Aku mau nonton bintang dulu soalnya. Cuma aku kepikiran sama Papa Mama kamu, Nad."

"Mereka nginep di rumah sakit jagain Eyang."

"Gimana kondisi Eyang?"

"Alhamdulillah sudah baik semua, paling kalo nggak ada masalah dua tiga hari lagi boleh pulang ke rumah."

"Alhamdulillah, kalo Eyang Astuti sehat, lamarannya bisa cepat dilangsungkan."

Ketika aku mengatakan itu, Nada terbatuk batuk karena ia sedang makan sopnya.

"Jun, bisa nggak sih sekali saja nggak ngerusak suasana?"

"Ya maaf, Nad."

***

#ARJUNADA PART 5 

Arjuna Harvito Widiatmaja POV

Camping di gunung atau di pantai untukku sebenarnya sudah hal yang lumrah bin wajar karena itu hoby yang telah aku miliki sejak masih sekolah, hanya saja rasanya kali ini sungguh berbeda, berasa seperti latihan menjadi pasangan suami istri.

Ketika aku bangun, aku temukan diriku tidur bersebelahan dengan Nada. Tenang jangan mikir aneh-aneh okay? saat ini di tengah-tengah kami ada cerrier besar dan kami tidur di dalam sleeping bag masing masing. Mengingat kejadian semalam membuatku mesam mesem sendiri. Karena Nada betul-betul takut aku melakukan hal yang "iya-iya" kepadanya. Padahal sedikitpun aku tidak ada niatan untuk melakukan itu.

"Jun, kamu tidur diluar, aku di dalam tenda, ya?"

"Nad, ini itu tenda ukuran 4 orang. Kamu bisa tidur di sebelah mana saja, nanti aku di  sisi lainnya."

"Ah, nggak mau nanti kamu grepe-grepe jadinya berabe."

"Ya Gusti. Nad...buang pikiran mesum kamu jauh-jauh kalo di tempat kaya gini. Jangan suka mikir yang nggak-nggak. Nggak semua cowok kaya gitu. Kalo kamu nggak percaya, kamu bikin batasan apa aja yang bisa ngehalangin aku sama kamu."

"Tetep aku nggak bisa percaya, Jun. Kita baru kenal berapa hari?"

"Nih...pakai buat tidur, aku juga pakai," aku melemparkan sleeping bag pada Nada yang untungnya bisa dia terima dengan tepat di tangannya.

Tak berapa lama Nada memakainya dengan sedikit usaha berlebih karena aku enggan membantunya. Bukannya tidak mau membantu, nanti aku dikira mau "grepe-grepe" dia lagi.

Pagi-pagi aku bangun karena mendengar alarm di handphone milikku sudah menunjukkan pukul 04.40 WIB. Sedingin apapun, ini adalah waktunya membuka mata dan mengucap Puji syukur kepada Tuhan. Aku melihat Nada masih terlelap dalam alam mimpinya. Pukul 05.00 WIB aku sudah selesai melakukan ibadah dan mencoba membuat air panas. Ternyata sup semalam juga masih. Sepertinya lumayan untuk sarapan. Baru selesai membuat kopi luwak oleh-oleh dari Papa kemarin ternyata Nada sudah bangun. Kalo ada yang bilang, wajah orang bangun tidur itu adalah wajah asli tanpa rekayasa. Nah, sekarang aku akhirnya melihat wajah yang dulu ketika masa SMA, teman temanku sangat suka membicarakannya. Wajah itu bangun masih dengan mata 5 watt. Berjalan keluar dari tenda dan aku akui wajah Nada memang wajah yang bisa membuat suaminya betah di ranjang. Apakah aku sudah gila? selama ini puluhan bahkan ratusan temanku mendaki, baru kali ini lidahku dibuat kelu hanya karena melihat wajah perempuan bangun tidur.

"Jun, kamu bikin apa? Mau dong." aku mendengar suara khas bangun tidur Nada yang terdengar seksi di telinga. Belum sempat aku menjawab Nada sudah mengambil mug stainless steel dari tanganku.

"Eh, enak nih. Kaya kopi e'ek luwak rasanya."

"Nggak usah dibawa juga e'eknya."

"Lha 'kan emang bener dari e'ek luwak. Mahal nih, pantesan baru dikeluarin pagi-pagi. Takut amat kalo aku minta."

"Lha emang kamu minta 'kan. Tuh gelas punya siapa yang di tangan?"

"Dikit doang, Jun. Nih aku balikin," Nada menyerahkan Mug itu kepadaku lagi.

Setelah itu entah apa yang dilakukan Nada. Yang jelas tiba-tiba pandanganku yang sedang menatap laut biru yang terhampar luas sejauh mata memandang terganggu karena Nada sudah wira wiri seperti setrikaan diatas meja setrika.

"Nad, minggir ah, ganggu orang menikmati sunrise sama ombak pantai selatan tau nggak."

"Ini, nyari sinyal nggak dapat-dapat."

"Jual handphonenya buat beli pemancar."

Nada tidak menjawab, hanya bibirnya yang berubah seperti Donald duck di hadapanku dan langsung duduk di sebelahku.

"Kita mau pulang jam berapa?"

"Kenapa?"

"Nggak sih, cuma kalo makin siang 'kan makin panas."

"Cie... Ternyata ada yang takut hitam."

"Ya nggaklah, orang dari lahir aja aku nggak pernah putih. Kenapa mesti takut hitam Jun? Nih deketin tanganku sama tangan kamu saja putihan punya kamu."

Tiba-tiba tangan Nada sudah berada di sebalah tanganku.

"Kamu buta warna ya, Nad?"

"Hah?"

"Kulit kamu bukan hitam tapi coklat. Kalo kata orang sekarang sih kulit kamu tipe eksotis. Kalo kamu aku jual ke luar negri kayanya laku mahal."

Pletak....

"Asli, kamu tu emang ngeselin banget, Jun!"

***

Sharenada Raharja POV

Pukul 09.00 WIB aku dan Juna sudah mulai berjalan meninggalkan lokasi camping kami. Asli, nggak nyesel banget diajakin Juna ke tempat kaya gini. Bahkan kalo ditawarin lagi aku bakalan mau, nggak akan aku tolak. Masalahnya belum tentu juga si Juna bakalan ngajakin lagi. Siapa tau dia sudah kapok ngajak cewek yang jiwa adventure nya 0% kaya aku ini. Sudah gitu udik pula sepanjang perjalanan pulang minta difotoin di sana sini sampai Juna yang jadi fotografer dadakan geleng-geleng kepala.

"Memory handphone sudah full ini, Nad. Foto sebanyak ini mau kamu upload berapa banyak di medsos?" Kata Juna ketika aku masih tidak berhenti menyuruhnya menjadi fotografer dadakan sedangkan aku jadi model amatirannya.

"Paling satu doang, itu juga kalo lagi mau. Aku bukan anak sosmed."

"Satu?"

"Iya. Kenapa emang? Itu juga paling pemandangan. Bukan foto muka."

"Lha terus kenapa kamu meleyot-meleyot gitu minta di foto kalo nggak akan di upload. Padahal sudah kaya ulat."

Asli ini mulut laki satu julidnya sudah kaya emak-emak anggota grup ghibah di tukang sayur setiap pagi.

"Selama bukan ulat bulu nggak masalahlah, Jun. Entah kenapa makin lama aku makin males upload-upload foto gitu di sosmed. Manfaatnya apa coba? Kalo memang aku bahagia cukup aku sendiri dan orang orang di real life yang tau dan saling berbagi rasa itu. Nggak perlu seluruh dunia maya tau. Yang beneran bahagia nggak perlu sebuah pengakuan."

"Eh, Jun kalo mau jalan-jalan kaya gini lagi ajak-ajak ya. Aku pengen ajakin Deva sama Salma juga, kalo Robert pasti nggak bisa. Dia sibuk di rumah sakit. Biar si salma taunya nggak cuma keluar masuk Mall sama gesak gesek kartu debet sama kartu credit doang."

"Rencana sih minggu depan aku mau ke gunung Merbabu via wekas. Kalo kamu mau ikut boleh tapi seenggaknya kamu olahraga rutin dulu tiap hari, perjalanan kita paling nggak kalo mau sampai puncak ya paling cepet delapan jam kalo santai bisa sampai dua belas jam. Teman-teman mendaki banyak yang ikut besok."

"Mau Jun, mau. Aku nggak nolak pengen banget lihat gunung dari dekat."

Alhamdulillah...
Akhirnya aku dan Juna sudah sampai dimana kami memarkirkan mobil dan segera memasukkan semua peralatan yang kami bawa semalam. Segera setelah itu Juna tancap gas meninggalkan tempat itu dan aku diam memperhatikan plangkat-plangkat penunjuk arah. Itu adalah kebiasaanku sejak dulu bila belum mengenal suatu daerah dan ingin kembali berkunjung ke sana. Walau sekarang google map, waze dan aplikasi lainnya banyak tapi aku masih mempertahankan daya ingat juga selain ditunjang teknologi milik simbah google. Takut kan kalo Handphone lowbatt atau sinyal hilang seperti ketika kami di pantai tadi.

"Oh iya, Jun besok aku perlu bawa apa saja ya? Tolong nanti kamu WA aja ya. Jadi aku bisa siapin semua. Kaya peralatan yang kamu bawa tadi kayanya aku belum punya semua."

"Sepatu, sleeping bag sama jaket itu buat kamu, kamu pakai aja besok nggak usah beli. Sisanya kamu bisa pinjem di rumahku, terserah mau pakai yang mana."

"Ih, nggak enak tau, Jun. Kalo pinjem takut rusak, aku beli aja, ya. Kamu biasa beli di mana?"

Juna menghela nafas panjang . "Yowes Nad, nek kowe arep tuku dewe . Datang saja ke store punyaku, nanti aku WA alamatnya."

"Kasih bonus ya kalo belanja banyak?"

"Iya, nanti dapet bonus kantong plastik."

"Ck...nyebelin bener jadi manusia kamu, Jun"

Saking senangnya aku sudah searching searching tentang gunung Merbabu di dalam mobil sambil ngemil chiki balls rasa coklat ukuran jumbo.

"Eh, Jun sekarang mau mendaki harus daftar online ya?"

"Iya, kenapa?"

"Aku share foto KTP aku ya ke kamu, jangan lupa di daftarin sama tiketnya sekalian aku minta nomer rekening kamu deh. Aku transfer sekalian."

"Biar aku saja yang tiket tapi lebih baik kamu cepetan WA teman-temanmu, jadi mau ikutan nggak biar makin rame." 

"Okay, Jun."

Segera setelah mendapatkan perintah Juna aku segera membuka grup WhatsApp yang aku miliki bersama Salma dan Deva, tanpa adanya Robert di dalamnya. Karena menurutnya kami ini adalah tiga emak tukang rumpi dan ia tidak mau mengganti celananya dengan daster.

Grup WA "DeSaNa"

Nada : minggu depan gue mau ke Gunung Merbabu, ada yang mau ikut?

Salma : Ngapain?

Nada : jalan jalan, lo mau ikut kagak?

Salma : emang sama siapa aja?

Nada : sama Juna dan teman-temannya.

Salma : wah, kalo gue ikut, gue ganggu lo lagi. Nggak usah lah, Nad.

Nada : lo yakin nggak mau ikut? Nggak pengen foto dengan background kaya gini.

Nada : *sending picture*


Nada : gue sih mau foto pemandangannya langsung. Nggak cuma nyomot di google, selain itu nambah pengalaman gue.

Deva : gue ikut, Nad...

Salma : asem lo, Dev. Tau-tau langsung ikut aja. Ya udah gue ikut juga.

Nada : kirim Foto KTP buruan, daftarnya online.

***

Setelah mendapatkan foto KTP Salma dan Deva, aku segera mengirimkannya ke Juna.

"Aku sudah kirim KTP ke WA kamu, Jun."

Juna hanya mengangguk, masih fokus menyetir karena hari ini cukup padat, maklum hari Minggu. Hari di mana jalan sepanjang Wonosari menuju Jogja cukup padat merayap dengan banyaknya bus pariwisata yang mendominasi.

"Kamu kalo ngantuk, sini aku gantiin nyetirnya."

Juna langsung menoleh ke arahku.

"Serius kamu mau gantiin aku nyetir?"

"Iya, nepi dulu aja terus gantian."

Akhirnya Juna segera meminggirkan mobilnya dan bertukar posisi duduk denganku. Niatku hanya basa basi saja biar ada obrolan, taunya malah dianggap serius sama Juna. Mana nggak sampai 10 menit si Juna sudah melayang ke alam mimpi pula. Pelajaran berharga untukku, jika sedang bersama si Juna nggak perlu basa basi, basa basi akhirnya apes sendiri.

***

#ARJUNADA PART 6

Sharenada Raharja POV

Setelah dua jam lebih perjalanan akhirnya aku sampai di rumah. Untung di rumah sedang kosong, hanya ada Mbak Sri yang sedang nonton acara gosip di TV. Aku mengajak Juna masuk ke rumah karena aku tau sejak tadi pagi kami belum makan, lebih tepatnya aku karena aku tidak mau makan sup sisa semalam. Alhasil Juna yang bertindak sebagai "tong sampah."

"Masuk dulu, Jun. Kamu makan dulu baru pulang."

Juna hanya mengikutiku berjalan di belakang dan aku segera menuju ke dapur. Aku melihat Mbak Sri belum memasak karena mungkin tidak ada orang dirumah, hanya ada nasi di magiccom. Aku membuka kulkas dan menemukan ada ikan nila, santan, daun kemangi, tomat. Aku berpikir masakan apa yang akan aku buat dan tiba-tiba aku berpikir untuk membuat mangut ikan nila.

"Jun, kamu doyan nggak kalo aku masakin mangut ikan nila?"

"Emang kamu bisa masak kaya begituan?"

"Suka remehin aku banget kamu mah. Gini-gini aku rajin ikut kelas masak. Cuma kalo kelas kecantikan malah belum pernah," jawabku sambil masih sibuk di depan kulkas.

Aku mendengar Juna tertawa di kursi bar dapur dan berjalan mendekatiku.

"Ya sudah kamu masak saja. Ada yang perlu dibantu nggak?"

"Coba deh kamu panenin serehnya di halaman belakang. Nih pisaunya," Kataku sambil menunjuk pintu belakang dan memberikan pisau padanya.

Aku sibuk mempersiapkan semuanya dari mencuci ikan, menyiapkan santan, bumbu, kemangi dan lainnya hingga tanpa aku sadari ternyata Juna telah selesai dengan tugasnya lalu duduk di kursi sebelahku yang ada di dapur kotor.

"Ini Nad," kata Juna menyerahkan sereh padaku.

"Nad, biasanya mangut itu kan pakai ikan lele, bisa gitu diganti nila. Rasanya nggak akan aneh apa?"

"Bisa saja kalo aku yang masak. Nanti kamu cobain sendiri."

Setelah itu satu jam kemudian aku sudah bersama Juna di meja makan. Duduk sambil menikmati masakanku hari ini. Hal yang jarang orang ketahui tentangku adalah keahlianku di dapur. Orang selalu beranggapan perempuan pekerja sepertiku yang lebih banyak menghabiskan waktunya di depan laptop, memiliki jam kerja hampir 60 jam dalam seminggu masih bisa "mengolah" dapur. Bahkan di rumah orangtuaku antara dapur bersih dan dapur kotor pun berbeda. Entah karena mengetahui Mama yang tidak pernah bisa memasak sejak aku kecil dan aku tidak pernah puas dengan masakannya atau hal lain, hingga akhirnya aku selalu menghabiskan waktu senggangku didapur dan belajar memasak. Sering mencoba berbagai resep, gagal ulang gagal ulang hingga berhasil. Disaat banyak temanku menghabiskan masa liburan sekolah untuk berlibur bersama keluarga, aku lebih suka untuk mengikuti kelas memasak, sampai pernah Mama dan Papa protes dengan kegiatanku itu karena aku selalu menolak diajak berlibur.

"Nggak nyangka aku, Nad masakan kamu enak banget. Kenapa kamu nggak buka resto atau catering saja daripada kerja kantoran seperti sekarang?" tanya Juna di sela-sela sesi makannya.

"Itu dua hal yang berbeda, Jun. Kalo kerjaan itu mata pencaharianku, buat aku menghasilkan duit. Kalo masak itu hoby aku, semacam penghiburan diri, kaya kamu hoby mendaki dan camping gitu."

"Tapi dari hoby kan bisa menghasilkan juga, Nad. Aku aja buka adventure store itu berawal dari hoby. Ya walau aku akui, kerjaan pokok aku di perusahaan garmen punya Papa dan megang beberapa bisnis lainnya di sektor wisata selain aku trading dan investor juga."

"Sibuk juga ya, kamu? Aku kira cuma ngerti buang-buang duit aja buat main."

"Sebenarnya hoby mendaki itu nggak bisa dikatakan murah juga sih, Nad apalagi kalo gunungnya di luar kota atau lebih jauh lagi di luar pulau dan luar negri."

"Memang kamu sudah mendaki sampai mana aja?"

"Hampir semua sudah sih kalo yang di negara ini. Yang diluar pernah di Kilimanjaro, Everest dan beberapa lainnya selama aku dulu kuliah di Harvard."

Aku tersedak mendengar jawaban Juna. Everest? Itu gunung tertinggi di dunia, belum lagi waktu yang di butuhkan ke sana cukup lama dan biayanya tidak sedikit, bisa sampai satu milyar rupiah. 

"Aku kira kamu irit, ternyata boros juga."

"Emang kamu irit? Nggak lihat itu dapur kamu yang buat masak tadi standart hotel yang buat masak chef?" kata Juna sambil tertawa.

"Itu aku bisa bikin dapur begitu karena aku dapet bonus setelah berhasil nge-deal-in proyek konstruksi gedung di Dubai, kalo nggak mana sanggup, Jun."

Kami ngobrol ngalor ngidul ngetan ngulon siang itu dan aku cukup tau tentang keseharian Juna yang ternyata tidak jauh berbeda dengan diriku. Lebih banyak dihabiskan di kantor, setelah pulang hanya istirahat, mandi, makan, buka kerjaan lagi atau tidur. Sampai akhirnya pukul 14.00 WIB Juna pamit pulang padaku.

Arjuna Harvito Widiatmaja POV

Jum'at malam sampai Sabtu siangku cukup berwarna ditemani Nada. Aku cukup bisa mengenalnya sebagai pribadi yang berbeda dari apa yang terlihat hanya dari luarnya saja. Nada juga bukan tipe perempuan yang takut kotor kotoran. Bahkan aku merasa Nada adalah sosok wanita yang akan bisa menjadi istri serta ibu yang baik bagi anak anaknya kelak. Nada yang memiliki gelar pendidikan S2, pekerjaan mapan, keahliannya di dapur itu sudah cukup memenuhi syarat, hanya untuk urusan "tempat tidur" yang aku tidak tau bagaimana, apakah dia ahli atau tidak sebelum kata "sah" terucap.

Aku melajukan mobil ke rumah Papa, karena aku merasa perlu bercerita padanya. Salah satu alasanku untuk tidak menikah dan terikat adalah kejadian pada hancurnya pernikahan orangtuaku. Papaku adalah pria jawa asli dan Mamaku adalah wanita asal turki. Mereka berpacaran karena merupakan teman kuliah di Jerman dulunya hingga akhirnya menikah dan Mama melahirkanku tapi kesibukan Papa membuat Mama mencari kebahagiaan di luar. Ketika aku berusia 6 bulan Mama ketauan berselingkuh dengan rekan bisnis Papa, sejak itu Mama lebih memilih meninggalkan Papa dan aku yang masih bayi. Dia pergi bersama laki-laki itu, entah ke mana dan yang aku tau bahkan Mama melayangkan gugatan cerainya pada Papa. Sejak saat itu Papa hanya fokus pada pekerjaan, mengurus anak dan sesekali sering pergi travelling berdua bersamaku. Bersama Papa, seorang laki-laki yang membesarkan anak tanpa bantuan wanita, aku merasa hidup kami baik-baik saja, walau secara tidak sadar bahwa kejadian orangtuaku membuatku sangat ketakutan untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis yang lebih dari sekedar teman apalagi sampai ke jenjang pernikahan--- sangat tidak pernah terlintas dikepalaku.

Aku memasuki rumah Papa yang seperti biasanya cukup sepi sejak aku memutuskan untuk tinggal sendiri di Temanggung. Otomatis teman-teman yang biasanya meramaikan suasana rumah pun sudah tidak pernah lagi datang ke tempat ini.
Rumah minimalis dengan atap unik ini sekarang hanya di tempati Papa dan beberapa ART. Aku hanya mampir bila sedang lelah menyetir dari kantor ke rumah atau sedang ingin menghabiskan waktu dengan papa.

 

Ketika aku memasuki rumah, aku temukan Papa sedang di halaman belakang dengan reptil kesayangannya, kura-kura aldabra  dan dari aku kecil, aku terbiasa memnggilnya Alda. Tidak hanya Alda reptil di rumah ini. Di rumah Papa kami memiliki berbagai macam kura-kura darat dan air. Bahkan si raja sungai, Kaiman. Beberapa orang kadang menganggapnya adalah buaya. Ya, aku tidak bisa menyalahkan orang-orang itu, karena memang Kaiman masih saudara jauh dari buaya dan alligator.

"Pa?"

"Hmm." Papa hanya bergumam, tapi ia masih asyik memandikan batu kali hidupnya yang aku yakin jika di jual harganya di atas lima ratus juta.

"Aku bingung, Pa."

Papa langsung menoleh ke arahku, memperhatikanku. Wajahnya seolah menyuruhku untuk bercerita lebih.

"Eyang nyuruh aku segera melamar Nada, Pa."

"Ya, sudah buruan dilamar, kamu nunggu apalagi? Apa kurangnya Nada? Bibit, bebet, bobotnya jelas, dari info Dimas ke Papa, kamu ketemu sama dia kemarin. Papa rasa sudah tepat cara kamu pendekatan ke Nada. Walau Papa akui kamu nggak ada pengalaman soal urusan perempuan."

"Baru keluar sekali, Pa. Itupun aku cuma ngopi sama dia di pantai, nggak cukup, Pa buat meyakinkan diri aku kalo Nada itu calon istri yang tepat."

"Kamu ajak saja Nada ke reuni SMA kamu besok minggu malam. Kalo kamu nggak rela dia dilirik, digodain atau dekat sama laki-laki selain kamu, tandanya kamu cemburu, kamu suka sama dia. Sesimpel itu hidup, Jun."

"Ya sudah, coba aku chatt Nada buat ikut acara besok."

***

#ARJUNADA PART 7

Arjuna Harvito Widiatmaja POV

malam ini aku menjemput Nada di rumahnya setelah kemarin sore aku mengirim pesan kepadanya jika aku akan mengajaknya ikut di acara reuni SMA yang diselenggarakan di sebuah hotel. Ketika melihatnya sejujurnya aku jatuh hati. Bagaimana tidak, Nada dengan dress putih model kemben, rambut diurai bisa terlihat begitu cantik. Aku berharap teman temanku SMA tidak akan menyadari bahwa perempuan yang aku "gandeng" malam ini adalah Sharenada Raharja, perempuan yang selalu menghiasi imajinasi mereka ketika masih remaja.

"Jun, baju aku sudah nggak kurang bahan 'kan sekarang?"

Aku hanya tertawa mendengarnya, mau jujur kalo Nada masih terlalu berpenampilan cukup terbuka tapi jam sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB. Jika harus menunggu Nada berganti pakaian akan lebih lama lagi

Aku menggelengkan kepala.

"Enggak, Nad. Kamu cantik banget malam ini."

Aku melihat wajah Nada mulai dari muka leher bahkan sampai telinga berubah menjadi merah.

"Ya sudah, yuk buruan keburu nanti nggak kebagian makan," Nada mengatakan kepadaku dan kemudian ia jalan terlebih dahulu di depanku.

Sampai di parkiran hotel aku membukakan pintu mobil untuknya dan ketika memasuki loby salah satu hotel bintang 5 di jalan AM sangaji itu, aku melihat beberapa teman laki lakiku memfokuskan pandangannya ke Nada. Aku merasa kurang nyaman dengan tatapan yang mereka berikan ke Nada. Sedangkan Nada yang di tatap seolah dirinya adalah es kelapa muda di siang bolong ketika bulan puasa oleh teman temanku itu hanya cuek saja tidak peduli. Ketika kami memasuki pintu ballroom bukan hanya tatapan para pria yang lebih banyak menatap Nada. Aku menyadari tatapan beberapa teman perempuan yang menatap penuh minat padaku. Aku adalah orang yang cukup ramah dan luwes dalam bergaul tetapi malam ini aku harus berterima kasih kepada Nada karena mau menjadi tamengku sehingga para teman wanitaku sedikit lebih berfikir untuk mencoba meminta hal lebih padaku. Layaknya nomer handphone, pertemuan kembali setelah acara reuni dan sekedar jalan.

"Hai, Jun," aku mencari sumber suara itu dan aku temukan Angga sedang melambaikan tangannya padaku. Aku tersenyum dan segera menggandeng Nada menuju ke Angga.

"Wah, lama mggak kelihatan ternyata udah punya gandengan aja lo. Kenalinlah ke gue, siapa namanya?"

Aku tersenyum dan mengenalkan Nada.

"Nad, kenalin ini Angga, teman sebangku aku dulu."

"Nada."

"Angga."

Aku melihat Nada menyalami Angga dan beberapa teman lelakiku sudah berjalan mendekatiku. Ketika teman temanku hampir sampai kepadaku dan Nada, Nada ijin mencari toilet sebentar. Aku hanya mengangguk sebagai respon atas persetujuanku.

"Wah, padahal kesini mau kenalan sama nyonya, malah nyonya kabur," gumam Jefri ketika kami telah berkumpul jadi satu. Di situ ada aku, Angga, Jefri, Tio dan Lukman.

"Nyonya lihat muka lo dari jauh sudah ngibrit duluan, Jef, soalnya tampang lo tampang penjahat," kata Angga.

Kami semua tertawa. Lantas teman temanku memandangku dengan sejuta tanya yang sepertinya ingin mereka tanyakan kepadaku.

"Itu gebetan, pacar, calon istri atau udah sah jadi istri lo, Jun?" Tio menyuarakan pertanyaan yang paling aku hindari malam ini karena aku tidak tau akan menjawab apa.

"Kok kalo di lihat lihat dari jauh, kaya nggak asing sama mukanya, ya?" gumam Lukman.

Tanpa sadar aku menarik nafas dalam dalam dan mengembuskannya perlahan.

"Wajarlah lo nggak asing. Dia Sharenada Raharja. Cewek sekolah sebelah yang sering kalian omongin di tongkrongan dulunya."

Aku melihat bola mata Jefri, Tio dan Lukman yang melebar sempurna sampai hampir jatuh dari tempatnya.

"Bujubunek, ketiban durian runtuh dong lo Jun dapetin Nada."

"Lo kira Nada itu barang, Jef?"

"Ya bukannya gitu, tapi asli deh kalo lo dapetin dia, gue nggak ngebayangin gimana wujud anak lo besok, bapaknya ganteng, emaknya cantik, fix, perlu di indent jadi mantu kalo punya anak."

"Gue yang ogah besanan sama lo, Jef."

"Jun, asli gue penasaran, gimana lo bisa kenalan sama dia? lo 'kan biasanya juga lebih banyak bergaul sama monyet daripada sama cewek. Apalagi cewek modelan Nada gitu. Nggak mungkin juga elo kenalan di gunung."

Tidak mungkin aku bercerita kalo aku dan Nada adalah pasangan yang rencananya akan dijodohkan oleh Eyang-Eyang kami. Belum sempat aku menjawab, aku melihat Nada berjalan ke arahku dan tatapan teman temanku semakin ngiler dibuatnya. Aku mendengar Lukman berdeham ketika Nada telah bergabung dengan kami.

"Eh, temen-temen Juna ya, kenalin gue Nada," kata Nada dengan ramah bahkan senyum menghiasi wajahnya beserta tangan yang menyalami temanku satu persatu selain Angga.

"Wah, makin cantik aja lo, Nad habis lulus SMA. Tapi apes nasib lo, Nad dapet pangeran gunung,p" kekeh Lukman pada Nada.

Aku melihat Nada bingung dan menatapku seolah berkata, "teman kamu bisa kenal aku darimana?"

Aku hanya menggangkat kedua bahuku sekilas, tidak mungkin juga jujur pada Nada kalo selama ini dia terkenal sebagai simbol pacar idaman laki-laki di sekolahku dulu.

"Masa? Padahal kita barusan kenalan."  Nada membalas Lukman dengan senyuman yang ramah.

"Ya memang baru kenal barusan tapi gue salah satu pemuja rahasia lo dulu pas SMA. Anak mana, Nad yang nggak tau lo walau lo anak sekolah sebelah. Apalagi satu geng Lo yang ada cowok satu dan dua cewek lagi."

Aku bersyukur tidak harus menjawab dimana aku berkenalan dengan Nada tapi melihat interaksi Nada dan taman temanku yang sepertinya sedang mencari celah untuk banyak berbicara dengan Nada, ada perasaan tidak rela dan dongkol yang aku rasakan.

"Nad, kita cari makan dulu saja yuk ke sana," kataku sambil menunjuk bagian sebelah kanan ballroom, sebisa mungkin untuk menjauh dari teman temanku. 

Nada mengangguk sambil tersenyum

"Gue sama Juna duluan, ya."

Aku mendengar Nada mengucapkan itu dan setelahnya Nada langsung merangkul lengan kananku dan menuntunku berjalan menuju area kanan ballroom

Ingin aku tertawa melihat ekspresi teman temanku yang melongo melihat kejadian ini. Aku yang dikenal tidak pernah dekat dengan cewek lebih dari sekedar teman malah bisa menggandeng Nada.

Sharenada Raharja POV

Ketika aku ke toilet dan sedang didalam bilik, aku mendengar orang yang aku yakin sedang membicarakan aku karena malam ini yang digandeng Juna itu aku. Siapa perempuan yang tidak sebal dighibahin oleh orang yang kenal kita juga tidak tapi sok sokan tau. Dan aku salut dengan orang yang berprofesi sebagai artis karena mereka punya kuping yang tebal, sayangnya kupingku ini masih masuk kategori tipis.

"Lo lihat nggak tadi Juna pas masuk ballroom gandeng cewek?"

"Iya gue lihat, bikin sebel ajakan, sudah dandan habis habisan gini niatnya biar Juna ngelirik, taunya malah bareng nenek lampir. Pasti tu nenek lampir yang rayu rayu Juna sampai akhirnya Juna mau ngajakin dia di acara kaya gini."

"Hahaha... Lo masih ngarepin Juna ngelirik lo setelah dulu lo ditolak?"

"Pastilah, gimana mau berpindah hati kalo di medsosnya aja Juna nggak pernah upload foto pasangannya."

"Awas saja tu cewek kalo sampai gue dapet fotonya, gue santet biar nggak ada saingan lagi "

Aku mendengarkan percakapan itu dengan emosi bercampur takut. Apa dia bilang tadi, santet?

Santet? Gila kali tu orang ya, bikin emosi jiwa aja. Kaya nggak ada laki-laki lain. Aku keluar toilet dengan perasaan jengkel tapi kalo di pikir-pikir lagi lebih baik aku panas panasin aja sekalian cewek itu walau aku tidak melihat wujud rupanya, aku yakin dia pasti mengawasi gerak gerikku dan Juna malam ini. Maka dari itu aku merangkul lengan Juna, biar itu cewek makin dongkol di hati. Untungnya yang di rangkul lengannya hanya diam pasrah saja, sudah kaya kebo dicolok hidungnya.

Sebenarnya ini salah Juna juga, kenapa mesti dandan ganteng banget malam ini, toh kemarin waktu camping stylenya nggak ada bagus bagusnya sama sekali. Padahal malam ini cuma reuni sekolah.

"Jun, sampai nanti kita keluar dari ballroom ini, aku harap kamu pasrah saja kalo aku nempel ke kamu kaya mimi lan mintuno," Bisikku pada Juna.

"Emang kenapa?"

"Sudah pokoknya gitu, awas kalo nggak mau kerjasama."

Bukannya menjawab, Juna hanya terkekeh.

Dan benar saja ketika kami sedang makan, giliran teman teman perempuan Juna yang mendekat ke kami lebih tepatnya mendekat ke Juna. Memang aku akui di balik Juna yang nggak ada keren kerennya seenggaknya dia bisa menempatkan diri ketika harus berdandan rapi dan ternyata Juna dengan style rapi, bak cowok metroseksual seperti ini lebih berbahaya karena Juna laksana gula sedangkan para perempuan itu adalah semutnya. Kalo aku menjadi pasangannya apakah aku sanggup menghadapi ini semua? Ini baru setitik realita yang harus aku hadapi jika aku ingin meneruskan keinginan Eyang untuk menikahi Juna.

"Nad?" panggilan dari Juna menyadarkan aku dari lamunan.

"Eh, iya, kenapa?"

"Dewi ngajak kenalan kamu itu?"

"Oh iya, sorry." Aku langsung menyalami tangan Dewi yang sudah terulur padaku sambil menyebutkan namaku.

Setelah menyalami Dewi, aku menyalami beberapa grupies-nya Juna yang datang bersama Dewi. Ada Yana, Wulan, Ovi, Tias, dan Khansa. Aku tidak perlu menjadi cenayang untuk mengetahui jika mereka sedang menilaiku dari atas sampai bawah. Untuk pertama kalinya aku bersyukur memiliki tubuh tinggi di atas rata-rata wanita Indonesia. Dengan tinggi 178 cm, berat 57 kg dan aku memakai high heels setinggi 10 cm, aku setidaknya bisa mengintimidasi bagai raksasa yang tinggi menjulang di depan mereka. Bahkan tinggiku saat ini sejajar dengan Juna.

Sebelum para grupiesnya ini menanyakan yang tidak tidak, Juna langsung memeluk pinggangku untuk mendekat dan sok sokan mencium keningku. Otomatis semua  perempuan di depanku ini tidak akan jadi menanyakan hal-hal yang aku yakin tidak jauh dari interogasi agen CIA.

"Kapan hari H-nya, Jun?"

Buset juga si Dewi, nggak ada angin nggak ada hujan langsung nembak nanyain hari H nya pula.

"Banyakin nabung aja dulu, Wi buat isi amplop sumbangan kawinan gue besok."

Sumpah, pengen ngakak pas lihat muka Dewi yang shock parah dengan jawaban Juna yang ajaib.

"Ye, gue itu nanya biar gue bisa kosongin jadwal. Takutnya gue pas lagi di luar kota."

"Tunggu saja, nanti juga sampai ke Lo tapi jangan sampai pingsan kalo nerima undangan kawinan gue nantinya."

Oh, lelaki di sebalahku ini tingkat kepercayaan dirinya sudah setinggi nirwana sampai bisa mengucapkan kata kata seperti itu.

Karena sudah capek berbasa basi dengan para perempuan di depanku ini, akhirnya aku pamit undur diri

"Sorry, gue sama Juna kesana dulu ya, mau ambil minum. Permisi. Yuk babe."  Kataku ramah sambil menggandeng Juna untuk berjalan meninggalkan para grupies nya.

Walau aku tidak melihat tapi ketika aku mendengar Juna tertawa pelan disebelahku, aku tau, malam ini sandiwara kami berdua cukup sukses.

Pukul 22.00 WIB aku meninggalkan loby hotel tersebut. Beberapa pasang mata masih terarah kepada kami ketika kami menuju pintu keluar hingga masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil aku melirik Juna yag beberapa kali tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

"Kamu kenapa, kesambet?"

Juna menoleh kepadaku, "Nggak, cuma lucu saja lihat tingkah kamu tadi. Sudah cocok kalo mau jadi aktris."

"Sekali kali bikin hot gosip di acara reuni nggak ada jeleknya, Jun "

"Tapi makasih ya, udah mau nemenin malam ini."

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

***

#ARJUNADA PART 8

Arjuna Harvito Widiatmaja POV

Semalam akhirnya aku menelepon Nada setelah 5 hari kami tanpa saling memberi kabar apapun selepas acara reuni SMA-ku kemarin. Aku sengaja meneleponnya karena ingin menanyakan tentang acara besok, apakah ia jadi ikut atau tidak, hanya berjaga jaga saja siapa tau Nada mundur di detik-detik akhir.

Tutt...tuuttt...tutt... 

"Halo, Jun."

"Halo, Nad, aku mau nanyain besok kamu jadi sama teman-teman kamu buat ikut aku ke Merbabu?"

"Jadi, Jun. Jam berapa, ya kita ketemuan dan mau ketemu dimana?"

"Kalo bisa sampai basecamp sih siang aja biar istirahat dulu, kita start jalan setelah isya'. Aku jemput aja gimana? kebetulan aku naik motor sih, Nad."

"Duh, Jun kayanya nggak mungkin aku nebeng kamu, soalnya aku kudu nunggu si Deva kelar acara survey lahan baru buat resort di daerah kaliurang sama boss-nya. Jadi kemungkinan Deva siang baru kelar sampai sana bisa sore. Aku usahain sebelum maghrib sudah sampai sana. Kamu bisa nanti share lock, ya?"

"Okay, kalo gitu sampai ketemu besok. Bye, Nad."

"Bye, Juna."

Aku langsung mematikan telepon dan berharap semoga Nada betul-betul bisa menemukan basecamp-nya. Semalam aku sudah mempacking seluruh kebutuhanku. Hanya tinggal berangkat saja besok.

***

Sabtu siang aku sudah sampai di basecamp wekas. Di sana sudah mulai ramai para pendaki yang sudah mulai turun dan ada yang akan naik, aku termasuk yang menyukai mendaki di malam hari untuk menuju ke atas. Rencananya hari ini temanku yang ikut mendaki di Wekas diantaranya ada Prima, Sultan, Nico, Rio, Manda dan Fita. Usia mereka semua ada di bawahku. Aku mengenal mereka ketika mendaki di Merapi tahun lalu.

"Mas Juna, sini, Mas," aku menoleh dan melihat Manda melambaikan tangannya padaku. Aku tersenyum dan menuju ke mereka. Ternyata mereka sudah sampai di sana semuanya.

Aku meletakkan cerrier dan duduk di sebuah kursi. Aku melihat Prima sedang dangdutan dengan music koplonya sampai tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya.

"Hai, Mas. Tekan kene jam piro?" Tanya Sultan padaku. Ia mengambil posisi duduk di sebelahku dan langsung menikmati intel nya alias indomie telur. (*Hai, Mas. Sampai sini jam berapa?)

"Lagi wae*." (*baru saja)

"Katanya teman lo ada yang mau ikut, Mas, mana kok nggak kelihatan?"

"Teman gue nanti mungkin rada sorean sampai sininya, Fit."

"Oh, cewek atau cowok, Mas?"

"Kenapa?" Tanyaku pada Fita.

"Ya kalo cowok 'kan lumayan buat cuci mata."

Aku hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalaku

"Harapan lo nggak terkabul, Fit. Tiga orang cewek semua dan belum pernah mendaki. Makanya gue minta tolong kalian buat sedikit memaklumi kalo mungkin perjalanan kita lebih lama nantinya karena banyak istirahat."

"Santai, Mas tanpa temen-temen lo juga kalo naik sama gue kebanyakan ngaso-nya, Mas."

Aku mendengar handphoneku berdering dan nama Nada muncul di sana. Aku segera mengangkatnya.

"Hallo, gimana, Nad?"

"Jun, aku sudah sampai di Artoz, shareloc-nya, Jun. Buruan, ya, aku tunggu."

"Okay."

Nada langsung mematikan teleponnya. Aku mengshare lokasinya pada Nada. Sekitar satu jam setelah aku sudah mengshare lokasi basecamp tempatku berada, suara Rio yang gaduh membangunkan tidurku.

"Nic...Nic... Nic... Ada bidadari cantik turun dari mobil," kata Rio heboh.

"Bidadari turun dari kayangan goblok, bukan dari mobil!"

"Asli ah, cepetan ayu tenan, imut. Wajib kenalan. Gek uwes mrene*!" (*buruan kesini)

Suara handphoneku kembali berdering lagi dan aku yang jadi siaga sejak mengshare lokasinya pada Nada langsung tanggap. Aku segera mengangkat telepon dari Nada

"Halo, Nad. Kamu sampai dimana?"

"Aku sudah sampai di lokasi."

"Okay, Aku keluar dulu sebentar."

Aku bangkit dari tidurku dan keluar dari basecamp tanpa mematikan telepon dari Nada. Melihat ke arah depan sudah ada Nico dan Rio yang memandang sebuah mobil Pajero warna putih keluaran terbaru. Terlihat di depannya ada seorang perempuan mungil sedang melihat lihat sekitarnya dan aku melihat Nada masih duduk di belakang setir mobilnya sambil melambaikan tangan padaku.

"Kamu sudah lihat aku 'kan, Jun? Aku matiin ya teleponnya?"

Aku menghampiri Nada yang keluar dari mobil ketika telepon telah ditutup oleh Nada dan melihat seorang perempuan lagi turun dari kursi penumpang depan.

"Hai Jun, sorry baru dateng jam segini. Oh iya, kenalin ini dua sahabatku, soalnya satunya nggak bisa ikut. Sibuk di rumah sakit. Ini Deva dan Salma," kata Nada memperkenalkan kepadaku dua sosok wanita dan aku menyalaminya.

Setelah itu aku membantu mereka mengeluarkan perlengkapan mendakinya. Tanpa aba-aba, Rio dan Nico sudah berada di samping kami semua dan Rio berdeham. Aku yang paham maksudnya langsung memperkenalkannya.

"Nad, kenalin ini temen temenku yang ikut naik hari ini, ada juga di sana masih 4 orang," kataku pada Nada dan aku melihat betapa Rio dan Nico menatap penuh damba kepada Nada dan teman temannya.

Aku melihat Nada dan teman temannya menyalami Rio dan Nico.

"Sini, Mbak gue bantu bawain cerriernya," kata Nico pada Nada.

Nada hanya tersenyum canggung dan menolak dengan halus. "Nggak usah, gue bisa bawa sendiri kok."

"Lo nawarin Nada, coba nawarin gue, Nic nggakk akan gue tolak," kata teman Nada yang bernama Salma.

"Owalah, sini Mbak, gue bawain," dan tanpa basa basi Salma dengan senang hati menyerahkan cerriernya yang sebenarnya paling kecil diantaranya teman temannya karena berukuran 30 liter. Mereka semua berjalan di depanku dan Nada.

Aku melihat Nada sedang memandangku sambil tersenyum. Entah kenapa aku yang dipandang seperti itu olehnya jadi sedikit salting dan malu.

"Makasih ya, Jun sudah mau ngajakin aku dan temen temenku mendaki."

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum tanpa berani memandangnya balik

"Iya, sama-sama."

"Aku harap kami bertiga nggak akan bikin kalian jadi lama sampai puncak."

"Buat aku di mana kaki berpijak, disitulah puncak berada."

"Oh, jadi kamu bukan pengejar puncak, ya?"

"Bukan, aku nggak selalu naik ke gunung sampai puncak. Toh, puncak nggak akan lari di kejar, puncak cuma bonus."

Ketika aku memasuki basecamp, anak-anak yang disana langsung memandang kami, biasanya juga tidak ada yang melihat orang keluar masuk sampai seperti ini. Mungkin karena Nada dan teman temannya. Bohong jika aku bilang mereka bertiga tidak menarik. Aku yakin setiap laki-laki di sini memliki tipe perempuan entah seperti Nada yang eksotis dengan body bak supermodel, Salma dengan wajah cantiknya tinggi sekitar 165 cm, putih, berambut panjang atau Deva dengan tubuh kecil mungilnya, wajah imut, masih pantas pakai seragam sekolah SMA bahkan SMP. Aku yang melihat saja awalnya ragu kalo Deva sudah seumuran denganku.

***

Sharenada Raharja POV

Pembuktian kesabaran salah satunya  adalah ketika dua sahabatmu tidak bisa berhenti berdebat tentang hal tidak penting tapi tidak ada yang mau mengalah.

Contohnya adalah saat ini, hanya tentang pembagian beban di dalam tas gunung mereka. Deva yang merasa Salma tidak adil karena banyak membawa logistik tapi menitipkannya kedalam tasnya, sedangkan Salma merasa badannya hanya mampu membawa tas gunung berukuran 30liter bukan 60 liter.

"Lo yang packing ulang tas gue ya, Sal? soalnya tas gue jadi bunting ini."

"Enak aja, gue nggak packing ulang, cuma gue sendlepin aja itu beberapa logistik gue ke sana."

"Ya itu yang bikin tas gue bunting. Gue bedah aja deh ini tas," kata Deva dari kursi penumpang belakang sambil mulai membuka tas gunung berwarna hijau itu.

"Jangan, Dev. Anggap aja itu wujud terimakasih lo ke gue karena gue bersedia minta pinjam mobil ke Om Tom buat kita pakai sekarang."

Aku terpaksa meminta Salma untuk meminjam mobil ke Om Tom, karena tidak mungkin aku mengorbankan priusku atau Salma mengorbankan Ferrari tercintanya. Sedangkan Deva? Mobilnya baru dijual kemarin untuk menambah uang pembelian rumah yang akan Deva gunakan sebagai guest house di daerah Wonosari. Lagipula tidak mungkin juga kami membawa mini Cooper Deva, bisa-bisa Deva nangis 7 abad kalo mini Cooper kesayangannya rusak.

"Oh, lo nggak ikhlas, ya?"

"Bukan nggak ikhlas, tapi perjuangannya itu, Dev buat mau diajakin dinner dia, males banget gue ketemu sama om-om ganjen satu itu."

Tidak tahan aku kemudian ikut nimbrung.

"Om Tom macho gitu, Sal. Lo nggak pengen apa gebet dia? jadiin dia suami gitu. Toh, harta bokap lo 'kan di dia semua sampai lo nikah dan punya anak."

"Iya nih, kutil satu bego banget ya nggak, Nad?"

Aku hanya menjawab kata-kata Deva dengan anggukan.

"Anjir, lo panggil gue kutil?"

"Iya daripada lo gue panggil upil pilih mana? coba aja lo pikir ulang, Om Tom duitnya nggak berseri, tampangnya hot pakai banget dan jangan lupain kalo dia bule. Perbaikan keturunan itu, siapa tau kita bisa besanan besok."

"Buat lo aja kalo lo minat sama om-om umur 44 tahun, gue kagak minat nikah. Eh, tapi nanti Pak Boss berondong kesayangan gue gigit jari dong kalo lo sama Om Tom."

"Sudah jangan mulai ngebahas Fabian, gue eneg tau pengen muntah, udah gue bilang pengen resign saja tapi bagian HRD nggak pernah acc, katanya khusus gue harus minta acc. Fabian langsung. Bangke memang si brondong sakit jiwa."

"Ya sudah, kita nggak usah ngebahas cowok buat weekend ini. Kita nikmatin aja pendakian pertama kita ke Merbabu via Wekas ini."

Ketika aku telah sampai di perempatan daerah Armada Town square yang cukup ramai ini, akhirnya aku menelepon Juna. Tidak lama juna mengangkat telepon dan dia mengshare lokasinya.

Setelah hampir satu jam akhirnya kami tiba di wekas. Wow, Sungguh enak udaranya. Kami tiba pukul 4 sore. Deva adalah orang pertama yang tidak tahan untuk langsung turun dari mobil. Aku segera menelepon Juna, tidak lama setelahnya aku melihat Juna dengan sweeter dan celana panjang keluar dari basecamp. Salma yang duduk di sebelahku ketika melihat Juna berjalan ke arah mobil kami sudah ngoceh. "Nad, gue nggak mau tau, lo harus nikah sama Juna, lihat deh, Nad cara dia jalan, ah.. laki banget, nggak rela gue kalo dia nggak jadi suami Lo. Lo harus jadi istrinya, Nad."

"Nggak usah kebanyakan berharap, Sal
hidup realistis aja, kalo jadi istrinya, hidup gue penuh ancaman dan ghibahan di mana-mana."

Suara tawa Salma memenuhi isi mobil saat ini.

"Asli, Nad gue kalo inget soal ancaman santet itu bukannya marah, tapi pengen ngakak."

Ketika Juna sudah di dekat mobil, aku segera turun dan ya Tuhan, betapa tidak adilnya dunia ini. Juna kaya gini aja cakep banget, seketika pengen jadi tas gunung yang selalu di gendong Juna. Receh banget sih aku jadi perempuan.

Ketika aku turun bersama Salma, aku memperkenalkan Juna kepada Salma dan Deva, tidak lama kemudian teman-teman Juna memperkenalkan dirinya pada kami.
Kami berjalan bersama memasuki basecamp.

Di basecamp sangat terlihat keramaian, wah, ngalamat tidak jadi aku memejamkan mata untuk merem kali ini.

"Nad, tasnya taruh sini," Juna menunjuk sebuah sudut tembok dekat dengan kursi, aku mengikuti instruksinya.

Setelah itu aku di kenalkan kepada Prima, Sultan, Manda dan Fita. Aku melihat Manda menatapku dengan tatapan yang seakan tersaingi dan tatapan ini disadari oleh Salma.

Gimana lagi kalo kalian punya teman yang bakat banget jadi kompor kaya Salma ini ditambah satunya bakat jadi angin, makin kebakaran yang ada kalo disatuin. Untung saja Robert sedang tidak ada bersama kami saat ini.

Nasib ... Oh ...Nasib...

"Lo berdua serasi ya, sudah nggak sabar gue pengen jadi Bridesmaids," kata salma sengaja banget di deket Manda.

Aku dan Juna hanya tersenyum kikuk, bingung mau menanggapi apa.

"Kayanya kita kali ini cuma mau antar orang ta'aruf, Sal. Jagain mereka supaya jangan sampai ada orang ke tiga apalagi pelakor."

Ini lagi Deva malah jadi angin, makin tambah tajam ini tatapan Manda ke aku.

"Kita ngeShipin mereka gimana?"

"Boleh lah, Perfect couple." jawab Deva santai.

"Kawal sampai halal ya, Dev. Semoga kapal gue berlayar sampai KUA," kata Salma yang ditanggapi tawa kemenangan di wajah Deva.

"Kalian ngomong apa sih? gue mau ke toilet bentar, titip harta gue, jangan digeledah apalagi dikorupsi isinya." kataku sambil berdiri dan menunjuk tas gunung. 

Aku berjalan meninggalkan mereka semua karena aku tidak tahan dengan tatapan Manda. Eh, malah si Kunyuk satu ini ngintilin di belakangku.

"Apes... Apes nasib Lo, Nad." kataku dalam hati.

***

#ARJUNADA PART 9

Sharenada Raharja POV

Aku keluar dari basecamp ke pintu belakang menuju toilet, tapi hidungku bisa merasakan aroma parfum penhaligon's mengikutiku sepanjang jalan. Aku suka wanginya karena jarang pria yang memakai parfum ini. Aku tidak perlu menjadi parno, karena aku tau siapa yang mengikuti. Tanpa membalik badan aku bertanya padanya.

"Kamu ngapain ngintilin aku ke sini. Mau daftar jadi bucin?"

Bukannya menjawab Juna malah terkekeh di belakangku. Aku terus berjalan hingga masuk antrian toilet, yang antri bejibun, udah kaya antri BLT, untungnya tertib.

"Nggak ada dalam kamus hidup aku jadi bucin, yang ada cewek-cewek pada bucin ke aku, Nad."

Aku membalik badan dan menemukan Juna sedang tersenyum malu-malu.

"Akuin aja, kalo kamu sebenarnya malu ngomong begini."

"Hehehe...iya tau aja kamu, Nad."

Kami sama-sama terdiam beberapa saat hingga akhirnya aku mendengar Juna berdeham sebelum berbicara.

"Nad, Sabtu depan Eyang ngajakin nglamar kamu ke keluarga. Kamu mau 'kan kalo nikah sama aku?"

Aku hanya sanggup melongo mendengar perkataannya.

Anjir...
Aku bukan orang yang selalu memimpikan akan dilamar atau diajak nikah dalam suasana romantis atau candle light dinner tapi di lamar di depan toilet yang penuh dengan orang yang sedang antri  tidak masuk dalam daftar apalagi terbayang dalam hidupku. Inilah mungkin salah satu wujud nyata dari ekspektasi tak seindah realita.

"Kamu sadar nggak sih kalo kamu salah tempat buat ngomongin hal kaya gini?"

"Memangnya kenapa?"

"Ini di depan toilet, Jun mana rame pula."

"Mereka diem aja, cuek gitu. Lagian aku nggak teriak-teriak. Nggak akan ada yang sadar."

"Ya tapi aku sadar, Jun."

"Ya 'kan memang kamu yang aku ajak ngomong."

"Udahlah habis ini giliran aku buat masuk, pertanyaan kamu belum bisa aku jawab."

Aku melihat denah peta pendakian gunung merbabu via wekas dari internet. Dan wow... Ini adalah salah satu pembuktian kekuatan fisik dan mental. Benar kata Juna paling tidak butuh waktu delapan jam. Apakah aku takut? Tentu saja tidak, aku sudah mempersiapkan fisikku selama satu minggu, setiap pulang kantor nge-gym bareng Deva dan Salma khusus untuk persiapan kami mendaki.

***

Setelah Maghrib kami semua berkumpul dan bersiap siap. Kami membagi posisi jalan. Di paling depan ada Sultan, dibelakangnya ada Fita, dibelakang Fita ada Ri, setelah Rio ada Manda, di belakang Manda ada Prima, di belakang Prima ada Deva, di belakang Deva ada Salma diikuti Nico, aku, dan paling belakang Juna.

Kami berjalan perlahan dan beriringan. Aku tidak pernah menyangka mendaki bersama sahabat sahabatku lumayan mengasyikkan, biasanya kami menghabiskan liburan ke Bali, Malang, atau luar negeri. Bisa liburan ke luar negri biasanya karena di gratisi oleh Salma, bukannya tidak mampu membayar, hanya saja biasanya Salma juga tidak akan mau berangkat menemui Papinya yang tinggal di London sejak perceraian dengan Maminya kalo tidak ditemani. Tapi tidak selalu Inggris yang menjadi tujuan, bisa Perancis, Italia, Spanyol bahkan Russia. Semua tergantung juragan Salma. Dan sudah tidak kurang dari 5 kali aku dan Deva menemani Salma ke Luar Negeri dan selama itu pula rekan bisnis Papi Salma yang pria Italia itu tidak pernah  melewatkan waktu bertemu Salma. Tapi Tuhan punya rencana lain, ternyata Papi Salma berpulang sekitar 1 tahun yang lalu akibat sakit jantung koroner.

"Nad , kamu kalo capek bilang, biar kita istirahat dulu."

"Nggaklah, Jun masih sanggup."

Kami tiba di Pos 1 yang terdapat makam. Tapi kini pos ini sudah di hapus dan kami harus lanjut jalan ke atas. Setelah perjalanan 30 menit dari makam berada, Fita mengatakan, "Leren ... Leren" yang berarti ngaso atau istirahat. Kami semua mencari tempat. Asli kalo misal aku di tinggal sendiri aku bisa mati ketakutan di sini. Gelap, pohon besar-besar mulai terlihat dan adanya pipa-pipa besar di sepanjang jalur pendakian.

"Jun, ini pipa apa?"

"Pipa mata air."

"Ini punya perusahaan air minum?"

"Dengar-dengar sih katanya banyak yang mau ajuin buat mengelola airnya, tapi katanya ini digunakan warga sekitar buat kemakmuran bersama, biar lebih lestari juga."

Aku hanya bisa melongo disebelah Juna. Sedangkan dua sahabatku sudah merem melek kehabisan nafas. Mereka berusaha mengatur nafasnya sambil menyelonjorkan kakinya.

"Berarti di atas banyak air?"

"Banyak, ada kerannya juga. Di pos 2 nanti kita dirikan tenda, kalo kamu mau mandi juga airnya melimpah asal ikhlas jadi tontonan."

"Kok kamu nggak bilang sih, Jun. Tau gitu aku nggak bawa air banyak banyak." Reflek aku memukul lengan Juna dan tanpa aku sadari suaraku lebih tinggi 2 sampai 3 oktaf karena semua mata sekarang tertuju kepada kami.

"Tuh, Dev lo denger sendiri, perkara air doang diributin. Makanya gue nggak mau kawin."

Deva tersenyum lemah di samping Salma,"parah lo, Sal kalo nggak mau kawin, ibarat punya Buggati tapi cuma lo anggurin di garasi doang."

"Maksud lo?"

"Lihat body sama tampang lo, mubazir banget kalo kagak digunain buat dapet suami. Minimal dapatin Om Tom."

Aku dan Juna hanya memandang Deva dan Salma yang berbicara ngalor ngidul tidak jelas, bahkan tidak sadar aku memperhatikan mereka lebih lama daripada yang aku harapkan.

"Nad?"

Aku menoleh melihat Juna yang tersenyum manis kepadaku. Ya Tuhan, ini sih salah satu mahluk ciptaan Tuhan yang perlu dilestarikan, karena sempurna sekali ciptaanMu Tuhan. Sudah keringetan gini, malam-malam bukannya kelihatan kucel tapi justru tampang Juna kelihatan makin hot pakai banget. Jadi pengen aku bawa ke rumah, aku masukin kulkas, biar awet.

"Kalo kamu pengen lihat sifat asli seseorang, kamu bisa ajak dia mendaki ke gunung. Semua sifat asli mau baik atau buruk kemungkinan besar kelihatan."

"Itu berdasarkan penelitian atau cuma menurut kamu aja?"

"Ya walau cuma pendapatku aja tapi lebih sering mendekati kebenaran."

"Kalo gitu coba kamu jelasin 2 sifat curut yang lagi selonjoran bareng itu berdasarkan analisa kamu."

"Nanti, setelah melewati semua pos, ini baru permulaan."

"Fix, ya jangan sok amnesia kalo aku tagih."

"Iya, yuk ah, udah kelamaan istirahat. Udah mulai kedinginan ini kalo nggak gerak." Aku melihat Juna berdiri. "Lanjut, yuk." Kata Juna dan kami semua melanjutkan perjalanan dengan formasi sama seperti di awal.

Setelah perjalanan sekitar 3 jam lebih, hampir 4 jam, kami tiba di pos 2 dan sudah cukup banyak tenda yang didirikan di sini. Aku kemarin membeli tenda untuk ukuran 4 orang tapi karena aku serta Deva dan Salma tidak terlalu bisa mendirikan tenda, kami di bantu Nico dan Juna.

"Mbak-Mbak semuanya duduk aja, biar gue sama Mas Juna yang diriin tendanya."

"Enggaklah, gue bantuin, biar gue bisa belajar. Jadi besok kalo mendaki lagi, gue ngerti gimana diriinnya." kataku sambil membantu memasukkan besi-besi yang akan menjadi rangka tenda.

Aku melihat Salma sudah duduk di dekat tas kami sambil ngos ngosan, sedangkan Deva mulai turut membantu menyenteri Nico.

Sekitar 10 menit setelahnya tenda kami sudah jadi dan Salma akhirnya bertugas menata matras di dalam tenda, menggantungkan lampu senter di atas biar tidak gelap. Aku melirik jam tanganku, ternyata sudah pukul 22.00 WIB. Aku mulai masuk ke tenda, di dalam sudah ada Salma dan Deva yang asyik tiduran berbantalkan sleeping bag masing masing.

"Hayo ...pada ngapain," kataku ketika memasuki tenda dan mulai menutup tenda ketika aku telah berada di dalam.

"Lagi menikmati kaki pegel-pegel tapi asyik. Bener nggak, Sal?"

"Iya, bener juga. Kenapa ya nggak dari dulu dulu aja kita begini kalo liburan?"

"Jawabannya jelas odong, kagak ada yang ngajakin." kata Deva di sebelah Salma sambil terkekeh.

Aku ikut merebahkan diri di samping Salma. Kini Salma ada di tengah tengah antara aku dan Deva.

"Nad?" Aku mendengar suara Deva yang memanggilku. Aku menoleh padanya.

"Apa, Dev?"

"Lo yakin Juna nggak punya perasaan apa apa sama lo?"

"Kenyataannya begitu. Emang kenapa?"

"Nggak, cuma aneh aja sih, dia itu kaya ngejagain lo banget selama perjalanan tadi, bener-bener kaya jagain pacar, mana bahasanya aku kamu."

"Kalo kata Emak awas ya jangan sampe lecet gitu, Dev maksud lo?" Tanya Salma ikutan nimbrung.

"Bukan gitu, Sal maksud gue. Lo sih nggak bakalan paham, pacaran aja nggak pernah."

"Iya deh percaya, yang pacaran hampir 15 tahun tapi ternyata cuma jagain jodoh orang."

Bug...Bug...bug ...

Suara botol air 1,5 liter yang isinya tinggal sedikit menghujani tubuh Salma bertubi-tubi.

"Udah deh, Sal jangan bahas itu! untung gue masih hidup ini. Gara-gara bego minum racun serangga."

Salma hanya terkekeh, mau tidak mau aku ikut terkekeh. Tapi kalo kemarin ketika Deva di bawa ke rumah sakit tentu kami tidak ada yang tertawa, berusaha tegar saja kami sulit karena Deva sempat kritis. Bahkan Robert yang dokter tetap tidak bisa tenang.

"Gue enggak tau, Dev. Juna nggak pernah bilang suka atau semacamnya. Cuma tadi dia bilang sama gue. Sabtu depan dia sama keluarganya mau nglamar gue, terus tanya gue mau nggak nikah sama dia."

"Kapan dia ngomong? Gue udah pasang telinga bener-bener, nggak ngedenger sekalipun Juna ngomong begitu."

"Tadi, Sal pas Juna ngintilin gue ke toilet."

"Jadi lo dilamar di toilet?"

Aku hanya mengembuskan nafas serta mengangguk mengiyakan. Tawa kedua curut itu begitu lepas di tengah malam yang begitu dingin di pos 2 gunung Merbabu ini.

"Puas lo berdua ngetawain gue mulu?"

"Asli, Nad ini itu lamaran terbaik serta terunik. Kapan lagi ada orang nglamar cewek di toilet mana suasananya rame pula." kata Deva.

"Saking baiknya, orang nggak akan ngira kalo seorang Sharenada Raharja dilamar di toilet umum." Tambah Deva kemudian tertawa lagi.

Setelah tawa mereka reda , kemudian mereka memasang tampang serius lagi.

"Terus jawaban lo apa?" Tanya Deva.

"Iya, penasaran gue," imbuh Salma.

"Gue bilang kalo gue belum bisa jawab."

"Yah... Penonton kecewa pemirsa. Bubar-bubar." Kata Deva kemudian membaringkan tubuhnya kembali di sebelah Salma.

Arjuna Harvito Widiatmaja POV

Hari ini adalah hari dimana aku mengajak Nada mendaki ke Merbabu via wekas, dan sejak memasuki basecamp, aku tau tatapan tatapan lapar itu menghujani 3 perempuan ini. Siapa lagi kalo bukan Nada, Salma dan Deva. Terserah mereka mau menatap siapa, tapi ketika aku sadari tatapan mereka banyak yang tertuju ke Nada, ada perasaan tidak ikhlas, tidak rela. Walau Nada menggunakan celana panjang dan kaos panjang, tetap saja aura seksi dan supermodelnya tidak bisa disembunyikan. Apalagi ketika Nada meminta ijin mau ke toilet, reflek aku langsung mengikutinya. Aku tidak mau Nada menjadi santapan lapar mata para laki-laki. Entah perasaan aneh apa ini yang aku rasakan?

Lebih goblok lagi, aku membuka percakapan yang seharusnya tidak dilakukan di tempat ini. Aku mengatakan kepada Nada kalo Sabtu depan aku akan melamarnya dan apakah dia mau menikah denganku? Secara gampangnya, ini sama saja lamaran. Dan wanita mana yang tidak marah dilamar di depan toilet ketika banyak orang sedang mengantri ingin melakukan "setoran"?

Aku memang ramah kepada semua orang oleh karena itu kadang ada perempuan yang suka salah mengartikan tindakanku tidak terkecuali Manda. Aku bukan laki-laki yang bodoh sehingga tidak bisa melihat tatapan memuja di matanya padaku. Biasanya aku hanya cuek saja tidak menanggapi hal hal seperti ini. Namun lain untuk hari ini, aku merasa takut Nada tidak nyaman ketika di dekatku.

Ketika kami kembali masuk ke basecamp, aku menemukan Salma dan Deva sedang bernyanyi lagu koplo bersama prima  secara duet. Sudah pantas kalo mau nglamar jadi anggota orkes melayu.

Birunya cinta kita berdua
Semoga abadi seperti birunya langit

Hatiku pasti hatimu jua
Biarlah bersama di dalam suka di dalam duka
Berdua kita bahagia

Jangan, jangan kau simpan cintamu
Di balik awan yang hitam
Karna langit masih seperti yang dulu
Anggun dan biru seperti birunya cintaku padamu

"Nad, kamu sudah makan belum? Kalo belum kamu pesen makan dulu gih." kataku sambil mulai duduk di ikuti Nada.

"Aku bawa nasi rendang sih, jadi nggak usah pesen."

Seketika mataku melebar, pucuk dicinta ulam pun tiba.

"Serius kamu?"

"Iya. Kenapa kamu lihatin aku begitu?"

"Aku lapar, sini buruan keluarin, aku minta."

Tanpa menjawab, Nada mulai membuka tasnya. Dan benar saja lunch box Tupperware warna ungu itu ketika di buka berisikan rendang sapi yang menggugah selera. Isinya banyak ada 15an potong.

"Nasinya mana?"

Nada mengembuskan nafas, kemudian dengan berat hati dia membuka kotak yang berisikan nasi.

"Jangan dihabisin, bagi dua ya."

"Yah, Nad, nggak bakalan kenyang, bentar deh kedalam dulu aku, mau beli nasi sama minum."

"Ke dalam ke mana?"

"Tuh di situ ada warung." aku menunjuk bagian lebih dalam dari rumah yang digunakan sebagai basecamp ini. "Kamu mau nitip apa?"

"Teh panas aja."

Dengan satu anggukan aku langkahkan kaki untuk membeli nasi dan minum. Tidak lama kemudian aku telah menghampiri kembali rendang sapi yang melambai lambai untuk segera aku nikmati.

"Nih." kataku pada Nada sambil meletakkan teh panas dalam gelas besar disampingnya.

Kami berdoa masing2 dalam hati sebelum akhirnya berjibaku untuk menguasai bumbu rendang sebanyak banyaknya.

"Jun, bumbunya jangan diembat semua, buat nanti di atas. Lagian itu ada jatah Deva sama Salma juga."

"Nggak habis itu. Masih ada bumbunya, Nad. Lagian tau enak gini ngapain cuma bawa sedikit?"

"Serius enak gitu?" Nada berhenti makan dan menatapku.

"Iya, ini enak banget, nggak kalah sama rendangnya punya RM Sederhana. Kamu beli atau masak sendiri?"

"Masak sendirilah, kalo beli segitu habis banyak duit, Jun."

"Besok-besok kalo mau masak rendang lagi, jangan lupa telepon aku, ya?"

"Kenapa?"

"Mau nitip masakin, nanti aku kirimin dagingnya."

Nada hanya geleng-geleng menatapku.

Puas menimbun rendang di dalam perut, aku duduk memperhatikan semuanya dan perhatianku tertuju pada Manda yang menatap Nada dengan tatapan sinis. Sedangkan yang ditatap hanya cuek saja. Aku kira hanya aku yang menyadari ini semua, ternyata Salma sudah menyadari lebih dulu hingga ia berani menggodaku dan Nada. Sebenarnya aku tau maksud Salma adalah menekankan posisi Nada saat ini denganku. Bahwa kami bukan hanya sekedar teman. Bukan sekedar teman? Iya bukan, karena kami tidak ada status apapun. Di bilang teman lebih dari itu, di bilang pacar juga bukan, dibilang calon istri juga belum aku lamar ke keluarganya. Intinya kami ini HTS alias hubungan tanpa status.

Setelah Maghrib selesai dan kami menjalankan ibadah, start pun dimulai. Aku yang mendapatkan tugas sebagai ekor. Walau mungkin aku mendaki merbabu sudah tidak terhitung jumlahnya kalo di hitung sejak SMA, hanya vakum ketika aku kuliah di Harvard saja.

Biasanya orang yang paham jalan akan di taruh di paling depan dan paling belakang, karena yang didepan sebagai penunjuk jalan sedangkan yang paling belakang mengcover teman-teman yang ditakutkan tertinggal atau kelelahan sehingga harus d bantu atau di dampingi karena berjalan pelan.

"Kamu kalo capek, sini cerriernya aku bawain?" Rasanya aku tidak tega melihat Nada membawa cerrier sebesar itu untuk ukuran perempuan, 70+5 liter bro. Untung Nada tinggi, andai cerrier itu di bawa Deva, bisa-bisa Deva tenggelam.

"Enggak, Jun. Aku masih kuat," katanya sambil tersenyum.

"Okay, Nad. Semangat, di depan ada Alfamart."

Nada hanya tertawa mendengarnya. "Mana ada warung di atas gunung?"

"Ada, Nad di Lawu. Legend banget malahan. Kamu mau ke sana buat buktiin sendiri?"

"Pikirin besok deh, ini dulu dinikmatin," katanya.

Tidak lama setelahnya kami sampai di pos 2 dan aku membantu Nada mendirikan tendanya. Melihat mereka bertiga, aku merasa iri. Aku tidak terlalu memiliki teman sedekat Nada, bahkan teman terdekatku hanya Papa. Selebihnya teman sewajarnya saja. Aku melihat mereka sudah seperti keluarga, saudara, bukan lagi teman walau aku baru melihat interaksi mereka saat ini. Kenapa aku bilang seperti saudara, karena aku melihat Salma dan Deva mencoba "melindungi" Nada dari Manda ketika di basecamp tadi.

***

#ARJUNADA PART 10

Arjuna Harvito Widiatmaja POV

Aku sudah selesai mendirikan tenda dan kami semua berkumpul di luar sambil ngobrol di temani kopi panas dan camilan.

"Mas, panggilin dong bidadari surga gue."

"Siapa maksud lo?"

"Ya ayang Salma lah, masa ayang Nada. Habis gue entar di terkam beruang Turki." kata Nico. Iya, Niko tau aku memiliki darah Turki karena dia pun juga memiliki darah campuran dari sana.

Aku kemudian berdiri dan berjalan ke arah tenda Nada. Aku memanggilnya, tidak lama setelahnya wajah imut Deva muncul dari balik tenda dengan mulut penuh dengan kunyahan.

"Apaan sih, Jun teriak-teriak? kaya Tarzan aja."

"Itu anak-anak pada nyariin, diajakin ngopi di luar."

"Oh, okay bentar ya, gue selesaiin makan gue dulu, keburu basi."

Aku menunggu di luar, tidak lama setelahnya mereka keluar dari tenda tapi muka bantal Nada tidak bisa ditutupi. Aku berjalan di belakang Salma dan Deva, sedangkan Nada masih di belakang ketika aku menoleh aku menemukan Nada berjongkok sambil menelungkupkan wajahnya di atas dengkulnya. Aku menghampirinya.

"Nad, kamu sakit?"

"Nggak, cuma ngantuk, barusan merem udah di bangunin Deva."

Tiba-tiba Nada berdiri dan berjalan ke depan meninggalkan aku.

"Jun, kalo aku kumpulnya bentar doang boleh nggak?" saat ini Nada membalikkan badannya menghadapku.

Aku hanya tersenyum, "bolehlah, nanti kita bangun jam 2 pagi buat start ke puncak. Itu juga kalo kamu mau ikut."

"Nada melirik jam tangannya, "hmm... kalo gitu aku ikut ngumpul satu jam aja, ya. Aku usahain aku nggak teler ke alam mimpi."

"Emang kamu semalem begadang?"

"Iya, nyelesaiin proyek design gambar untuk salah satu mall di Brunei. Mana tadi kebagian nyupir, jadi nggak bisa merem."

"Ya udah nggak pa-pa." aku berjalan ke arah Nada, kemudian aku gandeng tangannya, takut jatuh secaranya nyawanya belum komplit.

Ketika kami sampai di kumpulan anak-anak, mereka semua melihatku yang masih menggandeng Nada dengan wajah penuh tanya. Sedangkan Nada yang digandeng masih menguap sambil matanya merem, tidak sadar dengan apa yang terjadi di depan kami.

Nada langsung melepaskan gandengan tanganku dan duduk di sebelah Nico, aku pun mengikutinya duduk di sebelahnya. Ternyata ana- anak sedang membahas tentang pendakian kami nanti menuju puncak. Aku melirik Nada yang berusaha melek walau matanya sepertinya tidak mau diajak kerjasama.

"Nad, mau kopi luwak yang kemarin? Kalo mau aku bikinin, masih ada stocknya."

"Hmm." Jawabnya sambil mengangguk.

Aku berdiri dan mengambil kopi luwak yang masih tersisa di dalam tas. Aku menyeduhnya dalam mug stainless steel dan aku taruh di bawah kaki Nada.

"Mau juga dong dibuatin minum," kata Deva yang di ikuti tawa cekikikannya dan Salma.

"Wah, peletnya Mbak Nada memang manjur," kata Fita.

"Pakan lele kali ah pelet." Kata Nico.

Sedangkan yang digoda? Masih tetap merem, cuek dengan sekitarnya. Alam mampinya lebih indah daripada alam pos 2 ini mungkin.

"Gue nggak kuat, mau merem. Ngantuk banget," gumam Nada.

"Sebenernya lo itu kerja apa dikerjain sih, Nad? Sampai segitunya banget dedikasi lo ke perusahaan, mending pindah deh ke perusahaan bokap gue, nanti gue bilang sama Om Tom."

Tidak tahan aku ikutan bertanya,"pekerja keras banget ya, Nada?"

"Iya, kejar target kali dia. Biar cepet kekumpul modal kawin. Lo tau nggak Jun, dia semalem baru kelarin kerjaannya subuh, habis itu ibadah lanjut ke pasar Kranggan belanja buat bikin rendang, dia merem jam 7 pagi, jam delapan udah bangun ada rapat via zoom sama big bossnya, kelarnya dia lanjut masak, jam 12 udah jemput gue ke rumah, sampai akhirnya ini sekarang dia baru merem."

"Berisik lo!" kata Nada sambil melempar Salma dengan wafer.

"Akhirnya mata lo melek juga, Nad."

"Iya, Dev. Habis temen lo ini udah berisik cepu lagi."

"Sebenernya Mbak Nada sama lo hubungannya apa sih Mas?" Tanya Prima padaku.

Aku tidak tau harus menjawab apa. Aku hanya melirik Nada yang ternyata sudah melirikku lebih dulu, seolah menantang aku untuk menjawab pertanyaan Prima.

"Nada itu cucu temen Eyang gue."

"Yakin itu doang?" Seolah Manda ingin aku memperjelas hubunganku dengan Nada.

"Sementara sih iya, soalnya tadi gue nanyain dia mau jadi istri gue apa nggak tapi dia bilang belum bisa jawab."

Dan meledaklah tawa Salma serta Deva. Aku jadi bertanya tanya jangan-jangan mereka tau semuanya.

Sekitar setengah jam kemudian, kami semua mulai membubarkan diri masuk ke tenda masing-masing. Ketika Nada akan beranjak dari duduknya, aku memegang pergelangan tangannya.

"Nad, ikut aku sebentar ya."

"Ke mana?"

"Ikut aja." kataku sambil menggandeng tangan Nada menuju Tenda diseberang yang sepertinya sudah selesai berakustikan bersama dan aku berniat meminjam gitarnya sebentar.

Setelah berhasil meminjamnya aku menuntun Nada berjalan dan berhenti di bawah sebuah pohan.

"Duduk, Nad." Aku menepuk tanah di sebelahku dan Nada akhirnya mengikuti instruksiku.

"Dengerin baik-baik ya, pasang kuping lebar-lebar, penyanyi papan atas mau konser."

Nada menatapku dengan tatapan jengah tapi enggan berkomentar.

Aku mulai memetik gitar yang aku pinjam. Walau sebenarnya hatiku dag dig dug juga, aku berharap kali ini Nada tidak akan tertawa minimal sampai aku selesai menyanyikannya.

Ada ruang hatiku yang kau temukan
Sempat aku lupakan kini kau sentuh
Aku bukan jatuh cinta
Namun aku jatuh hati

Ku terpikat pada tuturmu
Aku tersihir jiwamu
Terkagum pada pandangmu
Caramu melihat dunia
Kuharap kau tahu bahwa ku
Terinspirasi hatimu
Ku tak harus memilikimu
Tapi bolehkah ku selalu di dekatmu

Ada ruang hatiku kini kau sentuh
Aku bukan jatuh cinta
Namun aku jatuh hati

Dan setelah aku selesai menyanyikannya secara akustik dengan gitar, aku menoleh kesamping. Dan mendapati Nada sedang menatapku dengan berlinang air mata, tapi senyum masih tetap menghiasi wajahnya.

"Yah... Kok nangis?"

Tanpa aba-aba Nada memelukku dan mulai terisak bahkan ia masih sempat berkata kata pelan di dekat telingaku yang membuatku merinding, berasa seperti ada setan di dekatku.

"Makasih ya, buat semua hal-hal sederhana tapi indah yang kamu tunjukkan ke aku."

Setelahnya Nada mengurai pelukan itu. Sejujurnya kami jadi canggung, tidak ada yang memulai pembicaraan lagi.

"Nad, jawaban yang di toilet tadi gimana?"

"Atur aja Jun, aku ngikut."

Kami kemudian berdiri dan aku mengantarkan Nada ke tendanya lanjut mengembalikan gitar kepada pemiliknya dan langsung balik ke tendaku untuk tidur.

***

Sharenada Raharja POV

Aku bangun pukul 02.00 WIB ketika alarm handphone Deva tidak berhenti bernyanyi. Mereka pun sudah mulai bangun juga, suara di luar juga sudah mulai ramai. Aku buka pintu tenda itu dan menemukan Sultan, Prima dan Rio sudah ngopi dengan gantengnya dan sudah siap dengan tas bodypack lipat kecilnya.

"Tangi mbak... Gek ngopi terus siap-siap muncak."

"Oh ya, gue siap-siap dulu."

Tidak lama setelahnya kami sudah siap dengan jaket gunung, tongkat, sepatu gunung, topi, masker, kacamata, logistik yang sepertinya cukup jika kami memang harus menginap semalam di puncak, kompor, nasting, obat obatan pribadi, inhealer. Bahkan baju ganti.

Ketika menyeduh susu hangat, tiba-tiba ingatanku melayang kepada kejadian semalam. Itu mimpi atau nyata, ya? Kalo itu dilakukan Juna bisa jadi itu cuma mimpi.

Tiba-tiba aku mendengar Salma menyanyi di dekatku.

Ku terpikat pada tuturmu
Aku tersihir jiwamu
Terkagum pada pandangmu
Caramu melihat dunia
Kuharap kau tahu bahwa ku
Terinspirasi hatimu
Ku tak harus memilikimu
Tapi bolehkah ku selalu di dekatmu

Dilanjutkan Deva yang menanyakan ke Salma, "jawabannya apa, Sal?"

"Atur aja, Dev. Aku ngikut."

"Oh so sweet banget sih."

Aku  memandang mereka dengan pandangan curiga, mereka yang ditatap tetap santai saja masih sibuk dengan aktivitasnya. Makan dan minum susu untuk stock tenaga.

"Lo berdua nguping, ya?"

"Nggak ya, Sal. Kita nggak nguping, cuma ngintip aja."

"Iya, Dev heran ya ada yang sekarang suka main berduaan, malam-malam di bawah pohon pula. Kalo ketauan Mama bisa di kawinin entar."

Merasa aku sudah kalah telak dari mereka, aku keluar dari tenda dan bergabung dengan yang lainnya. Ternyata mereka berdua mengikutiku di belakang.

"Udah lengkap semua?" Tanya Prima.

"Udah, Yuk lanjut aja. Tapi pastiin tendanya di tutup yang benar dan barang-barang berharga nggak ada yang ketinggalan. Lima menit lagi kita jalan." kata Sultan.

Aku, Deva dan Salma membagi tugas, untuk kali ini Deva yang bertugas duluan membawa tasnya. Jika capek nanti gantian denganku dan Salma. Lima menit kemudian kami sudah mulai berjalan ke atas menuju pos tiga.

***

#ARJUNADA PART 11 

Sharenada Raharja POV

Kami mulai berjalan menuju ke atas, dinginnya malam, gelapnya hutan, bahkan suara angin yang membawa butiran pasir sampai kewajah kami. Perjalanan dalam dinginnya malam ini kami lalui dengan sesekali mengobrol, bercengkrama, dan saling bisa mengenal satu sama lain lebih jauh.

Juna masih berjalan di belakangku sambil sesekali memperingatkan untuk hati-hati  atau memilih pijakan yang benar jika kami menanjak ke atas, karena aku sempat memijak pada tanah dan batu yang salah sehingga berakhir batu itu terperosok turun. Untung Juna bisa menghindar, kalo tidak sudah mandi darah aku yakin kepalanya. Medan yang di lalui memang tidak mudah, sesekali kami juga bertemu dengan para pendaki yang juga menuju ke atas atau bawah. Di gunung semua orang saling menghargai, mengenal, bahkan hartamu, uangmu tidak berarti di sini. Yang berarti adalah teman temanmu, kalian adalah satu, saling bantu membantu, lupakan soal kasta, perbedaan keyakinan, perbedaan ras atau apapun karena kalian adalah saudara ketika kalian sudah ada di gunung. Aku sangat menyukai hal itu, sesuatu yang sudah sulit di temukan di kehidupan sehari hari.

Kami beristirahat ketika berada di dekat batu gede. Kali ini kami minum bahkan camilan yang aku bawa bersama kedua temanku kami keluarkan sebagian untuk dinikmati bersama. Hitung-hitung agar beban naik ke atas lebih ringan. Kasian juga Deva setelah perjalanan hampir dua jam dia membawa tas itu, aku gantian akan membawanya nanti. Sebentar lagi menjelang subuh. Tapi udara masih dingin entah perasaan apa , tapi aku merasa nyaman dengan suasana ini.

"Nad?" Aku mendengar Juna memanggilku, lalu aku membalikkan badan menatapnya, dia sudah berdiri di belakangku, membawa roti gandum.

"Nih, makan buat tambah tenaga," Juna memberiku roti itu dan aku menerimanya.

"Makasih, ya."

"Gimana rasanya, masih sanggup atau sudah kapok?"

"Sejujurnya aku nggak kapok sih, cuma nggak nyangka aja, kalo jalan di gunung sama jalan di tempat biasa itu lain, lebih susah dan berat manjat naik ya, lebih gampang capek ... hehehe."

"Wajar sih, perjalanan kita masih jauh. Yuk gabung sama yang lain. Kita lanjutin perjalanannya."

Aku mengangguk dan mengikuti Juna di belakangnya. Ketika sampai tempat anak-anak berkumpul, aku melihat Deva dan Salma berdebat.

"Lo berdua kenapa?"

"Ini si Salma mau pipis, udah dikasih tau pipisnya di semak-semak sono, malah senewen."

"Kalo ada yang ngelihat gimana, Dev? nggak mau gue."

"Ini masih gelap, Sal. Makin lo lama pipisnya makin terang ini nanti. Buruan, ah."

Akhirnya aku diseret Deva dan Salma juga untuk ikut mengantar Salma pipis.

"Dev, tisu sama air, dong."

"Nih, airnya jangan banyak-banyak."

"Iya-iya, bawel banget, sih."

Setelah selesai mengantarkan Salma kami kembali ke kelompok dan melanjutkan perjalanan. Perjalanan kali ini cukup lama. Perasaan yang namanya puncak itu halu apa, ya? Sudah jalan sampai gempor begini nggak sampai-sampai juga.

Ketika hampir sampai di kawah mati, Juna memanggilku dan aku berhenti berjalan lalu membalikkan badan.

"Kamu bawa masker atau penutup hidung nggak?"

"Nggak, Jun 'kan kamu nggak bilang suruh bawa masker."

"Sini dulu bentar." Instruksinya dan aku mendekat kepadanya.

Juna mengeluarkan sebuah masker gunung  yang kadang bisa dipakai sebagai bandana, masker, ikat rambut pokoknya multi fungsi. Masker itu dibasahi dengan air sedikit dan dimasukkan dari atas kepalaku hingga masuk ke leher. Juna menaikkan masker itu hingga menutupi hidungku.

"Sudah, balik badan terus jalan lagi."
Bagai kebo dicolok hidungnya, aku mengikuti instruksi Juna. 

"Ini biar apa sih, Jun?"

"Masih ada bau belerang. Pakai aja, Nad, takut juga kehirup 'kan."

"Kamu nggak pakai?"

"Nggak, nggak pa-pa. Buat kamu aja."

"Oh, so sweet. Kapan giliran gue di uwu-in di sini?" kata Deva yang sudah jalan lebih dulu di depan.

Suara tawa Salma memecah pagi ini yang mulai terang oleh sinar matahari, "beda tongkrongan, Dev. Calon laki lo nongkrongnya bukan digunung."

"Emang siapa calon laki gue? Gue aja masih meraba raba."

"Fabian lah, siapa lagi? cuma dia kandidat terkuatnya sampai saat ini."

"Lo bully gue sama Fabian mulu, gue sumpahin lo kawin sama Om Tom."

"Doa itu yang baik-baik, bukan kaya gitu. Kalo gue doain lo sama Fabian 'kan bagus, kapan lagi lo dapet boy toy yang tajir melintir kata do'i."

"Huss...Kalian berdua itu ribut mulu, buruan ah jalan." Kataku menengahi, kalo tidak ditengahi mereka tidak akan berhenti sampai matahari terbit dari Barat.

Tidak terasa kami sudah sampai di jembatan setan. Dan aku shock saat pertama kali melihatnya. Serius ini harus lewat kaya gini? Sudah naiknya tajam hampir 90 derajat, sampai atas harus jalan satu per satu, melipir kalo sampai kepleset dan jatuh, bisa-bisa tinggal nama aku aja yang pulang, raganya masuk kuburan.

"Jun, ini ... ini beneran?"tanyaku sambil menunjuk ke atas.

"Kenapa?" Tanyanya sambil bersedekap. Sedangkan wajahnya mendongak ke atas melihat orang-orang yang sedang antri di jembatan setan.

"Enggak ada jalan lain apa?" Aku masih sedikit was-was. Sedangkan Deva dan Salma terlalu bersemangat untuk berswafoto di tempat ini. Sejak matahari mulai merambat naik dan memberikan cahayanya pada apapun di sekitar kami, dua sahabatku itu tidak henti hentinya berfoto. Bahkan sampai menggaet Prima menjadi fotografer dadakannya.

"Nggak, kalo mau ke puncak kenteng songo ya kita harus lewat sini. Kamu takut?"

Pakai nanya lagi si Juna. Ya jelaslah takut, mana di atas monyetnya gendut-gendut, gede-gede, gimana kalo pas kita jalan si monyet tiba-tiba nemplok? Bisa berabe 'kan kalo orang kaget terus jatuh ke bawah.

Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Ya udah kita yang terakhir biar mereka semua dulu, kamu bisa perhatiin gimana caranya jalan, sekarang kita pelan-pelan naik ke atas."

"Eh, bentar, kayanya di situ bagus deh, kamu aku fotoin sini."

"Buat apa?"

"Buat nakutin tikus di rumah. Udah ah buruan ke situ. Aku jamin bagus."

Juna segera menuruti keinginanku dan berada di tengah tengah semak, "kaya gini maksud kamu?" Tanyanya sambil membuka jaket gunungnya, sudah mulai gerah mungkin.

"Iya." Saat ini yang aku lihat adalah Juna dengan sweater dan celana panjangnya.

Asli ini tidak adil, aku sudah kucel bukan main, dengan rambut lepek, wajahku berbedak debu dan tanah, jangan tanya apa aku mengabadikan diriku dalam sebuah foto, pastinya tidak. Aku rasa wujudku saat ini adalah keaslian diriku tanpa rekayasa make up atau pakaian yang biasa aku kenakan sehari hari. Jauh dari kata fashionable, branded apalagi tampilan paripurna.

Aku mengambil foto Juna satu kali saja.
"Sudah, Jun sini kalo mau lihat hasilnya."

Juna berjalan mendekatiku. Kemudian mengambil ponselku dan melihat hasil jepretan amatiranku yang tidak ada bakat menjadi fotografer sama sekali ini.

"Nggak nyangka ternyata aku ganteng juga, ya?"

Aku menatapnya tidak percaya. Tingkat kepercayaan diri Juna memang nggak main-main. Iya tau dia ganteng, tapi nggak perlu diomongin juga 'kan. Karena malas padanya yang mungkin akan memuji diri sendiri terus terusan aku ambil ponselku dari tangannya dan segera berjalan menuju atas ketika aku melihat Deva dan Salma sudah setengah perjalanan ke atas, jauh meninggalkan diriku di bawah.

Sampai di atas, aku menunggu giliranku berjalan. Sedangkan Salma dan Deva sudah memulainya dan mereka sepertinya cukup serius ketika melihat setiap pijakan. Tanpa disangka tanganku gemetaran.

"Kalo takut jangan lihat ke bawah lihat aja ke depan jalannya."

"Kamu ngomongnya gampang, prakteknya susah."

"Cobain dulu, kamu pasti bisa, Nad." aku meliriknya. Asli aku tau banget si Juna lagi menahan tawanya.

Giliranku datang. Saat ini setakut apapun aku, aku tidak bisa menutup mataku. Seperti jalan kehidupan, kadang kita harus melewati hal yang kita tidak mau atau sukai untuk meraih apa yang kita inginkan. Dan saat ini tanpa terkecuali aku, karena aku ingin melihat kenteng songo, maka aku harus melewati jembatan setan ini.

Akhirnya satu rintangan terlewati dengan baik, ketika aku sampai diatas aku melihat kawanan monyet gunung Merbabu sedang bergelantungan di pohon. Bahkan monyet monyet ini gemuk gemuk, habitatnya terjaga. Ini seperti main ke taman safari tapi kita bisa nonton hewannya tanpa perlu naik mobil.

"Makanannya dijaga, jangan sampai di rampok monyet" seru  Sultan di depan dan telat. Tas yang aku gendong sudah dihinggapi seekor monyet.

"Junaaa...tas aku, Jun."

Mana si monyet hinggap dengan sempurna dipundakku. Ingin menangis rasanya. Aku menutup mata. Lama hinga aku merasakan si monyet pergi dari pundakku. Ketika aku melirik ternyata si monyet sudah bergabung dengan kawanannya menjarah makanan kelompok di sebelah. Cepat-cepat aku lari sekuat yang aku mampu menjauhi lokasi ini. 

Tidak lama akhirnya aku sampai di kenteng 9. Wow, pemandangannya bagus sekali.Walau cuma 1 wajib dong foto disini. Buat kenang kenangan. Tidak menyangka, aku sanggup berjalan 8 jam lebih, bagi pemula bisa mendaki Merbabu seperti ini, untukku pribadi suatu keajaiban. Semoga saja ini bukan yang pertama dan terakhir kalinya bagiku. 

***

#ARJUNADA PART 12 

Arjuna Harvito Widiatmaja POV

Mengajak Nada dan teman temannya mendaki tidak membuatku kerepotan seperti dugaan sebelumnya. Bahkan Nada dan teman temannya cukup mandiri dan bisa membagi tugas mereka sendiri dari membawa tas hingga tolong menolong, hanya saja memang aku memfokuskan diriku pada Nada, karena aku harus melakukan skrining pada Nada. Aku mengakui jika Nada adalah tipe wanita yang cukup dewasa dari kedua temannya yang selalu berdebat akan hal-hal kecil. Mungkin itulah yang membuat mereka kuat bersahabat selama ini. Karena Nada adalah penengah antara Deva dan Salma. Semacam menjadi emak bagi Salma dan Deva.  Sedangkan Deva dan Salma adalah pemantik api agar persahabatan mereka tidak pernah padam. Menurut Nada masih ada satu lagi sahabat laki-laki mereka, namun ia memiliki kesibukan yang teramat banyak dan jarang ikut berkumpul saat ini.

Ketika telah sampai di puncak, teman temanku memintaku berfoto bersama Nada. Ya Ampun, aku malu. Bukan karena aku berfoto dengan Nada tapi godaan dari dua curut sahabat Nada memang istimewa bila disatukan sudah seperti duo racun.

"Lo berdua mau foto KTP? Kaku amat sih. Deketan dikit kenapa sih?" seru Deva.

"Tenang aja, Jun si Nada nggak lagi positif, jangan takut deket-deket." Gantian Salma menambahi.

"Iya nih, itung-itung nyicil prewedding gitu biar anti mainstream 'kan. Prewedding-nya di kenteng 9." Saat ini giliran si Nico yang jadi kompor.

"Nggak, gue nggak mau, muka gue kucel banget. Lo pada gila apa? Kaya babu sama majikan tau gue deket sama Juna gini. Mempermalukan dunia persilatan."

Nada sudah sewot di sebelahku. Aku mengakui Nada memang terlihat sangat kucel. Berbeda dengan teman temannya yang hoby sekali berswafoto di Merbabu kali ini. Nada sama sekali tidak terlalu berminat. Bahkan aku harus mengambil fotonya diam-diam dan itupun dari belakang. Pantas saja teman temanku dulu ngiler melihat body-nya. Body Nada memang sungguh menggoda bagi pria yang normal.

"Ya udah fotonya dari jauh aja full body, nggak close up muka. Fokusnya pemandangan." Kataku menengahi.

"Nah, gitu dong, Jun. Buruan ah, mesra dikit sama calon bini." kata Salma yang membuatku tertawa.

Mengenal Nada dan teman temannya  membuat duniaku semakin sedikit semarak dengan ocehan mereka. Terbiasa hidup penuh dengan ketenangan tanpa gangguan, aku harus menyadari sejak Nada hadir di hidupku, kini hidupku tidak lagi sama. Tapi aku yakin aku tidak siap terjun ke jurang perasaanku sendiri jika pada akhirnya aku hanya akan menjadi raga yang hidup tapi seperti mati karena terluka oleh orang terkasih.

Setelah satu jam kami di sini, akhirnya kami segera turun, karena matahari sudah hampir berada tepat di atas kepala kami.

"Jun, kayanya kalo turun lewat sini enak deh , ijo gitu pemandangannya."

"Beda jalur, Nad, kalo ke situ nanti turun di Selo, deket sama pendakian ke Merapi."

"Tapi bagus, kayanya banyak edelweiss-nya."

"Iya bagus, tapi nggak boleh dipetik, apalagi di bawa turun. Bunganya dilindungi."

"Ck... Jelek-jelek gini walau bukan pendaki aku juga tau, Jun."

"Baguslah, ternyata pengetahuan kamu juga cukup luas."

"Wah, menghina banget kamu, Jun. Gini-gini aku lulusan Oxford."

"Pinter juga ya ternyata. Aku kira cuma jago masak aja."

"Aku itu paket lengkap kali. Kamu aja yang nggak nyadar."

Setelah mengatakan itu Nada berlalu meninggalkanku di belakangnya. Kami melalui perjalanan turun dengan rute yang sama seperti tadi ketika kami mendaki. Selama perjalanan dengan cahaya matahari yang cukup, perjalanan kami cukup menyita mata para pendaki laki laki yang melihat ke arah 3 perempuan yang sedang pertama kali mendaki ini. Karena mereka masih tetap memiliki pesonanya walau dalam keadaan wajah lelah, keringat menempel di baju dan debu sudah menjadi bedak mereka.

Setelah menjelang sore pukul 3 sore kami tiba di pos 2.

"Ini kita lanjut apa mau makan dulu?" Tanyaku pada mereka semua.

"Lanjut ajalah, makan dibawah, keburu malem. Gue ada kuliah pagi soalnya, Mas." Kata Sultan.

Dengan begitu kami berkemas kemas membongkar tenda dan semuanya termasuk semua sampah. Walau hanya bungkus permen yang kecil itu kami bawa turun. Bahkan sambil perjalanan turun sudah kebiasaanku untuk turun sambil memungut sampah yang aku temui di sepanjang jalan pendakian.

***

Sharenada Raharja POV

Akhirnya kami sampai kembali di basecamp menjelang Maghrib. Hal pertama yang aku ingin lakukan adalah ngacir ke kamar mandi. Menuntaskan keinginan untuk pipis dan mandi. Sepanjang perjalanan turun, aku ikut membantu Juna memunguti sampah-sampah yang kami temui. Bahkan kami tidak menyangka kalo kami memungut sampah hingga kantong plastik ukuran sampah besar itu penuh.

Aku beruntung tadi karena kamar mandi sedang kosong, giliran aku membuka pintu kamar mandi, ternyata antrian sudah berjibun, bahkan aku melihat Deva dan Salma sudah ikutan antri.

"Gue duluan ya," Kataku pada mereka berdua.

"Eh, Nad, lo di cari Juna itu tadi."

"Ngapain dia nyariin gue, Dev?"

"Ya mana gue tau, lo samperin sana di basecamp."

Aku bergegas menuju basecmap dan aku sudah menemukan Juna dalam keadaan yang bersih, wangi, berbeda dengan tadi.

"Kamu nyariin aku ada apa?"

"Nanyain doang, mau makan apa?"

"Apa ajalah, Jun. Aku lunasin hutang tidur dulu."

"Ibadah dulu, Nad baru makan terus tidur. Kamu nyetir lagi nanti?"

"Nggak, gilirian Deva atau Salma kayanya. Aku capek."

"Ya udah buruan wudhu, kita ke mushola belakang."

Wah wah wah... Si Juna berasa calon imam yang baik untukku. Tapi sampai sekarang Juna nggak pernah ngomong suka apalagi kok sayang. Semua perhatiannya membuatku selalu merasa lebih dari teman di dekatnya, namun ketika aku mencoba lebih dekat dengannya aku merasa seperti ada tembok berlin yang menghalangi kami untuk dekat.

"Kalian berdua dari mana?" Tanya Salma sambil mengunyah buah pisang.

"Sholat di belakang." Jawabku.

"Wuih...calon keluarga samawa, Sal alias sakina mawadah warahmah. Prikitiuww." Deva kembali menimpali.

"Udah buruan dihabisin, terus cepetan kita siap-siap pulang, besok pagi kudu kerja.'

"Senin hari libur gue, gue paling anti ngantor Senin Senin."

"Ya lo 'kan bossnya pe'ak. Kagak ada yang marahin, coba gue sama Nada. Bisa habis kena SP dari HRD."

Pukul 19.00 WIB aku berpisah dari mereka semua termasuk Juna. Dan karena Salma besok libur, maka dialah yang kebagian menyetir kali ini. Sedangkan aku dan Deva bobok manis selama perjalanan. Sungguh sangat nikmat, selama perjalanan hampir 2 jam bisa tidur dengan nyaman bahkan aku harus dibangunkan oleh Salma ketika sampai di depan rumah.

"Nad, bangun...udah sampai rumah lo ni."

Aku membuka mataku dan mengumpulkan nyawa. Setelah merenggangkan otot-otot yang kaku, aku turun dari kursi penumpang depan, menurunkan tas Carrierku.

"Thank you, Sal lo mau mampir dulu nggak?"

"Nggak, gue langsungan aja. Soalnya gue kudu anter si Deva juga ke rumahnya."

"Okay, hati-hati ya. Bye."

"Bye... "

Dan meluncur lah mobil Salma meninggalkan jalan aspal depan rumahku. Aku memasuki rumah dan karena rumah sepi, aku langsung memasuki kamarku. Aku letakkan cerrier di lantai, lebih baik aku membongkarnya besok, karena saat ini mataku sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Aku langsung menenggelamkan diri di atas kasurku yang empuk.

***

#ARJUNADA PART 13

Arjuna Harvito Widiatmaja POV

Siang ini aku menuju ke kantor Nada karena kami harus mencari cincin untuk acara lamaran 2 hari lagi. Semua karena permintaan Eyang. Eyang mau kami langsung tukar cincin. Kata Eyang jika terlalu lama keburu nanti aku berubah pikiran. Andai syarat nikah di KUA tidak banyak, aku yakin Eyang sudah menikahkan kami berdua. Kini aku menelpon Nada begitu aku sampai di loby kantornya.

Tutt ..tutt...tutt...

Tidak lama kemudian telepon itu di langkat olehnya.

"Hallo Jun, kamu sudah sampai?"

"Sudah, aku tunggu di loby, ya?"

"Kamu naik aja dulu. Aku udah bilang sama sekretarisku buat ngasih kamu masuk dan nunggu di ruanganku."

"Memang kamu di mana?"

"Di ruangan atasan. Bentar lagi kelar kok."

"Kalo gitu kamu turun aja. Aku tunggu di loby."

Setelahnya aku tutup telepon itu. Aku melihat sekeliling loby kantor Nada yang terlihat rapi bersih dan cukup nyaman. Kalo dilihat dari Nada yang memiliki sekretaris, aku yakin jabatan Nada di sini cukup tinggi dan penting.

Sekitar 10 menit aku menunggu akhirnya aku melihat Nada keluar dari lift dan berjalan mendekatiku. Satu kata untuk Nada kali ini berdasarkan penglihatan indra penglihatanku yaitu Sexy. Nada begitu terlihat sexy, smart dan tentunya mencerminkan perempuan yang mandiri serta independent. Nada kemungkinan besar jenis perempuan yang tau apa yang dia mau. Aku bahkan yakin Nada adalah jenis perempuan yang menentang paham patriaki.

 

Mini dress yang dikenakannya begitu pas jatuh di tubuhnya yang bak seorang model, rambut panjangnya digerai. Bermakeup secukupnya. Aku sempat terpana melihatnya. Apakah ini calon pendampingku? Aku yakin selama aku berjalan bersamanya, akan banyak mata laki-laki yang menatap Nada dengan penuh puja. Andai aku terlahir sebagai pria biasa-biasa saja apakah Nada masih mau bersamaku? Sesuai apa yang pernah Nada ungkapkan dulu pada saat awal pertemuan kami, dia menyebut gajinya adalah delapan digit sebulan. Yang otomatis dengan gaji sebanyak itu, maka gaya hidup Nada tidak mungkin ala kadarnya. Mobilnya saja Prius. Dapurnya standart cheff hotel.

"Hai, Jun." Sapa Nada yang berhasil membangunkanku dari pikiran yang tidak-tidak.

"Hei, Nad. Sudah siap?"

"Sudah, yuk buruan." Katanya sambil berjalan mendahuluiku.

Kami akhirnya sampai di parkiran mobil kantor Nada.

"Lho, Jun mobil kamu mana?" Katanya celingukan mencari mobilku.

Aku menuntunnya mendekati Jeep Gladiator Rubicon 2021 warna hitam milikku, yang belum lama ini aku beli. Aku melihat Nada sedikit kaget melihat mobilku.

 

"Jun, pakai mobil aku aja, ya." Kata Nada

"Kenapa?"

"Aku lagi pakai baju kaya gini, kayanya lebih pantasnya naik mobilku aja daripada mobil kamu."

"Nggak, pakai ini aja, ya? keburu siang. Jam istirahat keburu habis."

Aku mendorong Nada mendekati mobilku. Aku buka pintunya, aku paksa Nada naik.

"Jun ..." Katanya memelas.

"Udah, buruan naik." Akhirnya Nada mengalah dan pasrah ketika aku menutup pintu mobil, lalu berjalan ke sisi kanan dan masuk ke sisi pengemudi.

Kisaran 15 menit kemudian kami tiba di Hartono Mall Jogja, aku menuntun Nada memasuki salah satu toko perhiasan yang informasi dari Eyang merupakan gerai perhiasan favorit Nada.

"Nad, kamu milih aja mau yang mana."

"Kamu juga ikut pilihlah, masa pilih cincin jadi tugas aku aja."

"Aku mah yang penting muat sama simpel modelnya."

Nada memandangku dalam diam dan tangannya bersedekap di depan dada. Wajahnya seperti seorang ibu yang siap mengomeli anaknya.

"Okay." Kata Nada singkat lalu ia berbicara kepada penjaga toko perhiasan ini. "Mbak, tolong carikan sesuai sama yang dia bilang barusan, ya?"

Dengan kalimatnya itu, Nada menggiring penjaga toko perhiasan memilihkan cincin untuk kami berdua dan pilihannya cukup lumayan, lebih penting lagi pilihannya berukuran pas di jariku dan Nada.

Kemudian aku memberikan kartu debetku untuk membayarnya. Ketika aku membayar, aku melihat Nada juga mengeluarkan kartunya.

"Nggak usah, Nad. Biar aku yang bayar."

Nada menatapku dengan kening berkerut. "Siapa juga yang mau bayarin, Jun?"

"Lha terus kamu ngapain keluarin kartu kamu segala?"

"Ya mau bayar belanjaan aku sendiri lah."

Kemudian aku melihat Nada sudah memberikan kartunya kepada penjaga toko perhiasan lainnya dan aku sedikit melongo melihat perhiasan yang dibeli Nada. Sebuah cincin emas berlapis berlian 0,8 karat dengan harga kisaran 128 juta lebih.

"Kamu nggak salah beli cincin? kecil begitu tapi seharga rumah subsidi pemerintah?"

"Ya gimana lagi. Aku suka pas pertama kali lihat, ya udah aku beli aja daripada kepikiran pas sampai di rumah. Hitung-hitung menyenangkan diri sendiri."

Aku geleng-geleng mendengarnya. Terlalu santai mengeluarkan uang ratusan juta. Memang aku tau, Nada juga berasal dari kalangan old money sama sepertiku. Yang aku yakin gajinya saja mungkin hanya berasa uang jajan baginya.

"Nggak usah gitu lihatin aku. Kaya aku nggak tau aja harga mobil kamu tadi kisaran 2 milyar lebih 'kan?"

"Ya bedalah, Nad. Masa mobil disamain sama cincin."

"Udah, intinya sama aja. Selagi kita nyenengin diri sendiri pakai duit sendiri dan halal cara dapat duitnya, nggak usah dipusingin. Yuk, udah selesai 'kan buruan kita makan."

***

Sharenada Raharja POV

Aku dan Juna melangkahkan kaki ke salah satu restoran di Hartono Mall. Sengaja kami mencari restoran yang sedikit sepi, agar tidak terlalu lama kami menunggu. Ketika kami asyik ngobrol sambil makan datanglah tamu tak diundang.

"Nada?" Aku menoleh ke arah sumber suara dan menemukan Aldi berjalan mendekatiku.

Dari sekian banyak Mall dan tempat makan di Jogja, kenapa juga aku harus bertemu dengan Aldi di sini pada waktu ini ketika aku sedang bersama Juna.

"Hai, Di." sapaku ramah padanya.

"Kamu sama siapa?"

Aku sengaja berdiri dari tempat dudukku dan memperkenalkan Juna.

"Kenalin, ini Juna calon tunanganku."

Aku melihat wajah shock Aldi ketika Juna berdiri. Aku melihat Aldi sedikit terintimidasi, secara Aldi yang tingginya sama sepertiku kalah tinggi jauh dari Juna yang kisaran 187 centimeteran ini dan penampilan Juna kali ini sangat keren tak tercela, layaknya eksekutif muda. Salah-salah Big Boss muda lebih tepatnya.

Aku melihat Juna bersalaman dengan Aldi.

"Nad, kamu nggak mungkin 'kan move on secepat ini dari aku?"

"Kenyataannya, Al. Aku cepet banget tuh move on dari kamu. Apalagi setelah aku melihat kamu lagi bercinta sama sekretaris kamu sendiri di rumah kamu."

Aku melihat Juna membelalakkan matanya karena shock dengan penuturanku.

"Aku sudah ganti sekretaris, Nad kalo kamu mau tau."

"Aku sama sekali nggak mau tau tentang kamu. Tenang aja, kalo aku nikah undangannya pasti sampai di kantor kamu. Aku sama Juna permisi dulu ya, soalnya aku ada meeting sebentar lagi." Kilahku berbohong pada Aldi agar aku bisa segera pergi dari hadapannya.

Aku melihat Juna mengeluarkan 3 lembaran uang seratus ribuan. Kemudian dia menggandengku keluar dari restoran di ikuti kata, "permisi, gue sama Nada duluan ya."

Aku tidak menengok ke belakang sama sekali, tapi aku yakin Aldi sudah kalah telak hari ini. Bahwa aku yang sempat bodoh karena bucin padanya akhirnya bisa move on secepat itu. Selama ini ketika aku menjalin hubungan dengan Aldi ketiga sahabatku sedikit kurang merestui apalagi keluarga sehingga dulu di acara pernikahan Deva yang gagal dilangsungkan pun aku tidak mengajak Aldi. Aku lebih memilih untuk hadir seorang diri bersama Deva dan Salma karena Robert tidak bisa ikut.

Setelah di dalam mobil aku diam seribu bahasa, tidak ada satu kata pun terucap dari bibirku. Juna duduk diam di sebelahku. Dia tidak menjalankan mobilnya keluar dari parkiran. Aku tau Juna sedang menatapku. Tapi aku sedang tidak ingin berbagi rasa atau cerita dengannya.

"Nad?" Panggilnya pelan.

Aku hanya menatapnya sebagai jawaban. Mulutku sedang malas berbicara

"Sorry, aku nggak tau kalo kamu punya masa lalu yang menyakitkan juga."

"Aku nggak mau ngebahas masalah itu, Jun. Aku nggak mau ingat-ingat lagi. Sakit rasanya kalo ingat."

"Okay, aku nggak akan nanya hal itu lagi sama kamu." Katanya kemudian seolah ia berusaha memahami keenggananku menceritakan hal yang cukup pahit di hidupku ini.

Aku menganggukkan kepala kepadanya sambil tersenyum. "Thank's, Jun."

Juna membalas senyumanku dengan senyumannya yang menenangkan bagiku. Aku merasa telah tenggelam dalam rasa kagumku padanya, tapi sepertinya rasa itu hanya menjadi milikku saja. Sedangkan Juna masih adem ayem tentram lahir batin tidak merasakan hal yang sama sepertiku.

***

#ARJUNADA PART 14

Sharenada Raharja POV

"Lihatin gue dong, gue udah cantik belum?"

"Lo ngapain sih ribet dari tadi? yang mau di lamar sama tunangan itu Nada bukan lo, Sal." kata Deva sambil duduk di ayunan gantung dalam kamarku.

"Ye... justru karena Nada itu salah satu orang penting di hidup gue, makanya gue mau tampil paripurna di acara penting hidup dia."

"Tapi nggak usah berjam jam depan cermin juga. Emang lo nggak capek apa nonton muka lo? Gue yang lihat aja udah eneg pengen muntah."

"For your information, gue dulu juga mempersiapkan segala sesuatunya buat tampil paripurna di acara kawinan lo yang gagal itu. Jadi gue akan lakuin hal yang sama buat tampil paripurna di acara Nada."

Aku melihat dan mendengar mereka berdua yang berdebat sejak memasuki rumahku tadi siang. Terkadang perdebatan mereka membuat hidupku penuh warna tapi kadang bisa membuatku ingin bunuh diri saking frustasinya, mungkin ini juga yang membuat Robert sedikit enggak bergabung malam ini dan memilih untuk menghabiskan waktunya di rumah sakit.

"Noh, tu lo lihat Nada. Cantik, anggun nggak kebanyakan omong kaya lo."

"Busyett... Anggun bener lo, Nad pakai kebaya hijau gitu. Gue ngelihatnya adem bener."

"Kalo lihat Nada kadang gue suka minder. Kenapa Tuhan nggak adil pakai banget sama gue. Gue cuma dikasih tinggi 157, sedangkan Nada 178. Bonus bodynya yahud pula."

"Lo tu harus banyak-banyak bersyukur. Muka lo sama body lo masih pantes pakai seragam SMA bahkan SMP. Coba gue sama Nada, dijamin kaya tante girang malahan kalo pakai seragam sekolah."

Bagaimana aku tidak tertawa mendengar mereka.

"Lo berdua kenapa sih, akur dikitlah, siapa tau lo berdua ketemu jodoh."

"Uwuwu... Sombong sekali dia yang mau dikhitbah." Cerocos Deva sambil beranjak dari duduknya di ayunan.

"Ayo, Sal kita keluar. Keluarganya Juna udah dateng tu." Kata Deva sambil menggeret Salma keluar dari kamarku.

Di bawah aku juga bisa mendengar bahwa keluarga Juna sudah hadir, bahkan saudara saudaraku sudah hadir juga. Aku melihat Adam berjalan mendekatiku di dekat tangga atas.

"Nad, inget ya Harley Davidson buat pelangkahnya," kata Adam pelan di dekat telingaku kemudian ia menuruni tangga menuju lantai bawah untuk bergabung dengan yang lainnya.

Kakakku yang satu ini memang tidak berhenti mengingatkanku tentang keinginannya memiliki Harley Davidson lagi setelah Harley Davidson kesayangannya dijual oleh Mama karena Mama sudah tidak bisa menahan emosinya yang selalu ditinggal anaknya touring setiap weekend itu hingga lupa jalan pulang ke rumah.

Setengah jam kemudian aku di jemput turun oleh kedua sahabatku dan aku kaget melihat penampilan Juna kali ini. Terlihat tampan dengan batik lengan panjangnya. Kalo biasanya orang tunangan memakai baju sarimbit, maka aku dan Juna tidak melakukannya karena kami tidak memiliki cukup waktu untuk membuatnya apalagi kalo cuma dipakai sekali. Kata Juna mubasir, lebih baik pakai yang ada saja. Padahal Juna tidak tau saja, jika Mamaku sampai keluar biaya jahit kebayaku dua kali lipat hanya khusus acara malam ini yang dilakukan secara mendadak.

Acara tukar cincin dan penentuan tanggal pernikahanku sudah dilakukan. Pernikahan akan dilakukan dalam waktu 3 bulan lagi. Agar tidak stress mengurus semuanya, maka hal-hal pernikahan kami serahkan kepada keluarga dan keluarga melemparkannya kembali ke Mbak Luna, sepupuku yang memiliki salah satu wedding organizer terbaik di kotaku. Kali ini ia datang bersama suami berondongnya. Walau usianya lebih muda dari mbak Luna, aku bisa melihat Mas Ervin begitu menyayangi istrinya yang sedikit cuek itu.

Acara makan makan pun tiba. Aku sudah bisa melihat sahabatku begitu antusias menikmati hidangannya. Karena Mama tidak membolehkanku memasak sendiri agar tidak lelah, terpaksa aku memakai jasa catering langganan WO Mbak Luna. Masakannya lumayan di mulut dan tidak membuat kecewa.

Saat acara ramah tamah berlangsung, Juna menarik tanganku untuk menuju ke halaman samping rumah dekat kolam renang. Sepertinya ada hal yang ingin ia bicarakan denganku kali ini.

"Ada apa sih, Jun?"

"Nad, kamu kok diam aja sih pas tadi para tetua nentuin tanggal pernikahan kita?"

"Ya terus aku mesti gimana? bukannya kalo habis lamaran ya acara selanjutnya itu pernikahan."

"Tapi aku nggak siap, Nad."

"Kalo kamu nggak siap kenapa juga kamu nglamar aku?"

"Karena permintaan Eyang."

Deg!!

Jantungku berhenti sepersekian detik mendengar jawabannya. Taman bunga di hatiku terasa layu sebelum berkembang akibat sambaran petir kata-kata Juna barusan.

Aku menatapnya dengan tatapan penuh tanya. Mulutku yang biasanya ketika bersama Juna begitu tidak bisa dikontrol kata katanya kali ini mendadak bisu. Tidak ada satupun kata yang mampu aku ucapkan. Ternyata benar, rasa itu hanya terjadi padaku saja. Inikah rasanya bertepuk sebelah tangan?

Aku perlahan berjalan mundur, setelah tiga langkah aku membalikkan badan. Aku mendengar Juna memanggilku tapi aku tidak berhenti melangkah meninggalkan dia sendirian malam ini di tepi kolam renang rumahku.

***

Arjuna Harvito Widiatmaja POV

Malam ini adalah malam dimana aku dan keluarga besarku bermaksud datang ke rumah orang tua Nada untuk melamarnya. Dari seluruh anggota keluargaku bahkan aku sendiri, Eyang adalah yang paling bersemangat hingga aku merasa melihat Eyangku yang umurnya sudah kisaran 75 tahunan lebih ini kembali muda bak usia 17 tahun karena sibuk loncat sana loncat sini mempersiapkan semua keperluan kami.

"Juna, ingat ya dilarang keras menginstruksi apapun keputusan para tetua, kamu cukup diam saja kalo tidak bisa menyetujui."

Oh Eyang, aku merasa seperti dicekik. Bagaimana bisa aku harus diam saja ketika semua orang sedang berusaha mengatur hidupku. Bahkan jodoh saja di atur keluarga. Walau aku akui kalopun aku harus mencari sendiri yang seperti Nada, aku yakin mungkin harus keliling dunia dulu baru menemukannya. Cantik, pintar, berpendidikan tinggi, pekerjaannya mapan dan berasal dari latar belakang yang hampir sama denganku, bedanya Nada lebih beruntung memiliki keluarga utuh dan normal selayaknya orang-orang.

Aku berharap malam ini ada penolakan dari Nada bila tanggal pernikahanku dengannya ditentukan secara cepat. Tapi aku salah, karena Nada hanya tersenyum sebagai jawaban jika dia menyetujuinya.

3 bulan?
Ya, 3 bulan lagi statusku akan berubah menjadi suami, padahal aku belum siap merubah status belum kawinku menjadi kawin, belum siap merubah status di KK yang dari anak menjadi kepala keluarga.
Itu bukan pekerjaan yang mudah. Butuh kesiapan mental dan hati sedangkan aku tidak memiliki keberanian untuk menjalani peran itu. Bahkan aku tidak memiliki kemampuan untuk mencintainya, memberikan keluarga yang normal layaknya orang pada umumnya.

Setelah acara selesai dan dilakukan acara ramah tamah, alias makan makan, aku langsung menyeret Nada ke halaman samping rumahnya yang dekat dengan kolam renang. Aku tumpahkan segala rasa frustasiku padanya. Awalnya Nada masih bisa menjawab kata kataku hingga akhirnya aku tau, aku telah menyakiti hatinya karena Nada diam setelah aku mengatakannya. Bahkan pergi pelan-pelan meninggalkan aku sendiri di tempat ini.

Bagiku lebih baik mengatakan kejujuran yang sebenarnya jika aku tidak memiliki kemampuan untuk mencintainya tapi aku sudah berusaha menerima kehadirannya di hidupku. Tapi untuk mencintainya? Itu berbeda perkara.

Aku bahkan mengatakannya bahwa aku tidak siap. Tidak siap dengan kehidupan rumah tangga. Bagaimana jika pada akhirnya aku jatuh cinta padanya dan berakhir seperti Papa yang mencintai Mamaku? Di tinggalkan begitu saja dan di beri "warisan" seorang anak, mau tidak mau aku harus mengurusnya, meninggalkan kehidupan bebasku yang suka berpetualang, oh...itu sama saja bunuh diri. Lebih baik tidak merasakan dicintai dan mencintai jika pada akhirnya sakit hati dan membuat hidupku kacau porak poranda hanya karena seorang wanita.

***

#ARJUNADA PART 15

Arjuna Harvito Widiatmaja POV

Ternyata waktu 3 bulan yang diberikan kepada kami untuk mempersiapkan pernikahan bukalah hal yang bisa aku anggap sebagai waktu bersantai. Selama kurun waktu itu, aku dan Nada harus mengurus persyaratan pernikahan, memilih konsep pernikahan dan tentunya prewedding. Mama Nada mengusulkan kami melakukan prewedding di luar negeri terutama di beberapa negara Eropa. Bagiku itu adalah suatu pemborosan, kalo kesana untuk bulan madu masih mending, kalo jauh-jauh ke sana hanya untuk foto saja, buang buang uang dan tenaga. Di sini juga banyak tempat bagus. Aku kira, aku saja yang menolak, ternyata Nada juga menolaknya. Kali ini ia sepemikirian denganku.

Akhirnya pagi ini kami melakukan foto prewedding dengan konsep yang dipilih Nada. Harus aku akui gaun yang digunakan Nada begitu pas jatuh di tubuhnya.

"Nad, gaunnya kok malah kaya gaun pengantin, ya?" Tanyaku ketika melihatnya keluar dari ruang ganti.

"Ya memang, Jun soalnya 'kan konsep baju dan make up resepsi kita besok paes ageng basahan Jogja, ya sudah biar ada foto ala-ala pernikahan internasional gitu, makanya milih pakai gaun aja lah, ya."

Aku geleng-geleng kepala mendengarnya.
"Niat banget kamu, Nad mikir sampai sana."

"Haruslah karena mengimbangi kamu yang nggak pernah punya harapan dalam pernikahan kita kelak."

Kali ini giliran aku yang terdiam. Sejak kejadian di acara lamaran itu, Nada sama sekali tidak mengajak bicara padaku selama satu minggu. Semua kata maaf yang terucap dari bibirku dengan segala bahasa yang mampu di pahami manusia di dunia ini telah aku gunakan. Namun akhirnya aku harus menceritakan padanya ketika sabtu pagi aku mengajaknya sarapan bersama, baru Nada memahami semua tindakanku selama ini, kenapa aku ragu untuk menikah. Dan salah satu rahasia diriku terpaksa aku buka padanya. Memperlihatkan diriku yang sebenarnya. Diriku yang rapuh, tidak sekuat dan setegar yang terlihat.

"Nad, aku minta maaf soal kemarin." Kataku waktu itu. Nada hanya menatapku dalam. Seperti dia berusaha mencari kesungguhan dalam permintaan maafku.

"Sebenarnya aku ada masalah dengan kepercayaan apalagi sebuah hubungan dan pernikahan." Kataku melanjutkan. Nada masih diam dan terus menatapku. Seolah menunggu kelanjutan ceritaku.

"Mama Papaku berpisah ketika aku usia 6 bulan. Mama meninggalkan aku dan Papa untuk laki-laki lain, karena papa sibuk dengan pekerjaannya dan sejujurnya salah satu alasanku tidak mau menikah karena aku takut kecewa dan tersakiti nantinya. Apalagi ketika kita punya anak tetapi kita masih egois ingin menikmati hidup kita sendiri tanpa memperdulikan anak, sama seperti Mamaku yang dengan entengnya meninggalkan aku yang masih bayi. Aku nggak mampu, Nad kalo harus melalui semua itu, di sisi lain aku nggak mampu nyakitin kamu."

Aku merasakan tangan kanan Nada menyentuh tangan kiriku di atas meja. Mengelusnya pelan, membuatku merasa Nada sedang berusaha berempati dengan kondisiku.

"Jun, sejujurnya hal kaya gini bukan hal baru buat aku, karena Salma memutuskan untuk tidak menikah salah satunya karena kecewa dengan kondisi pernikahan orang tuanya. Mirip sama kamu, tapi aku yakin kalau kamu akan jadi suami yang baik, karena kamu akan berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan seperti yang papa mama kamu lakukan dulu."

Aku tersenyum melihat Nada. "Jadi udah nggak marah lagi 'kan?" Sambil menaik turunkan alisku.

Suasananya yang awalnya begitu tegang dan serius itu berubah jadi suasana santai seperti biasanya.

"Ada syaratnya kali."

"Apa?"

"Fotoin dulu yang bagus."

Aku hanya menatap Nada tanpa memberikan jawaban. Tumben tembenan Nada minta di foto. Beberapa kali makan bersama nya saja dia tidak pernah minta foto.

"Nggak usah heran, 'kan jarang-jarang kamu ngajakin ke restoran mahal begini, jadi patut diabadikan."

Nada menyerahkan handphonenya padaku. "Buruan pose, satu aja ini aku fotoinnya, nggak mau banyak-banyak."

Setelah mengambil fotonya, aku berikan handphonenya pada Nada lagi.

"Yah, Jun. Bagus. Fotoin lagi, ya?"

"Nggak mau. Aku mau makan, foto aja sendiri."

Suara deringan HP membuyarkan ingatan tentang kejadian Sabtu lalu. Aku melihat ponselku, ternyata rekan bisnisku dari Jepang yang menelepon. Aku meninggalkan Nada untuk mengangkat telepon dari Mr. Tanaka. Cukup lama kami berbincang bincang hingga akhirnya aku melihat wajah Nada sudah seperti cucian tidak disetrika.

"Kenapa mukanya bete gitu?"

"Kamu sadar nggak sih, kamu nerima telepon lama banget, bikin jadwal foto kita ngaret tau!"

"Hmm..padahal Mr. Tanaka barusan telepon buat ngundang kita ke nikahannya di Jepang. Awalnya sih aku mau ngajakin kamu, tapi kayanya kamu udah bete duluan. Nggak ja.." kata kataku terpotong jawaban Nada.

"Siapa bilang aku bete, aku mau kok diajak ke Jepang apalagi kalo gratisan."

Aku tertawa mendengarnya. "Asli, Nad kamu itu terlalu blak blakan. Jaim dikitlah harusnya."

Nada ikutan tertawa bersamaku, "ngapain jaim sama kamu, toh kamu harus lihat aku yang sebenarnya. Ya aku gini adanya, nggak punya malu."

***

Sharenada Raharja POV

Setelah perdebatan panjang antara aku plus Juna vs Mama tentang lokasi foto prewedding. Akhirnya aku dan Juna memenangkan perdebatan itu dan kali ini kami memilih salah satu studio foto terkenal di Jogja sebagai vendor kami. Aku selama ini tau kalo Juna memang memiliki aura yang di atas normal bagiku. Karena dengan melihat Juna memakai setelan jas, libidoku sebagai wanita ikut terpancing. Ah, receh sekali aku rasanya jadi wanita. Juna adalah satu satunya lelaki yang bisa membuatku panas dingin dengan wajahnya, penampilannya, mau itu penampilannya secara casual apalagi formal.

Tidak terkecuali kali ini. Aku sempat berhenti bernafas sepersekian detik ketika melihat Juna memakai setelan jasnya. Apalagi ketika ia memberikan tatapan menggoda padaku. Asli aku rasanya sudah terbang ke langit ke tujuh.

Tapi sepertinya aku salah berkata kata karena senyum dan tatapan jahil Juna hilang dari wajahnya. Ketika tiba-tiba ada sebuah telepon Juna langsung menyingkir tanpa memperdulikanku. Ia pergi meninggalkanku sendiri ke pojok ruangan. Mengobrol hingga lupa kalo saat ini aku dan semua tim sedang menunggungnya untuk melakukan sesi foto prewedding. Di kira dia orang penting apa sampai kami semua wajib menunggunya.

Makin sebel pulalah aku ketika dia datang datang dengan entengnya menanyakan "Kenapa mukanya bete gitu?"

Setelah mendengarkan penjelasannya, yang terlintas di kepalaku tentang undangan pernikahan rekan bisnisnya yang diadakan di Jepang hanyalah 1 kata HOLIDAY. Alias Liburan alias dolan alias main. Seketika raut mukaku berubah bahagia.

Siapa juga yang menolak diajakin kondangan ke Jepang. Jepang asli bukan JEjer PANGukan* pula.

"Kapan sih, Jun undangannya?"

"Minggu siang, nanti malam jam 9 aku jemput, penerbangannya tengah malam sih."

"Hah?! Mendadak banget sih, Jun?"

"Ya gimana, tinggal mau ikut nggak?"

"Ikut dong."

"Oh iya satu lagi, kali ini pakai baju tertutup, soalnya aku enggak mau kamu masuk angin terus aku mesti kerokin kamu."

***

*Jejer Pangukan artinya dekat pangukan. (Pangukan merupakan salah satu nama kawasan di dekat kantor Pemda Sleman dan dekat dengan Pasar Sleman.)

#ARJUNADA PART 16

Sharenada Raharja POV

Aku harus mengakui kalo Juna tipikal orang on time pakai banget, jam 8 malam tepat, dia sudah berhasil mengangkutku ke dalam mobilnya.

"Kita penerbangan dari mana, Jun?"

"Dari Adisutjipto ke Soeta, nanti dari Soeta baru ke Narita."

Malam ini beruntunglah Ringroad sedang sepi sehingga kami tidak ketinggalan pesawat.

Ketika kami sudah berada di dalam pesawat aku menatap Juna yang terlihat santai dan menikmati penerbangan kelas economy ini. Walau sudah malam penerbangan ini cukup penuh. Aku berusaha menyesuaikan diriku yang sedikit kurang nyaman di sini, berharap Juna tidak akan menyadarinya.

"Nad, kamu nggak biasa ya terbang pakai kelas ini?"

Aku berusaha tersenyum dan menyembunyikan kebenarannya.

"Biasa aja kok, Jun emang kenapa?" Tanyaku sambil berusaha tersenyum.

"Jangan bohong, beberapa bulan aku kenal kamu, aku sekarang bisa ngerti dikit-dikit ekspresi wajah kamu."

Aku yang biasanya terbang minimal di kelas bisnis tentu saja sedikit tidak nyaman di sini. Tapi yang namanya juga gratisan, masa aku kudu nuntut aneh aneh ke Juna.

Akhirnya aku memilih jujur, mengingat dengan Juna kode kodean tidak akan mempan selain langsung tembak saja.

"Biasanya aku terbang minimal di kelas bisnis, Jun."

Juna tersenyum maklum mendengar pengakuanku.

"Maaf ya, malam ini terpaksa kamu turun kelas dulu, soalnya kita ngejar penerbangan ke Soeta. Nanti dari Soeta ke Narita baru kita pakai first class."

Dan mataku langsung berbinar binar. Akhirnya aku nanti akan tidur dengan nyaman dalam penerbangan selama 7jam 20 menitan itu.

Ketika kami telah sampai di Soeta, sambil menunggu penerbangan ke Narita aku ngobrol dengan Juna. Aku yang malam ini menggunakan setelan serba hitam dan tas dari Louis Vuitton tanpa make up pun masih terlihat menarik perhatian orang orang disekitarku. Tapi kenapa laki laki yang akan menjadi suamiku justru terlihat tidak peduli, cuek padaku.

"Besok-besok bawa jaket, Nad aku nggak mau minjemin jaket."

Aku menghembuskan nafasku. Asli ya, punya claon suami gini banget, romantis nggak, muji cantik dan seksi juga boro-boro. Sepertinya Juna perlu diajak ke dokter mata, siapa tau dia katarak.

"Siapa juga yang mau minjem, aku bawa kok di dalem." Balasku tidak mau kalah darinya.

Pukul 12 malam aku dan Juna sudah dalam pesawat yang akan menuju ke Narita. Dan aku bahagia karena dari 10 kursi yang tersedia, hanya terisi 4 orang sudah termasuk aku dan Juna. Berasa lagi di pesawat pribadi.

"Ada yang seneng kayanya bisa ngorok nanti."

"Haruslah, menikmati first class gitu masa mau dianggurin aja." balasku sambil tertawa di sebelah Juna.

Tidak lama kami ngobrol, aku dan Juna sama sama tidur setelahnya mengingat besok siang kami harus nyumbang alias kondangan langsung."

***

Kami tiba sekitar pukul 8 pagi waktu Jepang . Dan bandara Narita sudah cukup ramai. Ketika kami datang, ternyata sudah ada yang menjemput kami. Aku kira aku akan di ajak ke sebuah hotel oleh Juna, ternyata tidak. Setelah perjalanan hampir satu jam, kami tiba di sebuah rumah tradisional Jepang dengan halaman yang asri terjaga keindahannya .

"Jun, ini rumah siapa?"

"Rumah Papa."

"Hah?! " Kataku kaget dengan informasi ini.

"Kenapa, kamu nggak percaya?"

"Nggak, 'kan rumah di Jepang mahal-mahal. Beli beginian berapa duit coba?"

Juna justru tertawa di dekatku.

"Ya udahlah, Nad. Nggak usah dipikirin, kamu masuk ke situ aja, itu kamar kamu. Aku juga mau istirahat, nanti jam 11 kita berangkat ke acaranya."

Aku menganggukkan kepala dan berjalan meninggalkan Juna untuk masuk ke dalam kamar yang bernuansa tradisional ini.

Aku kemudian mandi dan sengaja aku tidak tidur karena hanya punya waktu 3 jam lagi sebelum kami berangkat. Alhasil yang aku lakukan adalah mempersiapkan diri dengan berendam lebih dulu, setelahnya aku mematut diriku di depan meja rias . Pukul 10.30 aku telah siap dan keluar dari kamar menuju ke kamar Juna untuk mengajaknya berangkat.

***

Arjuna Harvito Widiatmaja POV

Tok.....

Tok.....

Tok.....

Aku mendengar pintu kamarku di ketuk oleh seseorang, buru-buru aku buka pintu itu dan menemukan salah satu mahluk indah ciptaan Tuhan sedang berdiri di sana dengan sangat anggun dan cantiknya.

Dia menuruti kemauanku untuk menggunakan pakaian tertutup. Tapi walaupun Nada menggunakan pakaian tertutup entah bagaimana aura seksi dari dirinya masih tetap ada bahkan sorot matanya memang menggoda bagi kaum Adam terutama aku.

Sebenarnya alasanku menyuruhnya menggunakan pakaian tertutup agar diriku tidak fokus kepada body bak super modelnya yang indah itu, namun ternyata aku salah, mau menggunakan apapun Nada tetap seksi, dan dia tetap akan menjadi pusat perhatian para laki laki dimanapun kami berada.

"Jun, aku udah siap, berangkat sekarang aja gimana?" Tanyanya yang membangunkan diriku dari memikirkan hal yang tidak tidak tentangnya.

"Okay, kamu tunggu di luar dulu bentar aku aku ambil dompet."

Nada mengangguk dan meninggalkan aku sendiri yang kini menatap seluruh tubuh Nada dari belakang yang begitu indah.

Eyang.... Kenapa engkau menjodohkan diriku dengan perempuan seperti Nada.

5 menit kemudian aku sudah menggandeng Nada memasuki sebuah mobil sedan milik Papa yang ada di rumah ini.

"Aku kira kita mau naik angkutan umum aja, Jun."

Aku terkekeh di belakang kemudi mobil.

"Emang kamu mau?"

"Ya maulah, transportasi di sini 'kan udah bagus dan on time pula."

"Masalahnya kita sekarang ngejar waktu, Nad. Nanti kita jalan-jalan naik transportasi umum."

"Bener, ya. Awas kalo cuma PHP."

"Iya."

Kemudian kami sama-sama diam, ketika aku melirik ke sebelah aku sudah melihat Nada tertidur pulas.

Sempurna.

Kata itulah yang tepat menggambarkan diri Nada bagi para kaum pria. Benar kata Salma, jika dirinya lahir sebagai laki-laki, maka wanita yang akan ia nikahi adalah Nada, karena Nada sangat sempurna. Cantik, pintar otaknya dan pintar urusan dapur. Yang jadi suaminya akan bahagia lahir batin. Tapi aku adalah orang dengan trauma masa lalu yang menyakitkan, jadi apapun yang laki-laki lain bisa berikan ke Nada aku tidak menjamin bisa memberikan itu semua kepadanya.

"Maaf, NadMaaf." Kataku sambil membelai kepalanya dengan tanganku.

Tidak berapa lama aku telah sampai di lokasi. Dengan berat hati, aku membangunkan Nada dari tidurnya yang terlihat begitu lelap.

"Nad, bangun, kita sudah sampai."

Nada mengerjapkan matanya yang indah itu, kemudian mengumpulkan nyawanya. Setelahnya kami berjalan berdua. Nada melingkarkan tangannya di lengan kiriku.

Kini kami memasuki ballroom hotel bintang 5 tersebut sebagai pasangan. Karena kali ini sengaja aku mengajak Nada atas perintah Papa yang ingin aku memperkenalkan Nada sebagai calon istriku. Dan calon wanita nomer 1 di keluarga Widiatmaja yang selama hampir 28 tahun ini kosong tidak ada yang menempati selain Eyang Ningrum.

"Jun, aku nggak bisa bahasa Jepang."

"Pakai bahasa Inggris aja nggak pa-pa, Nad."

"Okay."

Dan kami pun akhirnya menikmati pesta pernikahan siang ini sebelum pesta pernikahan kami sebentar lagi.

***

#ARJUNADA PART 17

Arjuna Harvito Widiatmaja POV

"Nad, cuma 1 tempat jalan jalannya, nggak lebih, ya?" kataku ketika aku dan Nada memasuki rumah kembali.

"Iya-iya, aku ganti baju dulu ya Jun, bentar."

"Ingat, nggak pakai baju seksi!"

"Inggih, Pak. Sendiko dawuh." kata Nada dengan intonasi ngenyek kepadaku lalu berlalu memasuki kamarnya.

1 Jam kemudian Nada telah keluar dari kamarnya dengan penampilan yang keren.

Oh ....oh....Aku harus bagaimana membuat Nada terlihat tidak menarik, mau bagaimanapun Nada selalu bisa menarik perhatianku. Padahal Nada sudah memakai baju tertutup dari leher sampai ujung kaki.

"Sudah sesuai sama syarat yang kamu kasih, ayo buruan jalan." Kata Nada sambil
menarik tanganku untuk keluar dari rumah.

"Jun... Jun... Jun...fotoin dulu dong."

Aku menghela napas, "ya udah, buruan pose."

Setelah itu kami berjalan beriringan meninggalkan rumah papa.

"Jun... Kita naik subway 'kan ?" Tanya Nada dengan riangnya di sebelahku. Persis anak kecil yang baru sekali diajak jalan-jalan.

"Iya, kalo naik Pramex ya nggak ada di sini."

"Pramex 'kan udah diganti pakai KRL sekarang. Cuma aku belum sempet nyoba sih."

Aku menoleh ke Nada dan sepertinya dia serius dengan ucapannya.

"Kalo nggak ada tujuan mau kemana, mending tidur dirumah."

"Nolep." ucap Nada santai sambil mengecek handphonenya.

"Yang nolep kayanya kamu, kalo aku sih nggak. Gunung, pantai, tebing masih tersedia di sekitar Jogja. Buatku hidupku nggak nolep." Aku balas kata-kata Nada. Entah kenapa aku tidak terima dikatakan nolep olehnya.

"Percaya yang banyak jelajah ke sana ke sini, tapi bisa dihitung jari masuk mall." Kata Nada sambil tertawa.

Aku tertawa mendengarnya, "tau dari siapa kamu, aku jarang banget ngeMall?"

"Kelihatan aja sih ya, dari tujuan kita kemana. kita mau ke Tokyo Tower 'kan. Kalo peka ya, kamu ajak aku ke Ginza buat belanja."

"Lagi bokek." kataku memutus harapan Nada kalo aku mau diajak shopping dengan dirinya.

"Sama, Jun duitku habis buat bayar Mbak Luna kemarin."

Kami berdua tertawa. Memang kami berdua memutuskan untuk menikah dengan biaya dari penghasilan kami tanpa membebani keluarga kami sama sekali. Karena aku mau pernikahanku dengan Nada sesuai dengan keinginan diriku bukan mereka. Setidaknya Nada tidak protes ketika aku meminta konsep resepsi kami dengan banyak dedaunan, pohon, bukan bunga bungaan apalagi yang palsu. Dan dari obrolan-obrolan kami berdua, kami ingin menghadirkan masa-masa kecil kami kembali dengan menyajikan menu jajanan ketika kami SD. Seperti cilok, es goreng, bahkan terang bulan jadul yang sempat susah di temui beberapa tahun lalu dan kini mulai banyak lagi penjualnya. Bahkan Nada menginginkan adanya angkringan dan jamu gendong lengkap dengan atributnya. Aku pun menyetujuinya dan benar saja, ketika kami mengutarakan kepada Mbak Luna, sepupu Nada itu sempat tertegun dan melongo mendengar keinginan kami yang sedikit absurd. Tapi berjanji akan mewujudkannya.

Walau keluarga kami kekeh jika aku dan Nada harus menggunakan paes ageng basahan sebagai baju yang kami pakai di resepsi. Untuk hal itu aku pasrah yang penting dekorasi dan konsep sesuai keinginanku. Tapi Nada sempat berdebat dengan keluarganya .

"Yang, pakai kanigaran aja ya besok?" kata Nada kepada Eyang Eyang kami ketika rapat keluargaku dan keluarganya untuk urusan tata rias.

"Nggak, sudah tradisi kalo keluarga kita nikah pakai nya paes ageng basahan jogja."

"Ya tapi nanti badan Juna yang bagus itu di lihat semua orang. Aku nggak ikhlas."

Ketika mendengar Nada mengatakan itu, wajahku langsung semerah kepiting rebus. Aku yakin Nada sedang keceplosan karena setelahnya aku bisa melihat dirinya menggigit bibir bawahnya dan tubuhnya tegang disampingku.

"Lo udah colong start sama Juna buat cek body duluan, Nad ?" Kata Adam, kakak Nada yang justru ikutan nimbrung di situasi yang tidak tepat ini.

Bug....bug....bug.....

Nada menghujani serangan dengan bantal ke Adam yang duduk di sebelah kirinya.

"Nada... Adam. Stop it!" instruksi dari Mama Nada menghentikan pertikaian tidak penting kedua saudara kandung tersebut.

"Ma, Pa, Om Wisnu, Eyang... Sumpah, Nada sama Juna belum pernah ngapa-ngapain sampai sekarang."

"Bener, Jun?" tanya Papa Nada padaku.

"Bener, Om." Jawabku sambil menganggukkan kepala.

"Jun, buruan masuk." kata kata Nada menyadarkanku dari mengingat kenangan yang terjadi 2 bulan lalu.

Aku dan Nada akhirnya memasuki subway, hingga kami akhirnya sampai di Tokyo Tower. Sejujurnya aku sudah cukup sering ke Jepang, sehingga aku tidak terlalu seantusias Nada. Itu semua karena memang keluargaku ada kerjasama dengan perusahaan asal Jepang dan papa memang memiliki beberapa aset di sini.

"Nad, pulang yuk, udah mau sore."

"Yah, Jun. Kamu ngajak main ke Jepang kaya ngajak main ke Kaliurang aja, belum ada 2 jam di sini udah ngajakin pulang."

"Besok-besok bisa ke sini lagi. Kerjaanku lagi banyak banget. Ingat, kita baru bayar 70 persen dari total tagihan Mbak Luna buat acara kita besok."

"Kamu tenang aja, insentifku buat proyek yang di Brunai bakalan cair, kayanya cukup buat nutupin kekurangannya."

Satu hal yang aku sadari tentang Nada. Dia bukan perempuan yang pelit. Bahkan cenderung terlalu loyal kepadaku. Sejak aku bertunangan dengan dirinya, hampir setiap hari, lebih tepatnya 5 hari dalam seminggu, babang Gojek atau babang Grab selalu mengirimiku makanan untuk sarapan dan makan siang. Semua makanan itu dikirim oleh Nada dan di masak sendiri olehnya. Sungguh, Nada bukan berperan menjadi pasangan buatku, malah seperti ibu yang selalu memastikan anaknya kenyang, sehat dan terawat. Sesuatu yang tidak pernah aku dapatkan di hidupku karena aku tidak pernah mengenal Mamaku.

"Nggak, duit kamu, kamu simpen aja, nutupnya pakai duit aku. Lagian habis kita nikah ulang tahun Salma 'kan. Kamu mau ngasih dia apa?"

"Kasih rendang aja udah bikin dia senang," kata Nada kemudian kami keluar dari Tokyo tower dan menuju ke stasiun lagi untuk pulang ke rumah Papa.

Ketika kami sudah sampai di stasiun dan sedang menunggu kereta, Nada memegang pergelangan tanganku. Aku pun menoleh kepadanya. Aku melihat mata indah Nada sedang fokus menatapku sambil tersenyum

"Jun, Makasih ya buat semuanya."

Setelahnya aku hanya sanggup diam dan tertegun melihat wajahnya yang cantik dengan kulitnya yang eksotis itu.

****

#ARJUNADA PART 18

Sharenada Raharja POV

Sejak pulang dari Jepang 3 hari lalu, aku masih sibuk dengan pekerjaanku yang entah  kapan akan selesai ini, karena aku harus mengambil cuti menikah yang paling tidak selama seminggu. Sempat aku berfikir untuk mengajukan Unpaid leave, setidaknya 2 bulan sama seperti Deva dulu, tapi ketika aku utarakan keinginanku kepada Pak Raka, beliau menolaknya. Karena katanya dirinya tanpa diriku di kantor bagaikan ambulance tanpa uing-uing. Bagaikan seorang suami yang tiba-tiba menjadi duda.

Tadi ketika Juna menjemputku di kantor. Beberapa karyawan yang rata-rata wanita menatap Juna dengan pandangan menyelidik dan ingin tau. Hingga akhirnya Lulu menginformasikan jika Juna sudah datang dan aku pun pergi ke luar dengan Juna menuju tempat penyuluhan tentang perkawinan sebagai salah satu syarat yang diminta KUA kepada kami untuk menikah.

Karena kami berdua orang yang sama-sama sibuk. Kami tidak sempat mengganti pakaian kerja kami, sehingga aku ke sana masih dengan setelah dress pendekku dan tas jinjing hermes, kado ulang tahun dari Om Tom tahun lalu. Sempat aku berfikir untuk menjual tas ini, karena Tas Hermes ini original, asli dan lumayan juga untuk menutup kekurangan biaya resepsi pernikahanku dan Juna. Sayangnya ketika aku menginfokan ini ke Juna, dia menolaknya karena katanya aku harus menghargai sesuatu yang di berikan orang lain kepadaku. Ya kalo di kasihnya barang biasa ya aku tidak berkeinginan untuk menjualnya, tapi ini Hermes. Harganya saja seharga mobil dan rumah. Bahkan pertama kali Mama tau kalo aku mendapatkan kado Hermes dari Om Tom, Mama sempat menginginkan aku mengembalikannya. Karena Mama takut jika Om Tom tidak tulus memberikan ha'diah itu kepadaku dan meminta "imbalan."

"Nad, seksi banget kamu kalo kerja."

Aku menghembuskan nafasku pasrah. Pokoknya bagi Juna apapun yang aku pakai selalu dikatakan sexy. Bukannya bangga dibilang sexy olehnya, aku kadang justru serba salah dan sebal sendiri.

Karena cara Juna mengatakannya bukan dengan intonasi memuji tapi seperti menghina.

"Apa aja yang aku pakai memang selalu kelihatan sexy di mata kamu, Jun. Sayangnya kamu nggak pernah bangga jalan sama aku."

"Kamu ngomong apa sih, Nad?"

Aku tidak menjawabnya. Malas, memang Juna bukan tipikal laki-laki yang bisa di kode atau peka. Bersamanya aku harus jujur, karena itu lebih baik agar dia bisa tau maksud hatiku. Daripada diam sambil berharap ia akan bisa membaca hatiku, mau sampai lebaran gajah semua hanya akan menjadi impian tanpa pernah menjadi kenyataan.

"Ngomongin kamu tadi di kantorku. Kenapa nggak gandeng aku pas turun? Kamu menikmati ya jadi santapan mata cewek-cewek di kantorku tadi? Bilangnya aja nggak tertarik buat cari perhatian perempuan, tapi kenyataanya, kamu menikmati juga."

"Kamu cemburu sama teman-teman kantor kamu tadi?"

"Nggak, Jun. Aku nggak berhak cemburu sama kamu. Karena aku lagi berusaha menjaga hatiku sendiri di zona aman. Andai suatu saat kamu bakalan pergi kaya lionel pas kita udah mau nikah, setidaknya aku tidak akan sehancur Deva sampai berniat mengakhiri hidupnsegala."

"Lionel siapa?"

"Mantan calon suami Deva yang terpaksa pernikahan mereka gagal karena lionel menghamili saudara Deva yang namanya Sekar. Bahkan pernikahan yang Deva siapkan untuk dirinya dan Lionel justru menjadi pesta pernikahan Lionel dan Sekar di Bali. Sedangkan Deva? Datang sebagai tamu undangan." Kataku mencoba menerangkan kepada Juna dan kini aku menggelengkan kepalaku pelan.

Sepertinya Juna kaget mendengar penuturanku. Walau aku tau kalo Juna tidak akan sekejam Lionel tapi siapa yang bisa jamin jika dia tidak akan meninggalkan diriku di detik-detik akhir? Toh dia tidak pernah berencana menikah seumur hidupnya karena takut kejadian seperti orangtuanya akan terulang. Padahal di Tuhan, aku tidak berniat meninggalkannya seperti Mamanya meninggalkan Papanya dan dirinya ketika masih bayi dulu.

Makanya aku suka keki kalo ada orang terdekat kami yang memuji hubungan kami seperti jalan tol ini, tanpa hambatan dan rintangan. Padahal mereka tidak tau saja, aku sedang "offroad" di tengah sungai berarus deras dengan batu batu besar dan tajam di semua sisi. Jika aku tidak bisa mengendalikan, maka aku yang akan kalah dan terbawa arus, hancur berkeping keping sama seperti Deva dulu.

karena yang aku hadapi adalah laki laki yang memang baik padaku, asyik diajak ngobrol, dekat dengan keluarga beserta tiga sahabatku hanya saja dia tidak mencintaiku. Bahkan tidak pernah ada kata bersyukur telah memilikiku di hidupnya. Perempuan mana yang tahan diperlakukan sepertiku? Pasti satu banding seribu. Apalagi jika aku mau, aku bisa mencari yang lebih dari Juna dalam segala aspek, karena mengingat kualitas yang ada pada diriku. Sayangnya kata orang restu keluarga itu penting, nah yang mereka restui ini Juna, ya sudah ikuti saran mereka saja, agar menjadi anak yang berbakti dan hidupnya selalu terberkahi.

"Sorry, aku nggak tau." aku melihat Juna menyesal karena pembicara kami sepertinya justru menimbulkan masalah.

"Nggak pa-pa , sorry kalo aku ngomel ke kamu."

"Iya, nggak pa-pa aku yang salah. Aku minta maaf."

"Udah di maafin." kataku.

Kemudian aku diam saja selama perjalanan ke KUA degan mobil Land Rover discovery 2021 milik Juna ini. Hingga akhirnya kami sampai di sana.

Kemanapun aku dan Juna pergi, bukannya GR tapi kami sering menjadi santapan mata orang orang di sekitar. Mungkin karena tinggi kami berdua yang berada di atas rata rata orang Indonesia. Aku yang 178 cm, Juna 187 cm.

Selama proses penyuluhan itu, kami di beri satu buah buku kecil tentang hak-hak dan kewajiban suami istri untuk dibaca berdua.

"Jun, kamu aja yang baca, nanti kamu presentasi ke aku ya? Kerjaanku banyak banget mau cuti 'kan soalnya."

"Apalagi aku, Nad? Ya udah dibaca kalo sempat aja."

Kemudian setelah selesai penyuluhan tersebut, aku diantar Juna kembali ke kantor. Tapi tidak seperti tadi kali ini Juna membukakan pintu mobil untukku ketika kami sampai di kantor, kemudian menggandengku hingga aku memasuki ruanganku, bahkan tadi ketika ada di lift pun Juna tidak melepaskannya tangannya dariku.

Tepat setelah Juna meninggalkanku untuk kembali ke kantornya, Lulu bertanya kepadaku, "Bu, ditanyain anak-anak, pak Juna statusnya siapanya ibu?"

"Calon suami saya. Jadi jaga mata kalian, sudah mau sold out dia." Kataku memperingatkan sekertarisku dan aku berharap dia menyebarkan gosip tersebut ke jajaran bigos alias biang gosip di kantorku.

"Baik, bu. Terimakasih konfirmasinya." jawab Lulu dan aku meninggalkannya memasuki ruanganku untuk melanjutkan pekerjaan yang sudah harus aku selesaikan sore ini sebelum aku pulang ke rumah.

***

#ARJUNADA PART 19

Sharenada Raharja POV

Hari ini adalah hari cuti pertamaku dan besok rangkaian upacara adat pernikahanku dengan laki-laki yang aku kenal kurang dari 6 bulan lamanya akan segera dilangsungkan. Laki-laki yang dipilihkan oleh keluargaku dan disetujui oleh ketiga sahabatku untuk mendampingiku menjalani sisa hidup hingga ujung usia. Semoga saja dialah orangnya. Sejujurnya ada perasaan takut jika Juna akan menghilang entah ke gunung, pantai atau belahan dunia lain ketika hari H kami akan dilangsungkan. Bagaimanapun kami berdua menolak untuk dipingit sebelum rangkaian prosesi acara pernikahan mulai dilangsungkan kemarin. Karena kami sama-sama memiliki pekerjaan yang menumpuk di kantor dan harus diselesaikan sebelum deadline, apalagi kami sedang kejar target untuk membayar biaya resepsi pernikahan yang untungnya bisa dibayar lunas seminggu sebelum hari H berlangsung. Benar saja, Juna yang membayar sisa kekurangan 30 persen biaya tersebut tanpa bantuan biaya dariku. Aku sedikit tidak enak kepadanya karena Juna bahkan memberikan pelangkah kepada Adam sesuai dengan keinginan Adam. Aku awalnya protes pada Juna tapi dengan entengnya Juna hanya menjawab

"Sudah dibayar dan Lunas, tinggal tunggu barangnya sampai rumah, masa mau di batalin, Nad. Kan nggak mungkin juga."

Dan aku hanya sanggup mengembuskan napas pasrah ketika mendengar jawaban Juna. Bayangkan saja harga sebuah motor Harley Davidson itu berapa? Toh Adam sebenarnya masih mampu membeli sendiri tanpa meminta kepadaku atau Juna sebagai pelangkah. Penghasilan Adam itu besar, bahkan lebih besar daripada dariku selama ini dan yang lebih membuat aku ingin melemparkan sepatu high heels 10 centimeterku pada Adam adalah Juna memberikan tipe motor sesuai apa yang diinginkan oleh Adam selama ini. Sebuah Harley Davidson Fat Boy Tahun 2020 berwarna hitam.

Aku menghela napas lemah, pasrah dan badanku terasa ringan seperti orang yang sedang setengah mabuk. Bagaimana bisa Juna mengeluarkan uang hingga 650 juta rupiah begitu saja tanpa berpikir panjang hanya untuk menuruti keinginan seorang Adam Raharja. Kakakku itu lebih dari mampu untuk membeli sendiri. Alasan dirinya tidak membeli motor Harley Davidson lagi karena Mama akan menjualnya lagi seperti kejadian kemarin.

"Nad, itu dicari sama orang yang antar kiriman dari Juna," kata Deva ketika memasuki kamarku. Kemudian aku turun ke bawah untuk menemui orang tersebut.

Aku turun ke bawah karena aku tau siapa yang mencariku dan apa tujuannya. Tidak lama aku menemui mereka, tiba-tiba orang yang ingin aku bunuh berdiri di sampingku, sudah bersama Mama dan Papa yang ada di sisi kanan dan kirinya.

"Wuih, memang nggak salah pilih calon suami lo, Nad. Calon adik ipar idaman gini satu banding seribu. Tau gini gue minta di bikinin adik nggak cuma 1 dulu, minimal 4 lah."

Aku melirik Adam dengan sudut mataku. Sengaja aku memberikan tatapan membunuh pada Adam. Aku bisa melihat dirinya tersenyum puas karena keinginannya terkabul. Sedangkan Mama dan Papa sudah berdiri sambil melongo tidak percaya dengan apa yang di berikan Juna sebagai pelangkah.

"Maksud lo apa?" Tanyaku pada Adam tanpa menoleh kepadanya.

"Ya kalo punya adik 4, lo coba bayangin aja gue dilangkahi sama semua adik gue. Pelangkah gue dari lo aja jelas Harley Davidson nanti dari ketiga adik gue lainnya, gue minta rumah, mobil, sama apartemen. Bahagia lahir batin gue, Nad andai itu jadi kenyataan."

Plak....

Plak ....

Plak......

"Au...au....au....sakit, Nad!" rengek Adam padaku ketika aku langsung menghujaninya dengan gamparan di lengan kirinya secara bertubi-tubi. Aku ingin melampiaskan rasa jengkelku kepadanya.

"Dam, lo itu sudah bikin gue malu ke Juna."

"Ngapain malu? Toh, duitnya Juna nggak bakalan habis kalo cuma beliin gue harley sebiji."

"Adam..." Teriakku padanya yang kini sudah lari menjauhiku untuk masuk kembali ke rumah.

***

Hari ini semua acara berjalan dengan lancar. Mulai dari prosesi pasang tarub, hingga pengajian yang dilakukan di rumah. Besok adalah hari di mana siraman dan aku meminta ijin kepada kutu kupret satu itu untuk menikah lebih dulu dari dirinya. Sebenarnya pelangkah untuk Adam hanya sepengadeg alias pakaian dan celana, di tambah sepatu saja. Aku sudah berbaik hati memberikan jam tangan Rolex padanya sebagai tambahan aksesoris. Karena aku tau dia sangat menyukai merek jam itu. Untuk membelinya pun aku harus merelakan insentif atas proyek Brunei Darussalam kemarin yang aku dapatkan. Ditambah sisa gajiku bulan lalu.

Tok....

Tok.....

Tok.....

Aku mendengar pintu kamarku di ketuk oleh seseorang dari luar.

"Come in." Kataku mempersilahkan.

Dan betapa kagetnya aku ketika melihat si kutu kupret alias si monyet, alias Adam Raharja masuk ke kamarku.

"Nad?"

"Hmm.." Jawabku yang masih asyik duduk di ayunan dalam kamarku sambil ngemil.

Aku melihat Adam mulai duduk di kursi yang berada di dekat meja kerjaku.

"Gue mau ngasih lo sesuatu."

Aku menolehkan kepalaku untuk menghadapnya. Aku tidak nmenyadari ternyata Adam membawa sebuah berkas bersampul berwarna hijau.

"Apa?"

"Nih." Adam menyodorkan sebuah sertifikat tanah kepadaku dan ketika aku membuka isinya ternyata itu sertifikat tanah yang Adam beli beberapa tahun lalu di daerah kalasan dan telah di bangun sebuah rumah diatasnya yang dijadikan sebuah guest house dengan gaya tradisional modern.

"Ini apa, Dam?" Tetiba aku menjadi bodoh padahal jelas-jelas itu sertifikat tanah.

"Itu kado nikahan buat lo, Nad. Gue nggak bisa kasih apa-apa buat lo dan gue sadar selama ini gue bukan kakak yang baik buat lo."

"Dam, kalo ini cuma karena pelangkah dari gue sama Juna lebih baik jangan, Dam. Gue masih punya rumah sendiri walau nggak gue tempati." kataku padanya karena memang aku memiliki sebuah rumah di daerah kasongan yang aku sewakan kepada pasangan bule asal Kanada.

Adam justru tertawa di dekatku.

"Gue ngasih itu nggak ada hubungannya sama Harley-Davidson dari lo sama Juna. Gue kasih itu emang tulus. Terlebih juga gue memang sudah mempersiapkan buat lo dari dulu. Gue rasa ini saat yang tepat gue ngasih ke lo. Lo jangan bilang ke Juna. Jadi kalo lo di sakiti sama dia lo bisa minggat ke rumah hadiah dari gue itu dan nggak bakal ada yang tau."

"Lo kalo doa yang baik-baik, Nyet." kataku sambil menggeplak kepala Adam dengan sertifikat tanah tersebut.

"Iya-iya. Gue cuma mempertimbangkan hal terburuk aja. Gue emang sengaja minta Harley soalnya kalo itu hadiah, gue yakin Mama nggak akan ngejual motor gue lagi." kata Adam sambil tersenyum bahagia.

Aku mengembuskan napasku. Bagaimana pun Adam adalah kakak terbaik di hidupku dan satu satunya saudara kandungku. Walau dalam hubungan kamijarang kami akur seperti ini, lebih sering kami saling menggoda bahkan mengerjai satu sama lain hingga teriakan, tangisan bahkan lemparan barang apapun di rumah sudah menjadi hal yang lumrah bin wajar, tapi kami berdua sadar itulah cara kami menyampaikan rasa kasih sayang satu sama lainnya. Tidak ada ungkapan aku sayang kamu, adikku. Ah, jika Adam mengatakan ini bukannya aku ingin memeluknya, yang ada justru aku akan melemparkan sandal jepit kepadanya. Percayalah, tanpa pertengkaran kami rumah ini laksana kuburan, sepi tidak ada suara sama sekali.

***

#ARJUNADA PART 20

Arjuna Harvito Widiatmaja POV

Hari ini aku melalui kegiatan yang sama dengan Nada namun di tempat yang berbeda. Aku melalui acara pengajian ini di rumah Papaku. Setelah acara selesai aku memasuki kamarku di rumah Papa yang ada di lantai 2. Aku rebahkan diriku di atas ranjang. Aku tatap langit Langit kamarku namun pikiranku sudah jauh berkelana mengobservasi hubunganku dengan Nada.
 

Sebenarnya apa yang aku rasakan kepada Nada selama ini? Cinta jelas bukan karena aku tidak memiliki kemampuan mencintai, namun menerima perjodohan ini dan setuju untuk menikah dengannya secara suka rela memang bukan karakter diriku, biasanya aku paling tidak bisa dipaksa atau di atur oleh siapapun, termasuk Papa jika itu sudah menyangkut keputusan yang akan merubah nasib bahkan takdirku ke depannya. Mungkin ini efek pelet makanan enak yang setiap hari Nada kirimkan padaku. Dan lebih herannya sejak terbiasa dengan makanan yang Nada masak itu, aku tidak terlalu menyukai makanan luar rumah. Satu satunya cara agar aku bisa "terus hidup" dengan mencicipi masakan Nada adalah dengan menikahinya. Memang aneh, tapi itulah kenyataan gang ada saat ini.

Banyak yang mengatakan aku beruntung mendapatkan Nada yang sempurna. Dan aku mengakui itu. Mungkin Nada satu satunya paket komplit yang terbaik hingga saat ini di hidupku. Aku sudah sering mengecewakannya karena aku tidak bisa membalas perasaannya selama ini kepadaku. Aku tau Nada tulus padaku, namun aku tidak bisa berjanji padanya untuk menjadi imam yang baik di kehidupan kami kelak setelah menikah.
Aku mengambil handphoneku di atas meja dekat tempat tidur dan wajah Nada yang cantik dengan kulit eksotisnya telah terpampang di sana. Karena aku menjadikan Foto Nada sebagai wallpaper handphone.

Foto yang aku ambil ketika kami berdua pergi ke Dieng untuk menikmati sunrise di bukit sikunir. Kala itu aku mengajaknya ke sana dengan menaiki motor. Aku kira awalnya Nada akan menolak atau protes dengan pilihan kendaraan yang aku pakai, namun ternyata aku salah besar. Justru dia lebih bersemangat dari diriku untuk touring ke Dieng. Mungkin itu pulalah salah satu pertimbanganku mau menikahi Nada. Nada bisa mengerti apa yang aku suka, tidak pernah melarang bahkan sepanjang kami PDKT, aku lebih sering melakukan kegiatan sederhana seperti camping di pantai, mendaki bukit atau gunung, touring berdua dengan motor dan satu lagi, panjat tebing. Tidak ada istilah kami kencan di mall, apalagi nonton film berdua. Percayalah, kegiatan kami benar-benar jauh dari ruangan tertutup.
Awal Nada aku ajak panjat tebing di pantai Siung, wajahnya sudah seperti mayat hidup. Pucat sekali tapi ketika dia sudah berhasil melakukannya dan tau rasanya, justru Nada mau mencobanya lagi dan lagi hingga ketagihan. Benar-benar definisi dari tak kenal maka tak sayang.
Deringan suara handphone membuatku harus mengangkatnya dan dia yang sedang menghiasi pikiranku, menelepon di tengah malam begini. Segera aku mengangkatnya.

"Hallo," sapaku padanya.

"Hallo, Jun bilang sama aku kalo kamu lagi khilaf biar aku nggak akan makan kamu malam ini."

"Kamu kenapa marah-marah?" Tanyaku masih sabar pada Nada yang langsung ngomel di telepon.

"Motor buat si Monyet sudah datang tadi sore, Ini mahal banget, Jun. Aku ganti aja, ya tapi aku cicil 10x tanpa bunga syukur-syukur dapat diskon dari kamu biar cepet lunas."

Aku menembuskan napas pasrah, "Nad, aku sudah bilang kalo aku ikhlas kasih itu ke Mas Adam, lagi pula toh dia bakal jadi kakak aku juga kan nantinya setelah kita menikah."

"Tapi nggak harus Harley Davidson juga, Jun ngasihnya. Aku yakin si Monyet sanggup belinya. Dia kan pegang perusahaan Papa, belum lagi bisnis yang lain. Saham dia banyak. Usahanya juga di mana-mana."

Sebenarnya aku tau kalo Mas Adam sanggup membelinya sendiri. Namun karena aku merasa ingin memberikan sesuatu yang spesial untuknya karena dengan ikhlas mau dilangkahi adiknya, maka aku berikan saja apa yang dia inginkan. Lagipula aku belum pernah memiliki saudara. Seumur hidupku aku adalah anak tunggal Papa dan cucu tunggal Eyang. Kadang aku merasa uang yang aku miliki tidak ada artinya karena aku tidak memiliki saudara untuk berbagi. Terkadang aku iri melihat hubungan Nada dan Mas Adam yang walau seperti Tom and Jerry tapi terkadang mereka bisa saling melindungi dan begitu akur, walau seringnya terjadi perang yang absurd diantara mereka. Terkadang aku sampai heran, apa yang membuat mereka hingga saling serang bahkan sapi, bantal dan beberapa barang di rumah sering menjadi senjata dadakan.

Itulah hal yang aku impikan di hidupku dan hanya akan selalu jadi khayalanku. Aku sedikit beruntung setelah mengenal Nada. Sedikit banyak aku memiliki teman berbagi, berdebat bahkan adu mulut untuk hal hal yang tidak penting. Terkadang Nada bisa menjadi teman bicara yang serius, bisa menjadi musuh, berperan jadi kakak, ibu bahkan menjadi pasangan yang baik untukku di setiap kesempatan.

"Aku kan sudah bilang dari kemarin kalo sudah dibayar lunas, masa mau di batalin, Nad?"

"Ah, Juna. Kamu bikin aku gila malam malam. Udah aku mau tidur, besok masih ada acara siraman. Kamu juga buruan tidur."

Belum sempat aku menjawab, telepon dari Nada sudah diputus secara sepihak. Aku tertawa membayangkan wajah Nada yang pasti merah karena marah. Dan entah kenapa, terkadang membuatnya marah sanggup mengahdirkan keceriaan di diriku.

Kali ini aku akan mencoba menjalani apa yang di minta keluargaku. Semoga saja Nada adalah wanita yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Mamaku, yang tega meninggalkan Papaku dan aku begitu saja untuk bersama laki-laki lain. Aku berharap ini adalah pernikahan sekali seumur hidup bagi kami berdua. Walau entah bagaimana besok kehidupan kami berdua setelah menikah akan dijalani setidaknya aku tidak akan kabur dari prosesi ini.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
#Arjunada
Selanjutnya #ArjuNada Part 21-30
9
3
Sebaiknya Baca Part 1-20 terlebih dahulu (Free) Sebagai perempuan modern yang sukses dalam karier, dijodohkan adalah sesuatu yang sangat konyol dalam hidupku. Tapi ketika aku mulai mengenalnya apakah aku sanggup untuk mengubah semuanya, termasuk pandangan hidupnya tentang hubungan dan pernikahan?- Sharenada Raharja -***Kata orang menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kalo nasibku memang harus menikah dengannya apakah harus aku terima?  padahal aku tidak memiliki  kemampuan untuk mencintainya, dia yang sempurna tak kurang satu apapun sebagai istri idaman.- Arjuna Harvito Widiatmaja -
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan